Anda di halaman 1dari 17

TUGAS REFERAT

ANEMIA DALAM KEHAMILAN

Pembimbing :

dr. Nilakusuma, Sp. OG

Disusun oleh :

Muhammad Ichsandi Darmawan

2016730128

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RSUD SEKARWANGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat
dan hidayah-Nya, penulisan tugas referat ini dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat
dan salam penulis haturkan kepangkuan alam Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.

Adapun referat dengan judul “ANEMIA DALAM KEHAMILAN” ini


diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/SMF
Obgyn Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta / RSUD  Sekarwangi.  

Ucapan terima kasih penulis  sampaikan kepada dr. Nilakusuma, Sp. OG yang
telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk penulisan referat ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya. 

Jakarta , Juni 2020 

Muhammad Ichsandi Darmawan

2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia lebih sering dijumpai dalam kehamilan. Hal itu disebabkan karena
dalam kehamilan keperluan akan zat-zat makanan bertambah dan terjadi pula
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang.
Darah bertambah banyak dalam kehamilan, yang lazim disebut hidremia atau
hypervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel-sel darah kurang dibandingkan dengan
bertmbahnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Pertambahan tersebut
berbanding sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%.
Pengencera darah dianggap penyesuaian diri secara fisiologi dalam kehamilan
dan bermanfaat bagi wanita. Pertama pengenceran itu meringankan beban jantung
yang harus bekerja lebih berat selama masa kehamilan, karena sebagai akibat
hidremia cardiac output meningkat. Kerja jantung lebih ringan apabila viskositas
darah rendah.resistensi berkurang, sehingga tekanan darah tidak naik. Kedua, pada
perdarahan saat persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit
dibandingkan dengan apabila darah tersebut lebih kental.
Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah mulai sejak kehamilan umur 10
minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Hoo
Swit Tjiong menemukan dalam penyelidikan berangkai pada 21 wanita di R.S Cipto
Mangunkusumo Jakarta dari kehamilan 8 minggu sampai persalinan dan 40 hari
postpartum, bahwa kadar Hb, jumlah eritrosit, dan nilai hematokrit, ketiganya turun
selama kehamilan sampai 7 hari postpartum. Setelah itu ketiga nilai tersebut
meningkat, dan 40 hari postpartum mencapai angka yang diperkirakan sama dengan
nilainya diluar kehamilan. Hasil penyelidikan ini didukung oleh penyelidikan lain
pada 3531 wanita hamil yang dilakukan dalam waktu dan dirumah sakit yang sama.
Dalam hubungan dengan apa yang diuraikan diatas terbanyak penulis
mengambil nilai 10g/100ml sebagai batas terendah untuk kadar Hb dalam kehamilan.
Seorang wanita hamil dengan memiliki Hb <10g/100ml disebut menderita anemia
dalam kehamilan. Karena itu wanita hamil dengan kadar Hb 10 – 12 g/100ml tidak
dianggap menderita anemia patologik, tetapi anemia fisiologi atau pseudoanemia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Anemia Dalam Kehamilan


Anemia merupakan penurunan kapasitas darah dalam membawa
oksigen yang disebabkan oleh penurunan jumlah sel darah merah atau
berkurangnya konsentrasi hemoglobin dalam sirkulasi darah (Husin, 2014)
Seorang wanita hamil dengan memiliki Hb <10g/100ml disebut
menderita anemia dalam kehamilan. Wanita hamil dengan kadar Hb 10 – 12
g/100ml tidak dianggap menderita anemia patologik, tetapi anemia fisiologi
atau pseudoanemia (prawirohardjo).
Menurut Sarwono Prawirohardjo anemia adalah kondisi ibu dengan
kadar hemoglobin dibawah 11g/dl pada trimester 1 dan 3 atau kadar
<10,5g/dl pada trimester 2. Nilai batas tersebut terjadi karena hemodilusi,
terutama pada trimester dua.

2.2. Epidemiologi

Diseluruh dunia prevalensi anemia dalam kehamilan cukup tinggi


berkisar antara 10% - 20%. Karena defisiensi makanan memegang peranan
yang penting dalam timbulnya anemia, maka dapat dipahami bahwa prevalensi
itu lebih tinggi lagi di Negara-negara yang berkembang dibandingkan di
Negara yg sudah maju. Sekitar 95% kasus anemia selama hamil adalah karena
kekurangan zat besi.Penyebabnya biasanya asupan makanan tidak memadai
maupun kehamilan sebelumnya (Proverawati, 2011).

2.3. Klasifikasi
2.3.1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia dalam kehamilan yang paling sering dijumpai ialah anemia
akibat kekurangan besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang
konsumsi unsur besi dengan makanan, karena gangguan resorpsi,
gangguan penggunaan, atau karena terlampau banyaknya besi yang
keluar dari dalam tubuh, seperti pada perdarahan.
Keperluan akan besi bertambah dalam kehamilan, terutama pada
trimester terakhir. Apabila konsumsi besi tidak ditambah saat kehamilan,
maka mudah terjadi anemia defisiensi besi, terutama pada kehamilan
kembar. Di daerah khatulistiwa besi lebih banyak keluar melalui air
keringat dan melalui kulit. Konsumsi besi setiap harinya berbeda
anjurannya disetiap Negara. Di Amerika Serikat masing – masing
kebutuhan besi untuk wanita tidak hamil 12mg, wanita hamil 15mg, dan
wanita menyusui 15mg, sedangkan di Indonesia kebutuhan besi untuk
wanita tidak hamil 12mg, wanita hamil 17mg, dan wanita menyusui
17mg.

Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi yang berat tidak sulit karena ditandai
ciri yang khas bagi defisiensi besi, yakni mikrositosis dan hipokromasia.
Anemia yang ringan tidak selalu menunjukkan ciri khas tersebut, bahkan
banyak yang bersifat normositer dan normokrom. Hak tersebut karena
defisiensi besi dapat berdampingan dengan defisiensi asam folat. Lalu
menyebabkan anemia megaloblastik yang sifatnya makrositer hiperkrom.
Anemia ganda atau biasa disebut anemia dimorfis.
Apabila pada pemeriksaan kehamilan hanya Hb yang diperiksa dan Hb
itu kurang dari 10g/100ml, maka wanita tersebut dapat dianggap sebagai
menderita anemia defisiensi besi, baik yang murni maupun yang
dimorfis.
Sifat lain yang khas untuk anemia defisiensi besi ialah kadar besi
serum yang rendah, daya ikat besi serum (TIBC) tinggi, protoporfirin
eritrosit tinggi, dan tidak ditemukan hemosiderin dalam sumsum tulang.
Pengobatan percobaan (therapia ex juvantibus) dengan besi dapat pula
dipakai untuk membuktikan defisiensi besi, jikalau dengan pengobatan
jumlah retikulosit, kadar Hb dan besi serum naik sedangkan daya ikat
besi serum dan protoporfirin eritrosit turun, maka anemia itu pasti
disebabkan kekurangan besi.
Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan eritropoesis yang
normoblastik tanpa tanda-tanda hypoplasia eritropoesis.
Terapi
Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi per oral. Biasanya
diberikan garam besi sebanyak 600 – 1000mg sehari, seperti sulfas-
ferrosus atau glukonas ferrosus. Hb dapat dinaikkan sampai 10g/100ml
atau lebih asal masih ada cukup waktu sampai janin lahir. Vitamin C
yang dapat meningkatkan optimalisasi penyerapan zat besi non-heme.
Vitamin C mempunyai khasiat untuk mengubah ion ferri menjadi ion
ferro yang lebih mudah diserap oleh selaput usus.
Terapi parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan
obat besi per oral, ada gangguan penyerapan, penyakit saluran cerna, atau
apabila kehamilan yang sudah tua. Besi parenteral diberikan dalam
bentuk ferri. Secara intramuskular dapat disuntikkan deksran besi
(imferon) atau sorbitol besi (jectofer). Hasilnya akan lebih cepat dicapai,
namun penderita akan merasa nyeri ditempat suntikan.
Juga secara intravena perlahan besi dapat diberikan, seperti ferrum
oksidum sakkaratum (ferrigin, ferrivenin, proferrin, vitis), sodium
differat (ferronascin), dan dekstran besi (imferon). Akhir-akhir ini
imferon banyak pula diberikan dengan infus dalam dosis total antara
1000 – 2000mg besi, dengan hasil yang sangat memuaskan. Walaupun
besi intravena dan dengan infus terkadang menimbulkan efek samping,
namun apabila terdapat indikasi yang tepat, cara ini dapat dilakukan.
Komplkasi kurang berbahaya dibandingkan dengan transfusi darah.
Transfusi darah sebagai pengobatan anemia dalam kehamilan sangat
jarang diberikan walaupun Hb <6g/100ml apabila tidak terjadi
perdarahan. Darah secukupnya harus tersedia selama persalinan, yang
segera harus diberikan apabila terjadi lebih dari biasanya walaupun tidak
lebih dari 1000ml.

Pencegahan
Di daerah-daerah dengan prevalensi kehamilan yang tinggi sebaiknya
setiap wanita hamil diberi sulfas ferrosus atau glukonas ferrosus, cukup 1
tablet sehari. Menurut Dictary Reference Intake kebutuhan zat besi pada
ibu hamil meningkat 18mg/hari pada wanita dewasa menjadi 27
mg/hari(Husin, 2014). Menurut World Health Organization (WHO)
merekomendasikan agar setiap ibu hamil mengkonsumsi suplementasi Fe
60mg per hari selama 6 bulan. Jika tidak dapat mengkonsumsi selama 6
bulan dosisnya dinaikkan menjadi 120 mg per hari atau melanjutkan
mengkonsumsi hingga 3 bulan postpartum (Husin, 2014). Zat besi juga
dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging
merah) seperti daging sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran
berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, kacang
polong, serta kacang-kacangan. Selain itu, diimbangi dengan pola makan
sehat dengan mengonsumsi vitamin serta suplemen penambah zat besi
untuk hasil yang maksimal (Irianto, 2014). Zat besi yang berasal dari
bahan makanan hewani dapat diabsorbsi sebanyak 20 – 30% sedangkan
zat besi yang berasal dari bahan makanan tumbuhtumbuhan hanya sekitar
5% (Bulkis, 2013).

Prognosis
Prognosis anemia defisiensi besi dalam kehamilan umumnya baik bagi
ibu dan anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa
perdarahan banyak atau komplikasi lain. Anemia berat yang tidak diobati
dalam kehamilan muda dapat menyebabkan abortus, dan dalam
kehamilan tua dapat menyebabkan partus lama, perdarahan postpartum,
dan infeksi.
Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita anemia
defisiensi besi tidak menunjukkan Hb yang rendah, namun cadangan
besinya kurang, yang baru beberapa bulan kemudian tampak sebagai
anemia infantum.

2.3.2. Anemia Megaloblastik


Anemia megaloblastik dalam kehamilan disebabkan karena defisiensi
asam folat (pteroyglutamic acid), jarang sekali karena defisiensi vitamin
B12 (cyanocobalamin). Berbeda di Eropa dan Amerika Serikat
prevalensi anemia megaloblastik dalam kehamilan cukup tinggi di Asia
seeperti Malaysia dan di Indonesia.
Vitamin B12 sangat penting dalam pembentukan RBC (sel darah
merah). Anemia perniciosa biasanya tidak disebabkan oleh kekurangan
vitamin B12 dalam makanan, melainkan ketidaksediaan faktor intrinsik
yaitu sekresi gaster yang diperlukan untuk penyerapan vitamin B12.

Diagnosis
Diagnosa anemia megaloblastik dibuat apabila ditemukan megaloblas
atau promegaloblas dalam darah atau sumsum tulang. Sifat khas
sebagaimana anemia makrositer dan hiperkrom tidak selalu dijumpai,
kecuali bila anemianya sudah berat. Seringkali anemia sifatnya
normositer dan normokrom. Hal tersebut disebabkan karena anemia
defisiensi asam folat sering berdampingan dengan anemia defisiensi besi
dalam kehamilan.
Perubahan-perubahan dalam leukopoesis seperti metamielosit datia dan
sel batang datia yang kadang-kadang disertai vakuolisasi, dan
hipersegmentasi granulosit, terjadi lebih dini pada defisiensi asam folat
dan vitamin B12, bahkan belum terdapat megaloblastosis. Pemeriksaan
asam formimino-glutamik dalam urin (figlu-test) dapat membantu dalam
diagnosis.
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan dengan percobaan penyerapan
(absorption test) dan percobaan pengeluaran (clearance test) asam folat.
Percobaan pengobatan asam folat dapat juga mendukung diagnosis,
naiknya jumlah retikulosit dan kadar Hb menunjukkan defisiensi asam
folat.
Pada anemia dimorfis gambaran darah yang awalnya normositer dan
normokrom setelah pemberian asam folat akan berubah menjadi
mikrositer hipokrom karena defisiensi asam folat telah di koreksi, akan
tetapi defisiensi besi belum di koreksi.

Terapi
Dalam pengobatan anemia megaloblastik dalam kehamilan sebaiknya
bersama-sama dengan asam folat dan diberikan juga besi. Tablet asam
folat diberikan dalam dosis 15 – 30mg sehari. Jika perlu asam folat
diberikan secara parenteral dalam dosis yang sama.
Apabila anemia megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vitamin B12
(anemia pernisiosa Addison Biomer), maka penderita harus diobati
dengan vitamin B12 dengan dosis 100 – 1000 mikrogram sehari baik per
oral atau parenteral. Karena anemia megaloblastik dalam kehamilan pada
umumnya berat, maka terkadang diperlukan transfusi darah apabila tidak
cukup waktu karena kehamilan dekat aterm atau apabila pengobatan
dengan berbagai obat penambah darah tidak berhasil.

Pencegahan
Pada umumnya asam folat tidak diberikan secara rutin, kecuali di
daerah-daerah dengan prevalensi anemia megaloblastik yang tinggi.
Wanita hamil diberi folat 0,4 mg sekali/ hari untuk mencegah anemia
(Proverawati, 2011). Sumber vitamin B12 adalah daging, unggas, ikan,
telur, usus, keju, hati, udang, dan kerang. Ibu hamil dianjurkan banyak
mengonsumsi sayuran hijau, hati, kacang merah, dan kedelai karena
banyak mengandung asam folat (Irianto, 2014).

Prognosis
Anemia megaloblastik dalam kehamilan umumnya mempunyai
prognosis yang cukup baik. Pengobatan dengan asam folat hampir selalu
berhasil.
Apabila penderita mencapai masa nifas dengan selamat dengan atau
tanpa pengobatan, maka anemianya akan sembuh dan tidak akan timbul
lagi. Hal ini disebabkan karena dengan lahirnya anak keperluan asam
folat akan jauh berkurang. Sebaliknya pada anemia pernisiosa
memerlukan pengobatan terus-menerus, juga diluar kehamilan.
Anemia megaloblastik dalam kehamilan yang berat yang tidak diobati
mempunyai prognosis yang kurang baik.

2.3.3. Anemia Hipoplastik


Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsum tulang
kurang mampu membuat sel-sel darah baru, dinamakan anemia
hipoplastik dalam kehamilan.
Diagnosis
Darah tepi menunjukkan gambaran normositer dan normokrom, tidak
ditemukan tanda-tanda defisiensi besi, asam folat dan vitamin B12,
sumsum tulang bersifat normoblastik dengan hypoplasia erithropoesis
yang nyata. Perbandingan mieloit : eritroit, yang diluar kehamilan 5:1,
dalam kehamilan 3:1 atau 2:1, berubah menjadi 10:1 atau 20:1. Ciri lain
adalah bahwa dengan segala macam obat penambah darah tidak
memberikan hasil.
Etiologi anemia hipoplastik karena kehamilan hingga saat ini belum
diketahui dengan pasti, kecuali disebabkan oleh sepsis, sinar rontgen,
racun, atau obat-obatan.

Terapi
Karena obat-obat penambah darah tidak memberikan hasil, maka
caranya adalah memperbaiki keadaan penderita dengan transfusi darah,
yang sering perlu diulang sampai beberapa kali.

Prognosis
Biasanya anemia hipoplastik karena kehamilan, apabila wanita selamat
sampai masa nifas, akan sembuh dengan sendirinya. Namun dalam
kehamilan berikutnya biasanya wanita akan menderita anemia
hipoplastik lagi.
Anemia aplastik (panmieloftisis) dan anemia hipoplastik berat yang
tidak diobatin mempunyai prognosis yang buruk, baik bagi ibu ataupun
bagi anak.

Pencegahan
Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya anemia
hipoplastik karena kehamilan. Akan tetapi pemberian obat-obatan pada
wanita hamil harus dipikirkan untuk efek samping obat-obatan tersebut.

2.3.4. Anemia Hemolitik


Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah merah
yang berlangsung lebih cepat daripada proses pembuatannya. Biasanya,
sel darah merah hidup dalam selama sekitar 4 bulan. Sumsum tulang
tidak mampu memproduksi sel darah merah baru dengan cepat untuk
menggantikan mereka yang telah hancur. Hal ini menyebabkan
berkurangnya kapasitas untuk memasok oksigen untuk jaringan seluruh
tubuh (Proverawati, 2011). Wanita dengan anemia hemolitik sukar
menjadi hamil, apabila dapat hamil maka anemianya bisa menjadi
bertambah berat. Secara umum anemia hemolitik dapat dibagi dalam 2
golongan besar, yaitu
1) Golongan yang disebabkan oleh faktor intrakorpuskuler, seperti
pada sferositosis, eliptositosis, anemia hemolitik herediter,
thalassemia, anemia sel sabit, hemolobinopati C,D,G,H,I.
2) Golongan yang disebabkan oleh faktor ekstrakorpuskuler seperti
pada infeksi (malaria, sepsis, dll) keracunan arsenikum,
neoarrsphenamin, timah, sulfonamide, kinin, paraquin, pimaquin,
nitrofurantoin, racun ular, dll.

Diagnosis
Gejala-gejala yang dijumpai ialah proses hemolitik, seperti anemia,
hemoglobinemia, hemoglobinuria, hiperbilirubinemia, dan sterkobilin
lebih banyak dalam feses. Di samping itu terdapat pula sebagai tanda
regenerasi darah seperti retikulositosis dan normoblastemia, serta
hyperplasia erithropoesis dalam sumsum tulang. Pada hemolysis yang
berlangsung lama dijumpai pembesaran limpa dan anemia hemolitik
herediter terkadang disertai kelainan rontgenologis pada tengkorak dan
tulang-tulang lain.
Sumsum tulang menunjukkan gambaran normoblastik dengan
hyperplasia yang nyata, terutama system eritropoetik. Perbandingan
mieloit : eritroit yang biasanya 3:1 atau 2:1 dalam kehamilan berubah
menjadi 1:1 atau 1:2.

Frekuensi anemia hemolitik dalam kehamilan tidak tinggi. Terbanyak


anemia ini ditemukan pada wanita negro yang menderita anemia sel
sabit, anemia sel sabit hemoglobin C, sel sabit thalassemia, atau penyakit
hemoglobin C. di Indonesia terdapat juga penyakit thalassemia.
Terapi
Pengobatan anemia hemolitik dalam kehamilan tergantung pada jenis
dan beratnya. Obat-obat penambah darah tidak memberikan hasil.
Transfusi darah yang diulang beberapa kali diperlukan untuk anemia
berat untuk meringankan penderitaan ibu dan untuk mengurangi bahaya
hipoksia janin. Splenektomi dianjurkan pada anemia hemolitik bawaan
dalam trimester II atau III. Pada anemia hemolitik yang diperoleh harus
dicari penyebabnya. Sebab-sebab itu harus disingkirkan, misalnya
pemberian obat-obat yang dapat menyebabkan kelumpuhan sumsum
tulang harus segera dihentikan.

2.4. Faktor Risiko


Menurut Proverawati (2011) tubuh berada pada resiko tinggi untuk anemia
selama hamil jika :

1) Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun atau mengalami dua kehamilan yang
berdekatan. Hal ini disebabkan kekurangan nutrisi yang merupakan
mekanisme biologis dan memulihkan faktor hormonal. Jarak kehamilan
sangat berpengaruh terhadap kejadian anemia pada saat kehamilan yang
berulang dalam waktu singkat akan mengurangi cadangan zat besi ibu.
Pengetahuan jarak kehamilan yang baik minimal 2 tahun menjadi penting
untuk diperhatikan sehingga badan ibu siap untuk menerima janin kembali
tanpa harus mengurangi cadangan zat besi. Pada kehamilan dengan jarak <
2 tahun keadaan endometrium mengalami perubahan, perubahan ini
berkaitan dengan persalinan sebelumnya yaitu timbulnya trombosis,
degenerasi dan nekrosis di tempat implantasi plasenta. Adanya
kemunduran fungsi dan berkurangnya vaskularisasi pada daerah
endometrium pada bagian korpus uteri mengakibatkan daerah tersebut
kurang subur sehingga kehamilan dengan jarak < 2 tahun dapat
menimbulkan kelainan yang berhubungan dengan letak dan keadaan
plasenta.
2) Hamil lebih dari satu anak (gemeli) Kehamilan ganda adalah kehamilan
dengan dua janin atau lebih. Kejadian kehamilan ganda dipengaruhi oleh
faktor keturunan, umur dan paritas. Kehamilan ganda sangat beresiko
mengalami komplikasi seperti anemia.
3) Umur (hamil saat remaja atau hamil terlalu tua) Usia ibu merupakan salah
satu faktor risiko yang berhubungan dengan kualitas kehamilan. Usia yang
paling aman atau bisa dikatakan waktu reproduksi sehat adalah antara
umur 20 tahun sampai umur 35 tahun. Penyulit pada kehamilan remaja
salah satunya pre eklamsi lebih tinggi dibandingkan waktu reproduksi
sehat. Keadaan ini disebabkab belum matangnya alat reproduksi untuk
hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan
dan pertumbuhan janin (Manuaba, 2010).
4) Hamil lebih dari 4 kali atau Multiparitas Paritas adalah jumlah kehamilan
yang menghasilkan janin mampu hidup diluar rahim. Paritas >4
merupakan faktor terjadinya anemia. Hal ini disebabkan karena terlalu
sering hamil dapat menguras cadangan zat gizi tubuh ibu (Arisman, 2010).
5) Tidak mengkonsumsi Fe Kebanyakan anemia dalam kehamilan
disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang
keduanya saling berinteraksi. (Saifuddin,2008)

2.5. Gejala Anemia


Untuk mengenali adanya anemia kita dapat melihat dengan adanya
gejala-gejala seperti keluhan letih, lemah, lesu, dan loyo yang berkepanjangan
merupakan gejala khas yang menyertai anemia. Selain gejala-gejala tersebut
biasanya juga akan muncul keluhan sering sakit kepala, sulit konsentrasi,
mukabibir-kelopak mata tampak pucat, telapak tangan tidak merah, nafas
terasa pendek, kehilangan selera makan serta daya kekebalan tubuh yang
rendah sehingga mudah terserang penyakit. Jika anemia bertambah berat bisa
menyebabkan stroke atau serangan jantung. Pada hamil muda sering terjadi
mual muntah yang lebih hebat. (Pratiwi,2019:86)

Table 1. Klasifikasi Anemia


Kadar Hemoglobin Kriteria

Hb 11 g% Tidak Anemia
Hb 9-10 g% Anemia Ringan
Hb 7-8 g% Anemia Sedang
Hb <7 g% Anemia Berat
Sumber : Manuaba dkk, 2010, halaman 239.
2.6. Pengaruh Anemia Dalam Kehamilan
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu dan
bagi janin, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun dalam nifas dan masa
selanjutnya. Berbagai penyulit dapat timbul akibat anemia menurut
Prawirohardjo (2009) hal tersebut meliputi :

1) Abortus
2) Partus prematur
3) Partus lama karena inertia uteri
4) Perdarahan post partum karena atonia uteri
5) Syok
6) Infeksi baik intrapartum atau postpartum
7) Anemia yang sangat berat dengan Hb <4g/100ml dapat menyebabkan
dekompensasi kordis

Sedangkan menurut Prawirohardjo (2009) anemia memberikan


pengaruh pada janin antara lain :
1) Kematian mudigah
2) Kematian perinatal
3) Prematuritas
4) Cacat bawaan
5) Cadangan besi berkurang

Jadi anemia dalam kehamilan merupakan sebab potensial morbiditas


serta mortalitas ibu dan anak.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/331324674_Prolaps_Organ_Panggul

http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/prolapsus-organ-panggul.html

Anda mungkin juga menyukai