Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi adalah kejang yang menyerang seseorang yang tampak sehat atau
sebagai suatu ekserbasi dalam kondisi sakit kronis sebagai akibat oleh disfungsi
otak sesaat dimanifestasikan sebagai fenomena motorik, sensorik, otonomik, atau
psikis yang abnormal. Epilepsi merupakan akibat dari gangguan otak kronis dengan
serangan kejang spontan yang berulang (Nurarif AH dan Kusuma H, 2013).
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya
muatan listrik abnormal sel-sel (Gofir A dan Wibowo S, 2006).

Gambar 1. Aktivitas Elektrik pada Epilepsi

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi internasional terhadap kejang (Smeltzer & Bare.(2012):
Kejang parsial (kejang yang dimuati setempat)
1. Kejang parsial sederhana (gejala,-gejala dasar, umumnya tanpa
gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala-gejala motorik
b. Dengan gejala-gejala sensorik khusus atau somatosensori
c. Dengan gejala-gejala otonomik
d. Bentuk-bentuk campuran
2. Kejang parsial kompleks (dengan gejala komplek, umumnya dengan
gangguan kesadaran)
a. Dengan hanya gangguan kesadaran
b. Dengan gejala-gejala kognitif
c. Dengan gejala-gejala afektif
d. Dengan gejala-gejala psikosensori
e. Dengan gejala-gejala psikomotor (automatis)
f. Bentuk-bentuk tambahan
3. Kejang parsial sekunder menyeluruh
Kejang umum (simetrik bilateral, tanpa awitan lokal)
a. Kejang tonik-klonik
b. Kejang tonik
c. Kejang klonik
d. Tidak ada kejang
e. Kejang atonik
f. Kejang mioklonik (epilepsy bilateral yang luas)
g. Spasme kelumpuhan
Gambar 2. Fase Tonik dan Fase Klonik pada Epilepsi

Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma, antara lain:


Localization-related (focal, partial) epilepsies
1. Idiopatik
a. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
b. Childhood epilepsy with occipital paroxysm
2. Symptomatic
a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang
predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing.
b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder
berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus
multipel atau fokus tidak diketahui.
c. Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik

Epilepsi Umum
1. Idiopatik
a. Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
b. Benign myoclonic epilepsy in infancy
c. Childhood absence epilepsy
d. Juvenile absence epilepsy
e. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
f. Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
g. Other generalized idiopathic epilepsies
2. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
a. West’s syndrome (infantile spasms)
b. Lennox gastaut syndrome
c. Epilepsy with myoclonic astatic seizures
d. Epilepsy with myoclonic absences
3. Simtomatik
a. Etiologi non spesifik
b. Early myoclonic encephalopathy
c. Specific disease states presenting with seizures

2.3 Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain (Mansjoer
Arif,2010):
1) Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
2) Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
3) Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells
4) Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
5) Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
6) Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya
toksolakmosis
7) Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural
8) Neoplasma otakadan selaputnya
9) Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
10) Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
11) Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi
serebral, dan lain-lain
3 Patofisiologi
Idiopatik, herediter, Ketidakseimbangan aliran
trauma kelahiran, infeksi Sistem saraf listrik pada sel saraf
perinatal, meningitis, dll

Epilepsi

Petitmal Akimetis Myolonik

Hilang tonus otot Keadaaan lemah Kontraksi tidak sadar


dan tidak sadar yang mendadak

Hambatan mobilitas fisik


Aktivitas kejang

Perubahan proses keluarga Hipoksia Jatuh

Kerusakan memori Resiko cedera


Perubahan status
kesehatan
Ketidakmampuan
keluarga mengambil Ketidakefektifan
Isolasi sosial tindakan yang tepat koping keluarga

Penyakit kronik
Ansietas Pengobatan,
keperawatan terbatas
Kurang pengetahuan Psikomotor
penatalaksanaan kejang

Gangguan neurologis Gangguan respiratori


Gangguan perkembangan

Grandmal
HDR

Hilang kesadaran Spasme otot pernapasan

Ketidakefektifan Obstruksi trakheobronkial


bersihan jalan nafas
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang (Price, S.A., Wilson, L.M. 2013)
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut (Price, S.A., Wilson, L.M. 2013):
 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas
muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran
darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin
muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat
mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang (Price, S.A., Wilson, L.M.
2013).
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin
(Price, S.A., Wilson, L.M. 2013).

2.4 Tanda dan gejala


Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International
League against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a. Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal
- Dengan gejala motorik
a) Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh
saja
b) Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
c) Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
d) Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
e) Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
- Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan bangkitan
yang disertai vertigo
a) somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum
b) visual: terlihat cahaya
c) auditoris: terdengar sesuatu
d) olfaktoris: terhidu sesuatu
e) gustatoris: terkecap sesuatu
f) disertai vertigo
- Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
- Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a) Disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat
b) Dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah
mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti
melihat lagi.
c) Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d) Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
e) Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar
f) Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik
melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b. Sawan parsial komplek
 Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
a. Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
b. Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah,
menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjlan,
mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak
permulaan serangan.
a. Hanya dengan penurunan kesadaran.
b. Dengan automatisme.
 Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik)
a. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjdi bangkitan umum.
c. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial komplek
selalu berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)


a. Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.
Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada
anak.
1) Hanya penurunan kesadaran.
2) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya
dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya
bilateral.
3) Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher,
lengan tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
4) Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
5) Dengan automatisme.
6) Dengan komponen autonom.
2 hingga 6 dapat tersendiri atau kombinasi
Lena tak khas (atypical absence)
Dapat disertai:
1) Gangguan tonus yang lebih jelas.
2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
c. Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot.
Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d. Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,
juga terdapat pada anak.
e. Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan
nama grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang otot-
otot seluruh badang. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan nafas
menjadi dlam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin pula
pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur
beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah
atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri
kepala.
f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien
terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama
sekali dijumpai pada anak.

3. Sawan tak tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau
pernafasan yang mendadak berhenti sementara.

Manifestasi klinis epilepsi adalah sebagai berikut (Nurarif AH dan Kusuma H,


2013) :
1. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jenis
kejang dapat bervariasi antara pasien, namun cenderung serupa pada satu
individu yang sama.
2. Kejang komplek parsial dapat termasuk gambaran somatosensori atau motor
fokal
3. Kejang komplek parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
4. Ketiadaan kejang dapat tampak relative ringan, dengan periode perubahan
kesadaran hanya sangat singkat (detik)
5. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis epilepsi, antara lain (Nurarif AH dan
Kusuma H, 2013):
1. Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal, antara lain:
a. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
b. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding
seharusnya misal gelombang delta.
c. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai
gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus
per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku
/ tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
2. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
computed tomography (CT Scan) maka magnetic resonance imaging (MRI) lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipocampus kanan dan kiri

2.6 Penatalaksanaan Medis


Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka
kesakitan dan kematian.
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni (Oktaviana F, 2008):
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan
pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap
samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan
tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya:
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga
pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan
klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan
eksitabilitas glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium (T) dan kalium.
5. Levetiracetam : Tidak diketahui
6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas chanel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated
chloride, modulasi efek reseptor GABA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.

Gambar 4. Pertolongan Pertama pada Epilepsi


Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat
dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian
sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.
Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni
sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan
OAE yakni (Oktaviana F, 2008):
1. Syarat umum yang meliputi :
 Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga
dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
 Gambaran EEG normal
 Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6bulan.
 Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1
OAE yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE
 Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
 Epilepsi simtomatik
 Gambaran EEG abnormal
 Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
 Penggunaan OAE lebih dari 1
 Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
 Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
 Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian
evaluasi.

2.7 Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


Data fokus yang perlu dikaji, antara lain (Smeltzer & Bare.(2012):
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan
pengkajian
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien
saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi,
pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan,
adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat
sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan
obat-obat tertentu/alkoholik)
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama
diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain
baik bersifat genetik maupun tidak
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi
apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori,
auditorik, olfaktorik
b. Pemeriksaan Fisik:
 Keadaan umum
 Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot
sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka
berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa
lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu
posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
 Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan
kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang
tonik, klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan
tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai?
 Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala,
gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa
yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah
perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi
cidera selama kejang (memer, luka gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas
yang dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
h) Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien,
keamanan lingkungan sekitar
2) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko
cidera pada saat serangan)
3) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9) Pola sexual reproduksi
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan kenyakinan

2.8 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi
adalah (Nurarif AH dan Kusuma H, 2013):
1. Ansietas b.d kemungkinan yang terjadi selama kejang
2. Kerusakan memori b.d gangguan neurologis
3. Resiko cedera
4. Ketidakmampuan koping keluarga b.d stress akibat epilepsi
5. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
6. Hambatan mobilitas fisik
7. Harga diri rendah situasional
8. Isolasi sosial b.d gangguan kesehatan

2.9 Rencana Keperawatan ()


Dx.1. Ansietas b.d kemungkinan yang terjadi selama kejang
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan tingkat kecemasan
klien/keluarga dapat berkurang.
- Kontrol kecemasan diri
- Tingkat kecemasan
- Koping
Kriteria Hasil:
- Klien/keluarga mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
kecemasan
- Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol kecemasan
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan.
NIC
Rencana intervensi yang akan dilakukan:
Penurunan Kecemasan

1. Kaji tingkat kecemasan klien dan reaksi fisik terhadap kecemasan (misalnya
takikardi, takipnea, dan ekspresi nonverbal dari kecemasan).
R/ kecemasan merupakan faktor risiko pada penyakit jantung seseorang.
2. Gunakan empati untuk menginterpretasikan gejala kecemasan secara normal.
R/ interaksi perawat dengan klien termasuk kualitas hidup mereka. Berikan
dukungan sosial dan psikologi depat menurunkan gejala dan masalah terkait
kecemasan.
3. Jelaskan semua aktivitas, prosedur, dan isu tentang klien; gunakan cara
nonmedis, ketenangan, dan bicara lembut.
R/ komunikasi efektif dari perawat kepada klien atau keluarganya dapat
membantu dalam menurunkan tingkat kecemasan
4. Berikan pilihan tentang harapan sebelum dan selama prosedur medis yang
berbahaya
R/ penggunaan music, story-telling, dan distraksi dapat membantu
menurunkan kecemasan.
5. Berikan sentuhan terapeutik dan tehnik sentuhan penyembuhan
R/ sentuhan penyembuhan (healing touch) mungkin dapat digunakan sebagai
intervensi keperawatan dalam menurunkan tingkat kecemasan.
6. Berikan pijatan untuk menurunkan kecemasan
R/ pijatan dan aromaterapi signifikan dalam menurunkan kecemasan.

Dx.2. Resiko cedera b.d kejang (epilepsy), disfungsi sensorik


NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak terjadi cedera
pada klien.
- Kontrol risiko
Kriteria Hasil:
- Klien terbebas dari cidera
- Klien menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
- Msmpu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury
- Mampu mengenali perubahan status kesehatan
NIC
Rencana intervensi yang akan dilakukan:
Environment Management (manajemen lingkungan)
1. Identifikasi factor lingkungan yang memungkinkan resiko terjadinya
cedera
R/ barang- barang di sekitar pasien dapat membahayakan saat terjadi kejang
2. Pantau status neurologis setiap 8 jam
R/ mengidentifikasi perkembangan atau penyimpangan hasil yang
diharapkan.
3. Jauhkan benda- benda yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
R/ mengurangi terjadinya cedera seperti akibat aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
4. Pasang penghalang tempat tidur pasien
R/ penjagaan untuk keamanan, untuk mencegah cidera atau jatuh
5. Letakkan pasien di tempat yang rendah dan datar
R/ area yang rendah dan datar dapat mencegah terjadinya cedera pada
pasien
6. Menyiapkan kain lunak untuk mencegah terjadinya tergigitnya lidah saat
terjadi kejang.
R/ lidah berpotensi tergigit saat kejang karena menjulur keluar
7. Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika merasa ada sesuatu yang tidak
nyaman, atau mengalami sesuatu yang tidak biasa sebagai permulaan
terjadinya kejang.
R/ sebagai informasi pada perawat untuk segera melakukan tindakan
sebelum terjadinya kejang berkelanjutan
8. Berikan obat anti konvulsan sesuai advice dokter
R/ mengurangi aktivitas kejang yang berkepanjangan, yang dapat
mengurangi suplai oksigen ke otak
9. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus dilakukan
selama pasien kejang
R/ melibatkan keluarga untuk mengurangi resiko cedera
Daftar Pustaka
1. Nurarif AH dan Kusuma H. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose
Medis dan Nanda-NIC-NOC jilid 1 dan 2. Panduan Penyusunan Asuhan
keperawatan professional. Yogyakarta: Media Action, 2013
2. Gofir A dan Wibowo S. Obat Antiepilepsi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press,
2006.
3. Smeltzer & Bare.(2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2). Jakarta EGC
4. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010.
5. Price SA & Wilson LM. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit Edisi
6 Volume 2. Jakarta: EGC, 2013.
6. Oktaviana F. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical
Development and Medical application Vol. 2,No.4 Edisi November - Desember
2008.
7. Moorhead, Sue, et all. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition.
USA: Mosbie Elsevier, 2010.
8. Bulecheck, Gloria M, et al. Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth
Edition. USA: Mosbie Elsevier, 2010.

Anda mungkin juga menyukai