Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GBS (Guillain-Barre Syndrome)

Guillain Barre Syndrome adalah penyakit tidak menular yang terjadi pada

sistem imun tubuh yang menyerang bagian perifer sistem saraf penderita. Penyakit

ini dapat menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin, dengan

kemungkinan yang sama besar sindrom ini hanya terjadi pada satu per seratus ribu

orang, beberapa hari sesudah penderita menunjukkan gejala infeksi virus pada

saluran pernapasan atau saluran pencernaan (Soedarto, 2012).

Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),

Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan

seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan

apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi

yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh

rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan

rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf

(Rahayu, 2012).

GBS Merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan

kadang-kadang dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai

menurunnya refleks. Selain itu kelumpuhan dapat juga terjadi di otot-otot

penggerak bola mata sehingga penderita melihat satu objek menjadi dua yang

dapat disertai gangguan koordinasi anggota gerak (Depkes, 2018).


Angka kejadian Guillain Barre Syndrome diperkirakan 1 sampai 2

penderita per 100.000 penduduk dibawah umur 18 tahun dalam 1 tahun. Penderita

laki-laki 1,5 kali lebih banyak daripada perempuan (Muid, 2014).

2.2 Manifestasi Klinis

Tanda gejala yang biasa ditemuikan pada Guillain Barre Syndrome menurut

Cardoba (2017) adalah :

1. Kesemutan yang dimulai pada kaki atau jari kaki

2. Kesemutan yang menyebar dengan sangatb cepat

3. Kesemutan yang melibatkan kedua tangan dan kaki

4. Kesulitan mengatur napas

5. Sering tersedak air liur

Pada dasarnya penyakit Guillain Barre Syndrome berbeda dengan penyakit

neurologi lainnya, penyakit ini menyerang pada bagian sistem saraf perifer yang

menyebabkan kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak

jarang yang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai

saja dan dapat pula terjadi paralisis total keempat anggota gerak terjadi secara

cepat, dalam waktu kurang dari 72 jam, keadaan inni disebut sebagai ascending

paralysis. Pasien Guillain Barre Syndrome berada pada kondisi kritis karena

mengalami depresi pada otot-otot pernapasan dan harus dirawatdi ruang intensif,

tetapi tidak sampai menimbulkan koma dan hanya mengalami penurunan

kesadaran pada tingkat somnolen (Parry, 1993 dalam Funkjaz, 2018).


Gejala klinis lainnya menurut Ariani (2012) yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe

lower motor newron. Pada sebagian besar kelumpuhan di mulai dari kedua

eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak

atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai

secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.

2. Gangguan sensibilitas

Parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga

bisa di kenai dengan distribusi sirkumolar.

3. Saraf kranialis

Yang paling sering di kenal adalah nervus VI. kelumpuhan otot sering di

mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di

temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali

nervus I dan nervus VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkena nervus IV atau

nervus III. bila nervus IX dan nervus X terkena akan menyebabkan gangguan

sukar menelan (disfagia) dan pada kasus yang berat menyebabkan pernapasan

karena paralisis dan laringeus

4. Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan

tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi

merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya

keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin


jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau

dua minggu.

5. Kegagalan pernapasan

Kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat

fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di

menyebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan,

yang di jumpai pada 10-33% penderita

6. Papiledema

Kadang-kadang di jumpai papiledema, penyebabnya belum di ketahui

dengan pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang

menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak

berkurang

2.3 Faktor Resiko

Guillain Barre syndrome dapat memengaruhi semua kelompok usia, tetapi

akan berisiko sangat besar bagi dewasa dan usia lanjut. GBS dapat dipicu oleh

Infeksi campylobacter (sejenis bakteri yang sering ditemukan dalam makanan

matang, terutama unggas), Mycoplasma Pneumonia, virus Epstein Barr, penyakit

hodgkin, mononucleosis, HIV (Human Immunodeficiency Virus), dan rabies

(Cardoba, 2017).

2.4 Etiologi

Etiologi tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon autoimun sangat

mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syndrom tersebut berasal

dari virus. Akan tetapi tidak ada virus yang terisolasi sejauh ini. GBS sering sekali

berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu

sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau

infeksi gastrointestinal. Pada beberapa keadaan hal ini dapat terjadi setelah

vaksinasi atau pembedahan. Hal ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus

primer, reaksi imun dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses. Salah

satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun

yang menyerang saraf perifer. Mielin adalah substansi yang ada disekitar atau

yang menyelimuti akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi Impuls

saraf (Sylvia dan Lorraine, 1995 dalam Muttaqin, 2011).

Menurut Japardi (2002) beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan

mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain :

1. Infeksi

Hal ini sejalan dengan penelitian Muid (2014), dilaporkan bahwa penyakit

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang mendahului Guillain Barre

Syndrome sebanyak 32 penderita (84,21%), ISPA disertai gastroenteritis

sebanyak 2 penderita (5,26%), sedangkan ISPA disertai dermatitis, morbili,

parotitis, dermatitis masing-masing 1 penderita (2,63%)

2. Vaksinasi

3. Pembedahan

4. Penyakit sistematik : keganasan, Systemic Lupus Erythematosus (SLE),

tiroiditis, penyakit addison

5. Kehamilan atau dalam masa nifas


2.5 Klasifikasi

Menurut (Japardi, 2002) beberapa macam sindroma Guillan-Barre dapat

diklasifikasikan, yaitu:

1. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)

Varian AMAN berkaitan erat dengan C. Jejuni dan disertai peningkatan

titer antibodi gangliosida (GM1, GD1a, GD1b). Pada varian ini ditemukan

gangguan motorik murni dan secara klinis menyerupai demielinisasi pada

GBS dengan paralisis asenden simetris. Varian ini dibedakan dengan GBS

klasik berdasarkan gambaran elektrofisiologi yang berupa aksonopati motorik

murni yang konsisten. Histopatologi menunjukkan degenerasi Wallerian tanpa

inflamasi limfositik signifikan. Banyak kasus ditemukan di area pedesaan

Cina terutama pada anak dan dewasa muda selama musim panas. Kasus

aksonal murni sering ditemukan di luar Eropa dan Amerika Utara.

Prognosisnya cukup baik melalui pemulihan yang cepat pada sebagian besar

kasus. Pada kasus yang berat pemulihan dapat berlangsung selama bertahun-

tahun (Hakim, 2011).

2. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)

Perjalanan varian ini cepat, disertai paralisis berat, proporsi pemakaian

ventilator yang tinggi dan pemulihan yang lambat dan tidak memuaskan, dan

berkaitan dengan C. jejuni. Pada varian ini diperkirakan terjadi demielinisasi

radikular yang diperantarai makrofag dan diikuti degenerasi Wallerian. Pada

pemeriksaan elektrofisiologis ditemukan ganguan aksonal motorik dan

sensorik dan sedikit demielinisasi (Hakim, 2011).


3. Fisher’s syndrome

Merupakan varian GBS yang sering ditemukan, sekitar 5% dari kasus

GBS. Manifestasinya berupa ataksia, oftalmoplegia, dan arefleksia. Ataksia

tampak prominen pada trunkus dan gait, tetapi tidak prominan pada

ekstremitas. Kekuatan motorik biasanya masih baik. Perjalanan penyakitnya

akan membaik secara gradual dan komplit dalam beberapa minggu atau bulan.

Terdapat asosiasi kuat dengan antibodi antigangliosida terutama antibodi anti-

GQ1b yang diinduksi C. jejuni. Konsentrasi antibodi tersebut ditemukan di

saraf okulomotor, troklear, dan abdusens yang menjelaskan manifestasi

oftalmoplegia (Hakim, 2011).

2.6 Patofisiologi

Akson bermielin menginduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson

yang tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan

dalam selaput (nodus ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson

dengan cairan ekstraseluler. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut,

sehingga konduksi menjadi baik.

Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat pada

nodus ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat

dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan

selaput mielin pada Guillain Barre Syndrome membuat konduksi saltatori tidak

mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan (Muttaqin, 2011).


2.7 Pathway
Proses autoimun

Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson

Konduksi salsatorik tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf

Gangguan fungsi syaraf perifer dan kranial

Guillain Barre Syndrome (GBS)

B1 B2 B3 B4 B5 B6
Penurunan Gangguan fungsi Gangguan saraf perifer dan
Gangguan saraf Disfungsi autoimun Perubahan
perifer dan fungsi perfusi jaringan saraf kranial neuromuskular
serebral III,IV,V,VI,VII,VII
neuromuskular Kurang beraksinya sistem Aliran darah ke I, IX dan X Parastesia (kesemutan) dan
saraf simpatis dan Penurunan ginjal menurun kelemahan otot kaki, yang
Paralisis lengkap, parasimpatis, perubahan tingkat Paralisis pada dapat berkembang ke
otot pernapasan sensori kesadaran Hipoperfusi okular, wajah dan ekstremitas atas, batang
terkena ginjal otot orofaring, tubuh dan otot wajah
Gangguan frekuensi kesulitan berbicara
jantung dan ritme, Resiko Penurunan dan menelan Kelemahan fisik umum,
Insufisiensi
perubahan tekanan cedera produksi urin paralisis otot wajah
pernapasan
Gangguan
Penurunan curah jantung Uremia pemenuhan nutrisi Penurunan tonus otot
Pola nafas tidak
dan cairan seluruh tubuh, perubahan
efektif
Gangguan estetika wajah
COP menurun
eliminasi urin Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Gangguan
Gangguan perfusi kebutuhan mobilitas fisik
jaringan
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome menurut Cardoba (2017) yaitu

setelah gejala pertama, kondisi cenderung semakin buruk selama dua minggu,

pemulihan dimulai biasanya berlangsung selama enam sampai dua belas bulan,

meskipun sebagian orang bisa memakan waktu selama tiga tahun. Tidak ada obat

untuk sindrom ini, tapi ada dua jenis perawatan yang mempercepat pemulihan dan

mengurangi keparahan sindrom tersebut yakni :

1. Plasmapheresis

Perawatan ini dikenal sebagai pertukaran plasma. Ini adalah jenis

pembersih darah. Plasmapheresis terdiri dari menghapus bagian cairan darah

(plasma) dan memisahkannya dari sel-sel darah yang sebenarnya. Sel-sel

darah kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh, yang memproduksi

lebih plasma untuk menebus apa yang telah dibapus. Tidak jelas mengapa

pengobatan ini bekerja, namun para ilmuan percaya bahwa plasmapheresis

menyingkirkan plasma tertentu yang berkontribusi terhadap sistem kekebalan

pada saraf perifer

2. Immunoglobulin intravena

Mengandung antibodi sehat dari donor darah. Dalam dosisi tinggi dapat

memblokir antibodi yang merusak sindrom tersebut.

2.9 Pencegahan

Salah satu jalan untuk mencegah Guillain Barre Syndrome adalah dengan

meningkatkan daya tahan tubuh saat tidak sakit dengan cara mengonsumsi protein

hewani dari daging dan ikan, nabati dari tempe dan tahu disertai sayur dan buah,

sehingga diharapkan kita jarang sakit influenza, karena daya tahan tubuh tinggi.
Selain itu perlu juga menjaga kebersihan tubuh dengan mandi dan cuci tangan bila

mau makan untuk menghindari infeksi kuman, virus atau bakteri yang

menyebabkan diare (Depkes, 2018).

2.10 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Guillain Barre Syndrome sangat tergantung pada riwayat

penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik. Tidak ada satu pemeriksaan pun

yang dapat memastikan Guillain Barre Syndrome; pemeriksaan tersebut hanya

menyingkirkan gangguan. Pungsi lumbal dapat menunjukkan kadar protein

normal pada awalnya, dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6.

Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf

dan pada pasien Guillain Barre Syndrome kecepatan konduksi akan menurun.

Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibodi baik terhadap

sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan bahwa suatu

perubahan respons imun pada antigen saraf perifer dapat menunjang

perkembangan ganggguan. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika Guillain

Barre Syndrome terduga sehingga dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan

sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas fungsi pulmonal dapat

menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik (Ariani, 2012).

1. Lumbal puncture : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal

dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata

dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan

tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri

pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam beberapa hari).


2. Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan

sindrom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan.

Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya

terjadi pada fase akhir.

3. Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.

4. Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari

gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.

5. Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas

vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.

Pada semua penderita dilakukan pemeriksaan klinis neurologis dan

laboratoris. Pemeriksaan klinis neurologis meliputi sensibilitas, reflek fisiologis,

refleks patologis dan derajat kelumpuhan motoris, sedangkan pemeriksaan

laboratoris meliputi kadar hemoglobin, jumlah lekosit, laju endap darah dan cairan

serebrospinal dengan pungsi lumbal. Pemeriksaan cairan serebrospinal dikerjakan

untuk mengetahui kadar protein dan jumlah sel (Muid, 2014).

2.11 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi bahkan bisa mengakibatkan kematian (Ilmiah, 2018).

2.12 Proses Keperawatan

2.11.1 Pengkajian

Menurut Doenges et., al (2012 dalam Akbar, 2014)

1. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik

kelemahan fisik secara umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot

pernapasan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pernapasan.

2. Riwayat kesehatan sekarang

Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap

hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang

dapat mengarah kepada aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas

dan bawah, kelainan dari fungsi kardiovaskuler yang dapat menyebabkan

disritmia jantung atau perubahan drastis yang dapat mengancam kehidupan

dalam tanda-tanda vital.

3. Riwayat kesehatan dahulu

Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan

atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi

gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang

dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik

dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik).

4. Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang

status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Mekanisme koping klien juga

penting dikaji untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta

respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan

keluarga ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan masalah

kesehatan saat ini. Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,

dan timbul pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga dikaji

dampak perawatan terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan

pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.

5. Pengkajian sistem motorik

Kekuatan otot menurun , kontrol keseimbangan dan koordinasi pada sindrom

Guillain Bare tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan

motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.

6. Pengkajian refleks

Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau

poriesteum derajat refleks pada respons normal. Pada gerakan Involunter tidak

ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan distonia.

7. Pengkajian sistem sensorik

Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat

berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Klien

mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

8. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan

pada B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien.

a) B1 (Breathing)

Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan

otot bantu napas, takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena

melemahnya otot-otot pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti

ronkhi akibat akumulasi secret dari infeksi saluran napas.


b) B2 (Blood)

Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan

perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan

darah meningkat (hipertensi transien) yang berhubungan dengan

penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

c) B3 (Brain)

a) Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran pada klien Guillaine Barre Syndrome biasanya

yaitu komposmentis. Tetapi dapat pula terjadi penurunan kesadaran,

dan penilaian GCS (Glasglow Coma Scale) sangat penting untuk

menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring

pemberian asuhan keperawatan.

b) Fungsi serebri

Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan

klien dan tingkah lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta

aktivitas motorik klien dimana pada tahap lanjut dapat disertai

penurunan tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien mengalami

perubahan.

c) Pemeriksaan saraf kranial

1) Saraf I : Biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman

normal.

2) Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

3) Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan

menutup kelopak mata, paralisis ocular


4) Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu

proses mengunyah

5) Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah

asimetris karena adanya paralisis unilateral

6) Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

7) Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran

berbicara, mengunyah dan menelan, sehingga mengganggu

pemenuhan nutrisi via oral

8) Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan

trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik

9) Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan

tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal.

d) Sistem motorik

Kekuatan otot menurun, pada klien Guillaine Barre Syndrome

tahap lanjut dapat terjadi perubahan control keseimbangan dan

koordinasi. Klien mengalami kelemahan motorick secara umum

sehingga mengganggu mobilitas fisik.

e) Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,

atau periosteum derajat refleks pada respon normal.

f) Gerakan involunter : tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK,

dan dystonia.

g) Sistem sensorik
Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki,

dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.

Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri

dan suhu.

d. B4 (Bladder)

Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan

berkurangnya volume haluaran urine.

e. B5 (Bowel)

Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan

asam lambung. Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta

gangguan proses menelan menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan

nutrisi.

f. B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran

menurunkan mobilitas klien secara umum.

2.11.2 Diagnosa yang Mungkin Muncul

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat

otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan

2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perubahan frekuensi,

irama dan konduksi elektrikel

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan asupan yang tidak adekuat

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,

penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran


5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan prognosis penyakit yang

tidak jelas, perubahan peran keluarga dan status sosioekonomi yang tidak

jelas

6. Resiko cedera berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan perubahan

kesehatan

2.11.3 Perencanaan

Tujuan utama pada asuhan keperawatan klien mencakup mempertahankan

fungsi pernapasan, mencapai mobilitas, terpenuhinya kebutuhan nutrisi normal,

mampu berkomunikasi, menurunnya ketakutan dan ansietas, serta tidak ada

komplikasi.

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Setelah dilakukan 1. Kaji fungsi paru, 1. Menjadi bahan parameter
asuhan keperawatn adanya bunyi napas monitoring serangan gagal
selama 3x24 jam tambahan, perubahan napas dan menjadi data
dengan diberikan irama dan kedalaman, dasar intervensi
tindakan pola napas penggunaan otot-otot selanjutnya
kembali efektif aksesoris 2. Tanda dan gejala adanya
dengan kriteria hasil 2. Evaluasi keluhan kesulitan bernapas saat
: sesak npas baik verbal bicara, pernapasan
1. Secara subyektif maupun non verbal dangkal dan ireguler,
sesak nafas (-) 3. Beri ventilasi menggunakan otot-otot
berkurang sampai mekanik aksesoris, takikardia dan
tidak ada 4. Lakukan pemeriksaan perubahan pola napas
2. Frekuensi napas kapasitas vital 3. Ventilasi mekanik
16-20 x/menit pernapasan digunakan pengkajian
3. Tidak 5. Kolaborasi pemberian sesuai kapasitas vital,
menggunakan humidifikasi dengan 3 klien memperlihatkan
otot bantu napas liter/menit perkembangan ke arah
4. Gerakan dada kemunduran yang
normal mengindikasi ke arah
memburuknya kekuatan
otot-otot pernapasan.
4. Kapasitas vital klien
dipantau lebih sering
dengan interval yang
teratur dalam penambahan
percepatan penambahan
dan kualitas pernapasan,
sehingga pernapasan yang
tidak efektif dapat
diantisipasi. Penurunan
kapasitas vital karena
kelemahan otot-otot yang
digunakan saat menelan,
sehinggan hal ini
menyebabkan kesulitan
saat batuk dan menelan
dan adanya indikasi
memburuknya fungsi
pernapasan
5. Membantu pemenuhan
oksigen yang sangat
diperlukan tubuh dengan
kondisi laju metabolisme
sedang meningkat

Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama dan


konduksi elektrikel
Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Setelah dilakukan 1. Auskultasi TD, 1. Hipotensi dapat terjadi s/d
asuhan keperawatan bandingkan kedua disfungsi ventrikel,
penurunan curah lengan, ukur dalam hipertensi juga fenomena
jantung tidak terjadi keadaan berbaring, umum s/d nyeri cemas
dengan kriteria hasil duduk atau berdiri pengeluaran katekolamin
: jika memungkinkan 2. Penurunan curah jantung
Stabilitas 2. Evaluasi kualitas dan mengakibatkan menurunya
hemodinamik baik kesamaan nadi kekuatan nadi
1. Tekanan darah 3. Catat murmur 3. Menunjukkan gangguan
dalam batas 4. Pantau frekuensi aliran darah dalam jantung
normal jantung dan irama ( kelainan katup, kerusakan
2. Curah jantung 5. Kolaborasi berikan septum, atau vibrasi otot
kembali tambahan O2 sesuai kapiler)
meningkat indikasi 4. Perubahan frekuensi dan
3. Input dan output irama jantung
sesuai menunjukkan komplikasi
4. Tidak disritmia
menunjukkan 5. Oksigen yang dihirup akan
tanda-tanda meningkatkan saturasi
diritmia oksigen darah
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
asupan yang tidak adekuat
Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan klien 1. Perhatian yang diberikan
asuhan keperawatan dalam pemenuhan nutrisi yang adekuat dan
selama 3 hari nutrisi secara oral pencegahan kelemahan
pemenuhan nutrisi 2. Monitor komplikasi otot karena kurang makan
klien terpenuhi akibat paralisi, 2. Ilius paralisis dapat
dengan kriteria hasil insufisiensi aktivitas disebabkan oleh
: para simpatis insufisiensi aktivitas
1. Tidak adanya 3. Berikan nutrisi via parasimpatis. Dalam
komplikasi selang ansogastrik kejadian ini, makanan
akibat 4. Berikan nutrisi via oral melalui intravena
penurunan bila paralisis menelan dipertimbangkan
asupan nutrisi berkurang diberikan oleh dokter dan
2. Nafsu makan perawat untuk memantau
bertambah bising usus sampai
terdengar
3. Jika klien tidak bisa
menelan maka makanan
yang diberikan harus
lewat selang lambung
4. Bila klien dapat menelan,
makanan melalui oral
diberikan perlahan-lahan
dan sangat berhati-hati

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,


penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran
Tujuan dan Intervensi Rasional
kriteria hasil
Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat 1. Merupakan data dasar
asuhan keperawatan kemampuan klien untuk melakukan
selama 3x24 jam dalam melakukan intervensi selanjutnya
tindakan mobilitas mobilitas fisik 2. Bila pemulihan mulai
klien meningkat atau 2. Dekatkan alat dan dilakukan, klien dapat
teradaptasi dengan sarang yang mengalami hipotensi
kriteria hasil : dibutuhkan klien ortostatik (dari disfungsi
1. Peningkatan dalam pemenuhan autonom) dan
kemampuan fisik aktivitas sehari-hari kemungkinan
dari sebelumnya 3. Hindari faktor yang membutuhkan tempat
2. Tidak terjadi memungkinkan meja, tempat tidur untuk
trombosis vena terjadinya trauma menolong mereka
profunda dan pada saat klien mengambil posisi duduk
emboli paru melakukan tegak
merupakan mobilisasi 3. Individu paralisis
ancaman klien 4. Sokong ekstremitas mempunyai
paralisis yang mengalami kemungkinan mengalami
3. Dekubitus tidak paralisis kompresi neuropati,
terjadi 5. Monitor komplikasi paling sering saraf ulnar
hambatan mobilitas dan perineal. Bantalan
fisik dapat ditempatkan disiku
6. Kolaborasi dengan dan kepala fibula untuk
tim fisioterapi mencegah terjadinya
masalah ini
4. Ekstremitas paralisis di
sokong dengan posisi
fungsional dengan
memberikan latihan
rentang gerak secara
pasif paling sedikit 2 kali
sehari
5. Deteksi dini trombosis
vena profundadan
dekubitus sehingga
dengan penemuan yang
cepat, penanganan lebih
mudah dilaksanakan
6. Kolaborasi dengan terapi
ahli fisik untuk
mencegah deformitas
kontraktur dengan
menggunakan pengubhan
posisi yang hati-hati dan
latihan rentang gerak

2.11.4 Pendidikan klien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah

Banyak klien syndorm guillain barre mengalami pemulihan yang sempurna dalam

beberapa minggu atau bulan. Klien yang pernah mengalami paralisis total atau

lama mungkin membutuhkan beberpa tipe rehabilitas yang dilakukan terus setelah

keluar dari rumah sakit. Program yang luas akan bergantung pada pengkajian

yang dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan. Alternatif program yang

komperhensif bagi klien jika dikurangi adalah penting dan dukungan sosial

dibatasi untuk program di rumah terhadap terapi fisik dan okupasi. Fase

pemulihan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran serta keterlibatan


pihak klien dan keluarga untuk mengembalikan kemampuan sebelumnya. Onset

akut dan perkembangan yang dramatik dari gejala-gejala yang ada tidak dapat

dilakukan penyelesaiannya dengan tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi

Muttaqin Arif (2011).


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, H. W. (2014). Askep GBS. Retrieved from


http://blognyahikmahadin2014.blogspot.co.id/2014/12/askep-gbs.html
Ariani, T. A. (2012). Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika. Cardoba,
M. F. (2017). Autoimmune The True Story. Jakarta: PT Gramedia. Funkjaz, Y.
(2018). Pengalaman Syndrome Guillain Barre (SGB) Pada Saat
Kondisi Kritis di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung, 1.
Hakim, M. (2011, November). Medicinus : Scientific Journal Of Pharmaceutical
Developmet And Medical Application. Medicinus, 24, 25–33. Retrieved from
http://www.dexa-medica.com/sites/default/files/MEDICINUS 2011 Des.pdf
Ilmiah, kartya tulis. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Masalah
Guillain Barre Syndrome (GBS).
Japardi, I. (2002). Sindroma Guillain-Barre, (1954), 1–8.
Muid, M. (2014). Manifestasi Klinis Dan Laboratoris Penderita Sindroma Guillain
Barre. Retrieved from file:///C:/Users/lenovo/Downloads/222-456-1-PB
(1).pdf
Muttaqin, A. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: EGC.
Rahayu, T. (2012). Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS).
Soedarto. (2012). Alergi dan Penyakit Sistem Imun : Alergi, Penyakit
Autoimun,Penyakit Kompleks Imun, Imunodefisiensi. Jakarta: CV. Sagung
Seto.

Anda mungkin juga menyukai