Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“INTEGRASI TERAPI CAM DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DEWASA KRITIS: STEMI”

MATA KULIAH KEPERAWATAN HOLISTIK


Dosen Pembimbing: Suhartini, S.Kp., MNS., Ph.D

Oleh: Kelompok III / Kelas B.18

Ibni Asriati 22020118183009


Bayu Risky Febryansah 22020118183010
Yunita Anggerina Koroh 22020118183017
Unggul Wasis Wicaksana 22020118183027
Zaenal Arifin 22020118183028

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
TAHUN 2019
DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………… Hal. i


Daftar Isi…………………………………………………………………. Hal. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………… Hal. 1
B. Tujuan……………………………………………………………. Hal. 2
BAB II STUDI KASUS
A. Gambaran Kasus…………………………………………………. Hal. 3
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian…………………………………………………… Hal. 3
2. Analisa Data…………………………………………………. Hal. 4
3. Diagnosa Keperawatan………………………………………. Hal. 5
4. Intervensi Keperawatan……………………………………… Hal. 5
BAB III PEMBAHASAN
A. Terapi Pijat………………………………………………………. Hal. 9
B. Terapi Musik……………………………………………………... Hal. 9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. Hal. iii
Lampiran…………………………………………………………………. Hal. iv

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Data The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME, 2017)
menunjukkan kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit terkait dengan jantung
dan pembuluh darah pada 2016 mencapai 17,7 juta jiwa atau sekitar 32,26% total
kematian di dunia. 63% kematian akibat penyakit kardiovaskular merupakan penderita
dengan usia di atas 70 tahun, 29,13% berusia 50-69 tahun dan 7,61% berusia 15-49
tahun. Data pasti tingkat kejadian, morbiditas, dan mortalitas infark miokard di
Indonesia terbatas. Secara nasional, prevalensi penyakit jantung koroner yang
didiagnosis dokter menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 sebesar 0,5% atau
diperkirakan sekitar 883.447 orang, dimana prevalensi paling tinggi berada di Provinsi
Jawa Barat sebanyak 160.812 orang atau 0,5% (Pusdatin Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2017).
Infark miokard umumnya disebabkan oleh iskemia lama yang terjadi akibat
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan akan oksigen. Faktor multipel
berperan sebagai penyebab ketidakseimbangan tersebut, namun adanya trombosis arteri
koronari menandakan sebagian besar kejadian infark miokard. Infark miokard akut
(IMA) dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI)
merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA). STEMI umumnya
terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya (Morton et al, 2005).
Keluhan yang umumnya terjadi pada pasien infark miokard adalah adanya
ketidaknyamanan atau nyeri dada. Nyeri tersebut digambarkan sebagai sensasi berat,
diremas atau tertindih sesuatu yang berat di atas dada. Nyeri tersebut sering berlangsung
lama dan tidak berkurang dengan istirahat atau pemberian Nitrogliserin sublingual
(Morton et al, 2005). Keluhan lain yang kerap dialami adalah adanya ansietas terhadap
penyakit dan keterpajanan pada lingkungan perawatan intensif. Perawat dalam
memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien untuk mengatasi keluhan-keluhan
tersebut dapat mengkombinasikan terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi
non-farmakologis (dalam hal ini intervensi complementary and alternative
medicine/CAM) yang dapat diterapkan sebagai bagian dari intervensi keperawatan
holistik untuk meningkatkan relaksasi pasien adalah antara lain dengan melakukan

1
massage dan intervensi terapi musik. Kedua intervensi ini akan dibahas dalam studi
kasus kelompok ini.

B. TUJUAN
Agar mahasiswa-mahasiswi dapat:
1. Memahami dan menerapkan proses asuhan keperawatan pada pasien dengan
STEMI;
2. Memahami dan menerapkan intervensi CAM pada pasien STEMI:
a. Terapi Pijat;
b. Terapi Musik.

2
BAB II STUDI KASUS

A. GAMBARAN KASUS
Tn. A, berusia 65 tahun, masuk dari IGD pada pukul 09.30 WIB dengan keluhan
nyeri dada dan didiagnosis mengalami infark miokard akut regio anteroseptal. Tn. A
mengeluhkan nyeri dada substernal yang menyebar ke punggung sejak 1 jam sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri tersebut tidak berkurang dengan istirahat dan pemberian
Nitrogliserin sublingual di IGD. Ia menggambarkan nyeri yang dialaminya sebagai
nyeri yang tumpul dan menilainya pada skala 8 pada skala nyeri 1-10. Tn. A memiliki
riwayat hipertensi, obesitas dan peningkatan kolesterol, alergi obat disangkal.
Pada saat pemeriksaan fisik, pasien nampak terjaga, waspada dan cenderung
gelisah, terorientasi dan kooperatif. Akral teraba dingin dan diaforesis. TTV yang
terukur adalah TD: 90/42 mmHg, HR: 110x/menit irregular, RR: 26x/menit dengan O2
2 lpm/nasal kanul, suhu: 36,6oC. Pemeriksaan jantungnya menunjukkan adanya bunyi
S1, S2 dan S3 dan tidak ada distensi vena jugularis. Auskultasi paru menunjukkan
crackles basilar bilateral. Ia tidak memiliki tanda-tanda sianosis atau clubbing finger.
Pemeriksaan abdomennya menunjukkan bising usus positif, abdomen teraba lunak dan
tidak ada nyeri tekan serta tidak teraba massa.
Perawat ICCU melakukan perekaman EKG 12 lead dan hasilnya menunjukkan
adanya elevasi ST-segment 4 mm pada lead V1 sampai V4. Hasil sampel darah
menunjukkan peningkatan kadar darah CK untuk MB, kadar troponin juga abnormal.
Tn. A direncanakan untuk menjalani angioplasty percutaneous transluminal coroner
(angioplasti koroner transluminal perkutan primer/AKTP).

B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 65 tahun
b. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri dada substernal yang menyebar ke punggung, nyeri
seperti ada yang ‘menindih’ dadanya, nyeri tidak hilang dengan istirahat dan
3
pemberian obat. Nyeri skala 8 pada skala nyeri 1-10, merasa kesulitan bernapas,
merasa lemah, gelisah dan cemas (merasa ‘akan meninggal’)
c. Riwayat Kesehatan dan Faktor Risiko
Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi, obesitas dan peningkatan
kolesterol. Riwayat alergi obat disangkal.
d. Pemeriksaan Fisik
 Pasien nampak terjaga, waspada, terorientasi dan
kooperatif;
Inspeksi  Tidak terdapat distensi vena jugularis;
 Diaforesis;
 Tidak memiliki tanda-tanda sianosis atau clubbing finger
 Akral teraba dingin;
 Nadi radialis irregular;
Palpasi
 Palpasi abdomen: abdomen teraba lunak dan tidak ada
nyeri tekan serta tidak teraba massa
 Auskultasi jantung: bunyi S1, S2 dan S3;
Auskultasi  Auskultasi paru: crackles basilar bilateral;
 Auskultasi abdomen: bising usus positif
 TD: 90/42 mmHg;
 HR: 110x/menit irregular;
TTV
 RR: 26x/menit dengan O2 2 lpm/nasal kanul;
 Suhu: 36,6oC

e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan  Peningkatan kadar darah CK untuk MB;
laboratorium jantung  Kadar troponin abnormal
EKG Elevasi ST-segment 4 mm pada lead V1 sampai V4

2. Analisa Data
No. Data Subyektif Data Obyektif
1.  Pasien mengatakan mengalami  Nyeri skala 8 pada skala nyeri 1-
nyeri dada yang menyebar ke 10;
punggung sejak 1 jam sebelum  Pasien nampak gelisah dan pucat;
masuk rumah sakit;  HR 100x/menit;
 Nyeri dada tidak berkurang  Hasil EKG: elevasi ST-segment 4
dengan istirahat, bahkan dengan mm pada lead V1 sampai V4
pemberian obat dibawah lidah di
IGD;
 Nyeri dirasakan seperti ada benda
berat yang mendindih dadanya,
pasien merasa tidak nyaman.

2.  Pasien mengatakan detak jantung  HR: 110x/menit irregular;


tidak teratur

4
 Hasil EKG: elevasi ST-segment 4
mm pada lead V1 sampai V4;
 Hasil laboratorium: peningkatan
kadar darah CK;
 S1, S2 dan S3 pada auskultasi
jantung.

3.  Pasien mengatakan kesulitan Dyspnea;


bernapas (sesak napas) Nyeri dada kiri;
Akral teraba dingin;
Diaforesis;
RR: 26x/menit dengan O2 2
lpm/nasal kanul;
 Crackles basilar bilateral pada
auskultasi paru;
 Hasil EKG: elevasi ST-segment 4
mm pada lead V1 sampai V4.

4.  Pasien mengatakan cemas  Gelisah;


terhadap penyakit yang dialami,  Tidak bisa tenang
merasa akan meninggal

3. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman: nyeri dada berhubungan dengan infark miokard;
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan faktor-faktor listrik
dan penurunan karakteristik miokard;
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru dan perubahan membran alveolar-kapiler;
d. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan penyakit, kematian dan
lingkungan perawatan kritis.

4. Rencana dan Intervensi Keperawatan


Diagnosa
Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Gangguan Kenyamanan/Pengendalian
rasa nyaman: Nyeri:
nyeri dada  Pasien mengalami  Gunakan skala analog visual
berhubungan berkurangnya nyeri dada; untuk mengkaji kuantitas
dengan infark  Tidak ada tanda-tanda nyeri;
miokard nyeri seperti peningkatan  Kaji kualitas, durasi dan
denyut jantung, TD, lokasi nyeri;
pernapasan atau agitasi
selama prosedur

5
 Berikan morfin sulfat IV,
pantau nyeri serta respon
hemodinamik;
 Berikan analgesik secara tepat
untuk mengatasi nyeri dada
dan kaji responnya;
 Pantau respons fisiologis
terhadap nyeri selama
prosedur atau setelah
pemberian obat nyeri;
 Sediakan lingkungan yang
tenang;
 Lakukan massage

Penurunan  TTV dalam batas normal;  Pantau frekuensi jantung dan


curah jantung  MAP >70 mmHg. TD setiap 1-2 jam dan kalau
berhubungan perlu selama fase akut;
dengan  Bantu dengan pemasangan
perubahan kateter pulmonari;
faktor-faktor  Pantau PAP dan PAWP, CVP
listrik dan atau tekanan atrium kanan
penurunan (RAP) setiap 1 jam; pantau
karakteristik curah jantung, SVR dan PVR
miokard setiap 6-12 jam;
 Pertahankan akses IV paten;
 Beri agens inotropik positif
dan kurangi afterload dengan
agens vasodilatasi yang
dipandu oleh parameter
hemodinamik dan instruksi
dokter;
 Evaluasi efek obat pada TD,
frekuensi jantung dan
parameter hemodinamik;
 Siapkan pasien untuk pompa
balon intra-aortik jika perlu.
 Pasien tidak memiliki  Batasi pemberian volume
tanda-tanda gagal jantung seperti yang diindikasikan
kongestif akibat oleh nilai PAWP dan CVP;
penurunan curah jantung  Kaji adanya distensi vena
jugularis, cracles paru, bunyi
jantung S3 atau S4, edema
perifer, peningkatan
parameter beban hulu, elevasi
“satu” gelombang CVP, RAP
atau gelombang TAP;
 Pantau EKG 12-lead setiap
hari dan kalau perlu
 Pasien tidak menunjukkan
tanda-tanda disfungsi

6
miokardium lebih lanjut,  Pantau penanda jantung,
seperti perubahan EKG magnesium, fosfor, kalsium
atau enzim jantung dan kalium sesuai instruksi;
 Pantau EKG untuk
mengetahui adanya perubahan
yang sesuai dengan infark
miokard yang berkembang;
 Pertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan
sadapan dada prekordium
kanan, EKG 12-lead jika
ventrikel kanan/dinding
inferior terlihat;
 Laporkan dan atasi
abnormalitas per protokol
atau program;
 Disritmia terkontrol;  Lakukan pemantauan EKG
yang berkelanjutan;
 Antisipasi kebutuhan/berikan
 Setelah terapi trombolitik, agens farmakologis untuk
nyeri pasien akan mengendalikan disritmia;
berkurang; tidak ada  Kaji, pantau dan atasi nyeri
tanda-tanda perdarahan; yang dialami;
tidak ada tanda-tanda  Pantau tanda-tanda reperfusi
reaksi alergi (disritmia, ST segmen
kembali ke garis dasar;
 Pantau tanda-tanda
perdarahan;
 Pantau PT,APTT;
 Kaji adanya gatal, awitan
mendadak hipotensi atau
 Tidak ada tanda-tanda takikardi;
syok kardiogenik,  Pantau adanya perubahan
disfungsi katup jantung pada EKG, bunyi jantung,
atau defek septum parameter hemodinamika,
ventrikel tingkat kesadaran dan suara
napas;
 Laporkan dan atasi perubahan
yang mengganggu sesuai
indikasi.

Kerusakan Oksigenasi/ventilasi efektif:


pertukaran gas  Hasil gas darah arteri  Kaji frekuensi pernapasan,
berhubungan dalam batas normal; usaha napas dan suara napas
dengan  Nilai oksimeter nadi setiap 2-4 jam;
gangguan >90%.  Dapatkan hasil gas darah
aliran darah ke arteri per instruksi atau tanda-
alveoli atau tanda distres pernapasan;
kegagalan  Pantau saturasi arteri melalui
utama paru oksimetri nadi;

7
dan perubahan  Beri oksigen melalui nasal
membran kanul atau masker selama 6
alveolar- jam pertama, kemudian sesuai
kapiler kebutuhan;
 Tidak ada tanda-tanda  Lakukan pemeriksaan rontgen
edema paru pada rontgen dada setiap hari;
dada  Berikan diuretik per instruksi;
 Pantau tanda-tanda kelebihan
cairan;
 Tidak ada tanda-tanda  Ketika menjalani tirah baring,
atelectasis ubah posisi setiap 2 jam.

Ansietas Reduksi ansietas:


berhubungan  Pasien menunjukkan  Kaji tanda-tanda vital,
dengan penurunan ansietas misalnya selama prosedur
ketakutan melalui sikap yang tenang tindakan, selama pemberian
akan penyakit, dan tandaa-tanda vital obat;
kematian dan yang stabil, misalnya  Berikan penjelasan dan
lingkungan selama prosedur penanganan yang stabil
perawatan dengan sikap tenang dan care;
kritis.  Berikan sedatif sesuai
instruksi dengan hati-hati,
pantau responnya;
 Konsultasikan dengan
rohaniawan bila diperlukan;
 Kaji riwayat mekanisme
koping;
 Izinkan untuk
mengekspresikan perasaan;
 Pasien/keluarga  Dorong partisipasi
mengajukan pertanyaan pasien/keluarga dalam
dan berpartisipasi dalam perawatan sedini mungkin;
perawatan  Berikan waktu untuk
istirahat/tidur yang adekuat;
 Sediakan lingkungan yang
tenang;
 Berikan terapi musik.

8
BAB III PEMBAHASAN

A. TERAPI PIJAT (MASSAGE THERAPY)


Keluhan yang umumnya terjadi pada pasien infark miokard adalah adanya
ketidaknyamanan atau nyeri dada yang berdampak pada penurunan kualitas hidup
pasien. Salah satu terapi non-farmakologi (dalam kategori CAM) yang dapat
diaplikasikan guna mengatasi keluhan nyeri pada pasien STEMI adalah pemberian
terapi pijat (massage therapy). Hal ini telah terbukti keefektifannya dengan berbagai
penelitian klinis yang telah dilakukan.
Salah satu penelitian yang dilakukan di Indonesia adalah oleh Hariyanto et al
(2015) yang berjudul “Efektivitas Foot and Hand Massage terhadap Respon Fisiologis
dan Intensitas Nyeri pada Pasien Infark Miokard Akut di ruang ICCU RS di
Tulungagung”. Penelitian ini menggunakan Randomized Pretest-Posttest Control
Group dengan 36 responden (pasien IMA dengan usia rata-rata >40 tahun), yang terbagi
menjadi 18 reponden kelompok perlakuan dan 18 responden kelompok kontrol. Foot
hand massage diaplikasikan pada kelompok intervensi sebanyak 4 kali pertemuan
selama 20 menit dalam 2 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa foot hand massage
yang diaplikasikan pada kelompok intervensi berpengaruh signifikan terhadap respon
fisiologis nyeri pasien (TD sistol, TD diastol, nadi dan respirasi) dan penurunan
intensitas nyeri (94% pada skala nyeri ringan). Hasil ini mendukung penerapan
intervensi terapi pijat pada pasien STEMI seterti yang dibahas dalam Bab II.
Pemijatan merupakan proses penyembuhan alami yang membantu
menghubungkan tubuh, pikiran, dan spirit yang menghasilkan efek terapi pada
beberapa sistem tubuh (integumen, muskuloskeletal, kardiovaskular, getah bening, dan
saraf). Hasil yang terapeutik yang diinginkan dari pijatan untuk mereduksi nyeri erat
terkait dengan produksi respons relaksasi. Dampak positif dari pijatan pada
pengurangan nyeri dikaitkan dengan gate control of pain theory, yangmana dengan
pijat dapat merangsang serabut saraf berdiameter besar yang memiliki input
penghambatan pada sel-T (Snyder & Lindsquit, 2006).

B. TERAPI MUSIK
Ansietas umumnya dialami oleh pasien yang dirawat di ruang perawatan
intensif, baik cemas terhadap penyakit yang dialami maupun karena pengaruh sensasi
berada di ruang perawatan intensif. Terapi farmakologi untuk mengatasi ansietas pada
9
pasien dapat dikombinasikan dengan penerapan intervensi non-farmakologi guna
mencegah ketergantungan pasien pada terapi farmakologi. Salah satu intervensi yang
dapat digunakan dalam penerapan asuhan keperawatan holistik adalah terapi musik.
Musik memiliki sejarah panjang sebagai alat terapi dalam praktik
penyembuhan. Nightingale mengakui kekuatan penyembuhan melalui musik dan
menemukan bahwa bunyi-bunyian bisa membantu sebagai milieu therapy dalam
menyembuhkan karena dapat meningkatkan relaksasi. Penelitian terus dilakukan dari
waktu ke waktu untuk membuktikan bahwa musik memiliki efek terapi sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu intervensi asuhan keperawatan pada pasien.
Penelitian oleh Suhartini (2008) yang berjudul “Effectiveness of Music Therapy
toward Reducing Patient’s Anxiety in Intensive Care Unit” dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui seberapa besar dampak terapi musik berpengaruh pada perubahan
respon fisiologis terhadap kecemasan yang dilihat dari tekanan darah, respirasi dan
nadi. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan menggunakan
one group pre-test dan post-test design tanpa grup kontrol. Berdasarkan hasil penelitian,
90% responden mengalami perubahan penurunan tekanan darah sistol, 95% responden
mengalami perubahan penurunan tekanan darah diastole, 60% responden mengalami
perubahan penurunan respirasi dan 100% responden mengalami perubahan penurunan
nadi. Peneliti menyimpulkan bahwa terapi musik efektif untuk menurunkan perubahan
respon fisiologis terhadap kecemasan pasien yang dirawat diruang ICU-ICCU sehingga
peneliti menyarankan untuk menerapkan intervensi terapi musik ini di lingkungan
rumah sakit.
Intervensi musik untuk tujuan relaksasi memanfaatkan musik sebagai stimulus
yang menyenangkan untuk menghalangi sensasi kecemasan, ketakutan, dan ketegangan
dan untuk mengalihkan perhatian dari pikiran yang tidak menyenangkan. Musik yang
menenangkan harus memiliki tempo pada atau di bawah detak jantung dalam keadaan
istirahat (kurang dari 80 beat) dengan dinamika yang dapat diprediksi; harmoni yang
menyenangkan; irama teratur tanpa perubahan mendadak; dan kualitas nada. Instrumen
yang dianjurkan adalah lebih banyak string, misalnya gitar, harpa, biola atau piano
dengan minimal drum atau perkusi (Chlan, 2006).
Ritme musik yang lambat atau sedang dapat mengurangi kecemasan pasien
selama kondisi kritis, yangmana membantu pasien agar lebih rileks. Peningkatan
komunikasi perawat intensif dengan pasien selama waktu perawatan untuk
mendapatkan informasi yang akurat mengenai preferensi pasien terhadap musik
10
merupakan hal yang sangat penting dilakukan agar tujuan intervensi terapi musik dapat
tercapai (Suhartini, 2008). Volume yang dapat meningkatkan efek terapeutik bagi
pendengarnya adalah 40-60 decibel (dB) dan yang disarankan adalah maksimum 60 dB
selama 20-60 menit selama dalam sekali sesi (Chlan, 2006).

11
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dotcherman, J. M., & Wagner, C. M. (2016). Nursing
intervention classification (NIC) 6th edition (E. Nurjannah & R.D. Tumanggor, eds.).
Singapore: Elsevier.

Chlan, L. dalam: Snyder, M., Lindquist, R. (2006). Complementary/alternative therapies in


nursing 5th edition (Music intervention). New York: Springer Publishing Company.

Hariyanto, A., Hadisaputro, S & Supriyadi. (2015). Efektivitas foot and hand massage terhadap
respon fisiologis dan intensitas nyeri pada pasien infark miokard akut di ruang iccu rs di
tulungagung. Jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan desember 2015 2[3]: 113-122.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcome
classification (NOC) 5th edition (E. Nurjannah & R.D. Tumanggor, Penerjemah).
Singapore: Elsevier.

Morton, P.G., Fontaine, D., Hudak, C.M dan Gallo, B.M. (2005). Keperawatan Kritis,
Pendekatan Asuhan Holistik 8st Edition (Nike B. S, Nurwahyu, Eka A.M dan PAmilih
E.K, Penerjemah. Jakarta: EGC

NANDA International. (2018). Nursing diagnoses: Definitions & classification 2018-2020 11th
edition, editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru (Budi A. K, Henny S.M, Teuku
T., Penerjemah). Jakarta: EGC.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Data dan
Informasi: Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Snyder, M. (2006). Massage. Dalam M. Snyder & R. Lindquist (Eds.),


Complementary/alternative therapies in nursing 5th edition: 285-294). New York: Springer

Suhartini. (2008). Effectiveness of music therapy toward reducing patient’s anxiety in intensive
care unit. Media Ners Mei 2008 2[1]: 31-35, doi: 10.14710/nmjn.v2i1.737.

The Institute for Health Metrics and Evaluation. (2017). Info-graphic Burden Diabetes and
Cardiovascular Diseases. Diakses dari http://www.healthdata.org/

iii

Anda mungkin juga menyukai