Anda di halaman 1dari 17

Mata kuliah: Akuntansi Perbankan

MINI RISET/PROJEK
ANALISIS LAPORAN KEUANGAN BANK BNI DAN BANK BCA
Oleh:
Ananda Maulianda 7151142005
Armelia Siahaan 7153142004
Ayu Purnama Sari 7151142006
Dona Kristiani M. Tambunan 7151142010

Dosen Pengampu:
Ramdhansyah, M.Acc
Gaffar Hafiz Sagala, S.Pd, M.Si

PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
BANK BNI
Analisis Laporan Keuangan Bank Negara Indonesia (BNI)
Bank Negara Indonesia (BNI) didirikan pada tahun 1946 dengan nama “Bank
Negara Indonesia” ini berada pada peringkat #1.063 dalam 2000 perusahaan
dunia di Forbes The Global 2000 tahun 2016. VCN BNI adalah salah satu service
dari bank BUMN ini . Dan berikut data-data keuangan yang diambil dari Forbes:
1. Kondisi Modal

Dari Laporan Keuangan BNI per 31 Desember 2015 diperoleh data-data kondisi
modal BNI sebagai berikut :

a) Modal
Seperti pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa modal BNI meningkat dari Rp
50,35 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 73,79 triliun pada Desember 2015
atau sebesar 46,57%. Kenaikan modal tersebut karena peningkatan modal inti dan
modal pelengkap BNI. Modal inti adalah modal bank yang terdiri dari modal inti
utama dan modal inti tambahan. Masih dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa
modal inti BNI meningkat dari Rp 47,6 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp
64,3 triliun pada Desember 2015 atau sebesar 34,9%.
Ada dua faktor yang mempengaruhi peningkatan modal inti di tahun 2015,
pertama adalah peningkatan tersebut didominasi oleh revaluasi aset tetap yang
dilakukan oleh BNI di Desember 2015. Faktor kedua adalah pengakuan laba tahun
berjalan yang diakui 100% sesuai dengan PBI No.15/12/PBI/2013 tanggal 12
Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
yang baru berlaku sejak Januari 2015. Sebelumnya hanya diakui 50% sesuai
dengan PBI No.14/18/PBI/2012.
Modal pelengkap (mengacu pada modal bank) terdiri dari cadangan umum aset
produktif dan cadangan tujuan. Modal pelengkap BNI mengalami peningkatan
dari Rp 2,7 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 9,5 triliun pada Desember
2015 atau sebesar 251,9%. Peningkatan modal pelengkap disebabkan penerapan
Peraturan Bank Indonesia No.15/12/PBI/2013 yang berlaku sejak 1 Januari 2015.
Sehingga menyebabkan perubahan signifikan pada cadangan tujuan yang
sebelumnya termasuk pada modal inti diklasifikasikan menjadi modal pelengkap.
Peningkatan modal pelengkap juga merupakan salah satu hasil keputusan Rapat
Umum.
Pemegang Saham (RUPS) tahun buku 2014 pada tanggal 24 Maret 2015 tentang
penggunaan Laba Bersih Tahun 2014 sebesar 16,65% nya atau sebesar Rp 1,8
triliun sebagai cadangan tujuan guna mendukung investasi. Selain itu juga
terdapat kenaikan cadangan kerugian aset produktif sebesar Rp 2,3 triliun, yang
merupakan penjumlahan seluruh CKPN aset produktif kualitas lancar.
b) Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Untuk memenuhi kebutuhan permodalan berdasarkan Basel III, BNI mencatat
ATMR setelah risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional sebesar
Rp 378,6 triliun di tahun 2015 atau naik sebesar 21,9% dibandingkan Desember
2014. Naiknya ATMR tersebut seiring dengan tumbuhnya aset BNI yang cukup
agresif di tahun 2015 atau sebesar 22,1%. Mengingat pentingnya struktur modal
dalam mendukung ekspansi usaha di tahun yang akan datang, BNI bertekad untuk
mengelola struktur modal yang sehat dan kuat sehingga mampu mendukung
pertumbuhan usaha secara maksimal.
c) Rasio Kecukupan Modal (CAR)
Rasio kecukupan modal (CAR) pada Desember 2015 meningkat menjadi 19,5%
dari 16,2%di Desember 2014. Peningkatan terjadi karena naiknya komponen
modal BNI di tahun 2015 dibanding tahun 2014 sebesar 46,6%. Kenaikan tersebut
diikuti oleh kenaikan modal pada tier I dari 15,3% pada tahun 2014 menjadi
17,0% pada tahun 2015. Sedangkan peningkatan ATMR hanya sebesar 21,9%
yang lebih rendah dari peningkatan komponen modal sehingga meningkatkan
CAR.
CAR BNI di tahun 2015 jauh lebih tinggi dari rasio kecukupan minimum yang
ditetapkan Bank Indonesia yakni minimum 9% dari ATMR untuk bank dengan
profil risiko peringkat 2.
d) Rasio Modal Inti to Total Modal
Rasio modal inti atau tier 1 capital terhadap total modal tahun 2015 berada
87,06% turun dari posisi tahun 2014 sebesar 94,07% keduanya masih di atas
level 80%. Porsi modal inti tehadap total modal tersebut tergolong baik.
e) Rasio Modal to Total Asset
Rasio modal to total asset tahun 2015 sebesar 15,42% naik 20,47% dari tahun
2014 di posisi 12.80%. Hal ini dikarenakan peningkatan modal lebih besar
(46,57%) dari pada peningkatan total asset (21,67%). Rasio ini menunjukkan
coverage equity dalam menyerap kerugian terhadap total asset meningkat yaitu
12,80% di tahun 2014 menjadi 15,42% di tahun 2015.
Dari hasil analisis laporan keuangan bank BNI di atas menunjukkan kondisi
permodalan BNI tergolong kuat dengan level quality CAR berada diatas ketentuan
minimum Bank Indonesia, dan didukung oleh porsi modal inti yang berada di
atas level 80%.

2. Asset Quality (Kualitas Aset)


Untuk menganalisa kualitas aset dari BNI tahun 2014 dan 2015 berikut ini ada
dua tabel yang diperoleh dari data Laporan Keuangan BNI tahun 2015.
a) Asset
Sejalan dengan strategi BNI dalam rangka meningkatkan aset, aset BNI di tahun
2015 meningkat secara agresif sebesar 21,67% bila dibandingkan tahun 2014
sebesar Rp 393,47 triliun menjadi Rp 478,72 triliun. Pendorong utama
pertumbuhan aset adalah peningkatan pinjaman yang diberikan mencapai 17,42%
atau sebesar Rp 45,73 triliun. Peningkatan juga terjadi pada penempatan pada
bank Lain dan Bank Indonesia yang naik Rp 18,9 triliun atau sebesar 130,0%
dibandingkan tahun lalu. Peningkatan ketiga terbesar pada aset tetap sebesar Rp
14,5 triliun atau 233,6% dibandingkan tahun 2014 yang tercatat Rp 6,2 triliun,
yang terutama disebabkan oleh surplus atas revaluasi aset.
b) Gross Loans
Pertumbuhan kredit BNI tahun 2015 naik sebesar 17,42% atau sebesar Rp. 45.73
triliun dari Rp.262,58 triliun di tahun 2014 menjadi Rp. 308.30 triliun.
c) Non Performing Loans (NPL)
NPL atau Non-Performing Loans Ratio Bruto BNI naik dari 1,96% pada tahun
2014 menjadi 2.70% pada tahun 2015. Angka tersebut masih dibawah level yang
ditentukan Bank Indonesia sebesar 5% dan di tingkat yang dapat diterima.
Kondisi ekonomi global di tahun 2015 yang tidak menentu mengakibatkan
pertumbuhan dunia usaha di Indonesia menjadi semakin berat.
Namun hal ini menjadi tantangan bagi BNI untuk tetap tumbuh dengan tetap
menjaga kualitas pertumbuhannya tersebut. Untuk mengantisipasi peningkatan
pada NPL, BNI menerapkan prinsip konservatif proaktif dengan meningkatkan
cadangan kerugian penurunan nilai untuk pinjaman diberikan. Dalam rangka
mengantisipasi kondisi ekonomi dan ketidakpastian dunia usaha Indonesia sebagai
akibat kondisi ekonomi secara global, BNI telah melakukan pencadangan yang
cukup untuk mengantisipasi pinjaman yang bermasalah.
d) Rasio Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) terhadap Aset
Produktif
Rasio CKPN terhadap aset produktif menunjukkan peningkatan menjadi 2,48%
pada tahun 2015 dari 1,74% pada tahun 2014. Besarnya peningkatan
pembentukan CKPN tersebut, menyebabkan laba bersih sebesar Rp 8,67 triliun
pada tahun 2015 lebih rendah dibanding laba bersih pada periode sebelumnya
yang nilainya mencapai Rp 10,5 triliun.
e) Rasio Loan Loss Provision to Gross Loan
Rasio loan loss provision to gross loan menunjukkan peningkatan menjadi 2.34%
pada tahun 2015 dari sebesar 1.36% di tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa
biaya kerugian penurunan nilai dan hapus buku kredit dibandingkan dengan total
kredit relatif kecil.
f) Rasio Pemenuhan PPA (Penyisihan Penghapusan Aset)
Rasio pemenuhan PPA (penyisihan penghapusan aset) pada tahun 2015 sebesar
116.37%. Hal ini menunjukkan penurunan dari tahun 2014 sebesar 121.67%.
Dengan rasio PPA sebesar 116,37% pada tahun 2015, hal ini berarti penyediaan
pencadangan kuat, karena masih berada diatas 100%. Selain itu juga menunjukkan
bahwa potensi kerugian karena non performing aset sepenuhnya tercover dari
penyisihan penghapusan aset yang dibentuk.
Berdasarkan data-data rasio di atas maka secara umum, kualitas aset BNI
tergolong sangat baik karena rasio NPL jauh di bawah level yang ditentukan oleh
Bank Indonesia dan coverage ratio atas aset bermasalah berada diatas 100%.

3. Earning & Efficiency


Untuk menganalisa earning dan efficiency BNI, berikut ini data rasio-rasio
keuangan yang saya peroleh dari Laporan Keuangan BNI tahun 2015 :

Dari tabel rasio-rasio keuangan di atas akan diperoleh data pertumbuhan kinerja
keuangan dan rasio-rasio lain yang digunakan untuk menilai earning dan efisiensi
BNI tahun 2015, berikut ini data-datanya:

a) Total Profit
Hasil analisis laporan keuangan bank BNI, menunjukkan penurunan total profit
menjadi Rp. 8,63 triliun pada tahun 2015 dari Rp 10,51 pada tahun 2014.
Penurunan laba ini karena adanya peningkatan pembentukan CKPN dari 1,74%
pada tahun 2014 menjadi 2,48% pada tahun 2015.
b) Return on Asset (ROA)
Return on Assets (ROA) BNI menurun bila dibandingkan dengan Desember 2014
yang tercatat 3,49% menjadi 2,64% di Desember 2015. Penurunan tersebut seiring
dengan penurunan pada laba sebelum pajak.
c) Return on Equity (ROE)
Return on Equity (ROE) mengukur tingkat pengembalian atas modal inti. Seiring
dengan menurunnya laba bersih BNI, ROE turun dari 23,64% menjadi 17,21%
pada Desember 2015.
d) Margin Bunga Bersih (Net Interest Margin)
Net Interest Margin (NIM) pada Desember 2015 sebesar 6,4%, meningkat
dibandingkan Desember 2014 sebesar 6,3%.
e) BOPO
Rasio BOPO (Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional) meningkat
dari 68,0% di Desember 2014 menjadi 75,5% di Desember 2015. Peningkatan ini
karena dampak dari peningkatan pembentukan CKPN dari 1,74% pada tahun
2014 menjadi 2,48% pada tahun 2015.
f) Biaya Operasional Non Bunga Dibandingkan Total Aset
Rasio biaya operasional non bunga dibandingkan total aset menunjukkan
penurunan menjadi sebesar 4,53% tahun 2015 dari sebesar 4.84% tahun 2014.
Angka sebesar ini berada sedikit di atas angka normal 3.50%, hal ini
mencerminkan bank cukup efisien dalam mengelola biaya operasionalnya.
g) Biaya Operasional Non Bunga Ke Pendapatan Bunga
Rasio biaya operasional dibanding pendapatan bunga menunjukkan adanya
peningkatan menjadi sebesar 63,14% pada tahun 2015 dari 60,94% pada tahun
2014. Angka ini berada di atas batas 50%. Hasil analisis laporan keuangan bank
BNI ini mencerminkan BNI masih perlu lebih efisien dalam mengelola biaya
operasionalnya selain bunga.
h) Funding Cost
Funding cost BNI pada 2015 sangat bagus, ditandai dengan trend penurunan
menjadi 2.73% dibanding tahun 2014 yang 3.43%.
Dari hasil analisis laporan keuangan bank BNI terkait rasio biaya dana yang relatif
kecil ini, mencerminkan bahwa struktur dana BNI didominasi oleh dana murah
(low cost deposit) giro dan tabungan dibandingkan total dana pihak ketiga.
i) Pendapatan Fee Based Income
Pendapatan fee based income menunjukkan peningkatan menjadi 13,15% tahun
2015 bila dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 11,45%. Ini berarti bahwa
kontribusi pendapatan fee base income terhadap laba perseroan naik.
Dari angka-angka di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi
profitabilitas dan efesiensi BNI tergolong sangat baik. Dari hasil analisis laporan
keuangan bank BNI, secara rasio cenderung meningkat yang didukung efisiensi
operasional serta struktur dana murah.

4. Liquidity

a) Customer Deposit
Customer deposit BNI mengalami kenaikan sebesar 17,48% menjadi Rp.351,28
triliun dibanding tahun 2014 sebesar Rp. 299,02 triliun.
Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa kepercayaan masyarakat terhadap BNI
semakin meningkat.
b) Low Cost Deposit
Low cost deposit mengalami sedikit penurunan dari 65,66% di tahun 2014
menjadi 61,89% di tahun 2015.
Low cost deposit masih mendominasi dana pihak ketiga tahun 2015 yang
mencapai 61,89%.
c) Loans Deposit Ratio
Loan Deposit Ratio (LDR) BNI sedikit mengalami penurunan sebesar 0,05%
menjadi 87,77% pada tahun 2015 dari sebesar 87,81% pada tahun 2014.
Dengan pertumbuhan yang seimbang antara pinjaman yang diberikan dan
simpanan nasabah maka Loan to Deposit Ratio (LDR) mampu dipertahankan pada
level 87,81%. Tingkat likuiditas yang dicerminkan oleh LDR tersebut berada
dalam kisaran yang ditetapkan oleh Regulator di kisaran 78,0%-92,0%., dan
menunjukan bahwa tingkat likuiditas dapat dikelola dengan baik dan dijaga pada
level yang sehat. Rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) di tahun 2015 relatif
stabil di angka 87,81% sesuai dengan strategi manajemen dalam hal mengelola
aset produktif untuk menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi.
d) Liquid Asset Terhadap Total Asset
Rasio liquid asset terhadap total asset menunjukkan peningkatan menjadi 25,35%
tahun 2015 dari 23,60% di tahun 2014. Ini menunjukkan bahwa tahun 2015
ketersediaan likuid asset sangat memadai sebagai reserve untuk mendukung
likuiditas karena berada di atas quality level 20%.
e) Liquid Asset to Customer Deposit
Sedangkan rasio likuid aset terhadap dana pihak ketiga juga mengalami kenaikan
sebesar 11,24% menjadi 34,55% tahun 2015 dari sebesar 31,06% di tahun 2014.
Hal ini mencerminkan kondisi BNI yang ketersediaan likuiditasnya sangat
memadai. Dari data-data berkaitan tentang likuidtas BNI yang disajikan di atas
maka secara umum likuiditas BNI tergolong sangat memadai. Hal itu bisa dilihat
dari Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang berada pada 87,77% dan didukung
dengan level of liquid asset yang sangat memadai.

Posisi Strategis Dalam Sistem Ekonomi Negara


BNI telah meletakkan kerangka pengembangan manajemen bank berbasis risiko
dalam format Arsitektur Manajemen Risiko BNI. Konsep tersebut berisi tahapan-
tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bank Indonesia
(diantaranya adalah Road Map Bank Indonesia dalam rencana implementasi Basel
II) maupun prinsip-prinsip dan pedoman dari Basel Committee on Banking
Supervision.Pengembangan dan implementasi manajemen bank berbasis risiko
telah dimulai sejak tahun 2000 dengan menggunakan pendekatan metode internal
sebagai bagian dari pengelolaan risiko serta diharapkan selesai seluruhnya pada
tahun 2010. Di sisi lain, dalam hal perhitungan kecukupan modal, BNI juga
mempersiapkan diri sesuai dengan arahan Bank Indonesia. Di tahap awal,
perhitungan kecukupan modal dilakukan dengan metode yang paling sederhana
yang merupakan model yang dapat diaplikasikan di seluruh bank.
Agar tercipta suatu kondisi yang sehat, BNI juga melakukan sertifikasi terhadap
seluruh Buku Pedoman Perusahaan (SOP) yang ada dengan melihat kecukupan
terhadap aspek Manajemen Risiko dan Kepatuhan terhadap ketentuan yang ada,
baik internal maupun eksternal.

Manajemen Risiko
Ulasan berikut menggambarkan pencapaian dan kemajuan di bidang pengelolaan
risiko, untuk setiap kategori risiko sesuai dengan definisi Bank Indonesia yaitu
risiko kredit, pasar, operasional, likuiditas, kepatuhan, hukum, strategi dan
reputasi.
a) Risiko Kredit
 Implementasi Four-eye Principless dalam manajemen risiko kredit, dimana
persetujuan kredit dilakukan oleh minimal 2 (dua) orang pemegang
kewenangan pemutus kredit yaitu 1(satu) orang dari unit bisnis dan 1(satu)
orang dari unit risiko.
 Melakukan penyempurnaan Perangkat Aplikasi Kredit (PAK) seluruh segmen
dan penyempurnaan kewenangan memutus kredit.
 Mengembangkan Industry Risk Rating (IRR), yaitu penilaian tingkat risiko
industri berdasarkan kondisi makro ekonomi, struktur industri, karakteristik
industri, prospek industri, riwayat pinjaman, kinerja keuangan industri dan
penyesuaian kondisi regional.
 Menetapkan standar keuangan industri (termasuk referensi rasio keuangan)
untuk segmen
 Korporasi, Menengah dan Kecil secara berkala.
 Penetapan Loan Exposure Limit (LEL), yaitu batas maksimum pinjaman di
akhir tahun untuk setiap sektor ekonomi di masing-masing segmen. LEL
ditetapkan sebagai pedoman ekspansi pinjaman dan sebagai salah satu upaya
mengurangi risiko konsentrasi pinjaman.
 Pengembangan dan pengkajian sistem pemeringkatan debitur di seluruh
segmen.
 Mengembangkan dan menyempurnakan aplikasi Internal Rating System
debitur segmen Korporasi, Menengah dan Kecil.
 Mengevaluasi portofolio pinjaman secara berkala berdasarkan volume,
kualitas, komposisi dan tingkat profitability termasuk rekomendasi
perbaikannya.
 Melakukan pemantauan dan simulasi (scenario analysis) NPL guna
meningkatkan kualitas pinjaman.
 Membangun database risiko kredit antara lain mencakup peringkat debitur,
default history,default probability, recovery rate dan expected loss.
 Melakukan uji coba perhitungan risiko kredit dalam Quantitative Impact Study
(suatu survey untuk melihat kesiapan dan dampak implementasi Basel II bagi
perbankan).
b) Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas
 Melakukan perhitungan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (KPMM)
dengan menggunakan metode standar sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
berlaku. Selain itu, mengkaji dan mengembangkan kemungkinan penerapan
Metode Internal dalam menghitung KPMM dengan memperhitungkan risiko
pasar.
 Mengembangkan sistem pengelolaan risiko yang terintegrasi dan diaplikasikan
ke segenap
 unit bisnis termasuk risiko pasar di cabang-cabang luar negeri.
 Menyusun dan menerbitkan laporan dan analisis risiko pasar secara berkala
(harian, mingguan, bulanan dan triwulanan).
 Mengembangkan sistem pengelolaan risiko yang terintegrasi ke dalam
Treasury Management Information System untuk pengendalian risiko nilai
tukar, risiko tingkat bunga dan risiko likuiditas.
 Melakukan evaluasi secara berkala terhadap limit risiko pasar yang terdiri dari
limit VaR
 dan budget loss limit untuk trading book serta banking book bagi unit bisnis
Tresuri dan dealing room cabang luar negeri. Sementara limit yang terkait
dengan likuiditas antara lain SR (secondary reserve) Ideal, limit Asset Liability
Gap dan limit on-shore loan. Limit-limit tersebut dipantau secara harian,
mingguan dan bulanan.
 Menyempurnakan sistem pengendalian risiko pasar untuk transaksi treasury
(dealing room)
 dan melengkapinya dengan sistem pemantauan limit (Market Limit System)
serta penetapan harga pasar (Market Conformity Modul) yang terintegrasi
dengan front office system.
c) Risiko Operasional
 Revitalisasi perangkat assessment risiko operasional yang dikenal dengan nama
ORSA (Operational Risk Self Assessment) di seluruh Divisi, wilayah, Sentra-
sentra Kredit dan seluruh cabang termasuk syariah.
 Membangun perangkat risiko operasional yang dikenal dengan nama
PERISKOP, yang menjadi alat monitoring potensi risiko operasional, kerugian
operasional dan pelaporan.
 Penambahan akun pencatatan untuk menampung dan mencatat kerugian risiko
operasional (beban risiko operasional) sebagai upaya membangun Loss Event
database.
 Menyusun kerangka Key Risk Indicator BNI sebagai salah satu parameter
pendukung dalam
 persiapan implementasi Basel II dengan pendekatan Advance Measurement
Approach (AMA).
 Penetapan limit kewenangan transaksi berdasarkan tingkat otoritas dan
pengalaman pejabat yang bersangkutan.
 Pembentukan Trade Processing Center yang secara signifikan mengurangi
risiko yang melekat pada proses yang bersifat desentralisasi.
 Melakukan benchmark operational risk management dengan bank berskala
international (ABN Amro) serta melakukan gap analisis antara pelaksanaan
operational riskmanagement di BNI dan intenational best practices.
 Penyusunan dan Piloting Business Continuity Plan (BCP) BNI, baik di Kantor
Pusat, Wilayah, Sentra-sentra Kredit, dan Cabang.
 Melakukan uji coba perhitungan risiko operasional dalam Quantitative Impact
Study dengan pendekatan yang paling sederhana (Basic Indicator Approach).
d) Risiko Kepatuhan
 Mengefektifkan peran pengendalian intern yang independen, melalui quality
assurance yang ada di setiap Unit (BQA, RQA, DQA). Staff Quality Assurance
bertanggung jawabkepada Divisi Kepatuhan, bukan kepada Unit dimana
mereka ditugaskan.
 Melakukan penilaian atas tingkat kepatuhan BNI terhadap peraturan Bank
Indonesia dan perundang-undangan yang berlaku.
 Menetapkan kebijakan dan prosedur risiko kepatuhan, sebagai pedoman kerja
dalam manajemen risiko kepatuhan.
e) Risiko Hukum
 Melakukan kajian berkala terhadap dokumen hukum, perjanjian dan kontrak
dengan pihak ketiga serta mengevaluasi kelemahan perjanjian yang dapat
menimbulkan risiko hukum bagi BNI.
 Melakukan penilaian atas risiko hukum yang tercermin dari besarnya gugatan,
perkara yang
 disampaikan ke BNI.
 Menetapkan kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko hukum.

f) Risiko Strategis
 Melakukan pengukuran risiko strategis, yang didefinisikan sebagai kegagalan
bank dalam mencapai target akibat keputusan bisnis yang diambil.
 Pembentukan Komite Pengadaan yang bertanggung jawab atas penunjukan
pihak ketiga seperti perusahaan asuransi, appraisal, akuntan publik dan
konsultan manajemen.
 Menetapkan kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko strategis.

g) Risiko Reputasi
 Menetapkan parameter risiko reputasi dan mitigasi dalam pengelolaan risiko
reputasi.
 Menetapkan kebijakan dan prosedur komunikasi untuk memastikan
penyampaian pesan yang konsisten dan liputan media serta komunikasi massa
yang positif.
 Mengklasifikasikan media massa yang ada ke dalam beberapa kelompok sesuai
dengan sirkulasi dan cakupan geografis. Masing-masing kelompok media ini
ditangani secara berbeda sesuai dengan tingkat risiko reputasi yang
bersangkutan.
 Melaksanakan evaluasi secara harian atas risiko reputasi yang dihadapi BNI
dan dituangkan dalam suatu Laporan Media Monitoring. Pengelolaan risiko
reputasi ini secara komprehensif dilakukan oleh Divisi Komunikasi
Perusahaan.
 Memantau penyelesaian komplain nasabah.
BANK BCA
Analisis Laporan Keuangan Bank Central Asia (BCA)
Bank Central Asia (BCA) menduduki peringkat #620. dalam daftar 2000
perusahaan dunia di Forbes The Global 2016.
BCA internet banking dengan klik BCA-nya adalah salah satu produk andalan
bank yang mulai beroperasi di bidang perbankan sejak tanggal 12 Oktober 1956.
1. Kondisi Modal
Untuk melakukan analisa terhadap kondisi modal BCA kita perlu menggunakan
data-data dari tabel berikut ini:

Dari data-data di atas dan agar lebih mudah dalam menganalisisnya maka harus
menyatukan data-data yang diperlukan dalam satu tabel berikut ini :

a) Modal
Pada akhir tahun 2015 modal inti BCA secara perusahaan induk mencapai Rp
83,7 triliun, atau 95,2% dari total modal BCA, sedangkan modal pelengkap
tercatat sebesar Rp 4,2 triliun atau 4,8% dari total modal BCA. Dari hasil analisis
laporan keuangan bank BCA menunjukkan total modal BCA mengalami
peningkatan sebesar 29,5% menjadi Rp. 87,89 triliun dari Rp. 67,84 triliun pada
tahun 2014.
b) Aset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Tahun 2015 ATMR BCA untuk risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional
mengalami peningkatan menjadi Rp 471,24 triliun, atau naik 17,09%
dibandingkan dengan tahun 2014 di posisi Rp. 402,46 triliun. Hasil analisis
laporan keuangan bank BCA menunjukkan kenaikan ini sebagian besar berasal
dari ATMR untuk Risiko Kredit sebesar Rp 58.53 triliun, atau naik dari Rp.
349,02 triliun di tahun 2014 menjadi Rp. 407,55 triliun pada tahun 2015.
c) Rasio Kecukupan Modal (CAR)
Pada tahun 2015, BCA terus memperkokoh posisi permodalan yang tercermin
dalam rasio kecukupan modal/kewajiban penyediaan modal minimum (Capital
Adequacy Ratio – CAR) yang tercatat sebesar 18,65%,meningkat dari 16,86%
pada tahun 2014. Adapun rasio CAR ini telah memperhitungkan risiko kredit,
pasar dan operasional serta perubahan peraturan dimana seluruh laba bersih tahun
berjalan diperhitungkan sebagai komponen Modal Inti. Pada tahun sebelumnya
hanya 50% dari laba bersih tahun berjalan yang dapat diperhitungkan sebagai
komponen Modal Inti. Sejalan dengan perubahan ketentuan dan meningkatnya
profitabilitas, modal inti Bank (tidak konsolidasi) tumbuh 30,0% mencapai Rp
83,7 triliun atau berkontribusi 95,2% terhadap total modal BCA pada akhir tahun
2015.
Dari hasil analisis laporan keuangan bank BCA menunjukkan bahwa modal
pelengkap meningkat 21,1% menjadi Rp 4,2 triliun atau berkontribusi sebesar
4,8% terhadap total modal.
d) Rasio Modal Inti terhadap Total Modal
Rasio modal inti atau tier 1 capital terhadap total capital tahun 2015 berada di
posisi 81,38% atau masih di atas level 80%. Porsi tier 1 capital tehadap total
capital tersebut tergolong baik.
e) Rasio Capital to Total Asset
Rasio capital to total asset tahun 2015 mengalami kenaikan sebesar 20,53% bila
dibandingkan tahun 2014. Hal ini dikarenakan peningkatan modal lebih besar
(29.55%) dari pada peningkatan total asset (7.43%). Hasil analisis laporan
keuangan bank BCA menunjukkan coverage equity dalam menyerap kerugian
terhadap total aset meningkat menjadi 15,09% di tahun 2015 dari posisi 12,52%
pada tahun 2014.
Dari hasil analisis laporan keuangan bank BCA, secara umum, kondisi
permodalan BCA tergolong kuat dengan level quality CAR berada diatas
ketentuan minimum Bank Indonesia, dan didukung oleh porsi modal inti yang
berada di atas level 80%.

2. Asset Quality

a) Total Aset
Pada akhir tahun 2015, BCA membukukan total aset sebesar Rp 582,24 triliun
tumbuh 7,43% atau Rp 40,26 triliun dibandingkan dengan akhir tahun 2014 yang
sebesar Rp 541,98 triliun.
b) Gross Loans
Per 31 Desember 2015 portofolio kredit mencapai Rp 388,00 triliun, meningkat
11,83%, terutama ditopang oleh kredit korporasi namun dengan pertumbuhan
yang seimbang di seluruh segmen kredit lainnya. Pada akhir tahun 2015 kredit
korporasi meningkat 17,2% menjadi Rp 141,3 triliun.
Kredit komersial meningkat 10,0% menjadi Rp 91,2 triliun dan kredit Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) naik 6,8% menjadi Rp 52,8 triliun. Peningkatan
kredit keperluan usaha tersebut terutama didukung oleh membaiknya kondisi
ekonomi pada paruh kedua tahun 2015. Kenaikan kredit konsumer sebesar 8,9%
menjadi Rp 100,5 triliun pada tahun 2015 didorong oleh produk-produk kredit
konsumer BCA yang kompetitif, terutama kredit pemilikan rumah dan
pembiayaan roda empat.
Sepanjang tahun 2015, BCA terus mengutamakan kualitas dalam penyaluran
kredit dengan fokus kepada para nasabah-nasabah existing Bank yang memiliki
rekam jejak yang baik.
c) Rasio Kredit Bermasalah (NPL)
Berkat disiplin dalam penerapan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian
dalam penyaluran kredit, BCA dapat menjaga rasio NPL bruto pada level yang
rendah sebesar 0,72% pada akhir tahun 2015. Kualitas aset dinilai sangat baik
namun dengan trend NPL meningkat dari tahun 2014 yang sebesar 0,60%.
Rasio NPL tersebut lebih baik dibandingkan rata-rata sektor perbankan yang
sebesar 2,5%. Adapun rasio NPL bersih BCA pada akhir tahun 2015 adalah
0,22%. Masih jauh berada di bawah ketentuan Bank Indonesia yang maksimal
sebesar 5%.
Meskipun berhasil menjaga rasio NPL pada level yang rendah, BCA tetap
mengantisipasi akan adanya potensi peningkatan NPL di tengah situasi
perekonomian yang belum sepenuhnya kondusif.
d) Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas Aset Keuangan
Rasio CKPN terhadap aset produktif BCA mengalami peningkatan menjadi
1,98% di tahun 2015 dari 1,64% di tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa aset
produktif bermasalah tahun 2015 relatif kecil yaitu 1.98%.
Pada tahun 2015, BCA membentuk Beban Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN) – net yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Pembentukan
Beban CKPN yang lebih tinggi tersebut sesuai dengan prinsip manajemen risiko
BCA dan sesuai dengan pertimbangan manajemen mengenai bagaimana kondisi
ekonomi dan kondisi kredit saat ini.
Pada tahun 2015, BCA mengantisipasi pemburukan kualitas kredit beberapa
debitur korporasi dan komersial yang mengalami penurunan kinerja terutama
bidang jasa angkutan laut dan sungai serta bisnis pendukung pertambangan batu
bara lainnya.
Pada tahun 2015 BCA melakukan penghapus-bukuan sebesar Rp 1,1 triliun,
meningkat dari Rp 839 miliar pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini terutama
sebagai dampak dari penurunan kualitas kredit di segmen kartu kredit,
pembiayaan sepeda motor serta kredit komersial.
e) Loan Loss Provision To Gross Loan
Rasio loan loss provision to gross loan yang tahun 2015 sebesar 1.69% dan 2014
sebesar 1,34% . Hal ini menunjukkan bahwa biaya kerugian penurunan nilai dan
hapus buku kredit dibandingkan dengan total kredit relatif kecil.
f) Pemenuhan PPA
Rasio pemenuhan PPA (penyisihan penghapusan aset) tahun 2014 – 2015
menunjukkan kecenderungan naik dari 141.35% menjadi 157,65%. Yang berarti
penyediaan pencadangan kuat, karena berada diatas 100%, dan mencerminkan
kebijakan pencadangan BRI yang prudent. Dengan rasio tersebut menunjukkan
bahwa potensi kerugian karena non performing asset sepenuhnya ter-cover dari
penyisihan penghapusan aset yang dibentuk.
Secara umum, kualitas asset BCA tergolong sangat baik karena rasio NPL
memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan coverage ratio atas aset bermasalah
berada diatas 100%.

3. Earning & Efficiency

a) Profit
Total profit atau laba tahun 2015 BCA naik sebesar 8.32% dibanding tahun 2014,
yang menunjukkan trend stability dalam mengenerate income.
b) Tingkat Pengembalian atas Ekuitas (ROE)
Pada tahun 2015 rasio ROE tercatat sebesar 21,86%, lebih rendah dibandingkan
tahun 2014 yang sebesar 25,50%. Penurunan ROE tersebut sejalan dengan
langkah strategis BCA dalam memperkuat posisi permodalan untuk mendukung
pengembangan bisnis dan mempersiapkan penerapan regulasi Basel III di
Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir BCA menyesuaikan dividend payout
ratio untuk memperkokoh permodalan.
c) Tingkat Pengembalian atas Aset (ROA)
Kenaikan pendapatan operasional pada tahun 2015 telah mendukung pertumbuhan
laba yang positif sejalan dengan pertumbuhan aset. Oleh karena itu, BCA dapat
menjaga rasio ROA sebesar 3,84% pada tahun 2015, relatif sama dengan posisi
tahun sebelumnya.
Sementara itu rata-rata ROA sektor perbankan Indonesia mengalami penurunan
sebesar 60 bps dari 2,9% menjadi 2,3% pada tahun 2015.
d) Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan (BOPO)
Pada tahun 2015 rasio BOPO tercatat sebesar 63,2% dibandingkan 62,4% pada
tahun sebelumnya, didorong oleh kenaikan beban operasional sekaligus beban
cadangan kerugian penurunan nilai. Sementara itu, cost efficiency ratio tercatat
sebesar 46,5%, dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 44,2%.
e) Biaya Operasional Non Bunga Dibandingkan Total Aset
Rasio biaya operasional non bunga dibandingkan total aset tahun 2014 sebesar
4,0% dan 2015 sebesar 4,45%, berada sedikit diatas angka normal 3.50% dengan
kecenderungan naik.
Hal ini mencerminkan bank cukup efisien dalam mengelola biaya operasionalnya.
f) Biaya Operasional Dibanding Pendapatan Bunga
Dan berdasarkan perhitungan rasio biaya operasional dibanding pendapatan bunga
tahun 2014 dan 2015 yang sebesar 53,50% dan 60,42%. BCA dinilai efisien
dalam mengelola biaya operasionalnya.
g) Net Interest Margin (NIM)
Pada tahun 2015 rasio NIM BCA meningkat menjadi sebesar 6,7% dari 6,5%
pada tahun 2014. Peningkatan portofolio kredit serta penurunan cost of funds
telah mendukung posisi NIM yang lebih tinggi di tahun 2015.
Hal ini dinilai sangat baik karena berada jauh di atas quality level 3% Dan berada
diatas rata-rata peer group tahun 2014 sebesar 6,80%.
h) Funding Cost
2014 masih sangat bagus walaupun trendnya menaik cukup signifikan menjadi
3.54% dibanding tahun 2013 yang 2.76%. Kenaikan ini disebabkan peningkatan
beban bunga (25.75%) lebih besar dari pada peningkatan customer deposit atau
Dana Pihak Ketiga (18.99%).
Rasio biaya dana yang relatif kecil ini, mencerminkan bahwa struktur dana BRI
didominasi oleh dana murah (low cost deposit) giro dan tabungan dibandingkan
total dana pihak ketiga tahun 2014 yang sebesar 61.16%.
i) Fee Based Income to Total Income
Pendapatan fee based income tahun 2015 sebesar 14,03%, mengalami kenaikan
bila dibandingkan 2014 yang sebesar 13.58%.

4. Liquidity

a) Customer Deposit
Per 31 Desember 2015 customer deposit mencapai Rp 473,69 triliun, meningkat
5,75% dari Rp 447,94 triliun pada tahun 2014. BCA mempertahankan posisi
pendanaan yang solid dengan total dana pihak ketiga sebesar Rp 473,7 triliun
pada tahun 2015, meningkat 5,75% atau Rp 25,8 triliun dibandingkan tahun
sebelumnya. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh pertumbuhan dana rekening
transaksi atau CASA (giro dan tabungan).
Dana CASA merupakan porsi utama dari dana pihak ketiga yang berkontribusi
sebesar 76,1% sementara itu dana deposito berkontribusi sebesar 23,9% terhadap
total dana pihak ketiga pada tahun 2015.
b) Low Cost Deposit
BCA memiliki posisi likuiditas yang solid bersumber dari penghimpunan dana
giro dan tabungan berbunga rendah. Tahun 2015 low cost deposit masih
mendominasi dana pihak ketiga yaitu mencapai 76,06%.
c) Loan to Deposit Ratio (LDR)
Pada tahun 2015 regulator menerapkan perhitungan rasio kredit terhadap
pendanaan (Loan to Funding Ratio – LFR). Perhitungan rasio ini sebagai
pengembangan dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit
Ratio – LDR) yang digunakan sebelumnya.
Pada tahun 2015, sejalan dengan pertumbuhan portofolio kredit yang lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan dana pihak ketiga, rasio LFR BCA tercatat sebesar
81,06% meningkat 430 bps bila dibandingkan 76,8% pada tahun 2014. Masih
lebih rendah dibandingkan rata-rata LDR sektor perbankan yang sebesar 92,1%.
“Rasio LFR BCA tersebut berada pada posisi yang sehat dan masih terdapat ruang
bagi BCA untuk meningkatkan pertumbuhan kredit ke depannya”
d) Liquid Asset terhadap Total Asset
Rasio liquid asset terhadap total asset meningkat dari 24.89% tahun 2014 menjadi
27.12% tahun 2015. Hal ini mencerminkan ketersediaan liquid asset sangat
memadai sebagai reserve untuk mendukung likuiditas karena berada di atas
quality level 20%.
e) Liquid Asset terhadap Dana Pihak Ketiga
Rasio liquid asset terhadap dana pihak ketiga meningkat dari 30,12% tahun 2014
menjadi 33.33% tahun 2015. Hal ini juga mencerminkan sangat memadai untuk
ketersediaan likuiditasnya.
Dilihat dari LDR yang berada di bawah 90% dan didukung oleh level of liquid
asset yang sangat memadai maka likuiditas BCA sangat memadai.

Posisi Strategis Dalam Sistem Ekonomi Negara


Prestasi dan keberhasilan implementasi strategi bisnis BCA bertumpu pada
sumber daya manusia yang andal dan terlatih. Kontribusi karyawan di semua
tingkat organisasi merupakan kunci dalam memberikan layanan berkualitas
kepada nasabah dan mempertahankan soliditas posisi BCA di tengah ketatnya
kompetisi. Melalui perekrutan secara cermat dan program pengembangan
profesional yang komprehensif, BCA berupaya untuk meningkatkan keterampilan
dan kompetensi seluruh staf dan mempersiapkan individu-individu berkinerja
tinggi untuk mengambil peran kepemimpinan di masa depan.

Manajemen Risiko
a) Risiko Nilai Tukar
Dalam memitigasi risiko nilai tukar, BCA melakukan pemantauan transaksi-
transaksi valuta asing agar sesuai dengan ketentuan dan kebijakan internal Bank
maupun Peraturan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan terutama
mengenai Posisi Devisa Neto (PDN).
b) Risiko Operasional
BCA menghadapi risiko operasional yang disebabkan oleh kesalahan manusia,
ketidakcukupan proses internal, kegagalan sistem, dan/atau kejadian eksternal.
BCA memiliki Operational Risk Management Information System (ORMIS) yaitu
aplikasi berbasis web yang meliputi Risk Control Self-Assessment, Loss Event
Database, dan Key Risk Indicator yang dirancang untuk meningkatkan risk
awareness dan memberikan informasi berguna untuk meminimalkan dan
memitigasi risiko operasional.
Kesimpulan
Berdasarkan data-data dan analisis laporan keuangan Bank BNI yang telah
disajikan diatas menyangkut modal atau capital, asset quality, earning & efisiensi
serta likuiditas BNI maka dapat disimpulkan bahwa kondisi keuangan Bank BNI
tahun 2014 dan 2015 sangat sehat. Hal itu tercermin dari hasil analisis laporan
keuangan bank BNI mengenai kondisi permodalan dengan CAR yang berada
diatas ketentuan minimum Bank Indonesia, kualitas asset yang sangat baik dengan
NPL yang berada dibawah standar Bank Indonesia dan level of liquidity yang
cukup. Dari hasil analisis laporan keuangan bank BNI menyangkut rasio
profitabilitas, efisiensi operasi, ROA, ROE dan BOPO sangat memadai berada di
atas quality level. Bank BNI dinilai mampu mengatasi kesulitan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendeknya karena pencadangan aset dan kredit bermasalah
diatas 100%. Rasio liquid asset terhadap total asset tersedia cukup dengan rasio
berada di atas batas normal 20%.

Sedangkan dari data-data yang telah disajikan di atas dan analisis rasio keuangan
perbankan serta standar rasio keuangan menurut bank Indonesia dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan Bank Central Asia tahun 2015 sangat sehat.
Hal tersebut tercermin dari hasil analisis laporan keuangan Bank Central Asia
mengenai kondisi permodalan dengan CAR yang berada di atas ketentuan
minimum Bank Indonesia. Kualitas aset yang sangat baik dengan NPL yang
berada di bawah standar Bank Indonesia dan level of liquidity yang cukup.
Dari segi profitabilitas, efisiensi operasi, nampak dari hasil analisis laporan
keuangan Bank Central Asia dari nilai ROA, ROE dan BOPO sangat memadai
dan berada di atas quality level. Hasil analisis laporan keuangan Bank Central
Asia juga menunjukkan penyediaan pencadangan aset (PPA) bermasalah di atas
100%. Hal itu menunjukkan bahwa potensi kerugian karena non performing aset
sepenuhnya ter-cover dari penyisihan penghapusan aset yang dibentuk. Selain itu
BCA dinilai mampu mengatasi kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya karena rasio liquid asset terhadap total asset berada di atas batas
normal 20%, yaitu 27,12%.

Anda mungkin juga menyukai