Pterigium Grade 3
UNTAD
Nama : Aldhy Wijayakusuma Ananda
No. Stambuk : N 111 17 025
Pembimbing:
dr. Citra A. Anggita, M. Kes, Sp.M
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap.
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea.1
Berdasarkan hasil survei nasional pada tahun 1993-1996 mengenai angka
kesakitan mata di 8 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa pterigium terletak pada
urutan kedua penyakit mata terbanyak di Indonesia dengan angka prevalensi
sebesar 13,9%.Insidensi tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekurensi lebih
sering pada umur muda dari pada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
beresiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan
rendah dan riwayat exposure lingkungan.
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi timbulnya
pterigium.
Penegakan diagnosis pterigium berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Bila tidak menimbulkan keluhan atau gangguan
penglihatan tidak harus dilakukan operasi, karena bersifat rekuren. Oleh karena
itu, maka tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih
dalam mengenai penyakit ini sehingga mampu mengenal dan mendiagnosis serta
melakukan tatalaksana yang tepat dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Berikut
2
juga akan dibahas satu contoh kasus mengenai penyakit Pterigium pada
perempuan usia 59 tahun yang di rawat RSU Anutapura.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Secara histologis lapisan konjungtiva dimulai dari epitel konjungtiva yang
terdiri atas epitel superficial mengandung sel goblet yang memproduksi mucin
dan epitel basal, di dekat limbus dan epitel ini mengandung pigmen. Di bawah
epitel terdapat stroma konjungtiva yang terdiri atas lapisan adenoid yang
mengandung jaringan limfoid dan lapisan fibrosa yang mengandung jaringan ikat.
Kelenjar yang ada di konjungtiva terdiri dari kelenjar Krause (ditepi atas tarsus)
yang menyerupai kelenjar air mata. Arteri- arteri konjungtiva berasal dari a.ciliaris
anterior dan a. palpebralis yang keduanya beranastomosis. Yang berasal dari a.
ciliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. rectus menembus sclera dekat
limbus untuk mencapai bagian dalam mata dan cabang- cabang yang mengelilingi
kornea.1,3
Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan pertama N. trigeminus
yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama di bagian palpebra.
Konjungtiva mengandung sangat banyak pembuluh limfe.3
Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di
forniks atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan
pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi
kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi
nasal menuju punctum lakrimalis. Dengan demikian konjuntiva dan kornea selalu
basah.
Sel goblet pada epitel konjungtiva memproduksi musin yang membentuk
lapisan air mata bersama akuos dan lipid yang penting untuk stabilitas lapisan air
mata dan transparansi kornea sebagai prasyarat untuk penglihatan yang baik dan
lubrikasi permukaan bola mata. Konjungtiva mempunyai potensi yang sangat
besar untuk melawan infeksi karena:
4
4. Memiliki aktivitas mikrovili dan enzimatis untuk menetralisasi
organisme termasuk virus
2.2 Pterigium
2.2.1 Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap.
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.1
5
Gambar 3: Pterigium (Aminlari, 2010)
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Etiologi
6
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan
ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara
kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A
juga berpotensi timbulnya pterigium. Berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya pterigium yaitu: (Peng Lu, 2009)
1. Paparan sinar matahari dan ultraviolet.
Adanya paparan ini menyebabkan kerusakan dan proses
degeneratif dari jaringan ikat subepitel. Penelitian menunjukkan bahwa
menghabiskan waktu di luar akan menyebakan peningkatan risiko
terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet B merupakan faktor lingkungan
yang sangat signifikan dalam proses patogenesis pterigium. UV-B
merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin
seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor)
menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
2. Usia
Studi menunjukkan populasi dewasa memiliki prevalensi yang
tinggi sejalan dengan bertambahnya umur.
3. Jenis Kelamin
Kejadian pterigium pada laki-laki dan perempuan masih
diperdebatkan. Terdapat laporan statistik bahwa perempuan lebih banyak
yang terkena dari pada laki-laki atau sebaliknya dan ada pula yang
melaporkan pterigium pada laki-laki dan perempuan sama,
7
5. Mata kering
Faktor lingkungan berhubungan dengan mata kering seperti sinar
ultraviolet dan polusi debu lingkungan yang berimplikasi terbentuknya
pterigium.
6. Lain-lain
P 53 dan Human Papilloma Virus juga dapat masuk dalam
patogenesis pterigium. Radiasi sinar ultraviolet menyebabkan mutasi gen
P53 tumor gen supresor menghasilkan bentukan abnormal pada epitel.
2.2.4 Patofisiologi
8
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi
elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh
epitel.
Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang
mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan
menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.
1. Bila lesi sangat kecil maka tidak ada gejala klinis yang muncul
(asimptomatis).
2. Pasien yang menggunakan kontak lensa menunjukkan gejala iritasi
pada stadium awal karena dapat mengangkat tepian lensa kontak.
3. Adanya pterigium dapat mengganggu penglihatan karena pterigium
dapat menutupi axis visual atau dapat menginduksi terjadinya
astigmatisme.
4. Pterigium menyebabkan masalah kosmetik
5. Lesi yang luas dapat berkaitan dengan subkonjungtiva fibrosis yang
meluas ke forniks dapat menyebabkan restriksi okular.
Biasanya penderita mengeluh mata merah dan timbulnya bentukan
seperti daging yang menjalar ke kornea. Pterigium ada dua macam, yaitu
yang tebal dan mengandung banyak pembuluh darah atau yang tipis dan
tidak mengandung pembuluh darah. Di bagian depan dari apek pterigium
terdapat infiltrat kecil-kecil yang disebut “islet of Fuch”. Pterigium yang
9
mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang
dikeluhkan kemeng oleh penderita (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2006).
1. Pterigium terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1)“cap” zona datar bagian
depan pada kornea yang terdiri dari fibroblas yang menginvasi dan
merusak membran Bowman. (2) Kepala adalah area vaskular di
belakang “cap” dan melekat erat di kornea. (3) Badan adalah bagian
yang dapat bergerak di daerah konjungtiva bulbi yang mudah untuk
diseksi dari jaringan di bawahnya.
3. Stocker’s line yaitu deposisi besi di lapisan basal epitel kornea anterior,
menunjukkan pterigium kronis
10
Gambar 4: Grade Pterigium ( Coutts, 2012)
2.2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Melalui anamnesis akan didapatkan keluhan-keluhan pasien
seperti adanya ganjalan pada mata seperti daging tumbuh yang semula
asimtomatik namun kadang didapatkan gejala dry eye (mata merah,
panas, gatal, dan epifora) akibat irregular wetting dari permukaan mata.
Seiring berkembangnya ukuran pasien mengeluh secara kosmetik
dirasakan mengganggu dan juga menimbulkan gangguan visual seperti
astigmatisme atau langsung menghalangi visual axis.
Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah
berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan
paparan sinar ultraviolet yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya. Paparan sinar ultraviolet, terutama radiasi
UV-B menyebabkan mutasi p53 tumor suppressor gene yang
mengakibatkan proliferasi abnormal dari epitel limbus (pearls)
(Aminlari, 2010). Paparan dengan alergen, limbah kimia, dan iritan
(debu, polusi) juga dapat meningkatkan risiko terjadinya pterigium
(Jharmawala, 2011).
11
b. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pterigium dapat memberikan 2 gambaran, antara lain:
Pterigium dengan proliferasi minimal, berbentuk datar, dan
pertumbuhannya lambat. Gambaran ini mempunyai insiden
berulang yang rendah.
Pterigium dengan pertumbuhan yang cepat dan mempunyai
komponen fibrovaskular yang meninggi (tebal). Gambaran ini
mempunyai insiden berulang yang tinggi. (Fisher, 2015)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Slitlamp
Gambar 5: Slitlamp
12
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan
adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak
baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea,
umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka
bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pterigium dibagi menjadi 3 bagian yaitu: tudung kepala
(cap), kepala, dan badan/ekor. Bagian tudung kepala (cap) adalah
bagian datar pada kornea yang mengandung fibroblas dan
menembus membran Bowman. Bagian kepala adalah bagian yang
mempunyai pembuluh darah dan bersinggungan dengan kornea.
Sedangkan bagian badan/ekor adalah bagian yang mobile pada
konjunctiva bulbar yang dapat dengan mudah didiseksi dari
jaringan dibawahnya (Aminlari, 2010).
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologi, didapatkan konjuctiva mengalami degenerasi
hyalin dan elastis, sedangkan di kornea terjadi degenerasi hyalin
dan elastis pada membran Bowman (Pedoman Diagnosis Terapi,
2006).
2.2.8 Diagnosis Banding
a. Pinguekulum: penebalan terbatas pada konjunctiva bulbi, berbentuk
nodul yang berwarna kekuningan.
13
Gambar 6: Pinguecula Pterigium
2.2.9 Penatalaksanaan
a. Surgical Techniques
Indikasi operasi:
14
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
dapat mengakibatkan astigmatisme.
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair, dan silau
karena astigmatisme.
4. Kosmetik terutama untuk penderita wanita
(Pedoman Diagnosis Terapi, 2006).
15
2. Simple closure
Tepi konjungtiva superior dan inferior yang bebas dijahit bersama
(efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil). Jika defek conjunctiva
berasal dari pterigium berukuran besar, kemungkinan bagian badan dari
pterigium harus disisakan. Hal ini meningkatkan kemungkinan inflamasi
post operasi, timbulnya skar, formasi granuloma, dan angka kekambuhan
pterigium yang dilaporkan berkisar antara 2-88% (Brightbill, 2009).
16
Gambar 10: Rotational Flaps.
17
Gambar 11: Conjunctival Scleral Technique (Astudillo, 2015)
18
Komplikasi pasca operasi
1. Nyeri/discomfort
Nyeri biasanya timbul pada 24-48 jam setelah operasi. Hal ini
dikarenakan permukaan kornea dibiarkan terbuka setelah operasi dan
membutuhkan waktu 24-48 jam untuk sembuh. Jahitan pada luka
membuat pasien merasakan ketidaknyamanan seperti mata berpasir yang
bertahan beberapa minggu. Penyembuhan luka operasi melewati tahap
inflamasi yang menyebabkan mata menjadi merah, kering, dan berpasir
yang membutuhkan waktu beberapa minggu, bahkan bulan untuk
kembali normal seperti semula.
2. Cosmetic appearance
Operasi pterigium biasanya menimbulkan sedikit skar pada kornea yang
kemungkinan terlihat.
3. Ulserasi kornea
Jarang, tetapi dapat terjadi. Antibiotik yang adekuat harus segera
diberikan.
4. Conjungtival graft dehiscence
5. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata, perdarahan
vitreous, atau retinal detachment (Brightbill, 2009 dan Fisher, 2015).
2.2.10 Komplikasi
19
dengan pterigium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan
pterigia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan fokal kornea mata akan
tetapi sangat jarang terjadi.
2.2.11 Prognosis
2.2.12 Edukasi
20
BAB III
LAPORAN KASUS
21
‐ Riwayat operasi (-).
‐ Riwayat trauma (-).
‐ Riwayat sering terpapar dengan matahari pada kedua mata (+).
‐ Hipertensi (-), Diabetes melitus (-)
22
Pergerakan bola mata
23
Fibrovascular (+), Trantas Fibrovascular (-), Trantas
dot pada limbus (-) dot pada limbus (-).
Kornea
Jernih + +
Edema - -
Ulkus - -
Perforasi - -
Makula - -
Leukoria - -
Pigmen iris - -
Laserasi - -
Jaringan fibrovaskuler + -
Limbus Kornea
Trantas dot - -
Arcus sinilis
- -
Bekas jahitan - -
Jaringan fibrovaskuler + -
Sklera
Sklera biru - -
Ikterik - -
Hiperemis - -
COA
Volume Sedang Sedang
Iris
Warna Cokelat Cokelat
Kripta Normal Normal
Prolaps - -
Pupil
24
Bentuk Bulat Bulat
Isokoria Isokor Isokor
Ukuran 2.5 mm 2.5 mm
RCL + +
RCTL + +
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
PEMERIKSAAN Tidak dilakukan Tidak dilakukan
SLIT LAMP pemeriksaan. pemeriksaan.
Tekanan Intra Okuler
Palpasi Normal Normal
Tonometer Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
VISUAL FIELD Tidak dilakukan
FUNDUSKOPI Tidak dilakukan
2.4 RESUME
Pasien perempuan usia 59 tahun datang ke RSU Anutapura dengan keluhan
utama rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan sejak 2 tahun
sebelum masuk rumah sakit dan keluhan dirasakan semakin lama semakin
memberat dan mengganggu aktivitas, keluhan dirasakan dengan mata kanan
terasa gatal, berwarna merah, terasa nyeri, berair, dan silau ketika terkena
cahaya matahari, peneglihatan akhir akhir ini mulai menurun. Pasien mengaku
sering mengucek mata kanannya karena sering terasa gatal, dan setiap harinya
pada saat bekerja di sawah pasien tidak menggunakan kacamata pelindung
dari sinar matahari.
25
Hasil pemeriksaan visus: VOD: 4/60 dan VOS: > 6/60. Hasil
pemeriksaan segmen anterior: konjungtiva bulbi tampak jaringan
fibrovaskular berbentuk segitiga berwarna putih kemerahan, pertumbuhan dari
celah conjungtiva bulbi nasal meluas hingga ke kornea dan sudah mencapai
pupil pada oculi dextra. tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva ataupun
injeksi siliar, didapatkan kornea jernih, kamera okuli anterior bening dengan
kedalaman cukup,iris berwarna coklat, pupil bulat, lensa jernih dan sistem
kanalis lakrimalis dalam batas normal.
2.5 DIAGNOSIS KERJA
OD Pterigium grade III
2.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Tobroson 6 x 1 tetes OD
Cendo Centfresh 4 x 1 tetes ODS
Rencana operasi : eksisii pterigium + Conjungtiva limbal graft
EDUKASI:
- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan.
- Pemakaian mesin pendingin ruangan.
-Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk sari.
- Menggunakan kaca mata untuk mengurangi kontak dengan alergen di udara
terbuka.
26
2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, dilaporkan seorang Pasien perempuan usia 59 tahun datang
ke RSU Anutapura dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan yang
dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit dan keluhan dirasakan
semakin lama semakin memberat dan mengganggu aktivitas, keluhan dirasakan
dengan mata kanan terasa gatal, berwarna merah, terasa nyeri, berair, dan silau
ketika terkena cahaya matahari, peneglihatan akhir akhir ini mulai menurun.
Pasien mengaku sering mengucek mata kanannya karena sering terasa gatal, dan
setiap harinya pada saat bekerja di sawah pasien tidak menggunakan kacamata
pelindung dari sinar matahari.
Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa pada anamnesis
kasus pterigium didapatkan adanya keluhan seperti ganjalan pada mata seperti
27
daging tumbuh yang semula asimtomatik namun kadang didapatkan gejala dry eye
(mata merah, panas, gatal, dan epifora) akibat irregular wetting dari permukaan
mata. Seiring berkembangnya ukuran pasien mengeluh secara kosmetik dirasakan
mengganggu dan juga menimbulkan gangguan visual seperti astigmatisme atau
langsung menghalangi visual axis. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah
dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat
trauma sebelumnya. Paparan sinar ultraviolet, terutama radiasi UV-B
menyebabkan mutasi p53 tumor suppressor gene yang mengakibatkan proliferasi
abnormal dari epitel limbus (pearls).
Dari hasil pemeriksaan visus: VOD: 4/60 dan VOS: > 6/60. Hasil
pemeriksaan segmen anterior: konjungtiva bulbi tampak jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga berwarna putih kemerahan, pertumbuhan dari celah
conjungtiva bulbi nasal meluas hingga ke kornea dan sudah mencapai pupil pada
oculi dextra. tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva ataupun injeksi siliar,
didapatkan kornea jernih, kamera okuli anterior bening dengan kedalaman
cukup,iris berwarna coklat, pupil bulat, lensa jernih dan sistem kanalis lakrimalis
dalam batas normal.
Menurut literatur Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. Pterigium dapat memberikan 2
gambaran, antara lain: Pterigium dengan proliferasi minimal, berbentuk datar, dan
pertumbuhannya lambat. Gambaran ini mempunyai insiden berulang yang rendah.
Pterigium dengan pertumbuhan yang cepat dan mempunyai komponen
fibrovaskular yang meninggi (tebal). Gambaran ini mempunyai insiden berulang
yang tinggi.
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diagnosis pada pasien ini yaitu pterigium grade III.
28
Sesuai dari hasil anamnesis Pasien ini diIndikasikan untuk di lakukan tindakan
operasi, yang sesuai untuki indikasi operasi yaitu Pterigium yang menjalar ke
kornea sampai lebih 3 mm dari limbus dapat mengakibatkan astigmatism,
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil,
Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair, dan silau karena
astigmatisme, Kosmetik terutama untuk penderita wanita.
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Jakarta: Widya Medika, 2014.
Hal 111-112.
2. Ilyas Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Edisi ke tiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2014. Hal 137-138.
3. A.K. Khurana. Comprehenship Opthalmology 4th Edition dalam Chapter 12-New
Age International 2007. P 288-96.
4. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal. Jakarta 1993.
Hal 332-342.
5. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta :
EGC.
6. Medicastore. Konjungtivitis Vernalis. Diunduh dari
http://www.medicastore.com/penyakit/865/Keratokonjungtivitis_Vernalis.html.
7. PubMed Central Journal list. Vernal Keratoconjunctivitis. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1705659/.
8. Kumuwa, Medi. The clinical picture of vernal kerato-conjunctivitis in Uganda
31
Comm Eye Health Vol. 14 No. 40 2001 pp 66 - 67. Published online 01 December
2001. https://www.cehjournal.org/article/the-clinical-picture-of-vernal-kerato-
conjunctivitis-in-uganda/
32