Anda di halaman 1dari 32

ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Mei 2019


UNIVERSITAS TADULAKO

Pterigium Grade 3

UNTAD
Nama : Aldhy Wijayakusuma Ananda
No. Stambuk : N 111 17 025

Pembimbing:
dr. Citra A. Anggita, M. Kes, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap.
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya
terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea.1
Berdasarkan hasil survei nasional pada tahun 1993-1996 mengenai angka
kesakitan mata di 8 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa pterigium terletak pada
urutan kedua penyakit mata terbanyak di Indonesia dengan angka prevalensi
sebesar 13,9%.Insidensi tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekurensi lebih
sering pada umur muda dari pada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
beresiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan
rendah dan riwayat exposure lingkungan.
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet,
mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas,
konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi timbulnya
pterigium.
Penegakan diagnosis pterigium berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Bila tidak menimbulkan keluhan atau gangguan
penglihatan tidak harus dilakukan operasi, karena bersifat rekuren. Oleh karena
itu, maka tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih
dalam mengenai penyakit ini sehingga mampu mengenal dan mendiagnosis serta
melakukan tatalaksana yang tepat dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Berikut

2
juga akan dibahas satu contoh kasus mengenai penyakit Pterigium pada
perempuan usia 59 tahun yang di rawat RSU Anutapura.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA


Konjungtiva adalah mukosa yang melapisi bagian dalam palpebra dan
permukaan anterior mata. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam
kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus,
menuju ke pangkal kelopak menjadi konjuntiva fornicis yang melekat pada
jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea.1
Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian :1,3
1. Konjungtiva palpebra
2. Konjungtiva forniks
3. Konjungtiva bulbi

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva3


Yang melapisi bagian palpebra disebut konjungtiva palpebra, di forniks
disebut konjuntiva fornicis dan yang di bola mata disebut konjuntiva bulbi.4

3
Secara histologis lapisan konjungtiva dimulai dari epitel konjungtiva yang
terdiri atas epitel superficial mengandung sel goblet yang memproduksi mucin
dan epitel basal, di dekat limbus dan epitel ini mengandung pigmen. Di bawah
epitel terdapat stroma konjungtiva yang terdiri atas lapisan adenoid yang
mengandung jaringan limfoid dan lapisan fibrosa yang mengandung jaringan ikat.
Kelenjar yang ada di konjungtiva terdiri dari kelenjar Krause (ditepi atas tarsus)
yang menyerupai kelenjar air mata. Arteri- arteri konjungtiva berasal dari a.ciliaris
anterior dan a. palpebralis yang keduanya beranastomosis. Yang berasal dari a.
ciliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. rectus menembus sclera dekat
limbus untuk mencapai bagian dalam mata dan cabang- cabang yang mengelilingi
kornea.1,3
Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan pertama N. trigeminus
yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama di bagian palpebra.
Konjungtiva mengandung sangat banyak pembuluh limfe.3
Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di
forniks atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan
pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi
kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi
nasal menuju punctum lakrimalis. Dengan demikian konjuntiva dan kornea selalu
basah.
Sel goblet pada epitel konjungtiva memproduksi musin yang membentuk
lapisan air mata bersama akuos dan lipid yang penting untuk stabilitas lapisan air
mata dan transparansi kornea sebagai prasyarat untuk penglihatan yang baik dan
lubrikasi permukaan bola mata. Konjungtiva mempunyai potensi yang sangat
besar untuk melawan infeksi karena:

1. Lapisan yang kaya vaskuler

2. Memiliki berbagai tipe sel yang berperan dalam reaksi pertahanan


terhadap keradangan

3. Memiliki banyak sel imunokompeten yang menghasilkan imunoglobulin

4
4. Memiliki aktivitas mikrovili dan enzimatis untuk menetralisasi
organisme termasuk virus

Pada keadaan defisiensi nutrisi atau pada keradangan ringan, konjungtiva


merespons dengan meningkatkan sekresi mukus, sedangkan pada keradangan
kronis, konjungtiva mengalami proses metaplasia skuamos yang ditandai dengan
keratinisasi yang menyebabkan jejas pada permukaan mata dan hilangnya sel
goblet yang memproduksi mukus sehingga lapisan air mata tidak stabil. Keduanya
menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada konjungtiva dan sel goblet. Pada
keradangan yang parah konjungtiva menjadi ireversibel selanjutnya terjadi
jaringan parut yang menyebabkan pemendekan forniks, simblefaron, hambatan
pergerakan bola mata, lagoftalmos. (Budiono, 2013)

2.2 Pterigium
2.2.1 Definisi

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pteron yang artinya sayap.
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.
Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.1

Histologi pterigium hampir sama dengan pinguekula dan


menunjukkan perubahan degeneratif pada vaskularisasi subepitel kolagen
stroma. Perbedaannya, pterigia melampaui kornea dan menginvasi lapisan
Bowman. Pseudopterigium mempunyai klinis yang sama. Psudeopterigium
terbentuk karena episode inflamasi akut seperti terpapar bahan kimia, ulkus
kornea (terutama di daerah marginal), trauma, dan sikatrik konjungtivitis
(Kanski, 2011).

5
Gambar 3: Pterigium (Aminlari, 2010)

2.2.2 Epidemiologi

Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari


tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih tinggi dibandingkan daerah non
tropis. Secara geografis memperlihatkan angka kejadian pterigium yang
meningkat bila mendekati khatulistiwa (370 LU dan 370 LS) (Shintya,
Djajakusli et al, 2010)

Prevalensi pterigium menurut Riskesdas di Indonesia pada Tahun


2015 menunjukkan bahwa prevalensi pterigium nasional adalah sebesar 8,3
% dengan prevalensi ter_nggi ditemukan di Bali (25,2%), diiku_ Maluku
(18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta
mempunyai prevalensi pterigium terendah yaitu (3,7%), diiku_ oleh Banten
(3,9%). Sedangkan untuk di daerah Riau sendiri prevalensi pterigium yaitu
(6,0%). Tingginya prevalensi pterigium pada kelompok pekerjaan nelayan
atau petani dibandingkan dengan pekerja lainnya yaitu 15,8%. Hal tersebut
dapat berkaitan dengan _ngginya paparan matahari yang mengandung sinar
ultraviolet (sinar UV).

Insidensi tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekurensi lebih


sering pada umur muda dari pada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
beresiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah dan riwayat exposure lingkungan (T H Tan Donald
et al, 2005).

2.2.3 Etiologi

6
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan
ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara
kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A
juga berpotensi timbulnya pterigium. Berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya pterigium yaitu: (Peng Lu, 2009)
1. Paparan sinar matahari dan ultraviolet.
Adanya paparan ini menyebabkan kerusakan dan proses
degeneratif dari jaringan ikat subepitel. Penelitian menunjukkan bahwa
menghabiskan waktu di luar akan menyebakan peningkatan risiko
terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet B merupakan faktor lingkungan
yang sangat signifikan dalam proses patogenesis pterigium. UV-B
merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang
terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin
seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor)
menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
2. Usia
Studi menunjukkan populasi dewasa memiliki prevalensi yang
tinggi sejalan dengan bertambahnya umur.

3. Jenis Kelamin
Kejadian pterigium pada laki-laki dan perempuan masih
diperdebatkan. Terdapat laporan statistik bahwa perempuan lebih banyak
yang terkena dari pada laki-laki atau sebaliknya dan ada pula yang
melaporkan pterigium pada laki-laki dan perempuan sama,

4. Tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi


Tingkat pendidikan berhubungan dengan status ekonomi.
Rendahnya tingkat pendidikan menghasilkan status sosial ekonomi yang
rendah dan memiliki efek timbulnya pterigium.

7
5. Mata kering
Faktor lingkungan berhubungan dengan mata kering seperti sinar
ultraviolet dan polusi debu lingkungan yang berimplikasi terbentuknya
pterigium.

6. Lain-lain
P 53 dan Human Papilloma Virus juga dapat masuk dalam
patogenesis pterigium. Radiasi sinar ultraviolet menyebabkan mutasi gen
P53 tumor gen supresor menghasilkan bentukan abnormal pada epitel.

2.2.4 Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak


dengan ultra violet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.

UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53


yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin
seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor)
menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid
(degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di
bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea.
Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan
inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan
substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal,
tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan

8
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi
elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh
epitel.
Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang
mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan
menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik
dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang muncul yaitu : (Kanski, 2011)

1. Bila lesi sangat kecil maka tidak ada gejala klinis yang muncul
(asimptomatis).
2. Pasien yang menggunakan kontak lensa menunjukkan gejala iritasi
pada stadium awal karena dapat mengangkat tepian lensa kontak.
3. Adanya pterigium dapat mengganggu penglihatan karena pterigium
dapat menutupi axis visual atau dapat menginduksi terjadinya
astigmatisme.
4. Pterigium menyebabkan masalah kosmetik
5. Lesi yang luas dapat berkaitan dengan subkonjungtiva fibrosis yang
meluas ke forniks dapat menyebabkan restriksi okular.
Biasanya penderita mengeluh mata merah dan timbulnya bentukan
seperti daging yang menjalar ke kornea. Pterigium ada dua macam, yaitu
yang tebal dan mengandung banyak pembuluh darah atau yang tipis dan
tidak mengandung pembuluh darah. Di bagian depan dari apek pterigium
terdapat infiltrat kecil-kecil yang disebut “islet of Fuch”. Pterigium yang

9
mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang
dikeluhkan kemeng oleh penderita (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2006).

Tanda klinis yang muncul yaitu : (Kanski,2011; Pedoman Diagnosis


dan Terapi, 2006; Aminlari, 2010)

1. Pterigium terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1)“cap” zona datar bagian
depan pada kornea yang terdiri dari fibroblas yang menginvasi dan
merusak membran Bowman. (2) Kepala adalah area vaskular di
belakang “cap” dan melekat erat di kornea. (3) Badan adalah bagian
yang dapat bergerak di daerah konjungtiva bulbi yang mudah untuk
diseksi dari jaringan di bawahnya.

2. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan konjungtiva mengalami


degenerasi hyalin dan elastis, sedangkan di kornea terjadi degenerasi
hyalin dan elastis pada membran Bowman

3. Stocker’s line yaitu deposisi besi di lapisan basal epitel kornea anterior,
menunjukkan pterigium kronis

2.2.6 Grade Pterigium

Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskular


yang berbentuk triangular pada konjungtiva yang dapat melampaui hingga
ke kornea. Keparahan pterigium terlihat dari grade pterigium dibawah sinar
lampu standar yang tergantung dari lokasi apeks pterigium melampaui
kornea sebagai berikut: ( Zhong, et al, 2012)

Grade 0 : tidak ada pterigium

Grade 1 : apeks pterigium belum melaewati limbus

Grade 2 : apeks pterigium melewati limbus dan belum mencapai pupil

Grade 3 : apeks pterigium di pupil margin

Grade 4 : apeks pterigium melewati pupil

10
Gambar 4: Grade Pterigium ( Coutts, 2012)

2.2.7 Diagnosis

Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis
Melalui anamnesis akan didapatkan keluhan-keluhan pasien
seperti adanya ganjalan pada mata seperti daging tumbuh yang semula
asimtomatik namun kadang didapatkan gejala dry eye (mata merah,
panas, gatal, dan epifora) akibat irregular wetting dari permukaan mata.
Seiring berkembangnya ukuran pasien mengeluh secara kosmetik
dirasakan mengganggu dan juga menimbulkan gangguan visual seperti
astigmatisme atau langsung menghalangi visual axis.
Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah
berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan
paparan sinar ultraviolet yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya. Paparan sinar ultraviolet, terutama radiasi
UV-B menyebabkan mutasi p53 tumor suppressor gene yang
mengakibatkan proliferasi abnormal dari epitel limbus (pearls)
(Aminlari, 2010). Paparan dengan alergen, limbah kimia, dan iritan
(debu, polusi) juga dapat meningkatkan risiko terjadinya pterigium
(Jharmawala, 2011).

11
b. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pterigium dapat memberikan 2 gambaran, antara lain:
 Pterigium dengan proliferasi minimal, berbentuk datar, dan
pertumbuhannya lambat. Gambaran ini mempunyai insiden
berulang yang rendah.
 Pterigium dengan pertumbuhan yang cepat dan mempunyai
komponen fibrovaskular yang meninggi (tebal). Gambaran ini
mempunyai insiden berulang yang tinggi. (Fisher, 2015)

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Slitlamp

Gambar 5: Slitlamp

12
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan
adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak
baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea,
umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka
bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pterigium dibagi menjadi 3 bagian yaitu: tudung kepala
(cap), kepala, dan badan/ekor. Bagian tudung kepala (cap) adalah
bagian datar pada kornea yang mengandung fibroblas dan
menembus membran Bowman. Bagian kepala adalah bagian yang
mempunyai pembuluh darah dan bersinggungan dengan kornea.
Sedangkan bagian badan/ekor adalah bagian yang mobile pada
konjunctiva bulbar yang dapat dengan mudah didiseksi dari
jaringan dibawahnya (Aminlari, 2010).
 Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.
 Pemeriksaan Histopatologi
Secara histologi, didapatkan konjuctiva mengalami degenerasi
hyalin dan elastis, sedangkan di kornea terjadi degenerasi hyalin
dan elastis pada membran Bowman (Pedoman Diagnosis Terapi,
2006).
2.2.8 Diagnosis Banding
a. Pinguekulum: penebalan terbatas pada konjunctiva bulbi, berbentuk
nodul yang berwarna kekuningan.

13
Gambar 6: Pinguecula Pterigium

b. Pseudopterigium: suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea.


Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva
dan kornea.

Tabel 1: Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium

2.2.9 Penatalaksanaan

Pterigium ringan tidak perlu diobati. Pterigium yang mengalami


iritasi dapat diberikan anti inflamasi tetes mata (golongan steroid, non
steroid seperti indomethasin 0,1% dan sodium diclofenac 0,1%) dan
vasokonstriktor tetes mata.

a. Surgical Techniques
Indikasi operasi:

14
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
dapat mengakibatkan astigmatisme.
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair, dan silau
karena astigmatisme.
4. Kosmetik terutama untuk penderita wanita
(Pedoman Diagnosis Terapi, 2006).

Tantangan utama operasi pterigium adalah tingkat kekambuhannya.


Kebanyakan opthalmologists lebih memilih mengavulsi bagian kepala dari
kornea. Jenis teknik operasi pterigium, antara lain:

1. The Bare Sclera Technique


Teknik ini menggunakan benang absorbable untuk melekatkan
konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu
daerah sklera yang terbuka (Aminlari, 2010). Teknik ini paling cepat
dilakukan, disertai dengan anastesi topikal atau subconjunctival, dan dapat
dilakukan tanpa operating microscope (Brightbill, 2009). Tingkat
kekambuhan tinggi, yaitu di antara 24-89% menurut data yang ada
(Aminlari, 2010). Hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka
kekambuhan yaitu dengan menambahkan adjuvant terapi seperti mytomicin
C atau beta irradiation (Brightbill, 2009)

Gambar 7: Bare Sclera

15
2. Simple closure
Tepi konjungtiva superior dan inferior yang bebas dijahit bersama
(efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil). Jika defek conjunctiva
berasal dari pterigium berukuran besar, kemungkinan bagian badan dari
pterigium harus disisakan. Hal ini meningkatkan kemungkinan inflamasi
post operasi, timbulnya skar, formasi granuloma, dan angka kekambuhan
pterigium yang dilaporkan berkisar antara 2-88% (Brightbill, 2009).

Gambar 8: Simple Closure.


3. Sliding flaps
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap
konjungtiva digeser untuk menutupi defek.

Gambar 9: Sliding Flaps.


4. Rotational flaps
Insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.

16
Gambar 10: Rotational Flaps.

5. A Conjunctival Sclera Technique


Teknik ini menggunakan autograft, biasanya berasal dari
superotemporal bulbar conjunctiva dan menjahit graft di bagian sklera
yang terbuka setelah eksisi pterigium. Teknik ini mempunyai tingkat
kekambuhan di antara 2-40%. Hal yang harus diperhatikan dalam teknik
ini adalah saat diseksi jaringan Tenon dari conjunctival graft dan tempat
jahitan, jaringan harus sedikit mungkin terkait, dan pemasangan graft
harus akurat.

17
Gambar 11: Conjunctival Scleral Technique (Astudillo, 2015)

6. Amniotic Membrane Grafting


Amniotic membrane adalah bagian yang tipis, paling dalam dari
plasenta yang mempunyai lapisan avascular stroma dan basement
membrant. Amniotic membrane mempunyai efek antiinflamasi dan
antifibroblastik. Amniotic membrane juga mengandung faktor
pertumbuhan dan mempunyai efek antimikroba (Brightbill, 2009).
Oleh sebab itu dapat digunakan untuk mencegah kekambuhan
pterigium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan
penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan
fibroblast pterigium. Amniotic membrane di tempatkan pada permukaan
okular dengan stroma menghadap bawah dan basement membrant
menghadap atas (Brightbill, 2009). Pemberian mytomicin C dan beta
irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang
digunakan.
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan
terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid

18
Komplikasi pasca operasi

1. Nyeri/discomfort
Nyeri biasanya timbul pada 24-48 jam setelah operasi. Hal ini
dikarenakan permukaan kornea dibiarkan terbuka setelah operasi dan
membutuhkan waktu 24-48 jam untuk sembuh. Jahitan pada luka
membuat pasien merasakan ketidaknyamanan seperti mata berpasir yang
bertahan beberapa minggu. Penyembuhan luka operasi melewati tahap
inflamasi yang menyebabkan mata menjadi merah, kering, dan berpasir
yang membutuhkan waktu beberapa minggu, bahkan bulan untuk
kembali normal seperti semula.
2. Cosmetic appearance
Operasi pterigium biasanya menimbulkan sedikit skar pada kornea yang
kemungkinan terlihat.
3. Ulserasi kornea
Jarang, tetapi dapat terjadi. Antibiotik yang adekuat harus segera
diberikan.
4. Conjungtival graft dehiscence
5. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata, perdarahan
vitreous, atau retinal detachment (Brightbill, 2009 dan Fisher, 2015).

2.2.10 Komplikasi

Komplikasi dari pterigium antara lain:

1. Penyimpangan dan/atau pengurangan pusat penglihatan


2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi


penglihatan dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang
berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien

19
dengan pterigium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan
pterigia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan fokal kornea mata akan
tetapi sangat jarang terjadi.

2.2.11 Prognosis

Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna,


umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun
hal itu juga tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan.
Prosedur operasi biasanya well tolerated pada pasien dan kebanyakan
pasien dapat beraktivitas seperti biasa pada 48 jam setelah operasi. Untuk
mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%) sebaiknya dilakukan
penyinaran dengan Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila
residif maka dapat dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus
pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan
jaringan epitel (Fisher, 2015).

2.2.12 Edukasi

Bila tidak menimbulkan keluhan atau gangguan penglihatan tidak


harus dilakukan operasi, karena bersifat rekuren (Pedoman Diagnosis
Terapi, 2006). Namun jika sudah dilakukan operasi, pasien sebaiknya
menghindari paparan sinar ultraviolet untuk mencegah rekurensi.
Penggunaan topi atau penutup kepala lainnya, dan kacamata anti radiasi
ultraviolet juga dianjurkan terutama pada pasien yang hidup di daerah
tropis atau subtropis yang banyak melakukan aktivitas di luar ruangan
dengan risiko paparan sinar ultraviolet yang tinggi (Fisher, 2015).

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. T
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. Registrasi : 535098
Pekerjaan : petani
Alamat : desa wani
Tanggal anamnesa : 25 April 2019

2.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)


3.2.1 Keluhan Utama
Rasa mengganjal pada mata kanan

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan yang
dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit, keluhan dirasakan dengan
mata kanan terasa gatal, berwarna merah, terasa nyeri, berair, dan silau ketika
terkena cahaya matahari, peneglihatan akhir akhir ini mulai meurun. Nyeri kepala
(-), demam (-), Pasien mengaku sering mengucek mata kanannya karena sering
terasa gatal, dan setiap harinya pada saat bekerja di sawah pasien tidak
menggunakan kacamata pelindung dari sinar matahari.

3.2.3 Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Tidak ada.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


‐ Pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya (-).

21
‐ Riwayat operasi (-).
‐ Riwayat trauma (-).
‐ Riwayat sering terpapar dengan matahari pada kedua mata (+).
‐ Hipertensi (-), Diabetes melitus (-)

3.2.5 Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami sakit yang sama.
Riwayat keluarga dengan alergi (-), penderita asma (-), HT (-), DM (-)

3.2.6 Riwayat alergi: alergi makanan tertentu tidak diketahui..

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


3.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/ menit
Suhu : 36,7 derjat selsius

2.3.2 Status Oftalmologikus


Pemeriksaan OD OS
Visus VOD: > 6/60 VOS: > 6/60

Kedudukan Bola Mata


Posisi Ortoforia Ortoforia

22
Pergerakan bola mata

- Duksi Baik Baik


- Versi Baik Baik

Kornea jernih Kornea jernih


Injeksi Konjungtiva (-) Injeksi Konjungtiva (-)
Tampak pertumbuhan
Jernih dari
Jarinagan fibrovaskular
konjungtiva bulbi nasal ke
bagian kornea hingga pupil
Palpebra
Superior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
laserasi (-), benjolan (-) laserasi (-), benjolan (-)
Inferior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
laserasi (-), benjolan (-) laserasi (-), benjolan (-)
Silia Trikiasis (-), madarosis (-) Trikiasis (-), madarosis (-)

Konjungtiva tarsus Normal, enteropion (-), Normal, enteropion (-),


superior ekstropion (-), ekstropion (-), hordeolum(-
hordeolum(-), kalazion (-) ), kalazion (-)
Konjungtiva tarsus Normal, enteropion (-), Normal, enteropion (-),
inferior ekstropion (-), ekstropion (-), hordeolum(-
hordeolum(-), kalazion (-) ), kalazion (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-), jar. Injeksi konjungtiva (-), jar.

23
Fibrovascular (+), Trantas Fibrovascular (-), Trantas
dot pada limbus (-) dot pada limbus (-).
Kornea
Jernih + +
Edema - -
Ulkus - -
Perforasi - -
Makula - -
Leukoria - -
Pigmen iris - -
Laserasi - -
Jaringan fibrovaskuler + -

Limbus Kornea
Trantas dot - -
Arcus sinilis
- -
Bekas jahitan - -
Jaringan fibrovaskuler + -
Sklera
Sklera biru - -
Ikterik - -
Hiperemis - -
COA
Volume Sedang Sedang
Iris
Warna Cokelat Cokelat
Kripta Normal Normal
Prolaps - -
Pupil

24
Bentuk Bulat Bulat
Isokoria Isokor Isokor
Ukuran 2.5 mm 2.5 mm
RCL + +
RCTL + +
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
PEMERIKSAAN Tidak dilakukan Tidak dilakukan
SLIT LAMP pemeriksaan. pemeriksaan.
Tekanan Intra Okuler
Palpasi Normal Normal
Tonometer Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
VISUAL FIELD Tidak dilakukan
FUNDUSKOPI Tidak dilakukan

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah rutin: tidak dilakukan
Kimia darah : GDS : 105 mg/dl
Anjuran: tes alergi

2.4 RESUME
Pasien perempuan usia 59 tahun datang ke RSU Anutapura dengan keluhan
utama rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan sejak 2 tahun
sebelum masuk rumah sakit dan keluhan dirasakan semakin lama semakin
memberat dan mengganggu aktivitas, keluhan dirasakan dengan mata kanan
terasa gatal, berwarna merah, terasa nyeri, berair, dan silau ketika terkena
cahaya matahari, peneglihatan akhir akhir ini mulai menurun. Pasien mengaku
sering mengucek mata kanannya karena sering terasa gatal, dan setiap harinya
pada saat bekerja di sawah pasien tidak menggunakan kacamata pelindung
dari sinar matahari.

25
Hasil pemeriksaan visus: VOD: 4/60 dan VOS: > 6/60. Hasil
pemeriksaan segmen anterior: konjungtiva bulbi tampak jaringan
fibrovaskular berbentuk segitiga berwarna putih kemerahan, pertumbuhan dari
celah conjungtiva bulbi nasal meluas hingga ke kornea dan sudah mencapai
pupil pada oculi dextra. tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva ataupun
injeksi siliar, didapatkan kornea jernih, kamera okuli anterior bening dengan
kedalaman cukup,iris berwarna coklat, pupil bulat, lensa jernih dan sistem
kanalis lakrimalis dalam batas normal.
2.5 DIAGNOSIS KERJA
OD Pterigium grade III

2.5 DIAGNOSIS BANDING


- Pseudopterigium
- pinguecula

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


‐ Darah rutin (-)
‐ Kimia darah : GDS 105 mg/dl
‐ Anjuran: tes alergi.

2.7 PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Tobroson 6 x 1 tetes OD
Cendo Centfresh 4 x 1 tetes ODS
Rencana operasi : eksisii pterigium + Conjungtiva limbal graft
EDUKASI:
- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan.
- Pemakaian mesin pendingin ruangan.
-Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk sari.
- Menggunakan kaca mata untuk mengurangi kontak dengan alergen di udara
terbuka.

26
2.8 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, dilaporkan seorang Pasien perempuan usia 59 tahun datang
ke RSU Anutapura dengan keluhan utama rasa mengganjal pada mata kanan yang
dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit dan keluhan dirasakan
semakin lama semakin memberat dan mengganggu aktivitas, keluhan dirasakan
dengan mata kanan terasa gatal, berwarna merah, terasa nyeri, berair, dan silau
ketika terkena cahaya matahari, peneglihatan akhir akhir ini mulai menurun.
Pasien mengaku sering mengucek mata kanannya karena sering terasa gatal, dan
setiap harinya pada saat bekerja di sawah pasien tidak menggunakan kacamata
pelindung dari sinar matahari.
Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa pada anamnesis
kasus pterigium didapatkan adanya keluhan seperti ganjalan pada mata seperti

27
daging tumbuh yang semula asimtomatik namun kadang didapatkan gejala dry eye
(mata merah, panas, gatal, dan epifora) akibat irregular wetting dari permukaan
mata. Seiring berkembangnya ukuran pasien mengeluh secara kosmetik dirasakan
mengganggu dan juga menimbulkan gangguan visual seperti astigmatisme atau
langsung menghalangi visual axis. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya
riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah
dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat
trauma sebelumnya. Paparan sinar ultraviolet, terutama radiasi UV-B
menyebabkan mutasi p53 tumor suppressor gene yang mengakibatkan proliferasi
abnormal dari epitel limbus (pearls).
Dari hasil pemeriksaan visus: VOD: 4/60 dan VOS: > 6/60. Hasil
pemeriksaan segmen anterior: konjungtiva bulbi tampak jaringan fibrovaskular
berbentuk segitiga berwarna putih kemerahan, pertumbuhan dari celah
conjungtiva bulbi nasal meluas hingga ke kornea dan sudah mencapai pupil pada
oculi dextra. tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva ataupun injeksi siliar,
didapatkan kornea jernih, kamera okuli anterior bening dengan kedalaman
cukup,iris berwarna coklat, pupil bulat, lensa jernih dan sistem kanalis lakrimalis
dalam batas normal.
Menurut literatur Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan
fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. Pterigium dapat memberikan 2
gambaran, antara lain: Pterigium dengan proliferasi minimal, berbentuk datar, dan
pertumbuhannya lambat. Gambaran ini mempunyai insiden berulang yang rendah.
Pterigium dengan pertumbuhan yang cepat dan mempunyai komponen
fibrovaskular yang meninggi (tebal). Gambaran ini mempunyai insiden berulang
yang tinggi.
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang diagnosis pada pasien ini yaitu pterigium grade III.

28
Sesuai dari hasil anamnesis Pasien ini diIndikasikan untuk di lakukan tindakan
operasi, yang sesuai untuki indikasi operasi yaitu Pterigium yang menjalar ke
kornea sampai lebih 3 mm dari limbus dapat mengakibatkan astigmatism,
Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil,
Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair, dan silau karena
astigmatisme, Kosmetik terutama untuk penderita wanita.

Terapi atau penatalaksanaan pada kasus ini adalah pemberian pengobatan


secara medikamentosa yaitu obat tetes mata kombinasi antibiotic dan steroid yaitu
tobroson 1tete/ 4 jam mata kanan serta lubrikan/airmata buatan/topical lubricating
drops yang di berikan pada pasien centfresh 1-2 tetes/4jam. Pada pasien ini
dilakukan tindakan operasi yaitu eksisi pterigium dengan conjungtiva limbal graft.
Sesuai dengan teori, Teknik ini menggunakan autograft, biasanya berasal dari
superotemporal bulbar conjunctiva dan menjahit graft di bagian sklera yang
terbuka setelah eksisi pterigium. Teknik ini mempunyai tingkat kekambuhan yang
rendahantara 2-40%. Hal yang harus diperhatikan dalam teknik ini adalah saat
diseksi jaringan Tenon dari conjunctival graft dan tempat jahitan, jaringan harus
sedikit mungkin terkait, dan pemasangan graft harus akurat.

29
BAB V
KESIMPULAN

Pterigium ialah pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif


dan invasif. Pertumbuhan terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Diagnosa dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesa positif terhadap faktor risiko dan paparan serta
pemeriksaan fisik yang cukup
untuk membuat suatu diagnosa pterigium. Pengobatan definitif pada pasien
dengan pterigium grade III adalah dengan melakukan tindakan operasi. Tidak
ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pterigium.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Jakarta: Widya Medika, 2014.
Hal 111-112.
2. Ilyas Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Edisi ke tiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2014. Hal 137-138.
3. A.K. Khurana. Comprehenship Opthalmology 4th Edition dalam Chapter 12-New
Age International 2007. P 288-96.
4. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal. Jakarta 1993.
Hal 332-342.
5. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta :
EGC.
6. Medicastore. Konjungtivitis Vernalis. Diunduh dari
http://www.medicastore.com/penyakit/865/Keratokonjungtivitis_Vernalis.html.
7. PubMed Central Journal list. Vernal Keratoconjunctivitis. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1705659/.
8. Kumuwa, Medi. The clinical picture of vernal kerato-conjunctivitis in Uganda

31
Comm Eye Health Vol. 14 No. 40 2001 pp 66 - 67. Published online 01 December
2001. https://www.cehjournal.org/article/the-clinical-picture-of-vernal-kerato-
conjunctivitis-in-uganda/

32

Anda mungkin juga menyukai

  • Presentation 5
    Presentation 5
    Dokumen9 halaman
    Presentation 5
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 2
    Presentation 2
    Dokumen10 halaman
    Presentation 2
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Kasus
    Kasus
    Dokumen2 halaman
    Kasus
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen8 halaman
    Presentation 1
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • KULIT Aldhy
    KULIT Aldhy
    Dokumen150 halaman
    KULIT Aldhy
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 4
    Presentation 4
    Dokumen8 halaman
    Presentation 4
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 2
    Presentation 2
    Dokumen10 halaman
    Presentation 2
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Presentation 3
    Presentation 3
    Dokumen7 halaman
    Presentation 3
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Kasus 2
    Kasus 2
    Dokumen20 halaman
    Kasus 2
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen21 halaman
    Bab Ii
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Kasus 3
    Kasus 3
    Dokumen3 halaman
    Kasus 3
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Weekly Report
    Weekly Report
    Dokumen13 halaman
    Weekly Report
    Muhamad Arief
    Belum ada peringkat
  • Buku Pneumonia COVID 19 - PDPI 2020 PDF
    Buku Pneumonia COVID 19 - PDPI 2020 PDF
    Dokumen67 halaman
    Buku Pneumonia COVID 19 - PDPI 2020 PDF
    amdita
    100% (3)
  • Anatomi Bronko Esofagus
    Anatomi Bronko Esofagus
    Dokumen32 halaman
    Anatomi Bronko Esofagus
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen5 halaman
    Bab I
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Refka Evy
    Refka Evy
    Dokumen42 halaman
    Refka Evy
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • 3494 128501 Bimbingan
    3494 128501 Bimbingan
    Dokumen1 halaman
    3494 128501 Bimbingan
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Bedah Minor
    Bedah Minor
    Dokumen25 halaman
    Bedah Minor
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Dokumen5 halaman
    Tinjauan Pustaka
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Bronko Esofagus
    Anatomi Bronko Esofagus
    Dokumen25 halaman
    Anatomi Bronko Esofagus
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Esofagitis Korosif
    Esofagitis Korosif
    Dokumen21 halaman
    Esofagitis Korosif
    NiLuh Fency
    Belum ada peringkat
  • Ruptur Esofagus
    Ruptur Esofagus
    Dokumen11 halaman
    Ruptur Esofagus
    Eko Dyah Puspitasari
    Belum ada peringkat
  • Laporan Manajemen Apotik Aldhy
    Laporan Manajemen Apotik Aldhy
    Dokumen17 halaman
    Laporan Manajemen Apotik Aldhy
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Bab I1
    Bab I1
    Dokumen1 halaman
    Bab I1
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Ceklist Implan
    Ceklist Implan
    Dokumen1 halaman
    Ceklist Implan
    Nur Safriyanti
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen22 halaman
    Chapter II
    Roni Ananda Perwira Harahap
    Belum ada peringkat
  • Buletin Diare Final
    Buletin Diare Final
    Dokumen44 halaman
    Buletin Diare Final
    Cynthia Dewi Maharani
    100% (1)
  • Lapsus
    Lapsus
    Dokumen24 halaman
    Lapsus
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen15 halaman
    Bab Iii
    aldhyfebina
    Belum ada peringkat