Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA TN. W DENGAN CHOLELITIASIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Praktek Profesi


Keperawatan Departemen Keperawatan Medikal Bedah
Di Ruang 19
RSUD DR. Saiful Anwar, Malang

Oleh:
FITA PURNAMASARI RAHMADHANI
P17211186029

PRODI PROFESI KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
TAHUN AJARAN 2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN CHOLELITIASIS

1. DEFINISI
Cholelitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu yang pada umumnya
komposisi utamanya adalah kolesterol (Williams, 2003).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung
empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu,
kalsium dan matriks inorganik.(Wayan, 2007).
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya.

2. ETIOLOGI

Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting, yaitu: gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam


pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk
membentuk batu empedu.

Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi


progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan
statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu,
dibanding panyebab terbentuknya batu.(Price, 1994)

3. KLASIFIKASI
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu digolongkan atas
3 golongan, yaitu:

1. Batu kolesterol; berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol.

2. Batu kalsium billirubinan (pigmen coklat); berwarna coklat atau coklat tua, lunak,
mudah dihancurkan dan mengandung kalsium bilirubinat sebagai komponen utama.

3. Batu pigmen hitam; berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

4. MANIFESTASI KLINIK
Tanda gejala menurut Wim de Jong. (2005) pada pasien Cholelitiasis adalah sebagai berikut:
1. Sebagian bersifat asimtomatik
2. Kolik bilier: Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri
hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan;
rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam makan
makanan dalam porsi besar.
3. Sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten
4. Mual dan muntah serta demam
5. Ikterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna
kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit
6. Perubahan warna urin dan feses. Ekspresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin
berwarna sangat gelap. Feses yang tidak diwarnai lagi oleh pigmen empedu akan tampak
kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay colored”
7. Regurgitasi gas : flatus dan sendawa
8. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorpsi vitain A, D,
E, K yang larut dalam lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau sumbatan bilier berlangsung lama. Penurunan
jumlah vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.

5. KOMPLIKASI
1. Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat
oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
2. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang
menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi
terhalang oleh sebuah batu empedu.
3. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu.
Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya.
Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi
empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
4. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan
jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
5. PATHWAY
WOC CHOLELITIASIS

Serosis hepatis Infeksi bakteri Gangguan metabolime


(kolesistitis)

Bilirubin tak terkonjugasi Perubahan komposisi


Penurunan pembentukan
empedu, stasis bilier.
misel
Kalsium palmiat dan
Kalsium bilirubinat stearat Konsentrasi kolesterol
melebihi kemampuan
Sekresi empedu jenih
empedu mengikatnya
Batu pigmen hitam kolesterol

BATU EMPEDU/ Oklusi dan obstruksi dari batu Pembentukan kristal Garam empedu
Ikterus
Batu kolesterol
KOLELITIASIS kolesterol
Obstruksi duktus sistikus dan Obstruksi getah Diserap oleh
duktus biliaris empedu ke darah
duodenum

Kolik bilier
Ggg gastrointestinal Respon sistemik
inflamsi
Mual, muntah, anoreksia Nyeri
epigastrum Suhu tubuh
Intake nutrisi dan cairan tdak
adekuat MK : ggg
kenyamanan nyeri MK : hipertemia
MK : Resiko MK : Resiko
akut
Ketidakseimbangan Ketidakseimbanga
nutrisi kurang dari n volume cairan
kebutuhan
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG/DIAGNOSTIK
1. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

(gambar USG batu empedu)


2. CT-Scan
Metode ini juga merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.

3. ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi
ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP
berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus
hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat
digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung
empedunya sudah diangkat.

4. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs
vitamin K.

7. PENATALAKSANAAN
Menurut Reenbergen. (1998), penanganan cholelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu
penanganan non bedah dan bedah.
a) Penanganan Nonbedah
a. Penanganan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk Manajemen terapi :
i. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
ii. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
iii. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
iv. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
v. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-
obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan
chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang. Harus memenuhi criteria terapi non operatif, seperti batu
kolesterol diameternya <20 mm dan batu < 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan
duktus sistik paten.
c. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter
perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang
dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke
dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu
dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang
kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa,
sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.
d. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock
Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus
koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
(Smeltzer & Bare, 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah
benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
e. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan
ke dalam usus halus sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Zat kontras radioopak
masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat
saluran akan berpindah ke usus halus. Untuk batu besar, batu yang terjepit di saluran
empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang sempit diperlukan prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi
mekanik dan litotripsi laser.
ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari
setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga
prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya
telah diangkat

b) Penanganan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di
Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding
operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai
melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu
duktus koledokus. Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau
kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm. kelebihan yang
diperoleh pasien luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.
Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi
lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN CHOLELITIASIS

1. Pengkajian
a) Identitas
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua
data mengenai identitas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
b. Identitas Penanggung Jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b) Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q)
yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal
menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi
nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien
merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
c. Riwayat kesehatan dahulu
i. Penyakit apa yang pernah diderita pasien ?
ii. Apakah pasien memiliki kebiasaan minum alcohol ?
iii. Apakah pasien pernah menjalani operasi batu empedu ?
d. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit cholelitiasis.

c. Riwayat pemenuhan bio-psiko-sosial

a. Aktivitas dan istirahat:


1) subyektif : kelemahan
2) Obyektif : kelelahan, gelisah
b. Sirkulasi :
1) Obyektif : Takikardia, Diaphoresis
c. Eliminasi :
1) Subektif : Perubahan pada warna urine dan feces
2) Obyektif : Distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/quadran kanan
atas, urine pekat .
d. Makan / minum (cairan)
1) Subyektif : Anoreksia, Nausea/vomit.
a) Tidak ada toleransi makanan lunak dan mengandung gas.
b) Regurgitasi ulang, eruption, flatunasi.
c) Rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn).
d) Ada peristaltik, kembung dan dyspepsia.
2) Obyektif :
a) Kegemukan.
b) Kehilangan berat badan (kurus).
e. Nyeri/ Kenyamanan :
1) Subyektif :
a) Nyeri abdomen menjalar ke punggung sampai ke bahu.
b) Nyeri apigastrium setelah makan.
c) Nyeri tiba-tiba dan mencapai puncak setelah 30 menit.
2) Obyektif : Cenderung teraba lembut pada kolelitiasis, teraba otot meregang /kaku
hal ini dilakukan pada pemeriksaan RUQ dan menunjukan tanda marfin (+).
f. Respirasi :
1) Obyektif : Pernafasan panjang, pernafasan pendek, nafas dangkal, rasa tak
nyaman.
g. Keamanan :
1) Obyektif : demam menggigil, Jundice, kulit kering dan pruritus, cenderung
perdarahan (defisiensi Vit K ).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA, (2015-2017). Diagnosa yang muncul pada cholelitiasis adalah sebagai
berikut :
1) Nyeri akut b.d agen cedera biologis: obstruksi atau spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan atau nekrosis (kematian jaringan).
2) Hipertermia b.d peningkatan laju metabolism, proses penyakit (inflamasi).
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak adekuatnya
intake nutrisi (tonus otot/peristaltic menurun)
4) Resiko kekurangan volume cairan dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif
5) Resiko syok dibuktikan dengan hipovolemi
6) Resiko infeksi dibuktikan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder : supresi
respon inflamasi
3. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil


Intervensi (NIC) Rasional
. Keperawatan (NOC)

1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan Pain Management Pain Management
cedera biologis: keperawatan selama 2x24 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Agar mengetahui derajat nyeri
obstruksi atau jam, diharapkan nyeri pada secara komprehensif dan tindakan lanjutan yang
spasme duktus, pasien dapat teratasi dengan
termasuk lokasi, diberikan
proses inflamasi, criteria hasil sebagai berikut :
iskemia jaringan NOC karakteristik, durasi,
atau nekrosis  Pain Level frekuensi, kualitas dan
 Pain Control 2. Agar menngetahui respon non
(kematian jaringan).
 Comfort Level factor presipitasi
Kriteria Hasil : 2. Observasi reaksi non verbal verbal terhadap nyeri
1. Mampu mengontrol 3. Agar pasien nyaman dan dapat
dari ketidaknyamanan
nyeri (tahu penyebab 3. Gunakan teknik komunikasi memberikan informasi
nyeri, mampu terapeutik untuk mengenai nyerinya dulu
menggunakan teknik mengetahui pengalaman
4. Agar mengetahui sumber nyeri
nonfarmakologi untuk nyeri pasien
4. Kaji kultur yang 5. Agar mengetahui hasil akhir
mengurangi nyeri,
mempengaruhi respon nyeri terhadap control nyeri yang
mencari bantuan) 5. Evaluasi bersama pasien
2. Melaporkan bahwa dilakukan masa dulu
dan tim kesehatan lain 6. Mengurangi sumber-sumber
nyeri berkurang dengan
tentang ketidakefektifan yang menyebabkan nyeri timbul
menggunakan
control nyeri masa lampau
manajemen nyeri 7. Agar mengurangi nyeri yang
6. Control lingkungan yang
3. Mampu mengenali nyeri terjadi dengan teknik terapi
mempengaruhi nyeri seperti
(skala, intensitas, ruang suhu ruangan,
8. Agar mengurangi nyeri dan
frekuensi dan tanda pencahayaan dan
tanpa obat-obat kimia
nyeri) kebisingan
9. Bekerja sama dengan dokter jika
4. Meyatakan rasa nyaman 7. Pilih dan lakukan
tindakan nyeri tidak berhasil
setelah nyeri berkurang penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
8. Ajarkan teknik non
farmakologi
Analgesic Administration
9. Kolaborasikan dengan
1. Agar mengetahui derajat nyeri
dokter jika ada keluhan dan
dan obat yang diberikan
tindakan nyeri tidak
berhasil
2. Agar tidak salah dalam
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, pemberian obat
karakteristik, kualitas dan
3. Agar mengurangi komplikasi
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
pemberian obat 4. Agar obat yang diberikan sesuai
2. Cek instruksi dokter tentang
dengan derajat nyeri pasien
jenis obat, dosis dan
5. Agar mengetahui pengaruh obat
frekuensi
3. Cek riwayat alergi terhadap tanda vital
4. Pilih analgesic yang
6. Agar mengetahui keberhasilan
diperlukan atau kombinasi
analgesic ketika pemberian obat dan tidak ditemukannya
lebih dari satu tanda gejala lain
5. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesic
6. Evaluasi efektivitas
analgesic, tanda dan gejala

2. Hipertermia b.d Setelah dilakukan asuhan Fever Treatment Fever Treatment


1. Monitor vital sign 1. Agar mengetahui perubahan
peningkatan laju keperawatan selama 2x24
2. Monitor warna dan suhu
tanda vital pasien
metabolism, proses jam, diharapkan hipertermia
kulit 2. Agar mengetahui perubahan
penyakit (inflamasi) pada pasien dapat teratasi 3. Monitor WBC, Hb, dan
warna dan suhu tubuh pasien
dengan criteria hasil sebagai Kct 3. Agar mengetahui perubahan
4. Monitor intak dan output
berikut : WBC, Hb dan Kct
5. Berikan pengobatan untuk
NOC 4. Keseimbangan intake dan
 Thermoregulasi mengatasi penyebab
output mempengaruhi
Kriteria Hasil :
demam
1. Suhu tubuh dalam perubahan suhu
6. Selimuti pasien
5. Pemberian obat untuk
rentang normal 7. Berikan anti piretik
2. Nadi dan RR dalam 8. Lakukan tapid sponge menurunkan demam
9. Kolaborasi pemberian 6. Menjaga suhu tubuh agar tetap
rentang normal
3. Tidak ada perubahan cairan IV hangat
10. Kompres pasien pada lipat 7. Pemberian obat penurun panas
warna kulit dan tidak ada
paha dan aksila untuk mengurangi demam
pusing
8. Pemberian kompres untuk
menurunkan demam
9. Agar cairan dan nutrisi tetap
terpenuhi
10. Pemberian kompres pada titik
panas tubuh

3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Nutrition Management Nutrition Management


1. Kaji adanya alergi 1. Alergi makanan mengganggu
nutrisi kurang dari keperawatan selama 2x24
makanan intake output nutrisi
kebutuhan tubuh b.d jam, diharapkan nutrisi pada
2. Kolaborasi dengan ahli 2. Agar menentukan jumlah
tidak adekuatnya pasien dapat teratasi dengan
gizi untuk menentukan asupan yang dibutuhkan pasien
intake nutrisi (tonus criteria hasil sebagai berikut :
jumlah kalori dan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
NOC
otot/peristaltic
 Nutritional Status yang dibutuhkan pasien tubuh
menurun)  Nutritional Status : food 3. Anjurkan pasien untuk 3. Agar kebutuhan zat besi dalam
and fluid intake meningkatkan intake Fe darah terpenuhi
 Nutritional Status : 4. Anjurkan pasien untuk 4. Agar tidak mengalami sariawan
nutrient meningkatkan protein dan akibat kekurangan vitamin C
 Intake 5. Agar membantu memenuhi
vitamin C
 Weight control
5. Berikan substansi gula kebutuhan nutrisi dalam tubuh
Kriteria Hasil :
6. Yakinkan diet yang 6. Agar mengurangi komplikasi
1. Adanya peningkatan
dimakan mengandung akibat kekurangan serat
berat badan sesuai
tinggi serat untuk
dengan tujuan 7. Agar asupan nutrisi sesuai
2. BB ideal sesuai dengan mencegah konstipasi
dengan yang dibutuhkan pasien
7. Berikan makanan yang
tinggi badan
selama sakit
3. Tidak ada tanda-tanda tepilih (sudah
Nutrition Monitoring
malnutrisi dikonsultasikan dengan 1. Agar mengatahui perubahan BB
4. Menunjukkan
ahli gizi) yang terajadi
peningkatan fungsi Nutrition Monitoring 2. Lingkungan yang kurang bersih
1. Monitor adanya
pengecapan dari penurunan berat badan dapat mempengaruhi nafsu
2. Monitor lingkungan
menelan makan pasien
5. Tidak terjadi penurunan selama makan 3. Turgor kulit lentur menandakan
3. Monitor turgor kulit
berat badan yang berarti kebutuhan cairan cukup
4. Monitor mual dan muntah
4. Mual muntah mengganggu
5. Monitor kadar albumin,
keseimbangan nutrisi tubuh
total protein, Hb, dan
5. Asupan cairan tercukupi jika Ht
kadar Ht
dalam darah tidak kental
6. Pucat dan kekeringan
6. Monitor pucat, kemerahan
konjungtiva menandai seseorang
dan kekerangan jaringan
kurang asupan cairan
konjungtiva

4. Resiko kekurangan Setelah dilakukan asuhan Fluid Management Fluid Management


1. Monitor status hidrasi 1. Agar mengetahui tanda hidrasi
volume cairan keperawatan selama 2x24
(kelembaban membrane pasien dan pemberian tindakan
dibuktikan dengan jam, diharapkan resiko
mukosa, nadi adekuat, lanjutan
kehilangan cairan kekurangan cairan pada
2. Agar mengetahui perubahan
TD) jika diperlukan
aktif pasien dapat dicegah dengan
2. Monitor vital sign tanda vital pada pasien
criteria hasil sebagai berikut : 3. Monitor intake dan output 3. Agar tetap menjaga
NOC
cairan keseimbangan cairan dalam
 Fluid Balance
4. Kolaborasi pemberian
 Hydration tubuh pasien
 Nutritional Status : food cairan IV 4. Agar nutrisi dan cairan dalam
5. Dorong masukan oral
and fluid intake tubuh pasien terpenuhi
6. Tawarkan snack (jus buah,
Kriteria Hasil : 5. Asupan makanan membantu
1. Mempertahankan urine buah segar)
memenuhi kebutuhan nutrisi
7. Kolaborasi dengan dokter
output sesuai dengan
usia dan BB pasien
2. Vital sign dalam batas 6. Membantu menambah asupan
normal nutrisi dalam tubuh pasien
3. Tidak ada tanda-tanda 7. Kolaborasi dengan dokter dalam
Hypovolemia
dehidrasi, elastisitas memenuhi nutrisi pasien
Management
Hypovolemia Management
turgor kulit baik, 1. Pelihara IV line
1. Mengurangi terjadinya infeksi
2. Monitor tingkat Hb dan
membrane mukosa
pada pasien
Hematokrit
lembab, tidak ada rasa 2. Agar mengetahui kekentalan
3. Dorong pasien untuk
haus yang berlebihan darah pasien
menambah intake oral
3. Agar membantu memenuhi
4. Pemberian cairan IV
kebutuhan nutrisi pasien
monitor adanya tanda dan
4. Agar membantu dalam
gejala kelebihan volume
memenuhi nutrisi tubuh dan
cairan
mengetahui tanda kelebihan
cairan

5. Resiko syok Setelah dilakukan asuhan Syok prevention Syok prevention


1. Monitor warna kulit, suhu 1. Agar mengetahui perubahan
dibuktikan dengan keperawatan selama 2x24
kulit, denyut jantung, nadi warna kulit, suhu, denyut
hipovolemi jam, diharapkan resiko syok
perifer. jantung pasien
pada pasien dapat dicegah
2. Monitor input dan output 2. Keseimbangan asupan dan
dengan criteria hasil sebagai 3. Monitor tanda dan gejala
pengeluaran untuk mencegah
berikut : asites
terjadinya komplikasi dalam
NOC 4. Lihat dan pelihara
 Syok prevention tubuh
kepatenan jalan nafas
 Syok management 3. Penumpukan cairan dalam
5. Berikan cairan IV dan atau
abdomen dapat mengganggu
Kriteria Hasil : oral yang tepat keseimbangan cairan tubuh
1. Nadi dalam batas yang 4. Jalan nafas yang baik akan
Syok Management
diharapkan mengurangi terjadinya
1. Monitor tekanan nadi
2. Irama jantung dalam
2. Monitor status cairan, kekurangan oksigen
batas yang diharapkan 5. Asupan cairan dan oral yang
input output
3. Frekuensi nafas dalam
3. Monitor gejala gagal tepat untuk menjaga
batas yang diharapkan
pernapasan keseimbangan asupan dalam
4. Irama pernafasan dalam
4. Masukkan dan
tubuh
batas yang diharapkan
memelihara akses IV Syok Management
Hidrasi
1. Agar mengetahui perubahan
Indikator :
1. Mata cekung tidak nadi yang terjadi.
2. Keseimbangan asupan dan
ditemukan
2. Demam tidak ditemukan pengeluaran cairan dapat
3. TD dalam batas normal
mempengaruhi kondisi tubuh
4. Hematokrit dalam batas
3. Mencegah terjadinya gagal
normal
nafas pada pasien
4. Asupan cairan melalui IV dan
pemeliharaan akses IV untuk
mencegah terjadinya infeksi

6. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Infection Control Infection Control


1. Bersihkan lingkungan 1. Agar mengurangi terinfeksi
dibuktikan dengan keperawatan selama 2x24
setelah dipakai pasien lain penyakit lain
ketidakadekuatan jam, diharapkan resiko
2. Pertahankan lingkungan 2. Agar mengurangi masuknya
pertahanan sekunder infeksi pada pasien dapat
aseptic selama virus ke dalam tubuh yang
: supresi respon dicegah dengan criteria hasil
pemasangan alat terinfeksi
inflamasi 3. Agar membantu memenuhi
sebagai berikut : 3. Tingkatkan intake nutrisi cairan dalam tubuh untuk
NOC 4. Berikan terapi antibiotic
mengurangi terjadinya dehidrasi
 Immune status
bila perlu 4. Membantu menekan proses
 Knowledge: infection
5. Dorong masukan nutrisi
yang menyebabkan infeksi
control
yang cukup 5. Membantu memenuhi
 Risk control
6. Dorong masukan cairan
Kriteria Hasil : kebutuhan tubuh yang hilang
7. Monitor hitung granulosit
1. Klien bebas dari tanda dan 6. Menghindari terjadinya
dan WBC
gejala infeksi dehidrasi
8. Instruksikan pasien untuk
2. Mendeskripsikan proses 7. Peningkatan sel darah putih
minum antibiotic sesuai
penularan penyakit, factor sebagai indicator terjadinya
resep
yang mempengaruhi infeksi
8. Antibiotic yang sesuai dapat
penularan serta
menekan proses terjadinya
penatalaksanaannya
3. Menunjukkan kemampuan infeksi
untuk mencegah
timbulnya infeksi
4. Jumlah leukosit dalam
batas normal
5. Menunjukkan perilaku
hidup sehat
DAFTAR RUJUKAN

Ester, Monica. 2001. Keperawtan medikal Bedah Pendekatan Sistem Gastrointestinal. Jakarta:
EGC.
Herman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi &
klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC
L.A, Lesmana. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification
(NOC). Singapore: Elsevier Global Rights
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Nucleus Precise Newsletter. 2011. Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise

Nurarif, A. H., Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Ed. Revisi Jilid 2. Yogyakarta:
Medi Action

Potter, P.A. 1996. Pengkajian Kesehatan Ed. 3. Jakarta:EGC


Price, Sylvia Anderson. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Smeltzer, suzanna C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddart edisi 8
volume 1,2,3. EGC: Jakarta
Williams, L.S., Hopper, P.D. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing, Second edition,
F.A. Davis Company: Philadelphia
Wim de Jong et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai