PENDAHULUAN
.
1 Latar Belakang
Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, separo dari total
rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta
balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap
berbagai masalah kurang gizi.
2 Tujuan
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kadar ataupun tingkat pangan yang
dapat mempengaruhi gizi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari produksinya akan terus
berlanjut. Akibatnya, akan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi pangan
domestik yang makin lebar. Penyebab utama kesenjangan itu adalah adanya
pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi, yaitu 1,49 persen per tahun, dengan
jumlah besar dan penyebaran yang tidak merata.
Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi,
gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki.
Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan
rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai harus selalu
tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut
menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan
pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian
ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu
yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan
produktif.
Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan protein (KEP), telah
mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. Pada tahun 1980-an
data dari lapangan di banyak negara menunjukkan bahwa masalah gizi utama bukan
kurang protein, tetapi lebih banyak karena kurang energi atau kombinasi kurang energi
dan protein. Bayi sampai anak berusia lima tahun, yang lazim disebut balita, dalam ilmu
gizi dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi
termasuk KEP.
Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah
berhasil diturunkan dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi 24,66 persen pada tahun
2000.
Kronisnya masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan
pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Masih
sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. Tingginya
prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan
pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Pada tahun 1994 prevalensi gizi
kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun adalah 39,8 persen dan hanya
berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu menjadi 36,1 persen pada tahun 1999. Masalah
gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang
vitamin A, kurang yodium, dan kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei
nasional tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50
persen dari balita mempunyai serum retinol.