Anda di halaman 1dari 21

PETROGRAFI BATUAN METAMORF

Batuan asal atau batuan induk baik berupa batuan beku, batuan sedimen maupun
batuan metamorf dan telah mengalami perubahan mineralogi, tekstur serta struktur sebagai
akibat adanya perubahan temperatur (di atas proses diagenesa dan di bawah titik lebur; 200-
350oC < T < 650-800oC) dan tekanan yang tinggi (1 atm < P < 10.000 atm) disebut batuan
metamorf. Proses metamorfisme tersebut terjadi di dalam bumi pada kedalaman lebih kurang
3 km – 20 km. Winkler (1989) menyatakan bahwasannya proses-proses metamorfisme itu
mengubah mineral-mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau respons
terhadap kondisi fisika dan kimia di dalam kerak bumi yang berbeda dengan kondisi
sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan diagenesa.

Pembentukan Batuan Metamorf

Batuan beku dan sedimen dibentuk akibat interaksi dari proses kimia, fisika, biologi
dan kondisi-kondisinya di dalam bumi serta di permukaannya. Bumi merupakan sistim yang
dinamis, sehingga pada saat pembentukannya, batuan-batuan mungkin mengalami keadaan
yang baru dari kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan perubahan yang luas di dalam
tekstur dan mineraloginya. Perubahan-perubahan tersebut terjadi pada tekanan dan
temperatur di atas diagenesa dan di bawah pelelehan, maka akan menunjukkan sebagai proses
metamorfisme.

Suatu batuan mungkin mengalami beberapa perubahan lingkungan sesuai dengan


waktu, yang dapat menghasilkan batuan polimetamorfik. Sifat-sifat yang mendasar dari
perubahan metamorfik adalah batuan tersebut terjadi selama batuan berada dalam kondisi
padat. Perubahan komposisi di dalam batuan kurang berarti pada tahap ini, perubahan
tersebut adalah isokimia yang terdiri dari distribusi ulang elemen-elemen lokal dan volatil
diantara mineral-mineral yang sangat reaktif. Pendekatan umum untuk mengambarkan batas
antara diagenesa dan metamorfisme adalah menentukan batas terbawah dari metamorfisme
sebagai kenampakan pertama dari mineral yang tidak terbentuk secara normal di dalam
sedimen-sedimen permukaan, seperti epidot dan muskovit. Walaupun hal ini dapat dihasilkan
dalam batas yang lebih basah. Sebagai contoh, metamorfisme shale yang menyebabkan reaksi
kaolinit dengan konstituen lain untuk menghasilkan muskovit. Bagaimanapun juga,
eksperimen-eksperimen telah menunjukkan bahwa reaksi ini tidak menempati pada
temperatur tertentu tetapi terjadi antara 200°C – 350°C yang tergantung pada pH dan
kandungan potasium dari material-material disekitarnya. Mineral-mineral lain yang
dipertimbangkan terbentuk pada awal metamorfisme adalah laumonit, lawsonit, albit,
paragonit atau piropilit. Masing-masing terbentuk pada temperatur yang berbeda di bawah
kondisi yang berbeda, tetapi secara umum terjadi kira-kira pada 150°C atau dikehendaki lebih
tinggi. Di bawah permukaan, temperatur di sekitarnya 150°C disertai oleh tekanan lithostatik
kira-kira 500 bar.

Batas atas metamorfisme diambil sebagai titik dimana kelihatan terjadi pelelehan
batuan. Di sini kita mempunyai satu variabel, sebagai variasi temperatur pelelehan sebagai
fungsi dari tipe batuan, tekanan lithostatik dan tekanan uap. Satu kisaran dari 650°C – 800°C
menutup sebagian besar kondisi tersebut. Batas atas dari metamorfisme dapat ditentukan oleh
kejadian dari batuan yang disebut migmatit. Batuan ini menunjukkan kombinasi dari
kenampakan tekstur, beberapa darinya muncul menjadi batuan beku dan batuan metamorf
yang lain.

Berdasarkan tingkat malihannya, batuan metamorf dibagi menjadi dua yaitu (1)
metamorfisme tingkat rendah (low-grade metamorphism) dan (2) metamorfisme tingkat
tinggi (high-grade metamorphism) (Gambar 3.9). Pada batuan metamorf tingkat rendah jejak
kenampakan batuan asal masih bisa diamati dan penamaannya menggunakan awalan meta (-
sedimen, -beku), sedangkan pada batuan metamorf tingkat tinggi jejak batuan asal sudah
tidak nampak, malihan tertinggi membentuk migmatit (batuan yang sebagian bertekstur
malihan dan sebagian lagi bertekstur beku atau igneous).

Gambar: memperlihatkan batuan asal yang mengalami metamorfisme tingkat rendah –


medium dan tingkat tinggi (O’Dunn dan Sill, 1986).

Pembentukan batuan metamorf selain didasarkan pada tingkat malihannya juga


didasarkan pada penyebabnya. Berdasarkan penyebabnya batuan metamorf dibagi menjadi
tiga yaitu (1) Metamorfisme kontak/ termal, pengaruh T dominan; (2) Metamorfisme dinamo/
kataklastik/dislokasi/kinematik, pengaruh P dominan; dan (3) Metamorfisme regional,
terpengaruh P & T, serta daerah luas. Metamorfisme kontak terjadi pada zona kontak atau
sentuhan langsung dengan tubuh magma (intrusi) dengan lebar antara 2 – 3 km (Gambar
3.10). Metamorfisme dislokasi terjadi pada daerah sesar besar/ utama yaitu pada lokasi
dimana masa batuan tersebut mengalami penggerusan. Sedangkan metamorfisme regional
terjadi pada kulit bumi bagian dalam dan lebih intensif bilamana diikuti juga oleh orogenesa
(Gambar 3.11). penyebaran tubuh batuan metamorf ini luas sekali mencapai ribuan kilometer.
Gambar 3.10 memperlihatkan kontak aureole disekitar intrusi batuan beku (Gillen, 1982).

Gambar 3.11 penampang yang memperlihatkan lokasi batuan metamorf (Gillen, 1982).
Pengenalan Batuan Metamorf

Pengenalan batuan metamorf dapat dilakukan melalui kenampakan-kenampakan yang


jelas pada singkapan dari batuan metamorf yang merupakan akibat dari tekanan-tekanan yang
tidak sama. Batuan-batuan tersebut mungkin mengalami aliran plastis, peretakan dan
pembutiran atau rekristalisasi. Beberapa tekstur dan struktur di dalam batuan metamorf
mungkin diturunkan dari batuan pre-metamorfik (seperti: cross bedding), tetapi kebanyakan
hal ini terhapus selama metamorfisme. Penerapan dari tekanan yang tidak sama, khususnya
jika disertai oleh pembentukan mineral baru, sering menyebabkan kenampakan penjajaran
dari tekstur dan struktur. Jika planar disebut foliasi. Seandainya struktur planar tersebut
disusun oleh lapisan-lapisan yang menyebar atau melensa dari mineral-mineral yang berbeda
tekstur, misal: lapisan yang kaya akan mineral granular (seperti: felspar dan kuarsa)
berselang-seling dengan lapisan-lapisan kaya mineral-mineral tabular atau prismatik (seperti:
feromagnesium), tekstur tersebut menunjukkan sebagai gneis. Seandainya foliasi tersebut
disebabkan oleh penyusunan yang sejajar dari mineral-mineral pipih berbutir sedang-kasar
(umumnya mika atau klorit) disebut skistosity. Pecahan batuan ini biasanya sejajar dengan
skistosity menghasilkan belahan batuan yang berkembang kurang baik.

Pengenalan batuan metamorf tidak jauh berbeda dengan jenis batuan lain yaitu
didasarkan pada warna, tekstur, struktur dan komposisinya. Namun untuk batuan metamorf
ini mempunyai kekhasan dalam penentuannya yaitu pertama-tama dilakukan tinjauan apakah
termasuk dalam struktur foliasi (ada penjajaran mineral) atau non foliasi (tanpa penjajaran
mineral) (Tabel 3.12). Pada metamorfisme tingkat tinggi akan berkembang struktur migmatit
(Gambar 3.12). Setelah penentuan struktur diketahui, maka penamaan batuan metamorf baik
yang berstruktur foliasi maupun berstruktur non foliasi dapat dilakukan. Misal: struktur
skistose nama batuannya sekis; gneisik untuk genis; slatycleavage untuk slate/ sabak.
Sedangkan non foliasi, misal: struktur hornfelsik nama batuannya hornfels; liniasi untuk
asbes.

Variasi yang luas dari tekstur, struktur dan komposisi dalam batuan metamorf,
membuatnya sulit untuk mendaftar satu atau lebih dari beberapa kenampakkan yang diduga
hasil dari proses metamorfisme. Oleh sebab itu hal terbaik untuk mempertimbangkan secara
menerus seperti kemungkinan banyaknya perbedaan kenampakan-kenampakan yang ada.
Table 3.12 Diagram alir untuk identifikasi batuan metamorf secara umum (Gillen, 1982).

Gambar 3.12 Berbagai struktur pada migmatit dengan leukosom (warna terang) (Compton,
1985).
Struktur Batuan Metamorf adalah kenampakan batuan yang berdasarkan ukuran, bentuk
atau orientasi unit poligranular batuan tersebut. (Jacson, 1997). Secara umum struktur batuan
metamorf dapat dibadakan menjadi struktur foliasi dan nonfoliasi (Jacson, 1997).
1. Struktur Foliasi
Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat terjadi karena
adnya penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan (gneissoty), orientasi butiran
(schistosity), permukaan belahan planar (cleavage) atau kombinasi dari ketiga hal tersebut
(Jacson, 1970).
Struktur foliasi yang ditemukan adalah :
1a. Slaty Cleavage
Umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir sangat halus (mikrokristalin) yang
dicirikan oleh adanya bidang-bidang belah planar yang sangat rapat, teratur dan sejajar.
Batuannya disebut slate (batusabak).

Gambar Struktur Slaty Cleavage dan Sketsa Pembentukan Struktur


1b. Phylitic
Srtuktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage tetapi terlihat rekristalisasi yang
lebih besar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih dengan mineral granular. Batuannya
disebut phyllite (filit)

Gambar Struktur Phylitic


1c. Schistosic
Terbentuk adanya susunan parallel mineral-mineral pipih, prismatic atau lentikular
(umumnya mika atau klorit) yang berukuran butir sedang sampai kasar. Batuannya disebut
schist (sekis).

Gambar Struktur Schistosic dan Sketsa Pembentukan Struktur


1d. Gneissic/Gnissose
Terbentuk oleh adanya perselingan., lapisan penjajaran mineral yang mempunyai bentuk
berbeda, umumnya antara mineral-mineral granuler (feldspar dan kuarsa) dengan mineral-
mineral tabular atau prismatic (mioneral ferromagnesium). Penjajaran mineral ini umumnya
tidak menerus melainkan terputus-putus. Batuannya disebut gneiss.

Gambar Struktur Gneissic dan Sketsa Pembentukan Struktur


2. Struktur Non Foliasi
Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari butiran-butiran
(granular). Struktur non foliasi yang umum dijumpai antara lain:
2.a Hornfelsic/granulose
Terbentuk oleh mozaic mineral-mineral equidimensional dan equigranular dan umumnya
berbentuk polygonal. Batuannya disebut hornfels (batutanduk)

Gambar Sruktur Granulose


2b. Kataklastik
Berbentuk oleh pecahan/fragmen batuan atau mineral berukuran kasar dan umumnya
membentuk kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi akibat metamorfosa
kataklastik. Batuannya disebut cataclasite (kataklasit).
2c. Milonitic
Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada metamorfosa kataklastik. Cirri struktur
ini adalah mineralnya berbutir halus, menunjukkan kenampakan goresan-goresan searah dan
belum terjadi rekristalisasi mineral-mineral primer. Batiannya disebut mylonite (milonit).

Struktur Milonitic
2d. Phylonitic
Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur milonitik tetapi umumnya telah terjadi
rekristalisasi. Cirri lainnya adlah kenampakan kilap sutera pada batuan yang ,mempunyai
struktur ini. Batuannya disebut phyllonite (filonit).
B. Tekstur Batuan Metamorf
Merupakan kenampakan batuan yang berdasarkan pada ukuran, bentuk dan orientasi butir
mineral dan individual penyusun batuan metamorf. Penamaan tekstur batuan metamorf
umumnya menggunakan awalan blasto atau akhiran blastic tang ditambahkan pada istilah
dasarnya. (Jacson, 1997).
1. Tekstur Berdasarkan Ketahanan Terhadap Proses Metamorfosa
Berdasarkan ketahanan terhadap prose metamorfosa ini tekstur batuan metamorf dapat
dibedakan menjadi:
a. Relict/Palimset/Sisa
Merupakan tekstur batuan metamorf yang masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya
atau tekstur batuan asalnya nasih tampak pada batuan metamorf tersebut.
b. Kristaloblastik
Merupakan tekstur batuan metamorf yang terbentuk oleh sebab proses metamorfosa itu
sendiri. Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami rekristalisasi sehingga tekstur asalnya
tidak tampak. Penamaannya menggunakan akhiran blastik.
2. Tekstur Berdasarkan Ukuran Butir
Berdasarkan butirnya tekstur batuan metmorf dapat dibedakan menjadi:
1. Fanerit, bila butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata
2. Afanitit, bila ukuran butir kristal tidak dapat dilihat dengan mata.
3. Tekstur berdasarkan bentuk individu kristal
Bentuk individu kristal pada batuan metamorf dapat dibedakan menjadi:
1. Euhedral, bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan bidang kristal itu sendiri.
2. Subhedral, bila kristal dibatasi oleh sebagian bidang permukaannya sendiri dan sebagian oleh
bidang permukaan kristal disekitarnya.
3. Anhedral, bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan kristal lain disekitarnya.
Berdasarkan bentuk kristal tersebut maka tekstur batuan metamorf dapat dibedakan menjadi:
1. Idioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk euhedral.
2. Xenoblastik/Hypidioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk anhedral.
d. Tekstur Berdasarkan Bentuk Mineral
Berdasarkan bentuk mineralnya tekstur batuan metamorf dapat dibedakan menjadi:
1. Lepidoblastik, apabila mineralnya penyusunnya berbentuk tabular.
2. Nematoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk prismatic.
3. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas
mineralnya bersifat sutured (tidak teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
4. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular, equidimensional, batas
mineralnya bersifat unsutured (lebih teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
Selain tekstur yang diatas terdapat beberapa tekstur khusus lainnya diantaranya adlah sebagai
berikut:
 Perfiroblastik, apabila terdapat mineral yang ukurannya lebih besar tersebut sering
disebut porphyroblasts.
 Poikloblastik/Sieve texture, tekstur porfiroblastik dengan porphyroblasts tampak melingkupi
beberapa kristal yang lebih kecil.
 Mortar teksture, apabila fragmen mineral yang lebih besar terdapat padamassadasar material
yang barasal dari kristal yang sama yang terkena pemecahan (crhusing).
 Decussate texture yaitu tekstur kristaloblastik batuan polimeneralik yang tidak menunjukkan
keteraturan orientasi.
 Saccaroidal Texture yaitu tekstur yang kenampakannya seperti gula pasir.
 Batuan mineral yang hanya terdiri dari satu tekstur saja, sering disebut berstektur
homeoblastik.

Komposisi Batuan Metamorf

Pertumbuhan dari mineral-mineral baru atau rekristalisasi dari mineral yang ada sebelumnya
sebagai akibat perubahan tekanan dan atau temperatur menghasilkan pembentukan kristal lain
yang baik, sedang atau perkembangan sisi muka yang jelek; kristal ini dinamakan idioblastik,
hypidioblastik, atau xenoblastik. Secara umum batuan metamorf disusun oleh mineral-
mineral tertentu (Tabel 3.13), namun secara khusus mineral penyusun batuan metamorf
dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) mineral stress dan (2) mineral anti stress. Mineral stress
adalah mineral yang stabil dalam kondisi tekanan, dapat berbentuk pipih/tabular, prismatik
dan tumbuh tegak lurus terhadap arah gaya/stress meliputi: mika, tremolit-aktinolit,
hornblende, serpentin, silimanit, kianit, seolit, glaukopan, klorit, epidot, staurolit dan antolit.
Sedang mineral anti stress adalah mineral yang terbentuk dalam kondisi tekanan, biasanya
berbentuk equidimensional, meliputi: kuarsa, felspar, garnet, kalsit dan kordierit.
Gambar 3.13 Tekstur batuan metamorf (Compton, 1985).

A. Tekstur Granoblastik, sebagian menunjukkan tekstur mosaik; B. Tekstur Granoblatik


berbutir iregular, dengan poikiloblast di kiri atas; C. Tekstur Skistose dengan porpiroblast
euhedral; D. Skistosity dengan domain granoblastik lentikuler; E. Tekstur Semiskistose
dengan meta batupasir di dalam matrik mika halus; F. Tekstur Semiskistose dengan klorit dan
aktinolit di dalam masa dasar blastoporfiritik metabasal; G. Granit milonit di dalam proto
milonit; H. Ortomilonit di dalam ultramilonit; I. Tekstur Granoblastik di dalam blastomilonit.
Tabel 3.13 Ciri-ciri fisik mineral-mineral penyusun batuan metamorf (Gillen, 1982)

Setelah kita menentukan batuan asal mula metamorf, kita harus menamakan batuan tersebut.
Sayangnya prosedur penamaan batuan metamorf tidak sistematik seperti pada batuan beku
dan sedimen. Nama-nama batuan metamorf terutama didasarkan pada kenampakan tekstur
dan struktur (Tabel 3.14). Nama yang umum sering dimodifikasi oleh awalan yang
menunjukkan kenampakan nyata atau aspek penting dari tekstur (contoh gneis augen), satu
atau lebih mineral yang ada (contoh skis klorit), atau nama dari batuan beku yang mempunyai
komposisi sama (contoh gneis granit). Beberapa nama batuan yang didasarkan pada dominasi
mineral (contoh metakuarsit) atau berhubungan dengan facies metamorfik yang dipunyai
batuan (contoh granulit).

Metamorfisme regional dari batulumpur melibatkan perubahan keduanya baik tekanan dan
temperatur secara awal menghasilkan rekristalisasi dan modifikasi dari mineral lempung yang
ada. Ukuran butiran secara mikroskopik tetap, tetapi arah yang baru dari orientasi mungkin
dapat berkembang sebagai hasil dari gaya stres. Resultan batuan berbutir halus yang
mempunyai belahan batuan yang baik sekali dinamakan slate. Bilamana metamorfisme
berlanjut sering menghasilkan orientasi dari mineral-mineral pipih pada batuan dan
penambahan ukuran butir dari klorit dan mika. Hasil dari batuan yang berbutir halus ini
dinamakan phylit, sama seperti slate tetapi mempunyai kilap sutera pada belahan
permukaannya. Pengujian dengan menggunakan lensa tangan secara teliti kadangkala
memperlihatkan pecahan porpiroblast yang kecil licin mencerminkan permukaan belahannya.
Pada tingkat metamorfisme yang lebih tinggi, kristal tampak tanpa lensa. Disini biasanya kita
menjumpai mineral-mineral yang pipih dan memanjang yang terorientasi kuat membentuk
skistosity yang menyolok. Batuan ini dinamakan skis, masih bisa dibelah menjadi lembaran-
lembaran. Umumnya berkembang porpiroblast; hal ini sering dapat diidentikkan dengan sifat
khas mineral metamorfik seperti garnet, staurolit, atau kordierit. Masih pada metamorfisme
tingkat tinggi disini skistosity menjadi kurang jelas; batuan terdiri dari kumpulan butiran
sedang sampai kasar dari tekstur dan mineralogi yang berbeda menunjukkan tekstur gnessik
dan batuannya dinamakan gneis. Kumpulan yang terdiri dari lapisan yang relatif kaya kuarsa
dan feldspar, kemungkinan kumpulan tersebut terdiri dari mineral yang mengandung
feromagnesium (mika, piroksin, dan ampibol). Komposisi mineralogi sering sama dengan
batuan beku, tetapi tekstur gnessik biasanya menunjukkan asal metamorfisme; dalam
kumpulan yang cukup orientasi sering ada. Penambahan metamorfisme dapat mengubah
gneis menjadi migmatit. Dalam kasus ini, kumpulan berwarna terang menyerupai batuan
beku tertentu, dan perlapisan kaya feromagnesium mempunyai aspek metamorfik tertentu.

Jenis batuan metamorf lain penamaannya hanya berdasarkan pada komposisi mineral, seperti:
Marmer disusun hampir semuanya dari kalsit atau dolomit; secara tipikal bertekstur
granoblastik. Kuarsit adalah batuan metamorfik bertekstur granobastik dengan komposisi
utama adalah kuarsa, dibentuk oleh rekristalisasi dari batupasir atau chert/rijang. Secara
umum jenis batuan metamorfik yang lain adalah sebagai berikut:

Amphibolit: Batuan yang berbutir sedang sampai kasar komposisi utamanya adalah ampibol
(biasanya hornblende) dan plagioklas.

Eclogit: Batuan yang berbutir sedang komposisi utama adalah piroksin klino ompasit tanpa
plagioklas felspar (sodium dan diopsit kaya alumina) dan garnet kaya pyrop. Eclogit
mempunyai komposisi kimia seperti basal, tetapi mengandung fase yang lebih berat.
Beberapa eclogit berasal dari batuan beku.

Granulit: Batuan yang berbutir merata terdiri dari mineral (terutama kuarsa, felspar, sedikit
garnet dan piroksin) mempunyai tekstur granoblastik. Perkembangan struktur gnessiknya
lemah mungkin terdiri dari lensa-lensa datar kuarsa dan/atau felspar.

Hornfels: Berbutir halus, batuan metamorfisme thermal terdiri dari butiran-butiran yang
equidimensional dalam orientasi acak. Beberapa porphiroblast atau sisa fenokris mungkin
ada. Butiran-butiran kasar yang sama disebut granofels.

Milonit: Cerat berbutir halus atau kumpulan batuan yang dihasilkan oleh pembutiran atau
aliran dari batuan yang lebih kasar. Batuan mungkin menjadi protomilonit, milonit, atau
ultramilomit, tergantung atas jumlah dari fragmen yang tersisa. Bilamana batuan mempunyai
skistosity dengan kilap permukaan sutera, rekristralisasi mika, batuannya disebut philonit.

Serpentinit: Batuan yang hampir seluruhnya terdiri dari mineral-mineral dari kelompok
serpentin. Mineral asesori meliputi klorit, talk, dan karbonat. Serpentinit dihasilkan dari
alterasi mineral silikat feromagnesium yang terlebih dahulu ada, seperti olivin dan piroksen.

Skarn: Marmer yang tidak bersih/kotor yang mengandung kristal dari mineral kapur-silikat
seperti garnet, epidot, dan sebagainya. Skarn terjadi karena perubahan komposisi batuan
penutup (country rock) pada kontak batuan beku.

Tabel 3.14 Klasifikasi Batuan Metamorf (O’Dunn dan Sill, 1986).


PETROGRAFI BATUAN KARBONAT

KOMPONEN DALAM BATUAN KARBONAT

Komponen penyusun batuan karbonat secara garis besar dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu:
a. Butiran (skeletal, non-skeletal), b. matrix dan c. semen. Komponen tersebut tersusun oleh
mineral-mineral karbonat yang berbeda.

Gambar 1 Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral karbonat


terhadap lingkungan pengendapan pada laut modern.

BUTIRAN
Butiran atau grain adalah semua komponen dalam batuan karonat yang berkomposisi kalsium
karbonat (CaCO3) baik yang berasal dari proses biologi seperti terumbu maupun dari proses
biokimia. Butiran ini merupakan komponen yang menunjukkan kesan berbutir dengan batas-
batas antar butir. Komponen tersebut dapat berupa hasil rombakan batuan karbonat itu sendiri
atau batuan karbonat yang telah terbentuk sebelumnya (luar lingkungan pengendapan),
fragmen-fragmen organisme ataupun hasil aktifitas organisme dan presipitasi mineral-mineral
karbonat atau hasil diagenesis.
Jika dianalogikan terhadap batuan silisiklastik, butiran merupakan fragmen yang berada
dalam massa matriks dan semen. Butiran dibagi menjadi dua kelompok yaitu yang berasal
dari organisme atau skeletal dan yang berasal dari non-organisme atau non-skeletal.

A. Skeletal
Skeletal adalah komponen batuan karbonat yang berasal dari organisme baik dalam bentuk
utuh maupun berupa fragmental. Komponen tersebut merupakan penyusun batuan karbonat
yang umum dijumpai. Komponen ini dapat berupa organisme utuh (dikenal dengan fosil) atau
sebagai fragmen-fragmen organisme. Jenis organisme yang bertindak sebagai komponen
skeletal dalam batuan karbonat bervariasi sepanjang sejarah geologi. Penyusun batuan
karbonat dalam hal ini diambil referensi adalah terumbu mulai dari kala Paleozoikum hingga
Kenozoikum terlihat pada tabel 2.1.

Tabel 1 Kelompok utama pembentuk reef sepanjang sejarah geologi (sejak Archaean –
Cenozoic) (Heckel, 1974).
Menurut Heckel (1974) terdapat unsur (organisme) utama yang menyusun batuan karbonat
dari waktu ke waktu. Masing-masing Era mempunyai ciri khas organisme penyusunnya.
Stromatolit umum dijumpai pada Era Proterozoic hingga Paleozoic. Namun pada mulanya
organisme yang menyusun batuan karbonat (terumbu) tersebut keaneka ragaman masih
sangat kecil dan semakin ke arah resen (umur muda) keaneka ragaman organisme pembentuk
batuan karbonat semakin banyak. Diversitas (keaneka ragaman) jenis organisme mulai
berkembang pesat pada Era Mesozoikum khususnya pada Zaman Karbon. Khusus untuk
Tersier, organisme yang umum dijumpai adalah koral, algae dan foraminifera dengan spesies
yang cukupberagam. Selain itu juga dijumpai molluska, stromatoporoid dan lain-lain.
Pada umumnya untuk batuan berumur Tersier, terutama pada kala Neogen maka komponen
skeletalnya atau fosilnya hampir sama dengan yang hidup sekarang ini. Ada tiga kelompok
utama penyusun batuan karbonat pada kala Tersier yaitu Algae, Koral dan Foraminifera
(Gambar 2).

Gambar 2 Jenis-jenis skeletal yang umum dijumpai pada batuan karbonat. Sketsa organisme
yang hidup sekarang berupa algae (A), koral (B), dan Sponge (C).

Organisme sebagai penyusun batuan karbonat khususnya pada kala Tersier (sejak 65 juta
tahun lalu) sangat beragam. Berdasarkan tabel 2.1 terlihat bahwa jenis, sebaran dan bentuk
organisme berkembang pesat pada waktu tertentu. Beberapa jenis organisme yang umum
dijumpai pada Zaman Tersier adalah Koral, Algae, sponges dan Foram (Gambar 3- 5).
Gambar 3 Kenampakan singkapan dari koral yang dijumpai pada lower teras batugamping
Selayar di daerah Bira, Kab. Bulukumba (A). Foto sayatan tipis yang memperlihatkan fosil
foraminifera besar (B) yang juga tersebar luas dalam batuan karbonat.

Gambar 4 Komponen batuan karbonat berupa fragmen-fragmen algae merah (Corallinaceae)


(A), Foram besar (B) dan koral (C). A dan B dalam sayatan tipis, C dalam bentuk poles.
Lokasi batugamping Selayar, Bira.

Gambar 5 Komponen batuan karbonat berupa koral soliter dari skerattinian dalam hand
specimen (A), sayatan tipi yang memperlihatkan fragmen Halimeda, tanda panah (B). Lokasi
batugamping Selayar, Bira.

B. Non-Skeletal
Komponen Non-skeletal adalah material penyusun batuan karbonat yang berasal dari non
organisme. Material tersebut terakumulasi pada suatu cekungan atau lingkungan
pengendapan dengan proses yang berbeda-beda. Komponen-komponen tersebut adalah
lithoklas (intraklas dan ekstraklas), ooids, peloids dan coated grain. Sedangkan yang berasal
dari organisme dengan proses tertentu misalnya onkoliths, rhodoliths.

Lithoklas.
Lithoklas dalam beberapa literatur dikenal sebagai lime-clast atau intraclast. Dalam buku ini
peristilahan lithoklas diambil dari Tucker & Wright (1990) yang mencakup intraklas &
ekstraklas (Gambar 2.11). Intraklas adalah komponen karbonat yang merupakan hasil
rombakan batuan karbonat dalam lingkungan pengendapan yang sama, sedangkan ekstraklas
adalah komponen karbonat hasil rombakan dari batuan karbonat yang telah ada di luar
lingkungan pengendapannya.

Ooid (oolit)
Ooid (atau oolite) adalah butiran yang berbentuk bulat, lonjong dan memperlihatkan struktur
dalam baik secara konsentris maupun tangensial dengan suatu inti (nuclei) yang
komposisinya bervariasi. Cortex tersebut adalah halus dan terlaminasi secara rata pada bagian
luarnya, tetapi laminae individu mungkin lebih tipis pada titik-titik sudut tajam intinya.
Bentuk nucleus tersebut tipikal spheroid atau elipsoid dengan derajat sphericity meningkat
kearah luar (Gambar 6).

Gambar 6 Komponen dalam batuan karbonat berupa lithoklas jenisnya belum diketahui
dengan pasti. Contoh setangan (hand speciment) berupa slab dari batugamping Selayar (A),
sayatan tipis yang menunjukkan beberapa ukuran dan batas butir yang tegas (Kendall, 2005)
(B).

Ooid dapat diklasifikasikan berdasarkan microfabriknya atau mineraloginya. Namun ooid


dapat menjadi sulit dikenali bilamana mengalami diagenesis yang terutama terjadi pada ooid
berasal dari aragonit yang telah terganti oleh kalsit. Proses pembentukan ooid bisa pada
daerah beragitasi atau bernergi tinggi dan akan menghasilkan ooid dengan struktur dalam
yang konsentris. Selain itu ooid juga terbentuk pada lingkungan air tenang dengan struktur
dalam tangensial (Gambar 8 B).
Gambar 7 Sketsa kenampakan melintang sayatan oolit (ooid) yang memperlihatkan struktur
dalam (radial dan konsentris). (Sumber: An Overview of Carbonates, Kendall, 2005).

Gambar 8 Fotograf dari ooid (bulat putih bersih) dan mineral terrigenous (kuarsa) warna
bening (A), ooid dalam bentuk sayatan tipis yang memperlihatkan struktur dalam dan
beberapa ooid intinya telah melarut (B). (Sumber: An Overview of Carbonates, Kendall,
2005).

Peloid (Pellet)
Peloid merupakan suatu komponen karbonat berukuran pasir, dengan ukuran rata-rata 100-
500µm yang tersusun oleh kristal-kristal karbonat. Peloid umumnya berbentuk rounded –
subrounded, spherical, ellipsoid hingga tak beraturan dan tidak mempunyai struktur dalam.
Istilah tersebut murni deskriptif yang dikemukakan oleh McKee & Gutschick (1969). Istilah
Pellet juga umum digunakan tetapi mempunyai konotasi untuk peloid yang berasal dari
aktifitas organisme atau faecal pellet (Gambar 9).
Peloid merupakan komponen penting didalam batuan karbonat dangkal. Seperti pada Great
Bahama bank bagian barat dari P. Andros, dimana pelet menutupi kurang lebih 10.000 km2.
Peloid menyusun lebih dari 30% total sedimen dan 75% pasir. Pada daerah-daerah berenergi
rendah seperti sedimen-sedimen lagun di daerah Balize, peloid juga umum dijumpai pada
batugamping berenergi rendah di daerah laut dangkal, atau pada lingkungan laut yang
tertutup.

Gambar 9 Sketsa kenampakan butiran peloid dengan lingkungan pembentukannya. Berbeda


dengan ooid yang terbentuk pada daerah agitasi, maka peloid merupakan komponen batuan
karbonat yang terbentuk pada lingkungan enrgi rendah seperti lagoon.
Gambar 10 (A) kenampakan butiran peloid modern, (B) kenampakan peloid dalam bentuk
sayatan tipis yang tidak memperlihatkan struktur dalam.

Banyak peloid merupakan butiran yang telah mengalami diagenesa atau mikritisasi seperti
fragmen-fragmen organisme dan akhirnya membentuk peloid. Sumber lain dari peloid adalah
berasal dari butiran karbonat (lithoklas) yang telah mengalami mikritisasi dan tidak
menampakkan struktur asal sehingga membentuk peloid.

Coated grains
Sejumlah carbonated-coated grains kadang tidak konsisten dalam penggunaan terminologinya
sehingga kadang memunculkan masalah dalam interpretasinya. Memang hampir semua ahli
petrografi batuan karbonat nampaknya mempunyai defenisi sendiri-sendiri. Coated grains
terjadi secara poligenetik dengan perbedaan proses yang membentuk tipe butiran sama dan
banyak dari proses ini belum dimengerti. Selanjutnya coated grain sama dapat terjadi pada
lingkungan yang berbeda sama sekali yang menjadikan penggunaannya dalam interpretasi
lingkungan pengendapan sangat susah.
Beberapa ahli masih memberikan istilah yang berbeda pada obyek yang sama. Istilah-istilah
tersebut misalnya macro-oncoid, pisovadoid, cyanoid, bryoid, turberoid, putroid dan
walnutoid (Peryt, 1983a). Peristilahan ini sudah terlalu jauh dan barangkali istilah yang
membingungkan tersebut tidak akan dibahas dalam buku ini. Penjelasan yang paling baru
mengenai istilah coated grain yakni yang dilakukan oleh Peryt (1983b) yang mengajukan
klasifikasi lain yang menggunakan sistem genetik dan generik untuk pengklasifikasian
butiran ini.
Banyak klasifikasi, termasuk klasifikasi Peryt, membedakan dua kategori besar tentang
coated grains: terbentuk secara kimia (khususnya ooids) dan terbentuk secara biogenik
(oncoids). Tetapi sering tidak mungkin untuk membuktikan apakah suatu coated grain telah
terbentuk secara biogenik dan banyak ooid (biasanya yang diklasifikasikan terbentuk secara
kimia) terbentuk langsung secara biogenik atau mungkin pertumbuhannya dipengaruhi secara
biokimia. Didalam klasifikasinya, Flügel (1982) dan Richter (1983a) mengambil suatu
pendekatan kearah lebih deskriptif terhadap istilah ooid dan oncoid. Defenisi berikut
dimodifikasi dari peneulis tersebut diatas dan menekankan pada sifat dari bentuk cortikal
laminae dan kontinuitas.
Oncoid (atau oncolith) merupakan suatu coated grain dengan cortex kalkareous dari laminae
yang irreguler dan sebagain overlapping. Bentuk oncoid tersebut irregular dan dapat
memperlihatkan struktur biogenik. Beberapa bentuk tidak mempunyai nucleus jelas (Gambar
10).
Gambar 10 Kenampakan sayatan tipis oncoid dimana intinya merupakan ooid yang
mengalami perkembangan membentuk oncoid. (Sumber: An Overview of Carbonates,
Kendall, 2005).

Oncoids dapat diklasifikasikan pada tipe struktur biogenik yang dikandungnya, contoh
oncoid yang terbentuk oleh coating algae merah disebut rhodolith (atau rhodoids). Suatu
batuan terbuat dari oncoid harus disebut oncolite. Beberapa peneliti membatasi istilah
terhadap nodul algae tetapi penggunaan ini penuh dengan masalah.
Istilah pisoid utamanya digunakan dalam petrografi tetapi tidak ada konsensus muncul untuk
defenisinya. Flügel (1982) menganggap pisoid sebagai non marine ooid, sedangkan
kebanyakan peneliti menekankan pisoid untuk ooid dengan diameter lebih besar dari 2 mm
(Leighton & Pendexter, 1962; Donahue, 1978). Disamping lebih besar dari ooid, pisoid
mempunyai laminae yang kurang teratur.
Peryt (1983b) telah mendefinisikan tiga kategori ukuran untuk coated grain yang didasarkan
pada diameternya: microid (<2 mm), pisoid (2 - 10 mm) dan macroid (> 10 mm). Pembagian
ini telah digunakan oleh Peryt sebagai prefiks (contoh untuk mendefinisikan oncoid besar
sebagai macro-oncoid), tetapi sistemnya kemudian diketahui tipe genetik, interpretatif yang
masih sangat diragukan (Richter, 1983a).
Krumbein (1984) mengklasifikasikan ooid dan oncoid pada sifat keteraturan bentuk dan
kontinuitas laminae, dan dia mengenali micro-oncoid seperti dijelaskan diatas tetapi
kemudian menambahkan suatu termiologi genetik berdasarkan pada apakah secara
keseluruhan butiran merupakan biogenik atau abiogenik. Klasifikasi ini memperkenalkan
oolite dan oncolite sebagai suatu kumpulan dari coated grain yang terbentuk secara biogenik
dan ooloid serta oncoloid sebagai kumpulan dari butiran yang terbentuk secara abiogenik.
Karena tidak mungkin menjelaskan apakah banyak coated grain adalah biogenik atau tidak,
sistem klasifikasi terakhir tidak digunakan dan diharapkan tambahan istilah membingungkan
terakhir tersebut tidak akan dipakai dalam literatur.
Cortoid adalah tipe lain dari coated grain yang dikenal oleh beberapa peneliti (Flügel, 1982).
Cortoid adalah butiran yang diselimuti oleh micrite envelope, dianggap terbentuk oleh
endholitic micro-organisme. Butiran ini bukan sebenarnya butiran tetapi memperlihatkan
alterasi pada permukaan butiran. Tetapi banyak micrite envelope berasal dari penambahan
yan terbentuk oleh enkrustasi dari micro-organisme yang sebagian merupakan endolithic dan
sebagian epilithic (Kobluk & Risk, 1977a,b). Butiran ini mengandung suatu tipe coated grain
non laminated, untuk itu istilah cortoid beralasan untuk dapat digunakan.

2.2 MATRIKS (MIKRIT)


Matriks adalah komponen batuan karbonat yang secara teoritis berukuran halus (<4 mm).
Matriks atau mikrit (Folk, 1962) atau mud (Dunham, 1962) adalah komponen batuan
karbonat yang terbentuk bersama butiran dan bertindak sebagai matriks. Komponen ini
sangat umum dijumpai dalam batuan karbonat dan diinterpretasi terbentuk pada lingkungan
berenergi rendah. Matriks harus dibedakan dengan mikrit yang terbentuk melalui proses
diagenesis (mikritisasi). Mikrit yang terbentuk dengan proses tersebut bisa berasal dari
komponen lain seperti butiran atau semen. Jika dianalogikan dengan batuan sedimen
silisiklastik, matriks disamakan dengan lempung yang terendapkan pada lingkungan
berenergi rendah. Konsekwensinya adalah warnanya menjadi relatif lebih gelap baik dalam
bentuk outcrop (Gambar 2.17B) maupun dalam bentuk sayatan tipis (Gambar 11C).
Gambar 11 Endapan mikrit atau matrik yang terperangkap pada sea grass di daerah
dangkalan (A). Outcrop yang menunjukkan mikrit (warna abu-abu) dengan tekstur
wackestone (B). Internal sedimen yang terdiri atas mikrit (panah) (C). (Sumber: An Overview
of Carbonates, Kendall, 2005).

2.3 SEMEN
Semen merupakan komponen batuan karbonat yang mengisi pori-pori dan merupakan hasil
diagenesis atau hasil presipitasi dalam pori batuan dari batuan yang telah ada. Semen sering
disamakan dengan sparit hasil neomorphisme, padahal sparit hasil neomorphisme adalah
perubahan (rekristalisasi) dari komponen karbonat yang telah ada.
Beberapa jenis semen yang dikenal dalam batuan karbonat moderen adalah fibrous, botroidal,
isophaceous, mesh of needles dll (Gambar 12). Jenis semen tersebut tergantung pada
lingkungan pembentuk semen yang dikenal sebagai lingkungan diagenesis. Penjelasan lebih
lengkap tentang semen dibahas pada bab diagenesis batuan karbonat.
Kenampakan lapangan dari semen adalah bening seprti kaca, sedangkan dibawah mikroskop
memperlihatkan warna tranparan. Semen dapat terbentuk pada ruang antar komponen dan
dapat juga terbentuk pada ruang dalam komponen atau ruang hasil pelarutan (Gambar 12).
Gambar 12 Kenampakan jenis-jenis semen dan jenis mineral pembentuk semen pada batuan
karbonat. Jenis semen yang umum dijumpai pada laut dangkal menurut James & Choquette,
1990.

Beberapa contoh semen dalam batuan karbonat yang banyak dijumpai pada karbonat modern
khususnya pada daerah terumbu adalah fibrous dan botryoidal. Jenis semen tersebut dapat
dijumpai pada batugamping Selayar yang memperlihatkan beberapa jenis (Gambar 13) yaitu
fibrous, granular dan bladed.

Gambar 13 Semen jenis fibrous dan granular yang dijumpai pada batugamping Selayar.
Radial fibrous cement yang menyemen fragmen Halimeda (A) dan stratigrafi semen dengan
tiga fase pekembangan (B).

Selain tinjauan morfologi semen, semen juga dapat dianalisis melalui bentuk kristalnya
seperti granular (equant), bladed, dan menjarum (fibers) (Gambar 2.20). Bentuk kristal semen
tersebut dibedakan dengan memperhatikan perbandingan panjang sumbu-sumbu kristalnya.
Bentuk equant memiliki sumbu kristal yang sama panjang antara sumbu a, b, dan c atau 2 : 1.
Sedangkan bentuk kristal blades adalah semen dengan panjang sumbu kristal yang tidak sama
dimana perbandingannya antara 1 : 2 sampai 1:6 antara sumbu a, b dengan sumbu c. Bentuk
kristal menjarum (fibers) jika panjang sumbu c-nya lebih besar dari 1:6.
Gambar 14 Bentuk kristal semen karbonat yang terdiri atas granular (equants), melembar
(blades) dan menjarum (fibers). Sumber Tucker & Wright (1990).

Anda mungkin juga menyukai