Anda di halaman 1dari 5

Nama : Simon Adiwijaya A.

Nim : 135214004

Kelas : N

“FENOMENA PILKADA DI MASYARAKAT”

Pemilihan Kepala Daerah atau sering di singkat Pilkada,


merupakan kegiatan nasinonal yang harus di lakukan setiap 5
tahun sekali, untuk memilih kepala daerah dan wakil. Setiap
daerah memiliki kandidat – kandidatnya sendiri. Ide dasar dan
pengharapan terhadap pilkada, yang sejatinya juga pemilu, yang
sama dengan pemilu nasional pada umumya, yaitu transisi menuju
demokrasi. Ada idealism menggebu paska Orde Baru bahwa
desentralisasi politik niscaya harus dilakukan sebagai jawaban
mengakhiri sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Banyak pihak yakin
itulah jawaban politik atas berbagai keterpurukan dan ketimpangan
di berbagai bidang (terutama ekonomi) di daerah selama puluhan
tahun, sekaligus pintu masuk bagi terbangunnya system politik
yang lebih stabil dan menyejahterakan.

Saat pilkada di daerah saya daerah Jawa Tengah kemarin


berlangsung saya belum dapat memilih karena usia yang belum
memenuhi persayaratan, namun dari pilkada kemarin provinsi
Jawa Tengah mendapat sosok pemimpin yang sangat tegas,
berwibawa, dan semoga anti korupsi juga, hal itu di buktikan
dengan melakukan sidak di tempat penimbangan truk bermuatan
besar, dan mendapati banyak kesalahan yang di lakukan anak
buahnya itu, kemudian beliau marah – marah di tempat
penimbangan itu alhasil berselang beberapa hari banyak pegawai
dari tempat penimbangan itu di berhentikan, dan juga banyak jalan
– jalan di daerah Jawa Tengah yang di perbaiki. Ternyata masih
ada sosok pemimpin yang bisa memperhatikan masyarakatnya, dan
juga tidak di pungkiri jika masyarakat Indonesia sudah mulai
pintar berdemokrasi serta memilih sosok pempimpin yang benar –
benar mau memihak kepada rakyatnya dari sekian banyak kandidat
– kandidat lain yang bervisi misi sangat menyakinkan.

Memang masalah terbesar saat ini dalam plaksanaan


pilkada masih pada persoalaan money politics, mengenai money
politics dalam pilkada didefinisikan dalam UU No. 32 / 2004
sebagai perbuatan yang dilakukan oleh pasangan calon atau tim
kampanye yang menjanjikan atau memberikan uang untuk
mempengaruhi pemilih. Jadi sesungguhnya politik uang
merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Cuma untuk
membuktikannya sangat sulit, karena tidak ada bukti tertulis dan
saksi yang melihatnya. Namun demikian masyarakat meyakini
bahwa politik uang itu memang ada, namun saat masyarakat
melaporkan ke polisi pernyataan mereka akan sia – sia karena
kepolisian hanya berpegang teguh pada bukti konvensional atau
bukti yang nyata.

Pilkada memang murni hajatan daerah. Kewenangan


pemerintah pusat terbatas pada penyedian regulasi setingkat UU
dan PP. Selebihnya, baik penyelenggaraan, pengawas, peserta,
pemilih termasuk pemerintah sebagai fasililatro semuanya dikelola
oleh daerah. Dalam konteks dukungan masyarakat, pelaksaan
pilkada sangat di pengaruhi oleh kepedulian masyarakat terhadap
pilkada, kesiapan masyarakat setempat dalam menyongsongnya,
dan keterlibatan mereka dalam kelompok – kelompok pendukung
calon kandidat kepala daerah dan wakilnya.

Saat pilkada berlangsung masyarakat di sekitar rumahku


sangat berantusias mengikutinya, sejak TPS di buka pada pagi hari
sekitar pukul 07.00 am, banyak warga yang sudah mengantri,
namun ada juga yang menunggu siang karena malas untuk
berdesak – desakan. Mereka sangat antusias sekali untuk
mengikuti pilkada. Setelah selesai mecoblos atau selesai memilih
ada beberapa warga yang saling menanyakan “ pada milih apa? ”
ada yang memberitahukan kepada mereka namun ada juga yang
tidak memberitahukannya.
Namun, pesta demokrasi itu sekarang harus di hapuskan
karena ada suatu masalah di dalam politik Indonesia, dengan
alasan untuk mengurangi pengeluaran Negara (memang untuk
melakukan pilkada di tiap daerah membutuhkan banyak sekali
dana untuk memenuhi kebutuhan dalam pelaksanaan pilkada ),
sering terjadinya kecurangan di lapangan (memang masih banyak
pendukung atau tim sukses dari beberapa kandidat – kandidat yang
ada di Indonesia ini melakukan kecurangan untuk dapat
memenangkan kandidatnya), lalu para Elit politik memutuskan
untuk merubah pilkada secara langsung itu menjadi pilkada yang
tidak langsung atau kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh DPR.
Banyak masyarakat yang menyayangkan keputusan tersebut, di
sekitar rumahku pun tidak kalah kecewanya akibat keputusan
tersebut dan mereka juga menyayangkan kenapa penghapusan
pilkada langsung harus di lakukan sekarang, disaat para
masyarakat Indonesia sudah dapat memilih dengan hati nurani
mereka sendiri – sendiri, kenapa tidak dari dulu awal – awal
penetapan pilkada secara langsung. Banyak orang yang
menggerutu tapi mereka tidak bisa berbuat apa – apa. Lagi pula
belum tentu yang dipilihkan DPR itu sama dengan keinginan para
masyarakatnya, hal itu bisa terjadi karena perbedaan presepsi atau
juga karena oknum DPR yang memilih calon kandidat itu di suap
oleh tim sukses dari kandidat tersebut, karena banyak anggota DPR
yang masih tidak kuat menahan godaan dari uang suapan itu.
Hasilnya kinerja kepala daerah yang terpilih itu menjadi asal –
asalan dan melakukan korupsi untuk mengembalikan modalnya
saat melakukan penyuapan kepada anggota DPR. Negara Indonesia
kemungkinan akan berubah menjadi negara yang tidak
berdemokrasi jika benar – benar menggunakan pemungutan suara
tidak langsung atau di pilihkan DPR.

Contoh kasus:

Pilkada putaran pertama Juni 2005 diwarnai berbagai


koalisi antarpartai politik. Ada cukup informasi bahwa banyak
koalisi antarpartai dalam proses pencalonan pasangan calon kepala
daerah selama pilkada Juni 2005 lalu bersifat cair.
Implikasi dari itu, ini yang lebih menarik. Sedikitnya di 51 daerah
yang menggelar pilkada, koalisi partai-partai terbentuk dari partai-
partai berasal dari latar belakang ideologis yang berbeda, misalnya
antara partai berasas Islam dan partai nasionalis sekuler. Untuk
mudahnya kita sebut saja sebagai 'koalisi pelangi'.
Bahasan mengenai pola koalisi antar partai politik menjadi penting
dalam konteks mencermati fungsi partai politik sebagai mesin
politik untuk memenangkan pemilihan umum. Partai politik selama
ini dipahami sebagai sumber daya politik yang dipandang mampu
memobilisasi dukungan para pemilih untuk mendukung partai atau
figur tertentu.

Anda mungkin juga menyukai