Anda di halaman 1dari 45

MENGENAL PERALATAN MISA

Setiap kali kita ke gereja dan mengikuti misa, ada pemandangan rutin yang selalu kita lihat, yaitu aktivitas
Imam di altar yang dibantu oleh para misdinar. Dalam melakuakan aktivitasnnya selama memimpin
Ekaristi, begitu banyak peralatan dan perlengkapan yang dilibatkan (perlatan dan perlengkapan misa).

Bagi kita yang pernah atau masih menjadi misdinar, peralatan misa ini tentunya sudah begitu akrab dan
paling tidak kita tahu nama-namanya. Namun tidak sedikit juga diantara kita yang tidak tahu bahkan
masih bingung dengan nama serta keguanaan dari peralatan tersebut. Untuk itu dalam posting kali ini,
saatnya kita berbagi soal peralatan misa satu persatu sekalian dengan gambar agar lebih jelas.

PERALATAN MISA

PIALA (calix = cawan)

Piala adalah cawan yang menjadi tempat anggur untuk dikonsekrasikan, dimana sesudah konsekrasi
menjadi tempat untuk Darah Mahasuci Kristus. Melihat fungsinya, maka Piala harus dibuat dari logam
mulia. Piala melambangkan cawan yang dipergunakan Tuhan kita pada Perjamuan Malam Terakhir di
mana Ia untuk pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya.

Piala melambangkan cawan Sengsara Kristus (“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu,
ambillah cawan ini dari pada-Ku,” Mrk 14:36); dan yang terakhir, piala melambangkan Hati Yesus, dari
mana mengalirlah Darah-Nya demi penebusan kita.

PURIFIKATORIUM

berasal dari bahasa Latin “purificatorium”, yaitu sehelai kain lenan berwarna putih berbentuk segi empat
untuk membersihkan piala, sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium dilipat tiga
memanjang lalu diletakkan di atas piala.
PATENA

berasal dari bahasa Latin yang artinya “piring”. Patena, yang sekarang berbentuk bundar,datar, dan
dirancang untuk roti pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring. Dengan munculnya roti-
roti kecil yang dibuat khusus untuk umat yang biasanya disimpan dalam sibori, fungsi dari patena sebagai
piring menghilang. Maka bentuknya menjadi lebih kecil (Sejak abad 11). Menurut PUMR 2000, "untuk
konsekrasi hosti, sebaiknya digunakan patena yang besar, di mana ditampung hosti, baik untuk imamdan
diakon, maupun untuk para pelayan dan umat (No. 331).

Patena, hendaknya dibuat serasi dengan pialanya, dari bahan yang sama dengan piala, yaitu dari emas
atau setidak-tidaknya disepuh emas. Patena diletakkan di atas purifikatorium.

PALLA

berasal dari bahasa Latin palla corporalis yang berarti kain untukTubuh Tuhan, adalah kain lenan putih
yang keras dan kaku seperti papan, berbentuk bujursangkar, dipergunakan untuk menutup piala.

Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup pintu masuk ke
makam Yesus. Palla diletakkan di atas Patena.

CORPORALE

Sehelai kain lenan putih berbentuk bujur sangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya. Seringkali
pinggiran korporale dihiasi dengan renda.

Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana
suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan,korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat
menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas Palla.
Urutan aturan menyusun peralatan-peralatan tersebut di atas adalah sebagai berikut :

Piala

Purifikatorium+sendok kecil

Patena (dengan hosti besar diatasnya)

Pala

Corporal

SIBORI

berasal dari bahasa Latin “cyborium” yang berarti “piala dari logam”,adalah bejana serupa piala, tetapi
dengan tutup di atasnya. Siboriadalah wadah untuk roti-roti kecil yang akan dibagikan dalam
Komunikepada umat beriman. Sibori dibuat dari logam mulia, bagian dalamnyabiasa dibuat dari emas
atau disepuh emas.

PIKSIS

berasal dari bahasa Latin “pyx” yang berarti “kotak”, adalah sebuahwadah kecil berbentuk bundar
dengan engsel penutup, serupa wadah jamkuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis dipergunakan
untukmenyimpan Sakramen Mahakudus, yang akan dihantarkan kepada mereka yangsakit, atau yang
akan ditahtakan dalam kebaktian kepada Sakramen Mahakudus.

MONSTRANS
berasal dari bahasa Latin “monstrans, monstrare” yang berarti“mempertontonkan”, adalah bejana suci
tempat Sakramen Mahakudusditahtakan atau dibawa dalam prosesi.

AMPUL

adalah dua bejana yang dibuat dari kaca atau logam, bentuknya seperti buyung kecil dengan tutup di
atasnya. Ampul adalah bejana-bejana darimana imam atau diakon menuangkan air dan anggur ke dalam
piala. Selaluada dua ampul di atas meja kredens dalam setiap Misa.

LAVABO

berasal dari bahasa Latin “lavare” yang berarti “membasuh”, adalah bejana berbentuk seperti buyung
kecil, atau dapat juga berupa mangkuk,tempat menampung air bersih yang dipergunakan imam untuk
membasuh tangan sesudah persiapan persembahan. Sebuah lap biasanya menyertai lavabo untuk
dipergunakan mengeringkan tangan imam.

TURIBULUM

(disebut juga Pedupaan/wiruk), berasal dari bahasa Latin “thuris” yang berarti “dupa”, adalah bejana di
mana dupa dibakar untuk pendupaan liturgis. Turibulum terdiri dari suatu badan dari logam dengan
tutupterpisah yang menudungi suatu wadah untuk arang dan dupa; turibulumdibawa dan diayun-
ayunkan dengan tiga rantai yang dipasang padabadannya, sementara rantai keempat digunakan untuk
menggerak-gerakkantutupnya. Pada turibulum dipasang bara api, lalu di atasnya ditaburkanserbuk dupa
sehingga asap dupa membubung dan menyebarkan bau harum.Dupa adalah harum-haruman yang
dibakar pada kesempatan-kesempatanistimewa, seperti pada Misa yang meriah dan Pujian kepada
Sakramen Mahakudus.
NAVIKULA

(disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat menyimpan serbuk dupa. Dupa adalah getah yang
harum dan rempah-rempah yang diambil daritanam-tanaman, biasanya dibakar dengan campuran
tambahan gunamenjadikan asapnya lebih tebal dan aromanya lebih harum. Asap dupa yangdibakar naik
ke atas melambangkan naiknya doa-doa umat beriman kepadaTuhan. Ada pada kita catatan mengenai
penggunaan dupa bahkan sejak awalkisah Perjanjian Lama. Secara simbolis dupa melambangkan
semangat umatKristiani yang berkobar-kobar, harum mewangi keutamaan-keutamaan dannaiknya doa-
doa dan perbuatan-perbuatan baik kepada Tuhan.

ASPERGILUM

berasal dari bahasa Latin “aspergere” yang berarti “mereciki”, adalahsebatang tongkat pendek, di
ujungnya terdapat sebuah bola logam yangberlubang-lubang, dipergunakan untuk merecikkan air suci
pada orangatau benda dalam Asperges dan pemberkatan. Bejana Air Suci adalah wadahyang
dipergunakan untuk menampung air suci; ke dalamnya aspergilumdicelupkan.

SACRAMENTARIUM

atau Buku Misa adalah buku pegangan imam pada waktu memimpin perayaan Ekaristi, berisi doa-doa
dan tata perayaan Ekaristi.

Dasar, Struktur, Fungsi dan Corak Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja Katolik

Dasar Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja

Kepemimpinan dalam Gereja pada dasarnya diserahkan kepada hierarki yang berasal dari Kristus
sendiri.Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para uskup menggantikan para rasul sebagai
penggembala Gereja”.[14]Konsili juga mengajarkan dan mengatakan bahwa Yesus Kristus, Gembala
kekal, telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para rasul seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa.
[15]Para pengganti mereka yakni para uskup dikehendakiNyamenjadi gembala dalam GerejaNya hingga
akhir zaman.[16]Dengan demikian, dasar dari kepemimpinan dalam Gereja adalah berasal dari kehendak
Tuhan.
Struktur Kepemimpinan (Hierarki) dalam Gereja

Dewan Para Uskup dengan Paus sebagai Kepalanya

Para uskup adalah pengganti para rasul.Tugas dari dewan para uskup adalah menggantikan dewan para
rasul dan yang memimpin Gereja adalan dewan para uskup. Ketika Kristus mengangkat dua belas rasul, Ia
membentuk mereka menjadi semacam dewan atau badan yang tetap. Sebagai ketua dewan,
diangkatNya Petrus yang dipilih dari antara mereka.

Sama seperti Santo Petrus dan para rasul lainnya yang atas penetapan Tuhan merupakan satu dewan
para rasul, demikian pula Paus, pengganti Petrus, bersama para uskup, pengganti rasul, merupakan suatu
himpunan yang serupa.

Paus

Konsili Vatikan II menegaskan: “Adapun dewan atau badan para uskup hanyalah berwibawa, bila bersatu
dengan imam agung di Roma, pengganti Petrus, sebagai kepalanya dan selama kekuasaan primatnya
terhadap semua baik para gembala maupun kaum beriman, tetap berlaku seutuhnya.” Sebab Imam
Agung di Roma berdasarkan tugasnya, yakni sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta,
mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja dan kuasa itu selalu dapat dijalankan
dengan bebas.[17]

Kristus mengangkat Santo Petrus menjadi pemimpin para rasul.Paus, pengganti Petrus, adalah pemimpin
para uskup.

Uskup
Konsili Vatikan II merumuskan dengan jelas: “Masing-masing uskup menjadi asas dan dasar kelihatan
bagi kesatuan dalam Gerejanya”.[18]Tugas pokok uskup adalah mempersatukan dan mempertemukan
umat. Tugas pemersatu itu dibagi menjadi tiga khusus yakni: tugas pewartaan, perayaan dan pelayanan.
Tugas utama para uskup adalah pewartaan Injil.[19]Uskupyaitu memimpin umat dalam kalangan pastoral
keuskupan.

Pembantu Uskup: Imam dan Diakon

Para Imam adalah wakil uskup disetiap jemaat setempat.Tugas konkret para imam adalah pewartaan,
perayaan dan pelayanan umat.Para imam ditahbiskan untuk mewartakan Injil dan menggembalakan
umat beriman.

Imam merupakan “penolong dan organ para uskup” (Lumen Gentium 28) Didalam Gereja Katolik ada
imam diosesan (sebutan yang sering dipakai imam praja) dan imam religius (ordo atau kongregasi).Imam
diosesanadalah imam keuskupan yang terikat dengan salah satu keuskupan tertentu dan tidak termasuk
ordo atau kongregasi tertentu. Imam religius (misalnya SJ, MSF, OFM, dsb) adalah imam yang tidak
terikat dengan keuskupan tertentu, melainkan lebih terikat pada aturan ordo atau kongregasinya.[20]

Para Diakon; tingkat hierarki yang lebih rendah terdapat para diakon yang ditumpangi tangan bukan
untuk imamat, melainkan untuk pelayanan.[21]Diakon adalah pembantu Uskup dan Imam dalam
pelayanan terhadap umat beriman. Mereka ditahbiskan untuk mengambil bagian dalam imamat jabatan.
Karena tahbisannya ini, maka seorang diakon masuk dalam kalangan hirarki. Di Gereja Katolik ada 2
macam Diakon, yaitu: 1) mereka yang dipersiapkan untuk menerima tahbisan Imam. 2) mereka yang
menjadi Diakon untuk seumur hidupnya tanpa menjadi Imam.[22]

Catatan: “Kardinal”, Kardinal bukan jabaran hirarkis dan tidak termasuk struktur hirarkis. Kardinal adalah
penasehat Paus dan membantu Paus dalam tugas reksa harian seluruh Gereja. Mereka membentuk
suatu dewan Kardinal. Jumlah dewan yang berhak memilih Paus dibatasi 120 orang yang di bawah usia
80 tahun. Seorang Kardinal dipilih oleh Paus secara bebas.Kardinal adalah merupakan gelar kehormatan.
Kata “kardinal” berasal dari kata Latin”cardo” yang berarti “engsel”, dimana seorang Kardinal dipilih
menjadi asisten-asisten kunci dan penasehat dalam berbagai urusan gereja. Kardinal dapat dipilih dari
kalangan Imam ataupun Uskup. Di Indonesia telah ada 2 orang Kardinal, yaitu Yustinus Kardinal
Darmojuwono Pr (alm.) dan Julius Kardinal Darmaatmaja SJ.
Fungsi Khusus Hierarki

Fungsi khusus hirarki adalah:

a. Menjalankan tugas gerejani yakni tugas-tugas yang secara langsung dan eskplisit menyangkut
kehidupan beriman Gereja seperti melayani sakramen-sakramen, mengajar agama dan sebagainya.

b. Menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman. Hirarki mempersatukan umat dalam
iman dengan petunjuk, nasihat dan teladan.

Corak Kepemimpinan dalam Gereja

a. Kepemimpinan dalam Gereja merupakan suatu panggilan khusus, dimana campur tangan Tuhan
merupakan unsur yang dominan. Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam Gereja tidak diangkat oleh
manusia berdasarkan suatu bakat, kecakapan atau prestasi tertentu. Kepemimpinan dalam Gereja tidak
diperoleh oleh kekuatan manusia sendiri. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih
kamu.” Kepemimpinan dalam masyarakat dapat diperjuangkan oleh manusia, tetapi di dalam Gereja
tidaklah demikian.

b. Kepemimpinan dalam Gereja bersifat mengabdi dan melayani dalam arti semurni-murninya,
walaupun ia sungguh mempunyai wewenang yang berasal dari Kristus sendiri. Kepemimpinan gerejani
adalah kepemimpinan untuk melayani, bukan untuk dilayani. Kepemimpinan untuk menjadi orang yang
terakhir bukan yang pertama. Kepemimpinan untuk mencuci kaki sesama saudara.

c. Kepemimpinan hierarki berasal dari Tuhan, maka tidak dapat dihapus oleh manusia.
HIERARKIS GEREJA KATOLIK

Menurut Ajaran resmi Gereja struktur Hierarkis termasuk hakikat kehidupan-nya juga. Perutusan ilahi,
yang dipercayakan Kristus kepada para rasul itu, akan berlangsung sampai akhir zaman (lih. Mat 28:20).
Sebab Injil, yang harus mereka wartakan, bagi Gereja merupakan azas seluruh kehidupan untuk
selamanya. Maka dari itu dalam himpunan yang tersusun secara hirarkis yaitu para Rasul telah berusha
mengangkat para pengganti mereka.Maka Konsili mengajarkan bahwa“atas penetapan ilahi para uskup
menggantikan para rasul sebagai gembala Gereja” Kepada mereka itu para Rasul berpesan, agar mereka
menjaga seluruh kawanan, tempat Roh Kudus mengangkat mereka untuk menggembalakan jemaat Allah
(lih. Kis 20:28).(LG 20). Pengganti meraka yakni, para Uskup, dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam
Gereja-Nya hingga akhir jaman (LG 18).

makdud dari “atas penetapan ilahi para uskup menggantikan para rasul sebagai gembala Gereja” ialah
bahwa dari hidup dan kegiatan Yesus timbulah keplompok orang yang kemudian berkembang menjadi
Gereja, seperti yang dikenal sekarang. Proses perkembangan pokok itu terjadi dalam Gereja perdana
atau Gereja para rasul, Yakni Gereja yang mengarang Kitab Suci Perjanjian baru. Jadi, dalam kurun waktu
antara kebangkitan Yesus dan kemartiran St. Ignatius dari Antiokhia pada awal abad kedua, secara prinsip
terbentuklah hierarki Gereja sebagaimana dikenal dalam Gereja sekarang.

Striktur Hierarkis Gereja yang sekarang terdiri dari dewan para Uskup dengan Paus sebagai kepalanya,
dan para imam serta diakon sebagai pembantu uskup

1. Para Rasul

Sejarah awal perkembangan Hierarki adalah kelompok keduabelas rasul. Inilah kelompok yang sudah
terbentuk waktu Yesus masih hidup. Seperti Paulus juga menyebutnya kelompok itu ” mereka yang telah
menjadi rasul sebelum aku” (Gal 1:17). Demikian juga Paulus pun seorang rasul, sebagaimana dalam
Kitab Suci (1Kor 9:1, 15:9, dsb)
Pada akhir perkembangannya ada struktur dari Gereja St. Ignatius dari Antiokhia, yang mengenal
“penilik” (Episkopos), “penatua” (presbyteros), dan “pelayan” (diakonos). Struktur ini kemudian menjadi
struktur Hierarkis yang terdiri dari uskup, imam dan diakon.

2. Dewan Para Uskup

Pada akhir zaman Gereja perdana, sudah diterima cukup umum bahwa para uskup adalah pengganti
para rasul, seperti juga dinyatakan dalam Konsili Vatikan II (LG 20). Tetapi hal itu tidak berarti bahwa
hanya ada dua belas uskup (karena duabelas rasul). Disini dimaksud bukan rasul satu persatu diganti oleh
orang lain, tetapi kalangan para rasul sebagai pemimpin Gereja diganti oleh kalangan para uskup. hal
tersebut juga di pertegas dalam Konsili Vatikan II (LG 20 dan LG 22).

Tegasnya, dewan para uskup menggantikan dewan para rasul. Yang menjadi pimpinan Gereja adalah
dewan para uskup. Seseorang diterima menjadi uskup karena diterima kedalam dewan itu. itulah
Tahbisan uskup, “Seorang menjadi anggota dewan para uskup dengan menerima tahbisan sakramental
dan berdasarkan persekutuan hierarkis dengan kepada maupun para anggota dewan” (LG 22). Sebagai
sifat kolegial ini, tahbisan uskup belalu dilakukan oleh paling sedikit tiga uskup, sebab tahbisan uskup
berarti bahwa seorang anggota baru diterima kedalam dewan para uskup (LG 21).

3. Paus

Kristus mengangkat Petrus menjadi ketua para rasul lainnya untuk menggembalakan umat-Nya. Paus,
pengganti Petrus adalah pemimpin para uskup.

Menurut kesaksian tradisi, Petrus adalah uskup Roma pertama. Karena itu Roma selalu dipandang
sebagai pusat dan pedoman seluruh Gereja. Maka menurut keyakinan tradisi, uskup roma itu pengganti
petrus, bukan hanya sebagai uskup lokal melainkan terutama dalam fungsinya sebagai ketua dewan
pimpinan Gereja. Paus adalah uskup Roma, dan sebagai uskup Roma ia adalah pengganti Petrus dengan
tugas dan kuasa yang serupa dengan Petrus. hal ini dapat kita lihat dalam sabda Yesus sendiri :

“Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu,
melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu
karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan
Kuberikan kunci Kerajaan Sorga.Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang
kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (Mat 16:17-19).

4. Uskup

Paus adalah juga seorang uskup. kekhususannya sebagai Paus, bahwa dia ketua dewan para uskup. Tugas
pokok uskup ditempatnya sendiri dan Paus bagi seluruh Gereja adalah pemersatu. Tugas hierarki yang
pertama dan utama adalah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas itu boleh disebut tugas
kepemimpinan, dan para uskup “dalam arti sesungguhnya disebut pembesar umat yang mereka
bimbing” (LG 27).

Tugas pemersatu dibagi menjadi tiga tugas khusus menurut tiga bidang kehidupan Gereja. Komunikasi
iman Gereja terjadi dalam pewartaan, perayaan dan pelayanan. Maka dalam tiga bidang itu para uskup,
dan Paus untuk seluruh Gereja, menjalankan tugas kepemimpinannya. “Diantara tugas-tugas utama para
uskup pewartaan Injilah yang terpenting” (LG 25). Dalam ketiga bidang kehidupan Gereja uskup
bertindak sebagai pemersatu, yang mempertemukan orang dalam komunikasi iman.

5. Imam

Pada zaman dahulu, sebuah keuskupan tidak lebih besar daripada sekarang yang disebut paroki. Seorang
uskup dapat disebut “pastor kepala” pada zaman itu. dan imam-imam “pastor pembantu”, lama
kelamaan pastor pembantu mendapat daerahnya sendiri, khususnya di pedesaan. Makin lama daerah-
daerah keuskupan makin besar. Dengan Demikian, para uskup semakin diserap oleh tugas oraganisasi
dan administrasi. Tetapi itu sebetulnya tidak menyangkut tugasnya sendiri sebagai uskup, melainkan cara
melaksanakannya. sehingga uskup sebagai pemimpin Gereja lokal, jarang kelihatan ditengah-tengah
umat.

melihat perkembangan demikian, para imam menjadi wakil uskup. “Di masing-masing jemaat setempat
dalam arti tertentu mereka menghadirkan uskup. Para imam dipanggil melayani umat Allah sebagai
pembantu arif bagi badan para uskup, sebagai penolong dan organ mereka” (LG 28).

Tugas konkret mereka sama seperti uskup: “Mereka ditahbiskan untuk mewartakan Injil serta
menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi”
6. Diakon

“Pada tingkat hiererki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan ‘bukan untuk
imamat, melainkan untuk pelayanan'” (LG29). Mereka pembantu uskup tetapi tidak mewakilinya.

Para uskup mempunyai 2 macam pembantu, yaitu pembantu umum (disebut imam) dan pembantu
khusus (disebut diakon). Bisa dikatakan juga diakon sebagai “pembantu dengan tugas terbatas”. jadi
diakon juga termasuk kedalam anggota hierarki

oo 000 ooo

Istilah nama:

seorang kardinal adalah seorang uskup yang diberi tugas dan wewenang memilih Paus baru, bila ada
seorang Paus yang meninggal. (karena Paus adalah uskup roma, maka Paus baru sebetulnya dipilih oleh
pastor-pastor kota Roma, khususnya pastor-pastor dari gereja-gereja “utama” (cardinalis)). Dewasa ini
para kardinal dipilih dari uskup-uskup seluruh dunia. lama kelamaan para kardinal juga berfungsi sebagai
penasihat Paus, bahkan fungsi kardinal menjadi suatu jabatan kehormatan. Para kardinal diangkat oleh
Paus. Sejak abad ke 13 warna pakaian khas adalah merak lembayung.

Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia itu multikultural lantas menimbulkan argumentasi dalam
pemilihan warna liturgis. Padahal, warna-warna ini sebenarnya sudah diatur dalam dokumen Institutio
Generalis Missali Romani (Ing.: General Instruction of the Roman Missal, silahkan klik), tepatnya nomor
IGMR #346. Semua warna tersebut dipilih karena memiliki makna yang Kristosentris (berpusat pada
Kristus).

Yuk, kita tengok makna dari lima warna liturgis dalam Ritus Romawi.

Warna Hijau
Warna liturgis hijau

Warna liturgis hijau

Warna hijau dikenakan dalam Masa Biasa (Inggris: Ordinary Time). Masa Biasa ini jatuh sesudah Masa
Paskah, mulai Hari Minggu Pentakosta sampai hari Sabtu sebelum Hari Minggu Pertama Masa Adven.
Masa Biasa berpusat pada masa tiga tahun karya misi Kristus di tengah masyarakat; ini dilihat dari
bacaan-bacaan Injil yang biasanya mengisahkan ajaran-ajaran dan mukjizat-mukjizat Tuhan di bumi.

Warna hijau adalah warna alam dan pepohonan; ia menyerupai warna tunas-tunas muda yang
menyembul pada awal musim semi. Ia adalah warna kehidupan dan harapan baru, melambangkan
harapan yang ada pada diri kita setelah dicurahkannya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Pada hari
Pentakosta ini Sang Penolong yang dijanjikan hadir di tengah-tengah kita, dan lahir pulalah Gereja
Katolik, yaitu Tubuh Kristus, tanda Kerajaan Allah di bumi, sekaligus satu-satunya Pengantin Perempuan
Tuhan.

Warna Merah

liturgy red

Warna liturgis merah

Merah sebagai warna liturgis dikenakan pada hari-hari berikut:

Hari Minggu Palma

Hari Jumat Agung

Hari Minggu Pentakosta

Perayaan-perayaan Sengsara Tuhan

Pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Santo Yohanes yang tidak dimartir)

Perayaan-perayaan para martir

Jika kita cermati, sebagian besar hari-hari itu memiliki persamaan, yaitu DARAH. Warna merah, yang
adalah warna darah, merupakan lambang pengorbanan Kristus dan para martir-Nya. Melalui warna
merah, kita diingatkan akan Darah Kudus yang telah tercurah bagi kita di kayu salib. Kita yang telah
berdosa melawan Dia, telah ditebus-Nya sehingga semua yang percaya pada-Nya beroleh hidup kekal.

Kita pun juga dikuatkan oleh jasa-jasa para martir Gereja. Saat ini mereka sudah hidup bersama Allah di
surga, namun senantiasa mendoakan kita, Gereja yang masih berziarah di bumi, agar kelak kita juga bisa
ikut merayakan Perjamuan Anak Domba di surga. Warna merah darah para martir memberi kita
semangat untuk meniru kesaksian mereka dalam mengikuti Kristus sampai mati.

Selain itu, merah juga melambangkan API, sesuai dengan Hari Raya Pentakosta. Lidah-lidah api adalah
lambang Roh Kudus; api inilah yang mengobarkan iman para rasul sehingga mereka berani mewartakan
Kristus kepada sahabat maupun musuh. Iman mereka menyala-nyala dan memukau semua yang
mendengar kesaksian mereka, sehingga semakin banyaklah jiwa yang dimenangkan bagi Kristus.

Warna Kuning (Emas) atau Putih

Warna liturgis kuning

Warna liturgis kuning

Warna kuning (emas) atau putih dikenakan pada:

Masa Natal

Masa Paskah

Perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya)

Pesta-pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, dan para kudus yang bukan martir

Pesta Pertobatan Santo Paulus Rasul (25 Januari)

Pesta Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari)

Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni)

Pesta Santo Yohanes Rasul dan Pengarang Injil (27 Juni)

Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November)


Misa Arwah (opsional)

Kuning atau putih melambangkan sukacita dan kemenangan, kekudusan dan kemurnian, serta cahaya
ilahi. Melalui kedua warna ini, kita diingatkan akan peristiwa-peristiwa gembira dalam kehidupan Tuhan
Yesus dan Bunda-Nya, serta juga kesucian para orang kudus yang patut kita teladani. Peristiwa-peristiwa
gembira menunjukkan kepada kita bagaimana memperoleh kebahagiaan sejati, yaitu dengan
mendengarkan dan mematuhi Kehendak Allah. Kebahagiaan ala Kristen adalah kebahagiaan yang
berlandaskan kepercayaan akan janji setia Allah melalui suka dan duka, tidak melulu gejolak emosi yang
hanya sementara saja.

Putih juga adalah lambang kebangkitan, maka warna ini digunakan pada Masa Paskah untuk
memperingati kebangkitan Kristus seturut Kitab Suci. Warna putih, walaupun boleh dikenakan saat Misa
arwah seturut PUMR (versi bahasa Inggris) secara teologis tidaklah tepat untuk mengenakan warna
tersebut. PUMR juga tidak memberikan ketentuan warna apa yang harus menjadi prioritas, semua
disamakan dalam status opsional. Namun, warna yang seharusnya digunakan ialah warna hitam. Silakan
baca artikel berjudul Penggunaan Warna Hitam dalam Liturgi.

Warna Ungu

Warna liturgis ungu

Warna ungu paling sering dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah, serta juga dapat
dikenakan dalam Misa Arwah sebagai pengganti warna hitam.

Warna ungu terutama melambangkan pertobatan dan penitensi. Warna ini, yang disebut juga violet,
mengingatkan kita akan bunga violet yang kuntumnya tertunduk ke tanah sebagai simbol kerendahan
hati. Masa Prapaskah adalah masa untuk memperbanyak puasa, doa, dan amal kasih; kita dengan
rendah hati menyesali dosa-dosa kita sementara menantikan hidup baru di dalam Kristus yang wafat dan
bangkit.

Sementara itu, Masa Adven adalah masa penantian akan kelahiran Mesias yang dijanjikan para nabi.
Warna ungu pada Masa Adven sesuai dengan warna semburat fajar sebelum terbitnya matahari; dengan
penuh harapan kita menunggu datangnya Sang Timur yang akan menghalau kegelapan dosa.
Terakhir, warna ungu pun sesungguhnya warna kerajaan; pada zaman Yesus, ungu merupakan warna
yang mahal karena memerlukan zat warna khusus. Jubah warna ungu seringkali dikenakan oleh raja, atau
untuk menyambut raja.

Warna Hitam

Warna liturgis hitam

Warna hitam mungkin sekarang jarang sekali dipergunakan, namun warna ini juga merupakan salah satu
warna liturgis Gereja.

Warna hitam biasanya digunakan saat:

Peringatan Arwah Semua Orang Beriman

Misa Arwah

Hitam adalah warna yang melambangkan duka atas kematian, serta gelapnya makam orang mati. Lalu
mengapa Gereja mengenakan warna yang murung ini?

Meskipun iman kita adalah iman yang penuh pengharapan, namun iman kita juga menyadari realita dosa
dan penghakiman. Kita tidak dengan serta-merta menghakimi apakah jiwa seseorang masuk neraka atau
masuk surga. Kita memang memiliki pengharapan atas kebahagiaan jiwa-jiwa terutama jiwa-jiwa Kristen,
namun dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa kita tidak mengetahui hasil penghakiman Allah
atas jiwa tersebut.

Gereja selalu menekankan bahwa kita semua adalah pendosa yang harus terus bertobat dan
memperbaiki diri. Karena itulah, memiliki pengharapan bukan berarti kita tidak berdoa dan bertobat;
justru pengharapan inilah yang semestinya mendorong kita agar semakin menyadari kelemahan-
kelemahan manusiawi kita di hadapan Allah.

Warna hitam mengingatkan kita akan realita ini, serta kemungkinan terburuk yang kita hadapi apabila
kita tidak berusaha hidup kudus. Jika kita menganggap keselamatan itu “otomatis”, kapan kita mau serius
mengikuti ajaran-ajaran Kristus? Maka, baiklah kita saling mendoakan dan menguatkan agar kita semua
boleh mendapatkan kebahagiaan abadi bersama Allah dan para kudus di surga. Jangan lupa juga untuk
mendoakan mereka yang masih berada di Api Penyucian; mereka ini jiwa-jiwa suci yang rendah hati,
yang belum merasa pantas untuk menikmati surga sehingga rela dimurnikan terlebih dahulu. Doakanlah
supaya Allah berkenan untuk segera menghadiahkan surga kepada mereka.

Warna Rose

Warna liturgis rose

Warna liturgis rose

Warna rose ini mungkin jarang kita lihat karena tergolong warna opsional (boleh dikenakan, boleh tidak),
namun sebaiknya digunakan (silakan membaca artikel berjudul Kasula Rose dan Minggu Sukacita). Warna
rose hanya digunakan pada Hari Minggu Ketiga Masa Adven, yang disebut sebagai Minggu Gaudete; dan
Hari Minggu Keempat Masa Prapaskah, yang disebut Minggu Laetare. Untuk Masa Adven, kita mungkin
ingat bahwa warna rose ini cocok dengan rangkaian lilin Adven, yang terdiri dari 3 lilin ungu dan 1 lilin
rose.

Warna rose mengingatkan kita bahwa kita sudah memasuki pertengahan masa penantian kita. Rose
adalah warna kebahagiaan, sebab waktu penantian kita tidak lama lagi. Kita meyakini janji setia Allah
akan keselamatan yang datang melalui Mesias, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus.

Namun perlu diingat bahwa warna rose dikelilingi oleh warna ungu; maksudnya, kita harus tetap
menjaga sikap hati dalam suasana tobat dan penyesalan, agar layak dan pantas menyambut kelahiran
Mesias, serta kebangkitan-Nya yang membawa keselamatan dan hidup abadi.

WARNA DAN BUSANA LITURGI

BUSANA LITURGI

Setiap mengikuti perayaan ekaristi, kita selalu melihat Pakaian dan warna yang dikenakan imam yang
berperan sebagai In Persona Christi dalam memimpin ekaristi. Pakaian yang rata-rata orang
menyebutnya dengan istilah "JUBAH" (meskipun sebenarnya bukan...) terdiri dari beberapa lapis dan
beberapa bagian, di mana masing-masing bagian memiliki makna dan memiliki tata cara dengan doa saat
imam mengenakannya.

Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313M, Gereja terus menyempurnakan “siapa mengenakan
apa, bilamana, dan bagaimana” hingga sekitar tahun 800 ketika norma-norma liturgis perihal busana
pada dasarnya distandarisasi dan tetap sama hingga pembaharuan sesudah Konsili Vatikan Kedua. Untuk
itu marilah kita lihat bersama terdiri dari apa saja pakaian yang dikenakan imam saat memimpin ekaristi
satu persatu.

AMIK (Tanda Perlindungan)

Selembar kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya, dikenakan
sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan (membentuk salib St
Andreas), lalu membawa tali ke belakang punggung, melilitkannya sekeliling pinggang dan
mengikatkannya dengan suatu simpul.

Tujuan praktis amik adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala
dan leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup kepala, seringkali dikenakan di bawah topi
baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke
mata.

Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong
keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).

Doa ketika mengenakan amik:

“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”

ALBA (Citra Kekudusan)

Alba adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki lengan panjang hingga
pergelangan tangan. Kata alba dalam bahasa Latin artinya “putih”.
Alba adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip dengan soutane
yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang
lebih baik dengan aneka sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik
tidak diperlukan lagi.

Tujuan rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih diselubungkan
padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani.
Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di
surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah
mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14).

Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan
kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba,
maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.

Doa ketika mengenakan alba:

“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena
telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”

SINGEL (Tali Kesucian)

Singel adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang diikatkan
sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian
hati dan pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di
kalangan Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang.

Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, “Sebab itu siapkanlah akal
budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan
kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti
hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di
dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).

Doa ketika mengenakan singel:

“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan
pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”

STOLA (Lambang Penugasan Resmi)

Stola adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan
kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol
bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan
(imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol
kekekalan.

Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk melambangkan
salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-
jumbai sebagai tanda otoritas mereka.

Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang yang dikenakan para
prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan
kantong perbekalan, misalnya air dan makanan.

Dalam arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya sebagai imam,
melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh
keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua
manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola
yang dikalungkan pada leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan.

Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas
kasula.

Doa ketika mengenakan stola:


“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami,
dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.

KASULA (Lambang Cinta dan Pengorbanan)

Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan stola. Kasula
merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk
memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk
melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan.

Selama berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi. Kasula berasal
dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol
tanpa lengan yang sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk. Tujuan
rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas semuanya
itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).

Doa ketika mengenakan kasula:

“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah
aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”

Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama
yaitu :

“Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama.
Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-
beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu,
busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).

busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang
kaya makna.

WARNA LITURGI

Penjelasan berikut disampaikan berdasarkan norma-norma Pedoman Umum Misale Romawi no 345-347.

PUTIH atau KUNING


Melambangkan sukacita dan kemurnian jiwa, dikenakan sepanjang Masa Natal dan Masa Paskah.

Busana liturgis putih juga dikenakan pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-
Nya); begitu pula pada pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada
Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November), Kelahiran St Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta St Yohanes
Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta St Petrus Rasul (22 Februari) dan Pesta Bertobatnya St Paulus
Rasul (25 Januari).

Putih juga dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani dan Misa Arwah guna melambangkan
kebangkitan Tuhan kita, ketika Ia menang atas dosa dan maut, kesusahan dan kegelapan.

MERAH

Di satu pihak, merah melambangkan pencurahan darah; di lain pihak, merah juga melambangkan api
kasih Allah yang bernyala-nyala. Karenanya, busana liturgis merah dikenakan pada hari Minggu Palma
(ketika Kristus memasuki Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya), pada hari Jumat Agung, pada
hari Minggu Pentakosta (ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan lidah-lidah api hinggap di atas kepala
mereka), dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil (terkecuali
St Yohanes yang tidak mengalami kemartiran), dan pada perayaan-perayaan para martir.

HIJAU

Dikenakan sepanjang masa liturgi yang disebut Masa Biasa. Masa Biasa berfokus pada masa tiga tahun
pewartaan Tuhan kita di depan publik, dan ayat-ayat Injil, teristimewa pada hari-hari Minggu,
mengisahkan ajaran-ajaran, mukjizat-mukjizat, pengusiran setan dan perbuatan-perbuatan baik lain yang
dilakukan-Nya selama masa itu.

Segala pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan pengharapan besar dalam misteri keselamatan. Kita
berfokus pada hidup-Nya yang Ia bagi bersama umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang
sekarang kita bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui sakramen-sakramen-Nya, dan kita
menanti dengan rindu berbagi hidup abadi bersama-Nya dalam kesempurnaan di surga. Hijau
melambangkan pengharapan dan hidup ini, sama seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara
pepohonan yang tandus di awal musim semi membangkitkan pengharapan akan hidup baru.
UNGU

dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah sebagai tanda pertobatan, kurban dan persiapan. Di
pertengahan dari masing-masing masa ini: pada hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan hari
Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) - busana liturgis berwarna JINGGA biasa dikenakan sebagai tanda
sukacita.

Kita bersukacita di pertengahan masa ini karena kita telah melewati separuh persiapan kita dan sekarang
mengantisipasi kedatangan sukacita Natal atau Paskah.

Beberapa ahli liturgi, khususnya di Gereja Episcopal, memperkenalkan busana liturgis berwarna biru
sepanjang Masa Adven guna membedakannya dari Masa Prapaskah; namun demikian, tidak ada
persetujuan yang diberikan oleh Gereja Katolik untuk busana liturgis berwarna biru ini. Ungu dapat juga
dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani atau Misa Arwah.

HITAM

walau sekarang jarang sekali dipergunakan, dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani sebagai
tanda maut dan duka. Hitam dapat juga dikenakan pada Peringatan Arwah Semua Orang Beriman atau
Misa Arwah, misalnya pada hari peringatan kematian orang yang kita kasihi.

Pada dasarnya, keanekaragaman warna busana liturgis berupaya membangkitkan kesadaran kita akan
masa-masa kudus; suatu upaya lahiriah lain untuk menghadirkan misteri-misteri kudus yang kita rayakan.

Pengertian Gereja dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja

Kata “Gereja” bukanlah semacam batasan atau definisi. Ekklesia adalah kata yang biasa saja pada zaman
para rasul. Dari cara memakainya, kelihatan bagaimana jemaat perdana memahami diri dan
merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka. Kadang-kadang mereka berkata “Gereja Allah”
atau juga “jemaat Allah” (lih. 1Kor 10:32; 11:22; 15:9; dst.), yang kiranya sesuai dengan cara berbicara
orang Yahudi (lih. Ul 23:1.2; Hak 20:2; dst.). Maksud sebutan itu dapat menjadi jelas dari 1Kor 11:17-22.
Di situ Paulus berbicara mengenai jemaat yang berkumpul untuk perayaan Ekaristi. Mereka menjadi
“jemaat” atau “Gereja” karena iman mereka akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan kebangkitan-
Nya. Gereja adalah “jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus Yesus” (1Kor 1:2). Maka sebetulnya ada
tiga “nama” yang dipakai untuk Gereja dalam Perjanjian Baru: “Umat Allah”, “Tubuh Kristus”, dan “bait
Roh Kudus”. Ketiga-tiganya berkaitan satu sama lain.

a. Gereja: Umat Allah

Kata Umat Allah merupakan istilah dari Perjanjian Lama (dalam Perjanjian Baru dipakai terutama dalam
kutipan dari PL). Yang paling menonjol dalam sebutan ini ialah bahwa Gereja itu umat terpilih Allah (lih.
1Ptr 2:9). Oleh Konsili Vatikan II (LG 9) sebutan “Umat Allah” amat dipentingkan, khususnya untuk
menekankan bahwa Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi manusiawi melainkan perwujudan
karya Allah yang konkret. Tekanan ada pada pilihan dan kasih Allah. Sebelum berbicara mengenai
kelompok atau “tingkat” di dalam Gereja, perlu disadari lebih dahulu bahwa Gereja adalah kelompok
dinamis, yang keluar dari sejarah Allah dengan manusia.

Memang kata “umat Allah” sedikit “kabur”, tetapi kata ini dipakai agar Gereja tidak dilihat secara yuridis
dan organisatoris melulu. Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan, yang sudah dimulai
dengan panggilan Abraham. Dengan demikian Konsili juga mau menekankan bahwa Gereja “mengalami
dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS 1). Sekaligus jelas pula
bahwa Gereja itu majemuk: “Dari bangsa Yahudi maupun kaum kafir Allah memanggil suatu bangsa,
yang bersatu-padu bukan menurut daging, melainkan dalam Roh” (LG 9). Konsili Vatikan II melihat Gereja
dalam rangka sejarah keselamatan, tetapi tidak berarti bahwa Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel
saja. Kedatangan Kristus memberikan arti yang baru kepada umat Allah.

Dalam Perjanjian Lama Tuhan bersabda, “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan
berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala
bangsa” (Kel 19:5). Hubungan ini sering dirumuskan secara singkat oleh para nabi begini: “Aku akan
menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer 7:23; 11:4; 24:7; 30:22; 31:1.33; 32:38;
lih. juga Yes 51:15-16; Yeh 37:27; Bar 2:35). Kata-kata itu diulangi lagi dalam Perjanjian Baru, “Kita adalah
bait dari Allah yang hidup, menurut firman Allah ini: Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan
hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-
Ku” (2Kor 6:16; lih. Ibr 8:10; Why 21:3). Menurut kesadaran Perjanjian Baru, hal itu justru terlaksana
dalam Kristus. Dia adalah “Imanuel, yang berarti: Allah beserta kita” (Mat 1:23), “sebab dalam Dia-lah
berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an” (Kol 2:9). Yohanes menjelaskan hal itu lebih
lanjut: “Demikianlah kita ketahui, bahwa kita di dalam Allah dan Allah di dalam kita: kita telah
diperbolehkan mengambil bagian dalam Roh-Nya” (1Yoh 4:13).
Dari pengalaman Roh, kita mengetahui bahwa Allah ada di dalam diri kita. Sejarah keselamatan, yang
dimulai dengan panggilan Abraham, berjalan terus dan mencapai puncaknya dalam wafat dan
kebangkitan Kristus serta pengutusan Roh Kudus. Maka Gereja bukan hanya lanjutan umat Allah yang
lama, tetapi terutama kepenuhannya, karena sejarah keselamatan Allah berjalan terus dan Allah
memberikan diri dengan semakin sempurna (bdk. 1Kor 15:28). Oleh: karena itu, dengan sebutan “umat
Allah” belum terungkap seluruh kekayaan hidup rohani Gereja.

b. Gereja: Tubuh Kristus

Sebutan yang lebih khas Kristiani adalah Tubuh Kristus. Paulus menjelaskan maksud kiasan itu:

“Sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak – segala anggota itu, sekalipun banyak,
merupakan satu tubuh – demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi
maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita
semua diberi minum dari satu Roh” (1Kor 12:12-13).

Dengan gambaran “tubuh”, Paulus mau mengungkapkan kesatuan jemaat, kendatipun ada aneka karunia
dan pelayanan (lih. ay. 7). Gereja itu satu. Ia menegaskan, bahwa “mata tidak dapat berkata kepada
tangan. Aku tidak membutuhkan engkau. Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: Aku tidak
membutuhkan engkau” (ay, 21). Sebab “tubuh tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak
anggota” (ay. 14). Maka ditarik kesimpulan: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan masing-masing
adalah anggotanya” (ay. 27). Hal yang sama dikatakan dalam surat kepada umat di Roma (12:4-5).

Tetapi dalam surat kepada umat Kolose dan Efesus gagasan ini dikembangkan lebih lanjut. Dalam Ef 1:23
dikatakan bahwa “jemaat adalah tubuh Kristus, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dari segala
sesuatu” (bdk. Kol 1:18.24). Di sini yang dimaksudkan bukanlah kesatuan antara para anggota jemaat,
melainkan kesatuan jemaat dengan Kristus. Oleh karena itu Kristus juga disebut “kepala” Gereja (lih. Ef
1:22; 4:15; 5:23; Kol 1:18). Hal itu jelas dari Ef 4:16:
“Kristus adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh – yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh
pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota – menerima
pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih”.

Dari satu pihak dipertahankan gagasan Paulus mengenai kesatuan dalam jemaat, yang “diikat menjadi
satu oleh pelayanan semua bagiannya”. Tetapi dari pihak lain dengan jelas dikatakan bahwa jemaat itu
“menerima pertumbuhannya” dari Kristus, yang adalah Kepala. Di sini pun masih dipergunakan bahasa
kiasan, tetapi bukan sebagai perbandingan saja. Dengan gambaran tubuh mau dinyatakan kesatuan
hidup antara Gereja dan Kristus. Gereja hidup dari Kristus, dan dipenuhi oleh daya ilahi-Nya (lih. Kol
2:10).

Perlu diperhatikan bahwa teks-teks Kitab Suci mengenai Tubuh Kristus berbicara mengenai Kristus yang
mulia. Tuhan yang mulia “dengan mengaruniakan Roh-Nya secara gaib membentuk orang beriman
menjadi Tubuh-Nya” (LG 6). “Dialah damai-sejahtera kita” (Ef 2:14), Dia yang dalam Injil Yohanes telah
bersabda: “Apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh
12:32).

Dalam arti sesungguhnya, proses pembentukan Tubuh baru mulai dengan peninggian Yesus, yakni
dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Tetapi itu tidak berarti bahwa sabda dan karya Yesus sebelumnya
tidak ada sangkut-pautnya dengan pembentukan Gereja. Memang tidak dapat ditentukan suatu hari atau
tanggal Yesus mendirikan Gereja. Tidak ada “Hari Proklamasi Gereja”. Gereja berakar dalam seluruh
sejarah keselamatan Tuhan, dan terbentuk secara bertahap. Dalam proses pembentukan itu wafat dan
kebangkitan Kristus, beserta pengutusan Roh Kudus, merupakan peristiwa-peristiwa yang paling
menentukan. Sebelumnya sudah ada kejadian yang amat berarti, misalnya panggilan kedua belas rasul
dan pengangkatan Petrus menjadi pemimpin mereka. Peristiwa terakhir itu dalam Injil Matius
dihubungkan secara khusus dengan pembentukan Gereja: “Engkaulah Petrus dan di atas batu karang ini
Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16:18). Namun banyak orang berpendapat bahwa sabda Yesus ini
pun tidak berasal dari situasi sebelum kebangkitan-Nya.

Pertama-tama harus dikatakan bahwa sabda Yesus ini hanya terdapat dalam Injil Matius saja, Dan pada
umumnya diterima bahwa Matius menggabungkannya pada teks yang sudah terdapat pada Markus.
Kemungkinan besar Markus pun dengan sengaja menempatkan pengakuan Petrus ini (Mrk 8:29 = Mat
16:16) di tengah-tengah Injilnya. Dengan demikian pengakuan iman akan Yesus dikembangkan secara
bertahap: Petrus dahulu (8:29), “Engkau adalah Mesias”, dan kemudian kepala pasukan di bawah salib
(15:39), “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah”. Cukup mengherankan bahwa sesudah pengakuan Petrus
yang begitu jelas, di kemudian hari para rasul, termasuk Petrus sendiri, masih begitu bingung dan seolah-
olah sama sekali tidak mengetahui siapa Yesus sebenarnya. Mungkin hal itu mau ditutup oleh Markus
dengan larangan Yesus “supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia” (Mrk 8:30).
Tetapi larangan ini juga mengherankan, bahkan membingungkan. Sebab baru saja Yesus bertanya kepada
mereka “Siapakah Aku ini?” Seandainya Yesus tidak mau dikenal orang, mengapa Ia bertanya mengenai
diri-Nya? Mungkin semua ini rumusan Markus yang memindahkan pengakuan Petrus dari situasi sesudah
kebangkitan ke dalam peristiwa Kaisarea Filipi.

Kendatipun penugasan Petrus dikaitkan secara langsung dengan Gereja, yang sesungguhnya dibicarakan
bukanlah Gereja melainkan Petrus dan peranannya. Maka akhirnya memang tidak ada satu peristiwa
atau kisah pun yang secara khusus menceriterakan bagaimana Yesus mendirikan Gereja. Gereja
berkembang dalam sejarah keselamatan Allah. Oleh karena itu Gereja sekarang masih tetap pada
perjalanan menuju kepenuhan rencana Allah itu. Gereja bukan tujuan, melainkan sarana dan jalan yang
mengarah kepada tujuan itu.

c. Gereja: Bait Roh Kudus

Gambaran Gereja yang paling penting barangkali Gereja sebagai Bait Roh Kudus. Paulus berkata, “Tidak
tahukah kamu, bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1Kor 3:16;
lih. 2Kor 6:16; Ef 2:21). Bait Allah berarti tempat pertemuan dengan Allah, dan menurut ajaran Perjanjian
Baru itu adalah Kristus (lih. Yoh 2:21; Rm 3:25). “Karena oleh Dia, dalam satu Roh, kita beroleh jalan
masuk kepada Bapa” (Ef 2:18; lih. 3:12). Di dalam Gereja orang diajak mengambil bagian dalam
kehidupan Allah Tritunggal sendiri. Gereja itu Bait Allah bukan secara statis, melainkan dengan
berpartisipasi dalam dinamika kehidupan Allah sendiri. Maka Konsili Vatikan II juga mendorong umat
beriman agar dengan perayaan liturgi setiap hari membangun diri “menjadi bait suci dalam Tuhan,
menjadi kediaman Allah dalam Roh, sampai mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan
Kristus” (SC 2).

Gereja itu Bait Allah yang hidup dan berkembang. Gereja “dibangun di atas dasar para rasul dan para
nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun,
menjadi Bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi
tempat kediaman Allah, di dalam Roh” (Ef 2:20-22). Jelas sekali bahwa semua gambaran tidak cukup
untuk merumuskan jati diri Gereja dengan tepat. Namun “melalui pelbagai gambaran” kita berusaha
“menangkap makna Gereja yang mendalam” (LG 6). Oleh karena itu Gereja tidak hanya memakai
gambaran yang diambil dari Kitab Suci. Usaha memahami makna Gereja yang terdalam dijalankan terus.
Khususnya oleh Konsili Vatikan II Gereja dimengerti dengan gambaran yang lain, yakni sebagai misteri,
sakramen, dan communion.

d. Gereja: Misteri dan Sakramen

Dalam masa yang lampau, khususnya oleh Konsili Vatikan I dan juga masih dalam ensiklik Paus Pius XII,
Mystici Corporis (1943), Gereja dilihat terutama sebagai organisasi dan lembaga yang didirikan oleh
Kristus. Di dalam pandangan itu diberikan tempat yang amat penting kepada hierarki, paus, uskup dan
imam, sebagai pengganti Kristus yang harus meneruskan tugas-Nya di dunia ini. Konsili Vatikan II tidak
mau menonjolkan segi institusional Gereja ini, kendatipun juga tidak menyangkalnya. Konsili Vatikan II,
khususnya dalam konstitusi Lumen Gentium, lebih menonjolkan misteri Gereja, sebagai tempat
pertemuan antara Allah dan manusia. Kata “misteri” ini tidak bisa dilepaskan dari kata “sakramen”. Dan
kedua kata ini bersama menunjukkan inti-pokok kehidupan Gereja.

Kata “misteri” berasal dari bahasa Yunani mysterion, dan sebetulnya sulit diterjemahkan, sebab dalam
Perjanjian Lama berbahasa Yunani (Septuaginta) kata itu dipakai sebagai terjemahan untuk dua kata
yang berbeda, yakni kata Ibrani sod dan kata Aram raz. Yang pertama berarti ‘dewan penasihat Tuhan’
(Yer 3:18; lih, juga Ayb 15:8) yang mengungkapkan “keakraban Tuhan bagi yang takut kepada-Nya” (Mzm
25:14). Maka kata “misteri” tidak pertama-tama berarti sesuatu yang tersembunyi, melainkan suatu
rahasia yang dibuka bagi sahabat karib. Sama halnya dengan kata Aram raz, arti pokoknya ialah ‘rencana
kerja’, yang juga hanya diberitahukan kepada orang-orang kepercayaan (lih. Dan 2:22.28.47). Akhirnya
ada kata mysterion sendiri, yang dalam bahasa Yunani profan menyatakan bahwa sesuatu “sulit
ditangkap”. Maka dalam Kitab Suci kata itu dipakai untuk hal-hal yang hanya diketahui oleh Allah sendiri
(lih. Keb 2:22). Tetapi Tuhan “tidak akan menyembunyikan rahasia-rahasia itu bagimu” (Keb 6:22; lih, Sir
4:18). Inti-pokok kata “misteri” dalam Kitab Suci ialah rencana Allah yang diwahyukan kepada manusia.
Tekanan tidak ada pada ketersembunyian, melainkan pada pewahyuan. Hanyalah perlu disadari bahwa
Tuhan memberikan pewahyuan-Nya kepada orang terpilih, kepada sahabat karib.

Sebetulnya kata Yunani mysterion sama dengan kata Latin sacramentum. Dalam Kitab Suci kedua-duanya
dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang disingkapkan kepada manusia. Sebetulnya kedua kata itu
sama artinya, hanya lain bahasanya. Tetapi dalam perkembangan teologi kata “misteri” dipakai terutama
untuk menunjuk pada segi ilahi (dan tersembunyi) rencana dan karya Allah, sedangkan kata “sakramen”
lebih menunjuk pada aspek insani (dan tampak). Maka kedua kata itu, yang sebetulnya sama artinya,
dalam praktik menonjolkan aspek-aspek yang lain. Gereja disebut “misteri” karena hidup ilahinya, yang
masih tersembunyi dan hanya dimengerti dalam iman; tetapi juga disebut “sakramen”, karena misteri
Allah itu justru menjadi tampak di dalam Gereja. Oleh karena itu misteri dan sakramen kait-mengait:
Kalau misteri tidak sedikit tampak (dan menjadi sakramen), maka tidak diketahui bahwa ada misteri;
tetapi kalau sakramen sudah seluruhnya terang-benderang, bukan tanda kenyataan ilahi (“misteri”) lagi.
Maka dengan tepat Konsili Vatikan II berkata, “Gereja adalah – dalam Kristus – bagaikan sakramen, yakni
tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1).

Gereja itu misteri dan sakramen sekaligus. “Adapun serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis dan
Tubuh mistik Kristus, kelompok yang tampak dan persekutuan rohani, Gereja di dunia dan Gereja yang
diperkaya dengan karunia-karunia surgawi, janganlah dipandang sebagai dua hal; melainkan semua itu
merupakan satu kenyataan yang kompleks, dan terwujudkan karena perpaduan unsur manusiawi dan
ilahi” (LG 8). Dari satu pihak Gereja adalah “kelompok yang tampak”, “dilengkapi dengan jabatan
hierarkis”, karena hidup “di dunia”; ini semua disebut “unsur manusiawi” dan ditunjukkan dengan kata
sakramen. Tetapi sekaligus Gereja itu bermakna ”ilahi”, karena merupakan “Tubuh mistik Kristus” dan
adalah “persekutuan rohani”, “yang diperkaya dengan karunia-karunia surgawi”; itulah sebabnya disebut
misteri. Tetapi misteri dan sakramen “janganlah dipandang sebagai dua hal”.

Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu kenyataan, yang sekaligus ilahi dan insani, yang disebut
“Gereja”. Gereja adalah “sakramen yang kelihatan, yang menandakan kesatuan yang menyelamatkan itu”
(LG 9; lih. 48), “sakramen keselamatan bagi semua orang, yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan
misteri cinta kasih Allah terhadap manusia” (GS 45). Gereja tidak hanya menunjuk kepada keselamatan
Allah sebagai suatu kenyataan di luar dirinya. Karya Allah, oleh Roh, sudah terwujudkan di dalam Gereja.
Dari pihak lain “Gereja baru akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di surga”. Namun
“pembaruan, janji yang didambakan, telah mulai dalam Kristus, digerakkan dengan perutusan Roh
Kudus, dan karena Roh itu berlangsung terus di dalam Gereja” (LG 48).

e. Gereja: Communio

Ajaran Konsili Vatikan II ini ditegaskan kembali oleh sinode luar-biasa para uskup pada tahun 1985. Para
uskup sekaligus mengemukakan suatu rumus pemahaman Gereja yang baru, yang dilihat sebagai pokok
ajaran Vatikan II, yakni paham communio atau persekutuan. Kata itu, yang merupakan terjemahan Latin
dari kata Yunani koinonia, harus dimengerti dengan latar belakang Kitab Suci. Sinode mengkhususkan
artinya sebagai “hubungan atau persekutuan (communio) dengan Allah melalui Yesus Kristus dalam
sakramen-sakramen”. Ditonjolkan juga sifat sakramen dan misteri, namun diartikan secara dinamis
sebagai hubungan atau persekutuan. Sinode menegaskan bahwa paham communio tidak dapat
dimengerti secara organisasi saja. Dari pihak lain, paham communio juga mendasari “komunikasi” di
antara para anggota Gereja sendiri. Oleh karena itu kesatuan communio ini berarti keanekaragaman para
anggotanya dan keanekaragaman dalam cara berkomunikasi, sebab “Roh Kudus, yang tinggal di hati
umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat
beriman yang mengagumkan itu. Dialah yang membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan, serta
memperkaya Gereja Yesus Kristus dengan pelbagai anugerah” (UR 2).

Begitu juga struktur organisatoris Gereja, khususnya kepemimpinan Petrus merupakan “asas dan dasar
kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan” (LG 18). Dalam arti yang sesungguhnya
communio atau persekutuan Gereja adalah hasil karya Roh di dalam umat beriman (lih. LG 4). Itulah
sebabnya communio Gereja tidak pernah dapat diterangkan secara organisatoris atau sosiologis saja.
Memang di dalamnya ada unsur organisatoris dan komunikasi antara manusia, sebagai sifat insani
kehidupan Gereja. Ada dua hal yang perlu diperhatikan secara khusus: komunikasi di dalam Gereja
Katolik antara Gereja setempat dan Gereja sedunia; serta komunikasi keluar Gereja Katolik, dalam
hubungan dengan Gereja-Gereja Kristen yang lain.

Khususnya mengenai kedua masalah ini, communio Gereja-gereja setempat dengan pusat Gereja
universal di Roma, serta communio dengan Gereja-gereja bukan-Katolik, pada 22 Mei 1992 Kongregasi
untuk Ajaran Iman mengirim surat kepada para uskup Gereja Katolik. Di dalamnya ditegaskan kedua segi
communio: hubungan vertikal dengan Allah dan horizontal antara manusia. Dalam persekutuan yang
terakhir perlu diperhatikan segi institusional-hierarkis. Dengan kata lain, dalam hal communio perlu
diingat sifat sakramental Gereja, yang mempersatukan unsur ilahi dengan struktur insani. Menekankan
satu aspek secara berlebih-lebihan akan merugikan aspek yang lain.

Gereja janganlah dilihat dalam dirinya sendiri saja. Dengan paham communio Gereja juga dilihat dalam
hubungannya dengan orang Kristen yang lain, bahkan dengan seluruh umat manusia. Gereja tidak
tertutup dalam dirinya sendiri. Memang Gereja mempunyai banyak sifat yang khusus dan tampil sebagai
agama Kristen atau bahkan sebagai agama Katolik. Namun kalau Gereja memahami diri dalam kerangka
seluruh sejarah keselamatan, juga sebagai agama harus memperhatikan hubungan dengan kelompok
keagamaan yang lain. Sebagai agama Gereja mewujudkan diri secara historis dalam rangka sosio-
kebudayaan tertentu, dan ada bahaya bahwa Gereja terikat oleh unsur-unsur kebudayaan itu. Oleh
karena itu amat penting, dengan communio dan komunikasi dipertahankan keterbukaan Gereja terhadap
hal-hal yang baru, juga terhadap pemahaman diri yang baru.

f. Gereja: Persekutuan Para Kudus


Dalam syahadat pendek Gereja juga disebut “persekutuan para kudus”, communio sanctorum. Ternyata
sebutan itu baru pada akhir abad ke-4, di Gereja Barat dimasukkan ke dalam syahadat pendek itu.
Maksud serta artinya tidak seluruhnya jelas, sebab kata Latin communio sanctorum tidak hanya dapat
berarti “persekutuan-para kudus”, tetapi juga sebagai “partisipasi dalam hal-hal yang kudus”. Namun
kedua arti ini tidak bertentangan satu sama lain, sebab partisipasi bersama dalam harta keselamatan
(yang disebut “hal-hal yang kudus”), terutama dalam Ekaristi (lih. 1Kor 10:16), merupakan akar
persekutuan antara orang beriman (yaitu “para kudus” menurut istilah yang lazim dalam Kitab Suci) yang
juga dinyatakan dalam perhatian untuk saudara dalam iman (lih. Rm 15:26; 2Kor 8:4; Ibr 13:16). Gereja
pertama-tama suatu “persekutuan dalam iman” (Flm 6), “persekutuan dengan Yesus Kristus” (1Kor 1:9;
lih. 1Yoh 1:3), “persekutuan Roh” (Flp 2:1; lih. 2Kor 13:13). Komunikasi iman mengakibatkan suatu
persekutuan rohani antara orang beriman sebagai anggota satu Tubuh Kristus dan membuat mereka
menjadi sehati-sejiwa (lih. 1Yoh 1:7). Dengan demikian, “persekutuan para kudus” dapat berarti Gereja
dari segala zaman.

Lebih khusus lagi dibedakan antara Gereja yang berjuang di dunia ini, Gereja yang menderita khususnya
dalam api pencucian, dan akhirnya Gereja yang mulia dalam kemuliaan surgawi (misteri ini secara khusus
dirayakan oleh Gereja setiap tanggal 1 dan 2 November). Dengan rumus “persekutuan para kudus” dari
semula mau ditegaskan bahwa kesatuan atau persekutuan di dalam Gereja bukanlah sesuatu yang
lahiriah atau sosial saja.

Sumber kesatuan Gereja yang sesungguhnya ialah Roh Kudus, yang mempersatukan semua oleh rahmat-
Nya. Selalu ditekankan bahwa kesatuan lahiriah menampakkan dan mewujudkan kesatuan dalam Roh
itu. Kesatuan organisatoris bukanlah penjamin kehidupan Gereja. Sebaliknya segala komunikasi dan
kegiatan Gereja berasal dari Roh yang menggerakkannya dari dalam. Maka “persekutuan para kudus”
akhirnya tidak lain daripada rumusan lain bagi Gereja sebagai Umat Allah, Tubuh Kristus dan Bait Roh
Kudus. “Dengan berpegang teguh kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal
ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Ef 4:15).

4 Sifat Gereja Katolik Dalam Pendalaman Ajarannya

Sponsors Link

Gereja adalah perkumpulan umat beriman yang mengimani Kristus. Dalam kata lain, Gereja yang
merupakan perkumpulan umat beriman ini adalah anggota tubuh Kristus yang berkaitan satu dengan
yang lainnya dan tidak dapat bekerja apabila kehilangan satu anggotanya. Tentu dalam prakteknya, pada
kehidupan sehari – hari kita bisa menemukan ada beberapa jenis gereja mulai dari gereja katolik, gereja
kristen protestan, sampai gereja kristen ortodoks syria yang memiliki asal usul kristen ortodoks syiria
yang cukup menarik untuk dibahas. Meski memang sama sama menyembah dan mengikuti Kristus tetapi
ternyata tidak dapat disangkal bahwa gereja katolik dan gereja lainnya memiliki sedikit perbedaan.

ads

Perbedaan itu bisa berupa perbedaan tata cara beribadah, perbedaan sakramen katolik dan protestan,
susunan pengurus gereja, dan lain sebagainya. Meski memang memiliki tata cara beribadah yang
berbeda tetapi selama kita menerapkan cara berdoa yang benar maka perbedaan tata cara ibadah
bukanlah permasalahan yang besar. Ada lagi perbedaan mendasar dari gereja katolik apabila ingin
dibandingkan dengan gereja – gereja lainnya. Dan perbedaan itu berupa sifat – sifat gereja katolik.
Mungkin bagi Anda yang belum mengetahui apa saja sifat yang dimiliki gereja katolik semoga informasi
yang akan saya berikan ini bisa membantu Anda untuk mengerti dan memahaminya dengan lebih baik.

1. Satu

Sifat gereja katolik yang pertama adalah satu. Satu disini berarti bahwa gereja katolik berada pada satu
naungan kepemimpinan gereja atau yang biasa juga disebut sebagai kepala gereja yang dipimpin oleh
paus. Paus mewakili keberadaan Gereja yang tidak kelihatan atau dengan kata lain Tuhan Yesus sendiri.
Dibawah jabatan paus akan ada jabatan uskup yang memegang kesatuan gereja katolik pada suatu
wilayah tertentu. Dan uskup juga akan memiliki bawahan lagi yang memegang wilayah yang memiliki
cakupan yang lebih kecil dan begitu seterusnya. Semua sistem kepemimpinan akan terpusat.

Karena adanya sistem yang terpusat inilah, maka gereja katolik diseluruh dunia akan memiliki pedoman
yang sama seperti kalender liturgi misalnya, atau bacaan – bacaan Injil yang akan menjadi bahan
khotbah yang akan disampaikan oleh para iman maupun uskup. Dan dengan adanya tri tugas Gereja
maka setiap orang akan ikut terlibat dalam kegiatan pelayanan gerejawi untuk saling bersama – sama
membantu menumbuhkan iman dalam Kristus. Gereja katolik juga mengimani satu Tuhan, dan satu
iman, dalam satu komuni suci.

Satu disini juga berarti kesatuan iman yang dimiliki oleh umat kepada Bapa. Ada banyak hal yang
dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kesatuan Gereja. Beberapa hal ini diantara lain adalah adanya
banyak peran Gereja dalam masyarakat beragama kristiani seperti mengadakan dan melakukan banyak
kegiatan yang melibatkan peranan umat seperti doa bersama, kebaktian, retret, seminar, dan lain
sebagainya. Karena umat gereja katolik adalah satu dalam Kristus, maka semua kegiatan dan acara yang
dilakukan oleh Gereja akan membantu umat untuk bertumbuh dan berkembang iman dan
kepercayaannya dalam Kristus.

2. Kudus

Sifat gereja katolik yang kedua adalah kudus. Kudus disini berarti bahwa kita sebagai seorang katolik
mempercayai dengan sungguh bahwa Gereja tidak dapat kehilangan kekudusannya. Kekudusan dari
Gereja sendiri didapatkan dari Tuhan Yesus Kristus sendiri yang rela untuk datang ke dunia dan
menyerahkan diriNya untuk menjembatani hubungan Allah dan manusia yang pernah dihancurkan oleh
adanya dosa asal. Dan kehancuran hubungan ini adalah akibat dosa menurut Alkitab yang berusaha
diperbaiki oleh Yesus sendiri. Dan kita tentu mengetahui bahwa Yesus tidak mempunyai noda dan cela,
dan bahkan Ia juga dikandung dengan tanpa adanya dosa.

Dan lagi, seperti yang telah kita ketahui, Yesus Kristus adalah 100% Allah dan 100% manusia dimana Ia
memiliki 12 orang murid atau yang sekarang kita kenal sebagai Para Rasul untuk melanjutkan karya
keselamatan yang telah dirintis oleh Yesus sendiri. Setelah Yesus bangkit dan kembali ke surga, Ia
menunjuk Petrus, salah seorang dari Rasul – RasulNya untuk mendirikan Gereja dan hal inilah yang
menjadi cikal bakal adanya keberadaaan gereja katolik. Hingga saat ini, ajaran Yesus untuk memiliki satu
pemimpin Gereja katolik masih tetap dilaksanakan dengan adanya keberadaan paus dari masa kemasa
yang juga masih bertugas untuk melanjutkan karya keselamatan yang telah dirintis oleh Yesus dan Para
Rasul pendahulu.

Sponsors Link

Dan karena Yesus sendiri yang meminta Petrus untuk mendirikan Gereja, maka kekudusan Gereja pun
berasal dari Kristus itu sendiri dimana kekudusan ini tentunya tidak dapat diambil oleh apapun dan
siapapun. Dan Allah Bapa sendiri juga menghendaki kita sebagai hambaNya untuk kudus sebagaimana
Kristus sendiri adalah kudus. Karena itu Allah Bapa memberikan sarana keselamatan untuk manusia
berupa adanya sakramen. Dan apabila kita memaknai makna sakramen ekaristi ataupun simbol
sakramen baptis atau juga sakramen lainnya, tentu kita akan menyadari bahwa sakramen adalah sarana
keselamatan yang diberikan oleh Allah kepada kita. Meski memang ada perbedaan sakramen katolik dan
protestan, tetapi hal ini tidak membuat sakramen menjadi memiliki fungsi yang berbeda. Fungsinya
tetap sama, yaitu untuk menyelamatkan manusia dan kembali kepada Allah Bapa di surga.
3. Katolik

Yang tidak kalah penting dalam sifat gereja katolik adalah sifatnya yang bersifat katolik atau umum. Ya,
benar sekali, katolik sendiri adalah bahasa Yunani yang berarti umum. Pada dasarnya gereja katolik
disebut – sebut atau memiliki arti sebagai umum itu didasarkan oleh 3 hal yaitu, keterbukaan, waktu,
dan tempat. Berdasarkan sifat umum keterbukaannya, gereja katolik adalah umum atau terbuka untuk
semua orang dari berbagai kalangan, bisa juga kita sebut sebagai sifat universal.

Meski memang kita sendiri umat kristiani mengetahui bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang terpilih
dan dipilih oleh Allah, tetapi karya keselamatan yang ingin Allah Bapa berikan tidak hanya terbatas pada
bangsa Israel melainkan untuk semua umat manusia. Jadi pandangan bahwa hanya umat Israel saja yang
bisa beragama katolik ataupun kristen tidak benar adanya. Gereja katolik juga tidak memandang latar
belakang seseorang yang ingin mempelajari ajaran agama katolik. Yang kedua, berkenaan dengan waktu,
ajaran gereja katolik yang berasal dari ajaran yang disampaikan oleh Yesus Kristus sendiri akan tetap
terus diajarkan dari waktu ke waktu tanpa berkesudahan.

Sponsors Link

Ajaran ini berupa banyak hal mulai dari ajaran cara beribadah agama katolik sampai berbagai bentuk hari
raya dan doa. Setelah Yesus bangkit dan kembali ke surga, ajaran – ajaranNya dilanjutkan oleh para Rasul
dan tetap berlanjut sampai saat ini oleh para pengganti – pengganti mereka yang baru. Dan yang ketiga
mengenai tempat, gereja katolik tidak memilih satu wilayah tertentu sebagai tempat pewartaan kabar
gembira yang telah dibawa oleh Yesus. Gereja katolik juga bisa ditemui dibanyak tempat di berbagai
belahan bumi meski memang pusatnya berada di Vatikan, dan disinilah paus bertempat tinggal.

4. Apostolik

Sifat gereja katolik yang keempat dan yang terakhir adalah apostolik. Maksud dari apostolik sendiri
adalah bahwa gereja katolik berpegang teguh pada ajaran Kristus dan ajaran Para Rasul. Gereja katolik
dalam perkembangannya dibantu dan digerakkan oleh Roh Kudus. Setelah Yesus bangkit dan kembali ke
surga, Ia menyuruh Petrus untuk melanjutkan tugas perutusan dan pewartaan kabar gembira. Petrus
mendirikan Gereja dan membentuk susunan kepengurusan gereja yang dipegang oleh Rasul – Rasul
lainnya. Karena gereja katolik bersifat apostolik, maka gereja setelah sepeninggalan Petrus dan Rasul –
Rasul yang lain, segera mencari pengganti mereka.
Para pengganti ini akan bertugas untuk meneruskan tugas perutusan seperti yang telah dilakukan oleh
Petrus dan Rasul – Rasul yang lain. Ajaran yang diajarkan juga secara turun temurun tetap berusaha
untuk dijaga, dimana para penerus Kristus ini akan melanjutkan ajaran Kristus dan menyampaikannya
kepada umat. Paus, uskup, imam, diakon, dan biawaran biarawati lainnya juga bisa membantu
meneruskan ajaran yang telah direncanakan atau diprogramkan oleh para hirarkis sebelumnya.

Mereka juga memiliki hak untuk membuat atau mengadakan suatu program demi membantu
pertumbuhan iman umat dalam misi pewartaan kabar keselamatan ini dan apabila mereka tidak
memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan program mereka, maka penerus selanjutnyalah yang
akan meneruskan program yang telah dibuat oleh pendahulunya. Karena itu, kita mengenal doa
syahadat yang merupakan tradisi jemaat perdana untuk berdoa dan menyembah Tuhan. Mungkin untuk
membantu Anda mengetahui lebih dalam mengenai sifat apostolik gereja katolik maka pertama – tama
Anda sebaiknya membaca dan memahani beberapa hal penting dalam hirarki gereja katolik seperti
struktur dan tugas yang dilaksanakan oleh masing – masing anggota hirarki.

Jadi itulah beberapa informasi seputar sifat gereja katolik yang bisa saya bagikan dengan Anda. Semoga
informasi ini bisa berguna dan membantu Anda untuk mengetahui sedikit lebih dalam mengenai
beberapa informasi seputar gereja katolik yang mungkin belum Anda ketahui sebelumnya. Untuk
membantu perkembangan iman dan kepercayaan Anda kepada Tuhan, maka kami juga menyediakan
beberapa renungan singkat kristen yang bisa Anda baca dan refleksikan. Terima kasih atas waktu yang
Anda berikan untuk kami, semoga semua tulisan yang telah kami sediakan disini bisa bermanfaat untuk
Anda. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Tahun Liturgi dan Kalender Liturgi beserta Tingkatannya

- Desember 16, 2017

Sebagai Misdinar tentu kita harus mengetahui tentang penanggalan Liturgi untuk mempermudah dalam
bertugas dan menyususn jadwal. Kalender Liturgi Gereja Katolik dibagi dalam beberapa pembabakan
diantaranya Masa Adven, Masa Natal, Masa Biasa I, Masa Pra-Paskah, Masa Paskah, Masa Biasa II dan
kembali lagi ke Masa Adven. Masa Biasa atau ordinary time memiliki rentan waktu antara 33/34 minggu.
Tahun Liturgi dibagi menjadi Tahun A, B, dan C dan Tahun I (Ganjil) dan Tahun II (Genap). Serta dalam
penanggalan Liturgi ada beberapa tingkatan diantaranya Hari Raya, Pesta, Peringatan, Masa Musim
Liturgis dan Masa Biasa. Untuk mengetahui lebih dalam mari kita simak artikel berikut ini.
1. Tahun Liturgi

Tahun Liturgi dibagi menjadi Tahun A, B, C dan Tahun I (Ganjil) dan Tahun II (Genap) jadi total ada 6
penanggalan yaitu A/I, A/II, B/I, B/II, C/I dan C/II. Tujuan penentuan ini adalah untuk menentukan
bacaan-bacaan pada kitab suci pada Tahun A dibacakan Injil Matius, Tahun B dibacakan Injil Markus dan
Tahun C dibacakan Injil Lukas. Lantas bagaimana dengan Injil Yohanes ?? Injil Yohanes tetap dibacakan
namun peletakannya diantara bacaan-bacaan Injil di Tahun A,B dan C. Sedangkan Tahun I dan II untuk
menentukan bacaan misa harian Disebut tahun I karena dalam kalender Masehi berakhiran ganjil [2011,
2013, 2015, 2017, dst] sedangkan disebut Tahun II karena dalam kalender masehi berakhiran genap
[2012, 2014, 2016, 2018, dst].

Cara Menentukan Tahun A, B dan C

“Caranya adalah dengan membagi 3 jika hasil bagi sisa = 1 maka itu adalah Tahun A jika hasil bagi sisa = 2
maka itu adalah Tahun B dan jika habis dibagi 3 atau sisa = 0 maka itu adalah Tahun C.”

Contoh :

Tahun 2008 : 3

= 2008-1800

= 208-180

= 28-27

=1

Maka Tahun 2008 adalah Tahun A


Tahun 2009 : 3

= 2009-1800

= 209-180

= 29-27

=2

Maka Tahun 2009 adalah Tahun B

Tahun 2010 : 3

= 2010-1800

= 210-180

= 30-30

=0

Maka Tahun 2010 adalah Tahun C

2. Kalender Liturgi

Kalender Liturgi gereja katolik tidak dimulai dari tanggal 1 januari hingga 31 Desember namun dimulai
dari Minggu pertama Adven kira-kira pada akhir November dan berakhir pada Hari Raya Kristus Raja
Semesta Alam pada 1 minggu sebelum Adven.

Masa Adven

8 Desember HR Sta. Perawan Maria dikandung tanpa Noda

Masa Natal dan Oktaf Natal

30 Desember Pesta Keluarga Kudus


1 Januari HR Sta. Maria Perawan dan Bunda Allah

6 Januari HR Epifani (Penampakan Tuhan)

Masa Biasa I

Rabu Abu

Masa Pra-Paskah

Pekan Suci (Minggu Palma hingga Minggu Paskah)

Masa Paskah

40 hari setelah Paskah HR Kenaikan Tuhan

50 hari setelah Paskah HR Pentakosta

Hari Minggu setelah Pentakosta : HR Tritunggal Mahakudus

Hari Minggu setelah HR Tritunggal Mahakudus : HR Tubuh dan Darah Kristus

Hari Jumat setelah HR Tubuh dan Darah Kristus : HR Hati Kudus Yesus

Masa Biasa II

15 Agustus HR Sta. Perawan Maria diangkat ke Surga dan Hari St. Tarsisius Martir

29 September Pesta Nama 3 Malaikat Agung

1 November HR Semua Orang Kudus

2 November Pesta Peringatan Hari Arwah

Hari Minggu sebelum Masa Adven : HR Kristus Raja Semesta Alam

*HR merupakan singkatan dari Hari Raya. Apabila ada kekurangan dalam penanggalan Liturgi bisa
Comment atau menghubungi admin melalui email kami*

3. Tingkatan Pada Kalender Liturgi

1. Hari Raya/Solemnity
Hari Raya adalah tingkatan tertinggi dan merupakan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Yesus, Maria
atau Para Rasul yang merupakan peristiwa utama dalam rencana keselamatan Allah.

2. Pesta/Feast

Pesta berada di tingkat kedua setelah Hari Raya yang ditujukan untuk memperingati hidup Yesus, Maria,
Para Rasul atau Orang Kudus tertentu.

3. Peringatan/Memorial

Peringatan adalah perayaan orang kudus di bawah tingkatan pesta dan memiliki sifat opsional yang
berarti tidak wajib dirayakan.

4. Masa Musim Liturgis

Masa musim liturgis adalah masa-masa tertentu dalam gereja katolik yang biasa kita rayakan seperti
Masa Natal dan Masa Paskah.

5. Masa Biasa/Ordinary Time

Masa biasa merupakan hari minggu di luar masa musim liturgis adapun masa biasa dalam 1 tahun
berjumlah 33/34 minggu.

Masa Liturgi

Sunting

Penanggalan liturgi Gereja dimulai pada hari Minggu Adven pertama, lalu akan ditutup dengan Hari Raya
Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam.

Masa Adventus

Sunting

Adventus dalam Bahasa Latin berarti "kedatangan", istilah ini dahulu kala dipakai untuk umum dalam
Imperium Romawi untuk kedatangan kaisar yang dianggap sebagai dewa, kemudian dipakai oleh umat
Kristiani untuk menyatakan kedatangan Kristus sang Raja dan Tuhan. Masa Advent adalah masa
persiapan sebelum Natal, yakni masa persiapan untuk menghayati makna kedatangan Yesus, sesuai
dengan penantian Mesias oleh umat Israel yang terungkap dalam Perjanjian Lama, juga sehubungan
dengan kedatanganNya pada akhir zaman. Warna Liturgi masa Advent adalah Ungu untuk hari Minggu
Advent I, II, dan IV, dan warna merah muda untuk hari Minggu Advent III (Minggu Gaudete).

Masa Natal

Sunting

Masa Natal dirayakan Gereja berturut-turut dimulai dari Hari Raya Kelahiran Tuhan Yesus hingga hari
sebelum hari raya Penampakan Tuhan. Warna liturgi yang digunakan adalah warna Putih.

Masa Prapaskah

Sunting

Masa Prapaskah merupakan masa persiapan sebelum paskah. Ada yang memulainya dengan
Septuagesima, yakni hari ke sembilan sebelum paskah. Tetapi yang lebih umum adalah masa 40 hari
sebagai persiapan dengan berpantang dan berpuasa. Masa Prapaskah dimulai dengan Hari Rabu Abu.
Warna liturgi selama masa Prapaskah adalah Ungu. Namun pada Minggu Palma ada yang menggunakan
warna Ungu tetapi ada juga menggunakan warna Merah.

Masa Paskah

Sunting

Masa Paskah dirayakan mulai dari Hari Raya Kebangkitan Tuhan Yesus, sampai sebelum Hari Raya
Pencurahan Roh Kudus (Pentakosta). Warna liturgi selama masa Paskah adalah warna Putih.

Masa Biasa

Sunting

Masa biasa merupakan dimulai setelah hari raya Pentakosta. Dalam masa-masa ini merupakan
peringatan masa-masa Gereja berjuang di tengah dunia.

Hari Tuhan

Sunting
Hari Minggu adalah hari di mana umat berkumpul merayakan liturgi, "untuk mendengarkan Sabda Allah
dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi, mengenangkan sengsara, kebangkitan dan kemuliaan Tuhan
Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah" (Sacrosanctum Concilium no 106).

Peringatan Orang Kudus

Sunting

Dalam daur tahunan, Gereja merayakan peringatan para martir dan orang kudus sebagai perayaan Paska
Tuhan di dalam mereka "yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Gereja memaparkan
teladan mereka kepada umat beriman dalam menarik semua orang kepada Allah Bapa melalui Kristus,
dan atas pahala-pahala yang diterima para martir dan orang kudus, Gereja memohon karunia-karunia
dari Allah" (Sacrosanctum Concilium no 104).

7 Sakramen Dalam Gereja Katolik

October 08, 2017 Katakese sakramen Baptis Sakramen Ekaristi Sakramen Gereja Katolik Sakramen
Imamat Sakramen Krisma Sakramen Pengurapan Sakramen Perkawinan Sakramen Sakramen Sakramen
Tobat

Sakramen merupakan sebuah tanda yang menyampaikan Kasih dan Rahmat Allah Bapa Secara Nyata.Hal
ini terdapat pada Injil Yohanes 14 : 18 yang menyatakan pemenuhan janji Kristus bahwa Ia tidak akan
meninggalkan kita sebagai yatim piatu.Maka Melalui sakramen Allah mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk
memberi makan dan menguatkan Kita.

Sebenarnya keberadaan sakramen sudah ada sejak perjanjian lama,hanya saja berupa simbol Sunat dan
Perjamuan paskah dan bukan sebagai tanda yang menyampaikan rahmat Tuhan.Kemudian Kristus datang
bukan untuk menghapuskan Perjanjian Lama namun untuk menggenapinya. Maka Kristus tidak
menghapuskan simbol-simbol tersebut namun menggenapinya dan menjadikan nya sebagai tanda
rahmat Tuhan.Sunat disempurnakan menjadi Pembaptisan dan perjamuan paskah menjadi
Ekaristi.Dengan demikian Ekaristi bukan hanya menjadi simbol semata tapi Ekaristi menjadi tanda yang
sungguh menyampaikan rahmat Tuhan.
7 Sakramen yang ada Dalam Gereja Katolik

1. Sakramen Pembaptisan

Sakramen Baptis merupakan sakramen yang pertama kali kita terima sebelum sakramen sakramen yang
lain.Pada saat penerimaan Sakramen Baptis kita diperciki air kemudian diolesi minyak serta diberi kain
putih dan lilin bernyala.Semua itu merupakan lambang bahwa kita telah di bersihkan dari dosa asal dan
siap menjadi terang bagi sesama.Dengan menerima sakramen baptis kita telah diangkat menjadi anak
Allah dan digabungkan dengan gereja yang menjadikan kita anggota Tubuh Kristus serta siap diutus
untuk berbuat baik kepada semua orang.Pembaptisan hanya dapat di terima satu kali untuk selamanya
namun meninggalkan material rohani yang tidak dapat di hapuskan.

2.Sakramen Ekaristi

Perayaan Syukur atas Kasih Allah Bapa Lewat Pengorbanan Tuhan Yesus Kristus dirayakan setiap kali kita
mengikuti Misa atau Sakramen Ekaristi.Pada saat Ekaristi kita mengenang karya penyelamatanYesus
Kristus bagi manusia,yang terjadi melalui wafat dan kebangkitan-Nya.

Perayaan ekaristi dapat mengingatkan kita pada malam perjamuan terakhir yang diadakan Yesus
bersama sama dengan para murid-Nya. Pada saat itu Yesus mengambil roti ,mengucap syukur ,lalu
memecah-mecahkanya dan kemudian membagikan roti itu kepada para murid sambil
berkata,"Ambilah,makanlah,Inilah tubuh-Ku."Setelah itu,Ia mengambil cawan dan kemudian mengucap
berkat dan memberikan kepada para murid-Nya dan berkata,"Minumlah kamu semua dari cawan
ini.Sebab inilah darah-Ku ,darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan
dosa."Perkataan dan tindakan Yesus menunjukan bahwa Ia rela mengorbankan diri untuk keselamatan
dan kehidupan seluruh umat manusia tanpa terkecuali.Keselamatan yang diberikan Yesus tidak hanya
untuk orang katolik saja tapi itu semua orang.

Pada saat menerima komuni,kita menyambut Tubuh Kristus dan kita di persatukan dengan Yesus dan
sesama karena kita menerima Yesus yang sama
3.Sakramen Krisma

Allah Bapa memperkuat jiwa kita lewat Sakramen penguatan atau sakramen Krisma.Hal ini dapat dilihat
Dalam Kisah Para Rasul 2:2-13 yang menceritakan bahwa setelah Yesus Kristus naik ke Surga Roh Kudus
dicurahkan kepada para rasul.Karena karunia Roh kudus inilah para rasul menjadi berani berbicara dan
bersaksi di tengah banyak orang.Turunnya roh kudus atas para rasul dirayakan pada hari Raya Pentekosta.

Pada waktu di baptis kita mendapatkan Anugrah Roh Kudus yang mendampingi kita sebagai anak
Allah.Dan ketika kita menerima sakramen krisma kita akan mengalami bahwa Roh Kudus yang telah kita
terima pada saat pembaptisan dapat berkarya secara khusus dalam diri kita untuk menguatkan dan
mendorong kita untuk bisa menjadi semakin kuat dan dewasa dalam beriman.

4.Sakramen Pengakuan Dosa /Tobat

Setiap orang pernah berbuat dosa.Dosa dapat merusak hubungan kita dengan sesama dan Tuhan
sehingga membuat kita merasa tidak senang dan bahagia.Oleh Karena itu Allah Bapa menganugerahkan
kepada kita sakramen Tobat atau pengakuan dosa.Di dalam sakramen ini kita mengakukan dosa dosa kita
kepada Imam,karena Yesus Kristus sendiri telah memberi kuasa kepada para Imam-Nya untuk
melepaskan umatnya dari dosa setelah kebangkitanNya(Yoh 20:22-23).Melalui sakramen tobat kita
menerima pengampunan dosa dari Allah Bapa beserta rahmatnya yang dapat membantu kita untuk
menolak godaan dosa di waktu yang akan datang sehingga menjadikan hidup kita lebih damai.

5.Sakramen Perkawinan

Dalam perjalan hidup manusia sebagian besar orang dipanggil untuk hidup berumah tangga.Nah melalui
Sakramen perkawainan Allah Bapa memberikan sakramen secara khusus kepada pasangan yang menikah
agar dapat menghadapi berbagai macam problema yang akan timbul setelah pernikahan nanti.Teutama
di dalam mengasuh dan membesarkan anak anak untuk didik menjadi pengikut Kristus yang sejati.

Dalam sakramen perkawinan terdapat tiga pihak yang terlibat yakni mempelai pria,wanita dan Allah
Bapa Sendiri.Ketika mempelai pria dan wanita menerima sakramen ini,maka Allah hadir ditengah tengah
mereka untuk menjadi saksi dan memberkati melalui perantaraan Imam atau diakon yang berdiri sebagai
saksi dari pihak gereja.Oleh karena itu dalam geraja katolik perkawinan bersifat kudus dan tidak dapat
terceraikan(Mat 19:6).

6.Sakramen Tahbisan/Imamat

Pada saat kita ke geraja dan mengikuti perayaan Ekaristi maka yang mempersembahkan misa Kudus
adalah seorang Imam.Para Imam adalah orang yang dipanggil secara khusus oleh Tuhan Yesus.Untuk
menjawab panggilan Tuhan tersebut maka mereka harus mengikuti pendidikan di sekolah seminari
menengah,tinggi serta menjalani masa orientasi di pastoral di tengah umat.Setelah menyelesaikan
tahapan pendidikan tersebut,maka mereka ditahbiskan oleh uskup untuk menjadi seorang imam.Nah
Pada saat tahbisan itulah mereka menerima sakramen imamat dengan mengucapkan janji untuk taat
kepada pemimpin gereja,untuk hidup miskin dan selibat yaitu tidak menikah.

7.Sakramen Pengurapan Orang Sakit

Semua orang pasti mengalami sakit.Ada yang mengalami sakit berat maupun ringan.Orang sakit biasanya
pergi ke dokter untuk mendapatkan pengobatan.Ada yang berhasil sembuh,tapi ada juga yang tetap
sakit bahkan sakitnya menjadi semakin parah.

Sebagai seorang beriman selain berobat ke dokter kita juga dapat menyerahkan segala persoalan
penyakit kita kepada Tuhan.Karena kita yakin bahwa Tuhan selalu memperhatikan orang sakit dan
menyembuhkan banyak orang sakit.Tuhan Yesus Kristus membuat orang lumpah menjadi berjalan,orang
buta dapat melihat dan orang Kusta menjadi tahir.

Saat ini penganti para rasul adalah para Imam.Jika ada saudara atau umat katolik yang mengalami sakit
berat hedanknya memberitahukan kepada seorang Imam.Ia akan datang untuk memberikan sakramen
pengurapan orang sakit sebagaimana yang tertulis dalam Surat Yakobus yang mennyatakan "Kalau ada
seorang di antara kamu yang sakit,baiklah ia memanggil para penatua jemaat supaya mendoakan dia
serta mengolesi dengan minyak dalam nama Tuhan(Yak 5:14)"

Sakramen Pengurapan orang sakit bukan semata-mata untuk menyembuhkan orang dari sakit yang
dideritanya.Melainkan dengan menerima sakramen tersebut orang yang sakit akan diberi kekuatan dan
penghburan supaya sanggup menjalankan penderitaannya seperti saat Yesus menderita di kayu salib.
Kesimpulan Sakramen merupakan rahmat terbesar yang disediakan Allah Bapa melalui gereja-Nya.Oleh
Karena itu sebagai umat beriman sudah seharisnya kita menerima sakramen-sakramen tersebut agar kita
dapat memperoleh anugerah keselamatan dan perlindungan dari Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai