Anda di halaman 1dari 13

Alat Alat dan Fungsi Liturgi Kristen Khatolik

Alat liturgi merupakan peralatan buatan yang digunakan dalam rangka perayaan liturgy. nah,
bagi kita para misdinar, pastinya harus tau apa fungsi dari peralatan tersebut
 Perlengkapan piala. Urutan : piala – kain piala(purificatorium) – sendok kecil – patena –
hosti besar – palla – korporal.
1. Piala/cawan : berasal dari Bahasa Latin calix, artinya piala. Piala ini tempat anggur yang
pada saat misa kikonsekrir menjadi darah Kristus.

2. PURIFIKATORIUM
Purificatorium/kain piala : merupakan kain kecil persegi empat yang digunakan untuk
membersihkan piala dan juga alas untuk selubung bagi tangan petugas liturgy.

berasal dari bahasa Latin “purificatorium”, yaitu sehelai kain lenan berwarna putih berbentuk
segi empat untuk membersihkan piala, sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium
dilipat tiga memanjang lalu diletakkan di atas piala.

2. PATENA
Patena : sejenis piring kecil berbentuk bulat yang berlapis emas, yang digunakan untuk
meletakkan hosti besar. berasal dari bahasa Latin yang artinya “piring”. Patena, yang sekarang
berbentuk bundar,datar, dan dirancang untuk roti pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh
sebuah piring. Dengan munculnya roti-roti kecil yang dibuat khusus untuk umat yang biasanya
disimpan dalam sibori, fungsi dari patena sebagai piring menghilang. Maka bentuknya menjadi
lebih kecil (Sejak abad 11). Menurut PUMR 2000, “untuk konsekrasi hosti, sebaiknya
digunakan patena yang besar, di mana ditampung hosti, baik untuk imamdan diakon,
maupun untuk para pelayan dan umat Patena, hendaknya dibuat serasi dengan pialanya, dari
bahan yang sama dengan piala, yaitu dari emas atau setidak-tidaknya disepuh emas. Patena
diletakkan di atas purifikatorium.
3. CORPORALE
Korporal : dalam bahasa latin yaitu corpus yang artinya tubuh, karena disitulah akan
diletakkan Tubuh Tuhan Yesus. Korporal ini merupakan kain persegi empat yang lebar yang
dibentangkan dialtar sebagai alas piala , patena dan piksis. Sehelai kain lenan putih berbentuk
bujur sangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya. Seringkali pinggiran korporale dihiasi
dengan renda.Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai
alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan,korporale dilipat
menjadi tiga memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas
Palla.

4. Ampul : 2 gelas kecil yang berisi air dan anggur. Jika ampul tidak terbuat dari kaca, biasanya
terdapat tulisan V(vinum=anggur) dan A (Aqua=air).

5. Cerek Lavabo dan kain lavabo : merupakan tempat untuk mencuci tangan imam yang selalu
disertai dengan kain lavabo.

6. Sibori : berasal dari bahasa Latin ciborium artinya makanan. Sibori hampir serupa piala tetapi
yang digunakan untuk tempat hosti kecil.

 Tempat bersemayamnya Sakramen Mahakudus


1. Patena : Patena, berasal dari bahasa Latin “patena” yang berarti “piring”, adalah piring di
mana hosti diletakkan. Patena, yang sekarang berbentuk bundar, datar, dan dirancang
untuk roti pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring.

2. Piksis : berbentuk seperti kaleng kecil yang isinya lebih sedikit dibandingkan sibori dan
biasanya digunakan untuk mengirim komuni orang sakit dan menyimpan hosti besar.

3. Sibori : berbentuk seperti piala, namun lebih besar dan ada tutupnya. Berfungsi untuk
menyimpan Sakramen Mahakudus dalam tabernakel.

4. Monstrans : digunakan untuk mentahtakan Sakramen Mahakudus(hosti besar) dalam


Ibadat Pujian atau adorasi kepada Sakramen Mahakudus.

1. Hisop/aspergil : disebut hisop karena di Yahuditanaman hisop inilah yang digunakan


untuk pemercikan, disebut juga dengan aspergil karena pemercikan diiringi lagu “asperges
me” yang berarti percikilah aku. Hisop ini merupakan alat pemercik yang dipakai untuk
memerciki umat dengan air suci yang melambangkan pembersihan dosa atau
mengingatkan akan pembaptisan, biasanya juga digunakan untuk memerciki benda.
2. Wiruk : terdiri atas navikula(tempat ratus/dupa) dan alat untuk mendupai yang terbuat dari
logam dan di gantung dengan rantai. Turibulum digunakan di Gereja Katolik, Gereja
Ortodoks, Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Anglikan, Gereja Lutheran, Gereja Apostolik
Armenia serta Gereja Gnostik.

3. Lilin besar berkandelar tinggi (kandelar= tempat lilin): digunakan pada saat perarakan
masuk, pembacaan injil, dan perarakan persembahan.

4. Tempat air suci sebagai pasangan hisop

5. Salib dan salib altar


6. Keprak : keprak digunakan sebagai pengganti lonceng pada masa Prapaskah dan Adven.

7. Bel, gong dan lonceng

PIALA (calix = cawan)


Piala adalah cawan yang menjadi tempat anggur untuk dikonsekrasikan, dimana sesudah
konsekrasi menjadi tempat untuk Darah Mahasuci Kristus. Melihat fungsinya, maka Piala harus
dibuat dari logam mulia. Piala melambangkan cawan yang dipergunakan Tuhan kita pada
Perjamuan Malam Terakhir di mana Ia untuk pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya.
Piala melambangkan cawan Sengsara Kristus (“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-
Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku,” Mrk 14:36); dan yang terakhir, piala melambangkan Hati
Yesus, dari mana mengalirlah Darah-Nya demi penebusan kita.

PALLA : berasal dari bahasa Latin palla corporalis yang berarti kain untukTubuh Tuhan,
adalah kain lenan putih yang keras dan kaku seperti papan, berbentuk bujursangkar,
dipergunakan untuk menutup piala.
Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup
pintu masuk ke makam Yesus. Palla diletakkan di atas Patena.
SIBORI : berasal dari bahasa Latin “cyborium” yang berarti “piala dari logam”,adalah bejana
serupa piala, tetapi dengan tutup di atasnya. Siboriadalah wadah untuk roti-roti kecil yang akan
dibagikan dalam Komunikepada umat beriman. Sibori dibuat dari logam mulia, bagian
dalamnyabiasa dibuat dari emas atau disepuh emas.

PIKSIS : berasal dari bahasa Latin “pyx” yang berarti “kotak”, adalah sebuahwadah kecil
berbentuk bundar dengan engsel penutup, serupa wadah jamkuno. Piksis biasanya dibuat dari
emas. Piksis dipergunakan untukmenyimpan Sakramen Mahakudus, yang akan dihantarkan
kepada mereka yangsakit, atau yang akan ditahtakan dalam kebaktian kepada Sakramen
Mahakudus.

MONSTRANS : berasal dari bahasa Latin “monstrans, monstrare” yang


berarti“mempertontonkan”, adalah bejana suci tempat Sakramen Mahakudusditahtakan atau
dibawa dalam prosesi.

LAVABO : berasal dari bahasa Latin “lavare” yang berarti “membasuh”, adalah bejana
berbentuk seperti buyung kecil, atau dapat juga berupa mangkuk,tempat menampung air bersih
yang dipergunakan imam untuk membasuh tangan sesudah persiapan persembahan. Sebuah lap
biasanya menyertai lavabo untuk dipergunakan mengeringkan tangan imam.

TURIBULUM : (disebut juga Pedupaan/wiruk), berasal dari bahasa Latin “thuris” yang berarti
“dupa”, adalah bejana di mana dupa dibakar untuk pendupaan liturgis. Turibulum terdiri dari
suatu badan dari logam dengan tutupterpisah yang menudungi suatu wadah untuk arang dan
dupa; turibulumdibawa dan diayun-ayunkan dengan tiga rantai yang dipasang padabadannya,
sementara rantai keempat digunakan untuk menggerak-gerakkantutupnya. Pada turibulum
dipasang bara api, lalu di atasnya ditaburkanserbuk dupa sehingga asap dupa membubung dan
menyebarkan bau harum.Dupa adalah harum-haruman yang dibakar pada kesempatan-
kesempatanistimewa, seperti pada Misa yang meriah dan Pujian kepada Sakramen Mahakudus.

NAVIKULA : (disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat menyimpan serbuk dupa. Dupa
adalah getah yang harum dan rempah-rempah yang diambil daritanam-tanaman, biasanya
dibakar dengan campuran tambahan gunamenjadikan asapnya lebih tebal dan aromanya lebih
harum. Asap dupa yangdibakar naik ke atas melambangkan naiknya doa-doa umat beriman
kepadaTuhan. Ada pada kita catatan mengenai penggunaan dupa bahkan sejak awalkisah
Perjanjian Lama. Secara simbolis dupa melambangkan semangat umatKristiani yang berkobar-
kobar, harum mewangi keutamaan-keutamaan dannaiknya doa-doa dan perbuatan-perbuatan baik
kepada Tuhan.

ASPERGILUM : berasal dari bahasa Latin “aspergere” yang berarti “mereciki”, adalahsebatang
tongkat pendek, di ujungnya terdapat sebuah bola logam yangberlubang-lubang, dipergunakan
untuk merecikkan air suci pada orangatau benda dalam Asperges dan pemberkatan. Bejana Air
Suci adalah wadahyang dipergunakan untuk menampung air suci; ke dalamnya
aspergilumdicelupkan.

SACRAMENTARIUM : Buku Misa adalah buku pegangan imam pada waktu memimpin
perayaan Ekaristi, berisi doa-doa dan tata perayaan Ekaristi.
JENIS PAKAIAN LITURGI
A. AMIK
Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga model modern lain
yang tidak segi empat dan tanpa tali. Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu
melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya
untuk mengatasi serangan setan. Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju
supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana
liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan. Amik
dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba. Pemakaian amik
sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali
kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).

B. ALBA
Pakaian putih (Latin: alba = putih) panjang; simbol kesucian dan kemurnian yang seharus-nya
menaungi jiwa diakon/ imam yang me-rayakan liturgi, khususnya Pe-rayaan Ekaristi. Alba dengan
warna putihnya itu sendiri secara simbolis mengingatkan kita akan komitmen baptis dan
kebangkitan. Sebenarnya alba juga boleh dipakai untuk pelayan altar lainnya, bahkan—meski tidak
lazim—untuk lektor dan pemazmur.

C. SINGLE
Tali pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol nilai kemurnian hati (chastity) dan
pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Biasanya
singel dipakai jika model alba membutuhkan-nya atau jika dipakai stola dalam (PUMR 336). Ada
beberapa busana liturgis khusus untuk petugas yang ditahbiskan (klerus), yang tidak boleh
dikenakan atau bahkan ditiru untuk petugas liturgis awam. Unsur busana khusus itu adalah stola,
kasula, dalmatik, dan velum. Selain mengenakan beberapa unsur di atas sebelumnya (amik, alba,
singel), beberapa unsur berikut ini kemudian melengkapi penampilan se- orang petugas yang ditah-
biskan sesuai dengan kebu- tuhan perayaannya.
D. JUBAH
Sudah amat lazim bahwa lektor—juga beberapa petugas liturgis lainnya, seperti pemazmur dan
pembagi komuni, bahkan kelompok paduan suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya.
Tidak ada aturan khusus untuk itu, juga tidak ada larangan untuk meneruskan kebiasaan itu. Namun
perlu ditegaskan bahwa hal itu bukanlah keharusan, sehingga tidak ada kewajiban untuk
mengadakannya. Justru, ketika awam atau petugas liturgis yang tidak ditahbiskan berperan dalam
perayaan liturgis, sebaiknya ia tampil dengan busananya sendiri. Tentu saja busana yang layak dan
sopan untuk ukuran publik. Lagipula, seringkali memakai jubah bagi mereka malah bisa
mengundang pemikiran lain (baik secara asosiatif maupun estetis). Dengan kata lain, tidak semua
orang cocok memakai jubah. Jelasnya, jubah yang sebenarnya diperuntukkan bagi lelaki tentunya
jadi kelihatan aneh jika dikenakan perempuan

E. SUPERPLI
Superpli merupakan pengganti alba, potongannya tidak sepanjang alba. Ber-warna putih. Superpli
tidak sampai mata kaki, cukup sebatas lutut dengan perge-langan tangan yang cukup lebar. Tidak
boleh sembarangan memakai superpli. Alba dapat diganti superpli, kecuali kalau dipakai kasula atau
dalmatik, atau kalau stola menggan-tikan kasula atau dalmatik (PUMR 336). Dengan kata lain, jika
memakai kasula dan dalmatik, imam dan diakon harus memakai alba, bukan superpli. Jika hanya
memakai stola, maka imam dan diakon boleh memakai superpli di atas jubahnya.
F. STOLA
Stola adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa yang mengenakannya sedang
melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Stola
melambang-kan otoritas atau ke- wenangan dalam pelayanan sakra-mental dan berkhot-bah.
Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol
kekekalan. Warnanya sesuai dengan warna masa liturgi pada saat perayaan dilangsungkan. Diakon
memakainya menyilang, dari pundak kiri ke pinggang kanan. Imam memakainya dengan cara
mengalungkannya di leher, dua ujung stola itu ke depan, dibiar-kan menggantung (PUMR 340).
Dulu (sebelum pembaruan liturgis 1970), cara ini hanya untuk uskup atau abas, pejabat yang
biasanya mengenakan kalung salib (pektoral) — kalung salib semacam itu pun sebenarnya tidak
perlu diperlihatkan di atas kasula, dalmatik, atau pluviale, tapi boleh di atas mozzetta (lihat CE
/ Caeremoniale Episco-porum 61). Sedangkan para imamnya dulu mengalungkan stola dan kemudian
menyilangkannya di depan. Sekali lagi, baik imam maupun uskup sekarang boleh mengenakan stola
dengan cara yang sama (CE 66).

G. KASULA
Kasula adalah busana khas untuk imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai
untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan
untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Warnanya sesuai dengan
warna liturgi untuk perayaannya. Model kasula mengalami beberapa perubahan dan variasi. Dari
yang panjang dan mewah banyak hiasannya, lalu yang tampak minimalis dengan lengannya seperti
terpotong, sampai yang sederhana polos. Hingga saat ini setidaknya ada dua macam model atau
cara pemakaian stolanya. Kasula dengan stola dalam berarti memakai stolanya di dalam, tertutup
kasula. Kasula dengan stola luar berarti stolanya di atas kasula.
H. DALMATIK Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala
bertugas melayani dalam Misa/Perayaan Ekaristi, khususnya yang bersifat agung/meriah. Busana
ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang merupakan buah-buah dari pengab-diannya
kepada Allah. Warna atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada
waktu Misa. Bentuk dalmatik seolah mirip kasula, namun sebenarnya mempunyai pola
berbeda.Biasanya ada beberapa garis menghiasinya.

I. VELUM
Velum adalah semacam kain putih/kuning/emas lebar yang dipakai pada punggung ketika
membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat saat pemindahan Sakramen Mahakudus
pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan Tuhan, Kamis Putih malam!) dan memberi berkat
dengan Sakramen Mahakudus. Memang unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi,
namun sangat ber-kaitan dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau penghormatan
kepada Sakramen Mahakudus. Kain semacam itu biasanya dihiasi. Ada juga yang tanpa hiasan,
namun dipakai untuk mem-bawa tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin
Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup itu biasanya berwarna putih saja.
J. PLUVIALE
Ini semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di luar Perayaan Ekaristi dan
dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis lain yang rubriknya menuntut digunakan busana itu
(misalnya untuk liturgi pemberkatan). Kita bisa melihatnya — meski sudah jarang — jika imam
mengenakannya dalam perarakan sebelum Misa Minggu Palma. Jenis busana ini memang tidak
langsung berkaitan dengan Misa, tapi sering digunakan sebelum Misa itu sendiri.

3. WARNA-WARNA LITURGI
Warna-warna yang masih berlaku:
A. putih: untuk Masa Paskah, Natal, perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-
Nya), pesta Maria, para malaikat, orang kudus yang bukan martir, Hari Raya Se-mua Orang Kudus
(1 November), kelahiran St. Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta Yohanes Pengarang Injil (27
Desember), Pesta St. Petrus Rasul (22 Februari), dan Pesta Bertobatnya St. Paulus Rasul (25
Januari). Warna putih juga bisa dipakai untuk Misa Ritual (PUMR 347);
B. merah: untuk Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, perayaan Sengsara Tuhan, pesta
para rasul dan pengarang Injil (kecuali Yohanes), perayaan para martir;
C. hijau: untuk Masa Biasa sepanjang tahun;
D. ungu: untuk Masa Adven dan Prapaskah, dan Liturgi Arwah; [5] hitam: untuk Misa Arwah, meskipun
kini sudah jarang digunakan;
E. jingga: untuk hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan Laetare (Minggu Prapaskah IV), jika
memang sudah biasa (PUMR 346)

Bisakah warna itu diganti?


Perubahan warna tertentu untuk perayaan khusus diizinkan juga. Ini biasa terjadi dalam konteks
kultural tertentu yang mungkin memiliki konsep makna berbeda tentang warna. Namun,
kewenangan untuk mengubah demi penyerasian kultural itu ada pada pihak Konferensi Uskup, yang
kemudian perlu memberitahukannya kepada Takhta Apostolik (PUMR 346) sebelum
memberlakukannya.

Bahan dan hiasannya


Biasanya busana liturgis itu terbuat dari kain, entah bahannya dari apa. Bahan apa saja memang
boleh digu-nakan asal selaras dengan martabat perayaan liturgis dan cocok untuk keadaan pelayan
liturgi yang mengenakan-nya (PUMR 343). Untuk daerah tropis seperti di Indonesia. kiranya ada
bahan-bahan yang lebih cocok. Tidak semua busana liturgis buatan luar negeri (Eropa atau
Amerika, misalnya) nyaman dipakai untuk daerah-daerah di Indonesia. Bahkan, busana liturgis
buatan dalam negeri pun juga tidak semuanya nyaman bagi orang kita. Maka, perlulah setiap
daerah memertimbangkan sendiri jenis kain atau bahan yang cocok untuk daerahnya, agar busana
liturgis tidak menjadi gangguan bagi yang memakainya. Itu dari sisi pemakainya (petugas liturgi).
Sekarang perlu juga kita pertimbangkan dari sisi yang melihatnya, yaitu jemaat pada umumnya.
Unsur keindahan dan keanggunannya sangat penting dan perlu diperhatikan. Keindahan dan
keanggunan busana liturgis bukan ditentukan oleh banyak dan mewahnya hiasan, melainkan karena
bahan dan bentuk potongannya. Juga bukan karena murah atau mahal harganya. Namun, juga
jangan terlalu pelit untuk mengadakan busana yang membantu mencitrakan kekudusan ini. Hiasan
yang berupa gambar atau lambang hendaknya juga sesuai dengan liturgi, khususnya Ekaristi
(PUMR 344). Proporsi ornamen itu sebaiknya juga disesuaikan dengan interior atau bentuk
bangunan gerejanya. Misalnya, untuk interior atau tata ruang gereja yang sudah meriah, mungkin
tidak perlu lagi busana liturgi yang meriah atau ramai. Atau juga, busana liturgis bermotif batik-Jawa
(atau motif tradisional lain) mungkin kurang sesuai jika dikenakan di dalam gereja yang bergaya
gotik-Eropa, tapi lebih cocok dalam gereja yang bergaya joglo ala rumah Jawa (atau bergaya
tradisional lainnya).
4. Norma Pemakaian Pakaian Liturgi
Baik Imam Selebran maupun Imam Konselebran mengenakan busana yang sama, kecuali jika sang
Imam Selebran adalah seorang Uskup. Biasanya uskup mengenakan tanda-tanda lain yang tidak
dimiliki imam biasa. Namun, pada beberapa tahap berbusana, sebenarnya ada norma tertentu yang
berlaku untuk setiap petugas liturgis, khususnya pemimpin liturgis. Singkatnya, busana dasar- nya
adalah alba (yang putih!), sebelumnya bisa memakai amik (tertutup alba), dan sesudahnya bisa
memakai singel. Jika diakon, sesudah itu ia mengenakan stola, kemudian dalmatik. Jika imam,
setelahnya me- makai stola, lalu kasula; atau dapat juga langsung kasula, lalu stola luar.Seorang
uskup agung (metropolis) juga mengenakan palium, semacam kalung dari kain keras, ada warna
putih dan hitam, berikut beberapa simbol salib. Uskup biasa (sufragan) tidak mempunyai palium.
Salib dada (pektoral) seorang uskup sebenarnya tidak dikeluarkan (CE 61), alias tidak tampak pada
kasula, alias sebaiknya dicopot atau disembunyikan saja di balik kasula. Salib pektoral seorang
uskup merupakan bagian dari pakaian (jubah) kesehariannya (termasuk di antaranya topi kecil
[pelliolum, soli Deo] dan cincin). Salib semacam itu bukan bagian dari perlambangan busana liturgis,
berbeda halnya dengan mitra dan tongkat gembala.

5. Busana untuk awam jangan sama dengan klerus


Mungkin kita pernah melihat bahwa seorang bapak pembagi komuni berbusana mirip seorang imam,
dengan memakai “semacam stola”; atau mirip seorang uskup, lengkap dengan jubah putih dan
singel ungu (karena masa Prapaskah atau Adven), beserta salib pektoralnya. Wow!
Instruksi Redemptionis Sacramentum mengingatkan bahwa “umat awam tidak pernah boleh bertindak
atau berbusana liturgis seperti seorang imam atau diakon, atau memakai busana yang mirip dengan
busana dimaksud” (RS 152). Maksud larangan itu adalah untuk menghindari kerancuan simbolis,
atau terutama untuk tidak mengaburkan apa yang menjadi tugas khas masing-masing (RS 151).

6. Maksud aneka warna busana liturgis


Maksud keanekaragaman warna busana liturgis itu adalah [1] untuk secara lahiriah dan berhasil
guna mengungkapkan ciri khas misteri iman yang dirayakan; [2] dan dalam kerangka tahun liturgi,
untuk mengungkapkan makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan kristen (PUMR 345).

Anda mungkin juga menyukai