Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

A.1.1 LATAR BELAKANG

Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau
tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003).
Penyakit spina bifida atau sering dikenal sebagai sumbing tulang belakang adalah
salah satu penyakit yang banyak terjadi pada bayi. Penyakit ini menyerang medula
spinalis dimana ada suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal ini terjadi
karena satu atau beberapa bagian dari vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk
secara utuh dan dapat menyebabkan cacat berat pada bayi, ditambah lagi penyebab
utama dari penyakit ini masih belum jelas. Hal ini jelas mengakibatkan gangguan
pada sistem saraf karena medula spinalis termasuk sistem saraf pusat yang tentunya
memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem saraf manusia. Jika medula
spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang diatur oleh medula spinalis
pasti juga akan terpengaruh dan akan mengalami gangguan pula. Hal ini akan
semakin memperburuk kerja organ dalam tubuh manusia, apalagi pada bayi yang
sistem tubuhnya belum berfungsi secara maksimal.Bayi-bayi tersebut butuh
perawatan medis intensif sepanjang hidup mereka. Biasanya mereka menderita
lumpuh kaki, dan dimasa kanak-kanak harus dioperasi berulang kali pada bagian
tulang belakang mereka

Dalam hal ini perawat dituntut untuk dapat menangani hal-hal yang terkait
dengan spina bifida misalnya saja dalam memberikan asuhan keperawatan harus tepat
dan cermat agar dapat meminimalkan komplikasi yang terjadi akibat spina bifida.
A.1.2. TUJUAN

a. Tujuan Umum

Mahasiswa dapat memahami Asuhan Keperawatan pada anak dengan spina


bifida

b. Tujuan Khusus

Mahasiswa dapat memahami :

1) Konsep Teori Spina Bifida


a) Pengertian
b) Etiologi
c) Patofisiologi
d) Klasifikasi
e) Manifestasi klinis
f) Pemeriksaan penunjang
g) Penatalaksaan medis dan keperawatan
h) Komplikasi
2) Konsep Asuhan Keperawatan Spina Bifida
a) Pengkajian
b) Diagnosa
c) Intervensi
d) Implementasi
e) Evaluasi
BAB II

PEMBAHASAN

A.Konsep Dasar Teori Penyakit Spina Bifida

A.2.1 Pengertian

Spina bifida merupakan anomali dalam pembentukan tulang belakang, yakni


suatu defek dalam penutupan saluran tulang belakang. Hal ini biasanya terjadi pada
minggu IV masa embrio. Gangguan penutupan ini biasanya terdapat posterior
mengenai prosesus spinosus dan lamina; sangat jarang defek terjadi di bagian
anterior. Terdapat terbanyak pada vertebra lumbalis atau lumbosakralis.(Ilmu
Kesehatan Anak,1985)

Spina bifida adalah istilah umum untuk NTD (Neural Tube Defects) yang
mengenai daerah spinal. Kelainan ini berupa pemisahan arkus vertebrae dan mungkin
jaringan saraf dibawahnya mungkin juga tidak.(T.W.Sadler,2010)

Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus
posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis
spinalis pada perkembangan awal embrio.(Chairuddin Rasjad, 1998)

Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau
tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang. (Donna L. Wong, 2009)

Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus
posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis
spinalis pada perkembangan awal embrio (Chairuddin Rasjad, 1998).

Keadaan ini biasanya terjadi pada minggu ke 4 masa embrio. Derajat dan
lokalisasi defek bervariasi, pada keadaan yang ringan mungkin hanya ditemukan
kegagalan fungsi satu atau lebih dari satu arkus posterior vertebra pada daerah
lumosakral. Belum ada penyebab yang pasti tentang kasus spina bifida. Spina bifida
juga bias disebabkan oleh gagal menutupnya columna vertebralis pada masa
perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan gangguan
fusi tuba neural.Gangguan fusi tuba neural terjadi beberapa minggu (21 minggu
sampai dengan 28 minggu) setelah konsepsi.

A.2.2 Etiologi

1. Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan


kekurangan asam folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.
2. Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada
korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan
fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau di bagian
bawahnya.Gejalanya tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida.
Kebanyakan terjadi di punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau
sakral, karena penutupan vertebra di bagian ini terjadi paling akhir.
3. Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat
menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.
4. Resiko tinggi pada ibu yang pernah / riwayat melahirkan anak dengan Spina
Bifida

Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida antara lain:

1. Hidrosefalus
2. Siringomielia
3. Dislokasi pinggul.
A.2.3 Klasifikasi

Kelainan pada spina bifida bervariasi,sehingga dikelompokkan menjadi beberapa


jenis yaitu :

1. Spina Bifida Okulta

Merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau beberapa vertebra tidak
terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens) tidak
menonjol. Spina bifida okulta merupakan cacat arkus vertebra dengan kegagalan fusi
posterior lamina vertebralis dan seringkali tanpa prosesus spinosus, anomali ini
paling sering pada daerah antara L5-S1, tetapi dapat melibatkan bagian kolumna
vertebralis, dapat juga terjadi anomali korpus vertebra misalnya hemi vertebra. Kulit
dan jaringan subkutan diatasnya bisa normal atau dengan seberkas rambut abnormal,
telangietaksia atau lipoma subkutan. Spina bifida olkuta merupakan temuan terpisah
dan tidak bermakna pada sekitar 20% pemerikasaan radiografis tulang belakang.
Sejumlah kecil penderita bayi mengalami cacat perkembangan medula dan radiks
spinalis fungsional yang bermakna. Secara patologis kelainan hanya berupa defek
yang kecil pada arkus posterior.

2. Spina Bifida Aperta

Spina bifida aperta merupakan cacat kulit, arkus vertebra dan tuba neuralis pada
garis tengah, biasanya didaerah lumbosakral merupakan salah satu anomali
perkembangan susunan saraf yang tersering.Hanya sedikit yang diketahui mengenai
etiologi meningomiekel,meskipun tampaknya berkaitan dengan anensefali. Wanita
yang mempunyai anak dengan anensefali ataupun meningomiekel, beresiko tinggi
untuk kedua keadaan tersebut pada dua keadaan yaitu meningokel dan
mielomeningokel. Diferensiasi kllinis keduanya sangat sulit, bilamana tidak
ditemukan adanya gejala neurologis maka kemungkinan besar adalah meningokel,
apabila struktur saraf juga terlihat disebut mielomeningokel dan biasanya disertai
gangguan neurologis.(Arif Muttaqin, 2008)

3. Meningokel

Meningokel melibatkan meningen, yaitu selaput yang bertanggung jawab untuk


menutup dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Jika Meningen
mendorong melalui lubang di tulang belakang (kecil, cincin-seperti tulang yang
membentuk tulang belakang), kantung disebut Meningokel. Meningokel memiliki
gejala lebih ringan daripada myelomeningokel karena korda spinalis tidak keluar dari
tulang pelindung, Meningocele adalah meningens yang menonjol melalui vertebra
yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit dan
ditandai dengan menonjolnya meningen, sumsum tulang belakang dan cairan
serebrospinal. Meningokel seperti kantung di pinggang, tapi disini tidak terdaoat
tonjolan saraf corda spinal. Seseorang dengan meningocele biasanya mempunyai
kemampuan fisik lebih baik dan dapat mengontrol saluran kencing ataupun kolon.

4. Myelomeningokel

Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat,
dimana korda spinalis menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar
dan merah. Penaganan secepatnya sangat di perlukan untuk mengurangi kerusakan
syaraf dan infeksi pada tempat tonjolan tesebut. Jika pada tonjolan terdapat syaraf
yamg mempersyarafi otot atau extremitas, maka fungsinya dapat terganggu, kolon
dan ginjal bisa juga terpengaruh. Jenis myelomeningocale ialah jenis yang paling
sering dtemukan pada kasus spina bifida. Kebanyakan bayi yang lahir dengan jenis
spina bifida juga memiliki hidrosefalus, akumulasi cairan di dalam dan di sekitar
otak.
A.2.4 Patofisiologi

Penyebab terjadinya spina bifida dipengaruhi dari factor congenital dan


konsumsi asam folat ibunya saat tidak hamil. Kongenintal akan menurunkan gen
untuk terjadinya spina bifida. Kekurangan konsumsi asam folat oleh ibu saat hamil
membuat proses maturasi organ-organ tubuh bayi terganggu sehingga berakibat lahir
spina bifida. Pengaruh perkembangan embrio yang tergaganggu mengakibatkan
kanalis vertebra tidak mampu menutup dengan sempurna sehingga mengakibatkan
kegagalan fungsi arkus pada lumbal dan sacral yang mengakibatkan adanya benjolan
massa pada tulang vertebra di lumbosacral.
Pada kira-kira 20 hari dari kehamilan tekanan ditentukan alur neural.
Penampakan pada dorsal ectoderm dan embrio. Selama kehamilan minggu ke 4 alur
tampak memperdalam dengan cepat, sehingga meninggalkan batas-batas yang
berkembang ke samping kemudian sumbu di belakang membentuk tabung neural.
Formasi tabung neural dimulai pada daerah servikal dekat pusat dari embrio dan maju
pada direction caudally dan cephalically sampai akhir dari minggu ke 4 kehamilan,
pada bagian depan dan belakang neuropores tertutup. Kerusakan yang utama pada
kelainan tabung neural dapat dikarenakan penutupan tabung neural.
Pada kehamilan minggu ke 16 dan 18 terbentuk serum alfa fetoprotein (AFP)
sehingga pada kehamilan tersebut terjadi peningkatan AFP dalam cairan cerebro
spinalis. Peningkatan tersebut dapat mengakibatkan kebocoran cairan cerebro spinal
ke dalam cairan amnion, kemudian cairan AFP bercampur dengan cairan amnion
membentuk alfa-1-globulin yang mempengaruhi proses pembelahan sel menjadi tidak
sempurna. Karenanya defek penutupan kanalis vertebralis tidak sempurna yang
menyebabkan kegagalan fusi congenital pada lipatan dorsal yang biasa terjadi pada
defek tabung saraf dan eksoftalmus (John Rendle,1994).
A.2.5 Manifestasi Klinis

Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda


spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa
gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi
oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.

1.Spina bifida okulta dapat asimtomatik/berkaitan dengan :


a.Pertumbuhan rambut disepanjang spina
b.Lekukan digaris tegah, biasanya diarea lumbosakral
c.Abnormalitas gaya berjalan/kaki
d.Kontrol/kandung kemih yang buruk
2.Meningokel dapat asimtomatik/berkaitan dengan :
a.Tonjolan mirip kantong pada meninges dan css dari punggung
b.Club foot
c.Gangguan gaya berjalan
d.Inkontinensia kadung kemih
3.Mielomeningokel berkaitan dengan :
a.Tonjolan meninges, css dan medulla spinalis
b.Defisit neurologis setinggi dan dibawah tempat pajanan (Corwin, 2007)
Gejala lain yang timbul pada spina bifida adalah :
 Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru
lahir
 Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
 Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
 Penurunan sensasi
 Inkontinensia urin (beser) maupun inkontinensia tinja
 Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
 Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang)
 Lekukan pada daerah sakrum.
A.2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan


dapat dilakukan pada ibu hamil dan bayi yang baru dilahirkan :

1. Pemeriksaan pada waktu janin masih di dalam kandungan


a.Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang
disebut triple screen. Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida,
sindroma Down dan kelainan bawaan lainnya.
b.Fetoprotein alfa serum, 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina
bifida, akan memiliki kadar serum alfa fetoprotein yang tinggi. Tes ini
memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif,
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis.
c.Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban).

2. Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut :


a. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
b.USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda spinalis
maupun vertebra
c.CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan
lokasi dan luasnya kelainan.

Menurut Cecily L. Betz dan Linda A. Sowden dalam Buku Saku Keperawatan
Pediatri :
1.Pemeriksaan diagnostik :
a. Kajian foto toraks
b. USG
c. MRI/CT scant
d.amniosentesis.
2.Tes periode antenatal :
a.fetoprotein alfa serum antara kehamilan 16 – 18 minggu
b.USG fetus
c.amniosentesis jika hasil uji lainnya tidak meyakinkan.
3.Uji prabedah rutin :
a.pemeriksaan darah lengkap
b.urinalisis
c.pembiakan dan sensitivitas
d.golongan dan pencocokan silang darah
e.pemeriksaan foto toraks.

A.2.7 Penatalaksanaan

1.Penatalaksanaan Medis

Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk


mencegah ruptur. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada
bayi hidrocefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan pada kulit diperlukan
bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis.
Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat
ringannya disfungsi tersebut pada berbagai sistem tubuh.
Berikut ini adalah obat-obat yang dapat diberikan :
a.Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi saluran kemih
(seleksi tergantung hasil kultur dan sensitifitas).
b.Antikolinergik digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih.
c.Pelunak feces dan laksatif digunakan untuk melatih usus dan pengeluaran feces.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden)
2. Penatalaksanaan Keperawatan

a.Perawatan pra-bedah
 Segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan kasa steril
yang direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar
harus ditutupi kasa yang tidak melekat, misalnya telfa untuk
mencegah jaringan syaraf yang terpapar menjadi kering.
 Perawatan prabedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada
mempertahankan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada
beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk
mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi
yang basah.

b.Perawatan pasca bedah


 Pemberian makan peroral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan
 Jika terpasang drain maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin
tidak adanya lilitan/ tekukan pada saluran.Cairan akan berhenti keluar
lewat drainase setelah 2-3 hari pasca operasi sehingga drainase dapat
dicabut/dibuka sedangkan pembalut luka dibiarkan utuh dan selalu
diperhatikan,biarkan luka jahitan 10-12 hari setelah pasca operasi.
 Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah maka rentang gerakan pasif
yang penuh dilakukan setiap hari dan harus dijaga agar kulit diatas
bokong tetap utuh,saat pergantian popok perhatikan kebersihannya

A.2.7 Komplikasi

Komplikasi yang lain dari spina bifida yang berkaitan dengan kelahiran antara
lain adalah:

 Paralisis cerebri
 Retardasi mental
 Atrofi optic
 Epilepsi
 Osteo porosis
 Fraktur (akibat penurunan massa otot)
 Ulserasi, cedera, dikubitus yang tidak sakit.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

B.2.1 Pengkajian

1. Anammesa

 Identitas pasien : Terjadi pada BBL


 Keluhan utama : Terjadi abnormalitas keadaan medula spinalis pada bayi
yang baru dilahirkan.
 Riwayat penyakit sekarang : ada lesi pada punggung dan kepala besar
(hidrosephalus)
 Riwayat penyakit terdahulu : apakah saat hamil ibu jarang atau tidak
mengkonsumsi makanan yang mengandung asam folat misalnya sayuran,
buah-buahan (jeruk,alpukat), susu, daging, dan hati.
 Riwayat keluarga : apakah ada anggota keluarga yang mengalami spina bifida
atau tidak

2 Pemeriksaan Fisik

 B1 (Breathing) : normal
 B2 (Blood) : takikardi/bradikardi, letargi, fatigue
 B3 (Brain) : 1.Peningkatan lingkar kepala
2.Adanya myelomeningocele sejak lahir
3.Pusing
 B4 (Bladder) : Inkontinensia urin
 B5 (Bowel) : Inkontinensia feses
 B6 (Bone) : Kontraktur/ dislokasi sendi, hipoplasi ekstremitas bagian bawah

B.2.2 Diagnosa

1. Risiko tinggi infeksi b/d spinal malformation dan luka operasi


2. Berduka b/d kelahiran anak dengan spinal malformation
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d kebutuhan positioning, defisit
stimulasi dan perpisahan
4. Risiko tinggi trauma b/d lesi spinal
5. Resiko tinggi cedera b/d peningkatan intra kranial (TIK)
6. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin b/d inkotinensia
urine/feaces.

3.3 Intervensi

Diagnose 1 : Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka
operasi

Tujuan :

1.Anak bebas dari infeksi

2.Anak menunjukan respon neurologik yang normal

Kriteria hasil : TTV normal, Luka operasi, insisi bersih.

Intervensi Rasional
1. Monitor tanda-tanda vital. Observasi Untuk melihat tanda-tanda terjadinya resiko infeksi
tanda infeksi : perubahan suhu, warna
kulit, malas minum , irritability, perubahan
warna pada myelomeingocele.

2. Ukur lingkar kepala setiap 1 minggu


Untuk melihat dan mencegah terjadinya TIK dan
sekali, observasi fontanel dari cembung
hidrosepalus
dan palpasi sutura kranial
Untuk mencegah terjadinya luka infeksi pada kepala
3. Ubah posisi kepala setiap 3 jam untuk
(dekubitus)
mencegah dekubitus
4. Observasi tanda-tanda infeksi dan Menghindari terjadinya luka infeksi dan trauma
obstruksi jika terpasang shunt, lakukan terhadap pemasangan shunt
perawatan luka pada shunt dan upayakan
agar shunt tidak tertekan

Diagnosa 2 : Berduka b/d kelahiran anak dengan spinal malformation

Tujuan : Orangtua dapat menerima anaknya sebagai bagian dari keluarga

Kriteria hasil :

1. Orangtua mendemonstrasikan menerima anaknya dengan menggendong,


memberi minum, dan ada kontak mata dengan anaknya
2. Orangtua membuat keputusan tentang pengobatan
3. Orangtua dapat beradaptasi dengan perawatan dan pengobatan anaknya

Intervensi Rasional
Dorong orangtua mengekspresikan Untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling
perasaannya dan perhatiannya menyalahkan
terhadap bayinya, diskusikan
perasaan yang berhubungan dengan
pengobatan anaknya

Bantu orangtua mengidentifikasi


Memberikan stimulasi terhadap orangtua
aspek normal dari bayinya terhadap
untuk mendapatkan keadaan bayinya yang
pengobatan
lebih baik

Berikan support orangtua untuk


Memberikan arahan/suport terhadap orangtua
membuat keputusan tentang
untuk lebih mengetahui keadaan selanjutnya
pengobatan pada anaknya
yang lebih baik terhadap bayi
Diagnose 3 : Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
kebutuhan positioning, defisit stimulasi dan perpisahan

Tujuan : Anak mendapat stimulasi perkembangan

Kriteria hasil :

1. Bayi / anak berespon terhadap stimulasi yang diberikan


2. Bayi / anak tidak menangis berlebihan
3. Orangtua dapat melakukan stimulasi perkembangan yang tepat untuk bayi /
anaknya

Intervensi Rasional
Ajarkan orangtua cara merawat bayinya Agar orangtua dapat mandiri dan menerima segala
dengan memberikan terapi pemijatan bayi sesuatu yang sudah terjadi

Posisikan bayi prone atau miring Untuk mencegah terjadinya luka infeksi dan
kesalahasatu sisi tekanan terhadap luka

Lakukan stimulasi taktil/pemijatan saat Untuk mencegah terjadinya luka memar dan infeksi
melakukan perawatan kulit yang melebar disekitar luka

Diagnose 4 : Risiko tinggi trauma b/d lesi spinal

Tujuan : Pasien tidak mengalami trauma pada sisi bedah/lesi spinal

Kriteria Hasil:

1. Kantung meningeal tetap utuh


2. Sisi pembedahan sembuh tanpa trauma
Intervensi Rasional
Rawat bayi dengan cermat Untuk mencegah kerusakan pada kantung
meningeal atau sisi pembedahan

Untuk meminimalkan tegangan pada kantong


Tempatkan bayi pada posisi telungkup
meningeal atau sisi pembedahan
atau miring
Untuk memberi lapisan pelindung agar tidak
Gunakan alat pelindung di sekitar kantung
terjadi iritasi serta infeksi
( mis : slimut plastik bedah)

Modifikasi aktifitas keperawatan rutin


(mis : memberi makan, member Mencegah terjadinya trauma
kenyamanan)

Diagnose 5 : Resiko tinggi cedera b/d peningkatan intra kranial (TIK)

Tujuan : pasien bebas cedera

Kriteria Hasil : anak tidak menunjukan bukti-bukti peningkatan TIK

Intervensi Rasional
Observasi dengan cermat adanya tanda- Untuk mencegah keterlambatan tindakan
tanda peningkatan TIK
Sebagai pedoman untuk pengkajian
Lakukan pengkajian Neurologis dasar pascaoperasi dan evaluasi fungsi firau
pada praoperasi
Karena tingat kesadaran adalah pirau
Hindari sedasi penting dari peningkatan TIK

Ajari keluarga tentang tanda-tanda Praktisi kesehatan untuk mencegah


peningkatan TIK dan kapan harus keterlambatan tindakan
memberitahu
Diagnose 6 : Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin b/d
inkontinensia urine/feaces

Tujuan : pasien tidak mengalami iritasi kulit dan gangguan eleminasi urin

Kriteria hasil :

kulit tetap bersih dan kering tanpa bukti-bukti iritasi dan gangguan eleminasi.

Intervensi Rasional
Jaga agar area perineal tetap bersih dan Untuk mengrangi tekanan pada lutut dan
kering dan tempatkan anak pada pergelangan kaki selama posisi telengkup
permukaan pengurang tekanan.
Untuk meningkatkan sirkulasi.
Masase kulit dengan perlahan selama
pembersihan dan pemberian lotion.

Untuk memberikan kelancaran eleminasi


Berikan terapi stimulant pada bayi

3.4 Implementasi

Sesuai dengan intervensi

3.5 Evaluasi

Sesuai kriteria hasil.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus
pascaerior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis
spinalis pada perkembangan awal embrio (Chairuddin Rasjad, 1998). Keadaan ini
biasanya terjadi pada minggu ke empat masa embrio.Kelainan pada spina bifida
bervariasi, sehingga dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu : spina bifida
okulta, meningokel, dan myelomeningokel.

Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat
menyebabkan resiko melahirkan anak dengan spina bifida.Kelainan yang umumnya
menyertai penderita spina bifida antara lain: hidrosefalus, siringomielia,dan dislokasi
pinggul.Tanda-tanda fisik yang umumnya bisa dilihat adalah penonjolan seperti
kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir jika disinari, kantung
tersebut tidak tembus cahaya dan kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau
kaki.

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada klien dengan spina bifida adalah
pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J.2009.Buku saku Patofisiologi.Jakarta: EGC.

Donna dan Shannon.1999.Maternal Child Nursing Care.USA: Mosby.

Muttaqin, Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan.Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai