Anda di halaman 1dari 20

Tinjauan Pustaka

FISIOLOGI LATERAL DEKUBITUS DAN MONITORING DURANTE OPERASI


BEDAH THORAKS

Oleh:
Derajad Bayu Atmawan

Pembimbing:
Hari Hendriarto Satoto

BAGIAN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP / RSUP DR. KARIADI
SEMARANG
2011

0
Tinjauan Pustaka
FISIOLOGI LATERAL DEKUBITUS DAN MONITORING
DURANTE OPERASI BEDAH THORAKS

Derajad Bayu Atmawan, Hari Hendriarto Satoto


Bagian / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi

PENDAHULUAN
Kemajuan pengelolaan penyakit di daerah thoraks sejalan dengan perkembangan
di bidang anesthesia dan bedah thoraks. Pada awal abad XX, tindakan di daerah thoraks
sebatas pada reseksi iga dan drainase empiema akibat tuberkulosis.1 Dewasa ini, tindakan
di regio thoraks berkembang meliputi trauma dada, kelainan esophagus dan
mediastinum. Tindakan diagnostik seperti bronkoskopi, mediastinoskopi dan biopsi paru
terbuka pun biasa dikerjakan. 1,2
Beberapa pembedahan thoraks memerlukan posisi lateral dekubitus untuk
memudahkan tindakan dan penempatan instrumentasi. Akan tetapi, perubahan posisi
tersebut menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan fisiologis pasien. 3
Anestesi pada pembedahan thoraks, segaimana halnya operasi pada umumnya
membutuhkan monitoring selama pembiusan untuk meminimalkan dampak yang tidak
diinginkan. 4

POSISI LATERAL DEKUBITUS


Lateral dekubitus adalah posisi dimana pasien miring bertumpu pada satu sisi
badan. Dalam pengertian ini, right lateral decubitus berarti pasien posisi miring bertumpu
pada sisi kanan (sisi kanan menempel meja operasi), demikian juga sebaliknya. Sisi bawah
yang menempel meja operasi disebut “dependen”, sedangkan sisi atas disebut
“nondependen” (Gambar-1).1 Posisi ini dapat bervariasi tergantung pada lokasi operasi.
Posisi lateral dekubitus memberikan akses yang optimal pada sebagian besar operasi
paru, pleura, esophagus, mediastinum dan vertebra. 1,2

34
Gambar-1. Contoh posisi lateral dekubitus kanan. Atas: posisi kepala dan peletakan alas yang salah. Bawah:
posisi lateral dekubitus standar, “chest roll” untuk melindungi aksila, tulang servikal segaris. 1

Gambar-2. Pada posisi lateral dekubitus, lengan nondependent diletakkan pada penyangga. 3

35
Gambar-3. Mata dependen dipastikan tidak tertindih pada alas/ bantal 3

Gambar-4. Chest roll (pada gambar ini menggunakan cairan infus) diletakkan pada dinding dada disebelah
caudal aksila.3

36
Gambar-5. Variasi posisi lateral dekubitus. Lengan nondependent diabduksikan lebih dari 90 untuk tindakan
di dinding dada bagian superior. Plester atau straps digunakan untuk mempertahankan posisi, melingkupi
meja operasi dan pasien pada setinggi tulang panggul.

Membaringkan pasien pada posisi miring dapat menimbulkan risiko. Bila pasien
ditidurkan, harus dalam kondisi yang dalam untuk menghindar reflek batuk. Perlu
diperhatikan beberapa hal khusus untuk menghindari adanya komplikasi.1
“Chest Roll” berupa gulungan kain diletakkan di sebelah kaudal aksila dependent
sehingga aksila tidak menempel meja operasi. Hal ini bertujuan untuk mencegah
penekanan struktur neurovaskuler, meliputi arteri dan pleksus brakhialis oleh kaput
humeri. Penggunaan “bean bag” bermanfaat untuk menstabilkan posisi pasien dan
mengurangi risiko nekrosis akibat lipatan pasien. Kadang-kadang bagian dada sedikit
“ditekuk” agar celah interkostalisnya lebih lebar sehingga instrument dan kamera
thorakoskopi mudah dimasukkan.1
Sendi panggul dan lutut bawah agak difleksikan untuk menstabilkan posisi pasien
dan mengurangi peregangan nervus sciatic. Kaki atas diposisikan lurus beralaskan bantal
untuk menghindari tekanan pada kaki bawah. Posisi ektremitas superior dan kepala
membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah cedera kompresi dan regangan pleksus
brakialis dan saraf tepi. Tulang servikal diposisikan lurus, tangan atas dielevasikan kearah
superior bertumpu pada sandaran. Posisi ini distabilkan dengan penggunaan plester atau
straps melintasi kedua sisi meja operasi setinggi panggul. 1
Posisi pipa ET harus dicek ulang setelah pasien diposisikan miring, karena
perubahan posisi leher dapat mempengaruhi posisi pipa ET. 1

37
Fisiologi ventilasi perfusi
Tekanan hidrostatik oleh karena gravitasi menyebabkan distensi pembuluh darah
dan peningkatan perfusi pada paru bawah. Daerah apeks paru mendapatkan sedikit
perfusi. Efek gravitasi cenderung membuat kolaps apeks paru kedalam dan membentuk
tekanan negative intrapleural, sedangkan paru bagian bawah cenderung terdorong
keluar kearah dinding dada dan menimbulkan tekanan positif relatif. Karena densitas
paru adalah 25% dibandingkan air, sedangkan tinggi paru sekitar 30 cm, maka perbedaan
tekanan antara bagian basal dan apeks paru sekitar 7,5 cm H2O. Karena tekanan
intraalveolar seluruh area adalah sama, maka tekanan transpulmoner terbesar berada
dibagian atas dan menurun kebawah. Alveoli di bagian apeks lebih besar dibandingkan
basal, dengan perbandingan hampir 4 kali lipat. 1

Gambar-6. Selama nafas biasa, paru bagian bawah menunjukkan perubahan volume (ventilasi) yang lebih
besar daripada bagian atas.1

Pada saat mengembang, alveoli bagian bawah mencapai angka compliance yang
tinggi, sedangkan alveoli bagian atas tidak banyak mengembang. Pada posisi tegak,
volume tidal lebih banyak terdistribusi ke alveoli daerah basal karena pada bagian

38
tersebut mengembang lebih besar pada setiap unit penambahan tekanan dibandingkan
pada daerah apical. Efek fisiologis ini menghasilkan peningkatan aliran darah (Q)
daripada peningkatan ventilasi (V). Rasio V/Q semakin menurun dari apeks ke basal.
(gambar-7) 1

Gambar-7. Rasio ventilasi-perfusi (V/Q) dan komposisi regional gas alveolar. Pada posisi tegak, paru bagian
bawah memiliki V/Q yang rendah dibandingkan dengan paru bagian atas, serta relative hipoksik dan
hiperkapnia.

FISIOLOGI POSISI LATERAL DEKUBITUS


Pasien sadar, nafas spontan
Gravitasi menyebabkan gradient vertical terhadap distribusi aliran darah
pulmonal pada posisi lateral dekubitus sebagaimana layaknya pada posisi tegak. Gradien
hidrostatik vertical lebih kecil dibandingkan posisi tegak, karena jarak antara sebagian
besar massa paru dependen dan nondependent relative pendek. Meski demikian, aliran
darah ke paru dependen lebih besar dari pada paru nondependent. Secara normal dalam

39
posisi tegak, paru kanan menerima aliran darah 55% dari total aliran darah karena
ukurannya yang relative lebih besar, sedangkan paru kiri menerima 45% aliran darah
sisanya. Pada posisi lateral dekubitus kiri, paru kanan nondependent menerima 45% dari
total aliran darah, sedangkan paru kiri dependen menerima aliran darah 55%. Pada saat
paru kiri dalam posisi nondependent menerima 35% aliran darah, sedangkan paru kanan
dependen menerima 65% aliran darah. Sebagaimana pada posisi tegak, ventilasi relative
meningkat pada area paru dependen. (gambar 53-10)1

Gambar-8. Gambaran skematik efek gravitasi terhadap distribusi aliran darah pulmonal pada posisi lateral
dekubitus. Gradien vertikal pada posisi lateral dekubitus seperti pada posisi tegak dan terbagi menjadi zona 1,
2, dan 3. Konsekuensinya, aliran darah pulmonal meningkat pada paru dependen dan berkurang pada paru
nondependen.

Sebagai tambahan, pada posisi lateral dekubitus, kubah diafragma bawah


terdorong lebih tinggi ke arah dada, teregang dan membentuk lengkung lebih tajam
dibanding kubah diafragma atas. Hal ini menyebabkan diafragma dependen lebih efisien
selama ventilasi spontan. Sehingga pada pasien sadar posisi lateral dekubitus dengan
pernafasan spontan, paru dependen mendapatkan ventilasi yang lebih baik daripada
paru nondependen, dan V/Q masih sesuai (Gambar-9).

40
Gambar-9. Tekanan pleural pada pasien sadar (dada tertutup) paling positif pada paru dependen, sehingga
alveoli ditempat tersebut terkompresi dan pada ukuran minimal. Tekanan paling negative pada bagian apeks
paru sehingga alveoli pada bagian ini mendapatkan kompresi yang minimal dan berukuran besar. Perbedaan
volume pada kedua bagian tersebut dihadapkan pada tekanan transpulmonar – volume alveolar, maka
alveoli-alveoli kecil bagian bawah paru dependen terletak pada bagian kurva yang curam (large-slope), dan
alveoli yang berukuran besar pada paru nondependen terletak pada kurva bagian flat (small-slope). Paru
dependen menerima lebih banyak udara ventilasi tidal.

Pasien terbius, dada tertutup


Pada pasien terbius posisi lateral dekubitus yang bernafas spontan, paru
dependen masih menerima perfusi yang relatif lebih banyak daripada paru nondependen.
Distribusi perubahan ventilasi setelah induksi anestesi diilustrasikan pada Gambar
10.
Dengan induksi anestesi umum, FRC turun. Kedua paru mengalami pengurangan
volume, dan pada kurva “pressure-volume” bergeser ke arah bawah. Paru dependen
menempati kurva bagian yang relative datar (komplians lebih rendah). Paru
nondependen yang semula pada bagian nonkomplians begeser ke kurva dengan
komplians yang curam. Kompresi oleh mediastinum dan organ abdomen berkontribusi
pada penurunan FRC paru dependen. Setelah induksi anestesi, terjadi perubahan ventilasi
yang drastis sedangkan distribusi perfusi mengalami sedikit perubahan. Pada kondisi ini
paru nondependent menerima ventilasi yang besar tapi terjadi pengurangan perfusi,
sedangkan paru dependen mengalami penurunan ventilasi dengan perfusi yang tetap

41
lebih besar. Hal ini menambah terjadinya shunt (paru dependen memiliki V/Q rendah)
dan deadspace (paru non dependen memiliki V/Q >1).1

Gambar-10. Diagram skematik menunjukkan distribusi ventilasi pada pasien posisi lateral dekubitus dengan
dada tertutup yang sadar (kiri) dan terbius (kanan). Induksi anestesi menyebabkan pengurangan volume
pada kedua paru. Pada kurva pressure- volume paru nondependen (atas) bergeser dari bagian yang flat
menjadi ke bagian yang curam. Hal ini menggambarkan bahwa pada pasien terbius yang bernafas spontan,
sebagian besar ventilasi tidal menuju pada paru nondependent (yang perfusinya rendah) dibandingkan pada
paru dependen (yang perfusinya lebih besar)

Pasien terbius, dilumpuhkan, dengan ventilasi mekanik


Ventilasi mekanik menyebabkan bertambah buruknya V/Q. Perfusi tetap lebih
besar ke paru dependen karena gravitasi, dan ventilasi lebih banyak ke paru
nondependent. Dengan penggunaan ventilasi mekanik, diafragma pada paru dependen
tidak lagi memberikan kontribusi yang baik terhadap ventilasi karena dilumpuhkan.
Organ abdomen secara fisik membatasi pengembangan paru dependen, sehingga
menambah kecenderungan distribusi ventilasi ke paru nondependen. Pada pasien lateral
dekubitus yang dilumpuhkan, V/Q semakin jelek. Penggunaan PEEP (Positive End-
Expiratory Pressure) pada kedua paru dapat mengembalikan FRC, dan memberikan
ventilasi yang lebih baik pada paru dependen. Pada kurva pressure-volume, paru
dependen kembali pada bagian yang curam (bagian kurva yang diinginkan), dan paru
nondependent kembali pada posisi flat.1

42
Pasien terbius, dada terbuka
Pada ventilasi spontan dengan dada terbuka, tidal volume berkurang saat
inspirasi karena mediastinum turun ke bawah menyebabkan terganggunya ventilasi pada
paru dependen dan terjadi pernafasan paradoksal. Pernafasan paradoksal mengacu pada
perpindahan udara antara paru dependen dan nondependen, serta dari udara bebas ke
rongga dada yang terbuka. Perubahan fisiologi ini dapat mempengaruhi sirkulasi dengan
menurunkan venous return.1

Pasien terbius, dada terbuka, dengan ventilasi mekanik


Pada kondisi ini, tekanan airway pada paru dependen maupun nondependent
menurun. Sebagai dampaknya, ventilasi paru dependen meningkat bila dibandingkan
saat dada tertutup. Cardiax index meningkat, tetapi MAP (Mean arterial Pressure) tidak
berubah secara signifikan.
Paru atas mengeliminasi lebih banyak CO 2 setelah pleura dibuka. Peningkatan
eliminasi CO2 dari paru atas lebih besar daripada peningkatan ventilasinya. Dan juga, end-
tidal CO2 yang diukur dari paru atas meningkat lebih besar dari paru bawah, hal ini
menggambarkan peningkatan aliran darah pada paru atas. Penurunan tekanan airway
pada pleura yang terbuka bersamaan dengan meningkatnya cardiac index menghasilkan
peningkatan aliran darah ke paru nondependen. 1

Efek PEEP
Penggunaan PEEP selektif pada paru dependen dapat memperbaiki oksigenasi
dengan menurunkan fraksi shunt. Penggunaan PEEP meningkatakan FRC dan
memperbaiki ventilasi pada paru dependen, pada kurva pressure-volume digambarkan
akan bergeser ke bagian yang curam. Penggunaan PEEP meningkatkan PVR yang
berdampak pada pergeseran aliran darah dari paru dependen ke nondependen, meski
demikian adanya kardiak output ke paru nondependen memiliki andil dalam pertukaran
gas sepanjang paru nondependen diberi ventilasi atau CPAP (continuous positive airway
pressure).1

43
Efek Manipulasi Pembedahan
Pada saat manipulasi pembedahan dimulai, komplians dan distribusi ventilasi
paru atas menurun secara dramatis. ET-CO2 dan eliminasi CO2 dari paru atas menurun,
tetapi perubahan PaCO2 minimal.1

Hypoxic Pulmonary Vasoconstriction (HPV)


HPV merupakan mekanisme pada paru untuk menghindari hipoksia tubuh,
fenomena ini pertama kali dikemukakan oleh Von Euler dan Liljestrand pada tahun 1946.
Mekanisme homeostasis ini adalah respon vasomotor pada otot polos prekapiler cabang
arteri pulmonal. Pada kondisi paru dimana ada bagian yang mengalami atelektasis dan
tidak mendapatkan ventilasi, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah prekapiler sehingga
aliran darah ke daerah tersebut berkurang. Dengan adanya mekanisme ini, fraksi shunt
akan berkurang.
Pada pasien lateral dekubitus, paru dependen menerima 60% curah jantung,
sedangkan paru nondependen menerima 40% sisanya. Jika paru nondependen tidak
terventilasi dan mengalami atelektasis, respon HPV maksimal dapat menurunkan suplai
darah hingga 50%. Maka paru dependen menerima 80% curah jantung, dan paru
dependen yang mengalami atelektasis hanya mendapatkan curah jantung 20%. (gambar):

Gambar-11. A. Diagram skematik menunjukkan bahwa ventilasi 2 paru, perbandingan antar aliran darah paru
atas dan bawah adalah 40%:60%. B.Ketika ventilasi dikonversi ke satu paru, respon hypoxic pulmonary
vasoconstriction menurunkan aliran darah kepada paru atas sekitar 50%, sehingga perbandingan aliran
darah paru atas dan bawah menjadi 20%:80%.

44
HPV dimodulasi oleh endotel pembuluh darah paru tetapi peranan utamanya
pada sel otot polos sepanjang sepanjang pembuluh darah di paru. Mekanisme HPV ini
dijelaskan dengan Teori Redox. Teori ini menjelaskan adanya aksi sensor redox (rantai
transport electron mitokondrial proksimal) yang memicu diffusible mediator (reactive o2
species) mengendalikan protein effector (gerbang kalium dan kalsium). Penghambatan
O2-sensitive Channel Kalium, mengakibatkan depolarisasi otot polos arteri pulmonal,
mengaktivasi channel Ca2+, menyebabkan influx Ca2+, dan vasokonstriksi.
Variabel hemodinamik dapat mempengaruhi HPV. Respon vasokonstriksi
pulmoner menurun dengan adanya peningkatan tekanan arteri pulmonal, curah jantung,
teekanan atrium kiri dan volume darah. Peningkatan tekanan vaskuler pulmonal dapat
membuka dan merekrut pembuluh darah yang tertutup pada paru hipoksik, melawan
aktivasi vasokonstriksi pulmoner. Peningkatan curah jantung dapat menyamarkan respon
HPV dengan cara merekrut pembuluh darah pumoner atau meningkatkan PvO2.1

Efek Anestesi
Secara umum, pada kondisi sirkulasi sistemik yang normal, penggunaan agen
inhalasi tidak mempengaruhi atau hanya sedikit mengurangi respon HPV. Obat intravena
seperti ketamin dan propofol tidak mempengaruhi HPV secara signifikan. 1
Penelitian pada binatang coba menyatakan bahwa inhibisi HPV oleh agen inhalasi
berturut-turut: halothane > enflurane > isoflurane. Penggunaan agen inhalasi generasi
baru (isoflurane, sevoflurane, desflurane) pada 1 MAC diperkirakan menghambat HPV
sekitar 20 %, dengan angka ini hanya meningkatkan shunt sekitar 4%. 5

MONITORING SELAMA ANESTESI BEDAH THORAKS


Pasien yang menjalani pembedahan thoraks biasanya memiliki riwayat gangguan
respirasi ataupun gangguan jantung, yang kondisinya dapat menurun dengan adanya
manipulasi pembedahan, posisi operasi, saat paru kolaps dan ventilasi satu paru, yang
mengganggu kesesuaian V/Q. Belum ada satu kesepakatan mengenai penggunaan

45
monitoring invasif pada torakotomi. Monitoring bersifat individual, tergantung pada
operasi, kondisi kardiovaskuler dan respirasi sebelum operasi.
Monitoring pasien selama pembedahan thoraks meliputi EKG, pulse oksimetri,
tekanan darah, dan kapnografi. Auskultasi untuk memantau suara nafas, wheezing dan
ronkhi dapat membantu kita untuk mengetahui kondisi paru, posisi ET, bronkospasme
dan gagal jantung kongestif. Tekanan airway menjadi data yang berguna untuk
mengetahui perubahan komplians paru, bronkospasme dan posisi ET dobel lumen.
Kapnografi memberi gambaran kontinyu gelombang CO2 dan mengingatkan ahli anestesi
terhadap apnea, hipoventilasi, gangguan system jalan nafas dan hipoventilasi. ETCO 2
biasanya berkisar 5 mmHg dibawah pCO2.1 Dalam kondisi normal, selisih antara tekanan
CO2 alveolar dan arterial (PaCO2) berkisar 2-3 mmHg.6
Anestesiologis mungkin membutuhkan monitoring tambahan seperti kateter
arteri dan pulmonal saat mengelola pasien dengan riwayat pneumonia, penyakit jantung,
atau reseksi mayor paru. Setiap pemasangan peralatan monitoring invasif memiliki risiko,
sehingga perbandingan “risk-benefit” hendaknya selalu dipertimbangkan. 1
Terkait dengan posisi, misalnya lateral dekubitus, diperlukan pemantauan berkala
pada ekstremitas untuk mengetahui adakah gangguan vaskularisasi akibat posisi. Mata
dan telinga diperiksa ulang untuk memastikan tidak terjadi trauma.3 Setelah pasien dalam
posisi lateral dekubitus setiap jalur intravena dan piranti monitoring diperiksa ulang
untuk memastikan dalam kondisi yang stabil, misalnya sandapan EKG, probe oksimetri
dan kateter arteri.5
Beberapa komplikasi yang terjadi pada jenis pembedahan apapun dapat terjadi
pada thorakotomi. Disamping itu, trdapat komplikasi yang berhubungan langsung
dengan tindakan, diantaranya: perdarahan karena pneumectomi, kebocoran udara,
tension pneumothorax, dan fistula bronkopleural.

Pulse oksimetri
Penggunaan pulse oksimetri merupakan salah satu standard pengelolaan pasien di kamar
operasi.1

46
Gambar 12. Contoh sensor pulse oksimetri.

Pulse oksimetri pertama kali dikembangkan pada awal 1970-an di Jepang, bekerja dengan
menganalisa pulsasi aliran darah arteriole , sehingga menggambarkan saturasi arteriole
(SpO2). Alat ini menggunakan sumber cahaya dengan panjang gelombang 660 nm
(merah) dan 940 nm (inframerah) karena darah yang teroksigenasi dan yang tidak,
memiliki penyerapan yang berbeda terhadap dua gelombang ini. Pada cahaya 660 nm,
HbO2 mengabsorbsi cahaya lebih sedikit daripada HbR, dan hal sebaliknya terhadap
cahaya inframerah. Dua diode memancarkan cahaya pada satu sisi probe, dan terdapat
fotodioda pada satu sisi lain yang mengukur cahaya yang ditransmisikan.

Desaturasi yang nyata (SpO2 < 90%) selama ventilasi satu paru terjadi pada sekitar 1-10%
populasi meski dengan FiO2 yang tinggi (100%). Untuk beberapa alasan, pulse oksimetri
tidak lantas meniadakan kebutuhan pengukuran langsung PaO 2 melalui analisa gas darah
(BGA). Pertama, nilai PaO2 memberikan manfaat yang lebih besar untuk memperkirakan
batas keamanan desaturasi dibandingkan SpO2. Pasien dengan ventilasi dua paru, dimana
PaO2 > 400 mmHg cenderung tidak mengalami desaturasi bila dikonversi ke ventilasi satu
paru, sedangkan pasien dengan PaO2 200 mmHg akan cenderung menjadi desaturasi bila
dikonversi ke ventilasi satu paru, meskipun dua-duanya menunjukkan saturasi 99%
bahkan 100%. Kedua, kecepatan penurunan PaO2 setelah onset ventilasi satu paru

47
merupakan indicator risiko desaturasi lebih lanjut. Untuk alasan ini, sebaiknya PaO 2
diukur dengan BGA sebelum ventilasi satu paru, dan diulang lagi setelah 20 menit setelah
dimulainya ventilasi satu paru. Ketiga, terdapat perbedaan yang bermakna antar
pabrikan dalam hal akurasi monitor SpO 2. Dan lagi, selama hipoksemia, malposisi sensor
SpO2 menghasilkan nilai saturasi yang salah.5

Apabila saturasi oksigen turun, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:6

- Segera gunakan 100% oksigen


- Ventilasi menggunakan tangan
- Periksa FiO2, kapnograf dan Peak Airway Pressure
- Auskultasi dada bilateral
- Periksa ulang kedalaman pipa ET, lakukan penyedotan untuk menilai adakah
tekukan pipa sekaligus menghisap lendir.
- Bila perlu, gunakan laringoskop untuk memeriksa posisi pipa ET
- Evaluasi faktor pembedahan (perdarahan hebat, penekanan struktur organ vital)
- Evaluasi faktor pasien (emboli paru, emboli lemak, edema paru, penurunan curah
jantung)
- Cek analisa gas darah
- Bila perlu, intubasi ulang

Karbondioksida
Pemantauan CO2 berperan penting dalam monitoring. CO2 biasanya diambil di dekat pipa
ET. Kapnometri adalah pengukuran dan gambaran numeric konsentrasi CO2 selama
inspirasi dan ekspirasi.6 Prinsip pengukuran CO2 ada dua jenis, yakni side stream dan
mainstream. Pada metode sidestream, CO2 dari respirasi diukur melalui satu pipa kecil
disisi sirkuit nafas, sedekat mungkin dengan pasien, sehingga udara nafas disalurkan
pada alat ukur. Sedangkan metoda mainstream, CO2 diukur secara langsung
menggunakan cahaya infra merah pada jalan nafas.7 Kapnogram dibagi menjadi 4 fase
(Gambar 13).

48
Gambar 13. Gambaran Kapnograf.6

Fase pertama (A-B) menggambarkan fase awal ekspirasi. Gas yang diambil sebagai
sampel sekedar memenuhi deadspace, biasanya tidak mengandung CO 2. Pada titik B,
kondisi CO2 yang ditampilkan menggambarkan kondisi yang sesungguhnya pada muara
pipa. Fase C-D menggambarkan alveolar plateau. Normalnya, bagian ini hampir
horisontal. Titik D adalah nilai tertinggi CO2 dan disebut sebagai end-tidal CO2 (ETCO2).
ETCO2 merupakan gambaran terbaik CO2 alveoler. Saat pasien mulai inspirasi, udara segar
masuk dan grafiknya menjadi menurun tajam, mencapai nol. 4
Pada kondisi tertentu, baseline kapnogram tidak dapat kembali ke nol. Sedangkan bila
baseline meningkat lebih dari 2 mmHg, artinya pasien menerima CO2 saat inspirasi, hal ini
disebut sebagai rebreathing. Kemungkinan penyebab rebreathing diantaranya: 6

 Kejenuhan CO2 absorber.


 Adanya hubungan antara gas/ udara dengan CO2 absorber.
 Katup searah inspirasi-ekspirasi tidak menutup sempurna
 Adanya penggunaan CO2 (misalnya dari tabung CO2 untuk laparoskopi)
 Aliran fresh gas flow kurang adekuat

Nilai ETCO2 bisa meningkat bertahap akibat dari beberapa hal, misalnya:

 Hypoventilation
 Peningkatan suhu tubuh
 Peningkatan aktifitas metabolisme (demam, sepsis, hipertermi maligna)
 Obstruksi airway parsial
 absorbsi CO2 eksogen (misalnya selama laparoskopi)
 Peningkatan sesaat ETCO2 (pasca pemberian bikarbonat intravena, pelepasan

49
tourniquet ekstremitas, pelepasan cross-clamp pembuluh darah).

Gelombang kapnograf dapat mengecil dan menghilang dengan cepat akibat:

 Intubasi esophagus
 Ventilator tidak tersambung atau tidak bekerja dengan baik
 Kerusakan alat kapnograf
 Sumbatan pipa ET
 Gangguan fisiologis yang berat, misalnya henti jantung atau emboli pulmonal
masif.6

MONITORING HEMODINAMIK INVASIF


Arterial Line

Terdapat insiden hipotensi mendadak yang signifikan akibat penekanan pembedahan


terhadap jantung atau pembuluh darah besar. Penggunaan monitoring tekanan darah
invasive sangat bermanfaat pada kondisi tersebut. Terlebih lagi, arteri line berguna
sebagai jalur sampling analisa gas darah berulang. Jalur arteri line dapat dipasang pada
lengan dependen maupun nondependent.5

Central Venous Pressures

Pemasangan dan pemantauan Central venous pressure (CVP) pada beberapa senter
merupakan hal yang rutin. Meski demikian, pembacaan CVP pada posisi lateral dan dada
terbuka tidaklah dapat diandalkan. CVP bermanfaat dalam pemantauan pasca operasi,
terutama pada kasus dimana membutuhkan pengelolaan cairan secara kritis.5

Kateter Arteri Pulmonal

Seperti halnya CVP, tekanan arteri pulmonal intraoperatif tidak dapat secara cermat
menjadi indicator preload jantung kiri pada posisi lateral dan dada terbuka. Hal ini bisa
terjadi karena tidak dapat diketahui pasti, apakah ujung kateter mengarah ke paru atas
ataupun bawah. Kita dapat meminta bantuan dokter bedah untuk mengkonfirmasi posisi
ujung kateter begitu dada terbuka. Kateter harus ditarik bila ujungnya mengarah pada

50
sisi pembedahan ipsi lateral, sebelum dilakukan penjepitan pembuluh darah (vascular
clamping), karena dapat terbelah. Komplikasi penggunaan kateter pulmonal diantaranya:
aritmia, perdarahan, infark pulmonal.5

Pada pengukuran cardiac output menggunakan thermodilusi, pengukuran menjadi


kurang cermat apabila terdapat perbedaan perfusi diantara dua paru, saat ventilasi satu
paru. Belum ada konsensus mengenai pengukuran termodilusi curah jantung selama
ventilasi satu paru. 5

RINGKASAN

Dewasa ini pembedahan di daerah thoraks semakin maju, sejalan dengan


perkembangan ilmu anestesiologi. Beberapa tindakan tersebut dilakukan terhadap
pasien dalam posisi lateral dekubitus.

Posisi lateral dekubitus menimbulkan berbagai perubahan fisiologis terhadap


pasien. Sebagaimana halnya operasi yang lain, operasi pada bedah thoraks memerlukan
monitoring dan penanganan terhadap berbagai hal yang terjadi. Posisi ini tidak terlepas
dari fisiologi ventilasi satu paru.

Pengetahuan dan pemahaman mengenai fisiologi lateral dekubitus diharapkan


akan menambah keamanan dan kenyamanan dalam pelayanan pasien, khususnya pada
periode perioperatif.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart Weiss, Andrew Ochroch. Thoracic Anesthesia. In: David E. Longnecker, David
L. Brown, Mark F. Newman, editors. Anesthesiology. New York: McGraw-Hill, 2008:
1213-38.
2. Morgan G.E, Mikhail M.S, Murray M.J, editors. Clinical Anesthesiology. New York:
McGraw-Hill. 2006: 585-604.
3. Cassorla Lydia, Lee Jae Woo. Patient Positioning and Anesthesia. In: Ronald D Miller,
editor. Miller’s Anesthesia. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010: 1151-
69.
4. Mark A. Warner. Patient Positioning. In: Barash Paul G, Cullen Bruce F, Stoelting
Robert K, editors. Clinical Anesthesia. Lippincott Williams & Wilkins, 2006: 653-67.
5. Slinger Peter, Campos Javier H. Anesthesia for Thoracic Surgery In: Ronald D Miller,
editor. Miller’s Anesthesia. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2010: 1819-82.
6. Duke James. Anesthesia Secret, 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2006: 153-70.
7. Eskaros Stephen M, Papadakos Peter J, Lachmann Burkhard. Respiratory
monitoring. In: Ronald D Miller, editor. Miller’s Anesthesia. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier, 2010: 1516-68.

52

Anda mungkin juga menyukai