Oleh:
Derajad Bayu Atmawan
Pembimbing:
Hari Hendriarto Satoto
0
Tinjauan Pustaka
FISIOLOGI LATERAL DEKUBITUS DAN MONITORING
DURANTE OPERASI BEDAH THORAKS
PENDAHULUAN
Kemajuan pengelolaan penyakit di daerah thoraks sejalan dengan perkembangan
di bidang anesthesia dan bedah thoraks. Pada awal abad XX, tindakan di daerah thoraks
sebatas pada reseksi iga dan drainase empiema akibat tuberkulosis.1 Dewasa ini, tindakan
di regio thoraks berkembang meliputi trauma dada, kelainan esophagus dan
mediastinum. Tindakan diagnostik seperti bronkoskopi, mediastinoskopi dan biopsi paru
terbuka pun biasa dikerjakan. 1,2
Beberapa pembedahan thoraks memerlukan posisi lateral dekubitus untuk
memudahkan tindakan dan penempatan instrumentasi. Akan tetapi, perubahan posisi
tersebut menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan fisiologis pasien. 3
Anestesi pada pembedahan thoraks, segaimana halnya operasi pada umumnya
membutuhkan monitoring selama pembiusan untuk meminimalkan dampak yang tidak
diinginkan. 4
34
Gambar-1. Contoh posisi lateral dekubitus kanan. Atas: posisi kepala dan peletakan alas yang salah. Bawah:
posisi lateral dekubitus standar, “chest roll” untuk melindungi aksila, tulang servikal segaris. 1
Gambar-2. Pada posisi lateral dekubitus, lengan nondependent diletakkan pada penyangga. 3
35
Gambar-3. Mata dependen dipastikan tidak tertindih pada alas/ bantal 3
Gambar-4. Chest roll (pada gambar ini menggunakan cairan infus) diletakkan pada dinding dada disebelah
caudal aksila.3
36
Gambar-5. Variasi posisi lateral dekubitus. Lengan nondependent diabduksikan lebih dari 90 untuk tindakan
di dinding dada bagian superior. Plester atau straps digunakan untuk mempertahankan posisi, melingkupi
meja operasi dan pasien pada setinggi tulang panggul.
Membaringkan pasien pada posisi miring dapat menimbulkan risiko. Bila pasien
ditidurkan, harus dalam kondisi yang dalam untuk menghindar reflek batuk. Perlu
diperhatikan beberapa hal khusus untuk menghindari adanya komplikasi.1
“Chest Roll” berupa gulungan kain diletakkan di sebelah kaudal aksila dependent
sehingga aksila tidak menempel meja operasi. Hal ini bertujuan untuk mencegah
penekanan struktur neurovaskuler, meliputi arteri dan pleksus brakhialis oleh kaput
humeri. Penggunaan “bean bag” bermanfaat untuk menstabilkan posisi pasien dan
mengurangi risiko nekrosis akibat lipatan pasien. Kadang-kadang bagian dada sedikit
“ditekuk” agar celah interkostalisnya lebih lebar sehingga instrument dan kamera
thorakoskopi mudah dimasukkan.1
Sendi panggul dan lutut bawah agak difleksikan untuk menstabilkan posisi pasien
dan mengurangi peregangan nervus sciatic. Kaki atas diposisikan lurus beralaskan bantal
untuk menghindari tekanan pada kaki bawah. Posisi ektremitas superior dan kepala
membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah cedera kompresi dan regangan pleksus
brakialis dan saraf tepi. Tulang servikal diposisikan lurus, tangan atas dielevasikan kearah
superior bertumpu pada sandaran. Posisi ini distabilkan dengan penggunaan plester atau
straps melintasi kedua sisi meja operasi setinggi panggul. 1
Posisi pipa ET harus dicek ulang setelah pasien diposisikan miring, karena
perubahan posisi leher dapat mempengaruhi posisi pipa ET. 1
37
Fisiologi ventilasi perfusi
Tekanan hidrostatik oleh karena gravitasi menyebabkan distensi pembuluh darah
dan peningkatan perfusi pada paru bawah. Daerah apeks paru mendapatkan sedikit
perfusi. Efek gravitasi cenderung membuat kolaps apeks paru kedalam dan membentuk
tekanan negative intrapleural, sedangkan paru bagian bawah cenderung terdorong
keluar kearah dinding dada dan menimbulkan tekanan positif relatif. Karena densitas
paru adalah 25% dibandingkan air, sedangkan tinggi paru sekitar 30 cm, maka perbedaan
tekanan antara bagian basal dan apeks paru sekitar 7,5 cm H2O. Karena tekanan
intraalveolar seluruh area adalah sama, maka tekanan transpulmoner terbesar berada
dibagian atas dan menurun kebawah. Alveoli di bagian apeks lebih besar dibandingkan
basal, dengan perbandingan hampir 4 kali lipat. 1
Gambar-6. Selama nafas biasa, paru bagian bawah menunjukkan perubahan volume (ventilasi) yang lebih
besar daripada bagian atas.1
Pada saat mengembang, alveoli bagian bawah mencapai angka compliance yang
tinggi, sedangkan alveoli bagian atas tidak banyak mengembang. Pada posisi tegak,
volume tidal lebih banyak terdistribusi ke alveoli daerah basal karena pada bagian
38
tersebut mengembang lebih besar pada setiap unit penambahan tekanan dibandingkan
pada daerah apical. Efek fisiologis ini menghasilkan peningkatan aliran darah (Q)
daripada peningkatan ventilasi (V). Rasio V/Q semakin menurun dari apeks ke basal.
(gambar-7) 1
Gambar-7. Rasio ventilasi-perfusi (V/Q) dan komposisi regional gas alveolar. Pada posisi tegak, paru bagian
bawah memiliki V/Q yang rendah dibandingkan dengan paru bagian atas, serta relative hipoksik dan
hiperkapnia.
39
posisi tegak, paru kanan menerima aliran darah 55% dari total aliran darah karena
ukurannya yang relative lebih besar, sedangkan paru kiri menerima 45% aliran darah
sisanya. Pada posisi lateral dekubitus kiri, paru kanan nondependent menerima 45% dari
total aliran darah, sedangkan paru kiri dependen menerima aliran darah 55%. Pada saat
paru kiri dalam posisi nondependent menerima 35% aliran darah, sedangkan paru kanan
dependen menerima 65% aliran darah. Sebagaimana pada posisi tegak, ventilasi relative
meningkat pada area paru dependen. (gambar 53-10)1
Gambar-8. Gambaran skematik efek gravitasi terhadap distribusi aliran darah pulmonal pada posisi lateral
dekubitus. Gradien vertikal pada posisi lateral dekubitus seperti pada posisi tegak dan terbagi menjadi zona 1,
2, dan 3. Konsekuensinya, aliran darah pulmonal meningkat pada paru dependen dan berkurang pada paru
nondependen.
40
Gambar-9. Tekanan pleural pada pasien sadar (dada tertutup) paling positif pada paru dependen, sehingga
alveoli ditempat tersebut terkompresi dan pada ukuran minimal. Tekanan paling negative pada bagian apeks
paru sehingga alveoli pada bagian ini mendapatkan kompresi yang minimal dan berukuran besar. Perbedaan
volume pada kedua bagian tersebut dihadapkan pada tekanan transpulmonar – volume alveolar, maka
alveoli-alveoli kecil bagian bawah paru dependen terletak pada bagian kurva yang curam (large-slope), dan
alveoli yang berukuran besar pada paru nondependen terletak pada kurva bagian flat (small-slope). Paru
dependen menerima lebih banyak udara ventilasi tidal.
41
lebih besar. Hal ini menambah terjadinya shunt (paru dependen memiliki V/Q rendah)
dan deadspace (paru non dependen memiliki V/Q >1).1
Gambar-10. Diagram skematik menunjukkan distribusi ventilasi pada pasien posisi lateral dekubitus dengan
dada tertutup yang sadar (kiri) dan terbius (kanan). Induksi anestesi menyebabkan pengurangan volume
pada kedua paru. Pada kurva pressure- volume paru nondependen (atas) bergeser dari bagian yang flat
menjadi ke bagian yang curam. Hal ini menggambarkan bahwa pada pasien terbius yang bernafas spontan,
sebagian besar ventilasi tidal menuju pada paru nondependent (yang perfusinya rendah) dibandingkan pada
paru dependen (yang perfusinya lebih besar)
42
Pasien terbius, dada terbuka
Pada ventilasi spontan dengan dada terbuka, tidal volume berkurang saat
inspirasi karena mediastinum turun ke bawah menyebabkan terganggunya ventilasi pada
paru dependen dan terjadi pernafasan paradoksal. Pernafasan paradoksal mengacu pada
perpindahan udara antara paru dependen dan nondependen, serta dari udara bebas ke
rongga dada yang terbuka. Perubahan fisiologi ini dapat mempengaruhi sirkulasi dengan
menurunkan venous return.1
Efek PEEP
Penggunaan PEEP selektif pada paru dependen dapat memperbaiki oksigenasi
dengan menurunkan fraksi shunt. Penggunaan PEEP meningkatakan FRC dan
memperbaiki ventilasi pada paru dependen, pada kurva pressure-volume digambarkan
akan bergeser ke bagian yang curam. Penggunaan PEEP meningkatkan PVR yang
berdampak pada pergeseran aliran darah dari paru dependen ke nondependen, meski
demikian adanya kardiak output ke paru nondependen memiliki andil dalam pertukaran
gas sepanjang paru nondependen diberi ventilasi atau CPAP (continuous positive airway
pressure).1
43
Efek Manipulasi Pembedahan
Pada saat manipulasi pembedahan dimulai, komplians dan distribusi ventilasi
paru atas menurun secara dramatis. ET-CO2 dan eliminasi CO2 dari paru atas menurun,
tetapi perubahan PaCO2 minimal.1
Gambar-11. A. Diagram skematik menunjukkan bahwa ventilasi 2 paru, perbandingan antar aliran darah paru
atas dan bawah adalah 40%:60%. B.Ketika ventilasi dikonversi ke satu paru, respon hypoxic pulmonary
vasoconstriction menurunkan aliran darah kepada paru atas sekitar 50%, sehingga perbandingan aliran
darah paru atas dan bawah menjadi 20%:80%.
44
HPV dimodulasi oleh endotel pembuluh darah paru tetapi peranan utamanya
pada sel otot polos sepanjang sepanjang pembuluh darah di paru. Mekanisme HPV ini
dijelaskan dengan Teori Redox. Teori ini menjelaskan adanya aksi sensor redox (rantai
transport electron mitokondrial proksimal) yang memicu diffusible mediator (reactive o2
species) mengendalikan protein effector (gerbang kalium dan kalsium). Penghambatan
O2-sensitive Channel Kalium, mengakibatkan depolarisasi otot polos arteri pulmonal,
mengaktivasi channel Ca2+, menyebabkan influx Ca2+, dan vasokonstriksi.
Variabel hemodinamik dapat mempengaruhi HPV. Respon vasokonstriksi
pulmoner menurun dengan adanya peningkatan tekanan arteri pulmonal, curah jantung,
teekanan atrium kiri dan volume darah. Peningkatan tekanan vaskuler pulmonal dapat
membuka dan merekrut pembuluh darah yang tertutup pada paru hipoksik, melawan
aktivasi vasokonstriksi pulmoner. Peningkatan curah jantung dapat menyamarkan respon
HPV dengan cara merekrut pembuluh darah pumoner atau meningkatkan PvO2.1
Efek Anestesi
Secara umum, pada kondisi sirkulasi sistemik yang normal, penggunaan agen
inhalasi tidak mempengaruhi atau hanya sedikit mengurangi respon HPV. Obat intravena
seperti ketamin dan propofol tidak mempengaruhi HPV secara signifikan. 1
Penelitian pada binatang coba menyatakan bahwa inhibisi HPV oleh agen inhalasi
berturut-turut: halothane > enflurane > isoflurane. Penggunaan agen inhalasi generasi
baru (isoflurane, sevoflurane, desflurane) pada 1 MAC diperkirakan menghambat HPV
sekitar 20 %, dengan angka ini hanya meningkatkan shunt sekitar 4%. 5
45
monitoring invasif pada torakotomi. Monitoring bersifat individual, tergantung pada
operasi, kondisi kardiovaskuler dan respirasi sebelum operasi.
Monitoring pasien selama pembedahan thoraks meliputi EKG, pulse oksimetri,
tekanan darah, dan kapnografi. Auskultasi untuk memantau suara nafas, wheezing dan
ronkhi dapat membantu kita untuk mengetahui kondisi paru, posisi ET, bronkospasme
dan gagal jantung kongestif. Tekanan airway menjadi data yang berguna untuk
mengetahui perubahan komplians paru, bronkospasme dan posisi ET dobel lumen.
Kapnografi memberi gambaran kontinyu gelombang CO2 dan mengingatkan ahli anestesi
terhadap apnea, hipoventilasi, gangguan system jalan nafas dan hipoventilasi. ETCO 2
biasanya berkisar 5 mmHg dibawah pCO2.1 Dalam kondisi normal, selisih antara tekanan
CO2 alveolar dan arterial (PaCO2) berkisar 2-3 mmHg.6
Anestesiologis mungkin membutuhkan monitoring tambahan seperti kateter
arteri dan pulmonal saat mengelola pasien dengan riwayat pneumonia, penyakit jantung,
atau reseksi mayor paru. Setiap pemasangan peralatan monitoring invasif memiliki risiko,
sehingga perbandingan “risk-benefit” hendaknya selalu dipertimbangkan. 1
Terkait dengan posisi, misalnya lateral dekubitus, diperlukan pemantauan berkala
pada ekstremitas untuk mengetahui adakah gangguan vaskularisasi akibat posisi. Mata
dan telinga diperiksa ulang untuk memastikan tidak terjadi trauma.3 Setelah pasien dalam
posisi lateral dekubitus setiap jalur intravena dan piranti monitoring diperiksa ulang
untuk memastikan dalam kondisi yang stabil, misalnya sandapan EKG, probe oksimetri
dan kateter arteri.5
Beberapa komplikasi yang terjadi pada jenis pembedahan apapun dapat terjadi
pada thorakotomi. Disamping itu, trdapat komplikasi yang berhubungan langsung
dengan tindakan, diantaranya: perdarahan karena pneumectomi, kebocoran udara,
tension pneumothorax, dan fistula bronkopleural.
Pulse oksimetri
Penggunaan pulse oksimetri merupakan salah satu standard pengelolaan pasien di kamar
operasi.1
46
Gambar 12. Contoh sensor pulse oksimetri.
Pulse oksimetri pertama kali dikembangkan pada awal 1970-an di Jepang, bekerja dengan
menganalisa pulsasi aliran darah arteriole , sehingga menggambarkan saturasi arteriole
(SpO2). Alat ini menggunakan sumber cahaya dengan panjang gelombang 660 nm
(merah) dan 940 nm (inframerah) karena darah yang teroksigenasi dan yang tidak,
memiliki penyerapan yang berbeda terhadap dua gelombang ini. Pada cahaya 660 nm,
HbO2 mengabsorbsi cahaya lebih sedikit daripada HbR, dan hal sebaliknya terhadap
cahaya inframerah. Dua diode memancarkan cahaya pada satu sisi probe, dan terdapat
fotodioda pada satu sisi lain yang mengukur cahaya yang ditransmisikan.
Desaturasi yang nyata (SpO2 < 90%) selama ventilasi satu paru terjadi pada sekitar 1-10%
populasi meski dengan FiO2 yang tinggi (100%). Untuk beberapa alasan, pulse oksimetri
tidak lantas meniadakan kebutuhan pengukuran langsung PaO 2 melalui analisa gas darah
(BGA). Pertama, nilai PaO2 memberikan manfaat yang lebih besar untuk memperkirakan
batas keamanan desaturasi dibandingkan SpO2. Pasien dengan ventilasi dua paru, dimana
PaO2 > 400 mmHg cenderung tidak mengalami desaturasi bila dikonversi ke ventilasi satu
paru, sedangkan pasien dengan PaO2 200 mmHg akan cenderung menjadi desaturasi bila
dikonversi ke ventilasi satu paru, meskipun dua-duanya menunjukkan saturasi 99%
bahkan 100%. Kedua, kecepatan penurunan PaO2 setelah onset ventilasi satu paru
47
merupakan indicator risiko desaturasi lebih lanjut. Untuk alasan ini, sebaiknya PaO 2
diukur dengan BGA sebelum ventilasi satu paru, dan diulang lagi setelah 20 menit setelah
dimulainya ventilasi satu paru. Ketiga, terdapat perbedaan yang bermakna antar
pabrikan dalam hal akurasi monitor SpO 2. Dan lagi, selama hipoksemia, malposisi sensor
SpO2 menghasilkan nilai saturasi yang salah.5
Karbondioksida
Pemantauan CO2 berperan penting dalam monitoring. CO2 biasanya diambil di dekat pipa
ET. Kapnometri adalah pengukuran dan gambaran numeric konsentrasi CO2 selama
inspirasi dan ekspirasi.6 Prinsip pengukuran CO2 ada dua jenis, yakni side stream dan
mainstream. Pada metode sidestream, CO2 dari respirasi diukur melalui satu pipa kecil
disisi sirkuit nafas, sedekat mungkin dengan pasien, sehingga udara nafas disalurkan
pada alat ukur. Sedangkan metoda mainstream, CO2 diukur secara langsung
menggunakan cahaya infra merah pada jalan nafas.7 Kapnogram dibagi menjadi 4 fase
(Gambar 13).
48
Gambar 13. Gambaran Kapnograf.6
Fase pertama (A-B) menggambarkan fase awal ekspirasi. Gas yang diambil sebagai
sampel sekedar memenuhi deadspace, biasanya tidak mengandung CO 2. Pada titik B,
kondisi CO2 yang ditampilkan menggambarkan kondisi yang sesungguhnya pada muara
pipa. Fase C-D menggambarkan alveolar plateau. Normalnya, bagian ini hampir
horisontal. Titik D adalah nilai tertinggi CO2 dan disebut sebagai end-tidal CO2 (ETCO2).
ETCO2 merupakan gambaran terbaik CO2 alveoler. Saat pasien mulai inspirasi, udara segar
masuk dan grafiknya menjadi menurun tajam, mencapai nol. 4
Pada kondisi tertentu, baseline kapnogram tidak dapat kembali ke nol. Sedangkan bila
baseline meningkat lebih dari 2 mmHg, artinya pasien menerima CO2 saat inspirasi, hal ini
disebut sebagai rebreathing. Kemungkinan penyebab rebreathing diantaranya: 6
Nilai ETCO2 bisa meningkat bertahap akibat dari beberapa hal, misalnya:
Hypoventilation
Peningkatan suhu tubuh
Peningkatan aktifitas metabolisme (demam, sepsis, hipertermi maligna)
Obstruksi airway parsial
absorbsi CO2 eksogen (misalnya selama laparoskopi)
Peningkatan sesaat ETCO2 (pasca pemberian bikarbonat intravena, pelepasan
49
tourniquet ekstremitas, pelepasan cross-clamp pembuluh darah).
Intubasi esophagus
Ventilator tidak tersambung atau tidak bekerja dengan baik
Kerusakan alat kapnograf
Sumbatan pipa ET
Gangguan fisiologis yang berat, misalnya henti jantung atau emboli pulmonal
masif.6
Pemasangan dan pemantauan Central venous pressure (CVP) pada beberapa senter
merupakan hal yang rutin. Meski demikian, pembacaan CVP pada posisi lateral dan dada
terbuka tidaklah dapat diandalkan. CVP bermanfaat dalam pemantauan pasca operasi,
terutama pada kasus dimana membutuhkan pengelolaan cairan secara kritis.5
Seperti halnya CVP, tekanan arteri pulmonal intraoperatif tidak dapat secara cermat
menjadi indicator preload jantung kiri pada posisi lateral dan dada terbuka. Hal ini bisa
terjadi karena tidak dapat diketahui pasti, apakah ujung kateter mengarah ke paru atas
ataupun bawah. Kita dapat meminta bantuan dokter bedah untuk mengkonfirmasi posisi
ujung kateter begitu dada terbuka. Kateter harus ditarik bila ujungnya mengarah pada
50
sisi pembedahan ipsi lateral, sebelum dilakukan penjepitan pembuluh darah (vascular
clamping), karena dapat terbelah. Komplikasi penggunaan kateter pulmonal diantaranya:
aritmia, perdarahan, infark pulmonal.5
RINGKASAN
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart Weiss, Andrew Ochroch. Thoracic Anesthesia. In: David E. Longnecker, David
L. Brown, Mark F. Newman, editors. Anesthesiology. New York: McGraw-Hill, 2008:
1213-38.
2. Morgan G.E, Mikhail M.S, Murray M.J, editors. Clinical Anesthesiology. New York:
McGraw-Hill. 2006: 585-604.
3. Cassorla Lydia, Lee Jae Woo. Patient Positioning and Anesthesia. In: Ronald D Miller,
editor. Miller’s Anesthesia. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2010: 1151-
69.
4. Mark A. Warner. Patient Positioning. In: Barash Paul G, Cullen Bruce F, Stoelting
Robert K, editors. Clinical Anesthesia. Lippincott Williams & Wilkins, 2006: 653-67.
5. Slinger Peter, Campos Javier H. Anesthesia for Thoracic Surgery In: Ronald D Miller,
editor. Miller’s Anesthesia. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2010: 1819-82.
6. Duke James. Anesthesia Secret, 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2006: 153-70.
7. Eskaros Stephen M, Papadakos Peter J, Lachmann Burkhard. Respiratory
monitoring. In: Ronald D Miller, editor. Miller’s Anesthesia. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier, 2010: 1516-68.
52