Anda di halaman 1dari 5

ASKEP FLAIL CHEST

Flail chest adalah area toraks yang “melayang” (flail) oleh sebab adanya fraktur iga
multipel berturutan = 3 iga , dan memiliki garis fraktur = 2 (segmented) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area “flail” yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan
mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan
bergerak keluar pada ekspirasi.
Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim
paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia
yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang
mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan
nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding
dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak
terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang
rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga
yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam
diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen
yang dilembabkan dan resusitasi cairan.
Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-
hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail
Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan.
Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal.
Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup
serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada
penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja
pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan
ventilasi.
Gangguan Mekanika Bernapas pada Flail Chest. Fraktur sternum dengan pergeseran
fragmennya menimbulkan nyeri yang menyebabkan penderita menahan napas sehingga
pernapasan menjadi dangkal. Hal ini diperberat dengan akibat retensi sputum menyebabkan
atelektasis, pneumonia yang menyebabkan gangguan ventilasi, hipoksemia, hiperkarbia dan pada
gilirannya akan menyebabkan insufisiensi pernapasan dan berakhir dengan gagal pernapasan
akut.
Flail sternum disebut juga central flail chest, bila berat akan menyebabkan volume
intratorasik berkurang sehingga mengganggu pengembangan paru, ventilasi menurun
mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia. Gangguan ekspansi paru diakibatkan elastic recoil
ke dalam tak tertahankan sehingga volumenya berkurang. Penekanan ventilasi dan atelektasis
akan menyebabkan terjadinya pintas arteriovenosa (AV) yang memperberat insufisiensi
pernapasan sehingga bila dibiarkan akan berakhir dengan gagal pernapasan akut.
Nyeri hebat juga akan menyebabkan penderita mengurangi gerakan segmen melayang
sambil terus menerus berupaya paksa menarik dan mengeluarkan napas, hal ini terlihat dengan
pernapasan cepat dan dangkal bila dibiarkan akan menyebabkan kelelahan otot-otot pernapasan
dan berakhir dengan gagal pernapasan akut.
Akibat dari atelektasis, pneumonia, pirau A-V sendiri akan memperberat kerja napas, hal ini
ditunjukkan dengan gambaran gas darah memburuk, suatu tanda gagal pernapasan akut
Prognosis. Tulang iga patah pada 2 tempat pada lebih dari 2 iga sehingga ada satu segmen
dinding dada yang tidak ikut pada pernafasan. Pada ekspirasi segmen akan menonjol keluar,
pada inspirasi justru masuk kedalam yang dikenal dengan pernafasan paradoksal
Pathofisiologi. Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh yang
sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan
pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka
pada rongga thorak dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah atau
kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan
luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ. Luka dada dapat
meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma
penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi ( tumpuln ). Luka dada penetrasi
mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi keempatan bagi udara atmosfir
masuk ke dalam permukaan pleura dan mengganggua mekanisme ventilasi normal. Luka dada
penetrasi dapat menjadi kerusakan serius bagi paru, kantung dan struktur thorak lain.
Karakteristik. Gerakan “paradoksal” dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi;
tidak terlihat pada pasien dalam ventilator. Menunjukkan trauma hebat. Biasanya selalu disertai
trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi. Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air
movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan
flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti
melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik
pernapasan secara keseluruhan.
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area “flail”
Trauma hancur pada sternum atau iga dapat berakibat terjadinya pemisahan total dari suatu
bagian dinding dada, sehingga dinding dada tersebut bersifat lebih mobil. Pada setiap gerakan
respirasi, maka fragmen yang mobil tersebut akan terhisap ke arah dalam. Pengembangan normal
rongga pleura tidak dapat lagi berlangsung, sehingga pertukaran gas respiratorik yang efektif
sangat terbatas.
Manifestasi klinis. Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan
terbatasnya gerak pengembangan dinding dada, deformitas, dan gerakan paradoksal flail chest
yang ada akan tertutupi. Pada mulanya, penderita mampu mengadakan kompensasi terhadap
pengurangan cadangan respirasinya. Namun bila terjadi penimbunan secret-sekret dan penurunan
daya pengembangan paru-paru akan terjadi anoksia berat, hiperkapnea, dan akhirnya kolaps.
Penatalaksanaan. Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda
kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD berkala dan takipneu pain control. Stabilisasi area flail chest (memasukkan ke
ventilator, fiksasi internal melalui operasi) bronchial toilet fisioterapi agresif tindakan
bronkoskopi untuk bronchial toilet.
Tindakan stabilisasi yang bersifat sementara terhadap dinding dada akan sangat menolong
penderita, yaitu dengan menggunakan towl-clip traction atau dengan menyatukan fragmen-
fragmen yang terpisah dengan pembedahan. Takipnea, hipoksia, dan hiperkarbia merupakan
indikasi untuk intubasi endotrakeal dan ventilasi dgn tekanan positif.
Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
2. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan
untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
terhadap trauma.
Intervensi Keperawatan
1. Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive, Mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
· Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi
yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin. R/ Meningkatkan inspirasi maksimal,
meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
· Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda
vital. R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress
fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
· Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan. R/
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana teraupetik.
· Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. R/
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
teraupetik.
· Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan
lebih lambat dan dalam. R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
· Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam:
2. Kriteria hasil : Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang
meningkatkan/menurunkan nyeri. Pasien tidak gelisah.
Intervensi :
· Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. R/
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
· Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat
menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase. R/ Akan melancarkan
peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan
mengurangi nyerinya.
· Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut. R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal
yang menyenangkan.
· Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal
waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil. R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan
sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
· Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri
akan berlangsung. R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan
dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
· Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik. R/ Analgetik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri akan berkurang.
· Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik
untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 – 2
hari. R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah
kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
3. Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. luka bersih tidak lembab dan tidak
kotor. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
· Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka. R/ mengetahui sejauh mana
perkembangan luka mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
· Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka. R/ mengidentifikasi tingkat
keparahan luka akan mempermudah intervensi.
· Pantau peningkatan suhu tubuh. R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
· Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril,
gunakan plester kertas. R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
· Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement. R/ agar
benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainnya.
· Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan. R/ balutan dapat diganti satu atau dua
kali sehari tergantung kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
· Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi. R/ antibiotik berguna untuk mematikan
mikroorganisme pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
4. Kriteria hasil : penampilan yang seimbang. melakukan pergerakkan dan perpindahan.
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat Bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
· Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan. R/ mengidentifikasi
masalah, memudahkan intervensi.
· Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas. R/ mempengaruhi penilaian
terhadap kemampuan aktivitas apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
· Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu. R/ menilai batasan kemampuan
aktivitas optimal.
· Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif. R/ mempertahankan
/meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
· Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi. R/ sebagai suaatu sumber untuk
mengembangkan perencanaan dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
5. Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. luka bersih tidak lembab dan tidak
kotor. Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi :
· Pantau tanda-tanda vital. R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu tubuh
meningkat.
· Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik. R/ mengendalikan penyebaran
mikroorganisme patogen.
· Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll. R/ untuk
mengurangi risiko infeksi nosokomial.
· Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit. R/
penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal bisa terjadi akibat terjadinya proses
infeksi.
· Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. R/ antibiotik mencegah perkembangan
mikroorganisme patogen.

Anda mungkin juga menyukai