Anda di halaman 1dari 19

Paper Etika Bisnis Islam

“Pandangan Islam tentang Pemasaran”

Oleh :
Tryas Indah Parasati 11311306
Indah Pangestu Dwi Wulansari 11311308
Rr Putri Karisma Dewi 11311309
Fahrunnisa Lu’luatul Palupi 11311316
Vera Destiana Wulandari 11311325

Mata Kuliah :
Etika Bisnis Islam

Dosen Pengampu :
Mohammad Bekti Hendrie Anto S.E., M.Sc.

Kelas :
C

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
YOGYAKARTA
2014
I. Pandangan Islam tentang Pemasaran

Islam adalah agama yang sangat luar biasa. Islam agama yang mampu
menyeimbangkan dunia dan akhirat; antara hablum minallah (hubungan dengan Allah)
dan hablum minannas (hubungan sesama manusia). Ajaran Islam lengkap karena Islam
agama terakhir sehingga harus mampu memecahkan berbagai masalah besar manusia.
Islam menghalalkan umatnya berniaga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seorang saudagar yang sangat terpandang pada zamannya. Sejak muda beliau
dikenal sebagai pedagang jujur. “Sepanjang perjalanan sejarah, kaum Muslimin
merupakan simbol sebuah amanah dan di bidang perdagangan, mereka berjalan di atas
adab Islamiah,” ungkap Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam Ensiklopedi
Adab Islam Menurut Alquran dan Assunnah. Berdagang penting dalam Islam. Begitu
pentingnya, hingga Allah Subhanahu wa ta’ala menunjuk Muhammad sebagai seorang
pedagang sangat sukses sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Ini menunjukkan Allah
Subhanahu wa ta’ala mengajarkan dengan kejujuran yang dilakukan oleh Muhammad
bin Abdullah saat beliau menjadi pedagang bahwa dagangnya tidak merugi, namun
malah menjadikan beliau pengusaha sukses. Oleh karena itu, umat Islam (khususnya
pedagang) hendaknya mencontoh beliau saat beliau berdagang.

Dalam berdagang, pemasaran adalah sebuah disiplin bisnis strategi yang


mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari suatu inisiator ke
stakeholdernya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-
prinsip muamalah dalam islam. Menurut prinsip syariah, kegiatan pemasaran harus
dilandasi semangat beribadah kepada Allah SWT, berusaha semaksimal mungkin untuk
kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan golongan apalagi kepentingan sendiri.
Menurut prinsip syariah, kegiatan pemasaran harus dilandasi semangat beribadah
kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, berusaha semaksimal mungkin untuk kesejahteraan
bersama, bukan untuk kepentingan golongan apalagi kepentingan sendiri. Islam agama
yang sangat luar biasa. Islam agama yang lengkap, yang berarti mengurusi semua hal
dalam hidup manusia. Islam agama yang mampu menyeimbangkan dunia dan
akhirat; antara hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum
minannas (hubungan sesama manusia). Ajaran Islam lengkap karena Islam agama
terakhir sehingga harus mampu memecahkan berbagai masalah besar manusia. Islam
menghalalkan umatnya berniaga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seorang saudagar – sangat terpandang pada zamannya. Sejak muda beliau
dikenal sebagai pedagang jujur. “Sepanjang perjalanan sejarah, kaum Muslimin
merupakan simbol sebuah amanah dan di bidang perdagangan, mereka berjalan di atas
adab islamiah,” ungkap Syekh Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada dalam Ensiklopedi
Adab Islam Menurut Alquran dan Assunnah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan pada umatnya untuk


berdagang dengan menjunjung tinggi etika keislaman. Dalam beraktivitas ekonomi,
umat Islam dilarang melakukan tindakan bathil. Namun harus melakukan kegiatan
ekonomi yang dilakukan saling ridho, sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa: 29) Berdagang penting
dalam Islam. Begitu pentingnya, hingga Allah Subhanahu wa ta’ala menunjuk
Muhammad sebagai seorang pedagang sangat sukses sebelum beliau diangkat menjadi
nabi. Ini menunjukkan Allah Subhanahu wa ta’ala mengajarkan dengan kejujuran yang
dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah saat beliau menjadi pedagang bahwa
dagangnya tidak merugi, namun malah menjadikan beliau pengusaha sukses. Oleh
karena itu, umat Islam (khususnya pedagang) hendaknya mencontoh beliau saat beliau
berdagang.

Dalam berdagang, pemasaran adalah disipilin bisnis strategi yang mengarahkan


proses penciptaan, penawaran dan perubahan values dari satu inisiator
kepada stakeholder-nya. Menurut prinsip syariah, kegiatan pemasaran harus dilandasi
semangat beribadah kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, berusaha semaksimal mungkin
untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan golongan apalagi kepentingan
sendiri. Al-Quran juga mengatur kegiatan kehidupan atau muamalah. Juga etika
perdagangan, penjualan atau pemasaran. Salah satu ayat Al-Quran yang dipedomani
sebagai etika marketing adalah QS. Al-Baqarah. Surat kedua dalam Al-Quran ini terdiri
atas 286 ayat, 6.221 kata dan 25.500 huruf, dan tergolong surat Madaniyah. Sebagian
besar ayat dalam surat ini diturunkan pada permulaan hijrah, kecuali ayat 281 yang
diturunkan di Mina saat peristiwa Haji Wada’. Surat ini yang terpanjang dalam Al-
Quran. Dinamakan Al-Baqarah yang artinya sapi betina karena di dalamnya terdapat
kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67-
74).

Salah satu ayat Al-Quran yang dipedomani sebagai etika marketing adalah QS.
Al-Baqarah. Ayat 1-2 Al-Baqarah berarti: “Kitab ini (Al-Quran) tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”Ayat tersebut sangat relevan untuk
dipedomani dalam pelaksanaan tugas marketing, sebab marketing merupakan bagian
sangat penting dari mesin perusahaan. Dari ayat tersebut dapat kita ketahui:

1) Perusahaan harus dapat menjamin produknya. Jaminan yang dimaksud


mencakup dua aspek material, yaitu mutu bahan, mutu pengolahan, dan mutu
penyajian; aspek non material mencakup kehalalan dan keislaman dalam
penyajian.

2) Manfaat produk. Produk bermanfaat apabila proses produksinya benar dan baik.
Ada pun metode yang dapat digunakan agar proses produksi benar dan baik,
menurut Al-Quran, sesuai petunjuk dalam QS. Al-An’am: 143, yang artinya,
“Beritahukanlah kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-
orang yang benar.”

3) Sasaran atau customer dari produk yang dimiliki oleh perusahaan. Makanan yang
halal dan baik yang menjadi darah dan daging manusia akan membuat kita
menjadi taat kepada Allah. Sebab konsumsi yang dapat menghantarkan manusia
kepada ketakwaan harus memenuhi tiga syarat:

(a) Materi yang halal


(b) Proses pengolahan yang bersih (thaharah), dan
(c) Penyajian yang islami
Pada dasarnya ada tiga unsur etika yang harus dilaksanakan oleh seorang
produsen Muslim. Yakni bersifat jujur, amanat dan nasihat. Jujur artinya tidak ada
unsur penipuan. Misal dalam promosi/harga. Amanat dan nasihat bahwa seorang
produsen dipercaya memberi yang terbaik dalam produksinya, sehingga membawa
kebaikan dalam penggunaannya. Saat ini semakin banyak masyarakat dunia yang sadar
tentang kegiatan bermuamalah secara Islam. Salah satu buktinya adalah pesatnya
perkembangan minat masyarakat dunia terhadap ekonomi Islam dalam dua dekade
terakhir, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia juga
mengalami hal yang sama. Hal ini dibuktikan dengan semakin bermunculan berbagai
produk syariah (Islam). Saat ini perkembangan yang menyolok adalah produk yang
bersentuhan dengan bidang lembaga keuangan. Namun pesatnya perkembangan produk
ekonomi Islam belum bisa diimbangi oleh pesatnya perkembangan dari sisi keilmuan
yang lebih luas. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus, akan terjadi ketimpangan
perkembangan ekonomi Islam ke depan. Untuk itu pengembangan ekonomi Islam dari
sisi keilmuan menjadi hal mutlak, untuk menjadi penyeimbang pesatnya perkembangan
yang terjadi saat ini. Pemasaran adalah suatu aktivitas yang selalu dikaitkan dengan
perdagangan. Jika meneladani Rasulullah saat melakukan perdagangan, maka beliau
sangat mengedepankan adab dan etika dagang yang luar biasa.

Etika dan adab perdagangan inilah yang dapat disebut sebagai strategi dalam
berdagang. Oleh karena itu, Seykh Sayyid Nada membeberkan sejumlah adab yang
harus dijunjung pedagang Muslim dalam menjalankan aktivitas jual-eli, berdasarkan
hadis-hadis Rasulullah, sebagai berikut:

1. Tidak menjual sesuatu yang haram. Umat Islam dilarang menjual sesuatu
yang haram seperti minuman keras dan memabukkan, narkotika dan barang-
barang yang diharamkan Allah Subhanahu wa ta’ala. “Hasil penjualan barang-
barang itu hukumnya haram dan kotor,”

2. Tidak melakukan sistem perdagangan terlarang. Contohnya menjual yang


tidak dimiliki. Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kamu
menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” (HR Ahmad, Abu Daud, an-
Nasa’i). Selain itu Islam juga melarang umatnya menjual buah-buahan yang
belum jelas hasilnya serta sistem perdagangan terlarang lainnya.

3. Tidak terlalu banyak mengambil untung.

4. Tidak membiasakan bersumpah ketika berdagang. Hal ini sesuai dengan


hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kalian banyak
bersumpah ketika berdagang, sebab cara seperti itu melariskan dagangan lalu
menghilangkan keberkahannya.” (HR Muslim)

5. Tidak berbohong ketika berdagang. Salah satu perbuatan berbohong adalah


menjual barang yang cacat namun tidak diberitahukan kepada pembelinya.

6. Penjual harus melebihkan timbangan. Seorang pedagang sangat dilarang


mengurangi timbangan.
7. Pemaaf, mempermudah dan lemah lembut dalam berjual beli.

8. Tidak boleh memakan dan memonopoli barang dagangan tertentu. Sabda


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seorang menimbun barang
melainkan pelaku maksiat.” (HR Muslim). Menurut prinsip syariah, kegiatan
pemasaran harus dilandasi semangat beribadah kepada Tuhan Sang Maha
Pencipta, berusaha semaksimal mungkin untuk kesejahteraan bersama, bukan
untuk kepentingan golongan apalagi kepentingan sendiri.

Etika Pemasaran dalam Islam

Dewasa ini sering kita jumpai cara pemasaran yang tidak etis, curang dan tidak
professional. Kiranya perlu dikaji bagaimana akhlak kita dalam kegiatan ekonomi
secara keseluruhan. Atau lebih khusus lagi akhlak dalam pemasaran kepada masyarakat
dari sudut pandangan Islam. Kegiatan pemasaran seharusnya dikembalikan pada
karakteristik yang sebenarnya. Yakni religius, beretika, realistis dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan. Inilah yang dinamakan marketing syariah, dan inilah konsep
terbaik marketing untuk hari ini dan masa depan. Prinsip marketing yang berakhlak
seharusnya kita terapkan. Apalagi nilai-nilai akhlak, moral dan etika sudah diabaikan.
Sangat dikhawatirkan bila menjadi kultur masyarakat. Perpektif pemasaran dalam Islam
adalah ekonomi Rabbani (divinity), realistis, humanis dan keseimbangan. Inilah yang
membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional.
Marketing menurut Islam memiliki nilai dan karakteristik yang menarik. Pemasaran
syariah meyakini, perbuatan seseorang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
Selain itu, marketingsyariah mengutamakan nilai-nilai akhlak dan etika moral dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, marketing syariah menjadi penting bagi para tenaga
pemasaran untuk melakukan penetrasi pasar.

Dalam Islam terdapat sembilan macam etika (akhlak) yang harus dimiliki
seorang tenaga pemasaran. Yaitu:

(1) Memiliki kepribadian spiritual (taqwa)


(2) Berkepribadian baik dan simpatik (shiddiq)
(3) Berlaku adil dalam berbisnis (al-’adl)
(4) Melayani nasabah dengan rendah hati (khitmah)
(5) Selalu menepati janji dan tidak curang (tahfif)
(6) Jujur dan terpercaya (amanah)
(7) Tidak suka berburuk sangka
(8) Tidak suka menjelek-jelekkan; dan
(9) Tidak melakukan suap (risywah).

Selain sembilan etika tersebut, marketer syariah harus menghindari hal-hal


sebagai berikut:

(1) Tidak adil dalam penentuan tarif dan uang pertanggungan


(2) Melakukan transaksi terhadap produk yang mengandung unsur maisar,
gharar, dan riba maisar; transaksi tadlis
(3) Khianat atau tidak menepati janji
(4) Menimbun barang untuk menaikkan harga
(5) Menjual barang hasil curian dan korupsi
(6)Sering melakukan sumpah palsu atau sering berdusta
(7) Melakukan penekanan dan pemaksaan terhadap pelanggan
(8) Mempermainkan harga
(9) Mematikan pedagang kecil
(10) Melakukan monopoli’s rent seeking atau ikhtikar
(11) Tallaqi rukban
(12) Melakukan suap atau sogok untuk melancarkan kegiatan bisnis (riswah); dan
(13) Melakukan tindakan korupsi ataupun money laundry.

Jika para pemasar menjalankan aktivitas pemasaran yang diperintahkan dan


meninggalkan larangan yang dilarang, pemasaran tersebut menjadi suatu aktivitas
diperbolehkan dalam Islam. Oleh karena itu, dalam perspektif syariah pemasaran
adalah segala aktivitas yang dijalankan dalam kegiatan bisnis berbentuk kegiatan
penciptaan nilai (value creating activities) yang memungkinkan siapa pun yang
melakukannya bertumbuh serta mendayagunakan kemanfaatannya yang dilandasi atas
kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan keikhlasan sesuai dengan proses yang berprinsip
pada akad bermuamalah islami atau perjanjian transaksi bisnis dalam Islam.

Pemasaran adalah suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompok
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak
lain. Pemasaran dalam Islam adalah bentuk muamalah yang dibenarkan dalam Islam,
sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara dari hal-hal terlarang oleh
ketentuan syariah.

Syariah marketing adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan


proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari suatu inisiator kepada
stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-
prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam (Kertajaya dan Sula, 2006:26). Hal ini berarti
bahwa dalam syariah marketing, seluruh proses, baik proses penciptaan, proses
penawaran, maupun proses perubahan nilai (value), tidak boleh ada hal-hal yang
bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah yang Islami. Sepanjang hal
tersebut dapat dijamin, dan penyimpangan prinsip-prinsip muamalah Islami tidak terjadi
dalam suatu transaksi apapun dalam pemasaran dapat dibolehkan.
Islam memandang bahwa pemasaran sebagai jual beli yang harus dipajang dan
ditunjukkan keistimewaan-keistimewaannya dan kelemahan-kelemahan dari barang
tersebut agar pihak lain tertarik membelinya. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an, yang
artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta
mereka dengan memerikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubah:111) Dalam sebuah
hadits juga disebutkan: “Ketahuilah bahwa surga adalah barang dagangan Allah, dan
ketahuilah bahwa barang-barang dari surga mahal harganya.” (HR. at-Tirmidzi).
Ada empat karakteristik syariah marketing yang dapat menjadi panduan bagi
para pemasar diantaranya:

1. Teistis (rabbaniyyah): jiwa seorang syariah marketer meyakini bahwa hukum-


hukum syariat yang teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah yang paling adil,
paling sempurna, paling selaras dengan segala bentuk kebaikan, paling dapat
mencegah segala bentuk kerusakan, paling mampu mewujudkan kebenaran,
memusnahkan kebatilan dan menyebarluaskan kemaslahatan. Salah satu ciri
khas syariah marketing yang tidak dimiliki dalam pemasaran konvensional yang
dikenal selama ini adalah sifat yang religius (dinniyah). Kondisi ini tercipta
tidak karena keterpaksaan, tetapi berangkat dari kesadaran akan nilai-nilai
religius, yang dipandang penting dan mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak
terperosok kedalam perbuatan yang dapat merugikan orang lain.Jiwa seorang
syariah marketer menyakini bahwa hukum-hukum syariat yang teistis atau
bersifat ketuhanan ini adalah hukum yang paling sempurna. seorang syariah
marketer meyakini bahwa Allah swt. selalu dekat dan mengawasinya ketika dia
sedang melaksanakan segala macam bentuk bisnis. Dia pun yakin bahwa Allah
swt. akan meminta pertanggung jawaban darinya atas pelaksanaan syariat itu
pada hari ketika semua dikumpulkan untuk diperlihatkan amal-amalnya (di hari
kiamat).

2. Etis (akhlaqiyyah): Sifat etis ini sebenarnya merupakan turunan dari sifat teistis.
Dengan demikian, syariah marketing adalah konsep pemasaran yang sangat
mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya.
Karena nilai etika adalah nilai yang bersifat universal, yang diajarkan oleh
semua agama. Untuk mencapai tujuan tersebut, Allah swt. memberikan petunjuk
melalui para rasul-Nya yang meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia,
baik akidah, akhlak (moral, etika), maupun syariah. Dua komponen pertama,
akidah dan akhlak bersifat konstan, keduanya tidak mengalami perubahan
apapun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa
berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban manusia, yang berbeda-
beda sesuai dengan rasulnya masing-masing.

3. Realistis (al-waqiyyah): Syariah marketing bukanlah konsep yang eksklusif,


fanatis, anti-modernitas, dan kaku. Syariah marketing adalah konsep pemasaran
yang fleksibel, sebagaimana keluwesan syariah Islamiyah yang
melandasinya.Syariah marketer bukanlah berarti para pemasar itu harus
berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena dianggap
merupakan simbol masyarakat barat. Syariah marketer adalah para pemasar
profesional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apapun model
atau gaya berpakaian yang dikenakannya. Mereka bekerja dengan profesional
dan mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral, dan kejujuran
dalam segala aktivitas pemasarannya.

4. Humanistis (insaniyyah): Keistimewaan syariah marketer yang lain adalah


sifatnya yang humanistis universal, yaitu bahwa syariah diciptakan untuk
manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara.
Syariat Iislam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa
menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan dan status. Hal inilah yang membuat
syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariah humanistis universal.
Humanistis (Al-insaniyyah) adalah bahwa syariah diciptakan untuk manusia
agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta
sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Dengan
memiliki nilai humanistis ia menjadi manusia yang terkontrol, dan seimbang
(tawazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk
meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan menjadi manusia yang
bahagia diatas penderitaan orang lain atau manusia yang kering dengan
kepedulian sosial. Syariat Islam adalah syariah humanistis (insaniyyah). Syariat
Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan
ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah
memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis universal.

Perspektif pemasaran dalam Islam adalah ekonomi Rabbani (divinity), realistis,


humanis dan keseimbangan. Marketing menurut Islam memiliki nilai dan karakteristik
yang menarik. Pemasaran syariah meyakini, perbuatan seseorang akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak. Selain itu, marketing syariah mengutamakan nilai-nilai
akhlak dan etika moral dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, marketing syariah
menjadi penting bagi para tenaga pemasaran untuk melakukan penetrasi pasar.

Pelaksanaan rencana pemasaran dalam Islam tergantung pada prinsip syarikat


(kerjasama) yang telah diakui secara universal. Hal ini berarti pelaksanaan perencanaan
dilaksanakan melalui partisipasi sektor pemerintah dan swasta atas dasar kemitraan.
Yakni terlaksana melalui prinsip abadi mudharabah, yakni tenaga kerja dan pemilik
modal dapat disatukan sebagai mitra. Dalam arti, dengan mempraktekkan prinsip
mudharabah dan dengan mengkombinasikan berbagai unit produksi, proyek industri,
perdagangan dan pertanian dalam kerangka perencanaan dapat diterapkan atas dasar
prinsip tersebut. Pendapatan yang dihasilkan oleh usaha seperti itu dapat dibagi secara
sebanding setelah dikurangi segala pengeluaran yang sah.

Dalam sistem perencanaan Islam, kemungkinan rugi sangat kecil karena


merupakan hasil kerjasama antara sektor pemerintahan dan swasta. Investasi yang sehat
akan mendorong kelancaran arus kemajuan ekonomi menjadi lebih banyak. Dalam
Islam, bukanlah suatu larangan bila seorang hamba mempunyai rencana atau keinginan
untuk berhasil dalam usahanya. Namun dengan syarat, rencana itu tidak bertentangan
dengan ajaran (syariat) Islam. Ditandaskan dalam Al-Quran, yang artinya, “Atau
apakah manusia akan mendapat segala yang diciptakannya? Tidak, maka hanya bagi
Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS. An-Najm: 24-25). Didalam
kegiatan perdagangan (muamalah), Islam melarang adanya unsur manipulasi
(penipuan), sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh MA. Mannan
(1997:296) yang artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari banyak bersumpah dalam penjualan,
karena sesungguhnya ía memanipulasi (iklan dagang) kemudian menghilangkan
keberkahan. ”(HR. Muslim, An-Nasa’i dan lhnu Majah).

Islam menganjurkan pada umatnya dalam memasarkan atau mempromosikan


produk dan menetapkan harga tidak boleh berbohong harus berkata jujur (benar). Oleh
sebab itu, salah satu karakter berdagang yang terpenting dan diridhoi oleh Allah SWT
adalah kebenaran. Sebagaimana dituangkan dalam hadits (Qardhawi, 1997:175) yang
artinya: Pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para Nabi, orang-
orang benar (siddiqin), dan para syuhada’ di Surga. (HR. Turmudzi). Pemasaran
adalah suatu aktivitas yang selalu dikaitkan dengan perdagangan. Jika meneladani
Rasulullah saat melakukan perdagangan, maka beliau sangat mengedepankan adab dan
etika dagang yang luar biasa. Etika dan adab perdagangan inilah yang dapat disebut
sebagai strategi dalam berdagang.

Konsep Syariah Marketing

Syariah Marketing merupakan solusi terhadap kebutuhan pasar yang memimpikan


penerapan bisnis yang sesuai dengan nilai dan kaidah agama. Ada empat hal yang
menjadi Key Success Factors (KSF) dalam mengelola suatu bisnis, agar mendapat
celupan nilai-nilai moral yang tinggi. Untuk memudahkan mengingat, kita singkat
dengan SAFT, yaitu:

1) Shiddiq (benar dan jujur), jika seorang pemimpin senantiasa berperilaku benar
dan jujur dalam sepanjang kepemimpinannya, jika seorang pemasar sifat shiddiq
haruslah menjiwai seluruh perilakunya dalam melakukan pemasaran, dalam
berhubungan dengan pelanggan, dalam bertransaksi dengan nasabah, dan dalam
membuat perjanjian dengan mitra bisnisnya.

2) Amanah (terpercaya, kredibel) artinya, dapat dipercaya, bertanggung jawab,


dan kredibel, juga bermakna keinginan untuk untuk memenuhi sesuatu sesuai dengan
ketentuan. Diantara nilai yang terkait dengan kejujuran dan melengkapinya adalah
amanah.

3) Fathanah (cerdas), dapat diartikan sebagai intelektual, kecerdikan atau


kebijaksanaan. Pemimpin yang fathanah adalah pemimpin yang memahami, mengerti
dan menghayati secara mendalam segala hal yang menjadi tugas dan kewajibannya.

4) Thabligh (komunikatif), artinya komunikatif dan argumentatif. Orang yang


memiliki sifat ini akan menyampaikannya dengan benar dan dengan tutur kata yang
tepat (bi al-hikmah). Berbicara dengan orang lain dengan sesuatu yang mudah
dipahaminya, berdiskusi dan melakukan presentasi bisnis dengan bahasa yang mudah
dipahami sehingga orang tersebut mudah memahami pesan bisnis yang ingin kita
sampaikan.

Keempat KSF ini merupakan sifat-sifat Nabi Muhammad Saw yang sudah sangat
dikenal tapi masih jarang diimplementasikan khususnya dalam dunia bisnis. Sejalan
dengan sifat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berbisnis, ada 3
konsep dasar dalam syariah marketing ini yakni :

a. Strategi untuk mind-share, yang berarti cara berfikir secara kreatif, inovatif
dan bijaksana dalam mencari ide untuk memasarkan suatu produk atau jasa.

b. Taktik untuk market share, yakni bagaimana usaha kita dalam mempengaruhi
sasaran pasar melalui tulisan, gambar atau ucapan yang baik dan santun.
c. Value to heart, pemasaran yang dilandaskan pada nilai-nilai agama dan
dilaksanakan dengan sepenuh hati dalam segala transaksi hingga mampu memuaskan
konsumen dan stake holder.

Selain 3 Konsep dasar dalam Marketing Syariah, terdapat karakteristik dalam


marketing Islami ini, antara lain:

1. Mencintai konsumen. Konsumen adalah seorang raja yang harus dihormati.


Berdasarkan konsep syariah, seorang marketer harus mencintai konsumen sebagaimana
layaknya mencintai diri sendiri. Layani calon konsumen dan pelanggan dengan sepenuh
hati.

2. Jadikan Jujur dan Transparan sebuah brand. Saat memasarkan sebuah barang,
ungkapkanlah kelemahan serta keuntungan dari produk tersebut. Dalam marketing
konvensional hanya mengungkapkan sisi kelebihan produk sedangkan kelemahan
produk tidak ditampilkan. Pemasaran jenis ini akan membahayakan konsumen sebagai
pemakai yang pada akhirnya akan berdampak pada citra buruk bagi perusahaan. Jadi
orang membeli karena butuh dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan, bukan karena
diskonnya.

3. Segmentasi Pasar Sistemnya Nabi. Berikan good value untuk barang yang
dijual. Rasulullah mengajarkan segmentasi, barang bagus dijual dengan harga bagus
(tinggi) dan barang dengan kualitas lebih rendah dijual dengan harga yang lebih rendah.

4. Penuhi Janji. Nilai sebuah produk harus disesuaikan dengan apa yang
dijanjikan. Hal ini akan menjamin kepuasan pelanggan.

5. Menjaga Keseimbangan Alam. Orang berbisnis itu harus menjaga kelangsungan


alam, tidak merusak lingkungan. Berbisnis juga ditujukan untuk menolong manusia
yang miskin dan bukan menghasilkan keuntungan untuk segelintir orang saja.

Perbandingan antara pemasaran secara Islam dan konvensional

Islam Konvensional
Pemasaran adalah sebuah disiplin bisnis
Pemasaran adalah suatu proses dan
strategi yang mengarahkan proses manajeral yang membuat individu atau
penciptaan, penawaran dan perubahankelompok mendapatkan apa yang mereka
value dari suatu inisiator ke
butuhkan dan inginkan dengan
stakeholdernya, yang dalam keseluruhan
menciptakan, menawarkan dan
prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-
mempertukarkan produk yang bernilai
prinsip muamalah dalam islam. kepada pihak lain atau segala kegiatan
yang menyangkut penyampaian produk
atau jasa mulai dari produsen sampai
konsumen.
Marketer syariah tidak hanya Marketer konvensional lebih
mengutamakan keuntungan, melainkan mengutamakan target dan keuntungan
nilai kejujuran dan keadilan juga besar bagi perusahaan
diutamakan karena marketer syariah tidak
hanya bertanggung jawab pada perusahaan
dan pelanggan tetapi juga bertanggung
jawab pada Allah SWT.
Seorang pemasar syari’ah sangat
memegang teguh etika dalam melakukan
pemasaran kepada calon konsumennya.

II. Kasus tentang Multilevel Marketing

Multilevel marketing adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau
tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line
(tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua
level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai
down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini
memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski
masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-
beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang
lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus
menjadi member (anggota jaringan), ada juga yang diistilahkan dengan sebutan
distributor, kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir
membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian
produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian
produk.

Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu
perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus
yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak
langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member,
sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut.
Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya
bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan
harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member. Namun, ada juga
point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung
maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran), sebagaimana istilah mereka yang
dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di
dalamnya pembelian produk.

Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis
modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen
maupun perusahaan MLM).Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam
iklan, Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar
(Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja. Sistem marketing MLM
yang lahir pada tahun 1939 merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan
masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat
konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial
dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan
hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan. (Ahmad Basyuni Lubis, Al-
Iqtishad, November 2000).

Secara global sistem bisnis MLM dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah
yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member (anggota) dari perusahaan
yang melakukan praktek MLM. Adapun secara terperinci bisnis MLM dilakukan
dengan cara sebagai berikut:

1) Mula-mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi


member, dengan cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk
perusahaan dengan harga tertentu.

2) Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu
formulir keanggotaan (member) dari perusahaan.

3) Sesudah menjadi member maka tugas berikutnya adalah mencari member-


member baru dengan cara seperti diatas, yakni membeli produk perusahaan dan
mengisi formulir keanggotaan.

4) Para member baru juga bertugas mencari calon member-member baru lagi dengan
cara seperti diatas yakni membeli produk perusahaan dan mengisi formulir
keanggotaan.

5) Jika member mampu menjaring member-member yang banyak, maka ia akan


mendapat bonus dari perusahaan. Semakin banyak member yang dapat dijaring,
maka semakin banyak pula bonus yang didapatkan karena perusahaan merasa
diuntungkan oleh banyaknya member yang sekaligus mennjadi konsumen paket
produk perusahaan.

6) Dengan adanya para member baru yang sekaligus menjadi konsumen produk
perusahaan, maka member yang berada pada level pertama, kedua dan seterusnya
akan selalu mendapatkan bonus secara estafet dari perusahaan, karena perusahaan
merasa diuntungkan dengan adanya member-member baru tersebut.

Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa multilevel marketing sebagai bisnis


pemasaran tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu;
bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau
horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup
dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa
berupa :

(1) potongan harga


(2) bonus pembelian langsung
(3) bonus jaringan, istilah lainnya komisi kepemimpinan.

Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir
semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya
bisnis MLM ataupun tidak. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan
karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya.
Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah
berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan
tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran),
istilah lainnya sponsor, promotor, namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga
merupakan referee (pemakelaran).

Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi:
(1) pembeli langsung
(2) makelar

Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi


pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau
pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara, melalui perekrutan
yang telah dia lakukan, bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk
perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan
multilevel marketing, maupun refereal business.

Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta
pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang
dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang
secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang
sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan
bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan
melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Tidak semua orang Indonesia terbuka atau menerima terhadap bisnis MLM, hal
ini disebabkan oleh:

1) Sebagian masyarakat kita pernah tertipu dengan money game yang berkedok
MLM, walaupun ada produk yang dipasarkan, sehingga trauma/tidak percaya lagi
dengan MLM.
2) Janji-janji yang terlalu berlebihan yang tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan.
3) Banyaknya pemain-pemain MLM yang bersifat kutu loncat sehingga tidak
memberikan contoh yang baik, mudah menjelekkan perusahaan yang pernah
diikutinya.
4) Adanya perusahaan MLM yang tidak bertanggung-jawab dalam hal pembayaran
bonus member dengan berbagai alasan.
5) Kurangnya sosialisasi di lapangan/kurangnya seminar-seminar terbuka untuk
umum mengenai enterpreunership MLM.
6) Kurang berperannya Asosiasi yang menaungi Industri MLM seperti APLI (tidak
adanya kegiatan-kegiatan yang terbuka untuk masyarakat umum dan kurangnya
penghargaan-penghargaan terhadap pelaku MLM, baik member maupun
perusahaan).
7) Pemerintah kurang memberikan perhatian khusus untuk industri MLM dan tidak
tegasnya pemerintah memberantas praktek money games yang sangat merusak
moral/mental masyarakat dengan menjanjikan cepat menjadi kaya tanpa kerja
keras.
8) Kurangnya media MLM yang berperan sebagai sarana Informasi maupun edukasi.

III. Pembahasan Kasus Multilevel Marketing

Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang
hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-
ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum dalam
muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya). Islam mempunyai
prinsip-prinsip tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur
dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap
salah satu pihak). Oleh karena itu, sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi
dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas.

Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur, yaitu

(1) Maysir (judi)


(2) Gharar (penipuan)
(3) Haram
(4) Riba (bunga)
(5) Bathil.

Ustadz Dr. Ahmad Zain An Najah, MA. Pengasuh kajian tersebut menyimpulkan
bahwa Sistem MLM secara konvensional yang banyak ditemui di masyarakat
hukumnya haram dengan lima alasan yang beliau kemukakan. Walaupun, menurut
beliau masih banyak lagi alasan yang lain. Namun enam alasan tersebut sudah
mencukupi untuk menyimpulkan hukumnya. Menurut Doktor alumnus Al-Azhar Kairo
ini, boleh atau tidaknya penjualan dengan MLM ditentukan oleh system yang
dipraktekkan. Sebatas lebel syariah tidak menentukan kehalalan. Karenanya setiap
system pemasaran dan penjualan barang dengan system MLM yang berlabel syariah
perlu dikaji secara tersendiri dan khusus. Beragamnya bentuk bisnis MLM membuat
sulit untuk menghukumi secara umum, namun ada beberapa sistem MLM yang jelas
keharamannya, yaitu menggunakan sistem sebagai berikut:

1) Menjual barang-barang yang diperjualbelikan dalam sistem MLM dengan harga


yang jauh lebih tinggi dari harga wajar, maka hukumnya haram karena secara
tidak langsung pihak perusahaan telah menambahkan harga yang dibebankan
kepada pihak pembeli sebagi sharing modal dalam akad syirkah mengingat
pembeli sekaligus akan menjadi member perusahaan yang apabila ia ikut
memasarkan akan mendapat keuntungan estafet. Dengan demikian praktek
perdagangan MLM mengandung unsur kesamaran atau penipuan karena terjadi
kekaburan antara akad jual beli, syirkah dan mudlarabah, karena pihak pembeli
sesudah menjadi member juga berfungsi sebagai pekerja yang akan memasarkan
produk perusahaan kepada calon pembeli atau member baru. (Lihat Fiqh
Indonesia hal: 288)

2) Calon anggota mendaftar keperusahaan MLM dengan membayar uang tertentu,


dengan ketentuan dia harus membeli produk perusahaan baik untuk dijual lagi
atau tidak dengan ketentuan yang telah ditetapkan untuk bisa mendapatkan point
atau bonus. Dan apabila tidak bisa mencapai target tersebut maka keanggotaannya
akan dicabut dan uangnya pun hangus. Ini diharamkan karena unsur ghoror
(spekulasi) nya sangat jelas dan ada unsur kedhaliman terhadap anggota.

3) Calon anggota mendaftar dengan membayar uang tertentu, tapi tidak ada
keharusan untuk membeli atau menjual produk perusahaan, dia hanya
berkewajiban mencari anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membayar
uang pendaftaran. Semakin banyak anggota maka akan semakin banyak
bonusnya. Ini adalah bentuk riba karena menaruh uang diperusahaan tersebut
kemudian mendapatkan hasil yang lebih banyak.

4) Mirip dengan yang sebelumnya yaitu perusahaan MLM yang melakukan kegiatan
menjaring dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji
akan diberikan bunga dan bonus dari modalnya. Ini adalah haram karena ada
unsur riba.

5) Perusahaan MLM yang melakukan manipulasi dalam memperdagangkan


produknya, atau memaksa pembeli untuk mengkonsumsi produknya atau yang
dijual adalah barang haram. Maka MLM tersebut jelas keharamannya. Namun ini
tidak cuma ada pada sebagian MLM tapi bisa juga pada bisnis model lainnya.

Multi Level Marketing (MLM) konvensional tentulah belum bisa disebut syariah,
kecuali lolos sekian syarat kesyariahan. Berikut ini syarat-syarat agar sebuah
perusahaan MLM menjadi syariah:

1) Produk yang dipasarkan harus berkualitas, halal, thayyib dan menjauhi syubhat
(Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).

2) Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang
terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah).

3) Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus


sesuai syari’ah.

4) Strukturnya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para
ulama yang memahami masalah ekonomi.

5) Formula intensif harus adil, tidak menzalimi dan berorientasi kemaslahatan/falah.


6) Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua
kali lipat), sehingga konsumen dan anggota terkana praktek terlarang dalam
bentuk ghabn fahisy dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan
kualitas dan manfaat yang diperoleh.

7) Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.

8) Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara orang yang awal
menjadi anggota dengan yang akhir.

9) Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.

10) Tidak menitik beratkan barang-barang tersier ketika ummat masih bergelut
dengan pemenuhan kebutuhan primer.

11) MLM tidak boleh menggunakan sistem piramida yang merugikan orang yang
paling belakangan masuk sebagai member. Dalam MLM yang produknya jasa
(umrah dan haji), sistem ini persis berbentuk money game. Pada hakikatnya,
orang yang paling bawah memberi ongkos kepada up linenya untuk berangkat haji
duluan, sementara down line yang paling bawah harus berjuang mencari down
linenya, dan begitulah seterusnya. Dalam sistem ini, pasti ada orang yang
belakangan masuk, dan jumlahnya cukup besar. Merekalah yang membiayai up
linenya pergi haji dan umrah. Jadi harus dibedakan MLM yang menjual produk
barang, dengan MLM yang menjual jasa. MLM yang menjual produk barang saja,
bisa terjebak menjadi money game, jika biaya masuk demikian tinggi, sedangkan
barang yang diperjualbelikan hanya kedok belaka. Apalagi MLM yang produknya
jasa.

12) Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan
hura-hura dan pesta yang tidak syari’ah.

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari kasus Multilevel Marketing di atas dapat disimpulkan bahwa MLM memiliki
system yang jelas diharamkan sebagaimana dijelaskan sebelumnya di atas menurut
Ustadz Dr. Ahmad Zain An Najah, MA. Hal ini dikarenakan beragamnya bentuk bisnis
MLM, sehingga mempersulit untuk memberi hukum secara umum. Beliau
menyimpulkan bahwa sistem MLM secara konvensional yang banyak ditemui di
masyarakat hukumnya haram dengan alasan yang beliau kemukakan di atas. Menurut
beliau, boleh atau tidaknya penjualan dengan MLM ditentukan oleh system yang
dipraktekkan. Sebatas lebel syariah tidak menentukan kehalalan. Karenanya setiap
system pemasaran dan penjualan barang dengan system MLM yang berlabel syariah
perlu dikaji secara tersendiri dan khusus. Terutama tentang kemungkinan besar
terjadinya money game dalam bisnis MLM.
Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan pada
umatnya untuk berdagang dengan menjunjung tinggi etika keislaman, dimana dalam
beraktivitas ekonomi, umat Islam dilarang melakukan tindakan bathil., namun harus
melakukan kegiatan ekonomi yang dilakukan saling ridho. MLM juga sering
memberikan janji-janji yang tidak sesuai dengan kenyataan yang diberikan, serta tidak
sesuai dengan unsur etika yang harus dilaksanakan oleh seorang produsen Muslim.
Yakni bersifat jujur, amanat dan nasihat. MLM juga terlalu banyak mengambil untung.
Cara pemasaran yang tidak etis, curang dan tidak professional. Kebanyakan MLM tidak
mengindahkan etika (akhlaq) yang harus dimiliki seorang tenaga pemasaran dalam
islam, MLM juga sering melakukan hal-hal yang malahan harus dihindari oleh marketer
syariah sebagaimana disebutkan sebelumnya di atas.

Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM ini tidak hanya sekedar menjalankan
penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level
(bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan
sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang
bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam
hal ini disebut Samsarah / Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159).
Strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di
samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat),
memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang
tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi
promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
V. Daftar Pustaka

Dani Firmansyah. (02 April 2012). Penerapan Srategi Pemasaran dalam


perspektif Islam. Diakses pada tanggal 22 Juni 2014 dari
http://husinmubarok.blogspot.com/2012/04/penerapan-strategi-pemasaran-
dalam.html

Wiwi Dwi Desi Yanti. (23 Juni 2013). MANAJEMEN PEMASARAN DALAM
PANDANGAN ISLAM. Diakses pada tanggal 22 Juni 2014 dari
http://definisiwirausahamenurutahli.blogspot.com/2013/06/manajemen-
pemasaran-dalam-pandangan.html

Prof.Dr.Muhammad. (November 2012). Pemasaran Dalam Perspektif Islam.


Diakses pada tanggal 22 Juni 2014 dari
http://majalah.pengusahamuslim.com/pemasaran-dalam-perspektif-islam-2/

Bambang Wakidi. (2012). Definisi Marketig atau Pemasaran Secara Umum.


Diakses pada tanggal 22 Juni 2014 dari
http://goklatenjualango.blogspot.com/2012/12/definisi-marketing-atau-
pemasaran.html

Karim, Adiwarman Aswar. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.


Jakarta: Gema Insani Press.

Kertajaya, Hermawan dan M. Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing. Bandung:


Mizan

Muflih, Muhammad. 2006. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi


Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Umar, Husein. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yusanto, M. Ismail dan M.K. Widjajakusuma. 2002. Menggagas Bisnis Islami.


Jakarta: Gema Insani

Ahmad. (n.d). Multi Level Marketing (MLM). Diakses pada tanggal 21 Juni 2014
dari http://indonesiaindonesia.com/f/7043-multi-level-marketing-mlm/

Ahmad. (6 Desember 2010). MLM Dalam Pandangan Islam. Diakses pada tanggal
21 Juni 2014 dari http://www.voa-
islam.com/read/tsaqofah/2010/12/06/12129/mlm-dalam-pandangan-
islam/#sthash.6BukxBVq.dpbs

Agustianto. (4 September 2013). Multi Level Marketing Menurut Hukum Islam.


Diakses pada tanggal 21 Juni 2014 dari http://www.iaei-
pusat.org/article/ekonomi-syariah/multi-level-marketing-menurut-hukum-
islam-?language=id
Muhamad. (6 Desember 2012). Pemasaran Dalam Perspektif Islam. Diakses pada
tanggal 21 Juni 2014 dari http://majalah.pengusahamuslim.com/pemasaran-
dalam-perspektif-islam-2/

Tiens. (27 Januari 2013). Tiens Indonesia. Diakses pada tanggan 21 Juni 2014 dari
http://tiensbarokahgroup.blogspot.com/2013/01/pengertian-multi-level-
marketing.html

Zainal. (n.d). Hukum MLM Dalan Pandangan Islam. Diakses pada tanggal 21 Juni
2014 dari http://www.sangpencerah.com/2014/01/hukum-mlm-dalam-
pandangan-islam.html

Anda mungkin juga menyukai