Anda di halaman 1dari 168

Edisi 8

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Islam Sultan Agung

BLOK 17
Management of Dental and Supporting Tissues Diseases
BUKU PEGANGAN
TUTOR

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Islam Sultan Agung


Alamat: JL. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112 PO Box 1054/SM
Telepon. (024) 6583584 ext. 592
Faximile: (024) 6582455

1
Blok 17 :
Management of Dental and Supporting Tissues Diseases
Eighth Edition

Copyright @ by Faculty of Dentistry, Islamic Sultan Agung University.


Printed in
Semarang
Frist Edition: 2010
Second Edition : 2011
Third Edition : 2012
Fourth Edition : 2013
Fifth Edition : 2014
Sixth Edition : 2015
Seventh Edition : 2016
Eighth Edition : 2017
Designed by: team Blok
Cover Designed by: team Blok
Published by Faculty of Dentistry, Islamic Sultan Agung University
All right reserved

This publication is protected by Copyright law and permission should be obtained from publisher
prior to any prohibited reproduction, storage in a retrieval system, or transmission in any form by
any means, electronic, mechanical, photocopying, and recording or likewise

2
TIM PENYUSUN BLOK 17

Koordinator blok : drg. Ade Ismail A. K.,MDSc.,Sp.Perio

Anggota : drg. Moh.Yusuf , Sp.Rad.O.M

Tutor Blok :

1. drg. Musri Amurwaningsih, MMedEd


2. drg. Muhammad Dian Firdaus, MSc (DMS)
3. drg. Eko Hadianto, MDsc
4. drg. Kusuma Arbianti, MMR
5. drg. Linda Septiana
6. drg. Rizki Amalina, M.Si
7. drg. Muhammad Husnun Niam
8. drg. Andina Rizkia P Sp.KG

Core Disiplin:

1. Ilmu Anatomi
2. Ilmu Konservasi
3. Ilmu Bedah Mulut
4. Ilmu Penyakit Mulut
5. Ilmu Ortodonsia
6. Ilmu Periodonsia
7. Ilmu Radiologi Kedokteran Gigi

Suplementary disiplin:

1. Ilmu Penyakit Dalam


2. Radiologi
3. Farmakologi
4. Agama Islam

3
Kata Pengantar

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob seluruh alam yang telah
memberikan karunia kepada kami hingga kami dapat menyelesaikan blok Management of
Dental and Supporting Tissues Diseases. Sholawat dan salam kami sampaikan kepada
junjungan kami Nabi Muhammad sholallahu alaihi wa salam.

Blok 17 Management of Dental and Supporting Tissues Diseases adalah blok yang
membahas perawatan endodontik dan kegagalan perawatan, perawatan ortodonsi, pencabutan
gigi, penanganan pasien medical compromise, perawatan gingival disease, dan periodontal
disease.

Dengan adanya buku blok “Management of Dental and Supprting Tissues Diseases”
diharapkan dapat membantu tutor dalam mengarahkan mahasiswa adar dapat memahami
penyakit-penyakit pada gigi dan jaringan penyangganya serta tata laksana perawatannya..

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Blok ini. Oleh
karena itu, saran-saran baik dari tutor maupun dari mahasiswa akan kami terima dengan
terbuka.

Semoga Blok ini dapat bermanfaat, dan membantu siapa saja yang membutuhkannya.

Jazakumullhahi khoiron

Tim Penyusun Blok

4
VISI FKG UNISSULA
Pada tahun 2025 menjadi Fakultas Kedokteran Gigi terkemuka di Indonesia dalam
menghasilkan dokter gigi professional sebagai bagian dari generasi khaira ummah,
mengembangkan ilmu kedokteran gigi berdasarkan nilai-nilai Islam, dalam kerangka rahmatan
lil’alamin.

MISI FKG UNISSULA


1. Menyelenggarakan proses pendidikan dan pengajaran terbaik di bidang Kedokteran Gigi
yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam dan berstandar internasional.
2. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian dan publikasi ilmiah dengan kualitas terbaik
sesuai dengan Islam disiplin ilmu, dalam rangka pengembangan ilmu Kedokteran Gigi.
3. Menyelenggarakan dan meningkatkan pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian
integral dari aktifitas dakwah amar ma’ruf nahi munkar
4. Mengembangkan aktifitas evaluasi secara reguler untuk meningkatkan kualitas
pelaksanaan proses pendidikan, pengajaran, penelitian dan publikasi ilmiah sesuai dengan
nilai-nilai Islam.

5
Tata Tertib

1. Mahasiswa wajib menjaga nama baik Unissula


2. Mahasiswa dianjurkan untuk mengucapkan salam saat bertemu dengan dosen,
karyawan dan mahasiswa lainnya
3. Mahasiswa harus ikut menjaga kebersihan lingkungan kampus, baik ruang kuliah, ruang
praktikum serta ruang skills lab
4. Mahasiswa DILARANG merokok di lingkungan kampus
5. Mahasiswa putri wajib berpakaian rapi dan sopan, memakai rok, berjilbab menutupi
dada, dilarang memakai pakaian ketat dan kaos, sandal, perhiasan berlebihan
6. Mahasiswa putra wajib berpakaian rapi, sopan dan dilarang memakai kaos baik
berkerah maupun tidak, sandal, potongan rambut harus pendek dan rapi, dilarang
memakai tindik
7. Selama mengikuti kegiatan pembelajaran, alat komunikasi wajib disilent atau
dinonaktifkan
8. Mahasiswa diwajibkan hadir 15 menit sebelum kegiatan pendidikan dimulai. Toleransi
keterlambatan 15 menit. Jika hadir lebih dari 15 menit dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan, maka mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti kegiatan
belajar mengajar.
9. Mahasiswa putra dan putri DILARANG memakai pakaian berbahan jeans.
10. Selama proses belajar, jaket harus dilepas,kecuali blazer dan semi jas berbahan non
kaos.
SANKSI :
Bagi mahasiswa yang tidak mematuhi ketentuan diatas, maka tidak diperbolehkan
mengikuti kegiatan belajar mengajar dan tidak akan mendapatkan pelayanan akademik dan
administrasi.

Gambaran Umum Blok

Blok Management of Dental and Supporting Tissues Diseases dilaksanakan pada semester
5, tahun ke 3, dengan waktu 7 minggu. Pencapaian belajar mahasiswa dijabarkan dengan
penetapan Domain, Kompetensi Utama, Penjabaran Kompetensi Utama, Kompetensi
Penunjang sebagaimana yang diatur dalam Standar Kompetensi Dokter Gigi serta sasaran
pembelajaran (Foundation Ability) yang didapat dari penjabaran kompetensi penunjang.

Blok ini terdiri dari 7 learning unit terdiri dari judul skenario, sasaran pembelajaran, skenario,
konsep mapping, materi, pertanyaan minimal dan daftar pustaka. Pada blok ini mahasiswa akan
belajar tentang diagnosa, perawatan dan pencegahan terjadinya penyakit-penyakit pada gigi
dan jaringan penyangganya. Untuk itu diperlukan pembelajaran praktikum dan keterampilan
prosedural yang diperlukan. Mahasiswa juga akan mempelajari sikap profesionalisme yang
terkait dengan topik diatas.

Blok ini akan dipelajari dengan menggunakan strategi Problem Based-Learning, dengan
metode diskusi tutorial menggunakan seven jump steps, kuliah, praktikum laboratorium, dan
belajar ketrampilan klinik di laboratorium ketrampilan (skill lab).

6
KONTRIBUTOR

Disiplin Ilmu Dasar :

1. Ilmu Konservasi Gigi


2. Ilmu Ortodonsia
3. Ilmu Bedah Mulut
4. Ilmu Penyakit Mulut
5. Ilmu Periodonsia
6. Ilmu Radiologi Kedokteran Gigi

Disiplin Ilmu Penunjang :

1. Mikrobiologi
2. Radiologi
3. Farmakologi
4. Agama Islam

Kompetensi Penunjang Blok

1. Mengintegrasikan ilmu biomedik yang relevan dengan bidang kedokteran gigi untuk
menegakkan diagnosis, menetapkan prognosis dan merencanakan tindakan medik
kedokteran gigi (C3,P3,A4)
2. Menghubungkan morfologi makroskopis, mikroskopis dan topografi organ, jaringan
penyusun sistem tubuh manusia secara terpadu, sebagai landasan pengetahuan untuk
diagnosis, prognosis dan merencanakan tindakan medik kedokteran gigi pada kasus
skenario (C3,P3,A4)
3. Memahami proses penyakit/kelainan yang meliputi infeksi dan noninfeksi pada kasus
skenario (C2,P2,A3)
4. Memahami obat-obat yang digunakan untuk penyakit gigi dan mulut, termasuk efek
samping dan interaksinya (C2,P3,A4)
5. Memahami lokasi, perluasan, etiologi karies dan kelainan periodontal serta kerusakannya
(C2,P3,A4)
6. Membedakan antara pulpa sehat dan tidak sehat (C2,P3,A4)
7. Mempersiapkan gigi yang akan direstorasi sesuai dengan indikasi anatomi, fungsi dan
estetik (C3,P3,A3)
8. Melakukan isolasi gigi-geligi dari saliva dan bakteri (C3,P3,A2)
9. Memahami cara pengelolaan pasien dengan kelainan/penyakit sistemik yang bermanifestasi
di rongga mulut secara holistik dan komprehensif (C2,P2,A2)
10. Memahami pemeriksaan penunjang laboratoris yang dibutuhkan (C2,P2,A2)
11. Menentukan pemeriksaan penunjang radiologi oral dan ekstra oral yang dibutuhkan
(C4,P3,A3)

7
12. Menegakkan diagnosis sementara dan diagnosis kerja berdasarkan analisis hasil
pemeriksaan riwayat penyakit, temuan klinis, temuan laboratoris, temuan radiografis dan
temuan alat bantu yang lain (C4,P3,A3)
13. Mengembangkan rencana perawatan yang komprehensif dan rasional berdasarkan
diagnosis (C3,P3,A3)
14. Menjelaskan tekhnik pencabutan gigi permanen (C3,P4,A4)
15. Menjelaskan komplikasi pasca bedah minor (C3,P3,A3)
16. Menjelaskan prosedur kuretase, flep operasi, dan ginggivektomi sederhana pada kasus
periodontal (C2,P2,A3)
17. Melakukan bedah minor sederhana pada jaringan keras dan lunak (C3,P3,A3)
18. Menjelaskan pemeliharaan kesehatan jaringan lunak mulut pada pasien dengan kompromis
medis ringan (C3,P2,A3)
19. Melakukan perawatan saluran akar pada gigi permanen yang vital dan non vital (C3,P3,A3)

Hubungan Dengan Blok Sebelumnya

1. Telah mempelajari Sistim stomatognati (blok 6)


2. Telah mempelajari Dental Material and Technology (blok 7)
3. Telah mempelajari Dental Practice (blok 8)
4. Telah mempelajari Adolescent Diseases (blok 13)
5. Telah mempelajari Adult and Elderly Diseases (blok 14)

Hubungan Dengan Blok Sesudahnya

1. Akan mempelajari perawatan estetik


2. Akan mempelajari perawatan rehabilitative

Pemetaan pencapaian learning objective


NO SASARAN PEMBELAJARAN MODUL
1 2 3 4 5 6 7
1. Memahami
1 tanda dan gejala klinis infeksi pada pulpa 
(SGD)
2. Memahami
2 proses infeksi pulpa sampai terjadi 
kematian pulpa (SGD)
3. Memahami indikasi dan kontra indikasi perawatan 
endodontik (SGD)
4. Analisis seleksi kasus untuk teknik preparasi step 
back (SGD)
5. Analisis
4 kelebihan dan kekurangan teknk preparasi 
step back (SGD)
6. Mengetahui
5 instrumentasi yang digunakan pada 
teknik preparasi step back (SGD)
7. Analisis prosedur teknik preparasi step back (SGD) 

8
8. Analisis kesalahan dan kegawat daruratan yang 
dapat timbul pada saat preparasi saluran akar serta
penanganannya (SGD)
9. Analisis isolasi gigi pada perawatan saluran akar 
(KP)
10. Analisis open akses dan eksplorasi pada perawatan 
saluran akar (KP)
11. Analisis penentuan panjang kerja dan ekstirpasi 
saluran akar (KP)

12. Analisis
6 bahan, instrumentasi dan tatalaksana irigasi 
pada perawatan saluran akar (KP)
13. Analisis
7 macam teknik preparasi dan cara preparasi 
(KP)
14. Melakukan
8 pemasangan rubber dam & Melakukan 
open akses pada gigi anterior serta posterior sesuai
dengan outline form (SL)

15. Melakukan ekstirpasi, pengukuran panjang kerja 


dan preparasi gigi anterior (SL)

16. Analisis
9 medikamen intrakanal (KP) 
17. Analisis
1 obturasi saluran akar (KP) 
0
18. Keberhasilan
1 dan kegagalan PSA serta 
Endoretreatment
1 (KP)
19. Memahami
1 tindakan kegawatdaruratan endodontik 
(KP)
2
20. Fiqh
1 Kontemporer kedokteran gigi dalam islam (KP) 
3
21. Konsep
1 kesembuhan penyakit dalam pandangan 
islam
4 (KP)
22. Melakukan
1 ekstirpasi, pengukuran panjang kerja dan 
preparasi
5 gigi posterior (SL)
23. Melakukan
1 pengisian saluran akar gigi anterior dan 
posterior
6 (SL)
24. Mendeskripsikan
1 dan memahami faktor-faktor yang 
dapat
7 menyebabkan terjadinya maloklusi (SGD)
25. Memahami pemeriksaan-pemerisaan untuk 
menegakkan diagnosis orthodontik (SGD)
26. Menentukan pemeriksaan penunjang radiologi yang 
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis ortodontik
(SGD)
27. Mendeskripsikan
1 fungsi dari foto Rontgen OPG dan 
Sefalogram
8 pada perawatan Ortodontik (SGD)
28. Memahami
1 rencana dan macam – macam 
perawatan
9 Ortodontik (KP)
29. M
2 emahami teknik pencarian ruang dalam perawatan 

9
Ortodontik
1 & pertimbangan klinis yang digunakan
sebagai acuan untuk menentukan teknik pencarian
ruang (KP)
30. Memahami
2 analisis sefalometri (KP) 
2
31. Tinjauan
2 kedokteran islam tentang halal haram laki – 
laki
3 menyerupai wanita (KP)
32. Melakukan
2 Analisis Ortodontik (SL) 
4
33. Melakukan diskusi kasus ortodontik (SL) 
34. Mendeskripsikan dan memahami indikasi dan 
kontra indikasi pencabutan gigi (SGD)

35. Menjelaskan komplikasi pencabutan dan pasca 


pencabutan gigi (SGD)

36. Mendeskripsikan tatalaksana penanganan 


komplikasi pencabutan dan pasca pencabutan
(SGD)

37. Mendeskripsikan tingkatan kenaikan tekanan darah 


(SGD)

38. Mengetaui
2 kondisi penyulit pencabutan (KP) 
6
39. Memahami macam-macam alat dan bahan 
eksodonsi serta teknik pencabutan intra alveolar dan
pencabutan trans alveolar (KP)

40. Memahami
2 komplikasi dan tatalaksana pasca 
pencabutan
8 (KP)
41. Memahami
2 peresepan obat rasional post-eksodonsi 
dalam
9 beberapa kasus (KP)
42. Melakukan
3 pencabutan gigi sederhana (SL) 
0
43. Melakukan pencabutan gigi dengan penyulit (SL) 

44. Memahami
2 cara pengelolaan pasien dengan 
diabetes melitus (SGD)

45. Memahami
3 pemeriksaan penunjang laboratories 
yang
4 dibutuhkan untuk perawatan gigi pada pasien
diabetes mellitus (SGD)

46. Mendeskripsikan
3 dan memahami penyakit infeksi 
yang
5 dapat menyebar melalui infeksi gigi (SGD)

47. Mendeskripsikan
3 macam Medically Compromised 
dan
7 manifestasi pada rongga mulut serta
tatalaksananya (KP)

10
48. 3Tinjauan kedokteran islam tentang bahaya zina dan 
khalwat
8 (KP)

49. Haramnya
3 riba dan praktek riba dalam dunia 
kedokteran
9 (KP)
50. Melakukan
4 penanganan dry socket (SL) 
0
51. Memahami
4 definisi dan klasifikasi berbagai penyakit 
gingiva
1 (SGD)
52. Mendeskripsikan
4 ethiopathogenesis gingival 
enlargement
2 (SGD)

53. Mendeskripsikan
4 penanganan gingival enlargement 
(SGD)
4
54. Memahami
4 macam-macam dan teknik tindakan 
bedah
8 periodontal serta kasus-kasus yang menjadi
indikasi dilakukannya (KP)

55. Memahami
5 macam dan teknik perawatan 
periodontal
0 pada female patient, adult patient, dan
compromised patient (KP)
56. Memahami macam dan teknik perawatan kasus 
refractory peridontitis, aggressive periodontitis, dan
necrotizing ulcerative periodontitis (KP)

57. Necrotizing ulcerative periodontal disease (NUG 


dan NUP) (KP)
58. Mampu melakukan Gingivektomi pada model (SL) 
59. Clinical reasoning Skil “ Management of dental and 
Supporting Tissue Diseases“ (SL)

60. Menjelaskan etiopatogenesis luksasi gigi (SGD) 


61. Menjelaskan proses remodeling jaringan ikat pasca 
perwatan non bedah (SGD)
62. Menjelaskan indikasi splinting (SGD) 
63. Memahami patofisiologi kelainan jaringan mulut 
yang disebabkan oleh penyakit sistemik (KP)
64. Memahami diagnosis, prognosis dan rencana 
perawatan penyakit periodontal (KP)
65. Mendeskripsikan macam-macam perawatan 
Periodontal Non Bedah beserta fungsinya (KP)
66. Praktek riba dalam kegiatan ekonomi kontemporer 
kesehatan (KP)
67. Wire splinting composite (SL) 
68. Melakukan scaling dan polishing antar teman (SL) 

11
Topic tree

Management of Dental and Supporting Tissues


Diseases

Perawatan Perawatan dan Perawatan gigi pada Perawatan


endodontik (1) analisa kasus pasien dengan Medical periodontal
orthodonsia Compromised diseases

perawatan Pencabutan gigi Perawatan


endodontik (2) sederhana dan komplikasi gingival
diseases

Kegiatan pembelajaran

Pada Blok ini akan dilakukan kegiatan belajar sebagai berikut:

1. Tutorial
Tutorial akan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan tutorial berlangsung selama
100 menit. Jika waktu yang disediakan tersebut belum mencukupi, kelompok dapat
melanjutkan kegiatan diskusi tanpa tutor di open space area yang disediakan. Keseluruhan
kegiatan tutorial tersebut dilaksanakan dengan menggunakan seven jump steps. Seven
jump steps itu adalah:

1. Jelaskan istilah yang belum anda ketahui. Jika masih terdapat istilah yang belum jelas,
cantumkan sebagai tujuan pembelajaran kelompok.
2. Carilah masalah yang harus anda selesaikan.
3. Analisis masalah tersebut dengan brainstorming agar kelompok memperoleh penjelasan
yang beragam mengenai persoalan yang didiskusikan, dengan menggunakan prior
knowledge yang telah anda miliki.
4. Cobalah untuk menyusun penjelasan yang sistematis atas persoalan yang anda
diskusikan.
5. Susunlah persoalan-persoalan yang belum bisa diselesaikan dalam diskusi tersebut
menjadi tujuan pembelajaran kelompok (Learning issue/ learning objectives).
6. Lakukan belajar mandiri untuk mencapai informasi yang anda butuhkan guna menjawab
Learning issue yang telah anda tetapkan.
7. Jabarkan temuan informasi yang telah dikumpulkan oleh anggota kelompok, sintesakan
dan diskusikan temuan tersebut agar tersusun penjelasan yang menyeluruh
(komprehensif) untuk menjelaskan dan menyelesaikan masalah

Aturan main tutorial:

Pada tutorial 1, langkah yang dilakukan adalah 1-5. Mahasiswa diminta untuk
menjelaskan istilah yang belum dimengerti pada skenario “masalah”, mencari masalah yang
sebenarnya dari skenario, menganalisis masalah tersebut dengan mengaktifkan prior

12
knowledge yang telah dimiliki mahasiswa, kemudian dari masalah yang telah dianalisis lalu
dibuat peta konsep (concept mapping) yang menggambarkan hubungan sistematis dari
masalah yang dihadapi, jika terdapat masalah yang belum terselesaikan atau jelas dalam
diskusi maka susunlah masalah tersebut menjadi tujuan pembelajaran kelompok (learning
issue) dengan arahan pertanyaan sebagai berikut: apa yang kita butuhkan?, apa yang kita
sudah tahu? Apa yang kita harapkan untuk tahu?

Langkah ke 6, mahasiswa belajar mandiri (self study) dalam mencari informasi

Pada tutorial 2, mahasiswa mendiskusikan temuan-temuan informasi yang ada dengan


mensintesakan agar tersusun penjelasan secara menyeluruh dalam menyelesaikan
masalah tersebut.

2. Kuliah
Ada beberapa aturan cara kuliah dan format pengajaran pada problem based learning.
Problem based learning menstimulasi mahasiswa untuk mengembangkan perilaku aktif
pencarian pengetahuan. Kuliah mungkin tidak secara tiba-tiba berhubungan dengan belajar
aktif ini, namun demikian keduanya dapat memenuhi tujuan spesifik pada PBL. Adapun
tujuan kuliah pada Blok ini adalah:

a. Menjelaskan gambaran secara umum isi Blok, mengenai relevansi dan kontribusi dari
berbagai disiplin ilmu yang berbeda terhadap tema Blok.
b. Mengklarifikasi materi yang sukar. Kuliah akan lebih maksimum efeknya terhadap
pencapaian hasil ketika pertama kali mahasiswa mencoba untuk mengerti materi lewat
diskusi atau belajar mandiri.
c. Mencegah atau mengkoreksi adanya misconception pada waktu mahasiswa berdiskusi
atau belajar mandiri.
d. Menstimulasi mahasiswa untuk belajar lebih dalam tentang materi tersebut.
Agar penggunaan media kuliah dapat lebih efektif disarankan agar mahasiswa
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab atau kurang jelas jawabannya
pada saat diskusi kelompok agar lebih interaktif.

Adapun materi kuliah yang akan dilaksanakan sebagai berikut :

Minggu Materi Waktu


Minggu 1 Analisis isolasi gigi pada perawatan saluran akar 1x50 menit
Analisis open akses dan eksplorasi pada perawatan 1x50 menit
saluran akar
Analisis penentuan panjang kerja dan ekstirpasi 2x50 menit
saluran akar
Analisis bahan, instrumentasi dan tatalaksana irigasi 2x50 menit
pada perawatan saluran akar
Analisis macam teknik preparasi dan cara preparasi 2x50 menit
Minggu 2 Analisis medikamen intrakanal 2x50 menit
Analisis obturasi saluran akar 2x50 menit
Keberhasilan dan kegagalan PSA & Endoretreatment 2x50 menit
Tindakan kegawatdaruratan endodontik 2x50 menit
Fiqh Kontemporer kedokteran gigi dalam islam dan 2x50 menit

13
Konsep kesembuhan penyakit dalam pandangan
islam
Minggu 3 Rencana dan macam – macam perawatan Ortodontik 2x50 menit

Teknik pencarian ruang dalam perawatan Ortodontik 2x50 menit


Analisis sefalometri 2x50 menit
Radiografi sefalometri 2x50 menit
Minggu 4 Kondisi penyulit pencabutan 2x50 menit
Armamenttarium & Teknik pencabutan 2x50 menit
Komplikasi pasca eksodonsia 2x50 menit
Peresapan post eksodonsia 2x50 menit
Minggu 5 Macam & patofisiologi dan manifestasi penyakit 1x50 menit
jantung pada rongga mulut serta tatalaksananya
Macam & patofisiologi dan manifestasi kelainan 1x50 menit
gastritis & saluran cerna pada rongga mulut serta
tatalaksananya
Macam & patofisiologi dan manifestasi anemia pada 1x50 menit
rongga mulut serta tatalaksananya
Macam & patofisiologi dan manifestasi kehamilan 1x50 menit
pada rongga mulut serta tatalaksananya
Macam & patofisiologi dan manifestasi penyakit 1x50 menit
ginjal & hepar pada rongga mulut serta
tatalaksananya
Macam & patofisiologi dan manifestasi reaksi 1x50 menit
hipersensitifitas pada rongga mulut serta
tatalaksananya
Tinjauan kedokteran islam tentang bahaya zina dan 2x50 menit
khalwat
Interpretasi radiografi kelainan periapikal dan 2x50 menit
periodontal
Minggu 6 Armamentarium dan mikrobiologi periodonsia 2x50 menit
mekanisme pertahanan gingival 1x50 menit
Penyakit periodontal 1x50 menit
Overview perawatan periodontal 2x50 menit
Necrotizing ulcerative periodontal disease (NUG dan 2x50 menit
NUP)
Minggu 7 Manifestasi penyakit sisitemik pada periodontal 2x50 menit
diagnosis, prognosis dan rencana perawatan 2x50 menit
penyakit periodontal
Perawatan periodontal bedah & non bedah 2x50 menit

3. Skill Lab
Tujuan utamanya adalah menyiapkan mahasiswa dalam ketrampilan yang mendukung
pembelajaran pada PBL dengan mendukung proses belajar lewat ilustrasi dan aplikasi
praktek terhadap apa yang mahasiswa pelajari dari diskusi, belajar mandiri, dan kuliah.
Mahasisiwa diharapkan mampu menguasai tekhnik secara lege artis, sisitematis dan
terintegrasi.

14
Adapun skill lab yang akan dilaksanakan adalah:

LBM Materi Skills lab Departemen Durasi


(menit)
1 Melakukan pemasangan rubber dam & open Konservasi 4x50
akses sesuai dengan outline form
Melakukan ekstirpasi, pengukuran panjang Konservasi 4x50
kerja dan preparasi gigi anterior
2 Melakukan ekstirpasi, pengukuran panjang Konservasi 4x50
kerja dan preparasi gigi posterior
Melakukan pengisian saluran akar gigi Konservasi
anterior dan posterior
3 Analisis orthodontik (Tracing Sefalometri) Ortodontik 4x50
Diskusi kasus ortodontik Ortodontik 4x50
4 Pencabutan gigi pada model Bedah mulut 4x50
Pencabutan dengan pembedahan dan Bedah mulut 4x50
Penanganan dry socket
5 Gingivektomi Periodonsia 4x50
6 Interpretasi Radiologi lesi periodontal dan Radiologi KG 4x50
periapikal
7 Scalling&Polishing periodonsia 4x50
Splinting periodonsia 4x50

Assessment

Untuk sistem penilaian mahasiswa dan aturan assesmen adalah sebagai berikut:

I. Ujian knowledge

a. Nilai Pelaksanaan diskusi tutorial (15% dari nilai sumatif knowledge)

Pada diskusi tutorial mahasiswa akan dinilai berdasarkan kehadiran, aktifitas interaksi
dan Kesiapan materi dalam diskusi. Mahasiswa yang tidak mengikuti tutorial dengan
alasan dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, harap melapor ke tim blok untuk
mengganti dengan tugas.

b. Nilai Praktikum (10% dari nilai sumatif knowledge)

Selama praktikum, mahasiswa akan dinilai pengetahuan, dan keterampilan. Nilai


pengetahuan dan keterampilan didapatkan dari ujian responsi atau identifikasi praktikum
yang dilaksanakan selama praktikum. Bagi mahasiswa yang tidak dapat mengikuti
praktikum dengan alasan dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, harap melapor
ke tim blok untuk di jadwal ulang kegiatan praktikumnya.

15
c. Nilai Ujian Tengah Blok (25% dari nilai sumatif knowledge)

Merupakan ujian knowledge terhadap semua materi baik SGD, Kuliah Pakar, praktikum
dan Ketrampilan Klinik. Materi dan pelaksanaan Ujian tengah blok setelah menyelesaikan
3 LBM.

Ketentuan bagi mahasiswa:

- Mahasiswa dapat mengikuti ujian tengah blok jika memenuhi prasyarat berikut:
1. mengikuti 80% SGD
2. mengikuti 100% praktikum
3. mengikuti 75% kuliah
4. Telah menyelesaikan seluruh administrasi maksimal 1 minggu sebelum ujian

- Apabila mahasiswa berhalangan hadir pada kegiatan SGD dan praktikum, maka mahasiswa
diwajibkan:
A. Memberikan surat ijin ketidakhadiran pada kegiatan tersebut berupa Surat Keterangan
Dokter atau orangtua/wali.
B. Jika ketidakhadiran mahasiswa kurang atau sama dengan 20 %, mahasiswa tidak wajib
menganti kegiatan SGD, namun nilai SGD pada pertemuan tersebut tetap 0.
C. Jika ketidakhadiran mahasiswa lebih dari 20 %, maka mahasiswa WAJIB mengganti
kegiatan SGD dengan tugas dari tim blok, dengan mengikuti regulasi permohonan yang
telah ada.
D. Mengganti kegiatan praktikum pada hari lain maksimal 2 minggu setelah pelaksanaan
praktikum, untuk penggantian tersebut mahasiswa harus berkoordinasi dengan Bagian
E. Pengajuan permohonan pengganti SGD dilakukan maksimal 1 minggu setelah
ketidakhadiran, dengan regulasi : menghadap koordinator akademik untuk mendapatkan
surat keterangan penggantian kegiatan  surat diserahkan pada tim blok yang
bersangkutan  pemberian tugas pengganti oleh tim blok penyerahan tugas dan
pemberian nilai pada lembar nilai oleh tim blok  lembar nilai diserahkan kembali ke
koordinator akademik.
F. Nilai pengganti SGD maksimal 80
G. Setelah melaksanakan tugas penganti SGD, maka mahasiswa telah dinyatakan mengikuti
kegiatan 80%.
H. Setelah melaksanakan tugas pengganti praktikum, dan mengikuti kegiatan pengganti
praktikum, maka mahasiswa telah dinyatakan mengikuti kegiatan 100%
I. Mahasiswa yang meninggalkan ujian knowledge karena sakit atau ijin tertulis, dapat
mengikuti ujian susulan knowledge jika memenuhi prasyarat, dan dilaksanakan maksimal
1 minggu setelah ujian.
J. Tata cara permohonan ujian susulan dilaksanankan sebagaimana yang berlaku, yakni
mahasiswa mengajukan permohonan kepada koordinator akademik dilampiri dengan
surat ijin dari dokter atau wali siswa  surat diserahkan pada tim blok  tim blok
memberikan ujian susulan  lembar penilaian diserahkan kembali ke koordinator
akademik.

16
d. Nilai Ujian Akhir Modul (50% knowledge)

Ujian knowledge merupakan ujian terhadap semua materi baik SGD, Kuliah Pakar,
praktikum dan Ketrampilan Klinik. Materi dan pelaksanaan ujian akhir blok setelah
menyelesaikan seluruh blok (7 LBM).

II. Ujian ketrampilan medik (skill lab)

Nilai ketrampilan medik (skill lab) diambil dari:

a. Kegiatan skill lab harian: 25% dari total nilai akhir skill

Selama kegiatan ketrampilan medik harian, mahasiswa akan dinilai


penguasaan tekhniknya (sistematis dan lege artis). Hasil penilaian harian
ketrampilan medik akan dipakai sebagai syarat untuk mengikuti ujian OSCE yang
pelaksanaannya akan dilaksanakan pada akhir semester.

b. OSCE : 75 % dari total nilai akhir skill

Ujian skill dilakukan dengan menggunakan Objective and Structured Clinical


Examination (OSCE). Pelaksanaan dilakukan pada akhir semester. Materi ujian
OSCE merupakan materi ketrampilan klinik yang telah diberikan selama mengikuti
blok yang ditentukan berdasarkan kesesuaian dengan materi ujian OSCE seluruh
blok pada akhir semester.

Kelulusan OSCE didasarkan pada kelulusan tiap station. Jika mahasiswa tidak
lulus pada station tertentu, mahasiswa diwajibkan mengulang dan nilai skill belum
dapat dikeluarkan sebelum mahasiswa lulus skill tersebut.

1. Mahasiswa dapat mengikuti ujian OSCE jika memenuhi prasyarat berikut:


A. Kehadiran Skills Lab 100 %
B. Telah menyelesaikan seluruh administrasi
2. Apabila mahasiswa berhalangan hadir pada kegiatan Skills Lab, maka mahasiswa
harus:
A. Memberikan surat ijin ketidakhadiran pada kegiatan tersebut berupa Surat
Keterangan Dokter atau orangtua/wali.
B. Mahasiswa WAJIB mengganti kegiatan Skills Lab pada hari lain maksimal 2 minggu
setelah pelaksanaan skills lab, dengan mengikuti regulasi permohonan yang telah
ada.
C. Pengajuan permohonan pengganti Skills Lab dilakukan maksimal 1 minggu setelah
ketidakhadiran, dengan regulasi : menghadap koordinator akademik untuk
mendapatkan surat keterangan penggantian kegiatan  surat diserahkan pada tim
blok  tim blok memberikan penggantian Skills Lab  lembar nilai diserahkan
kembali ke koordinator akademik.
D. Nilai Skills Lab susulan maksimal 80
E. Setelah mengikuti kegiatan pengganti skills Lab, maka mahasiswa telah dinyatakan
mengikuti kegiatan 100 %

17
F. Bagi mahasiswa yang tidak mengikuti ujian OSCE karena sakit atau ijin kegiatan
kemahasiswaan, harus mengajukan ujian susulan OSCE untuk mengikuti OSCE
susulan maksimal 1 minggu setelah pelaksanan
G. Tata cara permohonan ujian susulan dilaksanankan sebagaimana yang berlaku,
yakni mahasiswa mengajukan permohonan kepada koordinator akademik dilampiri
dengan surat ijin dari dokter atau wali siswa  diserahkan pada penanggung jawab
pelaksana OSCE  ujian susulan  lembar penilaian diserahkan kembali ke
koordinator akademik.

Ketentuan Penilaian Akhir Blok:

Nilai akhir Blok dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(Nilai total knowledge x sks knowledge)+(nilai total skill x sks Skill lab)

SKS Blok

18
JADWAL KEGIATAN PBL
2017/2018

LBM 1

Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang


Instruktur
Selasa, 08.10- SGD I Tutor R. SGD
5/12/2017 09.50 FKG lt 1
12.30- SL: Pemasangan rubber dam & open Departeme R. Skill Lab
15.50 akses gigi anterior & posterior n KG
Rabu, 08.10- SL : Ekstirpasi, pengukuran panjang Departeme R. Skill Lab
6/12/2017 11.30 kerja & preparasi gigi anterior n KG

12.30- KP: Jenis dan teknik isolasi Departeme R. Kuliah


14.10 n KG
Kamis, 08.10- KP: Penentuan panjang kerja & Departeme R. Kuliah
7/12/2017 09.50 ekstirpasi saluran akar n KG

KP: Open akses dan eksplorasi Departeme R. Kuliah


saluran akar n KG
Jumat, 08.10- SGD 2 Tutor R. Kuliah
8/12/2017 09.50
09.50- KP: preparasi saluran akar (teknik dan Departeme R. Kuliah
11.30 cara) n KG
KP: irigasi pada perawatan saluran
akar (bahan, instrumentasi &
tatalaksana)

19
Penjabaran Pembelajaran

Unit Belajar 1 : Perawatan endodontik (1)


Judul : “gigi saya sakit terus tidak sembuh – sembuh dok”
NO. SASARAN PEMBELAJARAN
1. Memahami tanda dan gejala klinis infeksi pada pulpa (SGD)
2. Memahami proses infeksi pulpa sampai terjadi kematian pulpa (SGD)
3. Memahami indikasi dan kontra indikasi perawatan endodontik (SGD)
4. Analisis kesalahan dan kegawat daruratan yang dapat timbul pada saat preparasi
saluran akar serta penanganannya (SGD)
5. Analisis kelebihan dan kekurangan teknk preparasi step back (KP)
6. Mengetahui instrumentasi yang digunakan pada teknik preparasi step back (kp)
7. Analisis prosedur teknik preparasi step back (KP)

8. Analisis seleksi kasus untuk teknik preparasi step back (KP)


9. Analisis isolasi gigi pada perawatan saluran akar (KP)
10. Analisis open akses dan eksplorasi pada perawatan saluran akar (KP)
11. Analisis penentuan panjang kerja dan ekstirpasi saluran akar (KP)

12. Analisis bahan, instrumentasi dan tatalaksana irigasi pada perawatan saluran
akar (KP)
13. Analisis macam teknik preparasi dan cara preparasi (KP)
14. Melakukan pemasangan rubber dam & Melakukan open akses pada gigi anterior
serta posterior sesuai dengan outline form (SL)
15. Melakukan ekstirpasi, pengukuran panjang kerja dan preparasi gigi anterior (SL)

20
SKENARIO

Seorang laki – laki berusia 35 tahun datang ke RSIGM dengan keluhan gigi belakang
bawah kiri dan kanan terasa sakit. Dulu pernah sakit berdenyut, tapi minum obat pereda
sakit, hilang sakitnya. Gigi yang sebelah kanan sudah dilakukan perawatan dan
penambalan, sedangkan yang kiri belum dilakukan perawatan, sekarang keduanya sakit
kalau makan makanan yang keras. Pada pemeriksaan intraoral gigi 47 perkusi :+, palpasi
: -, terdapat fistel, pada gigi 36, tampak caries profunda dengan dengan warna mahkota
agak buram. Gambaran radiografis gigi 47. tampak seperti pada gambar di bawah ini.

Keyword : abses eksaserbasi akut, Saluran akar lurus, kesalahan dan kegawatdaruratan pada
saat preparasi, triad endodontik
Masalah : Patofisiologi penyakit pulpa dan manajemen Perawatan Endodontik

Konsep mapping

Perawatan endodontik Indikasi & kontraindikasi

Preparasi biomekanis

Teknik preparasi Step back

21
Kesalahan preparasi

Cara menghindari kesalahan

Penanganan jika sudah terjadi kesalahan

Pertanyaan Minimal :
1. Apa penyebab rasa sakit berdenyut pada kasus diatas ?
2. Bagaimana proses perjalanan penyakit pada kasus diatas?
3. Apakah diagnosis dari kasus diatas?
4. Apakah rencana perawatan dari kasus diatas?
5. Apakah indikasi dan kontraindikasi perawatan endodontik?
6. Teknik preparasi apa yang digunakan untuk kasus diatas? apa alasannya?
7. Sebutkan macam – macam file yang digunakan pada perawatan endodontik beserta
fungsinya!
8. Jelaskan gerakan file pada teknik step back!
9. Jelaskan tahapan preparasi step back dan clinical reasoningnya!
10. Apakah kelebihan dan kekurangan dari teknik step back?
11. Apa interpretasi dari gambaran radiografis pada skenoario?
12. Apakah kegagalan yang mungkin terjadi selama preparasi saluran akar? Bagaimana cara
menghindari dan penanganannya?

Materi
Abses eksaserbasi akut
Definisi : Merupakan reaksi inflamasi akut yang terjadi pada lesi kronis seperti kista atau
granuloma
Etiologi :
Lesi kronis seperti granuloma berada dalam kondisi seimbang (antara imunitas dan toksik
bakteri) sehingga asimptomatik, namun kondisi ini menjadi tidak seimbang jika terjadi
peningkatan produk nekrotik, peningkatan jumlah bakteri, dan berkurangnya imunitas host.
Kondisi yang tidak seimbang tersebut menimbulkan kembalinya inflamasi akut pada lesi kronis.
Simptom :
 Serupa dengan abses apikalis akut  dapat dibedakan dari symptom dan riwayat pasien.
 Gigi terasa memanjang

22
 Palpasi positif.
Diagnosis :
 Diketahui dari riwayat pasien
 Respon pulpa negative
 Pada pemeriksaan radiograf terdapat area radiolusen yang luas
 Histopatologi : terdapat nekrosis lequefaksi disertai leukosit PMN dan debris seluler
dikelilingi oleh makrofag, limfosit, sel plasma pada jaringan periradikuler
(Garg & garg, 2008)

Triad endodontic
Indikasi dan kontraindikasi PSA
A. Indikasi
 Pasien dengan penyakit sistemik tertentu ( diabetes militus, rheumatic fever,
malignansce, dll) karena penyakit sistemik ini akan melemahkan sistem pertahanan
tubuh, sedangkan infeksi bakteri ke dalam tubuh lebih kecil peluangnya dengan
melakukan perawatan PSA atau endodontic daripada melakukan ekstrasi gigi
 Pasien dengan dental histori yang baik
B. Kontraindikasi
 Biaya perawatan , bagi pasien yang merasa tidak sanggup.
 Kemampuan dari dokter gigi yang belum memadai baik dari penggunaan alat dan
perawatannya.
 Keadaan jaringan periodontal yang lemah.
 Instrument yang tidak cocok.
 Nonrestorable tooth (contohnya gigi dengan karies akar yang parah ataupun karies pada
bagian furkasi)
 Gigi mengalami resorpsi parah
 Letak gigi tidak strategis, misalnya molar tiga.
 Gigi yang mengalami fraktur vertical

Perawatan endodontik dapat dibagi dalam tiga fase (triad endodontics) yaitu :
1. preparasi biomekanis saluran akar (pembersihan dan pembentukan/pemberian bentuk),

23
2. Disinfeksi dan
3. Obturasi

. (Garg & Garg, 2007)

Preparasi biomekanis
1. Pembukaan akses
2. Penentuan panjang kerja
3. Preparasi saluran akar
4. Irigasi saluran akar
5. Obturasi saluran akar

Access to the root canal system : coronal cavity preparation

Careful cavity preparation and obturation are the keystones to successful root canal
treatment. As in restorative dentistry, the final restoration is no better than the initial cavity
preparation. Endodontic cavity preparation begins the instant the tooth is approached with a
cutting instrument (Figure 4-1). Hence, it is important that adequate access be developed to
properly clean and shape the canal system and obturate the space. When first approaching the
tooth, one must have in mind the three-dimensional anatomy of the pulp chamber about to be
entered, not the two-dimensional image revealed by the radiograph (Figure 4-2). It is this
chamber outline that is to be “projected” out onto the occlusal or lingual surface of the crown
(Figure 4-3). Endodontic cavity preparation is separated into two anatomic entities: coronal
preparation and radicular preparation. Coronal preparation is discussed in this chapter. In doing
so one may fall back on Black’s principles of cavity preparation—outline, convenience,
retention, and resistance forms—admittedly developed by Black for extracoronal preparation but
just as applicable to intracoronal preparation (Figure 4-4). One may add removal of remaining

24
carious dentin (and defective restorations) as well as toilet of the cavity (both of which are
necessary) to make Black’s principles complete. Outline form is often thought of as only the
coronal cavity. But actually the entire preparation, from enamel surface to the apical terminus, is
one long outline form (Figure 4-5). On occasion outline may have to be modified for the sake of
convenience to accommodate the unstressed use of root canal instruments and filling materials
(Figure 4-6). In other words, to reach the apical terminus without interference from overhanging
tooth structure or ultra-curved canals, one must extend the cavity outline. Also, on occasion the
canal may be prepared for retention of the primary filling point (see Figure 4-5). However, more
important is resistance form, to prepare an “apical stop” at the canal terminus against which
filling materials may be compressed without overextending the filling (see Figure 4-5). Proper
preparation of the apical one-third of the canal is crucial to success.

4.1 4.2 4.4


Gambar 4.1. A-C jalan masuk ke kamar pulpa pada gigi posterior selalu dicapai dari permukaan oklusal,
dan pada gigi anterior pada permukaan lingual. B. bur khusus end-cutting fissure digunakan untuk
membuang email atau emas saat open akses A. dan bur end cutting lain untuk membuang tumpatan
amalgam C. bur yang sama dapat digunakan untuk memperluas dinding pada saat akses kavitas. Harus
diingat bur tersebut memiliki ujung cutting yg dapat merusak dasar kamar pulpa Gambar 4.2. Radiograf
standar pada proyeksi bukolingual hanya terlihat gambaran 2 dimensi, sementara jika dilihat dari
potongan melintang, bentuk saluran akar premolar kedua maksila berbentuk pita ovoid, bukan bulat.
Gambar 4.3. untuk mendapatkan akses yang baik pada 2 saluran akar gigi premolar, maka preparasi
akses berbentuk ovoid, bukan bulat. Gambar 4.4. Prinsip preparasi kavitas menurut Black’s – outline,
convenience, retention, dan resistance forms – digunakan pada preparasi open akses.

4.5 4.6
Gambar 4.5. konsep preparasi kavitas pada PSA bagian coronal dan radicular berdasarkan prinsip
Black. A. apeks yang tampak pada radiograf. B. resistance form berupa “apical stop”. C. retention form

25
berfungsi untuk menjaga material bahan pengisi. D. convenience form berfungsi untuk mengakomodasi
keluar masuknya instrumen kedalam saluran akar. E. outline form dari mahkota sampai apical stop.
Gambar 4.6. A. akses ke saluran akar mesial terhalang oleh mahkota dan atap kamar pulpa yang
menggantung mengarahkan instrument ke mesial sehingga terbentuk ledge. B. Pembuangan atap kamar
pulpa mempermudah eksplorasi orifice dan akses pada saluran akar.

Power-driven rotary instruments are used to penetrate the crown. Round carbide burs
commensurate in size with the chamber, as seen on a radiograph, or round-tip, end-cutting
tapered burs (TransmetalCaulk/Maillefer) or diamond stones (EndoAccess-Caulk/Maillefer,
Tulsa, OK) are best for perforating enamel and entering the chamber (Figure 4-7). Enamel and
precious metals are easily removed with carbide burs, but extra-coarse, round-tip diamonds are
best for penetrating porcelain-fused-to-metal and all-porcelain restorations. Once the chamber
is entered, the remaining tooth structure covering the chamber is removed with round or tapered
burs or stones (Figure 4-8). Initially, high-speed rotary instruments are used. But once the
chamber is entered, the neophyte is advised to use slower-speed instruments so that tactile
sensation may, in part, guide the removal of the remaining structure. To overcut the crown only
weakens it more.
As soon as the canal orifices have been exposed, they may be entered with endodontic
files to determine whether the instruments are either “under stress” or free of interfering tooth
structure (Figure 4-9). If binding, convenience form dictates that the coronal outline form be
extended to free up the shaft of the file. There should be unobstructed access to the canal
orifices and direct access to the apical foramen. This is done with high-speed tapered burs or
stones, preferably with noncutting tips (see Figure 4-8). Warning: fissure burs often “chatter,”
distressing to the patient.

4.7 4.8 4.9


Gambar 4.7. Bur no.4 atau 6 bisa digunakan untuk mengangkat atap kamar pulpa, tergantung ukurang
dari kamar pulpa. Gambar 4.8. A. finishing akhir untuk mendapatkan convenience form. Pada molar
bawah, penghalang di area mesial dan distal yang menghalangin orifice dihilangkan. B. bur non cutting
digunakan untuk memperluas akses Gambar 4.9. Akses yang lurus ke orifis sampai “apical stop” bisa
didapat jika tidak ada penghalang pada area koronal

26
MAXILLARY ANTERIOR TEETH
Maxillary anterior teeth are entered from the lingual aspect. The enamel is perforated
with a round carbide bur, an end-cutting, tapered bur, or a diamond stone held parallel to the
long axis of the tooth. As soon as the pulp chamber is entered, the tapered bur is used to
remove tooth structure incisally (Figure 4-10). This convenience removal allows adequate room
for the shaft of burs that will enter deeper into the pulp chamber to remove its “roof” (Figure 4-
11). Once the preparation is completed on the incisolabial surface, a tapered stone is used to
remove the lingual “shoulder” (Figure 4-11). The final outline form on the lingual surface should
reflect the size and shape of the pulp chamber, usually dictated by age (Figure 4-14). The entire
outline form, from incisal to apex, must be free of any encumbrances that would interfere with
cleaning, shaping, and obturation (Figure 4-15)

4.10 4.11
Gambar 4.10. Gigi anterior maksila. Jalan masuk ke dalam kamar pulpa dicapai melalui permukaan
lingual. Penetrasi awal dibuat pada bagian tengah permukaan lingual gigi anterior. Arah bur parallel
terhadap aksis gigi.
Gambar 4.11. Gigi anterior maksila. Jalan masuk ke kamar pulpa dicapai dengan round bur low-speed,
tetap perhatikan arah aksis gigi. Atap pulpa dibuang kearah kearah permukaan insisal untuk memenuhi
convenience form. Kemudian digunakan bur fissure untuk membuang halangan di lingual dan insisal

4.14 4.15
Gambar 4.14. Gigi anterior maksila. Outline form dari lingual memperlihatkan ukuran kamar pulpa – pada
pasien yg lebih tua, bentuk outline panjang dan ovoid – pada pasien lebih muda, bentuk outline fan-
shaped. Pastikan mengangkat sisa pulpa pada tanduk mesial dan distal. Gambar 4.15. preparasi akhir
saat instrument sudah didalam saluran akar. Instrument tidak berkontak dengan dinding mahkota di
insisal dan lingual.

MANDIBULAR ANTERIOR TEETH


Mandibular anterior teeth also are entered from the lingual surface. The enamel is
perforated with a round carbide bur, an end-cutting tapered bur, or a diamond stone, held
parallel to the long axis of the tooth (Figure 4-19). As soon as the pulp chamber is entered, the

27
bur/stone is used to remove tooth structure toward the incisal aspect (Figure 4-20). This
convenience removal allows adequate room for the shaft of burs that will enter deeper into the
pulp chamber to remove its roof (Figure 4-21). The final outline form on the lingual surface
should reflect the size and shape of the pulp chamber, usually dictated by age. The entire
outline form, from incisal to apex, must be free of any encumbrances that would interfere with
cleaning, shaping, or obturation.

4.19 4.21
Gambar 4.19. gigi anterior mandibula. Jalan masuk ke kamar pulpa selalu didapat dari permukaan
lingual. Penetrasi awal dibuat tepat ditengah permukaan lingual menggunakan fissure bur. Gambar 4.20.
setelah enamel dipenetrasi, posisi bur dirubah kearah vertikal, memulai pemotongan area kamar pulpa
yang overhanging di insisal. Gambar 4.21. orifis dilebarkan menggunakan fissure bur non cutting dengan
arah keluar saluran akar di dinding insisal dan lingual.

MAXILLARY PREMOLAR TEETH


Entrance is always gained through the occlusal surface of all posterior teeth. The
enamel or restoration is perforated in the exact center of the central groove with a round carbide
bur, an end-cutting, tapered bur, or a diamond stone held parallel to the long axis of the tooth
(Figure 4-27). Once the chamber is entered, an explorer or endodontic file is used to explore the
orifices of the labial and lingual canals of the first premolar or the central canal (or possibly
additional canals) in the second premolar (Figure 4-28). From this exploration one learns the
necessary extension of the buccolingual outline form. Always probe for the possibility of
additional canals in either premolar.
Buccolingual cavity extension is best done with tapering fissure burs or stones (Figure 4-
29). Adequate buccolingual endodontic cavity outline form is in contrast to the mesiodistal
restorative outline form (Figure 4-30). The final preparation should provide adequate,
unimpeded access to all canal orifices (Figure 4-31). Cavity walls should not impede complete
authority over the enlarging instruments.

28
4.27 4.28 4.29 4.30
Gambar 4.27. Gigi premolar maksila. Akses ke area posterior didapat dari permukaan oklusal. Arah bur
pada penetrasi awal parallel terhadap aksis gigi ditengah grove. Bur yang digunakan adalah round bur
no.4. Bur akan terasa perforasi jika sudah mencapai kamar pulpa, kalau tidak terasa perforasi karena ada
kalsifikasi atau pulp stone, batas bur masuk ke kamar pulpa sampai handpiece menyentuh permukaan
oklusal – 9 mm. Gambar 4.28. Endodontic explorer digunakan untuk mencari orifis di bukal dan lingual
pada premolar pertama atau di tengah pada premolar kedua. Gambar 4.29. outline kavitas diperluas kea
rah bukolingual menggunakan bur fissure atau diamond. Gambar 4.30. Outline preparasi dari arah
oklusal menggambarkan anatomi internal kamar pulpa dan terlihat orifis

MANDIBULAR PREMOLAR TEETH


Entrance is gained through the occlusal surface of all posterior teeth. The enamel or
restoration is perforated in the exact center of the central ridge with a round carbide bur, an end-
cutting, tapered bur, or a diamond stone held parallel to the long axis of the tooth (Figure 4-36).
Once the chamber is entered, an explorer or endodontic file is used to explore the canal and to
search for a second canal (Figure 4-37). From this exploration one learns the needed extent of
the outline form. Additional canals in lower premolars are more prevalent in black patients.
Removal of the roof of the pulp chamber and expansion of the occlusal outline form is best done
with tapering fissure burs or stones (Figure 4-38).

The ovoid outline form reflects the shape of the pulp chamber and must be extensive enough to
accommodate instruments and filling materials (Figure 4-39). Search for a second canal,
especially in the first premolar. The final preparation should provide access from the occlusal
surface to the apex (Figure 4-40). Cavity walls should not impede complete authority over the
enlarging instruments.

29
MAXILLARY MOLAR TEETH
Molar teeth are always entered through the occlusal surface. Enamel or restorations are
best perforated with a round carbide (no. 4) bur, an end-cutting, tapering fissure bur, or a
diamond stone. The point of entrance should be the central pit, and the bur should be aimed at
the orifice of the palatal canal, the largest canal (Figure 4-45). The same instrument can be
used to remove the remaining roof of the pulp chamber. Once the opening is large enough, the
orifices of the canals should be explored with explorers or files (Figure 4-46). In this manner,
convenience extension is established. Final convenience extension is best done with a non-end-
cutting, tapering fissure bur or stone so as not to nick the floor of the chamber (Figure 4-47).

The final occlusal outline form reflects not only the size and shape of the pulp chamber but the
convenience extensions necessary to free the shafts of the enlarging instruments (Figure 4-48).
Do not assume there are only three canals. One must always probe for extra canals! Keep in
mind, however, that some maxillary second molars may have only two canals. Outline form,
from occlusal to apex, must be free of any encumbrance, allowing unimpeded use of the
enlarging instrument (Figure 4-49).

MANDIBULAR MOLAR TEETH


All mandibular molar teeth are entered through the occlusal surface. Initial penetration is
made in the exact center of the mesial pit, aimed for the orifice of the distal canal, the largest
canal. Round carbide burs (no. 4), end-cutting, tapering fissure burs, or diamond stones are
used to enter the chamber and to remove the roof of the chamber as well (Figure 4-54).
Endodontic explorers or files are used to locate the orifices of the canals and to determine the
direction convenience extensions must be made (Figure 4-55). One must carefully explore for a
possible fourth canal in the distal root.

30
Non-end-cutting, tapering fissure burs or stones are best used to expand the outline form to
accommodate unimpeded use of the enlarging instruments (Figure 4-56). The final outline form
is dictated by the size and shape of the pulp chamber plus the convenience extensions needed
to free the enlarging instruments from interference (Figure 4-57). Severe extensions to the
mesial are not uncommon. The final outline form, from occlusal to apex, provides unobstructed
access for all enlarging instruments and filling materials (Figure 4-58). (Ingle, 2009)

31
(Patel & barnes, 2013)

32
Penentuan panjang kerja saluran akar

Before cleaning and shaping are undertaken, the length of each canal must be
established. This can be done radiographically or electronically. One must first establish in one’s
own mind just where the preparation and obturation of the canal should terminate. It has long
been suggested that the minor diameter at the cementodentinal junction is often the narrowest
site of the apical foramen, the apical constriction, and that this is where the apical stop should
be established. Measurements have shown this site to be from 0.5 to 1.0 mm from the major
diameter, the radiographic apex (Figure 5-14). So, if the full length of the canal is determined,
0.5 to 1.0 mm should be subtracted to stay within the confines of the canal and terminate at its
narrowest point (Figure 5-15). This should be the working length. Some would argue that
preparation and filling should extend past this site to the full length of the portal of exit or even
beyond, a slight overfilling or apical “puff.”

Penentuan PK dengan Radiograf

Radiographic determination is done by measuring the length of the root on the


radiograph and then, to be on the safe side, subtracting millimeters from this estimate (see
below). A file, with a stop in place, is then set at this tentative length and inserted into the canal.
A radiograph is taken and the measurement from the tip of the file to the apex is added to the
known length of the file that was in the canal. These two numbers add up to the full length of the
root; then 0.5 or 1.0 mm is subtracted from this total. This is the working length (Figure 5-16).
During cleaning, shaping, and obturation, no instrument or filling material should exceed this
length, except during the final cleaning beyond the apical constriction with a tiny instrument.
Weine has suggested that if bone resorption is apparent at the apex, 1.5 mm should be
subtracted, because there is probably some unseen root resorption. If both bone and root
resorption appear in the radiograph, 2.0 mm should be subtracted to ensure that one stays
within the canal (Figure 5-17).

33
Penentuan PK dengan EAL (electronic Apex Locator)
Electronic determination is done with electric apex locators; there are a number on
the worldwide market. The third- and fourth-generation locators all do essentially the same
thing. They measure electric impedance, not frequency, as did earlier models. Hence, they
function in the presence of electrolytes such as sodium hypochlorite. They all are battery
powered. Price and warranty are often the only differences, ranging from $450 to $995 (US) and
from a 1- to a 3-year warranty. The leaders in the field are Elements Diagnostic Unit and
Apex Finder A.F.A. (SybronEndo), Endex and Endex Plus (Osada, Inc.), Root ZX Apex
Locator (J. Morita, USA), Foramatron D10 (Parkell Co.), Mark V Plus (Miltex, Inc.), Raypex 4

34
(Roydent, USA; VDW, Germany), and the Justtwo (Medidenta) (Figure 5-18). Some models
are combined with electric pulp testers such as the SybronEndo Analyzer, model 8500. To use
apex locators, a clip carrying up to 1 KHz of alternating current is placed on the patient’s lip and
an endodontic file carrying 5 KHz is inserted into the canal. As the file proceeds down the canal,
the impedance between the two sites is converted to a readable scale, and when the minor
diameter is reached, indicators visual, sound, or light—announce the site. The instrument-stop
on the file is then readjusted, the file is withdrawn, and working length (minus the 0.5–1.0 mm
safety factor) is measured and recorded. This is then repeated with each canal. All methods or
devices for measuring root length admit to being slightly inaccurate, at least 0.5 mm plus or
minus. For that reason it is recommended that length be cross-checked. A recent study at the
Oregon School of Dentistry compared the accuracy of the Morita Root ZX versus the
SybronEndo Analyzer, model 8500. Investigators found that the Root ZX was able to predictably
locate the minor diameter (± 0.5 mm) with 90.7% accuracy, whereas the Sybron
Analyzer had 34.4% accuracy. If the initial length is established on a radiograph, an apex
locator should verify the length, and vice versa. One should not fall into the trap of believing that
the radiographic length of the tooth is the actual length of the canal terminus. All too often the
canal exits at the side of the root, short of the full length of the tooth (Figure 5-19).

35
1. Sebutkan macam – macam file yang digunakan pada perawatan endodontik beserta
fungsinya!
2. Jelaskan gerakan file pada teknik step back!
3. Apakah kelebihan dan kekurangan dari teknik step back?
4. Mengapa pada kasus ini terjadi ledge? Bagaimana cara menghindari dan penanganannya?
5. Apakah kegagalan yang mungkin terjadi selama preparasi saluran akar? Bagaimana cara
menghindari dan penanganannya?

Preparasi saluran akar

The ideal shape of a finished root canal preparation is a gradually widening taper, from
the apex to the crown. This may be achieved in one of two ways: by starting instrumentation at
the apical termination and gradually enlarging the preparation toward the crown, the so-called
step-back or serial technique, or by starting at the crown with a widening preparation and
gradually working apically into a narrowing canal, the so-called step-down or crown-down
preparation. Both approaches have their adherents and detractors.

36
Prinsip preparasi saluran akar :
A. Desain
 Membentuk taper kearah apex
 Diameter sempit diapikal
 Mengikuti bentuk kanal yang sebenarnya
 Posisi foramen apical tidak berubah
 Meminimalisir apical opening (akibat preparasi apical yang berlebihan)
B. Aspek biologis
 Instrumentasi selalu didalam saluran akar
 Tidak mendorong jaringan nekrotik keapikal
 Mengangkat semua jaringan dari saluran akar

Tujuan preparasi saluran akar :


1. Membersihkan dan melebarkan saluran akar
- Membuang debris dan dentin yang terkontaminasi
- Membuang sisa jaringan pulpa dan nekrotik
- Menghaluskan iregularitas dinding saluran akar
- Dilebarkan  Mengakomodasi bahan irigasi.
2. Membentuk apical stop
- Sebagai retensi saat obturasi  mencegah overfilling bahan obturasi ke apical
- Diketahui dengan mengecek menggunakan gutta percha (tug back), atau dengan file
(apical gauging)
3. Membentuk dinding saluran akar
- Untuk keperluan obturasi
- Mempertahankan lebih banyak jaringan di apical

Teknik Konvensional /standardized technique


Pada teknik konvensional, tidak ada pengurangan panjang kerja selama preparasi saluran akar.
Negosiasi kanal diawali dengan file kecil dan gerakan watch winding. Kemudian dilakukan
preparasi sampai instrument terakhir tanpa mengubah panjang kerja.
Kekurangan teknik konvensional :
 Bentuk saluran akar yang membengkok akan terpreparasi lebih besar
 Sulit didapatkan hasil obturasi yang hermetis, karena sulitnya memadatkan gutta percha
pada taper (.02) yang kecil.

37
Teknik step back
Kelebihan :
- Meningkatkan kualitas obturasi, jika dibandingkan dengan teknik konvensional
- Membentuk corong / taper yang lebih besar (0,05-0,10) dibandingkan pada teknik
konvensional (0.02)
- Menghindari terjadinya ledge dan zip
Kelemahan
- Instrumen dan waktu yang digunakan lebih lama dan banyak daripada teknik crown down
- Debris beresiko terdorong ke apical saat preparasi
- Kemungkinan kesalahan panjang kerja, karena ada nya perubahan panjang kerja saat apical
yang curve terpreparasi menjadi lebih straight
Instrumen pada preparasi saluran akar teknik step back
Instrument diberi nomor dari 10-100 dan ditandai dengan warna. Setiap nomor
merepresentasikan diameter dari instrument dalam ukuran milimeter.

File yang bekerja dalam memotong dinding saluran akar dimulai dari tip / ujung file (D1) dan
memanjang sampai D2 dengan panjang 16 m pada file yang berukuran 25 mm. Setiap
penambahan 1 mm dari D1 ke D2 terdapat peningkatan diameter sebesar 0,02 mm. Sudut
instrument bervariasi antara 75 ± 150. Panjang instrument bervariasi dari 21, 25, 28, dan 30 mm

38
a. K-File
 K-file berbentuk triangular atau square dalam potongan melintang.
 K-file berbentuk triangular lebih fleksibel dan potongannya lebih efektif
dibanding Kfile berbentuk square
 Berbahan stainless steel

b. H-file
 H-file berbentuk seperti pohon cemara.
 Berbahan stainless steel
 H-file merupakan alat yang agresif, kuat dan tidak fleksibel serta mudah
fraktur. H-file hanya boleh digunakan dengan gerakan filing. Jika digunakan

39
dengan gerakan memutar, tepi H-file akan masuk kedalam dinding saluran
akar dan menyebabkan frakturnya alat.

Macam – macam gerakan file :

Reaming Dilakukan menggunakan reamer. Gerakan


memutar searah jarum jam

Filing Gerakan tarik - dorong didalam saluran


akar. Gerakan ini dilakukan untuk
preparasi saluran akar.

Kombinasi File dimasukkan ¼ putaran searah jarum


reaming dan jam dengan tekanan ringan ke apical
filing (reaming) kemudian ditarik keluar (filing)

Balanced - Instrument dimasukkan ke dalam


force saluran akar sambil diputar ¼ putaran
searah jarum jam.
- Kemudian file diputar berlawanan arah
jarum jam dan ditekan sedikit ke apikal.
- Kemudian file diangkat keluar sal akar
dengan memutar searah jarum jam
- Teknik efisien untuk file dengan
penampang triangular  karena dapat
meningkatkan fleksibilitas file &
mengurangi tekanan instrumen pada

40
saluran akar yang bengkok.

Watch - Teknik ini efisien untuk K-File, digunakan


winding saat preparasi biomekanis
- Instrumen dimasukkan ke dalam saluran
akar sambil diputar ¼ putaran searah
jarumjam kemudian ¼ putaran
berlawanan jarum jam
- Gerakan ini tidak diikuti dengan
menekan file kearah apikal, sehingga
lebih aman

Watch - Instrument dimasukkan ke dalam


winding and saluran sambil diputar kekanan dan
pull motion kekiri. Saat terasa ada hambatan,
instrument ditarik keluar dari saluran
akar.
- Teknik ini biasanya digunakan pada H-
file, namun pada Hfile saat putaran awal
tidak akan memotong dentin, karena H-
file hanya akan memotong dentin saat
gerakan tarik.

Tahapan preparasi step back


Penentuan Initial Apical File (IAF) :

- yaitu file terbesar yang dapat masuk sepanjang kerja sebelum preparasi saluran akar.
- Masuknya IAF harus terasa sesak pada apikal, BUKAN pada saluran akar.
- IAF berfungsi untuk mengetahui diameter apikal diawal sebelum dimulai preparasi sebagai
patokan mendapatkan MAF (Master Apical File)
- Cara : coba masukkan file secara pasif dengan gerakan watch winding dari yang paling
terkecil sesuai panjang kerja sebenarnya sampai didapatkan file yang terasa sesak namun
sesuai panjang kerja.

FASE I – preparasi pada 1/3 apikal

a. Basahi saluran akar dengan larutan irigasi NaOCl 2,5% menggunakan jarum irigasi
b. Ukur jarum irigasi dengan sliding caliper, sesuaikan dengan panjang kerja sebenarnya yang
dikurangi 3 mm. Tandai dengan stopper. Jarum irigasi harus bisa masuk minimal 2/3 dari
panjang kerja.

41
c. Selalu lubrikasi instrumen yang digunakan setiap sebelum masuk ke dalam saluran akar
menggunakan EDTA gel
d. Masukkan file IAF kedalam saluran akar dan preparasi dengan gerakan watch winding
dengan tekanan minimal ke apikal
e. Angkat file kemudian lakukan irigasi NaOCl 2,5% sebanyak 2 ml selama 5 – 10 menit.
f. Bersihkan file dari debris menggunakan NaOCl 2,5 % dan alkohol, kemudian evaluasi bentuk
file, harus dalam kondisi bersih dan tidak distorsi.
g. Masukkan kembali file 1 nomor diatas IAF dan lakukan preparasi kembali dengan gerakan
watch winding
h. Keluarkan file dari saluran akar dan irigasi kembali dengan NaOCl 2,5% sebanyak 2 ml
selama 5 – 10 menit.
i. Bersihkan file dari debris menggunakan NaOCl 2,5 % dan alkohol, kemudian evaluasi bentuk
file, harus dalam kondisi bersih dan tidak distorsi.
j. Rekapitulasi / masukkan kembali file sebelumnya dengan panjang kerja gerakan watch
winding untuk mengangkat debris diapikal & mejaga apical patency
k. Irigasi kembali dengan NaOCl 2,5 % sebanyak 2 ml selama 5 – 10 menit
l. Ulang kembali proses tersebut sampai tercapai syarat dibawah ini :
- Minimal 3 nomor diatas IAF
- Mencapai white dentin, saluran akar bebas dari dentin yang terinfeksi  dengan cara
melihat debris yang keluar dari saluran akar saat proses irigasi
- Minimal no 25  menyesuaikan dengan diameter minimal dari jarum irigasi, agar dapat
masuk sampai 1/3 saluran akar
- Didapatkan apical stop (dilakukan pengecekan dengan file terakhir  apical gauging)
m. File terakhir pada tahap ini dinamakan file MAF (Master Apical File) yang akan digunakan
sebagai alat rekapitulasi pada tahap selanjutnya

42
Fase II – preparasi badan saluran akar

a. Masukkan 1 K- file nomor diatas MAF dengan panjang kerja dikurangi 1 mm kedalam
saluran akar dengan gerakan watch winding, irigasi dengan cara diatas, dan rekapitulasi
dengan K-file MAF.
b. Ulangi prosedur diatas dengan menambahkan ukuran file sampai 3 nomor, dan mengurangi
1 mm dari panjang kerja file, lakukan rekapitulasi tiap penambahan K- file dengan K-file MAF
dan panjang kerja MAF. Rekapitulasi dilakukan untuk memeriksa panjang kerja agar tidak
berubah dan membersihkan 1/3 apeks dari serbuk dentin.

Fase II A - Coronal flaring

a. Lakukan coronal flaring dengan H-file dengan nomor diatas nomor K-file yang
digunakan terakhir dan dikurangi 1 mm dari panjang kerja terakhir dengan gerakan
circumferential filing.

Fase II B – Finishing

a. Lakukan finishing dengan saluran akar menggunakan K-file MAF dan panjang kerja
MAF dengan gerakan push-pull untuk mendapatkan dinding saluran akar yang halus.
b. Setelah semua tahap preparasi selesai dilakukan, saluran akar dikeringkan dengan
paper point, dipastikan hingga benar-benar kering dan tidak boleh menggunakan
hembusan udara.

43
Teknik crown down
Kelebihan
1. Panjang kerja lebih stabil disbanding teknik step back
2. Terlebih dahulu mengeliminasi resistensi di koronal  mengurangi resiko
ledge/zip/transportation
3. Resiko terjebaknya debris diapikal lebih sedikit daripada teknik step back
4. Penetrasi bahan irigasi lebih baik, karena terlebih dahulu dilakukan pelebaran di koronal
5. Waktu dan alat lebih efisien

Kelemahan
Jika menggunakan protaper, taper yang dihasilkan besar, sehingga pada saluran akar yang
pipih beresiko over preparasi dan perforasi lateral

Cara

As with the step-back technique, the first step is to explore the canal with a fine, curved
stainless steel instrument. Once patency to the apical constriction has been confirmed, working
length is established and irrigation and initial enlargement begin. From early in the technique’s

44
development, canal orifices were located and enlargement was done with Gates-Glidden drills.
Starting with a size no. 1 instrument and drilling down the canal for a short distance, the sizes of
the instruments were increased to ever widen and flare the beginning and straight portion of the
canal. When 0.04 and 0.06 mm taper files were introduced, however, these became the
instruments of choice for widening and tapering the canal. Using hand instrumentation and
starting with a size no. 50 file, for example, the instrument is used in a watch-winding motion
and advanced down the canal for a short distance. It is then followed with increasingly smaller
files down to a no. 25 to the apical constriction (ie, a no. 50 followed by a no. 45, a no. 40, etc,
down to a no. 25), each instrument shaping the canal for 2 or 3 mm. Irrigation and lubrication
are important. If a greater enlargement in the apical third is felt necessary, larger instruments
can be worked down the canal in the same motion. Similar step-down techniques employing
different types of instruments have been promulgated. The ProTaperFile Rotary System
employs rotary shaping files to widen access in the coronal two-thirds of the canal, to be
followed by 1 and 2 shaping files and, finally, finishing files 1, 2, and 3 (Figure 5-22).

45
Teknik irigasi
Bahan irigasi
Before one begins using instruments in the root canal, it should be cleaned of the mass
of necrotic, gelatinous material comprised of pulp remnants, bacteria, and tissue fluids (Figure
5-10). Copious lavage with an irrigant eliminates most of this toxic material. The irrigant of
choice is sodium hypochlorite (NaOCl)—plain, old household bleach (Clorox, Purex). NaOCl
is not only a lubricant and disinfectant, it is a tissue dissolvent as well. Full-strength NaOCl
(5.25%) dissolves both necrotic tissue and vital pulp remnants. Half-strength NaOCl (2.6%)
dissolves only necrotic tissue. However, both are effective bactericides. Irrigation should also
follow the use of each instrument, and NaOCl should then be left in the canal to act as a

46
lubricant for the next instrument. Most instruments cut better in a wet environment than a dry
one. NaOCl followed by chlorhexidine gluconate destroys half again as many bacteria as
NaOCl alone. Irrigation with NaOCl is best accomplished with a syringe and specially designed
needles. The concern with this approach is the possible extrusion of the liquid out the apical
foramen. The needle must always be loose in the canal. Furthermore, the use of special
needles designed to deflect the irrigant away from the foramen is imperative. ProRinse needles
(Dentsply/Tulsa Dental) have been shown to be highly effective in canal cleansing as opposed
to regular, sharp injection needles or notched needle tips (Figure5-11). Irrigation fluid should be
in the canal during all use of instruments, and copious irrigation should follow the use of each
instrument. Extended final irrigation should remove all loose debris from the canal. Removal of
the smear layer just before filling enhances the final result.
When cleaning and shaping are completed, the canal should be thoroughly irrigated and
the irrigant left in place for 5 to 10 minutes. Finally, the residual irrigant should be removed by
suction and the canal dried with paper points. All in all, irrigation is an important component of
proper root canal preparation—chemomechanical preparation, if you will.

Menghilangkan smear layer


Unfortunately, cleaning and shaping, either by hand or rotary instrumentation, leaves an
ugly layer of dentin filings, tissue residue, fluids, necrotic material, and bacteria smeared against
the walls of the preparation. This layer covers the orifices to the dentinal tubuli and the
accessory canals and must be presumed to be infected. To place the final canal filling and seal
the smear layer in place materially reduces chances of complete success. With the smear
layer’s removal, however, sealer is allowed to flow back into the dentinal tubuli and literally lock

47
the final filling in place. This should prevent both the ingress and egress of any stray bacteria.
For some years full-strength NaOCl (5.25%) followed by 17% ethylenediaminetetraacetic acid
(EDTA) has been used to effectively remove the smear layer. Reports of the results of irrigation
with this combination of bacteriostatic, chelating, and organic debris removal are most gratifying.
After irrigation with a 1.3% concentration of NaOCl for 1 minute followed by 2 minutes of
irrigation with MTAD, the smear layer is totally removed, the orifices of the dentinal tubuli
grossly exposed, and the canal effectively disinfected (Figure 5-29). Results such as these
greatly improve the chances of success following one appointment root canal therapy.

Teknik obturasi

There are essentially three basic methods of filling the root canal system, and there are a
number of minor permutations of these three methods. The first method is the lateral
condensation technique, In which the canal is filled with “cold” gutta-percha points that are
laterally condensed or compacted to fill the space. The second method is the sectional
technique, in which small pieces of gutta-percha are stacked by compaction, one on top of the
other, until the canal is filled. The third method is the warm gutta-percha/vertical compaction
technique, in which gutta-percha is warmed in the canal, made plastic, and then compacted. All
these techniques are dependent on the addition of a cement-like sealer that adheres to the
dentin walls and fills any space not filled by the gutta-percha.

Sealer

Before proceeding with the actual filling techniques, a review of the cements that are essential
to a well-sealed canal is in order. First it must be admitted that all of the sealers are soluble and
subject to dissolution. Second it must be conceded that most sealers are not adhesive to the
dentin walls, and that some of the sealers discolor teeth, especially those sealers that contain

48
silver. So, it is best not to leave any sealer in the crowns of teeth. Another concession is
irritability; that is, most of the sealers irritate periapical tissue if they escape the apex, some
more than others (Ingle, 2009)
TYPES OF SEALERS
Root canal sealers are necessary to seal the space between the dentinal wall and the
obturating core interface. Sealers also fill voids and irregularities in the root canal, lateral and
accessory canals, and spaces between gutta-percha points used in lateral condensation.
Sealers also serve as lubricants during the obturation process. Grossman outlined the
properties of
an ideal sealer (Box 7-1).149 At present no sealer satisfies all the criteria. Sealers should be
biocompatible and well tolerated by the periradicular tissues.367 All sealers exhibit toxicity when
freshly mixed; however, their toxicity is greatly reduced on setting.214 Sealers are resorbable
when exposed to tissues and tissue fluids.14 Tissue healing and repair generally appear
unaffected by most sealers, provided there are no adverse breakdown products of the sealer
over time.42,50-52,54 Breakdown products from the sealers may have an adverse effect on the
proliferative capability of periradicular cell populations.146 As a result, sealers should not be
placed routinely in the periradicular tissues as part of an obturation technique.214 Although an
osteogenic response has been observed with calcium hydroxide–based root canal
sealers,172,365,376,390 the ability of these sealers to sustain a high pH over time has been
questioned.207
The most popular sealers are zinc oxide–eugenol formulations, calcium hydroxide
sealers, glass ionomer sealers, resinbased (epoxy resin or methacrylate resin) sealers, and the
recently introduced calcium silicate–based sealers. Despite
claims by the manufacturers on the advantages of each class of sealers, there are no evidence-
based data, based on randomized clinical trials, demonstrating the superiority of one class of
sealer over another. Regardless of the sealer selected, all exhibit toxicity until they have set. For
this reason, extrusion of sealers into the periradicular tissues should be avoided (Fig. 7-13).
Zinc Oxide and Eugenol
Zinc oxide–eugenol sealers have a history of successful use over an extended period of
time. Zinc oxide–eugenol sealers will resorb if extruded into the periradicular tissues.14 They
exhibit a slow setting time,6 shrinkage on setting,192 solubility, 290 and they can stain tooth
structure.90,209,394 An advantage to this sealer group is antimicrobial activity.4,18,167,249 An
early zinc oxide–eugenol sealer was introduced by Rickert and Dixon.308 This powder/liquid
sealer contained silver particles for radiopacity. Although it was possible to demonstrate the

49
presence of lateral and accessory canals the sealer had the distinct disadvantage of staining
tooth structure if not completely removed. Marketed as Pulp Canal Sealer (SybronEndo) and
Pulp Canal Sealer EWT (extended working time), this sealer is popular with clinicians using
thermoplastic techniques. Procosol (Procosol, Inc., Philadelphia, Pennsylvania) is a modification
of Rickert’s formula in which the silver particles have been removed (zinc oxide, hydrogenated
resin, bismuth subcarbonate and barium sulfate; liquid eugenol).
Grossman modified the formulation and introduced a nonstaining formula in 1958 (Table
7-1).148 This is the formulation in Roth’s Sealer (Roth International) Tubli-Seal (SybronEndo) is
a catalyst/base zinc oxide–eugenol sealer that is convenient to mix but has a faster setting time
when compared with the liquid/powder sealers. Tubli-Seal EWT provides an extended working
time. Wach’s Sealer (Balas Dental, Chicago, Illinois) contains Canada balsam, which gives the
material a sticky or tacky property that softens the gutta-percha into a more homogeneous
mass when used with lateral compaction.
Although zinc oxide–eugenol sealers possess marked cytotoxic and tissue-irrigating
potencies in ex vivo cell culture studies,134 their clinical usefulness has been well demonstrated
in an in vivo animal model,129 as well as in retrospective human clinical studies.83 This
discrepancy between the results of in vitro and in vivo cytotoxicity testing may be explained by
the fact that most cell culture systems are represented by only one cell type (i.e. no cell-cell
interactions) which is often monoclonal in origin. Another important issue to consider is the fact
that culture conditions are not homeostatic and there is no elimination of toxic substances as
there would be in vivo. By contrast, the human body possesses a lymphatic system and
periapical defenses such as polymorphonuclear leukocytes, plasma cells, and macrophages to
help eliminate toxic substances. 61 These mechanisms do not exist in a culture plate and
must be taken into account for interpretations of the results of cell culture–based cytotoxicity
studies reported in the endodontic literature.
Calcium Hydroxide Sealers
Calcium hydroxide sealers were developed for therapeutic activity. It was thought that
these sealers would exhibit antimicrobial activity and have osteogenic–cementogenic potential.
Unfortunately, these actions have not been demonstrated. 100,251 Solubility is required for
release of calcium hydroxide and sustained activity. This is inconsistent with the purpose of a
sealer. Calciobiotic root canal sealer (CRCS) is a zinc oxide–eugenol sealer with calcium
hydroxide as one ingredient. Sealapex (SybronEndo) is a catalyst/base system. The base
contains zinc oxide, calcium hydroxide, butyl benzene, sulfonamide, and zinc stearate. The
catalyst contains barium sulfate and titanium dioxide as radiopacifiers in addition to resin,

50
isobutyl salicylate, and aerosol R972. Apexit and Apexit Plus (Ivoclar Vivadent) consist of an
activator (disalicylate, bismuth hydroxide/bismuth carbonate, and fillers) and a base (calcium
hydroxide, hydrated colophonium [i.e., pine resin], and fillers).
Noneugenol Sealers
Developed from a periodontal dressing, Nogenol (GC America,Alsip, Illinois) is a root
canal sealer without the irritating effects of eugenol. The base contains zinc oxide, barium
sulfate, and bismuth oxychloride.
Glass Ionomer Sealers
Glass ionomers have been advocated for use in obturation because of their dentin-
bonding properties. Ketac-Endo (3M ESPE, St. Paul, Minnesota) enables adhesion between the
material and the canal wall.128 It is also difficult to properly treat the dentinal walls in the apical
and middle thirds with conditioning agents to receive the glass ionomer sealer. A disadvantage
of glass ionomers is that they must be removed if retreatment is required.229 This sealer has
minimal antimicrobial activity.167 Activ GP (Brasseler USA, Savannah Georgia) consists of a
glass ionomer–impregnated gutta-percha cone with a glass ionomer external coating and a
glass ionomer sealer (Fig. 7-14). Available in 0.04 and 0.06 tapered cones, the sizes are
laser verified to ensure a more precise fit. This single cone technique is designed to provide a
bond between the dentinal canal wall and the master cone (monoblock). A bacterial leakage
study comparing Activ GP/glass ionomer sealer, Resilon/Epiphany, and gutta-percha (GP)/AH
Plus demonstrated no statistically significant differences at 65 days.125
Resin Sealers
Resin sealers have a long history of use, provide adhesion, and do not contain eugenol.
There are two major categories: epoxy resin–based and methacrylate resin–based sealers..

SEALER PLACEMENT
Sealers are mixed to a creamy consistency, not too thin and not too thick. They can be
applied to the walls of the canal in a number of different ways. Some pump the sealer into the
canal with a gutta-percha point. Some carry it into the canal on a file or reamer, twirling it
counterclockwise. Others use lentulo spirals, best rotated in the fingers, not in a handpiece.
Sealer that is whipped up sets too early. The canal must be liberally coated, and each auxiliary
point added to the canal should be generously covered with cement

51
Obturasi teknik kondensasi lateral

First a spreader is selected that will reach to the working length. Spreaders are now
numbered sizes 15 to 45, with the same system used in instrument standardization. Nickel-
titanium spreaders have proved more effective than those of stainless steel. The spreader
should be inserted in the canal to depth and then marked at the incisal/occlusal edge to be sure
it does not overextend when later used to spread aside the additional points added after the
primary point is in place. A primary point must then be selected that matches the same size
and number of the last file used at the apex. It may be slightly blunted if necessary and must
extend to the “apical stop” (the working length) and well fit the apical third, even to the point that
a bit of “tug back” is felt. To be sure, it is best to radiograph the point in place to make certain it
actually reaches the apical stop and that it generously fills the apical area. The point is then
marked at the incisal/occlusal edge, removed, and set aside. Next, the canal is dried with paper
points and the sealer is applied as noted above. The primary point is then coated with cement
and inserted into the canal to its full measured depth (Figure 6-3A). The excess at the crown
should then be snipped off. This is followed by the act of spreading or lateral compaction. The
preselected spreader is inserted alongside the primary point and slowly rotated back and forth
until it reaches its full predetermined depth (Figure 6-3B)—it is important that it fully reach this
depth. It should be held there for a minute or so to allow the movement of the sealer and gutta-
percha, and then slowly removed with the same rotating motion. The pathway formed by the
spreader is then filled with an additional point that is standardized to the same size and shape
as the spreader. It, too, has been coated with sealer (Figure 6-3C). This point is immediately
followed by the spreader rotated apically as far as possible (Figure 6-3D). When removed, its
pathway is again filled by an additional coated point, followed again by the spreader (Figure 6-

52
3E). This spreading/compaction action is continued until no more auxiliary points can be added
to the canal (Figure 6-3F). To avoid fracturing teeth, one is warned not to use too much
pressure in forcing the spreader, especially in lower incisors. At this time it is advisable to
radiograph the fill to be sure it has reached the minor foramen and totally filled the canal without
any discrepancies (Figure 6-4). Now is the time to make any adjustments. Once the filling is
perfect, the excess points are seared off at the orifice of the canal at the base of the chamber. A
very large plugger, such as size no. 140, or a small amalgam plugger, is then selected to finally
compact the filling with apical force. If satisfied with the result, the chamber should be
thoroughly cleaned of all cement. An adherent sealer, should then be placed over the gutta-
percha filling and the entire floor of the pulp chamber. This should discourage microleakage
alongside the obturation from any coronal leakage that might develop in the future. The final
coronal filling or crown may then be placed.

53
Obturasi teknik kondensasi vertikal

The claim for this technique is that all the “portals of exit,” even lateral and accessory
canals, are sealed when the warm gutta-percha is vertically compacted from above. Oftentimes
a minor flow of cement exudes from the apical foramen as well. As with lateral compaction, the
pluggers to be used, rather than spreaders, are first tested in the canal to be sure they extend
as far as desired: wider pluggers for the coronal third of the canal and narrower pluggers for the
apical third. The master cone used is the traditional cone shape, rather then the slender,
numbered points used in cold gutta-percha lateral compaction. The shape of these cones more
closely fits the widened flare of this preparation. The primary cone is selected and inserted to
the radiographic terminus (Figure 6- 6). It should exhibit tug back. If satisfactory, it is then
marked at the incisal/occlusal edge and withdrawn, and 0.5 to 1.0 mm of the tip
is removed.

After the canal is dried and sealer liberally applied, the coated primary cone is inserted
to the incisal mark. This leaves it 0.5 mm short of the apex. The portion of the cone in the
chamber is then severed with hot instruments (Figure 6-7A) such as Touch ’n’ Heat
(SybronEndo) (Figure 6-7B) or the Thermique Thermal Condenser (Parkell Co.) (Figure 6-
7C), and vertical pressure is applied using the largest plugger. This should move the mass
apically (Figure 6-8A). The heated instrument is again applied for 2 to 3 seconds, and some of
the gutta-percha is removed (Figure 6-8B). Immediately the midsized plugger is applied
vertically and the warmed mass is compacted apically. This heat and compact, heat and
compact procedure is repeated using the smallest plugger and then the midsized plugger until
the apical third is completely obturated with the warmed gutta-percha (Figure 6-8C). If a post is
to be placed, this is an adequate filling. If the canal is to be totally filled, it may be completed
with sectional pieces of warmed gutta-percha or back-filled with a gutta-percha “gun” (Figure 6-

54
8D) such as the Obtura II (Obtura/Spartan Co., Foothill Ranch, CA) (Figure 6-8E). Final
compaction should be done with a large plugger, the crown cleaned completely of all gutta-
percha and sealer, the root fillings sealed off with an adhesive dentin sealant, and the final
coronal restoration placed (Figure 6-8F). Do not be disturbed if a tiny “puff” of sealer exudes
from the apex. It will gradually resorb. Unquestionably, the warm gutta-percha/vertical
condensation obturation renders the most compact filling to date, and also fills many of the
patent accessory/lateral canals. It is slower, however, and more painstaking than the lateral
compaction method, and it requires additional heating and back-filling devices. Another variation
of the warm gutta-percha/vertical condensation technique is the System B Continuous Wave of
Obturation developed by Buchanan and marketed by SybronEndo. The System B Heat Source
(Figure 6-9) monitors the heat at the tip of the heat-carrier pluggers. After the primary gutta-
percha cone has been tested for fit, it is cemented to place and followed by the “hot-tip” plugger
set for 200°C and driven into the gutta-percha for about 2 seconds. The heat switch is then
released, and the cold plugger is held there for an additional 10 seconds. To remove the
plugger, the heat is again activated for 1 second and the “cold” plugger is withdrawn. This
should fill the apical third of the canal and any accessory canals. The remainder of the canal
may be filled by the Obtura gutta-percha gun. A hybrid technique of both lateral and vertical
compaction was developed by Martin, who developed the Endotech II handpiece (MediDenta,
Woodside, NY) (Figure 6-10). It contains batteries that heat a spreader/plugger used in a similar
manner of heating and laterally/ vertically compacting the gutta-percha. When a button is
pressed on the device, it heats up to warm the gutta-percha. At the release of the button, the
spreader cools off and becomes a plugger. Martin has also developed gutta-percha points
embedded with either iodoform or tetracycline, which is gradually released as a disinfectant.

55
56
MACAM-MACAM PENYEBAB TERJADINYA KEGAGALAN PERAWATAN SALURAN AKAR
Secara umum penyebab kegagalan dapat didaftar secara kasar dari yang frekuensinya
paling sering sampai ke yang paling jarang, yaitu kesalahan dalam diagnosis dan rencana
perawatan; kebocoran tambalan di mahkota; kurangnya pengetahuan anatomi pulpa;
debridement yang tidak memadai; kesalahan selama perawatan; kesalahan dalam obturasi;
proteksi tambalan yang tidak cukup; dan fraktur akar vertikal.
Berbagai prosedur yang terkait dengan perawatan saluran akar dibagi menjadi tiga
tahap yaitu tahap praperawatan, selama perawatan dan pasca perawatan. Mengingat
kegagalan perawatan saluran akar terkait dengan tiap-tiap tahap tersebut, maka penyebab
kegagalannya pun diklasifikasi sesuai dengan tahap-tahap itu (Cohen 1994; Walton &
Torabinejad, 1996).

57
Faktor Kegagalan Tahap Praperawatan
Kegagalan perawatan saluran akar pada tahap praperawatan sering disebabkan oleh :
1. Diagnosis yang keliru
2. Kesalahan dalam perencanaan perawatan
3. Seleksi kasus yang buruk
4. Merawat gigi dengan prognosis yang buruk

Diagnosis yang tidak tepat, biasanya berasal dari kurangnya atau salahnya interpretasi
informasi, baik informasi klinis maupun radiografis. Radiograf merupakan alat bantu utama
dalam penilaian konfigurasi anatomik sistem saluran akar perawatan. Tidak teridentifikasinya
penyimpangan berbagai sistem saluran akar pada radigraf sering menjadi penyebab kegagalan
perawatan saluran akar. Fraktur dentin akar atau didiagnosis keliru. Inflamasi kronis yang timbul
akan menyebabkan defek periodontal, defek ini sering baru terlihat di kemudian hari. Dalam
mendiagnosis suatu penyakit sangat diperlukan ketelitian dan pemahaman dokter gigi akan
gejala-gejala suatu penyakit. Karena keterbatasan pengetahuan, peralatan ataupun karena
kelalaian dokter gigi, tidak jarang terjadi kesalahan dalam mendiagnosis penyakit yang dapat
mengakibatkan timbulnya masalah dalam proses penyembuhan.
Seleksi kasus menentukan apakah perawatan dapat dilakukan atau tidak. Sebagian
rencana perawatan adalah mengidentifikasi kasus-kasus mana yang cenderung akan
mengalami kegagalan walaupun baiknya perawatan yang dilakukan. Sejumlah kegagalan yang
disebabkan oleh seleksi kasus yang buruk akan menimbulkan kekliruan dalam menilai
kerjasama pasien serta kesukaran yang mungkin timbul selama perawatan (Cohen, 1994; Ingle,
1985, Grossman, 1988, Walton & Torabinejad, 1996).

Faktor Kegagalan Selama Perawatan


Banyak kegagalan perawatan saluran akar yang disebabkan oleh kesalahankesalahan
dalam prosedur perawatan, kesalahan dapat terjadi pada saat pembukaan kamar pulpa, saat
melakukan preparasi saluran akar dan saat pengisian saluran akar.

58
KESALAHAN SAAT OPEN AKSES
1. GIGI INSISIVUS ATAS
Operative Errors The common error of perforating or badly gouging the gingivolabial
aspect (Figure 4-16) is usually due to two factors: not allowing adequate access toward the
incisal aspect of the preparation (see Figure 4-11) or not properly aligning the bur vertically
with the long axis of the tooth. Another common failure is not providing adequate access or
removal of the lingual shoulder (see Figures 4-11 and 13). Loss of control of the instrument
results in a pear-shaped and inadequate preparation of the apical third (Figure 4-17). A
similar failure, the result of inadequate access, diverts instruments from the canal lumen, as
illustrated here in a canine with a labial root curvature, undetectable in a standard labial-
lingual radiograph (Figure 4-18).

2. GIGI INSISIVUS BAWAH


The common error of gouging or perforating at the incisogingival aspect (Figure 4-24) is
usually due to two factors: not allowing adequate access toward the incisal of the
preparation (see Figures 4-20 and 21) or not aligning the bur vertically with the long axis of
the tooth (see Figure 4-19). Inadequate access leads to the inability to explore, débride,
and obturate the second canal, often not seen in a standard labiolingual radiograph (Figure
4-25). Never enter the pulp chamber from a proximal surface (Figure 4- 26). As inviting as it
might appear in some situations, total loss of control of enlarging instruments is the result.
Failure looms!

59
3. GIGI PREMOLAR ATAS
An error that occurs in maxillary premolar teeth is overextended preparation in a fruitless
search for a receded pulp (Figure 4-32). The white color of the roof of the chamber is a clue
that the pulp has not been reached. The floor of the chamber is a dark color. Failure to
observe the mesiodistal inclination of a drifted tooth leads to a gingival perforation owing to
the misaligned bur. The receded pulp is missed completely (Figure 4-33). An instrument
can be broken or twisted off in a “crossover” canal (Figure 4-34). Failure may be obviated
by extending the internal preparation to straighten the canals. Inadequate occlusal access
leads to the failure to explore, instrument, and obturate a third canal (Figure 4-35).

60
4. GIGI PREMOLAR BAWAH
An error that occurs in mandibular premolar teeth is perforation at the gingiva owing to
the failure to recognize the distal tilting of the tooth that often follows extraction of the lower
first molar (Figure 4-41). The pulp is missed entirely. Never enter the pulp from the buccal
aspect (Figure 4-42). Total loss of instrument control and imminent separation of the file
follows. Bifurcation of the canal is missed owing to the failure to thoroughly explore the
canal in all directions (Figure 4-43). Perforation at the apical curvature owing to the failure
to recognize by exploration the curvature to the buccal aspect (Figure 4-44). A standard
buccolingual radiograph does not reveal buccal or lingual curvatures.

5. GIGI MOLAR ATAS


One of the most common errors that occurs in maxillary molar teeth is perforation into the
furcation, using a surgical-length bur and unknowingly passing through the narrow pulp
chamber (Figure 4- 50). The depth to the chamber should be measured on the radiograph
and marked with Dycal on the shaft of the bur. In an underextended preparation, only the
pulp horns are nicked. White-colored dentin is a clue to the underextension (Figure 4-51).
The true floor of the chamber is marked by dark-colored dentin. An imperfect vertical
preparation can occur in a molar tipped to the buccal aspect (Figure 4-52). The preparation
should be parallel to the true long axis of the tooth.
A final error in maxillary molars is perforation of the palatal canal, commonly caused by the
assumption that the palatal canal is straight (Figure 4-53). In more cases than not, the
palatal canal curves to the buccal aspect, a fact that does not appear in the standard

61
buccolingual radiograph. Careful exploration with fine-curved files should reveal the
presence and direction of the curve.

6. GIGI MOLAR BAWAH


Perforation into the furcation is commonly caused by using a surgical-length bur and
unknowingly passing through the narrow pulp chamber (Figure 4-59). Depth to the pulp
chamber should be measured on the radiograph and marked on the shaft of the bur with
Dycal. Perforation at the mesiogingival aspect is caused by the failure to orient the bur to
the long axis of a mandibular molar severely tipped mesially (Figure 4-60).
Failure to locate a second distal canal occurs because of a lack of exploration for a fourth
canal hidden by inadequate outline form (Figure 4-61). Perforation of a curved, distal root is
caused by using a large, straight instrument in a severely curved canal (Figure 4-62). Such
a curve should be observed in a radiograph, and fine, curved or flexible instruments should
be used.

62
KESALAHAN SELAMA PREPARASI SALURAN AKAR

Tahap preparasi saluran akar mencakup proses pembersihan (cleaning) dan pembentukan
(shaping). Pada tahap ini dapat terjadi kegagalan perawatan saluran akar yang disebabkan oleh
1. Instrumentasi berlebih (over instrumentasi)
Instrumen menembus ke luar melalui foramen apikal sehingga dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi periapikal. Instrumentasi yang melewati konstriksi apikal dapat
mentransfer mikroorganisme dan mendorong bubuk dentin dari saluran akar ke jaringan

63
periapikal sehingga dapat memperburuk hasil perawatan (Grossman, 1988; Walton &
Torabinejad, 1996).
2. Instrumentasi kurang (underinstrumentasi)
Instrumen tidak mencapai panjang kerja yang benar sehingga pembersihan saluran akar
tidak sempurna, masih meninggalkan jaringan nekrotik di dalam saluran akar (Grossman,
1988; Walton & Torabinejad, 1996).
3. Preparasi berlebihan
Yang dimaksud dengan preparasi berlebihan adalah pengambilan jaringan gigi yang
berlebih dalam arah mesio-distal dan buko-lingual. Hal ini dapat terjadi dibagian koronal atau
pertengahan saluran sehingga melemahkan akar dan dapat menyebabkan fraktur
akarselama berlangsungnya kondensasi (Gutmann et all, 1992).
4. Preparasi yang kurang
Preparasi yang kurang adalah kegagalan dalam pengambilan jaringan pulpa, kikiran
dentin dan mikroorganisme dari sistem saluran akar. Saluran dibentuk sempurna sehingga
pengisian kurang hermetis (Gutmann et all, 1992).
5. Terbentuknya birai (ledge)
Many ledges are caused from inadequate access. The operator does not retain
complete control over the direction of the tip of the instrument and it gouges into the wall of
the canal starting a ledge (Figure 8-6A). Newer instruments with noncutting tips have
materially reduced this problem. The rounded tip does not cut into the wall but slips by it.
Curved roots are another impediment in canal preparation. This is especially true near the
apex of maxillary lateral incisors and the palatal root of maxillary first molars. Small, flexible
instruments with noncutting tips negotiate these curves, but larger, stiffer instruments start a
ledge that can develop into a perforation. If the instrument can no longer be inserted into the
canal to full working length, one should suspect that a ledge has been formed. There also is
a change in tactile sensation, a feeling that the instrument is no longer engaging the walls.
Stop! Take a radiograph with the instrument in place.

64
The solution, it appears, is to clean and shape the canal to the apical constriction with
the more flexible files, such as a no. 25, and then step back millimeter by millimeter with
increasingly larger, stiffer instruments, for example, from a no. 30 up through a no. 60 (Figure
5-21). This prevents transportation in the apical third. In hand instrumentation the instruments
are precurved to match the curve of the canal and are then advanced in a moist canal until
contact is made. The files are then rotated a quarter- to half-turn in a watch-winding motion
and withdrawn. An irrigant is reintroduced, and the procedure is repeated. With each
increase of instrument size, the working length is shortened by 1 mm (see Figure 5-21).
Introducing a lubricant in addition to the irrigant proves effective. Removal of the cutting
debris by irrigation between each instrument size is imperative. All in all the step-back
technique has proved very effective, and has led to a decided improvement in the cleaning
and shaping, as well as the obturation of root canals.

65
6. Perforasi
Canal perforations may be categorized by their location. Access cavity perforations,
such as perforations through the floor into the furcation, have already been discussed. Root
perforations can be identified as cervical, midroot, or apical. These are usually caused by
three errors: creating a ledge and persisting until a perforation develops, or wearing a hole in
the lateral surface of the midroot by overinstrumentation (canal stripping), or using too long
an instrument and perforating the apex. Cervical perforations usually occur when too large
an instrument is used to widen canal access, frequently a Gates-Glidden or Peeso drill. The
first indication is the appearance of blood in the cavity. Again, the bleeding is stopped and
MTA is applied to the perforation. Cotton should be placed in the chamber and a good
temporary placed to allow time for the MTA to set (> 3 hr). Preparation is continued at a
subsequent appointment. Midroot perforations are usually caused by zipping, frequently in
the distal wall of a curved mesial root of a mandibular molar (Figure 8-7). Again, blood in the
canal indicates that a perforation has occurred. By using paper points in the canal, the
location of the perforation can be determined (Figure 8-8A). MTA is the material of choice to
close the perforation (Figure 8-8B and C); an appointment is made with the patient for
continued treatment. Apical perforations are usually due to overeager instrumentation, just
plain drilling out through the apical orifice. Again, this can usually be determined with paper
points—they appear bloody at the tip (Figure 8-9). If a canal curves at or near the apex, using
larger and larger instruments will cause zipping that hollows out this area and leads to
perforation. Remember, a curved canal is gradually straightened through cleaning and
shaping. A straight line is the shortest distance between two points; therefore, the cleaning
and shaping actually shorten the working length! One has to compensate for this change by
shortening the working length on the shaft of the instrument. Maybe the difference will only
be 0.5 mm. Confirm the new length by radiographing an instrument in place. Apical
perforation destroys the resistance form. This means that the tip of the primary gutta-percha
point must be blunted and fit to place so that it does not extend beyond the orifice, even
when compaction is exerted during obturation. A good method is to deposit a tiny pack of
MTA at the apex, checking its placement radiographically. The patient returns at a later
appointment, after the MTA has set and plugs the apical foramen. At the subsequent
appointment, this new plug (resistance form) allows compaction of the gutta-percha. Later,
MTA will encourage cementum formation at the apex (Ingle, 2009)
This problem can be avoided by accurate radiographic working length measurement and
determination of the proper apical reference point. It is important to establish a reproducible

66
coronal reference point, which will be different for each root canal. Using electronic length
determination, a length correction can be made, e.g., as a result of inadvertent or accidental
straightening of dilacerated root canal segments (Beer dkk, 2006).

7. Instrumen patah dalam saluran akar


Many objects have been reported to break or separate in the root canal—
amalgam, files and reamers, lentulo spirals, Gates-Glidden drills, and burs. In addition,
patient-placed foreign objects, such as nails, pencil lead, toothpicks, tomato seeds, and
hat pins, have been reported in root canals. Files and reamers are the most frequent
offenders, and since the advent of nickel-titanium rotary instruments, breakage
(euphemistically called “separation”) has increased. Because these new instruments are
so flexible, unrealistic strains are placed upon them, especially in severely curved canals
and at higher rotary speeds. The first caveat is prevention. Do not force any
endodontic instrument, especially in a twisting or rotary motion. Advancement down the
canal by a “pecking” or “watch-winding” motion, rather than a forceful advance, is de

67
rigueur. Use of these new rotary instruments requires a learning curve, so one should
practice their proper use on extracted teeth before starting in the mouth. Also,
instruments should be inspected after their use to determine whether they have been
stressed (Figure 8-10). A safe rule of thumb is to use rotary instruments only once. At
first this seems costly, but all one has to do is break an instrument once, and the cost in
lost time and frustration would pay for dozens of instruments. If a broken instrument can
be grasped, it may be removed with Stieglitz forceps. Failing that, using fine ultrasonic
instruments to loosen and “float” out the broken piece has proven very successful. If all
retrieval fails, broken instruments have been successfully bypassed and a successful
root filling placed around them. If a broken instrument extends out the apex into
medullary bone, it should probably be removed surgically and a retrofilling placed.

8. Saluran akar mampat


Canal blockage can occur during canal enlargement. Files are known to
compact debris at the apex; even vital tissue can be compacted against the apical
restriction. Suddenly, working length is shorter because the instruments are working
against the packed mass at the apex. A radiograph will confirm this suspicion. Correction
is made by recapitulation—starting with finer instruments used in a quarter-turn motion.
Adding a chelating agent such as EDTA is helpful. One must be careful, however, not to

68
produce a ledge or perforation. On the other hand, sterile dentin chips at the apex,
formed during preparation, help to block the foramen and prevent overcompaction, and
dentin chips have been shown to stimulate cementum formation at the apex.
Kesalahan pada waktu irigasi saluran akar

The fear of the toxicity of sodium hypochlorite as an irritant of periradicular tissue has
tended to deter its use, and for good reason! Forcibly injecting NaOCl or any other irrigating
solution into the apical tissue can be a disastrous. The patient may immediately complain of
severe pain. Swelling can be violent and alarming. Of course the concentration of the irrigant
will be a major factor, for example, 5.25% versus 1.3% NaOCl. Antihistamines, ice packs,
intramuscular steroids, even hospitalization and surgical intervention may be needed.
Paresthesia, scarring, and muscle weakness may follow. Ending up in court may be the least of
one’s problems.
Prevention, of course, is the only solution! Inadvertent extrusion of irrigants past the
apex can be avoided by using passive placement of a modified needle. The needle must not
be wedged in the canal. The blunt-nosed, side-orifice ProRinse needle (Dentsply/Tulsa Dental)
is the one recommended; it is carried down the canal until it stops, and then is withdrawn 1 mm
or so. No great force is exerted on the plunger of the syringe. Moreover, if a patient warns the
dentist of an allergy to household bleach, substitiute chloramphenicol or Bio Pure MTAD,
(Dentsply/Tulsa Dental).

Kesalahan dalam sterilisasi saluran akar


Mikroorganisme masih tersisa di dalam tubuli dentin, saluran lateral atau ramifikasi
saluran akar karena obat-obat disinfeksi yang digunakan kurang efektif, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya reinfeksi (Ingle, 1985; Weine, 1996).

69
Kesalahan Saat Pengisian Saluran Akar
Kegagalan perawatan saluran akar dapat disebabkan karena kesalahan yang terjadi saat
pengisian saluran akar, yaitu (Ingle, 1985; Cohen, 1994; Walton & Torabinejad, 1996: Weine,
1996) :
1. Pengisian yang tidak sempurna
The most preferred location for apical termination of both the canal preparation and the
root filling is the dentinocemental junction, often the most restrictive area of the canal. This
point is just short of the radiographic apex. Slight extrusion of root canal filling material has
been called a “puff” or “button” and in some obturation methods is thought to be proof that
the canal is now impermeable. Healing against these slight overfills is usually
inconsequential. Loss of apical constriction by perforation is often the cause of
overextension. There is no barrier against which to compact the root filling, but gross
overextension may well deter healing and may even end up in the maxillary sinus or the
mandibular canal (Figure 8-12A). Forceful spinning out the apex of sealers or paste-type
fillers from a lentulo spiral may leave massive deposits of material that act as a neurotoxic
agent against thesinus lining or the mandibular canal contents. Nerve paresthesia is often
the result (Figure 8-12B). For massive overfills, removal by surgery followed by a retrofilling
is often the only solution (Figure 8-12C).

70
2. Pengisian saluran akar dilakukan pada saat yang tidak tepat.
Pengisian saluran akar dilakukan pada keadaan belum steril, masih terdapat eksudat yang
persisten atau masih terdapat sisa jaringan yang terinfeksi.
3. Pengisian saluran akar dilakukan pada keadaan tidak steril.
Keadaan rongga mulut maupun alat-alat yang digunakan pada waktu dilakukan pengisian
saluran akar, tidak steril.
4. Fraktur akar vertical
A sudden crunching sound (often referred to as “crepitus”) during obturation is a clear
indication that the root has fractured. This may take place during compaction, more often
during lateral than vertical compaction. Sometimes vertical fractures, called “silent
fractures,”can happen months or years later. It is suspected that stresses built up during
compaction are relieved later, following additional stress from mastication or clenching. This
is especially true when overenlargement and thinning of the dentin walls has occurred.
Seating of posts, especially tapered posts, is another cause of vertical fractures. Also, when
post preparations have removed so much of the root structure that the tooth is materially
weakened, the tooth is easily subject to fracture. There is no treatment if the fracture
extends down the root. Prevention, then, is the only alternative. Not overpreparing the
canals to accompany large filling instruments or posts is of the first order. Then, avoiding
excess pressure during compaction of gutta-percha fillings or the cementation of posts is
necessary.

Instrumen tertelan dan terhirup


Accidents of instrument aspiration and ingestion can be prevented so easily! Always
use a rubber dam! There is no reason an endodontic instrument should ever be dropped down
a patient’s throat. Long ago, endodontic instruments had a hole in the handle so one could tie a
piece of dental floss to the instrument, supposedly to retrieve it. It is so unnecessary! If one
insists on placing rubber dam clamps before the dam is placed, the clamp should probably be
fitted with a long string of dental floss to aid in its recovery . If instrument aspiration or ingestion
is apparent, the patient must be taken immediately to a medical emergency facility for
examination, and the dentist must accompany the patient. This examination should include
radiography of the thorax and abdomen. It is helpful if the dentist takes a sample file along so
the radiologist has a better idea of what to look for. The results may prove to be disastrous! The
instrument may lie in the pharynx or the abdomen. Surgical intervention is the only solution

71
Rasa sakit yang timbul antar kunjungan (flare up)
 Definisi Merupakan rasa sakit yang timbul di antara waktu kunjungan yang sangat
parah sehingga memerlukan perawatan segera. Terkadang flare up muncul tiba-tiba
tetapi sering juga dapat diramalkan.
 Faktor-faktor penyebab faktor yang berhubungan dengan pasien, diagnosis pulpa dan
periapeks, prosedur perawatan, kecemasan, beberapa jenis obat sistemis.
 Pencegahan penggunaan larutan anestesi berdaya kerja lama, cleaning dan shaping
saluran akar yang sempurna, pemberian analgesik yang tepat dan adekuat, menyiapkan
kondisi psikologis pasien dan yang paling populer yaitu memberikan resep antibiotik untuk
meminimalkan gejala pasca perawatan.
 Perawatan flare up Hal penting dalam seluruh kasus flare up adalah menenangkan
pasien, memberi tahu pasien bahwa flare up adalah hal biasa dan kenyamanan pasien
dengan cara memperpanjang efek anastetik dan analgesik dengan memberikan
etidocaine atau bupivacaine hipoklorida.

 Jenis-jenis kasus flare up :


1. Kasus yang dulunya vital tanpa pembengkakan dan debridement sempurna.
1. Tindakannya hanya menenangkan pasien dan memberikan analgesic ringan sampai
sedang berupa pemberian kortikosteroid dalam saluranakar atau melalui injerksi
intraoral atau intramuskuler
2. setelah prosedur cleaning dan shaping saluran akar.
3. Kasus yang dulunya vital tanpa pembengkakan dan debridement yang tak sempurna
4. Tindakan : periksa dan sesuaikan kembali panjang kerja, bersihkan saluran akar
dengan hati-hati, irigasi natrium hipoklorit, tambal sementara dengan pasta kalsium
hidroksida, berikan analgesic ringan atau sedang.
2. Kasus yang dulunya nekrosis tanpa pembengkakan
5. Tindakan : buka gigi, bersihkan dan irigasi dengan NaOCl, keringkan saluran akar dan
medikasi dengan pasta kalsium hidroksida. Jika kasus menjadi Abses Alveolar Akut
(AAA),

72
6. pertama-tama buatlah drainase, bersihkan dan irigasi saluran akar dengan NaOCl.
Bukalah gigi dan biarkan pasien istirahat selama 30 menit sampai drianase berhenti.
Keringkan saluran akar, letakkan pasta kalsium hidroksida dan tutup aksesnya.
3. Kasus dengan pembengkakan
7. Tindakan : bersihkan saluran akar, beri pasta kalsium hidroksida dan tutup aksesnya.
Lalu lakukan insisi dan drainase.

Buku referensi

Beer R, Baumann MA, Kelbassa AM, 2006, Pocket Atlas of Endodontics, Thieme, Stuttgard
NewYork.
Cohen’s Pathways of the Pulp. Kenneth M. Hargreaves et all editor. 2011. Mosby Elsevier.
Walton, Richard E. and Mahmoud Torabinejad. Prinsip & Praktik Ilmu Endodonsia, 3th ed.
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Whaites, Eric. 2002. Essential of Dental Radiography and Radiology 3th Edition. Churchill
Livingstone
White S.C. and Pharoah M.J. Oral Radiology: Principles and Interpretation, 5th ed. Mosby. St.
Louis. 2009
Farmako: Pharmacology and Therapeutics for Dentistry. Yagiela J.A, Dowd F.J and Neidle E.A.
5th ed, 2004. United States of America. Elsevier Mosby.
Patel S, Barnes J.J, 2013, The Principles of Endodontics, 2nd ed, OUP Oxford,
Ingle JI, 2009, PDQ Endodontics, 2nd ed, People’s Medical Publishing House, USA

73
JADWAL KEGIATAN PBL

2017/2018

LBM 2
Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang
Instruktur
Senin , 12.30.14. KP: irigasi pada perawatan saluran Departemen R. kuliah
11/12/2017 10 akar (bahan, instrumentasi & KG Lt. 3
tatalaksana)

14.10- KP: Medikamen intrakanal Departemen R.Kuliah Lt.


15.50 KG 3
Selasa, 08.10- KP: Fiqh kontemporer kedokteran gigi KGI R.Kuliah
12/12/2017 09.50 dan konsep kesembuhan penyakit Lt.3
dalam pandangan islam
09.50- KP : Analisis keberhasilan & Departemen R. Kuliah
11.30 kegagalan PSA KG Lt.3

12.30- SL: Ekstirpasi, pengukuran panjang Tutor R. Skill Lab


15.50 kerja dan preparasi gigi posterior
Rabu, 08.10- SL: Pengisian saluran akar gigi Tutor R. Skill Lab
13/12/2017 11.30 anterior dan posterior serta teknik &
instrumentasi
Kamis, 08.10- KP: Analisis kegawat daruratan yang Departemen R. Kuliah
14/12/2017 09.50 dapat timbul pada saat preparasi KG Lt.3
saluran akar serta penanganannya
09.50- KP: Radiografi kelainan perio dan Departemen R. Kuliah
11.30 endodontik RFKG Lt.3

Penjabaran Pembelajaran

Unit Belajar 2 : Kegagalan dalam perawatan endodontik

NO SASARAN BELAJAR
1. Analisis medikamen intrakanal (KP)
2. Analisis obturasi saluran akar (KP)
3. Keberhasilan dan kegagalan PSA serta Endoretreatment (KP)
4. Memahami tindakan kegawatdaruratan endodontik (KP)
5. Fiqh Kontemporer kedokteran gigi dalam islam (KP)
6. Konsep kesembuhan penyakit dalam pandangan islam (KP)
7. Melakukan ekstirpasi, pengukuran panjang kerja dan preparasi gigi posterior (SL)
8. Melakukan pengisian saluran akar gigi anterior dan posterior (SL)

74
JADWAL KEGIATAN PBL

2017/2018

LBM 3
Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang
Instruktur
Senin, 08.10- SGD I Tutor R. SGD Lt.8
18/12/2017 09.50 GKB

12.30- KP: Analisis sefalometri dan Departemen R. Kuliah Lt.1


14.10 Radiografi othodonti orthodonsia

Selasa, 08.10- KP: rencana dan macam–macam Departemen R. Kuliah Lt.3


19/12/2017 09.50 perawatan Ortodontik orthodonsia

12.30- SL: Analisis ortodontik Tutor R. Skill Lab


15.50
Rabu, 20/12/2017 08.10- SL: Diskusi kasus ortodontik Tutor R. Skill Lab
11.30

Kamis , 08.10- KP : Teknik pencarian ruang dalam Departemen R.Kuliah Lt.3


21/12/2017 09.50 perawatan Ortodontik orthodonsia

09.50- KP: Pertimbangan klinis yang R. Kuliah Lt.3


10.40 digunakan sebagai acuan untuk Departemen
menentukan teknik pencarian ruang orthodonsia

Jumat, 08.10- SGD II Tutor R. SGD Lt.1


22/12/2017 09.50

Penjabaran Pembelajaran
Unit Belajar 3 : Perawatan dan analisa kasus orthodonsia
Judul : “Dok gigi saya berjejal, susah dibersihkan…”

NO. SASARAN BELAJAR


1. Mendeskripsikan dan memahami faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya maloklusi (SGD)
2. Memahami pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis orthodontik
(SGD)
3. Menentukan pemeriksaan penunjang radiologi yang dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis ortodontik (SGD)
4. Mendeskripsikan fungsi dari foto Rontgen OPG dan Sefalogram pada perawatan
Ortodontik (SGD)

75
5. Memahami rencana dan macam – macam perawatan Ortodontik (KP)
6. Memahami teknik pencarian ruang dalam perawatan Ortodontik & pertimbangan
klinis yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan teknik pencarian ruang
(KP)
7. Memahami analisis sefalometri (KP)
8. Tinjauan kedokteran islam tentang halal haram laki – laki menyerupai wanita (KP)
9. Melakukan Analisis Ortodontik (SL)
10. Melakukan diskusi kasus ortodontik (SL)

SKENARIO
Seorang wanita usia 15 tahun datang ke klinik ortodonti diantar ibunya, dengan keluhan gigi
berjejal, hal ini juga terjadi pada ayahnya, ibu pasien ingin gigi anaknya dirapihkan karena
mengganggu penampilan. Pemeriksaan extra oral tidak ada kelainan. Pemeriksaan intraoral
tampak tampak crowding anterior (gambar A, B,C, D dan E)

A B C

D E
gigi 13 ektopik, 12 palatoversi, 23 ektopik dan 42 linguoversi. Dokter gigi melakukan Rujukan
untuk pemeriksaan radiologis.

Keywords : gigi crowding, etiologi, pemeriksaan ekstraoral dan intraoral, pemeriksaan


radiografis
Masalah : etiologi dan pemeriksaan ortodonti

76
Peta Konsep :

Jaringan lunak:
Tekanan bibir, pipi, MALOKLUSI
lidah

Bad Habit: Menghisap Menegakkan


jari dan bernafas Diagnosa
melalui mulut

Faktor keterunanan
Profil OPG &
Wajah Pencetakan Sefalometri

Perawatan ortodontik

Pertanyaan Minimal:

1. Apa yang menyebabkan gigi crowding pada kasus skenario?


2. Apa saja faktor yang bisa menyebabkan maloklusi?
3. Apakah faktor keturunan berpengaruh terhadap kondisi pasien?
4. Apakah keadaan gigi berjejal ini bisa dilakukan tanpa pemakaian pesawat orto?
5. Apa saja pemeriksaan subjektif yang perlu dilakukan terhadap pasien ortodonti?
6. Apa saja pemeriksaan ekstra oral dan intra oral yang perlu dilakukan dalam mendiagnosa
ortodonti dan fungsinya?
7. Jenis rontgen apa yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ortodonti?
8. Apa fungsi masing-masing rontgen?

77
Buku Referensi:

Bhalajhi, Sundraresa I. 2004. Orthodontics The Art and Science. New Delhi: Arya Medi
Publishing House.
Grabber, Thomas M. 1994. Orthodontic Principles and Practice, 3rd Ed. Philadelphia, London,
Toronto: The Sunder Co,.
Moyers, R.E. 1988. Handbook of Orthodontics for the Students and General Practitioner, 4th
Ed. Chicago : Year Book of Medical Publishers Inc.
Proffit, William R. 2007. Contemporary Orthodontics. St.Louis: Mosby Elsevier.

78
MATERI
A. MALOKLUSI
Definisi

Maloklusi adalah oklusi abnormal yang ditanda dengan tidak benarnya hubungan antar
lengkung di setiap bidang spatial atau anomaly abnormal dalam posisi gigi. Maloklusi adalah
kondisi oklusi intercuspal dalam pertumbuhan gigi diasumsikan sebagai kondisi yang tidak
reguler. Keadaan ini dikenal dengan istilah maloklusi tetapi batas antara oklusi normal dengan
tidak normal sebenarnya cukup tipis. Maloklusi sering pula tidak mengganggu fungsi gigi secara
signifikan dan termodifikasi pemakaian gigi.
Maloklusi terjadi pada kondisi-kondisi berikut ini :
1. Ketika ada kebutuhan bagi subjek untuk melakukan posisi postural adaptif dari mandibula.
2. Jika ada gerak menutup translokasi dari mandibula, dari posisi istirahat atau dari posisi
postural adaptif ke posisi interkuspal.
3. Jika posisi gigi adalah sedemikian rupa sehingga terbentuk mekanisme refleks yang
merugikan selama fungsi pengunyahan dari mandibula.
4. Jika gigi-gigi menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak mulut.
5. Jika ada gigi berjejal atau tidak teratur, yang bias merupakan pemicu bagi terjadinya
penyakit periodontal dan gigi.
6. Jika ada penampilan pribadi yang kurang baik akibat posisi gigi.
7. Jika ada posisi gigi yang menghalangi bicara yang normal.

Etiologi

Etiologi dari maloklusi dapat terbagi 2, yaitu :


1. Primary etiologi site
Terbagi menjadi 3 :
a. System Neuromuskular
Beberapa pola kontraksi neuromuscular beradaptsi terhadap ketidakseimbangan
skeletal / malposisi gigi. Pola- pola kontraksi yang tidak seimbang adalah bagian penting
dari hamper semua maloklusi
b. Tulang
Karena tulang muka, terutama maxilla dan mandibula berfungsi sebagai dasar untuk
dental arch, kesalahan dalam marfologi / pertumbuhannya dapat merubah hubungan

79
dan fungsi oklusi. Sebagian besar dari maloklusi ynag sangat serius adalah membantu
dalam identifikasi dishamorni osseus.
c. Gigi
Gigi adalah tempat utama dalam etiologi dari kesalahan bentuk dentofacial dalam
berbagai macam cara. Variasi dalam ukuran, bentuk, jumlah dan posisis gigi semua
dapat menyebabkan maloklusi. Hal yang sering dilupakan adalah kemungkinan bahwa
malposisisi dapat menyebabkan malfungsi, secara tidak langsung malfungsi merubah
pertumbuhan tulang. Yang sering bermasalah adalah gigi yang terlalu besar.
d. Jaringan Lunak (tidak termasuk otot)
Peran dari jaringan lunak, selain neuromuskulat dalam etiologi maloklusi, dapat
dilihat dengan jelas seperti tempat- tempat yang didiskusi sebelumnya. Tetapi, maloklusi
dapat disebabkan oleh penyakit periodontal / kehilangan perlekatan dan berbagai
macam lesi jaringan lunak termasuk struktur TMJ.

2. Etiologi Pendukung antara lain :


a. Herediter
Herediter telah lama dikenal sebagai penyebab maloklusi. Kesalahan asal
genetic dapat menyebabkan penampilan gigi sebelum lahir / mereka tidak dapat dilihat
sampai 6 tahun setelah kelahiran (contoh : pola erupsi gigi). Peran herediter dalam
pertumbuhan craniofacial dan etiologi kesalahan bentuk dentalfacial telah menjadii
banyak subjek penelitian. Genetic gigi adalah kesamaan dalam bentuk keluaraga sangat
sering terjadi tetapi jenis transmisi / tempat aksi genetiknya tidak diketahui kecuali pada
beberapa kasus ( contoh : absennya gigi / penampilan beberapa syndrome craniofacial).
b. Perkembangan abnormal yang tidak diketahui penyebabnya
Misalnya : deferensiasi yang penting pada perkembangan embrio. Contoh : facial cleft.
c. Trauma
Baik trauma prenatal atau setelah kelahiran dapat menyebabkan kerusakan atau
kesalahan bentuk dentofacial.
- Prenatal trauma / injuri semasa kelahiran
 Hipoplasia dari mandibular
Disebabkan karena tekanan intrauterine (kandungan) atau trauma selama proses
kelahiran.

80
 Asymetri
Disebabkan karena lutut atau kaki menekan muka sehingga menyebabkan
ketidaksimetrian pertumbuhan muka.
 Prostnatal trauma
- Retak tulang rahang dan gigi
- Kebiasaan dapat menyebabkan mikrotrauma dalam masa yang lama.
d. Agen Fisik
1. Ekstraksi yang terlalu awal dari gigi sulung.
2. Makanan
Makanan yang dapat menyebabkan stimulasi otot yang bekerja lebih dan
peningkatan fungsi gigi. Jenis makanan seperti ini menimbulkan karies yang lebih
sedikit.

e. Habits
1. Mengisap jempol / jari
Biasanya pada usia 3 tahun – 4 tahun anak-anak mulai mengisap jempol jika M1
nya susah saat erupsi. Arah aplikasi tekanan terhadap gigi selama mengisap jempol
dapat menyebabkan Insisivus maksila terdorong ke labial, sementara otot bukal
mendesak tekanan lingual terhadap gigi pada segmen leteral dari lengkung dental.
2. Desakan lidah
Ada 2 tipe, yaitu :
a. Simple tounge, desakan lidah yang berhubungan dengan gigi, sekalian menelan.
b. Kompleks tounge, normalnya anak-anak menelan dengan gigi dalam oklusi bibir
sedikit tertutup dan lidah berada pada palatal di belakang gigi anterior. Simple
tounge dihubungkan dengan digital sucking walaupun kebiasaannya tidak lagi
dilakukan karena perlunya lidah untuk mendesak ke depan kea rah open bite
untuk menjaga anterior seal dengan bibir selama penelanan. Kompleks tounge
dihubungkan dengan stress nasorespiratoty, bernapas dengan mulut.
c. Lip sucking and lip biting
Menyebabkan open bite, labioversion maksila / mandibula ( terkadang).
d. Menggigit kuku

81
f. Penyakit sistemik
Mengakibatkan pengaruh pada kualitas gigi daripada kuantitas pertumbuhan
gigi. Contoh : Gangguan endokrin : Disfungsi endokrin saat prenatal bias berwujud
dalam hipoplasia, gangguan endokrin saat postnatal bias mengganggu tapi biasanya
tidak merusak / merubah bentuk arah pertumbuhan muka. Ini dapat mempengaruhi
erupsi gigi dan resorpsi gigi sulung.
g. Penyakit local
Berefek pada kualitas jaringan dan kecepatan dari kalsifikasi.
1. Penyakit gingival periodontal dapat menyebabkan efek langsusng seperti hilangnya
gigi, perubahan pola penutupan mandibula untuk mencegah trauma, ancylosis gigi.
2. Trauma
3. Karies
4. Malnutrisi
Klasifikasi

Klasifikasi angle
 Class I
Lengkung mandibula normalnya mesiodistal berhubungan terhadap lengkung maksila,
dengan mesiobukal cusp dari M1 permanen maksila menutupi grove bukal dari M1
permanen mendibula dan mesio lingual cusp M1 maksila menutupi fossa oclusal dari M1
permanen mandibula ketika rahang diistirahatkan dan gigi dalam keadaan tekanan.
 Class II
Cusp mesiobukal m1 permanen maksila menutupiu antara cusp mesio bukal M1
mandibula permanen dan aspek distal dari P1 mandibula. Juga mesiolingual cusp M1
permanen maksila menutupi mesiolingual cusp dari M1 permanen mandibula.
Angle membagi class II maloklusi dalam 2 divisi dan 1 subdivisi berdasarkan angulasi
labiolingual dari maksila, yaitu ;
 Class II – divisi I : Dengan relasi Molar terlihat seoerti tipe kelas II, gigi insisivus maksila
labio version.
 Class II – divisi II : Dengan relasi molar terlihat seperti tipe kelas II, Insisivus maksila
mendekati normal secara anteroposterior atau secara ringan dalam linguoversion
sedangakan I2 maksila tipped secara labial atau mesial.
 Class II – subdivisi : Saat relasi kelas II molar, terjadi oada satu sisi pada lengkung
dental.

82
 Class III
Lengkung dan badan mandibula berada pada mesial lengkuna maksila dengan cusp
mesiobukal M1 permanen maksila beroklusi pada ruang interdental di antara ruang distal
dari cusp distal pada M1 permanen mandibula dan aspek mesial dari cusp mesial m2
mandibula.
Class III terbagi 2, yaitu :
1. Psedo class III – maloklusi
Ini bukan maloklusi kelas 3 yang sebenarnya, tapi tampak serupa, disini
mandibula bergesar ke anterior dengan fossa gleroid dengan kontak premature gigi atau
beberapa alas an lainnya ketika rahang berada pada oklusi sentrik.
2. Kelas III – subdivisi
Maloklusi sesuai dengan unilaterally.
 Pada kondisi normal, relasi antar molar pertama normal begitu juga gigi-gigi yang ada di
anteriornya (depan-red).
 Pada maloklusi kelas 1, relasi antar molar pertama normal, tetapi garis oklusi gigi-gigi di
daerah depan dari molar pertama tersebut tidak tepat.
 Pada maloklusi kelas 2, tampak molar pertama bawah tampak lebih belakang dari pada
molar atasnya sehingga relasi tidak lagi normal. Kondisi ini merupakan overbite / gigitan
berlebih.
 Pada maloklusi kelas 3 ini merupakan kebalikan dari Kelas 2, yaitu molar pertama atas yang
tampak lebih belakang daripada molar pertama bawah. Kondisi ini merupakan underbite atau
terkadang disebut gigitan terbalik.

Klasifikasi dewey, yaitu modifikasi dari angle kelas I dan kelas III
 Modifikasi angle’s kelas I
 Tipe 1 : Anle Class I dengan gigi anterior maksila crowding.
 Tipe 2 : Angle Class I dengan gigi I maksila labio version
 Tipe 3 : Angle Class I dengan gigi I maksila lingual version terhadap I mandibula.
(anterior cross bite).
 Tipe 4 : M dan atau P pada bucco atau linguo version, tapi I dan C dalam jajaran normal
( cross bite posterior ).
 Tipe 5 : M kearah mesio version ketika hilangnya gigi pada bagian mesial gigi
tersebut, ( contoh hilangnya M susu lebih awal dan P2 ).
 Modifikasi angle’s kelas III

83
 Tipe 1 : Suatu lengkungan saat dilihat secara individu bidang pada jajaran yang normal,
tetapi oklusi di anterior terjadi edge to edge.
 Tipe 2 : I mandibula crowding dengan I maksila ( akibat I maksila yang terletak kea rah
lingual ).
 Tipe 3 : Lengkung maksila belum berkembang sehingga terjadi cross bite pada I maksila
yang crowding dan lengkung mandibula perkembangannya baik dan lurus.

klasifikasi Lischers modifikasi dengan Klasifikasi angel


 Neutroklusi : Sama halnya dengan klasifikasi Angel kelas 1
 Distoklusi : Sama halnya dengan klasifikasi Angel kelas 2
 Mesioklusi : Sama halnya dengan klasifikasi Angel kelas 3

Nomenklatur Lischer untuk malposisi perindividual gigi geligi menyangkut penambahan ”versi”
pada sebuah kata untuk mengindikasikan penyimpangan dari posisi normal.
 Mesioversi : Lebih ke mesial dari posisi normal
 Distoversi :Lebih ke distal dari posisi normal
 Lingouversi : Lebih ke lingual dari posisi normal
 Labioversi : Lebih ke labial dari posisi normal
 Infraversi : Lebih rendah atau jauh dari garis oklusi
 Supraversi : Lebih tinggi atau panjang melewati garis oklusi
 Axiversi : Inklinasi aksial yang salah, tipped.
 Torsiversi : Rotasi pada sumbunya yang panjang
 Transversi : Perubahan pada urutan posisi.

Klasifikasi Bennette
Klasifikasi ini berdasarkan etiologinya:
 Kelas 1 : Abnormal lokasi dari satu atau lebih gigi sesuai faktor lokal.
 Kelas II : Abnormal bentuk atau formasi dari sebagian atau keseluruhan dari salah satu
lengkung sesuai kerusakan perkembangan tulang.
 Kelas III : Abnormal hubungan diantara lengkung atas dan bawah dan diantara salah satu
lengkung dan kontur fasial sesuai dengan kerusakan perkembangan tulang.

84
Klasifikasi Simons
Simons (1930) yang pertama kali menghubungkan lengkung gigi terhadap wajah dan kranial
dalam tiga bidang ruang:
1. Frankfort Horizontal Plane (vertikal)
Frankfort Horizontal Plane atau bidang mata- telinga ditentukan dengan
menggambarkan garis lurus hingga margin tulang secara langsung di bawah pupil mata
hingga ke margin atas meatus eksternal auditory (derajat di ats tragus telinga). Digunakan
untuk mengklasifikasi maloklusi dalam bidang vertikal.
- Attraksi : Saat lengkung gigi atau atau bagian dari penutup bidang frankfort horizontal
menunjukkan suatu attraksi (mendekati).
- Abstraksi : Saat lengkung gigi atau atau bagian dari penutup bidang frankfort horizontal
menunjukkan suatu abstraksi (menjauhi).
2. Bidang Orbital (antero-posterior)
Maloklusi menggambarkan penyimpangan antero-posterior berdasarkan jaraknya, adalah:
- Protraksi : Gigi, satu atau dua, lengkung dental, dan/atau rahang terlalu jauh ke depan.
- Retraksi : Satu gigi atau lebih lengkung gigi dan/atau rahang terlalu jauh ke depan.
3. Bidang Mid-Sagital (transversal)
Maloklusi mengklasifikasikan berdasarkan penyimpangan garis melintang dari bidang
midsagital.
- Kontraksi : Sebagian atau seluruh lengkung dental digerakkan menuju bidang midsagital
- Distraksi (menjauhi) : Sebagian atau seluruh lengkung gigi berada pada jarak yang lebih
dari normal.

Klasifikasi Skeletal
Salzmann (1950) yang pertama kali mengklasifikasikan struktur lapisan skeletal.
 Kelas 1 Skeletal : Maloklusi ini dimana semata-mata dental dengan tulang wajah dan
rahang harmoni dengan satu yang lain dan dengan posisi istirahat kepala. Profilnya
orthognatic. Kelas 1 dental ditentukan berdasarkan maloklusi dental :
 divisi I : Malrelasi lokal insisor, caninus , dan premolar.
 divisi II : Protrusi insisor maksila
 divisi III : Lingouversi insisor maksilla
 divisi IV : protrusi bimaksilari
 Kelas II Skeletal : maloklusi dengan perkembangan distal mandibular subnormal dalam
hubungannya terhadap maksila. Dibagi menjadi dua divisi:

85
 divisi I : lengkung dental maksila dalam batas sempit dengan crowding pada regio
caninus, crossbite bisa saja ada ketinggian wajah vertikal menurun. Gigi anterior
maksila protrusif dan profilnya retrognatic.
 divisi II : merupakan pertumbuhan berlebih mandibula dengan sudut mandibula yang
tumpul. Profilnya prognatic pada mandibula.

Pengaruh terhadap Sistem stomatognati


Gigi manusia bisa menyesuaikan diri terhadap variasi antara sentrik oklusi dan sentrik
relasi. Saat variasi oklusi sentrik dan relasi sentrik telah melewati batas toleransi individual,
maka gigi akan mengalami kondisi trauma dan bias bermanifestasi pada gangguan artikulasi
TMJ.
Abnormalitas posisi mandibula bisa terjadi karena :
 Asimetri pertumbhan rahang
 Perubahan posisi gigi karena ekstraksi
 Over counter filling
 Kondisi patologis, seperti penyakit perio, trauma dan lain-lain.
 Habitual tertentu
 Gangguan oklusal
Koreksi divergenitas antara relasi sentrik dan oklusi sentrik bias dilakukan atau dikurangi
dengan memposisikan kembali mandibula dengan jalan mengubah relasi oklusal dental dengan
oklusal equilibrasi, baik dengan pemkaian ortho, proteksi atau merestorasi demensi vertical.
Ketika seseorang mengalami ketidaksesuaian relasi sentrik, oklusal sentrik yang luas, maka
rahang atas memiliki daya tahan yang rendah, sehingga jaringan pendukung gigi akan ikut
terinfeksi oleh penyakit perio. Disharmoni ini harus dieliminasi untuk mencegah kerusakan
jaringan pendukung.
Koreksi dishamorni antara relasi sentrik dan oklusal sentries bias dilakuka, hanya
dengan 1 fase dari koreksi maloklusi oklusal. Hal tersebut biasa menggangu relasi protrusi,
pergerakkan ke lateral tapi masih dalam jangkauan fungsi normalnya, defek overbite dan
maloklusi lainnya. Saat pergseran mandibula ke lateral telah tampak jelas, maka wajah akan
tampak imbalance ke lateral.
Gangguan ke lateral atau pergerakan rahang protrusive bias terjadi karena :
 Ekstrusi gigi yang komplit ke labio atau bucoversi
 Adanya benda yang menyenangkan untuk digigit

86
 Adanya erupsi yang berlanjut atau elvasi ( peninggian pada gigi yang memiliki gigi
antagonis).

B. SISTEM STOMATOGNATIK

Definisi
Sistem stomatognatik adalah suatu pendekatan yang harus dipertimbangkan oleh dokter
gigi. Sistem ini terkait satu dengan yang lain dalam hal bentuk dan fungsi dari hubungan
rahang, artikulasi, sendi rahang (TMJ), konformasi kraniofasial dan oklusi.
Sistem stomatognatik termasuk didalamnya adalah gigi-gigi dan jaringan pendukungnya,
maksila dan mandibula, otot-otot kepala, sendi rahang, lidah, saraf-saraf, pembuluh darah dan
komponen-komponen lainnya.

Kelainan pada Sistem stomatognati ( TMJ)

Temporomandibular articulation adalah kumpulan sendi atau artikulasi diarthrodial


(ginglymoarthrodial) yang terdiri dari fosa, puncak artikular tulang temporal dan ligament
kapsular, yang memiliki cairan sinovial. Artikulasi dibagi ke dalam dua bagian yaitu bagian atas
dan bawah oleh fibrokartilaginus meniscus atau interadikular disk.
Artikulasi yang normal adalah:
 TMA bebas dari nyeri atau ketidaknyamanan
 Tidak ada perbatasan gerakan ketika berbicara
 Menunjukkan gambar yang dapat diinterpretasikan dengan baik pada radiograf.

Kelainan TMA
Kelainan temporomandibular dapat menyebabkan disfungsi TMA, abnormal oklusi,
kerusakan fungsi, dan gangguan neuromuscular pada leher, bahu atau lengan, sakit telinga dan
kepala, membatasi pembukaan mandibula, nyeri saat mastikasi, bunyi klik yang keras pada
TMJ, mengunci mandibula dalam posisi terbuka atau ketidakmampuan membawa gigi menuju
oklusi.
Terdapat ruang yang sempit atau luas antara kondil dan fosa glenoid, serta perubahan
kondil dan kontur fosa. Fungsi yang abnormal dari TMA tidak menyebabkan maloklusi, tetapi
maloklusi, kehilangan gigi dan abnormal gigi lainnya dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan
abnormalitas temporomandibular.

87
Diagnosis dari disfungsi temporomandibular tidak dapat ditetapkan hanya dengan
penemuan radiograf, tetapi membutuhkan temuan klinis yaitu:
 Observasi pergerakan mandibula. Disfungsi dihubungkan dengan pergerakan yang tidak
seperti biasanya, kejang otot, nyeri dan penat.
 Crepitus – menempatkan telunjuk pada tempat artikulasi. Minta pasien untuk
menggerakkan mandibula. Bunyi kliking dapat terdengar dan terasa.
 Amati atrisi pada gigi dan pada cast.5

Overclosure (penutupan berlebihan)


 Overclosure menyebabkan destruksi disk, perubahan degeneratif dan proliferatif pada kondil
mandibula dan tuberkel artikular.
 Shapiro dan Truex menemukan beberapa pengaruh bahwa kondil yang terdapat pada telinga
tengah atau koklea tidak begitu berarti dalam kerusakan auditory.
 Overclosure mandibula tidak menekan eustachian tubes.
 Perubahan TMA berhubungan dengan kehilangan gigi posterior yang menyebabkan
overclosure dan meratakan puncak artikular serta posisinya lebih ke belakang kepala kondil
dalam prosesus glenoid.
Etiologi:
 Kelainan temporomandibular dapat disebabkan oleh:
 Injuri traumatik
 Arthritis (peradangan sendi)
 Maloklusi, hubungan gigi, trauma oklusi, dan penyebab perpindahan mandibula lainnya.

C. PROFIL WAJAH
 Profil diperkirakan dengan menghubungkan 2 garis berikut :
 Menghubungkan garis dahi dan titik A di jaringan lunak. ( titik terdalam di bibir atas).
 Menghubungkan titik A dan pogonion jaringan lunak (titik paling anterior dari dagu).
 Berdasarkan pada hubungan antara 2 garis ini, maka terdapat 3 profil wajah :
1. Straight profile (lurus) : Yaitu 2 garis membentuk suatu garis lurus.
2. Convex profile (cembung) : Yaitu 2 garis membentuk suatu sudut dengan kecekungan
jaringan lunak. Jenis profil ini terjadi sebagai akibat dari suatu maksila yang prognatik
atau mandibula retrognatik seperti terlihat pada maloklusi kelas II divisi I.

88
3.
Concave profile (cekung) : Yaitu 2 garis referensi membentuk suatu sudut dengan
kecembungan terhadap jaringan. Tipe profil ini dihubungkan dengan mandibula
prognatik atau maksila retrognatik seperti maloklusi kelas III.3

D. ORTHODONTIC DIAGNOSIS

Prosedur diagnosis

Essential Diagnostic aids :


 Case history
 Clinical Examination
 Study models
 Certain Radiograf
1. Periapikal
2. Bite Wing
3. Panoramic
 Facial Photographs

Case History ( Riwayat Pasien )

Mendapatkan dan mencatat informasi relevan dari pasien dan orang tua pasien untuk
membantu menegakkan diagnosis.
A. Personal detail
 Nama : Untuk tujuan komunikasi dan identifikasi
 Umur : Pertimbangan-pertimbangan umur untuk membantu diagnosis dan juga
menetapkan rencana prawatan.
 Jenis kelamin : Penting untuk melakukan rencana perawatan, seperti saat dimana terjadi
proses pertumbuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
 Alamat dan Pekerjaan : Membantu dalam mengevaluasi status ekonomi dalam memilih
appliance yang tepat, alamat juga membantu dalam korespondensi untuk membuat janji.
B. Keluhan Utama

89
Keluhan utama pasien harus dicatat sesuai dengan ucapan yang dikemukan oleh
pasien. Hal ini membantu klinisi dalam mengidentifikasi / mengenal prioritas dan keinginan
pasien.
C. Medical History
Sebelum melakukan perawatan ortho, riwayat media pasien harus dicatat. Untungnya
sangat sedikit kondisi medis yang kontraindikasi terhadap penggunaan orthodontic
appliances. Sebaiknya, perawatan orthodontic ditunda pada pasien yang menderita epilepsy
dyscrasias, bias membutuhkan managemen yang special jika direncanakan untuk dilakukan
ekstraksi. Pasien DM dapat dilakukan terapi orthodontic jika kadar gulanya dibawah control,
dan lain-lain.
D. Dental History
Harus meliputi informasi pada umur erupsi gigi sulung dan permanen, riwayat
pencabutan, karies, restorasi dan trauma pada gigi geliginya. Riwayat dental pasien
terdahulu dapat membantu dalam mengevaluasi sikap pasien dan orang tuanya terhadap
perawatan.
E. Prenatal History
Harus mencakup informasi kondisi ibu selama mengandung dan tipe proses melahirkan,
tipe proses melahirkan, penggunaan obat-obatan seperti thalidomide, dan infeksi selama
mengandung seperti campak.
F. Postnatal History
Meliputi informasi type cara makan ( feeding ), adanya kebiasaan dan perkembangan
normal.
G. Family History
Beberapa maloklusi seperti maloklusi skeletal kelas II, kelas III dan kondisi congenital
seperti cheft lp dan cheft palate adalah merupakan kondisi yang diturunkan / diwariskan.

Pemeriksaan Umum

 Berat badan dan tinggi badan : Sebagai suatu kunci petumbuhan fisik dn kematangan pasien
yang bias memiliki korelasi dento-facial.
 Gaya Berjalan ( Galt) : Abnormalitas pada gaya berjalan pasien biasanya dihubungkan
dengan neuromuscular yang bias memiliki korelasi dental.
 Posture : Menunjukkan pada cara pasien berdiri. Posture abnormal dapat mempengaruhi
maloklusi yang diakibatkan pada perubahan dalam hubungan maksila mandibula.

90
 Fisik : 3 tipe bentuk badan :
1. Aesthetic : Orang yang kurus dan biasanya memiliki lengkung dental yang sempit.
2. Pletonic : Orang yang kelebihan berat badan, umumnya memiliki lengkung dental yang
lebar dan petak.
3. Atthetic : normal, tidak kurus dan tidak gemuk. Lngkung dental dengan ukuran normal.
Menurut Seldom, klasifikasi :
1. Ectomorphic : secara fisik tinggi dan kurus
2. Mesomorphic : ukuran fisik rata-rata
3. Endomorphic : secara fisik pendek dan obesitas

Pemeriksaan Extra Oral

 Bentuk Kepala
1. Mesocephalic : bentuk kepala rata-rata normal dental arch.
2. Dalicocephalic : bentuk kepala panjang dan sempit, memiliki lengkung gigi yang sempit.
3. Brachycephalic : bentuk kepala lebar dan pendek, lengkung dental lebar.
 Bentuk Wajah
1. Mesoprosopic : bentuk wajah normal atau rata-rata.
2. Euttryprosopic : tipe wajah lebar dan pendek.
3. Leptoprosopic : bentuk wajah panjang dan sempit.
 Assessment of Facial Symmetry
Pemeriksaan kesemetrisan wajah pasien adalah untuk menentukan disproporsi wajah pada
plane vertical dan transversal. Ketidaksemetrisan wajah dapat terjadi karena :
 Defek kongenital.
 Atropi / hipertropi hemifacial.
 Ankilosis kondilar unilateral atau hyperplasia.
 Profil wajah : Pemeriksaan dengan cara melihat wajah pasien dari samping. Profil wajah
dapat membantu dalam mendiagnosis penyimpangan hubungan maksila mandibula.
 Facial Divergence : Didefinisikan sebagai suatu inklinasi anterior atau posterior dan wajah
bagian bawah terhadap dahi. Divergensi facial umumnya dipengaruhi oleh etnik pasien dan
latar belakang ras. Divergensi facial dapat dibagi ke dalam 3 tipe :
o Anterior divergence : Suatu garis ditarik di antara dahi dan dagu, inklinasi kea rah
anterior terhadap dagu.

91
o Posterior divergence : Suatu garis ditarik antara dahi dan dagu, miring kea rah posterior
terhadap dagu.
o Straight atau orthognathic : Garis antara dahi dan dagu adalah lurus atau tegak lurus
terhadap lantai.
 Assessment Hubungan Rahang Anterior dan Posterior
Idealnya dasar skeletal maksila adala 2 – 3 mm maju ke depan dari skeletal mandibula
ketika gigi dalam keadaan oklusi. Perhitungan dilakukan dengan meletakkan jari telunjuk dan
jari tengah masing- masing pada titik A dan B jaringan lunak. Pada pasien skeletal kelas II,
jari telunjuk adalah pada posisi anterior terhadap jari tengah. Pada pasien skeletal kelas III,
jari tengah di depan telunjk. Pada pasien dengan skeletal kelas I pada level yang lurus dan
rata.
 Assessment Hubungan Rahang Vertikal
Hubungan vertical skeletal dapat juga diperkirakan dengan mempelajari sudut yang
terbentuk antara bonder bawah mandibula dan bidang frankort horizontal ( FHP).
 Evaluasi Proporsi Wajah
Dapat dibagi ke dalam 3, 1/3 vertikal yang sama 4 bidang horizontal pada level garis
rambut, ridge supra orbital, dasar hidung dan border inferior dagu. Wajah bagian bawah,
bibir atas menempati 1/3 jarak sementara dagu menempati rest of the space.
 Pemeriksaan Bibir
Secara normal bibir atas menutupi seluruh labial anterior atas kecuali insisal 2-3 mm.
bibir baawah menutupi seluruh permukaan labial anterior bawah dan 2-3 mmedge insisal
anterior atas. Bibir dapat diklasifikasikan ke dalam 4 tipe berikut :
1. Competent lips : Bibir pada kontak ringan sementara otot-otot dalam keadaan istirahat
2. Incompetens lips : Secara marfologi bibir pendek, tidak dapat membentuk suatu pola
penutupan bibir dalam keadaan istirahat. Penutupan bibir hanya dilakukan dengan
kontraksi aktif dari otot-otot perioral dan mentalis.
3. Potentially incompetens lips : Bibir normal yang gagal untuk membentuk suatu pola
penutupan akibat proklinasi pada insisiv-insisiv atas.
4. Everted lips : Bibir hipertropi dengan lemahnya tonusitasotot-otot.
 Pemeriksaan hidung
 Ukuran hidung : Secara normal, hidung pada bagian 1/3 tinggi total wajah.
 Kontur hidung : Bentuk hidung bisa lurus, cembung atau cekung sebagai suatu akibat
dari nasal injuries.

92
 Nostrils ( lubang hidung ) : Berbentuk oval, harus simetris secara bilateral, stenosis
nostril bias menindikasikan terhalangnya pernapasan hidung.
 Pemeriksaan Dagu
 Mentolabial sulcus : Sulkus mentolabial adalah suatu cekungan yang terlihat di bawah
bibir bawah. Sulus mentolabial yang dalam dapat dilihat pada maloklusi kelas II divisi I
sedangkan sulkus dangkal pada bimaksillary protrusion.
 Mentalis activity : Secara normal, otot-otot mentalis tidak dapat ditunjukkan kontraksi
apapun saat posisi normal. Aktivitas hiperaktif mentalis terlihat pada beberapa keadaan
maloklusi seperti kasus kelas II divisi I. Hal ini menyebabkan pengerutan atau lipatan
dagu.
 Chin position and prominence : Menonjolnya dagu biasanya diasosiasikan dengan
maloklusi kelas III smentara recessive chin biasanya maloklusi kelas II.
 Nasolabial Angle : Sudut ini terlihat antara border bawah hidung dan suatu garis yang
menghubungkan interseksi ( penyilangan) hidung dan bibir atas dengan ujung bibir (
labrale superior ). Sudut ini normalnya 110o. Sudut ini berkurang jika pasien memiliki
gigi-geligi anterior yang proklinasi atau prognatis maksilla. Sudut ini juga bisa meningkat
/ bertambah pada pasien dengan retrognatik maksilla atau retroclined maxillary anterior.

Pemeriksaan Intraoral

 Pemeriksaan Lidah
Berlebihnya ukuran lidah diindikasikan karena adanya gigi pada margin lateral. Memberikan
gambaran scallop pada lidah.
 Pemeriksaan Palatum
Palatum harus diperiksaan untuk menemukan hal-hal berikut :
1. Variasi kedalaman paltum terjadi pada hubungan dengan variasi bentuk facial.
Kebanyakan pasien dolicofacial memiliki palatum yang dalam.
2. Adanya swelling ( lekukan ) pada palatum dapat mengindikasi suatu keadaan gigi
impaksi, adanya kista atau patologis tulang lainnya.
3. Ulcerasi mukosa dan indentation adalah suatu gambaran dari deep bite traumatic.
4. Adanya celah palatum diasosiasikan dengan diskontinuitas palatum.
5. “the third rugae” biasanya pada garis dengan caninus. Hal ini berguna dalam perkiraan
proklinasi anterior maksilla.
 Pemeriksaan Gingiva

93
Gingival diperiksa untuk inflamasi, resesi dan lesi mucogingival lainnya. Biasanya temuan
gingivitis marginal pada region anterior disebabkan oleh postur open lip. Adanya oklusi
traumatic diindikasikan dengan resesi gingival terlokalisir.
 Pemeriksaan Perlekatan Frenum
Perlekatan frenul abnormal didiagnosis dengan suatu tes pemutihan dimana bibir atas
upward dan outward beberapa lama. Adanya pemutihan pada region papilla unter- dental
mendiagnosis suatu frenum abnormal.
 Pemeriksaan Tonsil atau Adenoid
Tonsil secara abnormal terinflamasi karena perubahan postur lidah dan rahang, dengan
demikian keseimbangan oro-facial menunjukkan maloklusi.
 Taksiran Pertumbuhan Gigi
Harus dicatat ekstra :
a. Gigi geligi yang terdapat / yang ada di dalam rongga mulut.
b. Gigi-gigi yang belum erupsi.
c. Gigi-gigi hilang.
d. Status gigi ( gigi yang erupsi dan tidak erupsi).
e. Adanya karies, restorasi, malformasi, hipoplasia, atrisi dan diskolorasi.
f. Menentukan relasi molar
g. Overjet dan overbite, variasi seperti peningkatan overjet, deep bite, open bite dan cross
bite
h. Malrelasi transfersal seperti crossbite dan pergeseran pada midline atas dan bawah.
i. Ketidakteraturan gigi individual seperti rotasi, displacement, intruksi dan ekstruksi
j. Lengkung atas dan bawah harus diperiksa secara individual untuk mempelajari bentuk
lengkungnya dan kesemetrisannya. Bentuk lengkung bisa normal, sempit ( V shaped )
atau square.

Studi Model, Analisis Ruang dan Sefalometri

 Study Model
Tahap – tahap pembuatan studi model orthodontic adalah sebagai berikut :
1. Cetakan dan gigitan malam
Model dicetak dengan tepat. Cetakan harus diperluas ke batas sulkus bukal dan sulkus
lingual.pada daerah molar rahang bawah. Cetakan atas harus menutupi palatum keras
tetapi tidak meluas ke palatum lunak. Gigitan malam harus selalu dibuat. Malam jangan

94
sampai menempel pada gigi insisivus karena reproduksi plaster dari gigi ini mudah
patah bila model ditekan ke gigitan malam.
2. Casting model
Model dapat dibuat dengan plaster gigi biasa, stone plaster, dalam campuran stone-
plaster, atau gigi-gigi dibuat dengan plaster biasa. Gigi yang dibuat dengan stone plaster
akan lebih kuat daripada gigi dengan plaster putih. Model harus dibuat dengan plaster
yang cukup tebal dibagian dasar, sehingga dapat diasah ke bentuk yang diinginkan.
3. Pengasahan bagian dasar
 Model atas dipasang pada rubber T di glass plate dan dengan gauge permukaan,
dibuat garis horizontal tegak lurus, di sekitar dasar model.
 Dasar model diasah sampai garis tersebut.
 Model dioklusi dengan gigitan malam pada posisinya dan diletakkan pada glass
plate, model bawah diletakkan di atas.
 Permukaan dasar model akan diasah dan dibuat tegak lurus terhadap median
palatina raphe.
 Bagian depan model diasah sedemikian sehingga terletak segaris dengan median
palatine Raphe.
 Sisi model diasah dengan jarak sama dari garis tengah, sehingga model memiliki
lebar yang baik.
 Model dioklusi dengan gigitan malam pada posisinya dan dengan menggunakan
model atas sebagai pedoman, permukaan belakang dan sisi-sisi model bawah
diasah agar sama dengan atas.
 Sudut distal model kemudian diasah dengan menggunakan seri segi empat ketiga
dan kesemetrian akhir model atas diperiksa.
 Bagian depan model bawah diasah membentuk lengkungan sesuai dengan
lengkung segmen labial bawah.
 Tepi-tepi plaster yang halus diasah sampai didapat lengkungan yang halus dengan
cheisel yang tajam.
 Untuk pembuatan foto, permukaan yang diasah harus dipoles dengan wheel
korborundum no 120.5
4. Analisis Model
 Tujuan analisis gigi geligi campuran adalah untuk mengevaluasi jumlah ruang yang
tersedia dalam lengkung rahang untuk gigi permanen pengganti dan penyesuaian

95
oklusal yang diperlukan. Untuk melengkapi analisis mixed dentition dan tiga faktor
yang harus diperhatikan :
- ukuran seluruh gigi permanen anterior terhadap molar pertama
- perimeter (garis keliling) lengkung rahang
- perkiraan perubahan yang diharapkan dalam garis lengkung yang dapat terjadi
dengan pertumbuhan dan perkembangan.
 Analisis mixed dentition membantu seseorang memperkirakan jumlah ruang atau
crowding yang akan ada pada pasien jika semua gigi primer diganti oleh penggantinya.
Analisis ini tidak mempresiksikan jumlah peningkatan alami pada perimeter yang bisa
terjadi selama periode transisi tanpa hilangnya gigi.
 Analisis kesling merupakan pedoman pada gigi permanen untuk menentukan lengkung
gigi asli dengan membelah giginya kemudian disusun kembali sesuai posisi aksisnya,
Prosedurnya:
1. Siapkan model studi
2. Fiksasi pada okludator yang sesuai
3. Potong gigi pada model pada kontak aproksimal dengan gergaji, caranya:
a. Buat lubang dengan gergaji lebih kurang 3 mm diatas gingival margin antara 11
dan 12
b. Buat irisan arah horizontal kiri dan kanan sampai M1
c. Buat irisan vertikal pada aproksimal M2-M1, lalu beri tanda masing-masing
d. Buat irisan arah vertikal pada setiap aproksimal
e. Pisahkan masing-masing gigi
f. Susun kembali lengkung gigi pada tempat yang dikehendaki dengan
perantaraan wax.
 Kegunaannya analisis kesling adalah :
 Berguna untuk mengamati dan mencoba pengaruh gerakan gigi yang komplek dan
ekstraksi terhadap oklusi.
 Pasien dapat dimotivasi melalui simulasi prosedur perbaikannya yang bervariasi
pada model.
 Ketidaksesuaian ukuran gigi / panjang lengkung bias dilihat dengan mengartikan
sebuah set up.
5. Sefalometri
 Sefalometri adalah metode standardisasi, hasil dari radiograf pada skull, yang mana
sangat berguna dalam pengukuran cranium dan komplex orofacial.

96
 Penggunaan sefalometri untuk :
 Study pembelajaran perkembangan craniofacial
 Diagnosis deformitas craniofacial
 Perencanaan perawatan
 Evaluasi kasus yang sudah dirawat
 Studi relapse (kambuh lagi) dalam ortho6

KESIMPULAN
Sistem stomathognathi adalah suatu pendekatan dalam bidang kedokteran gigi yang
mana mempertimbangkan hubungan saling ketergantungan antara bentuk dan fungsi gigi,
hubungan rahang, artikulasi TMJ, konformasi (kesesuaian) orocraniofasial dan oklusi dental.
Jika adanya suatu kelainan proses mastikasi maupun gangguan pada oklusi gigi geligi, maka
hal tersebut ikut mempengaruhi komponen sistem stomatognathi yang lainnya. Untuk
menghilangkan suatu maloklusii diperlukannya perawatan orthodonti. Karena perawatan
orthodonti dapat memulihkan fungsi sistem stomatognathi dan diperlukan prosedur-prosedur
untuk mendiagnosis serta melakukan perawatan.

97
JADWAL KEGIATAN PBL

2017/2018

LBM 4
Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang
Instruktur
Senin, Libur Natal
25/12/2017
Selasa, Cuti Bersama
26/12/17
Rabu, 08.10-09.50 SGD I Tutor R. SGD
27/12/17
09.50-11.30 KP: macam alat dan bahan Departemen R. Kuliah
eksodonsi serta teknik pencabutan bedah mulut Lt.1
intra alveolar dan pencabutan trans
alveolar
12.30-15.50 SL: Pencabutan gigi sederhana Tutor R. Skill Lab

Kamis, 08.10-09.50 KP: peresepan obat rasional post- Departemen R. Kuliah


28/12/2017 eksodonsi dalam beberapa kasus bedah mulut Lt.1
09.50-11.30 KP: Kondisi penyulit pencabutan Departemen R. Kuliah
bedah mulut Lt.1
12.30-14.10 KP: komplikasi dan tatalaksana Departemen R. Kuliah
pasca pencabutan bedah mulut Lt.1
Jumat, 08.10-09.50 SGD II Tutor R. SGD Lt.1
29/12/2017
09.50-11.30 KP: Macam & patofisiologi dan Departemen R. Kuliah
manifestasi penyakit jantung,ginjal OM Lt.3
dan hepar pada rongga mulut serta
tatalaksananya

98
Penjabaran Pembelajaran

Unit Belajar 4 : Pencabutan gigi sederhana dan komplikasi


Judul : “dok, gigi saya sakit, ingin di cabut, tapi tekanan darah saya tinggi, boleh kah?”
NO. SASARAN BELAJAR
1. Mendeskripsikan dan memahami indikasi dan kontra indikasi pencabutan gigi
(SGD)
2. Menjelaskan komplikasi pencabutan dan pasca pencabutan gigi (SGD)
3. Mendeskripsikan tatalaksana penanganan komplikasi pencabutan dan pasca
pencabutan (SGD)
4. Mendeskripsikan tingkatan kenaikan tekanan darah (SGD)
5. Mengetahui kondisi penyulit pencabutan (KP)
6. Memahami macam-macam alat dan bahan eksodonsi serta teknik pencabutan
intra alveolar dan pencabutan trans alveolar (KP)
7. Memahami komplikasi dan tatalaksana pasca pencabutan (KP)
8. Memahami peresepan obat rasional post-eksodonsi dalam beberapa kasus (KP)
9. Melakukan pencabutan gigi sederhana pada model (SL)
10. Melakukan perawatan gigi dengan penyulit pada model (SL)

SKENARIO
Seorang laki-laki berusia 49 tahun datang ke RSIGM dengan keluhan gigi atas kiri kedua dari
ujung, berlubang, goyang, sakit saat makan. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah 165/100
mmHg. Pemeriksaan extra oral : Tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan Intra Oral :
OH sedang, Terdapat kavitas profunda di permukaan oklusal pada gigi 27, resesi gusi dengan
bifurkasi dapat ditembus dengan sonde, perkusi (+), palpasi (-), tes vitalitas CE (-). Pemeriksan
radiografis : terdapat bayangan radiolusen pada bifurkassi gigi 27, membran periodontal
melebar, apeks gigi terletak pada perbatasan dasar sinus maksilaris. Drg merencanakan untuk
melakukan tindakan pencabutan pada gigi tersebut.

Keyword : hipertensi, kontraindikasi pencabutan, komplikasi pencabutan


Masalah : perawatan pasien dengan tekanan darah tinggi.

99
PETA KONSEP
Anamnesa &
Pemeriksaan Penunjang

Kontra Indikasi Indikasi

Dirujuk/Konsultasi Pencabutan Pencabutan


dengan spesialis mudah dengan penyulit

Ditunda Evaluasi pasca


pencabutan

Instruksi pasca
pencabutan

Terjadi komplikasi Tidak ada komplikasi

Pertanyaan Minimal : Proses


Perawatan penyembuhan
1. Apakah diagnosis dari kasus skenario?
2. Apa saja SOP yang harus dikerjakan pada pasien yang datang berobat?
3. Apa indikasi dan kontraindikasi pencabutan?
4. Bagimana prosedur pencabutan gigi yang benar pada skenario?
5. Bagaimana instruksi pada pasien setelah dilakukan pencabutan gigi?
6. Apakah pasien dengan kondisi hipertensi boleh dilakukan pencabutan? Apa yang menjadi
alasan penundaan pencabutan?
7. Apakah hubungan antara hipertensi dengan pencabutan?
8. Apa saja komplikasi hipertensi yang bisa terjadi pada pasien yang dilakukan pencabutan
gigi?
9. Komplikasi-komplikasi lain apa saja yang bisa terjadi saat dan setelah pencabutan?
10. Komplikasi apakah yang dapat timbul jika gigi yang akan dicabut dekat dengan sinus
maksila?
11. Bagaimana mekanisme proses penyembuhan pasca pencabutan gigi?
12. Bagaimana penatalaksanaan pasien pada kasus pada skenario?

100
Buku referensi:

Miloro Michael, Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery, 2 nd Ed. BC Decker Inc.
Hamilton, London, 2004.
Datarkar, Abhay N. Exodontia Practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2007
Fragiskos, Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin: Springer-Verlag. 2007

MATERI

Exodontia : Merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang berkaitan dengan ekstraksi gigi dari
soketnya di dalam tulang.

Evaluasi preoperative terhadap pasien


Evaluasi yang hati – hati akan membuat diagnosis yang akurat terhadap penyakit gigi
dan medical. Evaluasi secara sistemik meliputi history (anamnesis), pemeriksaan fisik, radiograf
dan tes laboratorium.

Penilaian terhadap gigi yang di ekstraksi


Gigi yang sukses diekstraksi dan tidak mengalami trauma bergantung kepada teknik
yang digunakan, morfologi gigi, posisi gigi dalam rahang dan kondisi tulang di sekitarnya.
Sebelum di ekstraksi, pemeriksaan radiograf dapat dilakukan untuk menilai gigi yang
diekstraksi.
Penilaian preoperative meliputi point – point berikut :
a. Morfologi dari mahkota
b. Morfologi akar. contoh : dilaserasi, fusi, impaksi, ankilosis, hipersementasi, atau akar
divergen)
c. Densitas dari tulang di sekitar gigi
d. Hubungan gigi yang berdekatan dan struktur anatomis yang penting
e. Keberadaan patologi dari gigi atau tulang di sekitar daerah tersebut.

Surgical Plan
Berdasarkan evaluasi pasien yang komplit, surgeon harus memutuskan dimana tindakan akan
dilakukan, apakah di rumah sakit atau di klinik gigi. Pertimbangan lain, tipe anestesi : local atau

101
general. Hal pendukung lainnya, seperti : preoperative sedation, antibiotic, dietary supplements,
obat lain yang masuk dalam rencana perawatan, kondisi umum pasien.

Indikasi Pencabutan Gigi


1. Severe Caries
Pada umumnya dilakukannya pencabutan gigi akibat adanya karies pada gigi tersebut
yang sangat serius dan sudah tidak dapat direstorasi kembali.
2. Pulpal Necrosis
Kemudian alasan lain untuk dilakukannya pencabutan gigi adalah terjadinya nekrosis
pulpa atau pulpitis ireversibel yang tidak dapat dilakukan perawatan endodontic. Hal ini dapat
terjadi sebagai akibat ditunda-tunda perawatan endodontic atau saluran akar yang berliku-
liku, terkalsifikasi, dan tidak dapat dirawat dengan metode perawatan endodontik sederhana.
Selain itu, hal ini juga dapat terjadi sebagai akibat sudah dilakukan perawatan
endodontik tetapi gagal untuk menghilangkan rasa sakit dan drainase
3. Severe Periodontal disease
Alasan lain adalah penyakit periodontal yang sudah severe dan ekstensif. Jika severe
adult periodontitis terjadi maka terjadi pula kehilangan tulang yang besar dan irreversible
tooth mobility sehingga gigi tersebut harus dicabut
4. Alasan Orthodontic
Pasien yang memiliki kondisi gigi geligi yang crowding (berjejal), umumnya perlu
dicabut untuk menyediakan ruang untuk lengkung rahang saat perawatan ortodontik. Gigi
yang paling sering dicabut adalah P1 rahang atas dan bawah atau P2
5. Malposisi Gigi
Gigi yang malposisi dan dapat menciderai jaringan lunak serta tidak dapat direposisi
dengan perawatan orthodontic maka diindikasikan untuk diekstraksi. Contohnya adalah gigi
M3 atas yang erupsi ke arah bukal sehingga menimbulkan ulserasi dan trauma jaringan
lunak pada pipi.
6. Gigi yang Patah
Gigi yang diindikasikan untuk dicabut adalah yang memiliki fraktur akar atau fraktur vertical
7. Ekstraksi Preprostetik
Gigi tersebut dicabut dengan tujuan untuk dilakukan perawatan prosthodontik, baik itu
full denture, partial denture, ataupun fixed partial denture

102
8. Gigi Impaksi
Jika gigi tersebut mengalami impkasi sehingga sulit untuk erupsi akibat kekurangan
space maka diindikasikan untuk diekstraksi.
9. Supernumerary Teeth
Supernumerary teeth umumnya mengalami impaksi dan dapat menyebabkan resorpsi
dan displacement bagi gigi penggantinya.
10. Gigi yang Berkaitan dengan Lesi Patologis
Gigi yang terlibat dengan lesi patologis diindikasikan untuk dicabut, namun pada
beberapa kasus dapat dirawat dengan perawatan endodontik
11. Pre-radiation therapy
Pasien yang menerima terapi radiasi untuk pengobatan oral tumor memiliki
pertimbangan yang serius untuk ekstraksi
12. Gigi yang terlibat dalam Fraktur Rahang
Pasien yang memiliki fraktur mandibula atau prosesus alveolar umumnya harus
ekstraksi gigi. Pada situasi umum, gigi yang terlibat pada fraktur dapat dirawat namun jika
gigi tersebut luksasi dari jaringan tulang maka diindikasikan untuk dicabut untuk mencegah
infeksi
13. Ekonomi
Semua indikasi dapat dilakukan ekstraksi jika pasien tidak ingin dirawat dengan alasan
financial yang tidak mencukupi.

Kontraindikasi Pencabutan Gigi


Secara umum, kontraindikasi pencabutan gigi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
kontraindikasi sistemik dan kontraindikasi local
1) Kontraindikasi Sistemik
 kelompok kontraindikasi penyakit sistemik disebut severe uncontrolled metabolic
disease. Penyakit diabetes dan kegagalan ginjal termasuk dalam kategori ini. Namun,
pasien yang memiliki riwayat diabetes terkontrol dapat dilakukan perawatan seperti
pasien lainnya.
 Pasien yang memiliki riwayat leukemia dan lymphomas tidak dapat dilakukan ekstaksi
sampai penyakitnya tersebut dapat terkontrol.
 Pasien dengan severe uncontrolled cardiac disease (severe myocardial ischemia,
angina pectoris dan myocardial infarction) harus menunda perawatan ekstraksi sampai
penyakitnya terkontrol.

103
 Pasien dengan riwayat hipertensi tidak terkontrol juga harus menunda perawatan karena
dapat menyebabkan perdarahan, acute myocardial insufficiency, dan cerebrovascular
accident.
 Fase kehamilan relatif kontraindikasi terhadap pencabutan terutama pada trisemester
pertama atau terakhir.
 Pasien yang memiliki severe diathesis seperti hemofilia, atau severe platelet disorder
tidak dapat dilakukan ekstraksi hingga coagulopathy terkontrol.
 Pasien-pasien yang mengkonsumsi obat-obatan kortikosteriod, immunosuppressive,
dan cancer chemotherapeutic agent harus menjadi pertimbangan dalam ekstraksi gigi

2) Kontraindikasi local
 kontraindikasi lokal yaitu, gigi-geligi yang terlibat dalam area tumor seperti malignant
tumor tidak boleh diekstraksi karena dapat memperburuk infeksi dan bermetastasis.
 Pasien yang memiliki severe pericoronitis disekitar gigi M3 mandibular yang impaksi
tidak boleh dicabut sampai pericoronitisnya telah dirawat.

EVALUASI KONDISI PENYULIT PENCABUTAN GIGI

Akses ke Gigi
Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan adalah pasien dapat membuka atau
menutup mulutnya. Paling sering hal ini disebabkan oleh trismus yang terinfeksi, TMD dan
muscle fibrosis. Lokasi dan posisi gigi yang akan diekstraksi juga perlu diperiksa. Lengkung
rahang yang sesuai memiliki akses yang normal bagi penempatan elevator dan tangs.
Kegoyangan Gigi
Kegoyangan gigi yang lebih dari normal umumnya mengindikasikan severe periondontal
disease. Jika gigi tersebut memiliki derajat kegoyangan yang besar maka pencabutan menjadi
lebih mudah dan diperlukan manajemen jaringan lunak setelah ekstraksi. Sedangkan, gigi
yang memiliki derajat kegoyangan lebih rendah maka perlu dilihat apakah adanya
hipersementosis atau ankilosis akar gigi.
Kondisi Mahkota Gigi
Jika mahkota gigi tersebut telah terserang karies, maka pencabutannya harus lebih hati-
hati dan lebih sulit. Adanya restorasi amalgam juga akan memperlemah mahkota sehingga
dapat menyebabkan fraktur saat diekstraksi. Jika gigi tersbut memiliki akulasi kalkulus yang
besar maka sebaiknya discalling terlebih dahulu sehingga tidak menghambat tang saat

104
diaplikasikan dan fracture calculus dapat mengkontaminasi soket gigi yang kosong setelah
diekstraksi.
Pemeriksaan Radiograf Pencabutan Gigi
Kriteria radiograf yang baik harus memiliki kontras yang baik, dengan posisi yang tepat
yang menunjukkan dari mahkota hingga mahkota gigi tanpa ada distorsi, dan fiksasi, drying dan
mounting yang bagus. Hubungan antara gigi yang akan diekstraksi dengan gigi tetangganya
harus diperhatikan. Selain itu, hubungan antara akar gigi dengan gigi pengganti juga harus
diperhatikan karena pencabutan pada gigi sulung dapat menyebabkan injure atau dislodge
pada gigi penggantinya.
Hubungan dengan Beberapa Struktur Vital
Ketika akan mengekstraksi gigi Molar RA sangat penting untuk diperhatikan kedekatan
antara akar gigi molar dengan sinus maksilaris. Inferior alveolar canal yang berdekatan dengan
akar pada gigi Molar mandibula juga perlu diperhatikan karena dapat menginjuri canal.
Konfigurasi Akar
Perlu diperhatikan jumlah akar dari gigi yang akan dicabut untuk menghindari terjadinya
fraktur akar. Selain itu, surgeon juga perlu mengetahui bentuk lengkung akar, bentuk dari
masing-maisng akar (apakah pendek dan conical shape lebih mudah dicabut atau akar yang
panjang dan terdapat hooks pada daerah apical end lebih sulit dicabut) ataupun ukuran dari
masing-masing akar saat melakukan prosedur ekstraksi. Selain itu, perlu juga diperiksa apakah
terdapat karies akar atau resorpsi akar sehingga dapat memperlemah akar dan menimbulkan
fraktur akar ketika dicabut. Selain itu, perawatan endodontik yang sudah berlangsung lama
sebelum pencabutan dapat menyebabkan ankilosis atau akar gigi yang rapuh.
Kondisi Jaringan Tulang Sekitarnya
Jaringan tulang yang lebih radiolusen menginterpretasikan mudah untuk dilakukan
ekstraksi. Sedangkan, jika sebaliknya dapat mengindikasikan osteitis atau sclerosis yang
menyulitkan ekstraksi. Jaringan tulang sekitarnya juga perlu diperiksa apakah ada kelainan
patologis / tidak terutama pada gigi yang nonvital yang terdapat radiolusensi di periapikal yang
merepresentasikan granuloma /kista.

PRINCIPLES OF TOOTH REMOVAL

1. Clear access to and vision of the surgical field


Clear access and vision of the surgical field is difficult to get especially during the removal
of upper and lower third molars and palatal roots of upper second molar. To overcome this
difficulty, a soft tissur flap might be removed along with some bone.

105
2. Use of controlled force
The forces applied to remove teeth should be always kept under control. Elevators help in
loosening the teeth before removing it. Forceps help in the removal of the teeth by applying
rotary forces and buccal and lingual rocking movements.
3. Unimpended path of removal
Whenever there is any resistance to the removal, sectioningof the teeth should be
considered. Maloposed, impacted and deeply carious teeth do not have a clear path of
removal and therefore must be sectioned before removal.

EXTRACTION TECHNIQUE

The basic requirements for a successful outcome in simple tooth extraction are as follows:
 Informing and reassuring the patient, so that stress and fear levels are minimized,
and so to ensure desirable cooperation during the procedure.
 Knowing tooth anatomy well, which can be variable.
 Detailed clinical and radiographic examinations, since these provide important
information pertaining to procedure planning and selecting the appropriate technique.
 Preparation of the patient, which includes: (1) rinsing the oral cavity with various
antiseptic solutions, and (2) correct positioning of the dental chair.

Patient Position
To ensure adequate visualization and comfort during the various manipulations required
for the tooth extraction, the dental chair must always be positioned correctly. For the extraction
of a maxillary tooth, the patient’s mouth must be at the same height as the dentist’s shoulder
and the angle between the dental chair and the horizontal (floor) must be approximately 120°.
Also, the occlusal surface of the maxillary teeth must be at a 45° angle compared to horizontal
when the mouth is open. During mandibular extractions, the chair is positioned lower, so that
the angle between the chair and the horizontal is about 110o (Fig. 5.1b). Furthermore, the
occlusal surface of the mandibular teeth must be parallel to the horizontal when the patient’s
mouth is open. The position of right-handed dentists during extraction using forceps is in front of
and to the right of the patient; left-handed dentists should be in front of and to the left of the
patient. For the extraction of anterior mandibular teeth right-handed dentists should be
positioned in front of the patient, or behind them and to their right; lefthanded dentists should be
in front of themor behind them and to their left

106
Extraction
The extraction itself is accomplished in two stages. During the first stage, the tooth is separated
from the soft tissues surrounding it using a desmotome or elevator; during the second stage, the
tooth is elevated from the socket using forceps or an elevator.
Separation of Tooth from Soft Tissues
A. Severing Soft Tissue Attachment

107
The first step in removing a tooth using the simple technique is to sever or loosen the
soft tissue attachment surrounding the tooth. Two instruments are required to sever the soft
tissue attachment: the straight and curved desmotomes (Fig. 4.56). The straight
desmotome is used for the six maxillary anterior teeth, while the curved desmotome is used
for the rest of the maxillary teeth and all the mandibular teeth.
The desmotome is held in the dominant hand, with a pen grip and, after being positioned
at the bottomof the gingival sulcus, it is used to sever the periodontal ligament. This is
accomplished in one continuousmotion, beginning at the distal surface of the tooth and
moving toward the mesial surface, first buccally and then lingually or palatally.
While severing the soft tissue attachment, the index finger and thumb of the
nondominant hand are positioned buccally and palatally or the index finger and middle
finger are placed buccally and lingually, to protect the soft tissues from injury (tongue,
cheeks and palate). More specifically for right-handed dentists, in the right maxilla, from the
canine and posterior to the canine teeth (teeth 13–18), the index finger is placed palatally
and the thumb buccally (Fig. 5.3), while for the rest of the teeth (anterior teeth and teeth on
the left side, teeth 12–28), the index finger is positioned buccally and the thumb palatally
(Figs. 5.4, 5.5). In the mandible, the fingers are positioned differently.The fingers usually
used are the index finger andmiddle finger of thenondominant hand.More specifically,
fromthe left thirdmolar until the right lateral incisor (teeth 38–42), the index finger is placed
buccally and the middle finger lingually (Figs. 5.6, 5.7), while for the rest of the teeth of the
right side (teeth 43–48), the index finger is positioned lingually and the middle finger
buccally (Fig. 5.8). For left-handed dentists, from the canine and posterior to the canine
teeth (teeth 23–28) in the left maxilla, the index finger is placed palatally and the thumb
buccally, while for the rest of the teeth (anterior teeth and teeth on the right side, teeth 22–
18), the index finger is positioned buccally and the thumb palatally. Inthemandible, the
fingers are positioned differently. The fingers usually used are the index finger andmiddle
finger of the nondominant hand.More specifically, fromthe right third molar until the left
lateral incisor (teeth 48–32), the index finger is placed buccally and themiddle finger
lingually, while for the rest of the teeth of the left side (teeth 33–38), the index finger is
positioned lingually and the middle finger buccally.

108
B. Reflecting Soft Tissues
Reflecting the gingiva surrounding the tooth is accomplished with two instruments
called Chompret elevators. Depending on the shape of the blade, the Chompret elevator
is either straight or curved (Figs. 4.52 a, b). These elevators are used to push or
slightly reflect the gingiva around an intact tooth, to allow the extraction forceps to grasp the
tooth beneath the cervical line of the tooth as apically as possible. Some people suggest
that reflecting the soft tissues is not necessary since severing them is sufficient, while
others consider that reflecting is a more appropriate procedure compared to severing
the soft tissue attachment. The fact remains that severing the soft tissue attachment is
a less traumatic procedure compared to reflecting. Chompret elevators are also used to
expose destroyed teeth that are covered by hyperplastic gingivae, enabling positioning
of the appropriate instrument for their removal. Reflecting (positioning of fingers and
movements) is done in exactly the same way as severing the soft tissue attachment,
with a slightly different motion, which is applied with slight pressure and in an outward
direction.Chompret elevators may also be used as dental elevators to remove roots
and broken root tips. It is worth noting that in the case of an intact tooth, the Freer
periosteal elevator (Fig. 4.8), being a very narrow instrument and easy to handle, is
considered more suitable for reflecting the soft tissue attachment compared to the
previously mentioned instruments (Figs. 4.52 a, b).

109
C. Extraction Technique
1. Using Tooth Forceps
The extraction technique using tooth forceps is based on certain guidelines to
ensure that the tooth is extracted with maximum skill. These guidelines involve
the correct way to hold the forceps and the tooth itself, the forces applied to the
tooth, and the direction of movement during the extraction. The extraction forceps
are held in the dominant hand, while the thumb is simultaneously placed between
the handles directly behind the hinge, so that pressure applied to the tooth is
controlled (Figs. 5.9, 5.10). The nondominant hand also plays an important role in
the extraction procedure. More specifically:
 It reflects the soft tissues of the cheeks, lips, and tongue, so that there is
adequate visualization of the surgical field.
 It supports the alveolar process of the maxilla and aids in stabilizing the
patient’s head. It also controls the expansion of the alveolar bone by way of
feel, as well as luxation of the tooth during the various maneuvers.
 It supports and stabilizes themandible, counteracting the forces applied by the
extraction forceps, which, when very great, may injure the temporomandibular
joint.

After reflecting of the gingiva, the beaks of the forceps are positioned at the
cervical line of the tooth, parallel to its long axis, without grasping bone or gingivae at the

110
same time. The initial extraction movements applied are very gentle. More specifically,
the dentist applies slow steady pressure to move the tooth buccally at first, and then
palatally or lingually. Movements must become greater gradually and the buccal
pressure is greater than the corresponding palatal or lingual pressure, because the labial
or buccal bone is thinner and more elastic compared to that of the palate. If anatomy of
the root permits (single, conical roots), rotational force may be applied in addition to
buccopalatal or buccolingual pressure. These movements expand the alveolar bone and
also sever all the periodontal fibers. Slight traction is also employed at the same time,
facilitating the tooth extraction. During the final extraction phase, traction is not
permitted, because there is risk of damage due to sudden removal of the tooth and the
risk of the forceps knocking the teeth of the opposite arch. To avoid such a possibility,
the final extraction movement must be labial or buccal, and in a curved direction that is
outwards and upwards for the maxilla, and outwards and downwards for the mandible.
Before the tooth is delivered from the socket, the soft tissue between the tooth
and the gingiva must be examined for a possible attachment. If this is the case, the
gingiva must be completely severed from the tooth, because there is a risk of greatly
tearing the tissues.

2. Using Root Tip Forceps


The root tip forceps are used in exactly the same way as the tooth forceps. In
order to use this instrument, the root must protrude out of the gingivae, so that it can be
firmly grasped. If the root is at the same level as, or a little beneath, the alveolarmargin,
a small portion of the root must be exposed before the dentist is able to grasp the root
with the root tip forceps. This is accomplished after carefully reflecting a small portion of
the gingivae and removing part of the buccal and palatal alveolar bone. As for the
dentist’s position, placement of fingers of the nondominant hand and extraction
movements, they are no different than those described for intact teeth.
3. Using Elevator
Extraction of Roots and Root Tips. A variety of elevators may be used to extract roots
and root tips. The most commonly used elevator is the straight elevator. This elevator,
besides root extractions, may also be used to remove intact teeth – especially
themaxillary andmandibular thirdmolars, root anatomypermitting.There isnodoubt that
the straight elevator is the ideal instrument in everyday dentistry, as long as it is used

111
correctly. Otherwise, it may cause a number of undesirable complications. In order to
avoid such situations, certain basic rules must be followed:
 The straight elevator must be held in the dominant hand and the index finger placed
along the blade, leaving its anterior end exposed, which is used to luxate the
tooth or root (Fig. 5.20).
 This instrument must always be used buccally, and never on the lingual or
palatal side.
 The concave surface of the blade must be in contact with the mesial or distal
surface of the tooth to be extracted, and be seated between the tooth and
alveolar bone.
 When the instrument is placed between the maxillary posterior teeth, it must
be perpendicular to their long axis. As for the rest of the teeth of both the
maxilla and mandible, it may be perpendicular, parallel, or at an angle.
 During luxation, a cotton roll or gauze should be placed between the finger
and palatal or lingual side, to avoid injury of the finger or tongue in case the
elevator slips (Fig. 5.21).

 During luxation, the adjacent tooth should not be used as a fulcrum, but only the
alveolar bone.Otherwise, there is a risk of damaging the periodontal ligament fibers
(Fig. 5.22 a–c).

112
 The straight elevator should not be used to extract multi-rooted teeth, because there
is a risk of fracturing their roots if they have not been sectioned previously. During
the luxation attempt using the straight elevator, the fingers of the nondominant hand
must be in a certain position.
 More specifically for right-handed dentists: Maxilla: From the right premolar up to
the right third molar (teeth 14–18), the index finger is placed Palatally and the thumb
is placed buccally(Fig. 5.23). From the right canine up to the left third molar (teeth
13–28), the index finger is placed labially or buccally and the thumb is placed
palatally (Fig. 5.24). Mandible: From the right first premolar up to the right third
molar (teeth 44–48), the nondominant hand embraces the patient’s head and the
index finger is placed buccally, while the thumb is placed lingually (Fig. 5.25). From
the right canine up to the left third molar (teeth 43–38), the index finger is placed
lingually and the thumb is placed labially or buccally (Fig. 5.26).

113
Extraction of Single-Rooted Teeth with Destroyed Crown The removal of single-
rooted teeth whose crown has been destroyed is accomplished with the help of the
straight elevator. More specifically, the blade of the elevator is seated between the root
and alveolar bone (perpendicular or at an angle), with the concave surface of the blade
in contact with the mesial or distal surface of the root. Using the alveolar bone as a
fulcrum, rotational forces are applied around the axis of the elevator, in the mesial and
distal area, resulting in displacement of the root and elevation fromthe socket (Figs.
5.27–5.29).

Extraction of Multi-Rooted Teeth with Destroyed Crown The extraction of roots of


multi-rooted teeth whose crown is destroyed is impossible using extraction forceps or
root tip forceps. In such cases, removal is accomplished after separating the roots using
the procedure described below. If the roots are above the alveolar bone, the roots are
sectioned and separated after creating a deep perpendicular buccolingual groove using
a fissure bur, which reaches the intraradicular bone (Fig. 5.31). The roots are then
removed separately one at a time, using either root tip forceps or an elevator. Sectioning
may also be accomplished using the straight elevator, after placing its blade in the root

114
bifurcation, with the concave surface of the instrument in contact with the distal root. At
the same time, the fingers are placed as described for the extraction using an elevator,
protecting the tissues from the sharp end of the blade in case the instrument slips (Figs.
5.32– 5.34). The roots are separated employing rotational movements, while at the same
time the distal root is elevated relatively easily from its socket (Figs. 5.35, 5.36). The
mesial root may then be removed using the elevator with T-bar handles or the angled
Seldin elevator. The elevator is placed so that the blade is positioned in the empty
socket with its end facing the root. The intraradicular bone is removed first (if it is higher
than the root) and then the tip of the elevator comes into contact with the root, which is
removed after carefully applying rotational pressure upwards (Figs. 5.37, 5.38).

115
Instruksi Paska Ekstraksi
 Istirahat: pasien sebaikanya tinggal di rumah dan tidak bekerja selama 1-2 hari, bergantung
ada seberapa berat luka bedah dan kondisi fisik pasien
 Analgesia: minum obat pereda rasa sakit (tapi jangan salisilat, aspirin), setiap 4 jam sekali,
selama rasa sakit masih ada
 Edema: tempatkan kompres dingin (ice pack dibungkus dengan handuk) di atas area
surgical selama 10-15 menit, dan diulangi setiap setengah jam, sekurangkurangnya 4-6
jam
 Pendarahan: pasien harus menggigit erat gauze di atas luka selama 30-45 menit. Jika
perdarahan berlanjut, ganti dengan gauze lain.
 Antibiotik: hanya diresepkan jika pasien memiliki kondisi medis khusus / inflamasi
 Diet (makanan): mengandung makanan yang dingin dan cair (pudding, yogurt, susu, sop
dingin, jus jeruk)

116
 Oral Hygene: dilarang berkumur selama 24 jam pertama. Setelah itu, mulut bisa dikumur
dengan chamomile hangat atau air garam, tiga kali sehari selama 3-4 hari. Gigi sebaiknya
disikat dan di flossed, tapi pasien harus menghindari area bedah
 Jika dilakukan penjahitan luka pengambilan jahitan dilakukan seminggu kemudian

PENYAKIT SISTEM KARDIOVASKULAR

Hipertensi
Definisi : Hipertensi didefinisikan sebagai tingginya tekanan darah sistol ≥140mmHg dan
diastolnya ≥90mmHg atau mereka yang harus menggunakan medikasi anti hipertensi.

Etiologi

Hipertensi diklasifikasikan kedalam primer dan sekunder.95% dari seluruh hipertensi


memiliki sebab yang tidak jelas. 5-10% lainnya memiliki penyebab yang jelas, diantaranya
kerusakan renal seperti renal parenchymal disease, renovascular disease, renin-producing
tumors, dan primary sodium retention ; Gangguan endokrin yang dapat menghasilkan hipertensi
termasuk penyakit tiroid, penyakit adrenal, karsinoid, dan hormone eksogen ; sebab lainnya
meliputi aortic coarctation, komplikasi saat kehamilan, sebab-sebab neurologis, stress akut,
konsumsi alkohol, penggunaan nikotin, peningkatan volume intravascular, dan penggunaan
obat seperti cyclosporine atau tacrolimus.

Faktor Resiko Medikasi

Hipertensi adalah factor resiko untuk CAD.Harus disadari bahwa hipertensi merupakan
penyakit kronis dengan sekuel jangka panjang. Dengan begitu, perawatan berfokus pada
prevensi untuk mengurangi komplikasi yang akhirnya akan menyerang organ target (umumnya
otak, jantung, ginjal, mata, dan arteri perifer). Komplikasi hipertensi meliputi cerebral
hemorrhage, hipertorfi ventrikel kiri, CHF, insufiensi renal, aortic dissection, dan penyakit
arterosklerotik.

Diagnosis

Karena hipertensi umumnya asimptomatik selama beberapa tahun, banyak pasien yang
tidak terdiagnosa, dan banyak pasien hipertensi yang hanya memperlihatkan elevasi ringan
pada tekanan darah.Diagnosis hipertensi hanya ditetapkan setelah peningkatan tekanan darah

117
terlihat beberapa kali. Hipertensi stage 1 mengacu pada tekanan sistol 140-19mmHg atau
diastol 90-99mmHg. Hipertensi stage 2 mengacu pada tekanan sistol 160-179mmHg atau
diastole 100-109mmHg. Hipertensi stage 3 mengacu pada tekanan sistol ≥180mmHg dan
diastole ≥110mmHg.

Tekanan darah dan beberapa factor klinis lainnya akan mementukan keparagan
hipertensi. Factor-faktor lain termasuk kelengkapam demografi, perluasan kerusakan vaskula
yang terinduksi oleh tekanan darah yang tinggi.

Pemeriksaan Fisik

Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah utuk melihat adanya end-organ damage dan
melihat bukti dari penyebab hipertensi sekunder. Sehingga, denyut peripheral harus dipalpasi,
abdomen harus di aucukulasi untuk desis arteri renal yang akan mengindikasian hipertensi
renovaskuler.

Lab dan Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan lab yang harus secara rutin dilakukan adalah hematocrit, urinalisis,
pemeriksaan kimia darah (glukosam, kreatinin, elektrolit), dan fasting lipid profile mengandung
total dan hidh-density lipoprotein (HDL) kolesterol dan trigliserida. Twelve-lead electrocardiograf
harus juga dilakukan. Pemeriksaan tambahan lain: ambulatory blood pressure monitoring,
plasma renin activity testing, radiologic testing.

Pertimbangan pada kesehatan oral

Pasien dengan tekanan darah yang tinggi memiliki resiko yang lebih tinggi atas adverse
advents di dental setting saat adanya penyakit organ-target. Bagaimanapun, ketiadaan penyakit
dari organ target tersebut tidak mengurangi perlunya evaluasi yang hati-hati dan perawatan
pasien dengan parameter yang aman dan sesuai. Berdasarkan model medic untuk penilaiaan,
stratifikasi resiko, dan perawatan pasien dengan hipertensi, dental guidelines dapat menjadi
petunjuk. Guidelines ini tidak melepaskan dokter gigi dari keputusan klinis yang baik, dan ini
juga digunakan sesuai dengan pengetahuan, pelatihan, dan pengalaman dokter gigi. Dokter gigi
juga harus berhati-hati terhadap medikasi yang :
(1) Mungkin memiliki efek samping sistemik yang penting dalam pengadaan perawatan
(2) Berinteraksi dengan medikasi yang digunakan dalam pearawatan dental, dan
(3) Menghasilkan perubahan intraoral.

118
KOMPLIKASI PENCABUTAN DAN PASCA PENCABUTAN

Komplikasi Anastesi Lokal karena Tusukan Jarum


2. Fainting / collaps dan syncope :
 Collaps : kelelahan dari sistem kardiovaskular
 Syncope : hilangnya kesadaran karena cerebral anemia
 Gejala :
a) Relaksasi sebagian/seluruh otot tubuh
b) Menurunnya cardial output
c) Menurunnya aliran darah, vasodilatasi primer
d) Pucat dan keringat dingin
e) Nausea
f) Frekuensi pernapasan kadang-kadang turun
g) Pasien tidak sadar
 Sebab:
a) Perasaan takut sebelum disuntik
b) Rasa sakit yang sangat
c) Kekurangan O2
 Therapy :
a) Pasien dibaringkan pada tempat yang udaranya segar dan tenang
b) Posisi penderita, kepala lebih rendah dari kaki
c) Alat-alat yang mengikat tubuh dilepaskan
d) Penderita diberi stimulan berupa alkohol
3. Shock : ketidakseimbangan antara volume darah dan sirkulasi darah perifer
 Gejala :
a) Penderita pucat dan mengarah ke cyanosis
b) Suhu tubuh turun
c) Nadi lemah dan frekuensi pernapasan turun
d) Apatis
e) Hilang kesadaran
 Penyebab :
a) Alergi obat-obatan (enapilaktik shock karena penicillin)
b) Penderita yang sangat takut

119
c) Presentasi epineprin naik
d) Hilang darah banyak
e) Toksisitas
 Therapy :
a) Penderita dibaringkan.
b) Posisi threndelenberg (kepala lebih rendah dari kaki)
c) Biberi O2 murni
4. Hyperesthesia : rasa sakit yang sangat pada waktu anastesi atau sesudahnya
 Pencegahan :
a) Topical aplication dengan xylocain spray / ointment pada region yang akan disuntik
b) Jarum tajam
c) Suhu solusio
d) Turunkan trauma penyuntikkan
5. Oedema (pembengkakan)
 Penyebab :
a) Trauma jarum
b) Ada infeksi karena jarum dari solusio terkontaminasi
c) Masuknya bakteri bersama dengan tusukan jarum
d) Alergi dengan hemoragic
 Therapy dilihat dari penyebabnya :
a) Bila infeksi, diberi antibiotik
b) Bila peradangan diberi anti inflamasi
6. Hematoma : extravasi darah dari pembuluh darah yang terkena trauma ke dalam jaringan
sekitar sehingga membentuk massa seperti tumor dengan warna kebiru-biruan (perdarahan
di jaringan kulit)
 Ecchymosis : perdarahan di jaringan subcutan
 Hematoma tidak berbahaya, dalam beberapa hari sudah hilang
 Perubahan warna : merah kebiruan→ biru→ pucat kekuningan →disertai hilangnya
pembengkakan
 hematoma pada pipi karena : trauma pada plexus venosus pterygoideus pada tuber
anastesi sehingga darah masuk ke pterygomandibular space
 Therapy :
o hari 1 : kompres dengan air dingin agar darah beku

120
o hari 2 : kompres dengan air panas untuk mempercepat absorpsi dan beri
thrombophop gel
6. Jarum patah : komplikasi yang sukar perawatannya, jadi lebih baik dicegah
 biasanya terjadi saat mandibular blok karena kesalahan teknik/kepala pasien bergerak
tiba-tiba
 jika jarum patah, jarum akan segera hilang ke dalam mukosa
 Pencegahan :
a) Bila menemukan kesukaran dalam memasukkan jarum, jangan dipaksa karena
dapat mengubah tempat tusukkan jarum
b) Jangan pakai jarum tumpul dan halus
c) Jangan menyuntik terlalu cepat sehingga menyebabkan pasien keget dan bergerak
tiba-tiba
d) Jarum tidak boleh masuk seluruhnya, harus menyisakan 1/3 nya
e) Dokter harus menguasai anatomi dan teknik anastesi
 Therapy :
a) Ronsen foto b) Pengambilan secara surgery
7. Xerosthomia : penurunan atau tidak ada saliva sama sekali
 Penyebab : Saat anastesi N. Alveolaris inferior pada mandibula blok, solusio merembes
ke corda timpani (cabang N. VII) sehingga menghalangi impuls N. VII yang
menginervasi glandula submaksilaris, sublingualis sehingga sekresinya terganggu
 Therapy :
a) pasien berkumur
b) pasien diberikan makanan yang merangsang saliva
c) diberi obat yang nerangsang saliva
8. Prolong anastesi : rasa baal yang berlangsung lama lebih dari normal
 Dapat beralngsung berhari-hari/ berminggu-minggu/ lebih
 Pada N. Alveolaris inferior
 Pada operasi M3 impaksi (rasa tebal pada bibir bawah)
 Pada N. Lingualis (rasa tebal pada lidah/ rasa aliran listrik pada papila incisiva)
 Penyebab :
a) Proses infeksi / trauma yang melibatkan saraf, misal pada ameloblastoma /
osteomyelitis
b) Trauma waktu operasi pada saraf di sekitar daerah operasi
c) Ada alkohol yang bercampur dengan obat anastesi

121
d) Insersi jarum yang tepat menganai saraf
 Therapy :
a) Light therapy
b) Heat therapy
c) Pemijatan pada daerah tersebut
9. Trismus : sifat keadaan dimana terbatasnya pembukaan mulut pasien ( diukur dari patokan
jari )
 Penyebab :
a) Trauma jarum pada otot
b) Iritasi pada solusio
c) Ada infeksi
d) Ada perdarahan sehingga menyebabkan peradangan pada otot sekitar
 Pencegahan pada anastesi lokal :
a) Pakai jarum yang steril
b) Adrenalin
c) Antihistamin
d) O2
e) Antipirin
10. Infeksi : masuknya kuman patogen ke dalam tubuh, berkembang biak dan timbul rasa sakit
disertai radang ( tumor, dolor, rubor, dan kalor)
 Penyebab :
a) Jarum tidak steril
b) Solusio tidak steril
c) Bakteri masuk bersama tusukan jarum
 Therapy :
a) Kemoterapi
b) Antipiretik
c) Bila mencapai subcutan, bisa diinsisi
11. Peradangan / reaksi lokal : dari tubuh terhadap iritasi dari luar karena organik, mekanik,
bahan kimia, termis, tergantung pada resistensi jaringan
 Penyebab : sama dengan penyebab infeksi
 Therapy : anti inflamasi

Komplikasi pasca pencabutan

122
Pendarahan
Setelah selesai ekstrasi, untuk mengontrol pendarahan, lakukan penempatangulungan
kassa diatas soket yang kosong. Gulungan kassa yang besar dapat menutupi permukaan
oklusal dari gigi dan tidak dapat melakukan tekanan pada soket. Kassa seharusnya dibasahkan
jadi rembesan darah tidak menggumpal pada kassa sehingga tidak ikut bersama kassa ketika
dicabut. Pasien diinstruksikan untuk menggigit kassa sekurang-kurangnya 30 menit dan tidak
mengunyah kassa. Minimum berbicara selama 3 – 4 jam. Pasien diinformasikan bahwa
normalnya pada soket gigi terdapat sedikit rembesan selama 24 jam setelah ekstraksi. Jika
pendarahan melebihi dari sedikit rembesan, pasien diinstruksikan untuk bagaimana mengganti
gulungan kassa yang diletakkan di area gigi yang di ekstraksi. Kemudian menahan gulungan
kassa tersebut selama 1 jam.
Untuk pasien yang merokok sebaiknya tidak merokok pada 12 jam pertama karena saat
merokok akan ada tekanan negative yang terjadi saat mulut mengisap rokok yang mungkin
akan mendorong terjadinya pendarahan sehingga sebaiknya hal ini dihindari. Pasien sebaiknya
tidak minum menggunakan sedotan, hal ini juga membuat terjadinya tekanan negative. Pasien
tidak diperbolehkan untuk meludah yang akan menyebabkan pendarahan jadi bertambah lama.
Pasien yang pendarahannya lama dan panjang atau ada bekuan darah yang besar pada mulut
pasien disarankan untuk kembali ke dokter gigi.

123
JADWAL KEGIATAN PBL

2017/2018

LBM 5

Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang


Instruktur
Senin, Libur Tahun Baru
1/1/2018
Selasa, 08.10-09.50 SGD I Tutor R. SGD
2/1/2018 Lt.1

09.50-11.30 KP : Macam & patofisiologi dan Departemen R.Kuliah


manifestasi kelainan gastritis & OM lt.1
saluran cerna pada rongga
mulut serta tatalaksananya

12.30-15.50 SL: pencabutan gigi dengan Tutor R. Skill Lab


penyulit dan penanganan dry
socket
Rabu, 08.10-11.30 SL: Gingivektomi Tutor R. Skill Lab
3/1/2018
12.30-14.10 KP: Macam & patofisiologi dan Departemen R. Kuliah
manifestasi anemia pada OM Lt.1
rongga mulut serta
tatalaksananya

Kamis, 09.50-11.30 KP: Macam & patofisiologi dan Departemen R. Kuliah


4/1/2018 manifestasi kehamilan pada OM Lt.1
rongga mulut serta
tatalaksananya

12.30-14.10 KP: Macam & patofisiologi dan Departemen R. Kuliah


manifestasi reaksi OM Lt.1
hipersensitifitas pada rongga
mulut serta tatalaksananya
Jumat, 08.10-09.50 SGD II Tutor R. SGD
5/1/2018

124
Penjabaran Pembelajaran
Unit Belajar 5 : Perawatan gigi pada pasien dengan Medical Compromised
Judul : “gigi saya ga enak kalau dipake ngunyah, banyak yang goyang dok, ingin
dicabut..”

NO. SASARAN BELAJAR


1. Memahami cara pengelolaan pasien dengan diabetes melitus (SGD)
1. Memahami pemeriksaan penunjang laboratories yang dibutuhkan untuk
perawatan gigi pada pasien diabetes mellitus (SGD)
2. Mendeskripsikan dan memahami penyakit infeksi yang dapat menyebar melalui
infeksi gigi (SGD)
3. Mendeskripsikan macam Medically Compromised dan manifestasi pada rongga
mulut serta tatalaksananya (KP)
4. Tinjauan kedokteran islam tentang bahaya zina dan khalwat (KP)
Haramnya riba dan praktek riba dalam dunia kedokteran (KP)
5. Melakukan penanganan dry socket (SL)

SKENARIO
Seorang laki – laki berusia 47 tahun datang ke RSIGM dengan keluhan gigi goyang, terutama
gigi ujung atas dan bawah belakang. Riwayat sistemik, pasien mengkonsumsi obat
Glibenclamid selama kurang lebih 5 tahun. Pemeriksaan extra oral tidak ada kelainan.
Pemeriksaan intra oral, OHI buruk, banyak gigi goyang, halitosis. Pemeriksaan OPG (seperti
gambar di bawah) menunjukkan kerusakan tulang horizontal secara keseluruhan. Pemeriksaan
laboratorium Glukosa darah antara 160 puasa dan 190/210 mg/dl dua jam pp. Pasien
menginginkan gigi yang goyang tersebut, terutama yang ujung di cabut, karena mengganggu
saat makan.

Keyword: diabetes mellitus tipe 2, kerusakan tulang


Masalah: perawatan pasien dengan kondisi sistemik diabetes mellitus

125
Konsep Mapping
Penyakit
sistemik

Pemeriksaan Dilakukan
penunjang perawatan

Pasien Medically laboratorium


Compromised dan konsul
pasien ke
bagian terkait Menunda
perawatan
Kelainan
Pertanyaan Minimal: dalam rongga
mulut
1. Mengapa terjadi kerusakan tulang pada pasien?
2. Apa saja yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan pencabutan pada kondisi
diabetes melitus?
3. Apakah hubungan kondisi diabetes mellitus dengan pencabutan?
4. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan kondisi diabetes melitus dalam kedokteran
gigi?
5. Berapakah nilai – nilai normal gula darah sewaktu dan puasa serta maknanya?
6. Apa tindakan awal yang bisa dilakukan dokter gigi terhadap pasien ini?
7. Bagaimana prinsip pembuatan surat konsul pasien ke dokter penyakit dalam dan
laboratorium?
10.Apa saja penyakit sistemik yang harus diperhatikan dalam tindakan kedokteran gigi?

Buku referensi:
Bakathir AA, 2006, Mucormycosis of the jaw after dental extractions : two case reports, Sultan
Qaboos Univ Med J; 6(2): 77 – 82.
Topazian, Richard G., Goldberg, Morton H. Oral and Maxillofacial Infections 3rd edition.
Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1994
Datarkar, Abhay N. Exodontia Practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers. 2007
Fragiskos, Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin: Springer-Verlag. 2007

126
MATERI

DENTAL MANAJEMEN PADA PASIEN COMPROMISE MEDIS

Contoh Surat Rujukan:

SURAT RUJUKAN
Semarang, 05 Desember 2015
Kepada Yth TS
Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Di RISA UNISSULA
Mohon konsultasi pasien dengan identitas:
Nama : Ny . P
Umur : 40 thn
Jenis kelamin : perempuan
Dengan riwayat :
- mukosa lidah pucat
- mukosa palatum pucat dan terdapat pteki dan purpura dalam jumlah yang
banyak.
- Pada beberapa servikal gigi terlihat darah yang merembes.
Pasien akan kami lakukan tindakan pencabutan sisa akar gigi 46. Mohon pemeriksaan
dan tatalaksana dibidang TS. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan banyak
terima kasih ,
Salam Sejawat
drg.AD

127
Penyakit sistem kardiovaskular
HIPERTENSI

Hipertensi didefinisikan sebagai tingginya tekanan darah sistol ≥140mmHg dan


diastolnya ≥90mmHg atau mereka yang harus menggunakan medikasi anti hipertensi.

Etiologi
Hipertensi diklasifikasikan kedalam primer dan sekunder.95% dari seluruh hipertensi
memiliki sebab yang tidak jelas. 5-10% lainnya memiliki penyebab yang jelas, diantaranya
kerusakan renal seperti renal parenchymal disease, renovascular disease, renin-producing
tumors, dan primary sodium retention ; Gangguan endokrin yang dapat menghasilkan hipertensi
termasuk penyakit tiroid, penyakit adrenal, karsinoid, dan hormone eksogen ; sebab lainnya
meliputi aortic coarctation, komplikasi saat kehamilan, sebab-sebab neurologis, stress akut,
konsumsi alkohol, penggunaan nikotin, peningkatan volume intravascular, dan penggunaan
obat seperti cyclosporine atau tacrolimus.

Faktor Resiko Medikasi


Hipertensi adalah factor resiko untuk CAD.Harus disadari bahwa hipertensi merupakan
penyakit kronis dengan sekuel jangka panjang. Dengan begitu, perawatan berfokus pada
prevensi untuk mengurangi komplikasi yang akhirnya akan menyerang organ target (umumnya
otak, jantung, ginjal, mata, dan arteri perifer). Komplikasi hipertensi meliputi cerebral
hemorrhage, hipertorfi ventrikel kiri, CHF, insufiensi renal, aortic dissection, dan penyakit
arterosklerotik.

Diagnosis
Karena hipertensi umumnya asimptomatik selama beberapa tahun, banyak pasien yang
tidak terdiagnosa, dan banyak pasien hipertensi yang hanya memperlihatkan elevasi ringan
pada tekanan darah.Diagnosis hipertensi hanya ditetapkan setelah peningkatan tekanan darah
terlihat beberapa kali. Hipertensi stage 1 mengacu pada tekanan sistol 140-19mmHg atau
diastol 90-99mmHg. Hipertensi stage 2 mengacu pada tekanan sistol 160-179mmHg atau
diastole 100-109mmHg. Hipertensi stage 3 mengacu pada tekanan sistol ≥180mmHg dan
diastole ≥110mmHg. Tekanan darah dan beberapa factor klinis lainnya akan mementukan
keparagan hipertensi. Factor-faktor lain termasuk kelengkapam demografi, perluasan
kerusakan vaskula yang terinduksi oleh tekanan darah yang tinggi.

128
Pemeriksaan Fisik
Tujuan utama pemeriksaan fisik adalah utuk melihat adanya end-organ damage dan
melihat bukti dari penyebab hipertensi sekunder. Sehingga, denyut peripheral harus dipalpasi,
abdomen harus di aucukulasi untuk desis arteri renal yang akan mengindikasian hipertensi
renovaskuler.

Lab dan Pemeriksaan Tambahan


Pemeriksaan lab yang harus secara rutin dilakukan adalah hematocrit, urinalisis,
pemeriksaan kimia darah (glukosam, kreatinin, elektrolit), dan fasting lipid profile mengandung
total dan hidh-density lipoprotein (HDL) kolesterol dan trigliserida. Twelve-lead electrocardiograf
harus juga dilakukan. Pemeriksaan tambahan lain : ambulatory blood pressure monitoring,
plasma renin activity testing, radiologic testing.

Pertimbangan pada kesehatan oral


Sangat jelas bahwa pasien dengan tekanan darah yang tinggi memiliki resiko yang lebih
tinggi atas adverse advents di dental setting saat adanya penyakit organ-target.Bagaimanapun,
ketiadaan penyakit dari organ target tersebut tidak mengurangu perlunya evaluasi yang hati-hati
dan perawatan pasien dengan parameter yang aman dan sesuai. Berdasarkan model medic
untuk penilaiaan, stratifikasi resiko, dan perawatan pasien dengan hipertensi, dental guidelines
dapat menjadi petunjuk. Guidelines ini tidak melepaskan dokter gigi dari keputusan klinis yang
baik, dan ini juga digunakan sesuai dengan pengetahuan, pelatihan, dan pengalaman dokter
gigi. Dokter gigi juga harus berhati-hati terhadap medikasi yang
(1) mungkin memiliki efek samping sistemik yang penting dalam pengadaan perawatan
(2) berinteraksi dengan medikasi yang digunakan dalam pearawatan dental, dan
(3) menghasilkan perubahan intraoral.

DIABETES MELLITUS

Definition : Clinically and genetically heterogenous metabolis disease characterized by


abnormally elevated blood glucose levels (hyperglycemia) and dysregulation of carbohydrate,
protein and lipid metabolism.
Fitur utama : hiperglikemia kronis, berasal dari atau resistensi sel tubuh terhadap aksi insulin

129
Komplikasi : meliputi mata, saraf, ginjal, dan pembuluh darah

Patofisiologi DM diperantarai oleh perubahan metabolisme karbohidrat dan aksi insulin.


Setelah makan, jumlah glukosa yang tersedia seringkali melebihi kebutuhan selular, oleh
karenanya di dalam hati, glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. Pada saat energy
dibutuhkan, glikogen diubah menjadi glukosa melalui glycogenolysis, yang nantinya
meningkatkan level glukosa darah dan menyediakan sumber energi yang dibutuhkan sel. Liver
juga menghasilkan glukosa dari lemak (fatty acids) dan protein (amino acids) melalui proses
gluconeogenesis. Glycogenolysis dan gluconeogenesis meningkatkan level glukosa setelah
makan Glikemia dikontrol oleh interaksi antara GI tract, pankreas dan hati. Insulin adalah satu-
satunya hormon yang menurunkan level glukosa darah. Counterregulatory hormone seperti
glukagon, catecholamines, growth hormone (GH), thyroid hormone, dan glucocorticoids 
meningkatkan level glukosa darah, sebagai tambahan dari efek lainnya yang dimiliki hormon-
hormon tersebut.

Klasifikasi

DM tipe 1
 Dicirikan oleh idiopathic autoimmune destruction of pancreas beta cells, yang menyebabkan
defisiensi absolut dari insulin.
 Peningkatan risiko terjadinya DM tipe I dipengaruhi oleh riwayat keluarga yang terkena DM
tipe 1, gluten enteropathy (celiac disease) atau endocrine disease.
 Dua subkelas dari DM tipe 1:
1. Immune-mediated form, merupakan penyakit kronis dengan subclinical prodromal
period yang dicirikan dengan cellular-mediated autoimmune destruction dari beta cell
yang memproduksi insulin di pancreatic islets. Dapat dipicu oleh infeksi virus namun
juga terkait dengan kelainan autoimmune.
2. Idiopathic form, tidak terkait dengan autoantibodies, dan penyebab destruksi beta cell
belum dimengerti.
 Individu dengan DM tipe 1 berat badan normal atau kurus.
 Pankreas tidak lagi memproduksi insulin pasien DM tipe 1 sangat bergantung pada
exogenously administered insulin.
 Individu dengan DM tipe 1 rentan terkena diabetic ketoacidosis. Hal ini dikarenakan oleh
pankreas yang tidak lagi memproduksi insulin, sehinga glukosa tidak dapat memasuki sel
dan berada di aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan energi selular, lemak dipecah

130
melalui lipolysis, melepaskan glycerol dan free fatty acids. Glycerol diubah menjadi glukosa
untuk digunakan sel. Fatty acids diubah menjadi keton, menyebabkan peningkatan level
ketone di cairan tubuh dan menurunkan konsentrasi ion hidrogen (pH). Keton dikeluarkan
melalui urin, diikuti oleh jumlah air yang banyak. Akumulasi keton di cairan tubuh, penurunan
pH, kehilangan elektrolit dan dehidrasi akibat excessive urination dan perubahan pada
sistem buffer bikarbonat menyebabkan diabetic ketoacidosis. Apabila tidak dirawat, dapat
menyebabkan koma atau kematian. Stres atau infeksi dapat memicu diabetic ketoacidosis,
akan tetapi lebih sering diakibatkan oleh kontrol daily glycemic yang kurang baik.

DM tipe 2
 Merupakan tipe yang paling umum terjadi.
 Dicirikan oleh resistensi insulin di jaringan peripheral dan defective insulin secretion oleh
pancreatic beta cells.
 Etiologi: multifaktorial meliputi genetic predilection, advancing age, obesitas dan kurangnya
excercise. Kebanyakan pasien DM tipe 2 memiliki berat badan berlebih dan merupakan
pasien usia dewasa.
 Patofisiologi DM tipe 2 dicirikan oleh:
- Resistensi periferal terhadap insulin, terutama di sel otot
- Peningkatan produksi glukosa oleh hati
- Insulin secretory defect dari beta cells
 Tingginya level glukosa darah seringkali menstimulus peningkatan produksi insulin oleh
pankreas, sehingga individu dengan DM tipe 2 seringkali memiliki produksi insulin yang
berlebih (hyperinsulinemia). Akan tetapi, setelah beberapa tahun, pancreatic insulin
production biasanya menurun ke level dibawah normal.
 Individu dengan DM tipe 2 seringkali memiliki “insulin resistance syndrome” atau sindrom X
yang terdiri dari hyperglycemia, hypertension, dyslipidemia, central or abdominal obesity dan
atherosclerosis.
 Pasien DM tipe 2 tidak membutuhkan exogenous insulin untuk bertahan karena mereka
masih memproduksi insulin. Akan tetapi, injeksi insulin seringkali menjadi integral part dari
tatalaksana medis untuk DM tipe 2.
 DM tipe 2 umumnya resistan terhadap diabetic ketoacidosis karena pancreatic insulin
production seringkali cukup untuk mencegah pemmbentukan ketone.

Gestational DM

131
 Peningkatan resistensi insulin
 Insiden DM jenis ini lebih tinggi ditemukan pada wanita yang lebih tua, wanita dengan berat
badan lebih dan wanita dari grup etnis minoritas, akan tetapi usia memiliki korelasi yang
paling tinggi.
 Kebanyakan pasien dengan gestational DM kembali normal setelah proses kelahiran akan
tetapi sebagian lainnya menderita DM tipe 2.
 Tampilan klinis :
o Polydypsia, polyphagia, polyuria dan manifestasi akut dari hiperglikemia
o Pasien mengeluhkan berat badan yang turun tanpa sebab, penyembuhan luka yang
lama,
o pandangan kabur, dan rentan terhadap infeksi dan dapat juga mudah lemas.
 Komplikasi : gangguan penglihatan, gejala neurologic seperti mati rasa, pusing, dan lemah;
nyeri pada dada; gejala GI; gejala genitourinary dan sexual dysfunction.
 Diagnosis dan monitoring
o Diagnosis DM berdasarkan specific laboratory findings, juga tanda dan gejala klinis.
o Diagnostic guidelines meliputi glukosa puasa dan tidak puasa dengan oral glucose
tolerance test.
o Glycosylated hemoglobin assay (glycohemoglobin test) memungkinkan determinasi
status glukosa darah 30-90 hari setelah pengambilan sampel darah. Test ini digunakan
untuk me-monitor kontrol glycemic pada pasien yang telah didiagnosis DM, bukan untuk
tes awal diagnosis DM atau alat screening. Semakin tinggi level glukosa plasma,
persentase hemoglobim yang ter-glycosylated semakin besar (glukosa menempel pada
bagian molekul hemoglobin di RBC).
1. Hemoglobin A1 (HbA1) test : normalnya kurang dari 8%
2. Hemoglobin A1c (HbA1c) test : normalnya kurang dari 6%-6.5%
o Fructosamine test, seringkali berguna untuk tatalaksana wanita dengan gestational DM.
Range normalnya 2.0 – 2.8 mmol/L.
o Glucometers digunakan untuk kontrol keadaan pasien, menggunakan setetes kecil
darah kapiler dari jari untuk memeriksa level glukosa secara cepat.

Manifestasi oral DM
 Kondisi mukosa meliputi oral dysesthesia, juga burning mouth, gangguan wound healing,
peningkatan insiden infeksi dan infeksi candida (pseudomembranous candidiasis di lidah,
mukosa bukal dan gingiva).

132
 Xerostomia dan pembesaran bilateral generalized salivary gland atau sialadenitis (terutama
di kelenjar parotid). Xerostomia lebih diakibatkan oleh obat-obatan yang dikonsumsi oleh
pasien DM yang dapat menyebabkan salivary hypofunction.
 Mukosa yang kering mengakibatkan mudahnya teriritasi, sehingga terjadi ulcer minor pada
mukosa, oral burning sensations dan meingkatnya pertumbuhan jamur.
 Tingginya insiden karies gigi terkait xerostomia, peningkatan gingival crevicular fluid glucose
levels dan peningkatan akumulasi dental plaque.
 Gingivitis dan periodontitis

Dental management pada pasien DM


 Pasien yang menunjukkan tanda dan gejala dari DM yang belum didiagnosis atau DM yang
tidak terkontrol sebaiknya dirujuk ke dokter umum atau spesialis untuk diagnosis dan
perawatan.
 Antibiotik profilaksis dapat diindikasikan jika level HbA1c pasien sangat tinggi (lebih dari
11%-12%) dan jika ada tanda infeksi bakteri IO rekuren.
 Tahap awal dalam merawat pasien dengan penyakit DM adalah menentukan tipe DM,
metode perawatan (diet, oral hypoglicemics, insulin atau kombinasi), level of control dan
adanya komplikasi DM. Diperlukan konsultasi dengan dokter pasein.
 Jika level glukosa dibawah 60 mg/dL, maka prosedur dental harus dijadwal ulang dan
diperlukan konsultasi medis.
 Pasien yang menjalani prosedur bedah mulut atau periodontal (kecuali ekstraksi single,
simple) sebaiknya diberikan instruksi dietary setelah bedah, instruksi sebaiknya ditentukan
berdasarkan masukan dari dokter pasien dan nutritionist.
 Sebaiknya prosedur perawatan dilakukan pada pagi hari untuk mengurangi stres, namun hal
ini terkadang tidak berlaku pada beberapa pasien dengan DM. Umumnya, waktu yang paling
tepat untuk perawatan dental adalah sebelum atau sesudah periode dari puncak aktivitas
insulin.
 Faktor terpenting dalam menentukan waktu appointment adalah peak action dari insulin dan
jumlah glukosa yang diserap dari usus setelah makan terakhir.
 Risiko terbesar : menggunakan insulin atau mengkonsumsi oral hypoglycemic agent seperti
biasa namun mengurangi atau mengeliminasi makanan sebelum perawatan dental
meningkatkan risiko hypoglycemia.

133
 Dokter gigi harus membantu memperbaiki kebiasaan buruk pasien yang dapat mengganggu
kesehatan seperti merokok, poor eating habits, tidak teratur dalam menggunakan medikasi
diabetes, jarang memonitor glukosa, jarang menemui dokter, dan kurang menjaga OH dan
jarang berolahraga.

Specific management guidelines for the patient with DM


 Penggunaan epinefrin
 Pada situasi stres, produksi endogenous dari epinefrin dan kortisol meningkat. Hormon
tersebut dapat meningkatkan level glukosa darah dan mengganggu kontrol glycemic.
 Oleh karenanya, selama dental treatment, pain control dan pengurangan stres yang
memadai sangat dibutuhkan.
 Epinefrin tidak kontraindikasi pada pasien DM karena epinefrin membantu dental
anesthesia yang lebih baik dan secara signifikan mengurangi jumlah pelepasan
endogenous epinephrine.
 Akan tetapi, pasien dengan penyakit concomitant cardiovascular atau ginjal, level
epinefrin sebaiknya dikurangi dua atau kurang carpules dari anestesi lokal yang
mengandung epinefrin 1:100.000
 Oral candidiasis
 Perawatan infeksi jamur pada rongga mulut pasien DM sama dengan standard
regimens, akan tetapi medikasi topikal antifungal sebaiknya sugar free.
 Jika terapi topikal antifungal tidak berhasil dalam 7-10 hari maka dibutuhkan agen
antifungal sistemik.
 Manajemen infeksi HSV rekuren pada pasien DM
 Oral acyclovir, famciclovir atau valacyclovir dapat digunakan secara terapeutik atau
profilaksis tergantung durasi dan intensitas dari recurrent herpetic episodes.
 Jika pasien DM juga terkena gagal ginjal, diperlukan modifikasi dosis pada obatobatan
tersebut.
 Manajemen sindrom burning mouth
 Perbaikan kontrol glycemic
 Amitriptyline, obat yang digunakan untuk gejala burning mouth
 Pertimbangan bedah dan manajemen periodontal
 Sebelum dilakukan proseddur bedah mulut, dokter gigi harus me-review riwayat
komplikasi bedah, assess glycemic control dan update concurrent DM management.
 Penting agar pasien menjaga normal diet untuk mencegah hypoglycemia.

134
 Antibiotik diperlukan bila terjadi infeksi orofasial dan pada pasien dengan DM yang tidak
terkontrol.
 Perawatan pada penyakit periodontal harus parallel dengan perawatan DM.
 Perawatan : kombinasi nonsurgical debridement dan systemic antibiotis pada pasien DM
dengan advanced periodontitis. Kombinasi tetrasiklin/doxycycline dengan scaling dan
root planing memberi kontrol periodontal yang lebih baik.
 Jika dibutuhkan bedah periodontal, harus diperhatikan penggunaan antibiotik-nya,
konseling nutrisi, dam perubahan medikasi DM. Terapi suportif periodontal sebaiknya
diberikan 2-3 bulan.
 Manajemen penyakit mulut dengan kortikosteroid
 Terapi kortikosteroid untuk kondisi vesiculobullous oral dapat meningkatkan level
glukosa.

Penatalaksanaan diabetic emergency di dental office


Hypoglycemia :
- Tanda dan gejala: confusion, berkeringat, tremor, agitation, gelisah, pusing, kesemutan
atau mati rasa dan takikardia. Bila lebih parah dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
- Pencegahan: menaksir risiko pasien akan terkenanya hypoglycemia
- Setiap dental office sebaiknya menyediakan sumber karbohidrat oral.
- Jika pasien menunjukkan tanda dan gejala, maka glukosa darah pasien segera diperiksa
dengan glucometer.
- Pasien diberikan sumber karbohidrat oral atau berikan glukagon atau dextrose secara IV,
IM atau subkutan.

PASIEN DENGAN GANGGUAN HEPAR DAN PENCERNAAN

PENYAKIT HATI (LIVER DISEASE)

Hati memiliki berbagai fungsi, yaitu:


 Fungsi metabolik, seperti sekresi empedu yang dibutuhkan dalam absorpsi lemak, konversi
gula ke glikogen dan ekskresi bilirubin yang merupakan produk sisa metabolisme
hemoglobin.
 Fungsi biokimia, seperti sintesis faktor koagulasi dan metabolisme obat.
 Fungsi enzim

135
 Detoksifikasi
Disfungsi hati bisa disebabkan oleh agen infeksius (virus) ataupun non infeksius
(penggunaan obat,alkohol). Gangguan dari fungsi hati dapat menyebabkan abnormalitas dalam
metabolisme asam amino, amonia, protein, karbohidrat dan lemak, terganggunya metabolisme
obat dan pendarahan karena sintesis faktor koagulasi yang terganggu. Sirosis merupakan
konsekuensi dari kerusakan jangka panjang pada jaringan hati. Kondisi ini irreversible dan
dapat menyebabkan fibrosis, sehingga pasien terlihat kuning, perut kembung (ascites),
mengalami hipertensi dan disfungsi hati yang signifikan. Kelainan hati yang paling umum yang
juga merupakan penyebab utama dari sirosis adalah hepatitis dan penyakit hati karena alkohol.

HEPATITIS

Definisi
Hepatitis adalah inflamasi hati yang disebabkan oleh agen infeksius (viral hepatitis) dan
penyebab lainnya (penggunaan substansi toksik yang terlalu lama/banyak seperti obat-obatan
(acetaminophen, halothane, dll.) atau alkohol. Viral hepatitis adalah hepatitis yang disebabkan
oleh grup dari beberapa virus yang berbeda. 5 bentuk dari viral hepatitis adalah hepatitis virus
tipe A (HAV), B (HBV), C (HCV), D (HDV), E (HEV). Selain itu ada juga kasus dimana
sindromnya mirip hepatitis akut tapi virusnya tidak teridentifikasi sebagai virus
HAV,HBV,HCV,HDV ataupun HEV sehingga sindrom ini disebut hepatitis non- A-E. 3 kasus
viral hepatitis yang paling umum adalah virus hepatitis A,B dan C. Semua kecuali HBV adalah
virus RNA.
Hepatitis A dan E merupakan bentuk dari hepatitis infeksisus, umumnya ditransmisikan
oleh rute fecal-oral dan berkaitan dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih (kontaminasi
makanan dan minuman) dan sangat menular (bisa menular dengan paparan orang ke orang
secara langsung dan hepatitis A lebih menular daripada hepatitis E). Hepatitis A jarang
berkembang menjadi hepatitis yang kronis ataupun sirosis. Hepatitis B,C dan D merupakan
bentuk dari hepatitis serum dan ditransmisikan oleh rute parenteral (darah) dan pada kasus
yang jarang melalui hubungan seksual, virus ini biasanya tetap ada selama beberapa tahun dan
menyebabkan inflamasi hati kronis yang asimtomatis, dan pada beberapa kasus menyebabkan
sirosis.

136
Patofisiologi Hepatitis
Pengaruh utama kerusakan hati adalah respon imun (umumnya sel T sitotoksik)
terhadap antigen virus yang diekspresikan pada membran sel hepatosit. Sitokin
proinflammatory lainnya, aktivitas sel natural killer dan antibody-dependent cellular cytotoxicity
juga memegang peranan dalam kerusakan dan inflamasi sel selama infeksi virus hepatitis akut.
Pemulihan dari infeksi hepatitis virus biasanya ditandai dengan munculnya antobodi yang
melawan antigen virus seperti anti- HAV, anti-HBV, anti-HCV-E1 dan anti-HCV-E2, dan anti
HEV; antibodi ini memberikan imunitas terhadap reinfeksi. Icterus (jaundice) adalah akumulasi
bilirubin pada plasma, epitelium dan urin dan berkaitan dengan hepatitis. Bilirubin adalah
produk degradasi hemoglobin dan salah satu komponen utama empedu. Normalnya, bilirubin
ditransportasikan ke hati melalui plasma. Di hati, ia bergabung dengan asam glukuronat
(glucuronic acid), lalu diekskresikan ke usus dimana ia membantu dalam emulsifikasi lemak dan
menstimulasi peristalsis. Pada penyakit hati, bilirubin terakumulasi di plasma sebagai
konsekuensi dari metabolisme dan transpor hati yang berkurang. Kekuningan/jaundice
biasanya mulai terlihat secara klinis ketika level bilirubin dalam plasma mendekati 2.5mg/100mL
(normal= <1mg/100mL). Kebanyakan kasus dari hepatitis viral, khususnya tipe A dan E, dapat
sembuh tanpa adanya komplikasi. HBV,HCV dan HDV dapat bertahan dan bereplikasi di dalam
hati ketika virus tidak dibersihkan secara total dari organ. Hasil dari hepatitis meliputi pemulihan,
infeksi yang persisten, hepatitis kronis, fulminant hepatitis (destruksi sel hati yang masiv),
sirosis, hepatocellular carcinoma dan kematian.

Manifestasi Klinis Hepatitis


Keparahan hepatitis akut berkisar dari penyakit yang sifatnya hanya sementara, infeksi
asimptomatis sampai penyakit yang parah. Penyakit ini dapat sembuh total, atau dapat
menyebabkan infeksi kronis. Manifestasi klinis dari hepatitis akut adalah:
1. Periode inkubasi
Terjadi selama 2-20 minggu. Pada fase ini, virus mulai terdeteksi di dalan darah, tapi
level serum aminotransferase (SGPT dan SGOT) dan bilirubinnya normal dan antibodi tidak
terdeteksi.
2. Fase preicteric
Ditandai dengan munculnya gejala nonspesifik seperti fatigue/kelelahan, nausea/mual,
kehilangan selera makan. Antibodi spesifik virus mulai muncul pada fase ini. Fase ini terjadi
selama 3-10 hari. Level serum aminotransferase (SGPT DAN SGOT) mulai meningkat.
3. Fase icteric

137
Ditandai dengan produksi urin berwarna gelap, mulai muncul warna kekuningan pada
tubuh/jaundice dan gejala seperti fatigue dan nausea semakin parah. Jika jaundice/warna
kekuningannya parah, warna feses semakin terang, umumnya berkaitan dengan pruritus.
Manifestasi lainnya adalah anoreksia, dysgeusia (disfungsi rasa untuk merasakan
makanan) dan turun berat badan. Pemeriksaan fisik umumnya menunjukkan warna
kekuningan pada tubuh dan sakit pada hati (hepatic tenderness). Level bilirubin meningkat
dan level aminotransferase lebih tinggi 10x dari batas atas normal. Selama fase ini, level
virus hepatitis mulai berkurang di dalam serum dan hati.
4. Recovery/Pemulihan
Pemulihan ditandai dengan kembalinya selera makan dan resolusi dari elevasi serum
bilirubin dan aminotransferase dan juga hilangnya virus. Jumlah antibodi meningkat pada
fase ini.
Komplikasi dari hepatitis akut adalah infeksi kronis. Hepatitis kronis adalah sakit yang
diderita selama setidaknya 6 bulan.

Diagnosis
Serologic test adalah prosedur laboratori yang mengambil sampel dari serum darah dan
bertujuan untuk mendeteksi adanya serum antibodi. Test ini dilakukan untuk mendiagnosis
hepatitis akut. Biopsi dilakukan hanya jika diagnosis tetap tidak jelas jika test serologic sudah
dilakukan.

Pemeriksaan Laboratori
Test yang membantu untuk menilai penyakit hati adalah penentuan jumlah bilirubin (total
dan direct), albumin, prothtombin time dan enzim serum ALT (alanine aminotransferase) atau
SGPT(serum glutamate-pyruvate transaminase), AST (aspartate aminotransferase) atau SGOT
(serum glutamate-oxaloacetate transaminase) dan alkaline phospatase. Interpretasi dari hasil
test tersebut yang disertai dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik secara tepat dapat
memberikan tipe penyakit hati yang spesifik.
Orang yang berisiko tinggi terkena hepatitis B adalah:
- Pekerja pelayan kesehatan
- Pekerja keamanan publik
- Pasien hemodialisis
- Resipien yang menerima donor darah
- Pasangan seksual pembawa HBV

138
- Anak adopsi dari negata dimana infeksi HBV endemik.
- Wisatawan internasional.
- Pengguna obat-obatan terlarang.
- Pria yang homoseksual.
- Heteroseksual (pria dan wanita) yang memiliki pasangan lebih dari 1.

Pencegahan
1. Imunisasi Aktif
Risiko hepatitis viril dapat dikurangi dengan pemberian imunisasi aktif. Saat ini terdapat
2 vaksin untuk HAV, 2 vaksin untuk HBV, 1 vaksin untuk kombinasi hepatitis A dan B dan 1
vaksin untuk hepatitis B dan Haemophilus influenzae tipe b. Vaksin virus hepatitis A
direkomendasikan untuk pasien berumur 2 tahun dan yang lebih tua.
2. Imunisasi Pasif
Diberikan immunoglobulin yang berasal dari antibodi yang dikumpulkan dari plasma
yang bebas HbsAg, HCV dan HIV. Cairan sterile ini terdiri dari antibodi yang melawan baik
hepatitis A dan hepatitis B.

Perawatan
- Bedrest dan nutrisi yang sehat diberikan pada pasien yang simtomatis dan mengalami
kuning/jaundice.
- Alkohol harus dihindari sampai pasien melewati masa pemulihan.
- Kontak seksual harus dibatasi sampai pasangan menerima prophylaxis.
- Pada hepatitis A, semua orang di rumahnya harus diberikan immunoglobulin dan vaksin
HAV.
- Pada hepatitis B, anggota keluarga harus divaksinasi dan hepatitis B immunoglobulin
(HBIG) harus diberikan kepada pasangan seksualnya.
- Pasien dengan tanda fulminant hepatic failure harus diberikan terapi antiviral dan harus
dievaluasi dengan cepat mengenai kemungkinan transplantasi hati.
- Evaluasi follow up untuk hepatitis akut harus dilakukan dengan giat sampai fase pemulihan
terjadi, khususnya untuk pasien dengan hepatitis C.
- Untuk hepatitis kronis diberikan interferon yang dapat menormalisasi level ALT, dan juga
lamuvidine sebagai tambahan.

Dental Management Pasien Hepatitis

139
Seluruh pekerja kesehatan gigi harus diberikan vaksinasi untuk virus hepatitis B dan
mengimplementasikan tindakan pencegahan standard selama perawatan terhadap seluruh
pasien. Tidak ada rekomendasi imunisasi untuk virus hepatitis lainnya. Pertimbangan
Perawatan untuk Kelompok Pasien yang Spesifik :
 Pasien dengan Hepatitis Aktif
Tidak boleh ada perawatan gigi yang dilakukan kecuali yang perawatan yang penting
dan yang sangat dibutuhkan sampai terlihat tanda klinis dan biokimia bahwa pasien sudah
mengalami pemulihan. Perawatan yang penting tersebut hanya boleh dilakukan di ruang
terisolasi. Aerosol harus diminimalisir dan obat yang dimetabolisme dihati harus dihindari
sebisa mungkin. Jika pembedahan dibutuhkan, preoperative prothrombin time dan bleeding
time harus didapatkan dan hasil yang abnormal harus dikonsultasikan ke dokter umum.
Dokter gigi harus merujuk pasien yang memiliki hepatitis akut untuk diagnosis dan perawatan
medis.
 Pasien dengan Riwayat Hepatitis
Melakukan program asepsis klinis yang ketat terhadap seluruh pasien dan penggunaan
vaksin hepatitis B akan mengurangi ancaman infeksi hepatitis B.

 Pasien Risiko Tinggi untuk Infeksi HBV atau HCV


Melakukan screening untuk HbsAg dan HCV kepada pasien risiko tinggi seperti pekerja
pelayan kesehatan, pasien hemodialisis, pasangan dari penderita HBV, pasangan
homoseksual ataupun heteroseksual yang sering berganti-ganti pasangan. Jika pasien tidak
terdeteksi mengidap penyakit ini maka akan terjadi komplikasi pendarahan atau masalah
metabolisme obat ketika perawatan.
 Pasien karier hepatitis
Jika pasien terbukti merupakan karier hepatitis B atau memiliki riwayat hepatitis C maka
pencegahan harus dilakukan untuk mencegah transmisi infeksi. Konsultasi dengan dokter
umum dan pemeriksaan laboratori diperlukan untuk menentukan status saat ini dan risiko
kedepannya.
 Pasien dengan Tanda dan Gejala Hepatitis
Pasien dengan tanda hepatitis tidak boleh menerima perawatan gigi tapi harus dirujuk
segera ke dokter umum. Perawatan gigi yang gawat darurat bisa dilakukan menggunakan
ruang yang terisolasi dan meminimalisir produksi aerosol.

140
Administrasi Obat
Tidak ada pertimbangan khusus mengenai obat pada pasien yang telah pulih sempurna
dari hepatitis viral. Jika pasien memiliki hepatitis kronis atau ia merupakan karier HbsAg atau
HCV dan memiliki fungsi hati yang terganggu, dosis untuk metabolisme obat harus dikurangi
atau obat tersebut dihindari sesuai dengan anjuran dokter umum.

Manifestasi & Komplikasi Oral


Masalah yang berkaitan dengan hepatitis kornis dan kerusakan hati yang signifikan
adalah pendarahan yang abnormal. Masalah pendarahan dapat merupakan hasil dari sintesis
faktor pembekuan darah yang abnmormal, polimerisasi fibrin yang abnormal, stabiliasi fibrin
yang tidak adekuat, fibrinolysis yang berlebihan atau thrombocytopenia yang berkaitan dengan
penyakit hati kronis. Sebelum pembedahan dilakukan, platelet coynt harus dilakukan untuk
menentukan apakah platelet replacement dibutuhkan sebelum pembedahan dan hal tersebut
harus dikonsultasikan dengan dokter umum. Hepatitis kronis meningkatkan risiko hepatocellular
carcinoma. Keganasannya jarang bermetastasis ke rahang, jika bermetastatis manifestasinya
adalah massa hemorrhagic yang berlokasi di area premolar dan ramus mandibula.

Manajemen Pasien dengan Gangguan Hepatik


Pelajari sebab masalah pada hati. Hindari penggunaan obat-obatan yang memerlukan
metabolisme atau ekskresi hepatik. Jika obat tersebut diperlukan, modifikasi dosis yang
diberikan. Lakukan pemeriksaan bleeding disorders (dengan platelet count, prothrombin
time, partial thromboplastin time, dan ivy bleeding time) pada pasien dengan penyakit hati yang
parah. Sebisa mungkin hindari situasi dimana pasien dapat menelan darah dalam jumlah
banyak.

PENYAKIT GASTROINTESTINAL

Penyakit gastrointestinal seperti peptic ulcer disease, inflammatory bowel disease (IBD)
dan pseudomembranous colitis dapat mempengaruhi pemberian perawatan gigi. Peran dokter
gigi adalah untuk mengetahui kondisi pasien yang terkena penyakit tersebut, mengawasi gejala-
gejala awal penyakit ataupun relapse dan harus mengetahui obat-obatan yang berinteraksi
dengan obat gastrointestinal atau yang dapat memperparah kondisi pasien.

141
PEPTIC ULCER DISEASE
Penyakit ini merupakan ulserasi pada lapisan epitel perut (gastric ulcer) atau duodenum
(duodenal ulcer). Penyakit ini disebabkan oleh asam kromat (chronic acid) atau sekresi pepsin
dan efek destruktif dari & respon tubuh terhadap Helicobavter pylori. Ketika terjadi
ketidakseimbangan antara faktor agresif yang bersifat destruktif dan faktor defensif yang
bersifat protektif terjadilah peptic ulcer. Yang termasuk faktor agresif adalah H. Pylori
,penggunaan NSAID, hipersekresi asam, rokok dan stress psikologis dan fisik. H. Pylori didapat
umumnya pada masa anak-anak karena makan makanan yang terkontaminasi. Organisme
tersebut berdiam di dalam rongga mulut, lalu berkolonisasi ke mukosa lambung. Selain itu,
NSAID secara langsung dapat merusak mukosa, mengurangi produksi prostaglandin mukosa
dan menghambat sekresi mukus. Ulcer yanf disebabkan oleh NSAID lebih sering berlokasi di
lambung daripada di duodenum.

Tanda dan Gejala


Biasanya pasien mengalami epigastric pain yang bertahan selama beberapa jam dan
sakitnya terlokalisasi. Rasa tidak nyaman pada duodenum ulcer biasanya termanifestasi pada
perut yang kosong, umumnya 90 menit sampai 3 jam sesudah makan dan umumnya
membangunkan pasien ditengah malam. Konsumsi makanan, susu atau antacids
menghilangkan rasa sakit. Tetapi, pasien dengan gastric ulcer tidak terprediksi mengenai
responnya terhadap makanan, tetapi makan malah menimbulkan abdominal pain.

Pemeriksaan Laboratori
Penyakit ini didiagnosis umumnya dengan fiberoptic endoscopy dan test laboratori untuk
H.pylori. Test laboratori non endoscopic yaitu urea breath test (UBTs), serologic test dan H.
pylori stool antigen test. UBT menguntungkan karena ia secara tidak langsung mengukur
keberadaan H.pylori sebelum perawatan dan pemusnahannya sesudah perawatan. Serologic
test berguna untuk mengetahui keberadaan antibodi, karena antibodi akan ada setelah
organisme telah dieliminasi.

Manajemen Dental pasien gastrointestinal


Dokter gigi harus melakukan anamnesa yang akurat karena banyak penyakit
gastrointestinal tidak terdeteksi dalam waktu yang lama. Anamnesa termasuk review medikasi
yang dikonsumsi pasien (contoh aspirin dan NSAID lainnya, oral anticoagulant) dan jumlah
konsumsi alkohol yang dapat menyebabkan pendarahan gastrointestinal. Jika gejala

142
menunjukkan penyakit yang aktif, pasien harus dirujuk ke dokter umum. Ketika pasien sudah
kembali dari dokter umum dan kondisinya terkontrol, maka dokter gigi harus menanyakan
kembali medikasi saat ini termasuk tipe dan dosis, dan dokter gigi juga harus mengikuti anjuran
dokter umum terhadap perawatan yang akan dilakukan. Dokter gigi juga harus menghindari
pemberian aspirin, campuran yang mengandung aspirin, dan NSAID lainnya kepada pasien
dengan riwayat peptic ulcer disease karena efek iritatif dari obat tersebut pada epitelium
gastrointestinal. Dianjurkan menggunakan produk mengandung acetaminophen. Jika diperlukan
penggunaan antibiotik untuk mengobati infeksi gigi pada pasien dengan peptic ulcer disease,
pemilihan antibiotik disesuaikan dengan obat-obatan yang dikonsumsi pasien saat ini.

Komplikasi dan Manifestasi Oral


Penggunaan antibiotik sistemik untuk penyakit ini dapat menyebabkan candidiasis pada
rongga mulut. Penggunaan agen anti fungal dapat diberikan untuk menyembuhkan infeksi fungi.
Malformasi vaskular pada pipi dan erosi enamel merupakan manifestasi oral pada peptic ulcer
disease. Erosi enamel disebabkan oleh regurgitasi dari lambung ke mulut. Medikasi yang
dikonsumsi pasien dapat memproduksi manifestasi oral. Xerostomia berkaitan dengan
penggunaan farmotidine dan obat anticholinergenic. Erythema multiforme berkaitan dengan
penggunaan cimetidine,ranitidine,dll.

Inflammatory Bowel Disease (IBD)

IBD merupakan istilah yang meliputi 2 penyakit yaitu ulcerative colitis dan Crohn’s
disease. Ulcerative colitis adalah penyakit mukosa yang berlokasi di usus besar dan rectum.
Crohn’s disease proses transmural yang dapat menghasilkan ulserasi pada berbagai titik
sepanjang saluran pencernaan dari mulut ke anus tapi seringnya melibatkan terminal ileum.

Etiologi
IBD adalah penyakit inflamasi yang penyebabnya tidak diketahui, umumnya diperkirakan
berkaitan dengan disfungsi imun sebagai respon terhadap faktor lingkungan.

Tanda dan Gejala


 Ulcerative Colitis

143
Gejala yang umum adalah: serangan diare, pendarahan rectal dan kejang perut.
Dehidrasi, kelelahan, kehilangan berat badan dan demam yang disebabkan oleh
malabsorpsi air dan elektrolit biasanya menyertai kondisi ini.
 Crohn’s Disease
Manifestasi awalnya adalah diare rekuren atau persisten (biasanya tanpa darah), sakit
atau kejang perut, anoreksia dan kehilangan berat badan. Selanjutnya akan muncul demam,
malaise, arthritis dan fitur yang berkaitan dengan malabsorpsi. Pengurangan densitas tulang
(osteoporosis) juga disebabkan oleh malabsorpsi dan penggunaan kortikosteroid.
Pemeriksaan Laboratori
Diagnosis IBD berdasarkan oleh penemuan klinis, hasil endoskopi dan biopsi dan
observsi pada pemeriksaan histopatologis pada mukosa usus. Test darah pada IBD dapat
menunjukkan anemia (kekurangan besi, folate atau vitamin B12), jumlah protein dan albumin
serum yang menurun, aktivitas inflamasi dan jumlahplatelet yang meningkat.
Manajemen Dental Pasien IBD
Pasien dengan IBD umumnya mengonsumsi obat antiinflamasi, kortikosteroid yang
memiliki dampak terhadap perawatan gigi. Aspirin dan NSAID lainnya harus dihindari.
Acetaminophen dapat digunakan sendiri atau dengan kombinasi opioid. Antibiotik dapat
diberikan pada pasien IBD dengan infeksi dental, tetapi harus meminimalisir penggunaan
clindamycin dan harus menganjurkan pasien apabila mengalami gejala seperti diare.
Penggunaan steroid pada pasien IBD dapat menekan fungsi adrenal dan mengurangi
kemampuan pasien untuk menahan stress, sehingga dokter gigi harus memberikan kontrol
nyeri dan gelisah yang adekuat.

Komplikasi dan Manifestasi Oral


Ulserasi di rongga mulut dapat terjadi pada pasien dengan ulcerative colitis. Ulser
tersebut sedikit nyeri dan berlokasi di mukosa bukal,labial, palatum lunak, uvula dan retromkolar
trigone. Pyostomatitis vegetans juga dapat mempengaruhi pasien dengan ulcerative colitis dan
dapat membantu dalam diagnosisnya. Bentuknya seperti papila yang menonjol pada dasar
eritem di mukosa labial, gingiva dan palatum. Oral ulcer dan pembengakakkan bibir dan pipi
juga dapat terjadi pada pasien Crohn’s disease. Oral ulcer tampak seperti ulser mukosa yang
linear dengan batas hiperplastik, yang berada di vestibulum bukal dan palatum lunak. Ia
menjadi simptomatik ketika penyakit intestinal kambuh kembali. Lesi oral yang berkaitan
dengan ulcerative colitis dan Crohn’s disease dapat sembuh ketika keadaan gastrointestinal
terkontrol secara medis.

144
JADWAL KEGIATAN PBL

2017/2018

LBM 6
Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang
Instruktur
Senin, 08.10-09.50 SGD I Tutor R. SGD
8/1/2018
12.30-14.10 KP : Armamentarium dan Departemen R. Kuliah
mikrobiologi periodonsia periodontologi

Selasa, 08.10-09.50 KP: Overview perawatan Departemen R. Kuliah


9/1/2018 periodontal periodontologi
12.30-15.50 SL: Gingivektomi Tutor R. Skill Lab

Rabu, 08.10-11.30 SL: Interpretasi kelainan Tutor R. Skill Lab


10/1/2018 periodontal dan endodontik.
Kamis, 08.10-09.50 KP: Necrotizing ulcerative Departemen R. Kuliah
11/1/2018 Gingivitis (NUG) periodontologi
09.50-11.30 KP: necrotizing ulcerative Departemen R. Kuliah
periodontitis (NUP) periodontologi
Jumat, 08.10-09.50 SGD II R. SGD
12/1/2018

Penjabaran Pembelajaran
Unit Belajar 6 : Perawatan gingival disease
Judul : “terimakasih dok, gusi ku sudah bagus sekarang, tinggal yang
sebelahnya lagi?”
NO. SASARAN BELAJAR
1. Memahami definisi dan klasifikasi berbagai penyakit gingiva (SGD)
2. Mendeskripsikan ethiopathogenesis gingival enlargement (SGD)
3. Mendeskripsikan penanganan gingival enlargement (SGD)
4. Memahami macam-macam dan teknik tindakan bedah periodontal serta kasus-
kasus yang menjadi indikasi dilakukannya (KP)
5. Memahami macam dan teknik perawatan periodontal pada female patient, adult
patient, dan compromised patient (KP)
6. Memahami macam dan teknik perawatan kasus refractory peridontitis,
aggressive periodontitis (KP)
7. necrotizing ulcerative periodontal disease (NUG dan NUP) (KP)
8. Mampu melakukan Gingivektomi pada model (Skill Lab)
9. Clinical reasoning Skil “ Management of dental and Supporting Tissue
Diseases“ (Skill lab)

145
SKENARIO
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke poli gigi untuk kontrol setelah dilakukan
pemotongan gusinya. Riwayat umum pasien kurang lebih 1 tahun terakhir mengkonsumsi
Phenytoin. Pasien pernah memeriksakan kelainan ini dan dilakukan pemotongan gusi bagian
belakang rahang atas 1 minggu yang lalu. Pasien ingin dilakukan tindakan yang sama pada
rahang sebelahnya yang juga membesar. Pada pemeriksaan ekstra oral, tidak ditemukan
adanya kelainan. Pada pemeriksaan intra oral, di dapat gingival enlargement pada regio
posterior rahang atas kiri, (seperti tampak pada foto klinis di bawah) warna merah muda dengan
kemerahan pada margin gingiva dan palpasi +, konsistensi kenyal, fibrotik dan stippling yang
jelas. Sedangkan sebelah kanan tampak ukuran gusi sudah seperti normal.

keyword : gingival enlargement, stippling


Masalah : perawatan penyakit gingiva

KONSEP MAPPING

gingiva
membesar Gambaran
Klinis

Gingival Etiologi
disease Therapy Bedah

Gingiva tidak Terapi


membersar
Therapy Non Bedah

Pertanyaan minimal;

146
1. Apa diagnosis yang tepat untuk kasus skenario?
2. Apa etiologi dari kelainan yang diderita pasien?
3. Sebutkan macam-macam kelainan yang bisa bermanifestasi sebagai
pembesaran ginginva
4. Apa rencana perawatan yang tepat untuk kasus tersebut ?
5. Tindakan yang tepat untuk kasus skenario?
6. Apa SOP untuk kasus dengan kelainan sistemik
7. Apa terapi lain yang bisa dilakukan pada pasien tersebut?
8. Apa indikasi dan kontra indikasi pemotongan gingiva?
9. Bagaimana prosedur tindakan gingivectomy?

Buku referensi:
Newman, M.G., Takei, H.H., Carranza, F. A. Carranza’s Clinical Periodontology. 10th Ed. W.B.
Saunders Company. 2002.
Hassel, T.M., et al. Color Atlas of Periodontology. New York: Thieme Inc.
Finn, Sidney B. 1963. Clinical Pedodontics. 2nd Ed. Philadelphia : W. B. Saunders Company.

MATERI

Anatomi dan Histologi Jaringan Periodontal


Gingiva merupakan bagian dari mukosa mulut yang melapisi prosesus alveolar dari
rahang dan mengelilingi servikal gigi hingga menutupi sedikit bagian koronal di atas
cementoenamel junction (CEJ). Secara anatomis, gingiva dibedakan menjadi tiga, yaitu
marginal gingiva, attached gingiva, dan interdental gingiva. Walaupun ketiganya memiliki variasi
yang signifikan dari aspek diferensiasi, histologi, dan ketebalan, yang bergantung pada
fungsional masing masingnya, tapi ketiganya tetap memiliki fungsi perlawanan terhadap
kerusakan mekanikal maupun mikrobial.

Marginal gingival atau free gingival atau unattached gingival merupakan batas tepi dari
gingival yang berada di sekeliling gigi di bagian servikal. Lebaar marginal gingival kurang lebih 1

147
mm dan pada kebanyakan kasus terlihat adanya free gingival groove, yang membatasi dengan
attached gingival.
Sulkus gingival adalah celah kecil atau space yang dibatasi oleh permukaan gigi pada
satu sisi dan batas epitel dari marginal gingival dan attached gingiva di sisi lainnya. Kedalaman
sulkus gingival menjadi parameter dalam pemeriksaan dan diagnosis kondisi jaringan
periodontal. Pada orang dewasa normal, kedalaman sulkus gingivaa adalah sekitar 1,8 mm.
Pemeriksaan klinis kedalaman sulkus gingival dilakukan dengan menggunakan periodontal
probe.
Attached gingival yaitu gingival yang melekat pada permukaan gigi di bawah garis
servikal dan masih merupakan kelanjutan marginal gingival. Karakteristiknya firm, resilient,
serta terikata erat ke periosteum di bawahnya terhadap tulang alveolar. Pada aspek fasial,
terlihat adanya movable mucosa alveolar yang tersambung langsung dengan attached gingival
namun dibatasi oleh mucogingival junction. Lebar attached gingival juga merupakan parameter
klinis dalam pemeriksaan dan diagnosis kondisi jaringan periodontal. Lebar attached gingival
yaitu jarak antara mucogingival junction dengan proyeksi eksternal dari dasar sulkus gingival
atau poket periodontal.
Interdental gingival mencakup gingival embrasure, yaitu ruangan interproksimal di
bawah area kontak gigi, yang biasanya berbentuk piramidal. Pada salah satu bagian papilla,
ujungnya berada diantara titik kontak, bagian lainnya berbentuk depresi (cekungan) seperti
lembah yang menghubungkan papilla fasial dan lingual, dan menyesuaikan diri dengan bentuk
kontak interproksimal. Bentuk gingival pada ruang interdental bergantung pada kondisi titik
kontak di antara gigi yang berdekatan dan ada/tidaknya resesi gingival. Batas tepid an ujung
dari papilla interdental dibentuk oleh marginal gingival.

148
Karakteristik gingiva normal

Pada gingival normal, warna dari interdental gingival dan marginal gingival
dideskripsikan sebagai warna pink muda / coral pink. Hal ini terjadi karena suplai vaskularisasi,
ketebalan dan derajat keratinisasi epitel serta ada atau tidaknya sel berpigmen.
Sel berpigmen seperti melanin, non-hemoglobin yang memberikan warna coklat akan
bertanggung jawab pada adanya pigmentasi normal kulit, gingival dan membran oral mukosa.
Ukuran gingival berhubungan dengan jumlah elemen-elemen seluler dan interseluler serta
suplai vaskularisasi. Jika terjadi perubahan ukuran pada gingival, maka hal tersebut merupakan
tanda umum penyakit gingival. Kontur/ bentuk gingival bervariasi dan bergantung pada bentuk
gigi dan susunannya dalam lengkung rahang, lokasi dan ukuran dari area kontak proksimal,
serta dimensi fasial dan lingual dari gingival embrasure. Bentuk interdental gingival ditentukan
oleh kontur permukaan proksimal gigi dan lokasi serta bentuk gingival embrasure. Konsistensi
gingival padat dan kenyal dan terikat dengan erat pada tulang di bawahnya, kecuali pada
marginal gingival. Attached gingival tekstur permukaannya stippled, dimana stippling
merupakan bentuk spesialisasi atau penguatan adaptif terhadap fungsi gingival.
Tekstur permukaan gingival juga berkaitan dengan kehadiran dan derajat keratinisasi
epitel. Keratinisasi merupakan adaptasi protektif dari fungsi gingival dan meningkat ketika
gingival distimulasi dengan penyikatan gigi. Kontur dari gingival beragam dan bergantung dari
bentuk gigi dan susunannya pada lengkung, lokasi dan ukuran area kontak proksimal, serta
dimensi fasial dan lingual dari gingival embrasure.

Etiologi penyakit gingiva:


4. Dental plak
Dental plak merupakan biofilm yang terbentuk dari kumpulan bakteri yang ada didalam
mulut. Plak dibagi menjadi dua jenis yaitu supragingival plak dan sub gingival plak. Pada

149
sub gingival plak, bakteri mudah berkembang karena adanya cairan crevicular pada sulkus
gingiva yang merupakan sumber makanan bagi bakteri.
Pada keadaan normal, plak pada gigi hanya tersusun sedikit sekali lapisan bakteri, yaitu
sekitar 1-20 lapisan yang didominasi oleh bakteri gram positif jenis kokus,batang dan
filamin serta sangat sedikit bakteri gram negative jenis kokus. Pada keadaan terinfeksi
terjadi penambahan jumlah jenis bakteri dan susunan bakteri pada dental plak. Pada saat
terinfeksi atau terjadi gingivitis lapisan bakteri pada plak bertambah menjadi 100-300
lapisan bakteri dan terjadi penambahan bakteri gram negative dan bakteri anaerob.

5. Kalkulus
Kalkulus merupakan bakterial plak yang termineralisasi, yang terbentuk dipermukaan
gigi ataupun protesa, dan secara radiografis terlihat radiopak. Dapat diklasifikasikan
menjadi:
a) Supragingival Calculus
 Lokasinya koronal dari marginal gingiva, oleh karena itu terlihat dalam rongga mulut.
 ±30% termineralisasi
 Warnanya putih atau putih-kekuningan tapi bisa berubah bila terkena tembakau dan
pigmen makanan. Konsistensinya keras seperti tanah liat (clay), namun mudah
diangkat dari permukaan gigi.
 Biasanya setelah dihilangkan akan muncul kembali secara cepat, terutama pada
area lingual Incisive mandibula.
 Letaknya bisa terlokalisasi pada satu atau beberapa gigi, dan dapat pula
tergeneralisasi di seluruh regio. Lokasi umum di mnaa terdapat supraginggival
calculus adalah pada permukaan bukal Molar maksila dan permukaan lingual gigi
anterior mandibula.

b) Subgingival Calculus
 Lokasinya dibawah puncak (crest) dari marginal gingiva, oleh karena itu tidak
terlihat pada saat pemeriksaan.
 ±60% termineralisasi
 Lokasinya dapat diketahui dengan persepsi taktil secara hati-hati dnegan
menggunakan dental instrumen seperti explorer.
 Konsistensinya keras dan tebal. Warnanya coklat tua atau hitamkehijauan, serta
perlekatannya dengan permukaan gigi cukup kuat.

150
 Biasanya muncul bersamaan dengan supragingival calculus, namun dapat pula
muncul sendiri-sendiri.
 Deposit Subgingival Calculus biasanya memanjang hampir mendekati dasar dari
periodontal pockets namun tidak mencapai junctional epithelium
 Bila terdapat resesi gingiva, maka Subgingival Calculus yang terekspos
dikategorikan supraginggival calculus.

3. Restorasi dan protesa yang tidak baik


Restorasi dan protesa yang kurang baik dapat membuat retensi debris dan dapat memicu
perkembangan plak gigi. Karakteristik restorasi dan protesa yang baik harus
memperhatikan :
 Lokasi margin gingival untuk restorasi tersebut
 Bila margin restorasi berada di bawah margin gingiva (submargin gingiva) dapat memicu
inflamasi gingiva, akumulasi plak, gingivitis parah dan poket yang dalam.
 Jarak antara margin restorasi dengan gigi yang masih sehat di sebelahnya
 Restorasi yang overhang memicu penyakit periodonsium karena :
1. mengubah keseimbangan ekologi, daerah tersebut jadi didominasi oleh bakteri jahat
anaerobic
2. menghambat pembersihan plak oleh pasien
 kontur restorasi / open contacts
 restorasi yang overcontour cenderung mengakibatkan akumulasi plak dan menghambat
self-cleaning. Restorasi yang tidak baik pada interproksimal memicu inflamasi papila.
Kontur oklusal yang baik dapat mencegah food impaction pada bagian interproksimal.
Food impaction adalah masuknya makanan dengan paksa ke jaringan periodonsium
karena tekanan oklusal.

 Oklusi
 Marginal ridge yang tidak baik terbukti memiliki hubungan dengan kedalaman poket,
hilangnya perlekatan, plak, kalkulus, dan inflamasi gingiva. Oklusi yang tidak baik,
misalnya karena hilangnya satu atau beberapa gigi dapat memicu food impaction dan
akhirnya terjadi inflamasi gingiva.
 Material restorasi yang digunakan
 Secara umum, material restorasi tidak secara langsung merusak jaringan periodonsium
kecuali self-curing acrylic. Plak yang terbentuk di margin restorasi sama dengan plak di

151
permukaan gigi tanpa restorasi. Komposisi plak pada tiap material restorasi sama,
kecuali pada restorasi silikat. Namun akumulasi plak dapat dicegah dengan pemolesan
yang baik.
 Prosedur restoratif
 Penggunaan rubber dam, matrix band, gingival retraction cord, dan bur dapat
mengakibatkan trauma mekanis dan inflamasi.
 Desain protesa sebagian
 Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemasangan protesa sebagian, mobilitas gigi
yang bersebelahan, inflamasi gingiva, dan pocket formation meningkat. Hal ini karena
protesa sebagian memicu akumulasi plak, terutama jika protesa sebagian tersebut
menutupi jaringan gingiva.

4. Terapi ortodontik
 Retensi dan komposisi plak
Terapi ortodontik tidak hanya menyebabkan akumulasi plak dan food debris , tapi
juga dapat mengubah ekosistem di gingiva. Ditemukan peningkatan jumlah prevotella
melaninogenica, prevotella intermedia, dan actinomyces odontolyticus pada pemakai
kawat ortodontik.
 Trauma gingiva dan tinggi tulang alveolar
Terapi ortodontik seringkali mulai dilakukan segera setelah erupsi gigi permanen,
saat junctional epithelium masih melekat dengan permukaan enamel. Kawat ortodontik
seharusnya tidak ditempatkan di bawah perlekatan karena hal ini akan memisahkan
gingiva dengan gigi, dan mengakibatkan proliferasi apikal dari junctional epithelium dan
terjadi pula resesi gingiva. Selain itu terapi ortodontik juga menyebabkan alveolar bone
loss. Prevalensinya pada dewasa lebih besar dibanding pada anak-anak.

 Respon jaringan terhadap tekanan ortodontik


Pergerakan gigi karena orto juga membuat jaringan periodonsium mendapat
tekanan. Tekanan sedang dari kawat orto menyebabkan remodelling dan perbaikan
tulang, namun tekanan yang terlalu besar dapat mengakibatkan nekrosis ligamen
periodontal dan tulang alveolar sekitarnya. Tekanan orto yang berlebihan juga
mengakibatkan resorpsi apikal.
 Ekstraksi M3 yang mengalami impaksi

152
Ekstraksi M3 yang mengalami impaksi dapat menyebabkan vertical defects dari
distal M2. Hal ini lebih sering terjadi bila ekstraksi dilakukan pada pasien diatas 25
tahun.

5. Habits and self-inflicted injuries


 Toothbrush trauma
Abrasi gingiva dapat disebabkan oleh aggresive brushing dengan gerakan
horizontal maupun memutar. Perubahan kondisi gingiva karena menyikat gigi dapat
dibagi menjadi akut dan kronis. Pada akut terbentuk ulcer gingiva, pada kronis terjadi
resesi gingiva. Cara penggunaan dental floss yang salah dapat mengakibatkan luka
pada papila interdental.
 Iritasi kimia
Inflamasi gingiva akut dapat disebabkan oleh iritasi kimia. Pada tahap inflamasi
alergi, perubahan pada gingiva antara lain erythema sampai painful vesicle formation
dan ulcer. Bahan kimia yang dapat menyababkan inflamasi tersebut antara lain
penggunaan mouthwash yang berlebihan, penggunaan obat-obatan korosif seperti
aspirin atau kokain, dan kontak tiba-tiba dengan obat-obat seperti phenol atau silver
nitrate.
 Pemakaian tembakau
Merokok berhubungan dengan necrotizing ulcerative gingivitis (NUG). Perokok
akan mengalami attachment loss dan bone loss, deep pocket, dan besarnya calculus
formation.
Dua penyebab perokok memiliki kecenderungan besar mengalami penyakit
periodonsium :
- lingkungan mulut menjadi baik untuk habitat mikroflora subgingiva patogen
- mikroflora tsb sifatnya lebih virulen
- Selain itu merokok dapat menghambat aktivitas beberapa sel pertahanan tubuh.

Patogenesis Gingivitis
Masalah utama yang menyebabkan gingivitis adalah mikroorganisme yang terdapat di
plak. Mikroorganisme yang melekat di gigi dan dekat dengan sulkus gingiva inilah yang dapat
membuat perubahan patologis di gusi. Mikroorganisme tersebut dapat merusak epitel dan sel
jaringan ikat dengan produk-produk yang dihasilkannya seperti collagenase, hyaluronidase,
protease, dan endotoksin.

153
Mekanisme Pertahanan pada Gusi
Jaringan gusi secara konstan dapat menjadi subjek bagi agresi mekanis dan bakteri.
Untuk bertahan dari serangan bakteri, gusi memiliki beberapa struktur yang dapat menjadi
benteng utama saat terjadi serangan bakteri, yaitu:
1. Epitel Gingiva
Berperan sebagai innate and acquired immune response, misalnya epitel akan
merespon terhadap invasi bakteri dengan meningkatkan proliferasi, perubahan cell-signaling,
perubahan diferensiasi dan kematian sel, serta perubahan homeostasis jaringan.
2. Sulcular fluid
 Komponen dalam gingival crevicular fluid (GCF) :
a. Elemen sel: Bakteri, desquamated epithelial cells, dan leukosit(PMN, limfosit, dan
makrofag) yang bermigrasi melewati sulcular epitelium.
b. Elektrolit: Natrium, kalium, dan kalsium. Ada penelitian yang memperlihatkan
adanya hubungan antara konsentrasi kalsium dan natrium serta ratio kalium dengan
inflamasi.
c. Komponen organik: Glucose hexosamine, hexuronic acid, enzim, dan beberapa
produk bakteri.
 Faktor yang mempengaruhi jumlah CGF
- Meningkat jika terjadi inflamasi
- Mastikasi makanan yang keras
- Sikat gigi dan gingival massage
- Ovulasi, hormonal kontrasepsi, dan merokok
- Circadian periodicity: meningkat pada jam 6 pagi sampai 10 malam
- Hormon sex
- Mechanical stimulasi
- Periodontal therapy
 Aktifitas seluler dari GCF
 Respon imun seluler -> adanya sitokin (tidak ditemukan hubungan lsg tp pd
Interleukin terdapat hubungan. IL-1 alpha dan IL-1 beta dapat :
 Meningkatkan perlekatan PMN dan monosit atau makrofag ke sel endotel
 Merangsang produksi prostaglandin (PGE2)
 Melepaskan enzim lisosom
 Merangsang resorpsi tulang

154
 Adanya interferon-α berperan protektif, dapat menghambat resorpsi tulang aktivitas
dari IL-1 beta.
3. Leukosit di dentogingival area
 Leukosit yang paling dominan adalah PMN. Pada gingiva yang sehat jumlahnya 91.2-
91,5% dan mononuclear cell 8,5-8,8%( limfosit T 24%, limfosit B 58%, dan fagosit 18%).
 Terlihat dalam jumlah kecil di ekstravaskular dalam jaringan ikat pada bawah sulcus
yang lalu akan bermigrasi melewati epithelium ke gingival sulcus.
 Leukosit diaktifkan oleh kehadiran bakteri pada plak. Leukosit juga ada di saliva tapi
tempat masuk utamanya ke oral cavity dari gingival sulcus.
4. Saliva – fungsi dan komponen yang berperan dalam saliva pada rongga mulut:
 Lubrikasi – glycoprotein, mucoid
 Physical protection – Glycoprotein, mucoid
 Cleansing – Aliran saliva(membersihkan debris dan bakteri)
 Buffering – bikabornat dan fosfat
 Pemeliharaan tooth integrity – Mineral(maturasi dan remineralisasi), glycoprotein
pellicle(untuk mechanical protection)
 Antibacterial action – IgA (Mengontrol kolonisasi bakteri), lisosom(menghancurkan
dinding sel bakteri), lactoperoxidase(oxidation of susceptible bacteria).

Inflamasi gusi memiliki beberapa tahapan, yaitu:
a. Tahap I Gingivitis : The Initial Lesion
Pada manifestasi awal inflamasi gusi terjadi perubahan vaskuler, yaitu berupa
pembesaran kapiler dan peningkatan aliran darah. Secara klinis, respon awal gusi terhadap
plak bakteri (subclinical gingiva) tidak terlihat.
Perubahan lain yang terjadi dapat dilihat pada junctional epithelium dan jaringan ikat
perivaskuler, contohnya:
 Matriks jaringan ikat perivaskuler berubah sehingga terdapat eksudasi dan deposisi
fibrin di area yang terkena.
 Limfosit terakumulasi
 Meningkatnya migrasi leukosit dan akumulasinya di sulkus gingiva dan berhubungan
dengan meningkatnya aliran cairan giingival ke sulkus.
Intensitas dan karakter respon saat lesi tahap awal ini berlangsung cepat, dengan
memulihkan jaringan kembali normal atau bahkan menjadi lesi inflamasi kronis. Bila berlanjut
terus muncul makrofag dan sel limfoid dalam beberapa hari.

155
b. Tahap II Gingivitis : The Early Lesion
Merupakan kelanjutan dari initial lesion dan terjadi satu minggu setelah akumulasi plak.
Tanda klinis:
 Muncul eritema, disebabkan oleh proliferasi kapiler dan peningkatan formasi dari
capillary loops antara rete pegs dan ridges.
 Perdarahan saat probing
Tanda lain pada tahap II gingivitis ini ialah:
 Meningkatnya jumlah destruksi kolagen (70% kolagen dihancurkan di infiltrasi seluler)
 Perubahan morfologi pembuluh darah dan pola vascular bed
 PMN yang meninggalkan pembuluh darah akibat rangsangan kemotaksis dari
komponen plak menuju epitel melewati lamina basal, PMN memfagositosis bakteri dan
melepaskan lisosom.
 Terjadi perubahan sitotoksis pada fibroblas dengan menurunnya kemampuan
memproduksi kolagen.

c. Tahap III Gingivitis: The Established Lesion


Karakteristik umum : Terdapat sel plasma dan limfosit B yang dominan. Sel B yang
ditemukan pada umumnya IgG1 dan IgG3. Pada gingivitis kronis, terjadi 2 – 3 minggu
setelah akumulsi plak. Aliran darah menurun sehingga terjadi localized gingival anoxemia,
yaitu terjadi kepucatan pada gusi. Selain itu aktivitas collagenolytic meningkat oleh enzim
collagenase yang terdapat di gusi dan diproduksi oleh bakteri dan PMN. Terjadi juga
peningkatan level asam dan basa fosfatase, β- glucoronidase, β-glucosidase, dan
aminopeptidase.
Terdapat dua jenis established lesion, yaitu:
- Lesi tetap stabil dan tidak berlanjut sampai beberapa bulan dan tahun.
- Lesi menjadi lebih aktif dan progresif destruktif.

d. Tahap IV Gingivitis: The Advanced Lesion


Merupakan fase lanjut yang mengarah pada periodontitis, namun hanya pada individu
yang susceptible.

156
PERAWATAN

Perawatannya memberikan instruksi oral hygiene, skeling dan polis. Beberapa kasus
membutuhkan pembedahan (gingivectomy) dan recountering (gingivoplasty) untuk
mengembalikan bentuk dan memberikan akses untuk pembersihannya. Perawatan follow upnya
berupa kontrol plak dan mendeteksi adanya pertumbuhan gingiva kembali. Karena yang
menjadi penyebab adalah obat-obatan, maka para praktisir diharapkan memodifikasi obat dan
menggantikannya dengan obat lain seperti pada terapi anticovulsan dapat diganti dengan
sodium valproate atau carbamazepine.

Rencana Perawatan Gingivitis (Prosedur Scaling)


Definisi
Scaling adalah proses dimana plak dan kalkulus yang berada pada bagian permukaan
subgingiva dan supragingiva dibersihkan. Dalam mendeteksi adanya kalkulus/plak sangat
dibutuhkan ketrampilan penglihatan yang baik (visual examination) dan tactile detection skill.
Pemeriksaan secara visual untuk kalkulus supra dan subginggival pada bagian bawah
margin ginggiva tidak terlalu sulit. Hanya diperlukan pencahayaan yang baik dan daerah yang
bersih. Sedangkan, tactile exploration pada bagian dalam poket subginggiva, daerah furkasi,
dan developmental depression jauh lebih sulit daripada hanya sekedar visual examination.
Probe digunakan dengan cara digenggam ringan namun dengan pegangan yang stabil seperti
memegang pulpen (pen grasp). Hal ini akan memaksimalkan tactile sensitivity dalam
mendeteksi kakulus pada bagian subgingiva.

Instrument Periodontal
Klasifikasi periodontal instrument berdasarkan kegunaannya terbagi menjadi:
1. Periodontal probes: digunakan untuk menemukan, mengukur, dan menandai adanya
pocket.
2. Explorer: digunakan untuk menemukan adanya deposit kalkulus atau plak dan caries.
3. Scaling, root planning, dan curettage instrument: digunakan untuk membersihkan deposit
plak/kalkulus dari mahkota hingga bagian akar gigi, membersihkan bagian sementum dan
debridement dari jaringan lunak yang melapisi pocket. Scalling dan curettage instrument
diklasifikasikan kembali menjadi:
 Sickle scalers: digunakan untuk membersihkan supraginggival kalkulus.
 Curettes: digunakan untuk scaling subginggival, root planning, dan membersihkan
jaringan lunak yang dilapisi oleh poket.

157
 Hoe, chisel, dan file scalers: digunakn untuk membersihkan kalkulus subginggival yang
kenyal dan jaringan sementum.
 Ultrasonic dan sonic instrument: digunakan untuk scaling dan membersihkan
permukaan gigi serta curetting dinding jaringan lunak pada periodontal pocket.
4. Periodontal endoscope: digunakan untuk melihat kedalaman dari subginggival pocket dan
daerah furkasi yang dimungkinkan terdapat adanya deposit kalkulus.
5. Cleansing dan polishing instrument: seperti rubber cups, brushes, dan dental tape
digunakan untuk memberishkan dan memperhalus permukaan gigi.

GINGIVEKTOMI

Merupakan prosedur eksisi pada gingiva. Memberikan akses bagi pembersihan kalkulus,
memperbaiki kontur gingiva.
Indikasi
1. Eliminasi poket suprabony, bila dinding poket fibrous and firm. (4 – 5 mm)
2. Eliminasi pembesaran gingiva
3. Eliminasi suprabony periodontal abscess
4. Poket infrabony dengan dinding gingiva yang tipis, dimana dengan kuretase gingiva akan
rusak atau robek.
5. Adanya cleft gingiva yang pendek.

Kontraindikasi:
1. Adanya kelainan (poket) dimana perlu adanya bedah tulang atau eksaminasi morfologi dan
bentuk tulang.
2. Situasi dimana dasar poket ada di apikal mucogingival junction

Surgical Gingivectomy
1. Anastesi, dengan blok/ infiltrasi. Dapat juga dengan anestesi di tiap papilla interdental dan
margin gingiva.
2. Menentukan kedalaman poket. Setiap poket dieksplore dengan periodontal probe dan
ditandai dengan pocket marker
3. Dilakukan insisi

158
Periodontal knive digunakan untuk insisi permukaan fasial dan lingual dan distal dari
setiap lengkung gigi. Insisi dimulai dari apikal poket yang telah ditandai. Dapat secara
terputus-putus (discontinous) atau langsung (continous). Insisi dibuat bevel dengan
kemiringan 450 dari permukaan gigi bagian bukal atau lingual.
4. Eksisi
5. Insisi dilakukan sampai menyentuh gigi, kemudian jaringan dibuang. Setelah dibuang perlu
diperhatikan :
a. Kalkulus yang tertinggal
b. Jaringan granulasi
c. Kontur dari tulang
d. Adanya karies
6. Bila ada tulang yang diperkirakan mengganggu kesembuhan dapat diambil seperlunya.
7. Dilakukan irigasi dengan larutan salin atau H2O2 3 %.
8. Luka ditutup dengan periodontal pack.

159
160
JADWAL KEGIATAN PBL

2017/2018

LBM 7

Hari/Tanggal Jam Materi Nama Ruang


Instruktur
Senin, 08.10- SGD I Tutor R. SGD
15/1/2018 09.50 Lt.1

Selasa, 08.10- KP: Perawatan periodontal Departemen R. Kuliah


16/1/2018 09.50 disertai penyakit sistemik periodontologi Lt.1
12.30- SL : Instrumentasi & perawatan Tutor R. Skill
15.50 non bedah periodontal (scaling Lab
& polishing)

Rabu, 08.10- SL: Wire splinting composite Tutor R. Skill lab


17/1/2018 09.50

Kamis, 08.10- KP: Manifestasi penyakit Departemen R. Kuliah


18/1/2018 09.50 sistemik pada periodontal periodontologi Lt.1
09.50- KP: Praktek riba dalam KGI R. Kuliah
11.30 kegiatan ekonomi kontemporer Lt.1
kesehatan
Jumat, 19/1/2018 08.10- SGD II Tutor R. SGD
09.50 Lt.1

12.30- Ujian blok 17 PJ blok R.Kuliah


14.10 lt.3

161
Penjabaran Pembelajaran
Unit Belajar 7: Periodontal disease
Judul : “kok gigiku yang depan atas bertambah panjang dan goyang dok?..”

NO. SASARAN BELAJAR


1. Menjelaskan etiopatogenesis luksasi gigi (SGD)
2. Menjelaskan proses remodeling jaringan ikat pasca perawatan non bedah (SGD)
3. Menjelaskan indikasi splinting (SGD)
4. Memahami patofisiologi kelainan jaringan mulut yang disebabkan oleh penyakit
sistemik (KP)
5. Memahami diagnosis, prognosis dan rencana perawatan penyakit periodontal
(KP)

6. Mendeskripsikan macam-macam perawatan Periodontal Non Bedah beserta


fungsinya (KP)
7. Praktek riba dalam kegiatan ekonomi kontemporer kesehatan (KP)
8. Memahami instrumentasi perawatan periodontium & Melakukan scaling dan
polishing antar teman (SL)
9. Melakukan splinting di model (SL)

SKENARIO

Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang dengan keluhan gigi depan atas goyang dan
tampak memanjang. Hal ini dirasakan sejak 2 tahun yang lalu dan makin lama bertambah
parah. Tidak ada riwayat trauma pada gigi tersebut. Tidak ada penyakit sistemik. Pada
pemeriksaan ekstraoral tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan intra oral terdapat extrusi gigi
12, kegoyangan derajat II, OHI- S 1.3, inflamasi dan resesi pada gigi 11, 13,14, 15,31, 33, ,
41, 42, (gambar A dan B). Pada pemeriksaan radiografis (gambar C) tampak kerusakan
tulang hampir menyeluruh pada gigi 11. Perawatan dilakukan oleh dokter gigi sesuai dengan
tahapan perawatan periodontal.

A B C

Keywords : gigi goyang, kerusakan tulang horizontal


Masalah : Penyakit periodontal dan penanganannya

162
Konsep mapping

Faktor sistemik
(penyakit/
kelainan) Perawatan Non bedah Splinting

Trauma
Gigi goyang

Bedah Extraksi,
Faktor lokal bon graft.
(kalkulus)

Pertanyaan Minimal :

1. Apa diagnosis dari kasus pada skenario?


2. Apa etilogi kegoyangan gigi?
3. Apa penyebab trauma gigi
4. Apa akibat yang terjadi jika ada trauma pada gigi?
5. Apa penyebab diastema pada kasus skenario?
6. Apa rencana perawatan yang dari kasus skenario?
7. Apa perawatan yang tepat untuk mengatasi kegoyangan pada kasus skenario?
8. Sebutkan macam-macam splinting
9. Sebutkan indikasi dan kontraindikasi perawatan splinting
10. Bagaimana tahapan pemasangan splinting extrakoronal
11. Bagaimana instruksi paska pemasangan splinting.

Buku referensi:
Newman, M.G., Takei, H.H., Carranza, F. A. Carranza’s Clinical Periodontology. 10th Ed.
W.B. Saunders Company. 2002.
Hassel, T.M., et al. Color Atlas of Periodontology. New York: Thieme Inc.
Finn, Sidney B. 1963. Clinical Pedodontics. 2nd Ed. Philadelphia : W. B. Saunders Company.

163
MATERI
Perawatan Gigi Goyang
Gigi goyang merupakan manifestasi klinik kelainan jaringan periodontium, khususnya
dengan terbentuknya poket periodontal dan menyebabkan goyangnya gigi. Lebih-lebih
perubahan demografi berupa peningkatan jumlah usia lanjut mempunyai konsekuensi pasien
dengan gigi goyang juga akan meningkat jumlahnya.
Seiring dengan perkembangan IPTEK, dewasa ini ada beberapa pertanyaan mengenai
penyakit periodontal yang masih perlu dibahas. Salah satunya adalah : apakah semua gingivitis
akan selalu berkembang menjadi periodontitis dan pada akhirnya menyebabkan gigi goyang?
Beberapa penelitian baik klinis ataupun epidemiologis membuktikan bahwa tidak semua
gingivitis akan berkembang menjadi periodontitis, meskipun pada umumnya periodontitis
didahului oleh gingivitis. Belum diketahui penyebab jelas mengapa terjadi demikian. Bukti-bukti
yang dikumpulkan menunjukkan bahwa prevalensi adults periodontitis meningkat seiring
dengan bertambahnya umur. Beberapa peneliti melaporkan adanya kelompok kecil dengan
perkembangan penyakit periodontal destruktif yang berjalan dengan sangat cepat dan
menanggalkan gigi di usia muda.Semuanya ini memerlukan upaya pencegahan agar gigi-gigi
tersebut masih dapat dipertahankan selama mungkin di dalam mulut.

TAHAP-TAHAP PENATALAKSANAAN GIGI GOYANG


Apapun penyebab gigi goyang, penatalaksanaannya dapat dikelompokkan menjadi
menghilangkan faktor penyebab dan faktor pengaruh; menyembuhkan, dan kalau mungkin
merangsang tumbuhnya jaringan baru sebagai pengganti jaringan yang hilang; dan
menstabilkan gigi-gigi yang sakit maupun yang telah sembuh tetapi masih dalam kondisi yang
goyang.

1. Menghilangkan faktor penyebab


Dari hasil penelitian Loe dkk, telah dibuktikan bahwa ada hubungan erat Antara
akumulasi plak dengan terjadinya gingivitis. Telah ditemukan pula bahwa dalam plak
ditemukan banyak jenis kuman. Oleh karena itu disepakati bahwa pada umumnya penyebab
utama gingivitis adalah kuman. Atas dasar inilah antibiotika baik secara sistemik maupun
secara lokal sering digunakan.
Sistem pemberian obat antibiotika secara lokal di bidang periodontik dapat dengan cara
irigasi poket dengan larutan kimiawi atau menempatkan obat-obat tertentu dalam bentuk

164
padat atau semi padat. Syarat pokok untuk efektivitas obat ini adalah obat dapat mencapai
dasar poket, dan dapat bertahan beberapa waktu di tempat sampai efek antimikrobialnya
terjadi. Cara irigasi dengan obat antibakterial untuk membantu terapi periodontal
konvensional, meskipun dapat menurunkan keparahan gingivitis, namun untuk perwawatan
poket hasilnya kurang memuaskan.
Dewasa ini, antibiotika yang diberikan secara lokal antara lain tetrasiklin dalam ethylene
vinyl acetate (tetracyclin fibers 25%), minosiklin 2% dalam lipid gel atau metronidazol 25%
dalam lipid gel (elyzol). Disamping pemberian antibiotika (non bedah), sejak semula tindakan
bedah periodontal memang dianjurkan untuk menghilangkan faktor penyebab. Cara-cara
seperti kuratase, berbagai macam cara flap merupakan contoh cara membuang factor
penyebab secara fisik.

2. Menghilangkan faktor pengaruh (oklusi traumatik)


Berbagai faktor pengaruh seperti higieneon bentuk anatomi gigi, frekuensi menyikat gigi
dan lain-lain dapat mempengaruhi terjadinya gigi goyang meskipun sifatnya tidak langsung.
Faktor pengaruh gigi goyang yang paling dominan dan langsung adalah oklusi traumatik.
Gigi goyang adalah salah satu tanda klinik adanya oklusi traumatik, meskipun tidak semua
gigi goyang selalu disebabkan oleh oklusi traumatik. Pelebaran 30 celah periodontal,
terutama di daerah puncak alveolar yang sering digambarkan sebagai crestal funneling,
perubahan kualitas funkasi; dari berbagai gambaran Ro dan lamina dura sering dikaitkan
dengan tekanan yang berlebihan yang mengakibatkan goyangnya gigi.
Pada kasus murni gigi goyang karena oklusi traumatik beberapa hasil penelitian dan
kesimpulan yang berkaitan dengan terapi berikut perlu diketahui :
1. Dalam melakukan perawatan periodontitis yang berkaitan dengan peradangan baik pada
percobaan pada manusia maupun pada binatang, oklusi traumatik tidak menyebabkan
erubahan patologis pada jaringan ikat supra alveolar atau epitelium perbatasan.
2. sekali celah periodontal melebar untuk mengkompensasi tekanan oklusal, jaringan
ligamen biasanya tidak memperlihatkan tanda-tanda peningkatan vaskularisasi atau
eksudasi, kegoyangan gigi tidak lagi progresif. Dalam hal ini klinisi harus dapat
membedakan goyangnya gigi lebih dari normal atau meningkat secara progresif yang
pada suatu ketika akan menjadi lebih berat.
3. oklusi traumatik dapat menyebabkan resorpsi tulang alveolar. Resorpsi ini dihindari
dengan melakukan penyesuaian oklusi.

165
4. pada proses penyakit periodontal yang berkaitan dengan infeksi plak, dalam keadaan
tertentu oklusi traumatik dapat memperhebat kerusakan.
5. baik jaringan periodontium yang sehat dengan penurunan maupun tanpa penurunan
ketinggian, keduanya memberikan reaksi yang sama dalam penyesuaiannya terhadap
kekuatan oklusi yang berlebihan.
6. gigi goyang dalam keadaan tulang alveolar mengurang tetapi sehat tanpa pelebaran celah
periodontal masih dapat diterima tanpa memerlukan splinting,apabila tidak mengganggu
fungsi pengunyahan serta rasa kurang enak pada pasien.
7. splinting hanya diindikasikan jika ketinggian tulang alveolar sedemikian rupa sehingga
diperkirakan kegoyangan gigi akan menjadi lebih berat dan menimbulkan gangguan rasa
dan fungsi kunyah pasien.
Pada oklusi traumatik, pertama-tama yang harus ditangani adalah peradangan.
Kemudian kegoyangan gigi dimonitor dalam periode waktu yang cukup untuk mengobservasi
apakah gigi goyang akan tetap ataukah akan menjadi progresif.

3. Menyembuhkan jaringan rusak penyebab gigi goyang


Dalam kasus-kasus tertentu, setelah faktor penyebab dihilangkan, kesembuhan atau
regenerasi jaringan yang telah rusak dapat diharapkan terjadi secara fisiologis atau dengan
bantuan bahan-bahan tertentu. Ada 3 prosedur regenerasi, meliputi : pembersihan defek
dengan kuretase, bone grafting dan guided tissue regeneration. Ketiga-tiganya dilakukan
secara bedah.
Secara umum, kesembuhan atau regenerasi fisiologis dapat terjadi dari bekuan darah
setelah tindakan bedah. Oleh karena itu bekuan darah harus dilindungi sedemikian rupa agar
tidak rusak, yang di bidang periodontik terkenal dengan penggunaan periodontal dressing.
Disamping itu faktor penting dalam regenerasi ini adalah keberadaan dinding (alveolar)
poket. Makin banyak dinding poket (dinding poket dapat 1,2,3 atau 4), regenerasi jaringan
akan terjadi lebih baik.
Pada kasus-kasus yang regenerasinya kurang dapat diharapkan, misalnya karena
tulang alveolar sudah banyak yang hilang dapat dilakukan bone grafting atau yang akhir-
akhir ini dikenal dengan bahan guided tissue regeneration (GTR). Tujuan dari bone grafting
adalah mengurangi kedalaman poket periodontal, peningkatan pelekatan secara klinik,
pengisian tulang di daerah defek dan regenerasi tulang baru, semen dan ligamen
periodontal. Dengan demikian diharapkan akar gigi dapat terdukung dengan lebih baik.

166
Dua macam bone graft yang banyak digunakan dalam periodontik adalah autogenous
bone graft dan allograft. Yang pertama diambil dari dalam tubuh pasien sendiri, yang dapat
berupa cortical bone chips, osseous coagulum, bone blend, extraction socket bone, dan
extra oral cancellous bone with marrow. Yang kedua diambil dari spesies yang sama tapi
gen berbeda. Dalam periodontik ada 3 macam allograft. Allograft yang umum digunakan
adalah demineralized freeze-dried bone, sedangkan nondemineralized freeze-dried bone
dan frozen iliac cancellous bone kurang dipergunakan.
Prinsip guide tissue regeneration sebagai berikut : periodontium terdiri dari 4 bagian
jaringan, epithelium gingiva, jaringan ikat gingiva, tulang dan ligament periodontal. Setelah
prosedur flap, apabila epithelium gingiva bergerak sepanjang jaringan ikat di sebelah akar
yang dirawat, kesembuhan akan terjadi tanpa perlekatan yang baru terhadap akar
(perlekatan semu). Tetapi apabila jaringan ikat gingiva mempunyai kesempatan untuk
mencapai permukaan akar karena tidak terjadi pertumbuhan epitel di permukaan akar, maka
perlekatan akan terja di. Apabila yang berkontak dengan akar adalah jaringan tulang maka
akan terjadi ankilosis atau resorpsi akar.

4. Menstabilisasi Gigi Goyang


Salah satu caranya adalah dengan penggunaan splinting. Indikasi penggunaan :
1. besarnya kehilangan jaringan pendukung
2. perubahan kualitas jaringan pendukung yang disebabkan karena oklusi traumatik
3. trauma jangka pendek karena parawatan periodontitis
4. kombinasi dari ketiga butir diatas
gigi goyang yang derajat kegoyangannya tidak meningkat umumnya tidak memerlukan
splinting. Sedangkan gigi goyang berkaitan dengan oklusi traumatic harus dirawat dengan
penyesuaian oklusi bukan dengan splinting. Meskipun splinting seolah-olah dapat
menstabilkan gigi dan memberikan rasa enak pada pasien tetapi sesungguhnya stabilitas
jangka panjang tidak akan terjadi.
Klasifikasi splinting :
 sementara (hari/minggu)
 permanen (tahun)
Indikasi splinting sementara atau semi permanen adalah untuk gigi goyang sangat berat
yang digunakan sebelum dan selama terapi periodontal. Perannya adalah untuk mengurangi
trauma selama perawatan. Akhir-akhir ini karena faktor estetik, serat kawat (wire ligature)
sebagai splint sementara cekat sudah jarang digunakan. Sebagai gantinya adalah splint dari

167
komposit dengan etching. Akrilik bening juga dapat dipergunakan untuk splinting sementara
lepasan. Untuk gigi-gigi goyang berat yang mengganggu fungsi pengunyahan setelah terapi
periodontal splinting permanen atau semipermanen dapat digunakan. Untuk gigi-gigi
anterior, bahan yang sering dipergunakan pada splin semipermanen cekat adalah komposit
resin (light cured).

Pengikatan sebelum Penggunaan komposit dengan serat polyester telah dibuktikan dapat
membantu stabilitas splint. Untuk gigi-gigi posterior, splinting semi permanen ditujukan untuk
gigi-gigi goyang berat dengan tekanan kunyah besar. Splint ini digunakan sebelum, selama,
dan sesudah terapi periodontal karena prognosisnya belum jelas. Untuk gigi posterior bahan
splin yang digunakan adalah amalgam atau keramik karena lebih kuat daripada komposit
dan diperkuat dengan penggunaan kawat logam yang kaku.

-----o0o-----

168

Anda mungkin juga menyukai