Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian Demam Tifoid


- Demam tifoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit
infeksi akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit
multisistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. (Muttaqin. A, Sari.
K, 2011)
- Demam Tifoid (etric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran cerna, dengan gejala demam kurang lebih dari 1 minggu,
gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. (Sodikin, 2011)
- Thypoid fever (thypus abdominalis, enteric fever) adalah infeksi sistemik
yang disebabkan Salmonella enteric, khususnya turunannya yaitu
salmonella thypi, parathypi A, parathypi B and parathypi C pada saluran
pencernaan terutama menyerang bagian saluran pencernaan. (Suratun &
Lusianah, 2010)

B. Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhosa, kuman ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1. Basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora.
2. Memiliki paling sedikit 3 macam antigen, yaitu antigen O (somatic yang
terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan
antigen Vi. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium pasien, biasanya
terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
(Soedarto, 2009)

C. Patofisiologi
Kuman Salmonella typhi yang masuk ke saluran gastrointestinal akan
ditelan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa dan oleh sel
makrofag yang ada di dalam lamina propia. Sebagian dari Salmonella typhi
ada yang dapat masuk ke usus halus mengadakan invaginasi ke jaringan
limfoid usus halus (plak Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Kemudian
Salmonella typhi masuk melalui folikel limpa ke saluran limfatik dan
sirkulasi darah sistemik sehingga terjadi bakterimia. Bakterimia pertama-tama
menyerang sistem RES, kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di
dalam tubuh antara lain sistem saraf pusat, ginjal, dan jaringan limpa (Curtis,
2006).
Usus yang terserang tifus umumnya ileum distal, tetapi kadang bagian lain
usus halus dan kolon proksimal juga dihinggapi. Pada mulanya, plak Peyer
penuh dengan fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat atau
hyperplasia di mukosa usus (Sjamsuhidayat, 2005).
Pada akhir minggu pertama infeksi, terjadi nekrosis dan tukak. Tukak ini
lebih besar di ileum daripada di kolon sesuai dengan ukuran plak Peyer yang
ada di sana. Kebanyakan tukaknya dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai
menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada tukak yang menembus
serosa. Setelah penderita sembuh, biasanya ulkus membaik tanpa
meninggalkan jaringan parut dan fibrosis (Brusch, 2009).
Masuknya kuman ke dalam intestinal terjadi pada minggu pertama dengan
tanda dan gejala suhu tubuh naik turun khususnya suhu naik pada malam hari
dan akan menurun menjelang pagi hari. Demam yang terjadi pada masa ini
disebut demam intermiten (suhu yang tinggi, naik-turun, dan turunnya dapat
mencapai normal). Di samping peningkatan suhu tubuh, juga akan terjadi
obstipasi sebagai akibat penurunan motilitas suhu, namun hal ini tidak selalu
terjadi dan dapat pula terjadi sebaliknya. Setelah kuman melewati fase awal
intestinal, kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dengan tanda peningkatan
suhu tubuh yang sangat tinggi dan tanda-tanda infeksi pada RES seperti nueri
perut kanan atas, splenomegali dan hepatomegali (Chatterjee, 2009).
Pada minggu selanjutnya di mana infeksi fokal intestinal terjadi dengan
tanda-tanda suhu tubuh masih tetap tinggi, tetapi nilainya lebih rendah dari
fase bakterimia dan berlangsung terus-menerus (demam kontinu), lidah kotor,
tepi lidah hiperemis, penurunan peristaltik, gangguan digesti dan absorpsi
sehingga akan terjadi distensi, diare dan pasien merasa tidak nyaman. Pada
masa ini dapat terjadi perdarahan usus, perforasi, dan peritonitis dengan tanda
distensi abdomen berat, peristaltik menurun bahkan hilang, melena, syok, dan
penurunan kesadaran (Parry, 2002).
(Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
Mekanisme masuknya kuman diawali dengan infeksi yang terjadi pada
saluran pencernaan, basil diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu
masuk kedalam peredaran darah sampai di organ-organ lain, terutama hati
dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan
limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai dengan rasa
nyeri pada perabaan, kemudian basil masuk kembali ke dalam darah
(bakterimia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar
limfoid usus halus, sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada
mukosa di atas Plak Peyer; tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan
perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala
pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.
(Sodikin, 2011)
WOC

Salmonella Typhi masuk ke Saluran GI

Ditelan fagosit & makrofag ketika melewati mukosa

Sebagian masuk ke usus halus

Invaginasi ke jar limfoid usus halus & jar limfoid


mesenterika

Masuk ke limpa & sirkulasi darah sistemik

Bakterimia Ke otak Meningitis

Invasi ke RES Respon Res RES MK: Nyeri

Demam Tifoid Hepatomegali & Distensi abdomen


Splenomegali
Mual, muntah, anoreksia,
penurunan motilitas Respon inflamasi
Gg produksi SDM, SDP di sumsum tulang

Asupan makanan tidak adekuat Peningkatan


Anemia, Leukopenia
suhu tubuh

Ketidakseimbangan nutrisi
Penurunan Imunitas
kurang dari kebutuhan tubuh MK: Hipertermi

MK: Resiko Infeksi


D. Manifestasi Klinis
- Pada fase awal tidak didapat perubahan, namun pada fase lanjut pasien
terlihan sakit berat dan terjadi penurunan kesadaran.
- Pada fase 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat 39-41oC pada
malam hari dan turun pada pagi hari, frekuensi nadi menurun (bradikardi
relatif).
- Pernafasan akan mengalami perubahan apabila terjadi respon akut dengan
gejala batuk kering.
- Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan diaphoresis sering
didapatkan pada minggu pertama.
- Kulit pucat dan akral dingin berhubungan dengan penurunan kadar Hb.
- Pada minggu ketiga, respons toksin sistemik bisa mencapai otot jantung
dan terjadi miokarditis dengan manifestasi penurunan curah jantung
dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri dada, dan kelemahan fisik (Brusch,
2009).
- Pada pasien dengan dehidrasi berat akan menyebabkan penurunan perfusi
serebral dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu, gangguan mental
seperti halusinasi dan delirium. Juga didapatkan ikterus pada sklera.
- Pada kondisi berat didapatkan penurunan respons haluaran urine dari
penurunan curah jantung.
- Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemis disertai stomatitis pada
minggu ke2.
- Seing muntah.
- Perut kembung.
- Distensi abdomen dan nyeri.
- Bising usus kurang dari 5x/menit pada minggu pertama dan meningkat
setelah terjadi diare.
- Hepatomegali dan splenomegali.
- Malaise, kelemahan fisik, kram otot ekstremitas akibat respons sistemik.
- Kulit kering, turgor kulit menurun, muka tampak pucat, rambut agak
kusam, adanya roseola (Crumm, 2003).
(Muttaqin. A, Sari. K, 2011)

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium
dan radiografi, meliputi hal-hal berikut ini:
1. Pemeriksaan darah
Untuk mengidentifikasi adanaya anemia karena asupan makanan yang
terbatas, malabsorpsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum, dan
penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leucopenia dengan
jumlah leukosit antara 3000-4000 mm3 ditemukan pada fase demam. Hal
ini disebabkan oleh penghancuran leukosit oleh endotoksin. Aneosiniofilia
yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada
stadium panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah
limfosit meningkat akibat ransangan endotoksin. Laju endap darah
meningkat (Dutta, 2001). (Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
2. Pemeriksaan urine
Didapatkan proteinuria ringan (<2 gr/liter) juga didapatkan peningkatan
leukosit dalam urine. (Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
3. Pemeriksaan feses
Didapatkan adanya lender dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan
usus dan perforasi. (Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
4. Pemeriksaan bakteriologis
Untuk identifikasi adanya kuman Salmonella typhi pada biakan darah,
tinja, urine, cairan empedu, atau sumsum tulang. (Muttaqin. A, Sari. K,
2011)
5. Pemeriksaan serologis
Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(agglutinin). Respons antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman
Salmonella adalah antibody O dan H. (Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
6. Pemeriksaan radiologi
Untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam
tifoid. (Muttaqin. A, Sari. K, 2011)

F. Penatalaksanaan
1. Diet, makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang,
dan tidak menimbulkan banyak gas.
2. Obat pilihan utama ialah kloramfenikol atau tiamfenikol.
(Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
Pengobatan diberikan selama 14 hari, atau sampai 7 hari sesudah penderita
tidak demam lagi.
Obat-obatan yang dapat digunakan adalah: Kloramfenikol, Tiamfenikol,
Ampisilin, dan Kotrimoksasol (sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80
mg).
(Soedarto, 2009)

G. Pencegahan
Penularan Demam tifoid dicegah dengan selalu menjaga kebersihan
perorangan, kebersihan lingkungan, pembuangan sampah yang baik, dan
klorinasi air minum. Karier demam tifoid harus diobati dengan baik
menggunakan ampisilin atau amoksilin dan probenesid. Jika terdapat
kolelitiasis, dilakukan tindakan operasi disertai pemberian antibiotika.
Imunisasi dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin monovalen kuman
Salmonella thypi.
(Soedarto, 2009)
1. Meningkatkan sanitasi lingkungan dengan penyediaan air minum yang
memenuhi syarat (melalui proses chlorinasi), pembuangan kotoran
manusia yang benar, pemberantasan lalat dan pengawasan terhadap produk
makanan/minuman dari pabrik, home industry, rumah makan dan penjual
makan keliling.
2. Usaha terhadap manusia dengan meningkatkan personal hygine misalnya
dengan gerakan mencuci tangan; imunisasi efektif menurunkan risiko
penyakit hingga 50-75%. Meskipun telah mendapatkan imunisasi tetap
harus memperhatikan kebersihan makanan dan lingkungan. Di Indonesia
vaksinasinya bernama chotipa (cholera-typhoid-paratyphoid) atau tipa
(typhoid-para-typhoid). Dapat dilakukan pada anak usia 2 tahun yang
masih rentan; menemukan dan mengawasi karier typhoid dan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat tentang typhoid, pencegahan dan pengobatan
typhoid.
(Suratun & Lusianah, 2010)

H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, meliputi
(Rowland, 1961) hal-hal berikut:
1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan.
b. Perforasi.
c. Peritonitis.
2. Komplikasi di luar usus halus.
a. Bronkitis.
b. Bronkopneumonia.
c. Ensefalopati.
d. Meningitis.
e. Miokarditis.
(Muttaqin. A, Sari. K, 2011)

I. Pengkajian
Pengkajian demam tifoid akan didapatkan sesuai dengan perjalanan
patologis penyakit. Secara umum keluhan utama pasien adalah demam
dengan atau tidak disertai menggigil. Apabila pasien dating untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, di mana perjalanan penyakit pada minggu
pertama akan didapatkan keluhan inflamasi yang belum jelas, sedangkan
setelah minggu kedua, maka keluhan pasien menjadi lebih berat. Keluhan lain
yang menyertai demam yang lazim didapatkan berupa keluhan nyeri kepala,
anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan nyeri otot.
Pada pengkajian riwayat kesehatan mungkin didapatkan kebiasaan
mengonsumsi makanan yang tidak di olah dengan baik, sumber air minum
yang tidak sehat dan kondisi lingkungan rumah tempat tinggal yang tidak
sehat, serta kebersihan perseorangan yang kurang baik.
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu divalidasi tentang adanya
riwayat penyakit tifus abdominalis sebelumnya.
Pengkajian psikososial sering didapatkan adanya kecemasan dengan
kondisi sakit dan keperluan pemenuhan informasi tentang pola hidup higienis.
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan berbagai manifestasi klinik yang
berhubungan dengan perjalanan dari penyakit demam tifoid.
(Muttaqin. A, Sari. K, 2011)

J. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi b.d. respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal.
2. Aktual/risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
kurangnya asupan makanan yang adekuat.
3. Nyeri b.d. iritasi saluran gastrointestinal.
(Muttaqin. A, Sari. K, 2011)
4. Risiko infeksi b.d. penurunan imunitas.

Nursing Care Plan (NCP)


No Dx. Kep NOC NIC Aktivitas
1 Hipertermi b/d - - Regulasi - pantau suhu minimal
penyakit (Demam Termoregulasi Suhu setiap 2 jam
Typhoid) adekuat - pasang alat pantau suhu
- Tanda-tanda - pantau warna kulit
vital dalam Kolaboari:
rentang - Berikan obat antipiretik
normal - Gunakan matras dingin
dan mandi air hangat
untuk mengatasi
gangguan suhu tubuh

- Terapi - Lepaskan pakaian yang


demam berlebihan dan tutupi
pasien dengan selimut
saja
- Anjurkan asupan cairan
oral sedikitnya 2 liter
sehari

- Pemantauan - Pantau tekanan darah,


tanda vital denyut nadi, dan
frekuensi pernapasan.
2 Ketidakseimbang Menunjukkan - Manajemen - Pantau kandungan nutrisi
an nutrisi kurang selera makan nutrisi dan kalori pada catatan
dari kebutuhan yang bagus asupan
tubuh b/d hilang - Tawarkan kudapan
nafsu makan - Berikan makanan
bergizi, tinggi kalori, dan
bervariasi
- Berikan informasi yang
teapat kepada keluarga
tentang nutrisi yang
harus dipenuhi
Kolaborasi:
- Tentukan dengan
melakukan kolaborasi
bersama ahli gizi, jika
diperlukan, jumlah kalori
dan zat gizi yang
dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan
nutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin. A, & Sari. K, 2011, “Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah”, Jakarta: Salemba Medika
Sodikin, 2011, “Asuhan Keperawatan Anak Gangguan Sistem Gastrointestinal
dan Hepatobilier”, Jakarta: Salemba Medika
Soedarto, 2009, “Penyakit Menular di Indonesia”, Surabaya: Sagung Seto
Suratun & Lusianah, 2010, Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Gastrointestinal”, Jakarta: Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai