Anda di halaman 1dari 22

BAB III

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Pengkajian Fisioterapi

Sebelum dilaksanakan tindakan fisioterapi, maka terlebih dahulu

dilakukan pemeriksaan terstruktur yang berguna untuk menegakkan diagnosa

fisioterapi.

1. Anamnesis

Menurut Bates (2012), anamnesis merupakan cara pengumpulan data

dengan tanya jawab antara terapis dengan sumber data, dilihat dari segi

pelaksanaan anamnesis dibedakan atas dua yaitu : Autoanamnesis merupakan

anamnesis yang langsung ditujukan kepada pasien. Heteroanamnesis, merupakan

anamnesis yang dilakukan terhadap orang lain keluarga,teman ataupun orang

terdekat dengan pasien yang mengetahui keadaan pasien tersebut Anamnesis yang

akan dilakukan berupa :

a. Anamnesis umum

Anamnesis umum terdiri dari (1) Nama : Ny. S (2) Umur : 60 Tahun (3) Jenis

kelamin : Perempuan (4) Agama : Islam (5) Pekerjaan : Petani (6) Alamat :

Pojoksari 13/02, Sukomoro Magetan.

b. Anamnesis khusus

1) Keluhan Utama

Pasien mengeluhkan sesak nafas dan batuk disertai rasa nyeri dada kurang

lebih sejak 3 hari ini.

30
31

2) Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengatakan sesak napas dirasakan sejak 3 hari yang lalu, pasien

mengeluh sesak dirasa memberat setelah melakukan aktifitas berat seperti jalan

jauh dan mengangkat barang berat dan akan berkurang bila pasien beristirahat

dengan posisi setengah duduk sedikit membungkuk. Sesak napas diikuti batuk

berdahak. Kemudian pasien pada tanggal 7 Desember 2018 datang ke RS Paru

Dungus Madiun dikarenakan sesak dan batuk yang semakin memburuk. Pasien

datang ke IGD RS Paru Dungus Madiun untuk diperiksa dan mendapatkan obat

untuk mengurangi keluhan yang ada.

3) Riwayat Penyakit Dahulu

Sejak satu tahun yang lalu pasien sering mengalami sesak napas. Namun

dua bulan terakhir sesak yang dialami pasien lebih sering kambuh. Pasien telah

menjalani pengobatan puskesmas namun tidak kunjung sembuh, kemudian

dibawa ke dokter spesialis paru.

4) Riwayat Penyakit Penyerta

Pasien tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus, Hipertensi dan Penyakit

jantung.

5) Riwayat Pribadi (Keterangan Umum Penderita)

Pasien adalah seorang petani, sehari-harinya bekerja di sawah. Namun

semenjak keluhan yang dideritanya memburuk pasien berhenti bekerja di sawah

hingga sekarang.

6) Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami sakit yang sama.


32

c. Anamnesis Sistem

Anamnesis sistem meliputi : (1) Kepala dan Leher : Pasien tidak

merasakan pusing atau sakit di kepala dan leher (2) Kardiovaskuler : Tidak ada

keluhan jantung berdebar-debar (3) Respirasi : Adanya sesak napas dan batuk

berdahak (4) Gastrointestinalis : Semenjak masuk rumah sakit pasien belum BAB

(6) Muskuloskeletal : Pasien tidak ada keterbatasan gerak pada sendi maupun

otot-otot (7) Nervorum : Tidak ada keluhan yang dirasakan pasien seperti nyeri

menjalar, kebas dan kesemutan.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Vital Sign

Pemeriksaan vital sign meliputi : (1) Tekanan darah :100/60 mmHg (2)

Denyut nadi : 101 kali/menit (3) Pernafasan : 26 kali/menit (4) Temperatur :

36,5°C (5) Tinggi badan : 159 cm (6) Berat badan : 50 kg.

b. Inspeksi

Inspeksi Statis : keadaan umum pasien compos mentis, bentuk dada barrel

chest. Inspeksi Dinamis : pasien cenderung menggunakan pernapasan perut, nafas

cepat dan dangkal, pergerakan dada kanan dan dada kiri tidak simetris.

c. Palpasi

Suhu tubuh ekstremitas atas dan bawah teraba normal, tidak ditemukan

spasme m.intercostalis, m.sternocleidomastoideus, m.pectorais mayor dan minor.

Terdapat nyeri tekan di sekitar area post fungtie sela iga 5 posterior paru dextra.
33

d. Perkusi

Terdapat suara Redup pada ICS IV-VI sisi anterior paru dextra dan suara

sonor pada lapang paru sinistra.

e. Auskultasi

Wheezing (-), Ronchi (+) pada lobus paru dekstra ICS 4

3. Pemeriksaan Gerak

a. Pemeriksaan Gerak Aktif

Pasi en dapat menggerakkan AGA dan AGB kesegala arah tanpa ada

keterbatasan.

b. Pemeriksaan Gerak pasif

Tidak dilakukan karena berhubungan dengan kenyamanan pasien.

c. Gerak Isometrik Melawan Tahanan

Tidak dilakukan karena berhubungan dengan kenyamanan pasien.

4. Kognitif, Intrapersonal dan Interpersonal

Kognitif pasien baik, pasien mampu menceritakan awal sakit bagaimana

hingga sakit yang sekarang diderita dengan runtut. Intrapersonal, pasien memiliki

motivasi yang tinggi untuk kesembuhannya dalam pengobatan dan terapi.

Interpersonal, pasien mampu melakukan semua instruksi yang diberikan terapis

dengan baik.

5. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktifitas

a. Kemampuan fungsional dasar

Pasien dapat berpindah posisi miring ke kiri dan ke kanan. Pasien mampu

berjalan namun dengan jarak yang minimal karena sesak napas.


34

b. Aktivitas fungsional

Pasien kesulitan untuk aktivitas diluar bed seperti pergi ke toilet untuk

BAK/BAB. Namun pasien dapat melakukan makan, minum, memakai baju diatas

bed secra mandiri atau dengan bantuan minimal pada keluarga.

c. Lingkungan aktivitas

Pasien dirumah tinggal dengan suaminya beserta 3 anaknya.

Lingkungannya tidak begitu lembab dan distumah ada paparan asap rokok serta

asap dari penggunaan kayu bakar untuk memasak.

6. Pemeriksaan Khusus

a. Pemeriksaan Sesak Nafas dengan Skala Borg

Didapatkan hasil 5/10, artinya sesak parah (berat)

TABEL 3.1

PENGUKURAN DERAJAT SESAK NAFAS

Skor Derajat/Tingkat Sesak Nafas


0 Tidak ada sesak nafas
0,5 Sangat, sangat sedikit
1 Sangat sedikit
2 Ringan
3 Sedang
4 Agak berat
5 Parah (berat)
6
7 Sangat parah
8
9
10 Sangat, sangat parah
Sumber : McConnel (2013) Cit Gunnar Borg (Borg, 1998; Borg et al, 2010)
35

b. Pemeriksaan Sputum dengan Auskultasi

Ronchi berada pada di paru lobus dekstra ICS 2

c. Pemeriksaan Nyeri Post Fungtie dengan VAS

Nyeri terdapat pada sekitar post fungtie sela iga 5 posterior paru dekstra.

TABEL 3.2

HASIL PENGUKURAN NYERI

Nyeri Nilai

Nyeri diam 3,2

Nyeri gerak 5,1

Nyeri tekan 6,9

d. Pemeriksaan Ekspansi Thorak dengan Meter Line

TABEL 3.3

HASIL PENGUKURAN EKSPANSI THORAK

Area Inspirasi Ekspirasi selisih

Axilla 83 cm 82,5cm 0,5 cm

ICS 4 81 cm 80 cm 1 cm

Proc.Xyphoideus 78 cm 77 cm 1 cm

e. Pemeriksaan Indeks ADL dengan Modified Medical Research Council

Indeks MMRC untuk skala sesak dalam ADL didapatkan skala 4, artinya

terlalu sesak untuk meninggalkan rumah atau sesak napas saat menggunakan

pakaian atau berganti pakaian.


36

TABEL 3.4

HASIL PENGUKURAN INDEKS ADL DENGAN MMRC

Tingkat 0 Tidak terganggu oleh sesak napas kecuali pada kedaan


olahraga yang berat
Tingkat 1 Terganggu dengan sesak napas letika terburu-buru berjalan di
tanah yang datar atau mendaki tanjakan
Tingkat 2 Berjalan lebih lambat pada pemukaan yang datar
dibandingkan orang lain yang seusia karena sesak napas atau
harus berhenti untuk mengatur napas ketika berjalan pada
kecepatan sendiri di permukaan yang datar
Tingkat 3 Berhenti untuk mengatur napas setelah berjalan 90 meter atau
setelah beberapa menit di permukaan datar
Tingkat 4 Terlalu sesak untuk meninggalkan rumah atau sesak
napas saat berpakaian atau berganti pakaian

B. Problematik Fisioterapi

Berdasarkan ICF diagnosis fisioterapi pada kondisi efusi pleura meliputi:

1. Body function

Body function antara lain (1) Sesak napas (b440), (2) Adanya batuk tidak

efektif (b450), (3) Adanya nyeri dada post fungtie (b28011) Penurunan ekspansi

sangkar thorak (b445).

2. Body structure

Body structure pada kasus ini adalah hilangnya elastisitas paru (s430).

3. Activities and Participation


37

Activities and participation pada kasus ini yaitu pasien mengalami

penurunan aktivitas kerja maupun di rumah dan mudah merasa lelah saat

beraktifitas, tidak dapat melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan kelelahan

seperti berolahraga, aktivitas sehari-hari

4. Environmental Factors

Environmental factors pada pasien efusi pleura adalah pasien memiliki

pekerjaan tidak dapat bekerja dalam waktu yang cukup lama seperti biasanya,

pengaruh lingkungan yang mayoritas merokok menyebabkan pasien sulit untuk

menghilangkan kebiasaan tersebut, mengurangi aktivitas dengan intensitas yang

berat.

C. Tujuan Fisioterapi

Tujuan fisioterapi dari kasus efusi pleura ini ada dua yaitu tujuan jangka

pendek antara lain : 1) Mengurangi sesak nafas, 2) Membersihkan jalan napas dari

mukus, 3) Mengurangi nyeri dada post fungtie, 4) Meningkatkan ekspansi sangkat

thoraks. Tujuan jangka panjang meliputi melanjutkan tujuan jangka pendek,

meningkatkan kualitas hidup agar dapat kembali bekerja dan meningkatkan

aktivitas fungsional agar mampu melakukan aktivitas sehari-hari lebih mandiri.

D. Teknologi Intervensi Alternatif

Teknologi intervensi alternatif fisioterapi yang dapat digunakan pada

kondisi efusi pleura adalah Infra red, deep breathing exercise, breathing control,

chest physiotherapy, potural drainage, perkusi manual (clapping), segmental

breathing exercise, thoracic expansion exercise, abdominal breathing exercise,


38

mobilisasi sangkar thorak, nebulizer, ACBT. Pada kasus ini penulis meggunakan

modalitas nebulizer, deep breathing exercise, ACBT, segmental breathing

exercise.

E. Pelaksanaan fisioterapi

1. Nebulizer

a. Persiapan alat

1 set nebulizer, Masker nebulizer, Obat yang akan diberikan yaitu

berupa combivent 2,5 ml.

b. Persiapan terapis

Menjelaskan tujuan dan menjelaskan prosedur yang akan dilakukan.

c. Penatalaksanaan

Mencuci tangan, mengatur posisi pasien half lying atau duduk tegak,

mengisi nebulizer dengan obat combivent 2,5 ml, memasang masker pada pasien,

tekan tombol on pada nebulizer dan meminta pasien untuk tarik napas dalam

lewat hidung da dikeluarkan lewat mulut sampai obat habis, jika obat sudah habis

tekan tombol off pada nebulizer, bersihkan mulut dan hidung dengan tisu kering

yang telah disiapkan, bereskan alat dan cuci tangan.


39

Gambar 3. 1

Nebulizer (Data primer, 2018)

2. Deep Breathing Exercise

Penatalaksanaan : Terapis menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan

yang akan diberikan kepada pasien dengan jelas dan mudah dipahami. Kemudian

posisikan pasien duduk dan terapis berdiri disamping pasien. Pasien

diinstruksikan untuk tarik nafas dalam menggunakan pernafasan dada melalui

hidung dan dikeluarkan pelan-pelan melalui mulut, diakhir ekspirasi terapis

memberikan penekanan pada bagian lateral dari lower costae. Ulangi latihan deep

breathing exercise ini 6-8 kali.


40

Gambar 3. 2

Deep Breathing Exercise (Data primer, 2018)

3. Active Cycle Breathing Technique

1) Breathing control : pasien diposisikan half lying diatas tempat

tidur, kemudian pasien dibimbing untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi secara

teratur dan tenang, yang diulang sebanyak 3-5 kali oleh pasien. Tangan terapis

diletakkan pada perut pasien untuk merasakan pergerakan yang naik turun selama

pasien bernapas.
41

Gambar 3. 3

Breathing Control (Data primer, 2018)

2) Thoracic Expansion Exercise: masih dalam posisi yang sama,

pasien diminta untuk menarik napas dalam secara perlahan, lalu

menghembuskannya secara perlahan hingga udara dalam paru-paru terasa kosong.

Langkah ini diulang sebanyak 3-5 kali oleh pasien.

Gambar 3. 4
Breathing Control (Data primer, 2018)
42

3) Forced Expiration Technique : pasien diminta untuk mengambil

napas dalam secukupnya lalu mengkontraksikan otot perutnya untuk menekan

napas saat ekspirasi dan menjaga agar mulut serta tenggorokan tetap terbuka

dengan cepat. Huffing dilakukan 2-5 kali dengan cara yang sama lalu diakhiri

dengan batuk efektif untuk mengelurkan mukus.

Gambar 3. 5
Forced Expiration Technique (Data primer, 2018)

Gambar 3.6
Huffing (Data primer, 2018)
43

4. Segmental Breathing Exercise

Pasien dijelaskan manfaat dilakukannya latihan pernapasan ini dan

dijelaskan prosedur cara melakukannya. Posisi pasien half lying/duduk tegak.

Terapis berdiri disamping pasien. Tangan terapis berada pada segmen paru-paru

(upper, middle dan lower) kemudian instruksikan pasien untuk menarik napas dan

tangan terapis pada akhir inspirasi diberi tekanan kearah atas dan saat akhir

ekspirasi berikan tekanan kearah luar bawah. Latihan ini diulang 3-4 kali

pengulangan.

Gambar 3.6

Segmental breathing exercise bagian upper (Data primer, 2018)


44

Gambar 3.6

Segmental breathing exercise bagian middle (Data primer, 2018)

Gambar 3.6

Segmental breathing exercise bagian lower (Data primer, 2018)


45

F. Edukasi

Salah satu penunjang keberhasilan terapi yaitu dengan memberikan

edukasi. Pasien dengan kasus efusi pleura dapat diberikan edukasi antara lain :

1) Pasien dianjurkan melanjutkan latihan napas yang diajarkan terapis seperti deep

breathing, ACBT, dan segmental breathing dirumah 2) Istirahat jika terjadi

keluhan sesak napas atau nyeri dada saat sedang aktivitas 3) Pakai jaket bila udara

dingin 4) Menghindari asap rokok dan polusi 5) Pasien diminta untuk menjaga

kebersihan lingkungan.

G. Evaluasi Terapi

1. Pemeriksaan Sesak Nafas (Skala Borg)

TABEL 3.5
PENGUKURAN DERAJAT SESAK NAFAS
T0 T1 T2 T3 T4 T5

5/10 4/10 3/10 3/10 2/10 1/10


(berat) (agak berat) (sedang) (sedang) (ringan) (sangat sedikit)

2. Pemeriksaan Aukultasi (Stetoskop)

TABEL 3.6
PEMERIKSAAN AUSKULTASI SPUTUM
T0 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 2
T1 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 2
T2 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 2
T3 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 2 berkurang
T4 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 2
T5 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 1 berkurang
T6 Ronchi berada di paru lobus kanan ICS 1 menghilang
46

3. Pemeriksaan Nyeri post fungtie (VAS)

TABEL 3.7

HASIL PENGUKURAN NYERI

Nyeri T0 T1 T2 T3 T4 T5

Nyeri Diam 3,2 3,1 2,5 2,2 1,3 0

Nyeri Tekan 5,1 4,9 4,5 3,7 2,6 1,1

Nyeri Gerak 6,9 6,7 5,7 4,7 3,9 2,5

4. Pemeriksaan Antropometri Sangkar Thorak

TABEL 3.8

HASIL PENGUKURAN EKSPANSI THORAK

Letak T0 T1 T2 T3 T4 T5

Axilla 0,5cm 1cm 1cm 2cm 2cm 2cm

ICS 4 1cm 1cm 1cm 1cm 2cm 2cm

Proc.xyphoideus 1cm 1cm 1cm 1cm 1cm 2cm

5. Pemeriksaan skala ADL dengan MMRC

TABEL 3.9

HASIL PENGUKURAN INDEKS ADL DENGAN MMRC

Skala MMRC T0 T1 T2 T3 T4 T5

4 3 3 2 1 0
47

H. Pembahasan

Pada pasien Ny.S berdasarkan hasil yang ditunjukkan dapat

disimpulkan bahwa terdapat penurunan derajat sesak yang dialami oleh pasien

setelah diberikan tindakan fisioterapi sebanyak lima kali. Di lihat dari hasil skala

Borg modifikasi sebelum dilakukan terapi yaitu dengan nilai 5 dengan

penjelasan sesak yang dirasakan berat dan pada terapi terakhir dengan nilai

1 dengan penjelasan sesak yang dirasakan pasien adalah sesak yang sangat

sedikit. Modalitas yang sesuai untuk mengurangi sesak nafas pada pasien

adalah nebulizer. Modalitas nebulizer ini bekerja dengan mengubah larutan atau

obat cair menjadi aerosol yang bertujuan untuk mengurangi obstruksi jalan nafas

pada pasien asma. Ultrasonik nebulizer mengguncang tabung berisi cairan

dalam posisi tegak, memecah lapisan permukaan menjadi partikel-partikel

kecil ke udara. Partikel tersebut kemudian dapat dihirup melalui hidung dan

langsung masuk ke dalam paru-paru (Ringel, 2012). Aerosol yang dihasilkan

nebulizer berukuran 1-8 µm, hal ini memungkinkan ukuran partikel aerosol

dapat masuk sampai dalam alveolus (Sherwood, 2011). Ukuran partikel yang

dihasilkan nebulizer sangat tepat menuju organ target yaitu bronkus (Roche et al.,

2013). Pada kondisi ini obat yang digunakan adalah menggunakan combivent.

Combivent merupakan obat berisi albuterol (salbutamol) dan ipratropium

bromide. Combivent bekerja dengan cara melebarkan saluran napas bawah

(bronkus). Efek dari pengobatan ini adalah terjadi pelebaran dari pada
48

saluran napas yang menyempit akibat adanya inflamasi bronkus dan

menyebabkan berkurangnya sesak napas yang dirasakan pasien (Francis, 2012).

Pada kasus ini didapatkan hasil bahwa deep breathung exercise dapat

menurunkan nyeri post fungtie. Dari yang T0 nyeri diam 3,2, nyeri tekan 5,1,

nyeri gerak 6,9 dan pada T5 berkurang menjadi nyeri diam 0, nyeri tekan 1,1,

nyeri gerak 2,5 Deep breathing selain dapat meningkatkan volume paru juga dapat

mengurangi nyeri karena dapat memberikan efek rileksasi pada post fungtie

dengan meningkatnya rileksasi pada pasien maka dapat menurunkan nyeri pada

daerah tusukan. Deep breathung exercise yang telah dilakukan pada pasien post

fungtie sesuai dalam teori Smeltzer & Bare (2002) bahwa Deep breathung

exercise akan memberikan respon relaksasi karena saraf parasimpatis akan

teraktivasi dan menurunkan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yag

mempengaruhi tingkat stress dan membuat pasien menjadi tenang tenang serta

napas teratur. Pada saat melakukan napas dalam maka akan merangsang tubuh

melepaskan menghambat transmisi nyeri : serotonin, endorphine dan enfekalin

yang terproduksi dan menghambat mediator nyeri seperti bradikinin,

prostlaglandin. Sehingga stimulus nyeri yang menuju otak tidak menstimulasi

saraf otonom untuk menghasilkan respon stress. Namun akan mengaktifkan

sistem saraf parasimpatis sebagai respon rileksasi.

Dapat kita lihat dari tabel 3.6 di atas, bahwa adanya penurunan

retensi sputum pada pemeriksaan auskultasi dari terapi pertama hingga terapi

terakhir. Pada terapi pertama sputum terletak pada pada paru lobus kanan ICS 2

dan pada terapi terakhir letak sputum pada paru lobus kanan ICS 1 dan suara
49

ronchi yang dihasilkan semakin berkurang bahkan menghilang. Modalitas

yang digunakan untuk mengurangi sputum ini adalah dengan pemberian

ACBT merupakan siklus gabungan dari breathing control, deep breathing

exercise, dan huffing. Dalam hal ini ACBT berperan dalam mengurangi sputum

dimana dengan latihan huffing dapat meningkatkan tidal volume dan membuka

system collateral saluran nafas sehingga sputum mudah dikeluarkan.

Pemeriksaan awal pasien mengalami penurunan ekspansi thoraks

dengan selisih tiap segmen yaitu, pada batas axilla 0,5 cm, ICS IV 1 cm, dan

processus xyphoideus 1 cm. Setelah melakukan latihan segmental breathing

sebanyak 5 kali, didapatkan hasil pasien mengalami peningkatan ekspansi

thoraks. Hasil selisih ekspansi thoraks selama terapi yaitu, T1 dengan selisih pada

batas axilla 1 cm, ICS IV 1 cm, dan processus xyphoideus 1 cm. Hasil T2

yaitu selisih pada batas axilla 1 cm, ICS IV 1 cm, dan processus xyphoideus 1

cm. Hasil T3 yaitu selisih pada batas axilla 2 cm, ICS IV 1 cm, dan

processus xyphoideus 1 cm. Hasil T4 yaitu selisih pada batas axilla 2 cm, ICS

IV 2 cm, dan processus xyphoideus 1 cm. Hasil T5 mengalami peningkatan

yaitu selisih pada batas axilla 2 cm, ICS IV 2 cm, dan processus xyphoideus

2 cm. Adapun mekanisme latihan segmental breathing yaitu pada saat

inspirasi yang dalam mengarah ke fasilitasi kontraksi otot intercostalis yang

menyebabkan peregangan. Kontraksi otot tersebut membantu inspirasi

mengarah ke ekspansi dada dan terjadi peningkatan ekspansi paru. Tujuan

dilakukan segmental breathing untuk meningkatkan pengembangan ekspansi

thoraks dan meningkatkan fungsi paru (Gunjal et al., 2015)


50

Pada awal pemeriksaan pengukuran aktivitas fungsional dengan

MMRC didapatkan hasil T0 yaitu 4, artinya terlalu sesak untuk meninggalkan

rumah atau sesak napas saat berpakaian atau berganti pakaian. Setelah

menjalankan terapi, pada T1 dengan nilai T1: 3, artinya berhenti untuk mengatur

napas setelah berjalan 90 meter atau setelah beberapa menit di permukaan datar,

hal ini dikarenakan kondisi pasien masih dalam sesak nafas berat sehingga

pasien masih kesulitan dalam melakukan aktvitas fungsional. Pada T2 masih

sama yaitu nilai 3. Saat T3 telah mengalami peningkatan aktivitas fungsional

dengan nilai MMRC 2, adalah berjalan lebih lambat pada permukan datar

dibandingkan orang lain yang seusia karena sesak napas atau harus berhenti untuk

mengatur napas ketika berjalan pada kecepatan sendiri di permukaan datar. T4

dengan nilai 1, terganggu sesa napas ketika terburu-buru berjalan di tanah yang

datar atau mendaki tanjakan. Dan pada terapi terakhir T5 telah mengalami

peningkatan aktivitas fungsional dengan nilai MMRC 0, tidak terganggu oleh

sesak kecuali pada keadaan olahraga yang berat. Hal ini dikarenakan sesak nafas

pasien telah berkurang dan nafas lebih terkontrol sehingga aktivitas

fungsional pasien lebih meningkat. Penurunan aktivitas fungsional pada pasien

dapat disebabkan karena adanya sesak nafas. Penanganan fisioterapi dengan

nebulizer, ACBT, dan segmental breathing dapat membantu mengurangi sesak

nafas pasien dan gejala yang lainnya. Nebulizer dengan metode inhalasi mampu

memberikan efek terapi yaitu menghilangkan gejala sesak napas (Goodman

& Gilman, 2010). Berkurangnya gejala seperti sesak nafas berkurang,

peningkatan pengembangan ekspansi thoraks, dan pola pernafasan yang lebih


51

terkontrol, maka dapat memberikan dampak pada peningkatan aktivitas

fungsional.

Anda mungkin juga menyukai