Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan

stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai

dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.

Lebih dari 40% pasien sirosis hepatis asimptomatik dan sering ditemukan

pada waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi (Nurdjanah, 2009).

Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian

(Sutadi, 2003). Sementara di negara maju, sirosis hepatis merupakan penyebab

kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah

penyakit kardiovaskuler dan kanker). Angka kejadian sirosis hepatis dari hasil

otopsi sekitar 2,4% di negara Barat, sedangkan di Amerika diperkirakan 360

per 100.000 penduduk dan menimbulkan sekitar 35.000 kematian pertahun

(Nurdjanah, 2009).

Kejadian di Indonesia menunjukkan bahwa pria lebih banyak dari

wanita (2,4-5:1) (Sihotang, 2010). Walaupun belum ada data resmi nasional

tentang sirosis hepatis di Indonesia, namun dari beberapa laporan rumah sakit

umum pemerintah di Indonesia secara keseluruhan prevalensi sirosis adalah

3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-

rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat di bangsal. Di

Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak

819 (4%) dari seluruh pasien dibagian penyakit dalam (Nurdjannah, 2009).
2

Penyebab utama sirosis di Amerika adalah hepatitis C (26%), penyakit

hati alkoholik (21%), hepatitis C plus penyakit hati alkoholik (15%),

kriptogenik (18%), hepatitis B yang bersamaan dengan hepatitis D (15%) dan

penyebab lain (5%) (Nurdjannah, 2009). Data WHO (2008) menyebutkan

bahwa diperkirakan 3-4 juta orang terinfeksi dengan virus hepatitis C (VHC)

setiap tahun. Sekitar 130-170 juta orang terinfeksi kronis VHC dan berisiko

menjadi sirosis hepatis dan/atau kanker hati. Infeksi kronis VHC terjadi pada

70-80% pasien dan sekitar 20% pasien infeksi kronis VHC akan berkembang

menjadi sirosis dalam 20 tahun. Ko-infeksi virus hepatitis B diduga dapat

meningkatkan progresivitas infeksi kronis terkait VHC sirosis (Mukherjee,

2012).

Menurut data WHO (2008), pasien dengan infeksi kronis virus

hepatitis B sekitar 25% akan meninggal karena kanker hati atau sirosis karena

infeksi kronisyang dialaminya semenjak anak-anak.Penyebab sirosis hepatis di

Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B dan C. Hasil penelitian di

Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar

40-50% dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak

diketahui, alkohol sebagai penyebab sirosis hepatis di Indonesia mungkin

frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya (Nurdjannah, 2009).

Risiko sirosis pada pasien dengan infeksi hepatitis C kronik dapat diperburuk

oleh konsumsi alkohol yang berlebihan (Mukherjee, 2011).

Hati sangat terganggu dengan masuknya zat alkohol (metanol dan

etanol) ke dalam tubuh karena alkohol yang masuk akan dieliminasi oleh hati.

Konsumsi alkohol dapat memperberat kerja hati dan merusak fungsi hati
3

secara perlahan dan terus menerus. Keadaan ini dapat menjadi lebih parah dan

berkembang menjadi sirosis hepatis. Jika penggunaan alkohol dihentikan,

hepatitis alkoholik akan perlahan-lahan membaik dalam beberapa minggu,

kadang-kadang tanpa gejala sisa permanen tetapi sering dengan sirosis sisa

(Mukherjee, 2011).

Menurut Nguyen pada tahun 2011 patogenesis sirosis hepatis terjadi

melalui tiga situasi : (1) sebagai respon imun, dimana virus hepatitis adalah

contoh agen yang menyebabkan sirosis melalui keadaan ini, (2) sebagai bagian

dari proses penyembuhan luka dan (3) sebagai respon terhadap agen yang

memicu fibrogenesis primer, agen tertentu seperti etanol dalam alkohol dapat

menyebabkan fibrogenesis primer dengan secara langsung meningkatkan

transkripsi gen kolagen sehingga meningkatkan jumlah jaringan ikat yang

diekskresikan oleh sel.

Hal ini merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui

kecenderungan progresivitas penyakit hati viral dan non-viral. Dengan

mengetahui hubungan penyakit hati viral dan non-viral dengan tingkat

keparahan sirosis hepatis maka tenaga kesehatan dapat mengetahui

kemungkinan perjalanan penyakit hati viral atau non-viral untuk menjadi

sirosis hepatis juga mengetahui keparahan penyakitnya


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirosis Hepatis

2.1.1. Definisi

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan

adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan

ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan

perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan

jaringan ikat dan nodul tersebut (Nurdjannah, 2009).

2.1.2 Epidemiologi

Lebih dari 40 % pasien serosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis

ditemukan waktu pemeriksaan rutik kesehatan atau pada waktu autopsy.

Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000

penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun

infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan

mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, pravalensi 4%) dan

berakhir dengan sirosis hepatis akibat steatohepatis alkoholik dilaporkan di

0,3% juga. Di Indonesia data pravalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-

laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr.Sardijito Yogyakarta

jumlah pasien sirosis hati bekisar 4,1% dari pasien yang dirawat di bagian

penyakit dalam pada kurun waktu 1 tahun. Di medan dalam kurun waktu 4
5

tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) dari seluruh pasien

dibagian penyakit dalam. (Setiawati et al., 2013).

2.1.3 Etiologi

Penyebab pasti dari sirosis hati sampai sekarang belum jelas, tetapi

sering disebutkan antara lain (Smeltzer & Bare, 2001).

a. Faktor Kekurangan Nutrisi

Menurut Spellberg, Shiff (1998) bahwa di negara Asia faktor

gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hati. Dari

hasil laporan Hadi di dalam simposium Patogenesis sirosis hati di

Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata dari hasil

penelitian makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein

hewani , dan ditemukan 85 % penderita sirosis hati yang berpenghasilan

rendah, yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani,

buruh kasar, mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah

menengah.

b. Hepatitis Virus

Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu

penyebab sirosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh

Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati

kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya

nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah dikenal bahwa

hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih


6

menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang

kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.

c. Zat Hepatotoksik

Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati

akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan

kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut

ialah alkohol.

d. Penyakit Wilson

Suatu penyakit yang jarang ditemukan , biasanya terdapat pada

orang-orang muda dengan ditandai sirosis hati, degenerasi basal ganglia

dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat

kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan

defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum diketahui

dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan tembaga

dalam jaringan hati.

e. Hemokromatosis

Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua

kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:

- Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.

- Kemungkinan didapat setelah lahir, misalnya dijumpai pada

penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi

dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.


7

f. Sebab-Sebab Lain

- Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis

kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap

reaksi dan nekrosis sentrilobuler

- Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran

empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini

lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.

- Penyebab sirosis hati yang tidak diketahui dan digolongkan dalam

sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris. Dari

data yang ada di Indonesia Virus Hepatitis B menyebabkan sirosis

40-50% kasus, sedangkan hepatitis C dalam 30-40%.

Sejumlah 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk disini

kelompok virus yang bukan B atau C.

2.1.4 Patofisiologi

Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis,

konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama.

Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras.

Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan

kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan

merupakan faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan

konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah


8

terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras

dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang

tinggi (Smeltzer & Bare,2001).

Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini

dibanding individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki

kebiasaan meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor

lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia

tertentu (karbon tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau

infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah

dua kali lebih banyak daripada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia

40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).

Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai

oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan selsel hati yang

uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadangkadang disebut sirosis

mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati

lainnya.

Sirosis hepatis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia Barat.

Meskipun terutama disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol, kontributor

utama lainnya adalah hepatitis kronis, penyakit saluran empedu, dan kelebihan

zat besi. Menurut Kumar V et all tahun 2004 Tahap akhir penyakit kronis ini

didefinisikan berdasarkan tiga karakteristik :

1. Bridging fibrous septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut

lebar yang menggantikan lobulus.


9

2. Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi hepatosit, dengan

ukuran bervariasi dari sangat kecil (garis tengah < 3mm, mikronodul)

hingga besar (garis tengah beberapa sentimeter, makronodul).

3. Kerusakan arsitektur hepar keseluruhan.

Beberapa mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain

kematian sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis

pada mulanya berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh

berbagai macam faktor. Sebagai respons terhadap kematian sel-sel hepatosit,

maka tubuh akan melakukan regenerasi terhadap sel-sel yang mati tersebut.

Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal mengandung kolagen

interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta, sekitar vena sentralis, dan

kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan III serta

komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian lobulus dan sel-

sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi pirau vena porta ke

vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses ini pada dasarnya

mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang dengan pertukaran

bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular tekanan tinggi, beraliran

cepat tanpa pertukaran zat terlarut. Secara khusus, perpindahan protein antara

hepatosit dan plasma akan sangat terganggu. (Kumar V et all, 2004).

Patogenesis sirosis hepatis menurut penelitian terakhir,

memperlihatkan adanya peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan

normal, sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan

matriks ekstraselular dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis


10

menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu

yang berlangsung secara terus menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan

hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen.

Jika proses ini berjalan terus maka fibrosis akan terus berjalan di dalam sel

stelata, dan jaringan hati yang normal akan digantikan jaringan ikat. (Setiawati

et al., 2013).

2.1.5 Manifestasi Klinis

Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara

lain:

a. Splenomegali

Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya

dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam

yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai

akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga

mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni).

Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang

setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila

dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol (noduler).

b. Obstruksi Portal dan Asites

Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang

kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari

organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena porta dan dibawa

ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah


11

yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan

traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini

menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ

tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat

bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung

menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien

secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein

dan menumpuk dirongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini

ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang

cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi

arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang

sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan

tubuh.

c. Varises Gastrointestinal

Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik

juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem

gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke

dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai

akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh

darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen

(kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus

gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan

daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.

Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid


12

tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung

volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh

darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena

itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan

yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih

25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami

hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.

d. Edema

Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang

kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi

predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan

akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

e. Defisiensi Vitamin dan Anemia

Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang

tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda

defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena

hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis

dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak

adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering

menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan

pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu

kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.


13

f. Kemunduran Mental

Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan

ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan

neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku

umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat,

dan pola bicara.

Tabel 2.1 Tanda Klinis Serosis Hati Dan Penyebabnya

Tanda Penyebab

Spider Navi Estradiol meningkat

Palmar erytema Gangguan metabolisme hormon

seks

Osteoartopati hipertropi Chronic proliferative periostitis

Perubahan kuku Hipoalbuminemia

Kontraktur Dupuyutren Poliferasi fibroplastik dan gangguan

deposit kolagen

Ginekomastia Esradiol meningkat

Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau

supresi funngsi hipofise atau

hipotalamus

Ukuran hati (besar, norma, Hipertensi portal

mengecil)

Spenomegali Hipertensi portal

Asites Hipertensi portal


14

Caput medusae Hipertensi portal

Murmur Cruveilhier-Baungarten Hipertensi portal

(bising daerah epigastrium)

Fetor hepaticus Diamethyl sulfide meningkat

Ikterus Bilirubun meningkat

Asterixix/Flapping tremor Ensefalopati hepatikum

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita sirosis hati (Tarigan, P., 2002):

1. Perdarahan varises esophagus

Perdarahan varises esofagus merupakan komplikasi serius yang sering

terjadi akibat hipertensi portal. Duapuluh sampai 40% pasien sirosis

dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka

kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam

waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk menanggulangi

varises ini dengan beberapa cara. Risiko kematian akibat perdarahan

varises esofagus tergantung pada tingkat keparahan dari kondisi hati

dilihat dari ukuran varises, adanya tanda bahaya dari varises dan

keparahan penyakit hati. Penyebab lain perdarahan pada penderita sirosis

hati adalah tukak lambung dan tukak duodeni.

2. Ensefalopati hepatikum

Disebut juga koma hepatikum. Merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat

disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan


15

hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut

sampai koma. Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang

sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama

sekali. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma

hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan

fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan

dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma

hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung,

tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi terhadap

asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.

3. Peritonitis bakterialis spontan

Peritonitis bakterialis spontan yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis

bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien

ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.

4. Sindroma hepatorenal

Keadaan ini terjadi pada penderita penyakit hati kronik lanjut, ditandai

oleh kerusakan fungsi ginjal dan abnormalitas sirkulasi arteri

menyebabkan vasokonstriksi ginjal yang nyata dan penurunan GFR.

Dan dapat terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri, peningkatan

ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.

5. Karsinoma hepatoseluler

Karsinoma hepatoseluler berhubungan erat dengan 3 faktor yang dianggap

merupakan faktor predisposisinya yaitu infeksi virus hepatitis B kronik,

sirosis hati dan hepatokarsinogen dalam makanan. Meskipun prevalensi


16

dan etiologi dari sirosis berbeda-beda di seluruh dunia, namun jelas

bahwa di seluruh negara, karsinoma hepatoseluler sering ditemukan

bersama sirosis, terutama tipe makronoduler.

6. Asites

Penderita sirosis hati disertai hipertensi portal memiliki system pengaturan

volume cairan ekstraseluler yang tidak normal sehingga terjadi retensi air

dan natrium. Asites dapat bersifat ringan, sedang dan berat. Asites berat

dengan jumlah cairan banyak menyebabkan rasa tidak nyaman pada

abdomen sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.

7. Gagal Jantung

Peningkatan luaran jantung dapat disebabkan karena peningkatan

alir balik vena, laju denyut jantung dan kontraktilitas miokard.

Vasodilatasi (resistensi vaskuler sistemik rendah), hubungan arteri vena,

peningkatan volume darah dan aktivitas saraf simpatis selanjutnya

semakin meningkatkan luaran jantung.

Volume darah yang meningkat pada sirosis berat berperan pada

peningkatan luaran jantung yang secara teori dapat membebani jantung.

Kondisi peningkatan luaran jantung dan bertambahnya kerja jantung akan

menimbulkan gagal jantung pada kondisi bukan karena penyakit hati.

Sebaliknya pada sirosis hati terjadi penurunan beban pasca muat ( after

load ) akibat menurunnya resistensi sitemik dan meningkatnya kelenturan

pembuluh darah sehingga kegagalan ventrikel kiri dapat tersembunyi pada

kondisi sirosis.
17

Latar belakang patofisiologi gangguan diastolik pada sirosis adalah

peningkatan kekakuan dinding miokard karena kombinasi hipertrofi

miokard, fibrosis dan edem subendotel. Beberapa penelitian ilmu biomedik

dan klinis menemukan hubungan antara peningkatan kadar asupan natrium

dan hipertrofi miokard karena peningkatan muatan natrium dalam miosit

jantung akan merangsang dinamika sitosol miosit dan terjadi hipertrofi

miosit. Selain itu natrium memperkuat efek fibrogenik aldosteron,

meningkatkan mitosis fibroblas, merangsang produksi sitokin intrakardiak.

Proses ini secara tidak langsung ( melalui mekanisme parakrin- autokrin )

akan merangsang keluarnya endotelin-1 yang bersifat meningkatkan

proliferasi miokard dengan hasil akhir bertambahnya ketebalan dinding

jantung. Penelitian translasional menunjukkan bahwa retensi natrium

berperan dalam hipertrofi miokard. Stres mekanik seperti beban lebih

volume akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin dalam jantung dan

memicu produksi angiotensin II yang akan terikat pada reseptor

angiotensin-1 di miosit jantung lalu terjadi proses intraseluler dengan hasil

akhir hipertrofi miosit jantung.

Disfungsi diastolik ventrikel kiri pada sirosis hati terjadi bila terjadi

penurunan kelenturan ventrikel kiri dan menurunnya kemampuan rileksasi

ventrikel kiri. Pada kondisi peningkatan mendadak beban volume jantung

seperti pemasangan TIPS atau pasca transplantasi hati dengan ventrikel

kiri yang tebal, kaku dan rileksasinya tidak baik dapat menimbulkan gagal

jantung dan edem paru nyata. (Mondrowindoro, 2014).


18

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

a. Urine

Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada

ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine

berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah

terjadi syndrome hepatorenal (Tarigan, P., 2002)

b. Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus,

ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh

darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen

yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman (Tarigan, P.,

2002)

c. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –

kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik

dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah

mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi hipokromik

anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya trombositopeni

(Tarigan, P., 2002)

d. Tes Faal Hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi

penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis

globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap

hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya
19

dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam

darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing

diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.

Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu,

kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk

mendeteksi kelainan hati secara dini (Tarigan, P., 2002)

e. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan

fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography

(PTP) (Nurdjanah, 2009).

f. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di

hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat

ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati

membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat

perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati yang

irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas

nomal (Nurdjanah, 2009).

g. Peritoneoskopi (laparoskopi)

Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati akan

jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang

besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya

tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa (Nurdjanah, 2009).


20

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah:

1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan control

yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein,

lemak secukupnya.

2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :

a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan

penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke

dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori), kandungan

protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat

perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D

penicilamine dan Cochicine.

b. Hemokromatis

Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi

kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu

sebanyak 500cc selama setahun.

c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.

3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul

a. Asites

Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam

sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan

obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton

dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa

dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya


21

edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bilamana

pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan

furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa

ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160

mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.

Pengeluaran asites bias hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan

pemberian albumin.

b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan

melena atau melena saja)

1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk

mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih

berlangsung.

2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg,

nadi diatas 100 x/menit atau Hb dibawah 99% dilakukan

pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/salin dan tranfusi

darah secukupnya.

3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau

normal salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali.

c. Ensefalopati

1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada

hipokalemia.

2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet

sesuai.
22

3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami

perdarahan pada varises.

4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan

infeksi sistemik.

5) Transplantasi hati.

d. Peritonitis bakterial spontan

Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin,

aminoglikosida.

e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatic

Mengatur keseimbangan cairan dan garam.

f. Gagal jantung

Penanganannya serupa dengan penanganan gagal jantung pada

pasien non-sirosis. Tantangannya adalah lebih sulit menurunkan

afterload yang merupakan komponen utama penanganan gagal

jantung, karena pasien sirosis cenderung mengalami hipotensi

arterial. Di samping itu, pemakaian glikosida jantung seperti

digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung, menjadi tidak

efektif. Penghambat β-adrenergik non-selektif seperti propanolol

dapat menurunkan tekanan vena porta dan mencegah perdarahan

varises, dapat juga menghambat pemanjangan interval QT pada

sirosis. Hiperaldosteronisme terjadi pada hampir semua pasien

sirosis dan gagal jantung. Aldosteron dapat menyebabkan fibrosis

dan apoptosis kardiomiosit. Mortalitas pasien gagal jantung dapat

dikurangi dengan menghambat kerja aldosteron menggunakan


23

antagonis aldosteron, spironolakton, dengan dosis non-diuretik (25

mg/hari). (Mulyo, S. 2017)

2.1.9 Prognosis

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor,

meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain

yang menyertai. Prognosis sirosis hati dapat diukur dengan kriteria Child-

Turcotte-Pugh. Kriteria Child-Turcotte-Pugh merupakan modifikasi dari

kriteria Child- Pugh, banyak digunakan oleh para ahli hepatologi saat ini.

Kriteria ini digunakan untuk mengukur derajat kerusakan hati dalam

menegakkan prognosis kasus-kasus kegagalan hati kronik (Nurdjanah,

2009).

Tabel 2.2 Kriteria Child-Turcotte-Pugh


SKOR
PARAMETER
1 2 3
3

Asites - Ringan Sedang-Berat

Ensefalopati - Ringan-Sedang Sedang-Berat

Bilirubin serum (mg/Dl) <2 2-3 >3


Albumin serum (mg/L)
>3,5 2,8-3,5 <2,8
Prothrombin time (detik)
1-3 4-6 >6

Child-Turcotte-Pugh A :5-6 (prognosis baik)

Child-Turcotte-Pugh B : 7-9 (prognosis sedang)

Child-Turcotte-Pugh C : 10-15 (prognosis buruk)


24

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Sirosis hepatis merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis

dimana terjadi fibrosis pada hepar dengan distorsi arsitektur hepar dan

pembentukan nodulnodul degeneratif. Secara klinis sirosis hepatis dibagi

menjadi sirosis kompensata dimana gejala klinisnya belum tampak nyata dan

sirosis dekompensata yang gejala dan tanda klinisnya sudah jelas. Di

Indonesia sirosis hepatis paling banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis

B dan C, tetapi terdapat beberapa etiologi lain meliputi konsumsi alkohol,

kelainan metabolik, kholestasis berkepanjangan, obat-obatan, dan lain-lain.

Hepar memiliki banyak fungsi terutama dalam metabolisme, meliputi

metabolisme karbohidrat, lemak, protein, penyimpanan vitamin, dan

menyimpan besi dalam bentuk ferritin. Pada sirosis hepatis, sel-sel hepatosit

mengalami kematian dan digantikan oleh jaringan fibrotik sehingga fungsinya

pun akan terganggu. Manifestasi klinis dari sirosis akan muncul dikarenakan

kerusakan sel-sel hepar sehingga terjadi kegagalan fungsi hepar dan juga

karena hipertensi portal yang terjadi. Manifestasinya meliputi ikterus, adanya

spider naevi, hipoalbuminemia, ascites, varises esophagus, dan lain-lain.

Diagnosis sirosis hepatis dapat ditunjang dengan pemeriksaan urin,

tinja, darah, tes faal hati, radiologi, USG dan periteonoskopi, dan untuk

pastinya dapat dilakukan biopsi hepar. Sirosis hepatis menimbulkan mortalitas

yang tinggi diakibatkan oleh komplikasi yang ditimbulkan, meliputi


25

hematemesis melena karena pecahnya varises esophagus, peritonitis bakterial

spontan, ensefalopati hepatic, peritonitis bakterialis spontan, sindroma

hepatorenal, karsinoma hepatoseluler, asites, gagal jantung dan lain-lain.

Untuk penatalaksanaannya sendiri meliputi penghindaran terhadap bahan yang

dapat menambah kerusakan hati, diet rendah protein pada ensefalopati hepatic,

diuretic pada ascites, antibiotic pada peritonitis bakteri spontan, dan lain- lain

tergantung dari keadaan pasien. Untuk gagal jantung penanganannya serupa

dengan penanganan gagal jantung pada pasien non-sirosis. Untuk prognosis

dari penyakit ini, dipengaruhi berbagai faktor meliputi etiologi, beratnya

kerusakan hepar, komplikasinya, dan adanya penyakit yang menyertai.


26

DAFTAR PUSTAKA

Kumar V., Cotran R.S., & Robbins S.L. 2004. Hati dan saluran empedu
dalam Robbins Buku Ajar Patologi 7th Edition Volume 2. EGC: Jakarta.

Mukherjee, Sandeep. 2011. Alcoholic Hepatitis. Hal 102

Mulyo S. 2017. Kardiomiopati Sirosis - Diagnosis Dan Tatalaksana. RSUD Siwa


Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Mondrowinduro P. 2014. Disfungsi diastolik ventrikel kiripada pasien serosis


hati:proporsi, kolerasi dan hubunngan parameterfungsi diastolik dengan
derajat fungsi hati. Tesis. Universitas Indonesia.

Nguyen, Tung T., Lingappa, Viswanath R. 2011. Penyakit Hati. In : McPhee,


Stephen J.,Ganong, William F. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC, 453-455.

Nurdjanah S. 2009. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV
jilid II, Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI.,
hal 445-8

Setiawati, S., Alwin, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata , M., Setiohadi, B.,
Syam, A.F. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing.

Smeltzer and Bare .,2001. Keperawatan medikal bedah 2 Edisi 8,Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran (EGC).

Tarigan P., 2002,.Ilmu Penyakit Dalam , Penerbit Gaya Baru, Jakarta.

WHO, 2008. Global Burden of Diseases in 2002. WHO Global Infobase.


http://www.wpro.who.int. Diakses 9 Maret 2011

Anda mungkin juga menyukai