Anda di halaman 1dari 16

PENYAKIT KRONIS DAN STROKE

A. KONSEP PENYAKIT KRONIS


I. Definisi Penyakit Kronis
Kondisi kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang
berhubungan dengan gejala, gangguan, ataupun ketidakmampuan dan membutuhkan manajemen
pengobatan dan perawatan dalam waktu yang lama (≥ 3 bulan).
Kondisi kronis digambarkan sebagai penyakit yang berjalan lama dan mungkin juga tidak
dapat disembuhkan. Karakteristik khas penyakit kronis yang berlangsung lama sering
menimbulkan masalah dalam manajemen pengobatan dan perawatan pasien.
Kondisi kronis memberikan dampak psikososialkultural dan ekonomi bagi pasien dan
keluarga. Reaksi psikologi dan emosional pada kondisi akut dan kronis berbeda. Reaksi ini
umumnya terjadi tidak hanya saat awal kejadian tetapi juga saat gejala berulang terjadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pasien dan keluarga dengan kondisi kronis
antara lain:
a. Kepribadian pasien sebelum memiliki penyakit
b. Sikap pasien dalam memecahkan masalah dan menghadapi kesedihan (duka cita) sebelum
memiliki penyakit
c. Situasi saat penyakit muncul (kejadian) dan dampak perubahan gaya hidup yang terjadi secara
tiba-tiba
d. Konsep keluarga dan individu dalam menghadapi stress
e. Gaya hidup pasien dan keluarga sebelumnya
f. Pengalaman dengan penyakit sebelumnya

II. Karakteristik Kondisi Kronis


Karakteristik efek yang mengikuti perkembangan penyakit kronis, yaitu:
1. Penatalaksanaan penyakit kronis melibatkan seluruh aspek, tidak hanya masalah medis
2. Kondisi kronis akan melewati anyak fase berbeda pada perjalanan penyakit
3. Pengobatan dan perawatan kondisi kronis membutuhkan kepatuhan terhadap manajemen
pengobatan
4. Satu kondisi penyakit kronis dapat menjadi penyebab dari kondisi kronis lainnya
5. Penyakit kronis memberikan dampak pada keluarga
6. Terdapat tanggung jawab besar setiap harinya dalam manajemen perawatan dan pengobatan
pasien dengan penyakit kronisManajemen kondisi kronis merupakan perjalanan yang sangat
panjang
7. manejemen kondisi kronis merupakan proses kolaborasi
8. Manajemen kondisi kronis merupakan sesuatu yang sangat mahal

9. Kondisi kronis merupakan kondisi sulit yang dapat meningkatkan isu etik bagi pasien, tenaga
kesehatan dan sosial
10.Hidup dengan penyakit kronis seperti hidup dengan ketidaktentuan

III. Masalah yang Muncul Selama Kondisi Kronis


Kondisi kronis memberikan dampak pada kehidupan sehari-hari individu dan
keluarganya sebagai bagian dari sosial. Gaya hidup pasien dan keluarga dapat mengalami
perubahan. Perubahan kondisi pada pasien dapat disimpulkan di bawah ini:
a. Fokus pada pencegahan kekambuhan, mengurangi dan manajemen gejala serta
komplikasi
b. Adanya adaptasi psikologi terhadap perubahan kondisi dan ketidakmampuan yang
dialami
c. Fokus pada manajemen pengobatan dan perawatan yang telah ditentukan
d. harga diri dan ideal diri pasien dan fungsi keluarga
e. Usaha untuk mengembalikan dan menormalkan kehidupan individu dan keluarga
f. Hidup dengan batasan waktu (ketidakpastia), isolasi sosial, dan kesendirian
g. Harapan akan kematian dengan martabat dan kenyamanan
Setiap pasien dengan kondisi kronis memiliki pengalaman masing-masing terhadap
gangguan atau ketidakmampuan yang dialami. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon
seseorang terhadap penyakit kronis, yaitu:
 Faktor personal (ex: jenis kelamin, ras, umur, mekanisme koping, dan pengalaman lalu)
 Hubungan dan dukungan lingkungan sosial dan keluarga
 Status sosioal dan ekonomi
 Budaya
 Lingkungan (fisik, sosial, dan politik)
 Aktivitas (ex: kegiatan harian, hiburan, sekolah, dan pekerjaan)
 Tujuan kehidupan individu

IV. Masalah Psikologis pada Kondisi Kronis


Kondisi kronis akan memberikan stress tersendiri pada pasien. Perubahan positif dan
negatif membuat pasien harus adaptasi terhadap kondisinya dan dapat menimbulkan stress
tersendiri. Stress ini berhubungan dengan ancaman yang digambarka oleh individu mengenai
penyakitnya. Beberapa ancaman yang terkadang dirasakan oleh pasien:
 Ancaman untuk kehidupan dan kebaikan kondisi fisik
 Ancaman terhadap integritas tubuh dan kenyamanan sebagai akibat dari penyakit dan
ketidakmampuan, baik itu akibat prosedur diagnostik ataupun pengobatan dan
perawatan
 Ancaman untuk kemandirian

 Ancaman untuk konsep diri dan peran diri


 Ancaman untuk tujuan hidup dan rencana masa depan
 Ancaman untuk hubungan dengan keluarga, teman dan relasi
 Ancaman Ancaman terhadap kemampuan yang dimiliki
 Ancaman untuk ekonomi
Masalah ini dipengaruhi oleh mekanisme koping individu dalam menghadapi
masalah. Mekanisme koping merupakan kemampuan individu untuk dapat menghadapi stress,
masalah, perubahan yang terjadi didalam kehidupannya.

B. KONSEP STROKE

I. Definisi Stroke

Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh

gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat menimbulkan

cacat atau kematian.

Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD)

dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai

penyakit akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO).


Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan otak
(brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas).

II. Anatomi Pembuluh Darah Otak

Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal

sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah

neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda.

Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh

total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah

arterial (Gambar 2.1.).

Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari

darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat

darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis

(kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi

arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke

bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya

sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior

membentuk suatu sirkulus willisi

Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari

otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai

area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat bicara sensoris,

sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta

batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ

Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan kelumpuhan pada

anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan

darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena adanya serangan stroke.

III. Klasifikasi Stroke

a. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik

Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan

proses patologik (kausal):

a. Berdasarkan manifestasi klinik:

i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)


Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan

menghilang dalam waktu 24 jam.

ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit

(RIND)

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari

24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.

iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)

Gejala neurologik makin lama makin berat.

iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)

Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

b. Berdasarkan Kausal:

i. Stroke Trombotik

Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah di

otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan pembuluh

darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi akibat

aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang cepat.

Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya

kadar kolesterol jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada

pembuluh darah kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah

arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator

penyakit aterosklerosis.

ii. Stroke Emboli/Non Trombotik

Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau lapisan lemak

yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah yang

mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.

b. Gejala Non Hemoragik


Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak

bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan

peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:

a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.

i. Buta mendadak (amaurosis fugaks).

ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila

gangguan terletak pada sisi dominan.

iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan

dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.

b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.

i. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.

ii. Gangguan mental.

iii. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.

iv. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.

v. Bisa terjadi kejang-kejang.

c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.

i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih ringan. Bila

tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.

ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.

iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).

d.Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.

i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.

ii. Meningkatnya refleks tendon.

iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.

iv. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor), kepala berputar

(vertigo).

v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).


vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara sehingga pasien

sulit bicara (disatria).

vii. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran secara

lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya ingat

terhadap lingkungan (disorientasi).

viii.Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah bola

mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata (ptosis),

kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang pada belahan

kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).

ix. Gangguan pendengaran.

x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.

e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior

i. Koma

ii. Hemiparesis kontra lateral.

iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia).

iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.

f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur

i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi dua

yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara, mengeluarkan

isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara

kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia sensorik

adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang lain, namun masih

mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar, walau sebagian diantaranya

tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak.

ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak.

Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu Verbal

alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat membaca huruf.


Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf, tetapi masih dapat

membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.

iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan otak.

iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka setelah

terjadinya kerusakan otak.

v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah

tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan

gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan tertentu.

Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh

menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat

jarinya).

vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan

melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.

vii. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat

kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan yang

menyebabkan terjadinya gangguan bicara.

viii.Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma capitis,

infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa di otak.

ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah

kemampuan.

IV. Diagnosis Stroke Non Hemoragik

Diagnosis didasarkan atas hasil:

a. Penemuan Klinis

i. Anamnesis

Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang mendadak. Tanpa

trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke.

ii. Pemeriksaan Fisik


Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti hipertensi,

kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya.

b. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium

i. Pemeriksaan Neuro-Radiologik

Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu diagnosis

dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase akut. Angiografi

serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan gambaran yang jelas

tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila scan tak jelas. Pemeriksaan

likuor serebrospinalis, seringkali dapat

membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan intraserebral

(PIS) maupun perdarahan subarakhnoid (PSA).

ii. Pemeriksaan lain-lain

Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan darah rutin

(Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila perlu gambaran

darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit, Doppler, Elektrokardiografi

(EKG).

V. Stroke Hemoragik

Klasifikasi Stroke Hemoragik

Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of Diseases and

Related Health Problem 10th Revision, stroke hemoragik dibagi atas:

a. Perdarahan Intraserebral (PIS)

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari

pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.

Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab

lainnya adalah aneurisma kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti

hemofilia, leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa dalam

otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis serebrovaskular.

b. Perdarahan Subarakhnoidal (PSA)


Perdarahan Subarakhnoidal (PSA) adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke

dalam ruangan subarakhnoidal. Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma

(50%), pecahnya malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari PIS (20%)

dan 25% kausanya tidak diketahui.

c. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat robeknya vena

jembatan ( bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan

sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya araknoidea.

2.4.2. Gejala Stroke Hemoragik

a. Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS)

Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah: nyeri kepala

berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga subarakhnoid pada pemeriksaan

pungsi lumbal merupakan gejala penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang

hari, waktu beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan

cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam,

dan 12% terjadi setelah 3 jam).

b. Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)

Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat, nyeri di leher dan

punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan

dengan pemeriksaan kaku kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi

rangsangan selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi

saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila

berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah disertai

peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG.

c. Gejala Perdarahan Subdural

Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri kepala, tajam

penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisit neurologik

daerah otak yang tertekan. Gejala ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-

bulan setelah terjadinya trauma kepala.


Diagnosis Stroke Hemoragik

a. Perdarahan Intraserebral (PIS)

Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil pemeriksaan.

Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Computerized Tomography

Scanning (CT-Scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Elektrokardiografi

(EKG), Elektroensefalografi (EEG), Ultrasonografi (USG), dan Angiografi

cerebral.

b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)

Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan tambahan

dapat dilakukan dengan Multislices CT-Angiografi, MR Angiografi atau Digital

Substraction Angiography (DSA).

c. Perdarahan Subdural

Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan yaitu dilakukan foto tengkorak antero-

posterior dengan sisi daerah trauma. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan CT-

Scan dan EEG.

VI . Faktor risiko stroke

Faktor risiko stroke terdiri dari dua kategori, yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:

i. Usia

Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setiap penambahan usia

tiga tahun akan meningkatkan risiko stroke sebesar 11-20%. Dari

semua stroke, orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko paling

tinggi yaitu 71%, sedangkan 25% terjadi pada orang yang berusia 65-45 tahun,

dan 4% terjadi pada orang berusia <45 tahun.12

Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan

desain case control, umur berpengaruh terhadap terjadinya stroke dimana pada
kelompok umur ≥45 tahun risiko terkena stroke dengan OR: 9,451 kali

dibandingkan kelompok umur < 45 tahun.23

ii. Jenis Kelamin

Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata laki-laki banyak

menderita stroke dibandingkan perempuan.3 Insiden stroke 1,25 kali lebih


besar pada laki-laki dibanding perempuan.11
iii. Ras/bangsa

Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada orang kulit putih.

Hal ini disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan gaya hidup. 3 Pada tahun

2004 di Amerika terdapat penderita stroke pada laki-laki yang berkulit putih

sebesar 37,1% dan yang berkulit hitam sebesar 62,9% sedangkan pada wanita

yang berkulit putih sebesar 41,3% dan yang berkulit hitam sebesar 58,7%.

iv. Hereditas

Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi,

jantung, diabetes dan kelainan pembuluh darah. Riwayat stroke dalam

keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah mengalami

stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko

terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-
2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar
29,3%.
b. Faktor risiko yang dapat dirubah:

i. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi

meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Makin tinggi

tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena terjadinya kerusakan

pada dinding pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya

penyumbatan/perdarahan otak.3 Sebanyak 70% dari orang yang terserang


stroke mempunyai tekanan darah tinggi.6
ii. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat

hipertensi. Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis

(pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap

terjadinya stroke.24 Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam

Malik Medan dengan desain case control, penderita diabetes melitus

mempunyai risiko terkena stroke dengan OR: 3,39. Artinya risiko terjadinya

stroke pada penderita diabetes mellitus 3,39 kali dibandingkan dengan yang

tidak menderita diabetes mellitus.

iii. Penyakit Jantung

Penyakit jantung yang paling sering menyebabkan stroke adalah fibrilasi

atrium/atrial fibrillation (AF), karena memudahkan terjadinya penggumpalan

darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh darah di otak.

Di samping itu juga penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi

otot jantung, pasca operasi jantung juga

memperbesar risiko stroke.3 Fibrilasi atrium yang tidak diobati meningkatkan


risiko stroke 4-7 kali.12
iv. Transient Ischemic Attack (TIA)

Sekitar 1 dari seratus orang dewasa akan mengalami paling sedikit 1 kali

serangan iskemik sesaat (TIA) seumur hidup mereka. Jika diobati dengan

benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini kemudian akan mengalami stroke dalam

3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena

stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama. 12 Risiko TIA untuk terkena
stroke 35-60% dalam waktu lima tahun.24
v. Obesitas

Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes


melitus.3 Obesitas meningkatkan risiko stroke sebesar 15%. Obesitas dapat
meningkatkan hipertensi, jantung, diabetes dan aterosklerosis yang semuanya
akan meningkatkan kemungkinan terkena serangan stroke. 12
vi. Hiperkolesterolemia

Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung meningkatkan faktor risiko,

tingginya kolesterol dapat merusak dinding pembuluh darah dan


juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kolesterol yang tinggi terutama

Low Density Lipoprotein (LDL) akan membentuk plak di dalam pembuluh

darah dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di jantung maupun di otak.

Kadar kolesterol total > 200 mg/dl meningkatkan risiko stroke 1,31-2,9 kali.

vii. Merokok

Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam Malik Medan

dengan desain case control, kebiasaan merokok meningkatkan risiko terkena

stroke sebesar 4 kali.23 Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan

arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada di otak dan jantung), sehingga

merokok mendorong terjadinya aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan

menyebabkan darah mudah menggumpal.

viii.Alkohol

Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme tubuh,

sehingga terjadi dislipidemia, diabetes melitus, mempengaruhi berat badan dan

tekanan darah, dapat merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lain-lain. Semua

ini mempermudah terjadinya stroke. Konsumsi alkohol berlebihan

meningkatkan risiko terkena stroke 2-3 kali.

ix. Stres

Hampir setiap orang pernah mengalami stres. Stres psiokososial dapat

menyebabkan depresi. Jika depresi berkombinasi dengan faktor risiko lain

(misalnya, aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi) dapat

memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko terkena stroke sebesar


2 kali.
x. Penyalahgunaan Obat

Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis suntikan akan

mempermudah terjadinya stroke, akibat dari infeksi dan kerusakan dinding

pembuluh darah otak. Di samping itu, zat narkoba itu sendiri akan

mempengaruhi metabolisme tubuh, sehingga mudah terserang stroke. Hasil

pengumpulan data dari rumah sakit Jakarta tahun 2001 yang menangani
narkoba, didapatkan bahwa lebih dari 50% pengguna narkoba dengan suntikan

berisiko terkena stroke.3

VII. Pencegahan Stroke

Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di Indonesia, upaya yang

dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke yaitu:

a. Pencegahan Primordial

Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko stroke

bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan primordial dapat

dilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya

rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian

masyarakat.

Selain itu, promosi kesehatan lain yang dapat dilakukan adalah program

pendidikan kesehatan masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke

melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.

b. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor risiko stroke bagi

individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas

stroke, antara lain:

a. Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan,

obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya.

b. Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.

c. Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi atrium,

infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit vaskular

aterosklerotik lainnya.

d. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak sayuran, buah-

buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna, minimalkan junk food dan beralih pada

makanan tradisional yang rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak

serta dianjurkan berolah raga secara teratur.

c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke. Pada

tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut

menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah:

a. Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai

obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320

mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit

jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi

koagulopati yang lain.

b. Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit

kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontra indikasi terhadap

asetosal (aspirin).

c. Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat

antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat

hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat

antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti

mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak.

d. Pencegahan Tertier

Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke agar

kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi ketergantungan pada

orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat

dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan diberikan

oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa,

ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta keluarga.

a. Rehabilitasi Fisik

Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu proses

pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah

fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita

seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan

keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi
okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih

kemampuan penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari

seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah

terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam

menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan

orang lain.

b. Rehabilitasi Mental

Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional yang dapat

mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih, mudah tersinggung, tidak

bahagia, murung dan depresi. Masalah emosional yang mereka alami akan

mengakibatkan penderita kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi.

Oleh sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan

konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.

c. Rehabilitasi Sosial

Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu penderita stroke

menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi perubahan gaya hidup, hubungan

perorangan, pekerjaan, dan aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan

memberikan informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan

bantuan sosial.

Anda mungkin juga menyukai