Anda di halaman 1dari 13

SHARING JOURNAL

DRIVING FACTORS OF RETENTION IN CARE AMONG HIV-POSITIVE MSM AND


TRANSWOM IN INDONESIA : A CROSS-SECTIONAL STUDY

LATAR BELAKANG

Pria yang berhubungan seks dengan pria (LSL) dan wanita transgender
(transwomen) secara tidak proporsional terbebani oleh infeksi HIV di seluruh dunia.
Dibandingkan dengan populasi orang dewasa umum, LSL dan transgender memiliki peluang
19 dan 34 kali lebih besar untuk terinfeksi HIV. Di Indonesia, prevalensi HIV di antara LSL
dan “waria” (istilah Indonesia untuk transwomen) cukup besar: prevalensi HIV meningkat
dari 5% pada tahun 2007 menjadi 12% pada tahun 2011 di antara LSL, dan bahkan lebih
tinggi di antara waria pada 24% pada tahun 2007 dan 23 % di 2011.
Mengingat tingginya prevalensi HIV di kalangan LSL dan waria, pemerintah
Indonesia saat ini mendukung strategi "Uji dan Perlakukan". Strategi semacam itu bertujuan
untuk memulai terapi antiretroviral (ART) untuk orang HIV-positif yang memiliki kemungkinan
tinggi untuk menularkan virus ke pasangan seks mereka (karena perilaku berisiko tinggi
mereka) terlepas dari jumlah CD4 mereka, termasuk LSL dan waria. Keberhasilan strategi
ini dievaluasi melalui riam pengobatan HIV, sebuah sistem yang memantau jumlah orang
yang hidup dengan HIV yang terkait dengan perawatan, menerima perawatan medis, tetap
terlibat dalam perawatan; dan mampu menekan virus melalui perawatan. Hubungan
langsung untuk perawatan setelah diagnosis HIV-positif memungkinkan pasien HIV untuk
menerima konseling dan pengobatan yang tepat, yang dapat mencegah lebih lanjut gejala
lanjutan dan penularan HIV. Kedua pasien yang menggunakan terapi antiretroviral (ART)
dan mereka yang tidak harus tetap dipertahankan dalam perawatan. Bagi mereka yang
menggunakan ART, retensi dalam perawatan diperlukan untuk memastikan kepatuhan,
mengelola toksisitas, dan mengatasi kegagalan pengobatan. Bagi mereka yang tidak
memakai ART, keterlibatan teratur dalam perawatan memungkinkan dokter untuk memantau
pasien dan memberikan obat profilaksis dan inisiasi ART satu kali ditunjukkan. Praktik klinis
umum ini membantu pasien mencapai dan mempertahankan penekanan virus, yang
merupakan indikator utama untuk keberhasilan penatalaksanaan infeksi HIV dan dapat
mencegah penularan infeksi HIV secara seksual.
Di antara Odha, umumnya, proporsi orang HIV-positif yang hidup dan menerima ART
setelah satu tahun memulai pengobatan kurang dari 70% pada tahun 2011, dengan mangkir
dari pengobatan pada 19%. Pada 2013, retensi pengobatan HIV selama 12, 24, dan 60
bulan adalah 66%, 62%, dan 44%, masing-masing. Tingkat drop-out ini sebanding dengan
retensi pengobatan populasi LSL dan transwomen HIV-positif di negara lain. Namun, data
spesifik tentang bagaimana LSL dan waria HIV-positif di Indonesia terkait dan dipertahankan
dalam perawatan masih langka. Karena stigma anti-gay dan anti-trans di Indonesia tinggi,
menghubungkan dan mempertahankan kelompok-kelompok yang terstigmatisasi ini untuk
dirawat cenderung lebih buruk daripada orang HIV-positif pada umumnya. Memahami
prevalensi retensi dalam perawatan di antara LSL dan waria karena itu dibenarkan.
Selanjutnya, penelitian yang meneliti faktor-faktor yang memfasilitasi dan
menciptakan hambatan untuk retensi yang tepat dalam perawatan HIV untuk LSL dan waria
di Indonesia dapat membantu menginformasikan intervensi masa depan yang bertujuan
untuk meningkatkan retensi dalam perawatan. Penelitian sebelumnya di negara lain
menunjukkan hambatan umum berikut untuk keterlibatan dalam perawatan HIV di antara
LSL: beban psikologis untuk perawatan HIV; aksesibilitas pengobatan HIV; masalah privasi
dan perawatan; diskriminasi yang dirasakan dari petugas layanan kesehatan; dan
kurangnya bimbingan dan tindak lanjut. Hambatan terhadap akses ART di antara
perempuan transgender terutama terdiri dari ketakutan akan status HIV-positif mereka yang
diungkapkan kepada orang lain; Stigma HIV dalam komunitas transgender sendiri;
penolakan oleh keluarga; isolasi sosial, hilangnya pendapatan subsisten; dan penganiayaan
dalam sistem perawatan kesehatan. Perawatan kesehatan yang peka budaya dan
transgender adalah fasilitator yang kuat untuk keterlibatan dan retensi dalam perawatan.
Memahami bagaimana populasi rentan terkait dan dipertahankan dalam perawatan
HIV sangat penting untuk mencapai hasil klinis yang optimal. Namun, faktor-faktor yang
memungkinkan atau menghambat retensi dalam perawatan di antara LSL dan Waria
Indonesia belum diperiksa. Untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan ini, penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan retensi dalam perawatan HIV di antara LSL dan waria HIV
positif di Indonesia. Penelitian ini juga menyelidiki faktor-faktor penarik retensi dalam
perawatan di antara populasi. Kami menguji faktor-faktor predisposisi, memungkinkan, dan
memperkuat, yang didasarkan pada Model PRECEDE-PROCEED, model teoritis untuk
mengevaluasi perilaku kesehatan psiko-sosiologis.

METODE

Penelitian yang dilakukan oleh Asia Pasifik Menggunakan analisis cross – sectional
pada jaringan penderita dengan AIDS (APN +), pada regional orang dengan AIDS dari 11
negara di Asia Pasifik. Data dikumpulkan dari pewawancara yang sudah terlatih, data di
indonesia dari desember 2012 hingga februari 2013 didapatkan 1.655 orang indonesia yang
hidup dengan HIV. Penelitian ini difokuskan pada MSM dan Waria. Dengan jumlah sampel
sebanyak 298 yang terdiri dari 165 LSL dan 133 Waria. Responden diberikan kuisioner yang
dikembangkan oleh APN +. Kuisioner baku dalam bahasa inggris dan diterjemahkan ke
bahasa indonesia, kemudian kuisioner di terjemahkan lagi ke bahasa inggris untuk
memastikan konsistensi dan kualitasnya.

Partisipan yang direkrut menggunakan metode sampling tertarget, sebuah teknik


yang telah digunakan secara luas untuk penelitian yang kelompok responden yang sulit
dijangkau. Pertama, setidaknya 1 orang dari masing-masing kelompok beresiko tinggi HIV
(termasuk MSM dan waria) telah dipilih untuk masing-masing ditempatkan di tempat
penelitian. Partisipan ini telah diindentifikasi baik melalui hubungan dengan support group
untuk pasien yang hidup dengan HIV di area setempat, atau melalui organisasi berbasis
komunitas disekitarnya. Setiap partisipan disurvey dan kemudian diminta untuk merekrut
partisipan lain di masing-masing penelitian. Proses ini diulang sampai sample terpenuhi
pada masing-masing penelitian.

pencantuman peserta didasarkan pada kriteria inklusi yaitu

- Individu dengan HIV + yang berdomisili di tempat penelitian


- Usia antara 18 – 50 tahun
- tercatat sebagai penderita HIV positif ±3bulan sebelum tanggal wawancara

peserta akan diberitahu tentang tujuan penelitian dan prosedur sebelum survey dengan
menandatangani informed concent selanjutnya akan diwawancara.

Pengukuran

Hasil ukur utama dalam analisa ini adalah retensi dalam perawatan HIV yang diukur
dengan menggunakan pertanyaan sbb : setelah positif HIV, seberapa sering anda
mengunjungi dokter / perawat atau petugas kesehatan ? ( pilihan jawabannya yaitu sekali
seminggu, sebulan sekali, ± 2-3 bulan sekali, setiap 4-6 bulan sekali, atau hanya 7-12 bulan
sekali dan atau hanya ketika sakit saja ). Sebagai informasi tambahan penelitian ini juga
mengukur keterkaitan perawatan dengan menggunakan pertanyaan : setelah terdiagnosis,
berapa lama waktu yang anda perlukan untuk bertemu dokter, perawat atau petugas
kesehatan ? ( Pilihan jawabannya : tepat saat terdiagnosa, pada hari yang sama dituliskan
tahun dan bulannya setelah terdiagnosa atau belum pernah ke layanan kesehatan )

Untuk menjabarkan faktor penentu retensi dalam perawatan HIV, penelitian ini
menganalisis dampak dari faktor yang mempengruhi retensi perawatan HIV yaitu : faktor
predisposisi, yang berdasarkan model PRECEDE – PROCEED. Yang termasuk dalam faktor
predisposisi literasi pengobatan HIV yaitu, jenis obat ART, efek samping ART, kepatuhan
pengobatan, resistensu obat HIV dan yang terkait lainnya. Untuk mengukur skor secara
keseluruhan diaplikasikan menggunakan 25 pertanyaan dengan jawaban benar atau salah
( hasil cron-bach’s alpha = 0.90 skor yang lebih tinggi menunjukan pengetahuan yang lebih
besar). Faktor predisposisi yang lainnya adalah riwayat penyakit dengan pertanyaannya :

- (misalnya dalam 6 bulan terakhir, apakah anda pernah sakit lainnya ? ( jawaban ya /
tidak)
- Apakah pernah terdiagnosa TB setelah positif HIV ? ( ya / tidak )
- Apakah saat ini minum alkohol ? ( ya / tidak )
- Apakah anda menggunakan obat terlarang ? ( ya / tidak )
- Apakah anda merokok ? ( ya / tidak )
- Dalam 6 bulan terakhir apakah anda berhubungan seks dengan pasangan anda /
selain dari pasangan anda ? ( ya / tidak )
- Seberapa sering anda menggunakan kondom saat berhubungan seks ?

Pertanyaan faktor-faktor penunjang yaitu :

Asuransi kesehatan : Apakah anda terdaftar dalam program asuransi kesehatan apapun ?

Anggota organisasi terkait HIV : Apakah anda anggota dari organisasi HIV ?

Penggunaan internet (terkait informasi HIV )

- Apakah anda pernah menggunakan internet untuk mencari informasi terkait HIV ?
( ya / tidak )
- berapa jam dalam seminggu anda menghabiskan waktu di internet ?

Pertanyaan pada faktor pendukung :

Status ART : apakah anda memakai obat ART / HIV sekarang ? ( ya / tidak )

Ungkapan kepada pasangan, keluarga dan orang lain :

- apakah anda pernah mengungkapkan status HIV + anda ke pasangan anda ? (ya /
tidak)
- apakah anda pernah menutupi status HIV + anda ke siapapun kecuali pasangan
anda, anggota keluarga dekat dan dokter anda ? ( ya / tidak )

Stigma dan Diskriminasi : Dalam 12 bulan terakhir seberapa sering anda dikeluarkan dari
kegiatan sosial (secara lisan / dihina, dilecehkan, diancam atau diserang secara fisik
ataupun di tolak dilayanan kesehatan karena status HIV anda) ?

Dukungan sosial diukur dengan menggunakan skala 12 item yang divalidasi yaitu instumen
dukungan sosial dan emosional dari keluarga,teman ( misalnya keluarga saya benar benar
mencoba membantu saya dan saya dapat mengandalkan teman – teman saya ketika saya
salah, ada orang istimewa yang dapat saya berbagi ketika sedih maupun gembira, dengan
pilihan jawaban sangat tidak setuju sampai sangat setuju dengan skor yang tertinggi
menunjukan dukungan sosial yang paling besar.

Karakteristik sosiodemografi yang diukur adalah kelompok resiko ( MSM atau waria ),
usia, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan.

Analisis

Analisa data menggunakan Stata versi 14.0 (Statacorp, College Station, Texas).
Yang pertama diuji adalah perbedaan karakteristik sosiodemografi antara MSM dan Waria,
jaringan dalam pelayanan HIV, dan retensi dalam pelayanan HIV, seperti faktor keaktifan,
kemampuan dan dorongan menggunakan tes chi-square untuk variabel katagorik dan
independent t-test atau mann-whitney u test (bila distribusi data tidak normal) untuk variable
selanjutnya. Kemudian uji hubungan antara karakteristik sosio demografi seperti faktor
predisposing, enabling dan faktor reinforcing, dengan retensi pada pelayanan HIV
menghunakan regresi logistik. Ketika ditemukan bahwa hasil analisa univariat kurang dari
0,20, kami menggabungkan faktor tersebut dalam model multivariabel. Kami menggunakan
regresi logistik multivariabel untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan
retensi pada pelayanan. Kami menggunakan model 4 langkah didalam prosesnya, berdasar
pada model PRECEDE-PROCEED. Kami menambahkan faktor komulatif: pertama kami
menambahkan karakteristik sosio demografi (Model 1), diikuti oleh faktor predisposing
(model 2), faktor enabling (model 3) dan faktor reinforcing (model 4). Asumsi-asumsi untuk
regresi logistik terlah ditemukan (non-collinearity, linearity in the logit, no outliers,
independence of observations).

HASIL

1.Karakteristik Sosio demograf

Karakteristik Total Risk group


MSM WARIA
N % N % N %
Total 298 100 165 55,4 13,3 44,6
Usia (rata-rata) 32,1 7,4 29,9 6,2 34,9 7,8
Tingkat pendidikan
SD atau dibawahnya 14 4,7 2 1,2 12 9,0
SMP 63 21,4 3 1,8 60 45,1
SMA 173 58,1 115 69,7 58 43,6
Perguruan tinggi atau diatasnya 48 16,1 45 27,3 3 2,3
Pendapatan perbulan (dalam Dolar Amerika) 109,1 - 136,4 - 90,9 -
median
Status hubungan
Lajang 231 77,5 129 78,2 102 76,7
Pasangan negatif HIV 28 9,4 15 9,1 13 9,8
Pasangan positif HIV 16 5,4 12 7,3 4 3,0
Pasangan tidak diketahui status HIV 23 7,7 9 5,5 14 10,5
Daerah tempat tinggal
Kota kecil 61 20,5 25 15,2 37 27,1
Kota besar 237 79,5 140 84,8 97 72,9
Daerah perekrutan
Jakarta dan sekitarnya 76 25,5 44 26,7 32 24,1
Bandung dan sekitarnya 148 49,7 91 55,2 57 42,9
Yogyakarta dan Jawa tengah 46 15,4 19 11,5 27 20,3
Kota di luar pulau Jawa 28 9,4 11 6,7 17 12,8
Aktivitas seksual seumur hidup 94 31,5 10 6,1 84 63,2
Injeksi obat-obatan seumur hidup 4 1,3 3 1,8 1 0,8

2.Hubungan dan retensi dalam perawatan HIV

Mayoritas responden (78,5%) terkait dengan perawatan HIV dalam 3 bulan setelah
menerima diagnosis HIV, hal ini tidak berbeda antara LSL dan waria. Hampir dua per tiga
(66,4%) responden memiliki retensi yang cukup dalam perawatan kesehatan (berkunjung ke
fasilitas kesehatan setidaknya sekali setiap tiga bulan sejak didiagnosis HIV). Retensi dalam
perawatan HIV lebih tinggi LSL dibanding waria (72,7% vs 58,7%, masing-masing, p <0,05)

3. Faktor predisposisi, yang memungkinkan dan penguat

Mengenai faktor predisposisi, 67,8% dari peserta didiagnosis dengan HIV lebih dari
12 bulan sebelum survei, 6,4% dilaporkan memiliki masalah kesehatan dalam enam bulan
terakhir, 23,2% melakukan seks yang tidak aman dalam enam bulan terakhir. Dibandingkan
dengan waria, LSL cenderung tidak menggunakan alkohol, menggunakan obat-obatan
terlarang, merokok, dan pernah menderita TB. LSL memiliki literasi pengobatan HIV yang
lebih tinggi daripada waria.

Mengenai faktor yang memungkinkan, hanya 24,8% yang memiliki asuransi


kesehatan. Dibandingkan dengan waria, LSL cenderung memiliki asuransi kesehatan,
menjadi anggota atau berafiliasi dengan organisasi terkait HIV, lebih cenderung
menggunakan ponsel, lebih mungkin untuk mencari informasi HIV melalui internet, dan
memiliki penggunaan internet yang lebih tinggi.

Mengenai faktor-faktor penguat, lebih dari separuh dari semua responden(LSL dan
waria) sudah menggunakan ART (56,4%), dengan LSL lebih kecil dibandingkan dengan
waria yang menggunakan ART. Dibandingkan dengan waria, LSL kurang mungkin untuk
mengungkapkan status HIV mereka di luar keluarga dan pasangan, kurang mungkin
mengalami stigma dan diskriminasi, dan memiliki dukungan sosial yang lebih rendah.
4. Perbedaan univariat untuk retensi dalam perawatan

Retensi dalam perawatan dikaitkan dengan beberapa faktor sosiodemografi,


predisposisi, memungkinkan,dan memperkuat faktor-faktor yang dipertimbangkan. LSL lebih
cenderung memiliki retensi yang memadai (73%) daripada waria (59%). Dibandingkan
dengan mereka yang tidak memadai retensi dalam perawatan, peserta dengan retensi yang
memadai secara signifikan lebih tinggi penghasilan bulanan, dan kecil kemungkinannya
untuk terlibat dalam pekerjaan seks sepanjang hidup mereka.

Dibandingkan dengan mereka yang memiliki retensi tidak adekuat dalam perawatan,
peserta dengan retensi yang memadai cenderung minum alkohol, merokok, dan
berhubungan seks tanpa kondom. Mereka juga lebih tinggi melek pengobatan HIV. Peserta
semacam itu juga lebih mungkin memiliki asuransi kesehatan, lebih mungkin untuk mencari
informasi HIV di internet dan lebih mungkin untuk mendapatkan ART. Lebih jauh lagi mereka
tidak akan mengalami stigma dan diskriminasi tetapi mereka juga mengalami stigma dan
diskriminasi dilaporkan kurang mendapat dukungan sosial.

5. Asosiasi retensi multivariabel dalam perawatan

Tidak ada variabel sosiodemografi yang secara signifikan terkait dengan retensi
dalam perawatan. Setelah disesuaikan untuk sosiodemografi, memiliki masalah kesehatan
apa pun (rasio odds yang disesuaikan [AOR] = 4,45; interval kepercayaan 95% [CI]: 1,05 ±
18,5) dan literasi pengobatan HIV yang lebih tinggi (AOR = 1,12; 95% CI: 1,10 ± 17,9)
secara signifikan terkait dengan kemungkinan lebih tinggi dari retensi yang adekuat dalam
perawatan. Pengendalian untuk sosiodemografi,faktor predisposisi, dan memungkinkan,
menjadi anggota atau berafiliasi dengan Organisasi terkait HIV dikaitkan dengan
kemungkinan lebih rendah dari retensi dalam perawatan (AOR = 0,50; 95% CI: 0,27 ± 0,91).

Faktor penguat, telah menggunakan ART (AOR = 6.00; 95% CI: 2.93 ± 12.3)
dikaitkan dengan kemungkinan retensi yang lebih tinggi dalam perawatan. Responden
mencari informasi HIV di Internet (AOR = 2,15; 95% CI: 1,00 ± 4,59) dan memiliki asuransi
medis (AOR = 2,84; 95% CI: 1,27 ± 6,34) juga dikaitkan dengan kemungkinan retensi yang
lebih tinggi dalam perawatan. Menjadi anggota atau berafiliasi dengan organisasi terkait HIV
tetap ada terkait dengan kemungkinan lebih rendah dari retensi yang adekuat dalam
perawatan (AOR = 0,47; 95% CI: 0,24 ± 0,95), sedangkan memiliki masalah kesehatan atau
literasi pengobatan HIV yang lebih tinggi tidak lagi terkait dengan retensi dalam perawatan di
Model 4.

DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan tingkat hubungan yang tinggi antara perawatan dan
tingkat retensi yang moderat dalam perawatan HIV di antara LSL dan waria HIV positif di
Indonesia. Analisis peneliti menunjukkan bahwa dua faktor predisposisi, yaitu memiliki
masalah kesehatan lain dan tingkat pemahaman yang tinggi dari pengobatan HIV
tampaknya memfasilitasi peluang yang lebih tinggi dari retensi yang adekuat dalam
perawatan di antara peserta penelitian ini, bila memperhitungkan dari karakteristik
sosiodemografi dan faktor yang memungkinkan. Untuk faktor-faktor memungkinkan antara
lain: pencarian informasi HIV menggunakan internet dan memiliki asuransi kesehatan
memfasilitasi timbulnya retensi yang cukup dalam perawatan setelah faktor-faktor penguat
dikendalikan. ART sebagai faktor penguat yang dapat memfasilitasi retensi yang adekuat
dalam perawatan. Sedangkan keterlibatan dengan organisasi terkait HIV tampaknya
menghambat retensi dalam perawatan di antara peserta penelitian ini.
Tingkat hubungan menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hubungan untuk
perawatan antara LSL dan populasi waria dibandingkan dengan kelompok lain di Indonesia.
Selain itu, prevalensi MSM dan waria yang memiliki retensi yang memadai dalam perawatan
HIV pada penelitian ini mirip dengan prevalensi retensi dalam perawatan pada semua orang
HIV-positif di Indonesia yang diambil bersama-sama . akan tetapi proporsi retensi memadai
dalam perawatan pada sampel penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan LSL dan
transgender wanita HIV-positif di lokasi lainnya.
Penelitian ini adalah pengalaman terbaik studi pertama di Indonesia yang
mendokumentasikan retensi dalam perawatan HIV-positif LSL dan waria dan aspek
sosialnya. Sejumlah besar orang dari kelompok-kelompok yang sulit dijangkau
diwawancarai, memungkinkan untuk menangkap keseluruhan pandangan tentang retensi
dalam perawatan di antara kelompok-kelompok ini.
Dalam penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut :
1. Penelitian menggunakan pendekatan sampling non-acak di perkotaan, sehingga
temuan mungkin tidak mewakili seluruh populasi kelompok LSL dan waria di
Indonesia. Penggunaan sampling bertarget yang mirip dengan sampling bola salju
juga dapat membatasi peserta penelitian kami ke jaringan sosial tertentu.
2. MSM dan waria dikumpulkan dalam analisis, sedangkan analisis deskriptif
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok ini berbeda dalam beberapa aspek.
Ukuran sampel, bagaimanapun, terlalu kecil untuk melakukan analisis
subkelompok dengan kekuatan yang memadai. Untuk alasan yang sama peneliti
tidak dapat menentukan peserta berdasarkan waktu diagnosis, yang mungkin
penting karena standar perawatan klinis untuk orang yang baru didiagnosis
dengan HIV mungkin berbeda dengan yang diberikan kepada orang-orang yang
telah hidup dengan HIV lebih lama . Terakhir, penelitian ini tunduk pada keinginan
sosial karena sifat pengumpulan data yang dilaporkan sendiri, meskipun semua
tindakan pencegahan diambil selama data yang dikumpulkan untuk mengurangi
bias ini ke minimum.
Peserta yang memiliki literasi pengobatan HIV yang lebih tinggi dan yang memiliki
masalah kesehatan lainnya lebih mungkin untuk dipertahankan dalam perawatan, tetapi
asosiasi ini tidak berlaku ketika mempertimbangkan status ART. Umumnya pasien HIV
mencari perawatan hanya ketika mereka mengalami gejala penyakit , dan hasil penelitian ini
mengkonfirmasi kecenderungan bahwa peserta yang berada dalam kesehatan yang baik
tidak mencari perawatan kesehatan secara teratur. Temuan peneliti juga mendukung
gagasan bahwa literasi atau pengetahuan yang cukup tentang manfaat pengobatan HIV
dapat meningkatkan motivasi untuk mencari dan bertahan dalam pengobatan. Selama ini
belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan antara pengetahuan dan retensi
dalam perawatan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kurangnya
pengetahuan tentang pengobatan HIV merupakan penghalang untuk tes HIV dan
penggunaan ART .
Pengetahuan tentang perawatan dan pengobatan HIV dapat diperoleh dari berbagai
sumber, termasuk internet. Hasil penelitian menunjukkan hubungan positif antara
menggunakan internet untuk mencari informasi HIV dan retensi yang adekuat dalam
perawatan. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang mengidentifikasi potensi
kuat penggunaan internet untuk orang HIV-positif dalam rangkaian perawatan HIV .
Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa asuransi kesehatan memprediksi
kemungkinan lebih besar dari retensi dalam perawatan HIV. Ini mengisyaratkan bahwa
alasan keuangan dapat menghalangi orang dengan HIV di Indonesia untuk mengakses
layanan HIV secara rutin. Di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, program
biaya untuk layanan dikaitkan dengan kemungkinan yang rendah bahwa orang dengan HIV
akan melanjutkan pengobatan setelah inisiasi ART . Demikian juga, dari tinjauan sistematis
menunjukkan bahwa memiliki asuransi swasta dihubungkan dengan tingkat pemanfaatan
layanan kesehatan yang lebih tinggi oleh orang dengan HIV, bahkan di negara
berpenghasilan tinggi .
Temuan yang mengejutkan dalam penelitian ini adalah bahwa peserta yang
tergabung pada organisasi HIV mempunyai kemungkinan yang kurang untuk dipertahankan
dalam perawatan. Peneliti berasumsi bahwa hubungan semacam itu dapat memberi
dukungan untuk orang dengan HIV, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk
tetap dirawat. Organisasi terkait HIV biasanya memiliki jejaring yang solid dengan layanan
perawatan dan pengobatan HIV lokal , dan dengan demikian akan mendorong orang
dengan HIV untuk dipertahankan secara adekuat . Namun demikian, temuan peneliti
menunjukkan bahwa memiliki dukungan tersebut dapat menjauhkan mereka dari perawatan
kesehatan. Mempertahankan status yang sehat untuk menghindari kunjungan ke dokter
adalah konsep kesehatan dasar di kalangan masyarakat Indonesia karena alasan
keuangan. Ada kemungkinan bahwa peserta dengan dukungan dari organisasi terkait HIV
menganggap diri mereka dalam keadaan sehat dan merasa tidak perlu mengunjungi
perawatan HIV terlalu sering . Dari fenomena ini perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan
retensi untuk perawatan di antara individu-individu ini.
Seperti yang diharapkan, peneliti menemukan bahwa status ART memiliki hubungan
positif dengan retensi dalam perawatan. Ini sejalan dengan penelitian lain yang
menunjukkan hubungan positif antara inisiasi ART dengan retensi dalam perawatan , dan
dengan pemanfaatan layanan kesehatan yang lebih tinggi . Analisis peneliti lebih lanjut
menunjukkan bahwa sekali MSM dan waria yang HIV-positif menggunakan ART, faktor
predisposisi tidak lagi berpengaruh terhadap retensi dalam perawatan. Di Indonesia, orang
yang memakai ART wajib mengunjungi fasilitas perawatan HIV setiap bulan untuk
persediaan pil ART selama satu bulan. Suatu buffer stock hanya akan diberikan jika mereka
memiliki alasan yang dapat diterima, misalnya keluar dari kota. Strategi ini dapat mendorong
Odha untuk mengunjungi perawatan HIV secara teratur.
Peneliti menemukan bahwa penting sekali memastikan bahwa tersedia informasi
yang memadai tentang perawatan HIV secara online . peneliti mengidentifikasi sebagian
besar peserta penelitian adalah pengguna internet, khususnya di antara LSL. Dengan
demikian, internet harus dianggap sebagai salah satu media alternatif untuk meningkatkan
kepatuhan. Mengingat tingginya tingkat penggunaan ponsel, dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan penelitian selanjutnya tentang keefektifan intervensi berbasis ponsel baik melalui
pesan teks] atau aplikasi telepon pintar. Penting juga untuk menjamin bahwa perawatan HIV
terjangkau bagi orang dengan HIV. Sangat penting untuk menurunkan biaya perawatan HIV
atau memberi akses ke program asuransi kesehatan. Sedangkan penggunaan ART
memberikan kemungkinan lebih besar bahwa orang dengan HIV tetap dalam perawatan
HIV, oleh karena itu strategi yang tampaknya tepat adalah dengan memberikan segera ART
pada LSL dan waria yang baru didiagnosis]. Terakhir, lebih banyak pengetahuan diperlukan
untuk memahami bagaimana dukungan organisasi dalam mempengaruhi retensi perawatan
orang dengan HIV di Indonesia.

KESIMPULAN

Hasil kami mengisi kesenjangan pada data tentang dua tahap penting dalam riam
pengobatan HIV, yaitu, keterkaita dan retensi dalam perawatan, khususnya untuk LSL dan
transgender HIV positif di Indonesia Penelitian ini menjelaskan bagaimana karakteristik
sosiodemografi dan determinan sosial mempengaruhi retensi dalam perawatan.
Sebagaimana disoroti dalam penelitian kami, intervensi masa depan harus dilakukan
dengan hati-hati mempertimbangkan hambatan sosial-ekonomi dan budaya dan
menggunakan teknologi berbasis internet untuk meningkatkan retensi dalam perawatan, dan
akhirnya penekanan viral load pada dua populasi rentan ini.

KETERBATASAN PENELITIAN

Pertama, survei menggunakan pendekatan sampling non-acak dalam perkotaan,


sehingga temuan tidak mungkin mewakili seluruh populasi kelompok LSL dan waria di
Indonesia. Penggunaan sampling yang ditargetkan mirip dengan sampling bola salju juga
dapat membatasi peserta penelitian kami ke jejaring sosial tertentu.

Kedua, LSL dan waria dikumpulkan dalam analisis, sementara analisis deskriptif
menunjukkan bahwa kelompok-kelompok ini berbeda pada beberapa aspek. Namun ukuran
sampel terlalu kecil untuk melakukan analisis subkelompok dengan kekuatan yang
memadai. Untuk alasan yang sama kita tidak dapat mensortir peserta berdasarkan waktu
diagnosis, yang mungkin penting karena standar perawatan klinis untuk orang yang baru
didiagnosis dengan HIV mungkin berbeda dari mereka diberikan kepada orang-orang yang
telah hidup dengan HIV lebih lama.

Terakhir, penelitian ini tunduk pada keinginan sosial karena sifat pengumpulan data
yang dilaporkan sendiri, meskipun semua tindakan pencegahan diambil selama data yang
dikumpulkan untuk mengurangi bias sampai minimum.

APLIKASI DI INDONESIA

Perkembangan epidemi HIV/AIDS di dunia telah menjadi masalah global termasuk di


Indonesia. HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1987 di Provinsi Bali.
Hingga saat ini sudah menyebar di 386 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Secara
kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 2016 sebanyak 291.465
kasus, dimana kasus HIV sebanyak 208.909 kasus dan total kasus AIDS di Indonesia
sebanyak 82.556 kasus. Provinsi Jawa Tengah masuk dalam peringkat ke-5 (lima) untuk
kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan HIV/AIDS di Jawa Tengah pada
tahun 1987 sampai dengan tahun 2016 dilaporkan sebanyak 20.132 kasus, dengan HIV
sebanyak 14.690 kasus dan AIDS sebanyak 5.442 kasus. Ancaman HIV/AIDS semakin
serius, dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah penderita kasus baru HIV/AIDS setiap
tahunnya. Dilihat dari banyaknya kasus HIV dan AIDS, diperlukan penanggulangan
secepatnya agar tidak semakin bertambah lagi kasus baru terkait HIV/AIDS. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 74 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV, dilakukan dalam rangka menurunkan hingga
meniadakan infeksi HIV baru, menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan
oleh AIDS, meniadakan diskriminasi terhadap ODHA, meningkatkan kualitas hidup ODHA
dan mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga
dan masyarakat kelompok risti.

Salah satu cara yang dilakukan untuk penanggulangan HIV dan AIDS adalah dengan
deteksi dini untuk mengetahui status seseorang yang sudah terinfeksi virus HIV atau belum
melalui konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, bukan diwajibkan maupun dipaksa. Untuk
menekan jumlah kematian dan menjaga kesehatan penderita maka didirikan pelayanan
Voluntary Counseling and Testing (VCT). Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah
suatu tes darah secara sukarela dan akan dijamin kerahasiaannya dengan informed consent
melalui gabungan konseling (pra-test counseling, testing HIV dan posttest counseling). VCT
merupakan pintu masuk penting untuk pencegahan dan perawatan HIV. Proses konseling
pra-testing, testing HIV dan post-testing secara sukarela dan bersifat confidensial dan lebih
dini membantu orang mengetahui status HIV.

Labelling oleh masyarakat bahwa “waria sebagai pembawa HIV-AIDS”, membawa


pengaruh tersendiri terhadap kehidupan waria. Hal tersebut didasari pada awal mula HIV-
AIDS yang dibawa oleh kaum homoseksual. Cerita selanjutnya bergulir ketika waria dengan
kebiasaan dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya, yaitu sering bergonta-ganti pasangan
dan keluar malam sehingga menjadikan labelling/stigma tersebut berkembang semakin luas.
Hubungan antara profesi yang dijalani waria tidak sejajar dengan pendidikannya pula.
Delapan dari sepuluh waria informan mempunyai mata pencaharian lebih dari satu bidang
pekerjaan. Pekerjaan yang dijalani waria kebanyakan adalah pekerjaan yang dipelajari
secara otodidak, misalnya bekerja di sektor salon, rias pengantin. Informan yang kurang
memperoleh pengalaman, biasanya memilih pekerjaan sebagai PSK (nyebong), untuk
mendapatkan modal usaha

Salah satu faktor yang dapat menginstruksikan hubungan waria dengan HIV-AIDS
adalah pendidikan yang didapatkan waria. Melalui pendidikan sadar HIVAIDS yang
dilakukan berulang-ulang (eksternalisasi), menjadikan para waria sadar akan adanya
bahaya dan dampak yang buruk terhadap kesehatan mereka (objektivasi). Dasar itulah yang
menjadikan waria merasa takut terhadap wabah HIV-AIDS. Waria yang memilih tidak peduli
terhadap HIVAIDS, mereka lebih mengutamakan pengalaman dan usia mereka yang
tergolong masih muda. Tahap eksternalisasi terjadi pada perulangan-perulangan pendidikan
dan pengetahuan yang diperolehnya. Pendidikan yang diperoleh selama ini tidak
menjadikan dia ikut menjaga kesehatannya terhadap AIDS meski dia mengetahui. Pada
tahap objektivasi, dia tetap saja melakukan kegiatan dengan cara yang sama dan tidak
terpengaruh dengan adanya labelling masyarakat. Meskipun dengan cara yang tidak
berubah dalam melayani pelanggan, sebagai PSK dan waria dia ikut menikmati pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh pihak Perwakos kepada anggotanya. Belajar dari
pengalaman, dia tidak pernah menderita sakit akibat berhubungan dan hal tersebut
menjadikannya untuk tetap aktif dalam kegiatannya sebagai PSK tanpa mempedulikan
kesehatannya secara khusus

Dalam upaya menjaga kesehatannya, waria memerlukan pengobatan ekstra. Selain


melakukan pengobatan rutin 3 bulan sekali melalui Perwakos, waria juga melakukan
pengobatan apabila mereka mengalami sakit biasa. Pengobatan yang mereka lakukan
tidaklah sekedar pengobatan di tempat-tempat rujukan bagi waria. Waria, sama seperti
masyarakat pada umumnya bebas memilih tempat dimana mereka hendak berobat. Dalam
pelayanan kesehatan di berbagai tempat tersebut, sikap dan petugas kesehatan belum
tentu sama. Seringkali diskriminasi terjadi ketika beberapa waria melakukan pemeriksaan
dan pengobatan kepada dokter umum. Diskriminasi tersebut misalnya dengan cara ditolak
secara halus, maupun diejek dengan perkataan yang kurang sopan. Tidak semua kalangan
medis melakukan diskriminasi terhadap kalangan waria, ada juga yang beritikad baik
membantu menyembuhkan waria. Para waria memilih melakukan pengobatan kepada
dokter yang mengetahui karakteristik waria. Bagi beberapa orang informan, melakukan
pengobatan di dokter umum mengharuskan mereka untuk memahami situasi dan kondisi
tempat pemeriksaan. Mereka harus bersiap dengan kata-kata yang setidaknya akan
menyinggung diri mereka. Mereka berpendapat jika memeriksakan diri di dokter lain seperti
ada diskriminasi, dengan berbagai alasan. Seringkali diskriminasi terjadi ketika beberapa
waria melakukan pemeriksaan dan pengobatan kepada dokter umum. Diskriminasi tersebut
misalnya dengan cara ditolak secara halus, maupun diejek dengan perkataan yang kurang
sopan. Tidak semua kalangan medis melakukan diskriminasi terhadap kalangan waria, ada
juga yang beritikad baik membantu menyembuhkan waria. Salah satu informan memilih
dokter tertentu yang bisa mengerti waria, atau dokter tetap untuk melakukan pengobatan.
Dia lebih memilih di Pacarkeling, tetangganya. Dia mempunyai dokter langganan dan
kebetulan dokter yang melakukan pemeriksaan tersebut masih termasuk gay, sehingga dia
merasa nyaman melakukan pemeriksaai di tempat tersebut. Dia berpendapat kalau
memeriksakan diri di dokter lain seperti ada diskriminasi, dengan berbagai alasan, ada
alasan tutup atau lain-lain. Dia lebih memilih cari dokter yang tahu karakteristik waria.

Anda mungkin juga menyukai