Dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita scabies ke orang sehat.
Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit dengan kecepatan 2,5cm per menit
untuk mencari tempat menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang sesuai,
tungau menggunakan ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan kulit kemudian
membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Selanjutnya tungau masuk ke dalam kulit
dan membuat terowongan sempit dengan permukaan yang sedikit terangkat dari kulit.
Biasanya tungau betina menggali stratum korneum dalam waktu 30 menit setelah kontak
pertama dengan menyekresikan saliva yang dapat melarutkan kulit.
Pada Eritroderma
Peningkatan perfusi darah kulit muncul pada eritroderma yang menyebabkan disregulasi
temperatur (menyebabkan kehilangan panas dan hipotermia) dan kegagalan output
jantung. Kadar metabolik basal meningkat sebagai kompensasi dari kehilangan suhu
tubuh. Kekurangan barier pada eritroderma ini menyebabkan peningkatan kehilangan
cairan ekstrarenal. Kehilangan cairan transepidermal sangat tinggi ketika proses
pembentukan sisik (scaling) memuncak dan menurun 5-6 hari sebelum sisik menghancur.
Maka resiko kehilangan cairan tubuh dan elektrolit imbalance.
5. Jenis kortikosteroid apa saja? Sebutkan nama obatnya? Indikasi pemberian apa dan
alasannya apa?
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan non spesifik yang terkait dengan mekanisme
yang berbeda dari aksi, termasuk anti-inflamasi, imunosupresif ,antiproliferatif, dan efek
vasokonstriksi. Sebagian besar aksi dari kortikosteroid tersebut di mediasi oleh reseptor
intraseluller yang disebut reseptor glukokortikoid. Reseptor dari glukokortikoid a-isoform
terletak di sitosol, mengikat glukokortikoid, trans lokasi ke wilayah DNA nuklir yang
dikenal sebagai elemen responsive kortikosteroid, dimana mampu merangsang dan
menghambat transkripsi yang berdekatan, sehingga mengatur proses inflamasi. Reseptor
glukokortikoif P-isoform tidak mengikat glukokortikoid ,tetapi mampu mengikat
antiglucocrtikoid/senyawa antiprogestin RU-486 untuk mengatur kerja gen 2 glukortikoid
reseptor B dapat menipiskan aktifasi perpindahan mediasi ligan gen hormon-sensitif oleh
isoform da mengkin menjadi penanda penting dari ketidakpekaan steroid
Kortikosteroid di duga memberikan efek anti inflamasi kuat dengan cara menghambat
pelepasan fosfolipase A2, enzim yang bertanggung jawab untuk pembentukan
prostaglandins, leukotriene, dan turunan lainnya dari jalur asam arakidonat.
Kortikosteroid juga menghambat faktor transkripsi, seperti aktifator protein I dan faktor
nuklir k, yang terlibat dalam aktifasi gen proinflamasi. Gen yang diketahui diregulasi
oleh kortikosteroid dan membawa peran dalam resolusi inflamasi termasuk lipocortin dan
protein p11/mengikat calpactin ,baik yang terlibat dalam pelepasan asam arakidonat.
Lipocortin I menghambat fosfolipase A2, mengurangi pelepasan asam dari asam
arakidonat, kortikosteroid juga mengurangi dari pelepasan interleuikin-1 (IL-1α )
pentingnya sitokin proinflamasi, dari keratinosit. Mekanisme lainnya untuk efek anti-
inflamasi kortikosteroid meliputi penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran
lisosom sel fagosit
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Macam kortikosteroid dan
Nama penyakit
dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg
1. Eritroderma
Pengobatan sistemik yang paling banyak diberikan pada pasien eritroderma
adalah kortikosteroid sistemik yaitu, berupa deksametason oral sebanyak 67 (80,7%) dan
metilprednisolon oral sebanyak 4 (4,8%). Sesuai kepustakaan kortikosteroid sistemik
berguna untuk reaksi hipersensitivitas obat dan dermatitis eksematosa. Ada hal yang perlu
ditekankan bahwa pada kasus kecurigaan yang kuat untuk psoriatik eritroderma
menghalangi penggunaan kortikosteroid sistemik karena adanya risiko untuk flare
rebound. Pemberian steroid sistemik sebaiknya dalam pengawasan yang ketat, karena
adanya efek dari retensi cairan, kemungkinan timbulnya infeksi sekunder, diabetes, dan
meningkatkan tekanan darah, akan tetapi pada kasus berat dan menetap dapat
dipertimbangkan untuk tetap diberikan
2. Pemfigoid bulosa
Pemberian kortikosteroid yang bersifat immunosupresif akan memberikan efek
mempercepat supresi pembentukan lepuh pada pemfigoid bulosa.
Dosis awal prednison adalah 0,75-1,0 mg/kg/hari atau dengan obat yang setara,
namun banyak kepustakaan yang memberikan rentang dosis prednison yaitu 40-60 mg
per hari. Setelah terlihat adanya perbaikan lesi, dapat dilakukan tappering off. Cara yang
sering digunakan adalah penurunan dosis prednison dilakukan 5 mg per minggu untuk
mencapai dosis 30 mg. Efek samping kortikosteroid sistemik meningkat seiring dengan
peningkatan dosis dan lama waktu penggunaan. Beberapa efek samping yang perlu
diwaspadai adalah diabetes melitus, hipertensi, obesitas, psikosis, gangguan mata, ulkus
peptikum, dan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan jangka
panjang pada pasien geriatri perlu lebih diperhatikan karena efek samping yang terjadi
dapat lebih berat. Pada pasien ini diberikan ranitidin untuk mencegah tukak lambung
yang sering muncul akibat terapi kortikosteroid. Pemberian antibiotik pada pasien
bertujuan untuk mengatasi infeksi sekunder. Antihistamin yang diberikan pada pasien ini
untuk mengurangi rasa gatal adalah cetirizine.
3. Pemphigus vulgaris
Pemphigus vulgaris yang parah atau berkembang cepat, memerlukan
kortikosteroid dosis tinggi yang cara pemberiannya tergantung pada keparahan penyakit.
Beberapa bukti menyatakan bahwa kortikosteroid dosis tinggi dapat mengendalikan
akantolisis karena memiliki sifat imunosupresif dan efek langsung antiakantolisis pada
keratinosit. Pasien selama 6 hari pertama dirawat dengan kortikosteroid, yaitu
metilprednisolon 2 x 31.25 mg secara intra vena dan dilanjutkan dalam bentuk tablet.
Metilprednisolon dapat menghambat akantolisis pada kulit yang diinduksi oleh IgG. Area
mukosa pasien diberikan obat oles racikan mengandung prednison sehingga daerah erosi
dan ulserasi teratasi.
4. Morbus Hansen
Kortikosteroid (KS) sistemik menjadi terapi pilihan pada reaksi kusta berat.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa pemberian KS bersama dengan multidrug therapy
(MDT) efektif untuk mengontrol reaksi kusta. Berdasarkan pedoman dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2006, pengobatan reaksi kusta berat
adalah prednison dengan dosis awal 40 mg per hari selama dua minggu, kemudian
diturunkan sebanyak 5-10 mg setiap dua minggu, sampai mencapai dosis 5 mg per hari,
sehingga waktu penggunaan prednison minimal selama 12 minggu.
Selama pengobatan MDT dapat terjadi reaksi. Manajemen reaksi pada anak tidak
berbeda dengan dewasa dan kortikosteroid merupa- kan pilihan yang aman serta efektif
dengan dosis lebih kecil dari dosis dewasa. Prednisolon direkomendasikan WHO untuk
reaksi ENL dengan dosis awal 0,5-1 mg/KgBB/hari, diberikan sampai tercapai perbaikan
secara klinis kemudian diturunkan bertahap 5-10 mg setiap minggu selama 6-8
minggu.Reaksi dapat berulang saat penurunan dosis kortikosteroid. Meskipun
kortikosteroid cukup aman bagi anak dengan berbagai efek sampingnya namun masalah
steroid dependence perlu diperhatikan. Terapi simtomatis seperti misalnya analgesik atau
antipiretik dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri dan demam.
6. Kenapa psoriasis diberikan kortikosteroid sembuh di awal lalu semakin lama semakin
lebar?
Karena terjadi rebound fenomen ketika kortikosteroid dilakukan penurunan dosis
atau pemberhentian untuk kortikosteroid sistemik.
7. Bolehkan psoriasis diberikan kortikosteroid?
Psoriasis tidak boleh diberikan korikosteroid secara oral, hal tersebut
berhubungan dengan reborn fenomen dan gejala akan semakin memburuk setelah
penurunan dosis atau pemberhentian kortikosteroid sistemik, hal ini akan mengakibatkan
pustular psoriasis. Pustular psoriasis adalah gambaran seperti pustule berwarna putih
tetapi tidak mengandung pus, dikelililngi warna kemerahan di sekitarnya. Psoriasis dapat
diberikan kortikosteroid tetapi hanya untuk kortikosteroid topikal dan tidak dalam jangka
panjang.
Pada psoriasis terjadi rekasi hipersensitivitas tipe 3 , sedangkan kerja steroid
dikatakan menekan reaksi inflamasi hipersensitivitas tioe 1 dan tipe 4 Dari patofisiologi
psoriasis di kaitkan juga dengan terjadinya psoriasis dikaitkan dengan reaksi sitokine
disini sel yang paling di kaitkan ada influk dan aktivasi Sel T pada epidermal.
Sedangkan golongan kortikosteroid perananan terhadap replikasi sel .terutama terjjadi
pada sel T sehingga influx sel T di epidermal bertambbah dan mengakibatkan pustular
psoriasis.
8. Kenapa pada dermatitis diberikan moisturizer?
10. Obat-obat apa saja yang menjadi adjuvan untuk menurunkan steroid?
Terapi adjuvan kortikosteroid
A. Azathioprine
Azathioprine dapat menurunkan dosis steroid dan mengurangi efek samping dari steroid.
Pada penelitian yang dilakukan Abered (29 pasien) dengan terapi kombinasi
steroid+azathioprine selama 4-16th, didapatkan 13 pasien (45%) terbebas dari penyakt
dan berhenti mendapatkan terapi selama 132 bulan, 7 pasien (38%) mendapati klinis
mulai membaik akan tetapi titer antibodi masih menurun dan masih mendapatkan terapi
dosis maintenence rendah. Terapi campuran ini efektif dan aman untuk remisi jangka
panjang.
B. Siklosporin
Pada pasien yang mengalami kekambuhan (menggunakan terapi steroid+azathioprine)
diberikan terapi pengganti steroid dan siklosporin dengan dosis 1-3mg/kgbb,
menunjiukkan selama 3,5-5 tahun tidak mengalami kekambuhan. Akan tetapi penelitian
lain menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara penggunaan steroid dan
steroid+siklosporin.
Pada penelitian ini dosis prednisolon yang digunakan 1 mg/kgbb, dilakukan tappering aff
tiap 2 minggu bila didapatkan perubahan sebanyak 80-90%, dosis siklosporin 5mg/kgbb.
Semua pasien mengalami remisi lengkap atau parsial (prednisolon 2,5mg/hari) selama 4-
6 tahun selama pengobatan.
C. Metotrexat
Pada penelitian yang dilakukan 9 pasien yang menggunakan terapi metotrexat dosis
rendah (10-17,5mg/minggu dengan rata-rata 12,2mg/minggu) + prednisolon (3-40mg/hari
dengan rata-arat 20mg/hari) menunjukkan bahwa 6 pasien tidak mengelukhan flare ketika
menghentikan konsumsi steroid selama 6 bulan. Akan tetapi keluhan kembali muncul
ketika pasien berhenti mengkonsumsi selama 23 hari.
D. Agen anti-inflamantori
Dapson menjadi terapi adjuvan yang efektif untuk kortikosteroid, karena memiliki
kemampuan mengurangi pelepasan prostaglandin dan leukotrien, menggangu migrasi
kemotaksis neutrofil, menghambat kepatuhan neutrofil pada membran basal,
menghambat pembentukan radikal toksik dan melindungi sel dari mediasi injury neutrofil
dan eosinofil. Obat tersebut tidak menghentikan proses patogenesis akan tetapi
mengurangi efek anti inflamasi.
Pada peneitian lain, 11 pasien dengan penyakit kulit melepuh karena autoimun
mendapatkan terapi tetrasiklin 2g/hari dan nikotinamid 1,5g/hari, pada 6 pasien 3
diantaranya mengalami remisi lengkap 2 diantaranya mengalami remisi parsial.
E. Mycophenolate Mofetil
Studi baru menunjukkan keuntungan dengan menggunakan obat MMF. Pasien yang
mengalami relaps setelah menggunakan obat steroid+azathioprine, diganti menggunakan
obat MMF 2g/hari selama 12 bulan. Hasil menunjukkan 11 dari 12 pasien tidak
mengalami kekambuhan 2 bulan selama periode lanjutan setelah 12 bulan pengobatan.
Didapatkan 1 pasien mengalami kekambuhan setelah dosis steroid dikurangi.