Anda di halaman 1dari 18

MANAJEMEN KASUS

Gangguan Psikotik pada Epilepsi

Pembimbing:
dr. Tendry Septa, Sp. KJ (K)

Disusun Oleh:
ACHMAD AGUS PURWANTO 1718012125

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Pertama penulis ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
manajemen kasus kasus yang berjudul “Gangguan Psikotik pada Epilepsi”
tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan manajemen kasus ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Tendry Septa Sp. KJ (K) yang
telah meluangkan waktunya untuk kami dalam menyelesaikan manajemen
kasus ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam manajemen
kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga manajemen kasus ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk
penulis, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, April 2019

Penulis

i
REFERAT GANGGUAN MENTAL ORGANIK PADA EPILEPSI

1. PENDAHULUAN

Epilepsi, terutama epilepsi lobus temporalis, diduga merupakan salah satu


kondisi yang memengaruhi system limbik di otak dan mengakibatkan
terjadinya perubahan perilaku. Gangguan mental organic pada epilepsi dapat
diklasifikasikan menurut hubungan waktu terjadinya gejala psikosis dengan
kejang, diantaranya yaitu ada psikosis ictal, psikosis postictal dan psikosis
interiktal. Psikosis interiktal adalah yang paling umum dan dapat menyerupai
skizofrenia. Hal ini merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan untuk dapat
mendiagnosa dan mengelola pasien psikosis pada epilepsi, terutama
mengingat bahwa beberapa obat antipsikotik dapat memperburuk kejang,
sementara beberapa obat antiepilepsi dapat memperburuk gejala psikosis.

The International League Against Epilepsy mendefinisikan epilepsi sebagai


dua atau lebih bangkitan kejang yang terjadi dengan interval lebih dari 24 jam
atau kejang tunggal yang tidak terprovokasi oleh apapun dengan risiko
kekambuhan lebih dari 60%.1 Prevalensi epilepsi sekitar 1% di negara-negara
maju, di Indonesia prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% walaupun satu
dari dua puluh orang di populasi pernah mengalami kejang spenjang
hidupnya. Beberapa individu juga pernah mengalami kejang yang bukan
epilepsi, sering dikatakan sebagai pseudoseizures atau kejang nonepileptik.99

Psikosis adalah kumpulan gejala mulai dari gejala positif (gangguan isi pikir,
delusi dan halusinasi) hingga gejala negatif (Kurangnya kemauan, penarikan
diri dari lingkungan sosial serta hilangnya realitas)

1
Psikosis dapat terjadi pada gangguan kejiwaan primer, seperti skizofrenia,
gangguan afektif dan autisme, atau mungkin sekunder dikarenakan gangguan
organic saraf, seperti epilepsi. Prevalensi seumur hidup dari semua gangguan
psikotik pada populasi umum adalah sekitar 3%. Psikosis berkembang pada
2% -7% orang dengan epilepsi.2

Penelitian kohort menunjukan bahwa orang dengan epilepsi dua kali lebih
mungkin untuk mempunyai gejala skizofrenia dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun jenis kelamin tidak berpengaruh, tapi risiko komorbid
meningkat seiring dengan bertambahnya usia.3

2. FAKTOR RESIKO

Faktor resiko terjadinya gejala psikosis pada epilepsi diantaranya adalah


riwayat psikosis dalam keluarga, onset epilepsi pada usia muda, fokus

2
epileptogenik ada pada lobus temporal, sklerosis hipokampus, riwayat status
epileptikus, lesi anatomic structural pada otak, dan epilepsi yang tidak
terkontrol.3,9 pada sumber lain ditambahkan adanya faktor resiko pada kejang
yang berlanjut kronis atau menahun, jenis kelamin perempuan, tipe kejang
parsial kompleks automatisme, banyaknya frekuensi kejang, abnormalitas
neurologik, ganglioglioma dan hamartoma. Epilepsi lobus temporal muncul
lebih sering berkaitan dengan gejala psikosis daripada epilepsi bentuk lain
dengan prevalensi antara 10% dan 15%.6,7,8

3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Dopamin telah terbukti memiliki peran penting dalam patogenesis skizofrenia


dan psikosis.10 Gejala skizofrenia tanpa adanya kejang berkaitan dengan
penurunan aktivitas dopamin pada daerah korteks dorsolateral dan
ventrolateral prefrontal serta aktivitas yang berlebihan dalam struktur
mesolimbik.11 Penurunan aktivitas dopamine juga dapat menjelaskan
penurunan fungsi kognitif pada skizofrenia, sementara aktivitas yang
berlebihan dalam struktur mesolimbic juga dapat menjelaskan terjadinya
delusi dan halusinasi. 12

Pada epilepsi lobus temporal, terdapat pengurangan kapasitas ikatan dopamin


(dopamine binding capacity) melalui reseptor D2 / D3 di striatum, yang dapat
menghambat koneksi talamokortikal dan meningkatkan hipereksitabilitas
korteks. Sebaliknya, usaha meningkatkan aktivitas dopamin melalui stimulasi
reseptor D2 di otak depan dapat digunakan sebagai jalur obat antiepilepsi,
sedangkan aktivasi selektif reseptor D1 terbukti dapat menurunkan ambang
kejang baik secara klinis maupun pada model binatang.13

Aktivitas dopamin yang berkurang pada korteks prefrontal menunjang


keadaan epilepsi dan skizofrenia. Kedua kondisi tersebut nantinya akan
menyebabkan disregulasi sirkuit dopamine pada korteks mesotemporal dan

3
menjadi potensi untuk mencetuskan adanya bangkiran kejang dan atau
psikosis.

Studi neuroimaging pada skizofrenia didapatkan berkurangnya ketebalan


korteks dari gyrus frontal inferior, yang dapat mencerminkan berkurangnya
aktivitas neuron pada wilayah ini.14 Pada pasien dengan epilepsi dan psikosis,
pencitraan secara anatomik telah menunjukkan beberapa perubahan yang
relevan. Sebagai contoh, didapatkan adanya perubahan volume hipokampus
15 16
dan amigdala berakibat pada perubahan struktur arsitektur mesolimbic.
Penelitian emisi foton tunggal CT (Single-photon emission CT) telah
menunjukkan peningkatan aliran darah pada girus cingulatum posterior pada
kedua keadaan psikosis terkait epilepsi dan skizofrenia.17 Temuan ini penting
dan perlu diperhatikan berkaitan dengan hubungan antara sirkuit limbik dan
prefrontal.

Dominasi gejala negative pada psikosis epilepsi dibandingkan dengan gejala


positif pada schizophrenia dapat diterima sejalan dengan adanya disfungsi di
daerah frontotemporal dan dapat menjadi alasan mengapa psikosis epilepsi
berbeda dari gangguan skizofrenia psikotik primer.

4. DIAGNOSIS

5. PATOGENESIS
Penderita epilepsi memiliki resiko dua kali lipat sampai tiga kali lipat untuk
menjadi psikosis. Psikosis menurut ICD-10 adalah adanya halusinasi, delusi,
dan/atau sejumlah abnormalitas perilaku yang berat seperti kegembiraan
berlebihan dan aktivitas berlebihan, ditandai dengan keterbelakangan
psikomotorik, dan perilaku katatonik. Gangguan pikiran adalah ciri yang

4
menonjol dari psikosis. Seperti yang diketahui, hubungan antara lobus
temporal dan kejang, psikosis yang terjadi dapat dibagi menjadi psikosis
interiktal dan psikosis postiktal (Adachi, 2013).

Menurut Slater et al, psikosis interiktal didefinisikan sebagai psikosis yang


terjadi dalam keadaan kesadaran yang penuh yang terjadi pada seseorang
sebelumnya sudah terdiagnosis dengan epilepsi, dan psikosis tidak eksklusif
selama atau segera setelah kejang. Psikosis interiklal dapat dibagi menjadi :
ringan (pasien menyadari adanya gejala psikotik, tidak menjadi stres dengan
gejala tersebut, dan fungsi psikososial masih baik), sedang (pasien memiliki
gejala psikotik berbeda, hari demi hari fungsinya terganggu, dan terdapat
gangguan fungsi psikososial), berat (pasien dengan gejala psikotik,
gangguan perilaku yang mengganggu dirinya sendiri dan orang lain,
kegagalan fungsi psikososial). Postiktal didefinisikan menjadi dua gejala
klinis yaitu merupakan hubungan kronik dengan kejang dan status mental.
Kronik yang dimaksud adalah episode psikosis yang terbentuk dalam 1
minggu setelah kejang. Adanya interval lucid antara kejang terakhir denagn
dimulainya perubahan keadaan mental. Status mental berkaitan dengan
presentasi psikotik, yaitu adanya delusi atau halusinasi pada kesadaran yang
jernih. Walaupun juga dapat terjadi manik, mood elasi, dan emosi yang labil
(Adachi, 2013).

Pada studi neurobiologi dan neuroanatomi Sirkuit dopamin


memiliki peran yang kuat dalam patogenesis skizofrenia dan
psikosis. Skizofrenia dengan tidak adanya kejang terkait dengan
pengurangan aktifitas dopamin dalam korteks prefrontal
dorsolateral dan ventrolateral dan aktivitas berlebih dalam
struktur mesolimbik. Mekanisme ini juga dapat menjelaskan
defisit kognitif skizofrenia, dan dapat menjelaskan delusi dan
halusinasi positif. Epilepsi lobus temporal mesial,
berkurangnya kapasitas pengikatan dopamin terjadi melalui
reseptor D2 / D3 di striatum, yang dapat menghambat hubungan
thalamokortikal dan meningkatkan hipereksitabilitas kortikal.
Sebaliknya, aktivitas dopamin via stimulasi D2 di otak depan
muncul untuk berperilaku dengan cara seperti antiepilepsi,

5
sedangkan aktivasi reseptor D1 selektif muncul untuk menurunkan
ambang kejang baik secara klinis. Berkurangnya aktivitas
dopamin dalam korteks prefrontal pada epilepsi dan skizofrenia;
sehingga dapat menyebabkan disregulasi sirkuit dopamin
mesiotemporal dan potensi untuk menimbulkan kejang dan / atau
psikosis. Studi neuroimaging pada skizofrenia telah
menunjukkan berkurangnya ketebalan girus kortikal frontal
inferior, yang mungkin mencerminkan aktivitas di bawah wilayah
ini.

Pada pasien dengan epilepsi dan psikosis, struktural studi


pencitraan telah menunjukkan beberapa perubahan yang relevan,
,misalnya perubahan volume di dalam struktur hippocampal dan
amigdala yang terlibat struktur mesolimbik. Emisi foton tunggal
dalam studi CT menunjukkan peningkatan aliran darah di dalam
girus cingulata posterior pada epilepsi terkait psikosis dan
skizofrenia. Dominasi gejala negatif (dibandingkan dengan
gejala positif skizofrenia) mungkin dijelaskan oleh berbagai
tingkat disfungsi di daerah frontotemporal dan mungkin menjadi
alasan mengapa psikosis epilepsi berbeda dari gangguan psikotik
primer skizofrenia (Maguire, Singh, Marson, 2017).
6. KLASIFIKASI KEJANG
Klasifikasi kejang menurut International League Against Epilepsy (2014)
adalah sebagai berikut.
1) Serangan fokal onset
Sebelumnya disebut serangan epilepsi parsial, lesi yang terdapat pada
serangan fokal berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer
serebral. Serangan terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran pasien umumnya masih baik.
a. Kejang motorik fokal
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, tonik (kekauan otot),
atonik (hilangnya tonus secara mendadak), mioklonik (gerakan berkedut),
atau otomatisme (gerakan otomatis seperti mengecapkan bibir, menggosok
tangan, berjalan, atau berlari). Pada kejang motorik, kesadaran pasien masih
baik.
b. Kejang non-motorik fokal

6
Gejala yang timbul beruapa kejang autonom fokal seperti sensasi
gastrointestinal, rasa panas atau dingan, palpitasi, perubahan pernafasan,
atau efek otonom lainnya. Kejang kognitif fokus dapat diidentifikasi sesaat
pasien melaporkan atau menunjukkan defisit dalam bahasa, Déjà vu, Jamais
vu, halusinasi, atau ilusi. Kejang emosional fokus hadir dengan perubahan
emosional, termasuk ketakutan, kegelisahan, agitasi, kemarahan, paranoia,
kesenangan, kegembiraan, ekstasi, tertawa, atau menangis. Kejang sensoris
fokal dapat menghasilkan sensasi somatosensori, penciuman, visual,
pendengaran, gustatory atau sensasi vestibular. Pada kejang non-motorik,
kesadaran pasien menurun.

2) Serangan Umum
Sebelumnya disebut serangan umum primer, lesi yang terdapat pada
serangan umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer
serebral. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran pasien
umumnya menurun.
a. Serangan Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot bilateral diikuti dengan kaku
pada leher. Serangan tonik juga meliputi ekstensi tungkai dan fleksi lengan.
Pasien sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
b. Serangan Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
c. Serangan Tonik-Klonik
Serangan terdiri dari fase tonik (spasme otot) berlanjut menjadi sianosis dan
diikuti fase klonik (sentakan) yang dapat berhubungan dengan menggigit
lidah dan mulut berbusa. Fase tonik berlangsung 10-20 detik dan diikuti
oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama kejang tonik-

7
klonik, kesadaran hilang sebelum atau berserta dengan gerakan kaku dan
menyentak.
d. Serangan Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
e. Serangan Mioklonik-Tonik Klonik
Dimulai dengan beberapa sentakan mioklonik yang diikuti oleh aktivitas
tonik-klonik.
f. Serangan Atonik
Hilangnya tonus mendadak sehingga pasien jatuh di bokong atau jatuh ke
depan lutut dan wajah. Durasi kejang bisa sangat singkat.
g. Serangan Mioklonik-Atonik
Dimulai dengan sentakan tungkai yang singkat diikuti dengan tungkai
lemas.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan metode pengamatan elektrofisiologis untuk
merekam aktivitas listrik dari otak Hal ini biasanya tidak invasif, dengan
elektroda ditempatkan di sepanjang kulit kepala, EEG mengukur fluktuasi
tegangan yang dihasilkan dari arus ionik dalam neuron dari otak. Terdapat
dua bentuk kelainan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti
epilepsi (OAE) (Moshe, 2008).

Rekaman EEG dikatakan abnormal, bila:


1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.

8
2. Irama gelombang tidak teratur dan lebih lambat dibanding
seharusnya.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada keadaan
normal, misalnya gelombang tajam, paku, paku-tajam, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal

(a) (b)
Gambar 1. Perbandingan hasil EEG pada keadaan (a) normal dan (b)
epilepsi

b. Neuroimaging
Neuroimaging atau pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur
otak dengan melengkapi data EEG. Pemeriksaan yang sering digunakan
yaitu Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
(Ruben, 2005).

9
Gambar 2. Subtraction ictal spect coregistred to MRI (Beletsky & Mirsattari,
2011)

8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan dibagi dapat berdasarkan interiktal psikosis atau postikal
psikosis. Pada interiktal psikosis, tidak terdapat pedoman pengobatan khusus,
gejala psikotik sampai sekarang telah dilakukan tatalaksana mengikuti
protokol pengobatan yang skizofrenia primer dan penyakit psikotik terkait.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan target perawatan (Adachi, 2013).

1. Interiktal psikosis
Gejala interiktal psikosis dapat sulit dikelola tergantung dari gejala psikotik
yang terjadi, variasi individu terhadap antipsikotik, potensi pengobatan
untuk konsekuensi yang merugikan pada pengendalian kejang, dan
kepatuhan individu untuk perawatan kejiwaan. Waktu untuk memulai obat
antipsikotik sebaiknya dilakukan segera ketika awal terjadinya gejala
psikotik pada pasien dengan epilepsi. Untuk pemilihan obat antipsikotik,
dibagi menjadi dua kategori, yaitu antipsikotik generasi pertama dan

10
antipsikotik generasi kedua. Antipsikotik generasi pertama (tipikal /
konvensional) seperti golongan butyrophenones (haloperidol, bromperidol),
phenothiazines (klorpromazin, flufenazin, trifluoperazine), benzamides
(sulpirid, sultoprid), dan thiepins (zotepin). Antipsikotik generasi kedua
seperti antagonis serotonin-dopamin (risperidon, perospiron),
dibenzothiazepin (quetiapin, klozapin), multi-target antipsikotik reseptor
(olazapin), dan stabilizer sistem dopamin (aripriprazol). Efek samping yang
dapat ditimbulkan adalah sedasi (mengantuk dan hipersomnia) contohnya
klorpromazin, peningkatan berat badan dan sindrom metabolik contohnya
pada olanzapin, quetapin, risperidon, gangguan kardiovaskular (hipotensi
ortostatik) contohnya zotepin. Hiperprolaktemia dan disfungsi seksual
contohnya haloperidol, risperidon. Gejala ekstrapiramidal (akathasia,
parkinsonisme) contohnya haloperidol. Penggunaan triheksifenidil 4-10 mg
/ hari dapat diberikan untuk bersama untuk mengatasi gejala
ekstrapiramidal. Beberapa obat antiepilepsi seperti carbamazepin, asam
valproate, dan lamotrigin diketahui memiliki efek psikotropika. Namun, ini
terutama untuk afektif bukan untuk gejala psikotik. Obat penenang minor
(terutama golongan benzodiazepin) memiliki beberapa efek antiepileptik
dan psikotropik. Meskipun dosisnya kecil, obat ini dapat menekan
kecemasan, lekas marah, dan kegembiraan psikomotorik, menyebabkan
mengantuk, kehilangan konsentrasi, dan disinhibisi serta potensi
ketergantungan. Perlu diperhatikan bahwa beberapa antipsikotik dapat
menurunkan ambang kejang, contohnya adalah klorpromazin, zotepin,
klozapin, olanzapine, dan quetapin. Pengobatan dilanjutkan untuk terapi
rumatan agar dapat mencegah kekambuhan (Adachi, 2013).

Psikoterapi yang dapat dilakukan untuk interiktal psikosis dapat dilakukan


dengan psikoedukasi, pertolongan diri sendiri dan pengaturan stres, serta
dukungan keluarga, karir, dan relasi (Adachi et al, 2013).
a. Psikoedukasi

11
Hal ini penting bagi pasien untuk mengetahui penyakitnya dan
membutuhkan terapi jangka panjang. Peningkatan kesadaran dan
pemahaman dapat membantu memotivasi untuk melanjutkan pengobatan.
b. Pertolongan diri sendiri dan pengaturan stres
Stres memainkan peran dalam perkembangan interiktal psikosis.
Mekanisme koping yang buruk dapat berpengaruh pada menurunnya
kualitas hidup dan kepercayaan diri.
c. Dukungan keluarga, karir, dan relasi
Dukungan yang baik diantara anggota keluarga, karir, dan lingkungan sosial
dapat membantu pengobatan pasien agar lebih baik.

2. Postictal psychosis
Baik pada tahap awal sebelum postiktal psikosis dan selama
episode, obat penenang umumnya diperlukan, karena tidak hanya
menghentikan perilaku yang tidak pantas secara sosial tetapi
juga bisa menghentikan atau mengurangi gejala psikosis.
Beberapa ahli merekomendasikan benzodiazepin, sedangkan yang
lain lebih suka kombinasi benzodiazepin dan antipsikotik.
Walaupun antipsikotik diketahui menurunkan ambang kejang,
kecuali untuk beberapa pengecualian penting, seperti zotepin
dan clozapin. Umumnya, kebutuhan sedasi lebih diprioritaskan
daripada kemungkinan risiko prokonvulsif. Dalam beberapa kasus
berat, tahap awal dapat dikelola dan dihentikan dengan dosis
benzodiazepin oral yang relatif rendah. Namun, dalam kasus
ekstrim lainnya, obat penenang harus diberikan dengan cepat
dan cukup besar. Tergantung pada seberapa serius dampak yang
merugikan pada pasien dan lingkungannya, dan apakah situasi
rawat inap atau rawat jalan, berbagai kombinasi farmasi
intervensi dapat dipilih, sebagai berikut.
a. Pemberian benzodiazepine oral (misalnya, Lorazepam).
b. Kombinasi benzodiazepine oral dan dopamin-blocker (misalnya,
risperidon, olanzapin, quetiapin, klorpromazin).
c. Pemberian dopamin-blocker intramuskuler (misalnya,
haloperidol plus promethazine).

12
Ketika tanda-tanda yang diamati terbatas untuk suasana hati
yang sedikit meningkat atau lekas marah, pasien harus dalam
pengawasan ketat setidaknya untuk 24 jam ke depan (Adachi,
2013).

13
9. PROGNOSIS
Episode interiktal psikosis umumnya berlangsung lebih lama daripada
postiktal psikosis, dapat berlangsung hingga berbulan-bulan. Episode
psikotik dapat berulang pada interiktal psikosis bahkan dapat menjadi kronik.
Pasien dengan gangguan mental memiliki resiko tinggi untuk mati muda
begitu juga dengan pasien epilepsi, contohnya kematian mendadak, status
epileptikus, bunuh diri, kecelakaan. Untuk postiktal psikosis, setiap
episodenya pada dasarnya adalah kondisi jinak yang sembuh sendiri.
Tindakan sementara seperti pembatasan fisik dengan fiksasi atau sedasi
diperlukan untuk mengatasi perilaku berisiko yang bertujuan melindungi
keselamatan pasien dan orang lain. Dibandingkan dengan interiktal psikosis,
durasi postiktal psikosis jelas lebih pendek. Bahkan menurut penelitian
episodenya terselesaikan dalam 1 bulan Namun demikian, perlu dicatat
bahwa upaya bunuh diri dan tanpa intervensi mungkin ada risiko kematian
yang tinggi. Pada setengah dari pasien yang terkena, postiktal psikosis tetap
sebagai episode tunggal dan setengah lainnya, episodenya cenderung
berulang hingga akhirnya berkembang menjadi psikosis interiktal kronis
(Adachi, 2013).

14
DAFTAR PUSTAKA

Adachi N, Kanemotto K, Toffol B D, Akanuma N, Oshima T, Mohan A et al.


2013. Psychiatric Disorders in Epilepsy. Epilepsia. 54(Suppl. 1): 19-33.

Beletsky V, Mirsattari SM. 2011. Epilepsy, Mental Health Disorder, or Both.


Epilepsy Research and Treatment. 2012:1-12.

Clancy JM, Clarke CM, Connor JD, Cannon M, Cotter RD. 2014. The
Prevalence of Psychosis in Epilepsy: a Systematic Review and Meta-
Analysis. BMC Psychiatry 2014;14: 75

Elger CES. 2008. Modern Management of epilepsy: A practical approach.


Epilepsy; 12:501-39.

ILAE. 2014. Proposal for revised clinical and electroencephalographic


classification of epileptic seizures. USA: Commission on Classification and
Terminology of the International League Against Epilepsy.

Maguire M, Singh J, dan Marson A. 2017. Epilepsy and Psychosis: a pratical


approach. BJM. 18(1). 106-14.

Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas dari PPDGJ
III dan DSM 5. Jakarta: Nuh Jaya; 2013.

Moshe SL, Pedley TA. 2008. Overview: Diagnostic evaluation. Dalam: Engel
J, Pedley TA, editors. Epilepsy. Volume 1. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott Wiliams & Wilkins. hlm. 785–9.

15
Wang Q, Teng P, Luan G. 2017. Schizophrenia-Like Psychosis of Epilepsy:
From Characters to Underlying Mechanisms. Neuropsychiatry (London) S
(1): 10-15.

16

Anda mungkin juga menyukai