Pembimbing:
dr. Tendry Septa, Sp. KJ (K)
Disusun Oleh:
ACHMAD AGUS PURWANTO 1718012125
Pertama penulis ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
manajemen kasus kasus yang berjudul “Gangguan Psikotik pada Epilepsi”
tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan manajemen kasus ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Tendry Septa Sp. KJ (K) yang
telah meluangkan waktunya untuk kami dalam menyelesaikan manajemen
kasus ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam manajemen
kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga manajemen kasus ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk
penulis, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.
Penulis
i
REFERAT GANGGUAN MENTAL ORGANIK PADA EPILEPSI
1. PENDAHULUAN
Psikosis adalah kumpulan gejala mulai dari gejala positif (gangguan isi pikir,
delusi dan halusinasi) hingga gejala negatif (Kurangnya kemauan, penarikan
diri dari lingkungan sosial serta hilangnya realitas)
1
Psikosis dapat terjadi pada gangguan kejiwaan primer, seperti skizofrenia,
gangguan afektif dan autisme, atau mungkin sekunder dikarenakan gangguan
organic saraf, seperti epilepsi. Prevalensi seumur hidup dari semua gangguan
psikotik pada populasi umum adalah sekitar 3%. Psikosis berkembang pada
2% -7% orang dengan epilepsi.2
Penelitian kohort menunjukan bahwa orang dengan epilepsi dua kali lebih
mungkin untuk mempunyai gejala skizofrenia dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun jenis kelamin tidak berpengaruh, tapi risiko komorbid
meningkat seiring dengan bertambahnya usia.3
2. FAKTOR RESIKO
2
epileptogenik ada pada lobus temporal, sklerosis hipokampus, riwayat status
epileptikus, lesi anatomic structural pada otak, dan epilepsi yang tidak
terkontrol.3,9 pada sumber lain ditambahkan adanya faktor resiko pada kejang
yang berlanjut kronis atau menahun, jenis kelamin perempuan, tipe kejang
parsial kompleks automatisme, banyaknya frekuensi kejang, abnormalitas
neurologik, ganglioglioma dan hamartoma. Epilepsi lobus temporal muncul
lebih sering berkaitan dengan gejala psikosis daripada epilepsi bentuk lain
dengan prevalensi antara 10% dan 15%.6,7,8
3
menjadi potensi untuk mencetuskan adanya bangkiran kejang dan atau
psikosis.
4. DIAGNOSIS
5. PATOGENESIS
Penderita epilepsi memiliki resiko dua kali lipat sampai tiga kali lipat untuk
menjadi psikosis. Psikosis menurut ICD-10 adalah adanya halusinasi, delusi,
dan/atau sejumlah abnormalitas perilaku yang berat seperti kegembiraan
berlebihan dan aktivitas berlebihan, ditandai dengan keterbelakangan
psikomotorik, dan perilaku katatonik. Gangguan pikiran adalah ciri yang
4
menonjol dari psikosis. Seperti yang diketahui, hubungan antara lobus
temporal dan kejang, psikosis yang terjadi dapat dibagi menjadi psikosis
interiktal dan psikosis postiktal (Adachi, 2013).
5
sedangkan aktivasi reseptor D1 selektif muncul untuk menurunkan
ambang kejang baik secara klinis. Berkurangnya aktivitas
dopamin dalam korteks prefrontal pada epilepsi dan skizofrenia;
sehingga dapat menyebabkan disregulasi sirkuit dopamin
mesiotemporal dan potensi untuk menimbulkan kejang dan / atau
psikosis. Studi neuroimaging pada skizofrenia telah
menunjukkan berkurangnya ketebalan girus kortikal frontal
inferior, yang mungkin mencerminkan aktivitas di bawah wilayah
ini.
6
Gejala yang timbul beruapa kejang autonom fokal seperti sensasi
gastrointestinal, rasa panas atau dingan, palpitasi, perubahan pernafasan,
atau efek otonom lainnya. Kejang kognitif fokus dapat diidentifikasi sesaat
pasien melaporkan atau menunjukkan defisit dalam bahasa, Déjà vu, Jamais
vu, halusinasi, atau ilusi. Kejang emosional fokus hadir dengan perubahan
emosional, termasuk ketakutan, kegelisahan, agitasi, kemarahan, paranoia,
kesenangan, kegembiraan, ekstasi, tertawa, atau menangis. Kejang sensoris
fokal dapat menghasilkan sensasi somatosensori, penciuman, visual,
pendengaran, gustatory atau sensasi vestibular. Pada kejang non-motorik,
kesadaran pasien menurun.
2) Serangan Umum
Sebelumnya disebut serangan umum primer, lesi yang terdapat pada
serangan umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer
serebral. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran pasien
umumnya menurun.
a. Serangan Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot bilateral diikuti dengan kaku
pada leher. Serangan tonik juga meliputi ekstensi tungkai dan fleksi lengan.
Pasien sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
b. Serangan Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang
yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
c. Serangan Tonik-Klonik
Serangan terdiri dari fase tonik (spasme otot) berlanjut menjadi sianosis dan
diikuti fase klonik (sentakan) yang dapat berhubungan dengan menggigit
lidah dan mulut berbusa. Fase tonik berlangsung 10-20 detik dan diikuti
oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama kejang tonik-
7
klonik, kesadaran hilang sebelum atau berserta dengan gerakan kaku dan
menyentak.
d. Serangan Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat.
Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
e. Serangan Mioklonik-Tonik Klonik
Dimulai dengan beberapa sentakan mioklonik yang diikuti oleh aktivitas
tonik-klonik.
f. Serangan Atonik
Hilangnya tonus mendadak sehingga pasien jatuh di bokong atau jatuh ke
depan lutut dan wajah. Durasi kejang bisa sangat singkat.
g. Serangan Mioklonik-Atonik
Dimulai dengan sentakan tungkai yang singkat diikuti dengan tungkai
lemas.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan metode pengamatan elektrofisiologis untuk
merekam aktivitas listrik dari otak Hal ini biasanya tidak invasif, dengan
elektroda ditempatkan di sepanjang kulit kepala, EEG mengukur fluktuasi
tegangan yang dihasilkan dari arus ionik dalam neuron dari otak. Terdapat
dua bentuk kelainan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti
epilepsi (OAE) (Moshe, 2008).
8
2. Irama gelombang tidak teratur dan lebih lambat dibanding
seharusnya.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada keadaan
normal, misalnya gelombang tajam, paku, paku-tajam, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal
(a) (b)
Gambar 1. Perbandingan hasil EEG pada keadaan (a) normal dan (b)
epilepsi
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur
otak dengan melengkapi data EEG. Pemeriksaan yang sering digunakan
yaitu Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci.
(Ruben, 2005).
9
Gambar 2. Subtraction ictal spect coregistred to MRI (Beletsky & Mirsattari,
2011)
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan dibagi dapat berdasarkan interiktal psikosis atau postikal
psikosis. Pada interiktal psikosis, tidak terdapat pedoman pengobatan khusus,
gejala psikotik sampai sekarang telah dilakukan tatalaksana mengikuti
protokol pengobatan yang skizofrenia primer dan penyakit psikotik terkait.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan target perawatan (Adachi, 2013).
1. Interiktal psikosis
Gejala interiktal psikosis dapat sulit dikelola tergantung dari gejala psikotik
yang terjadi, variasi individu terhadap antipsikotik, potensi pengobatan
untuk konsekuensi yang merugikan pada pengendalian kejang, dan
kepatuhan individu untuk perawatan kejiwaan. Waktu untuk memulai obat
antipsikotik sebaiknya dilakukan segera ketika awal terjadinya gejala
psikotik pada pasien dengan epilepsi. Untuk pemilihan obat antipsikotik,
dibagi menjadi dua kategori, yaitu antipsikotik generasi pertama dan
10
antipsikotik generasi kedua. Antipsikotik generasi pertama (tipikal /
konvensional) seperti golongan butyrophenones (haloperidol, bromperidol),
phenothiazines (klorpromazin, flufenazin, trifluoperazine), benzamides
(sulpirid, sultoprid), dan thiepins (zotepin). Antipsikotik generasi kedua
seperti antagonis serotonin-dopamin (risperidon, perospiron),
dibenzothiazepin (quetiapin, klozapin), multi-target antipsikotik reseptor
(olazapin), dan stabilizer sistem dopamin (aripriprazol). Efek samping yang
dapat ditimbulkan adalah sedasi (mengantuk dan hipersomnia) contohnya
klorpromazin, peningkatan berat badan dan sindrom metabolik contohnya
pada olanzapin, quetapin, risperidon, gangguan kardiovaskular (hipotensi
ortostatik) contohnya zotepin. Hiperprolaktemia dan disfungsi seksual
contohnya haloperidol, risperidon. Gejala ekstrapiramidal (akathasia,
parkinsonisme) contohnya haloperidol. Penggunaan triheksifenidil 4-10 mg
/ hari dapat diberikan untuk bersama untuk mengatasi gejala
ekstrapiramidal. Beberapa obat antiepilepsi seperti carbamazepin, asam
valproate, dan lamotrigin diketahui memiliki efek psikotropika. Namun, ini
terutama untuk afektif bukan untuk gejala psikotik. Obat penenang minor
(terutama golongan benzodiazepin) memiliki beberapa efek antiepileptik
dan psikotropik. Meskipun dosisnya kecil, obat ini dapat menekan
kecemasan, lekas marah, dan kegembiraan psikomotorik, menyebabkan
mengantuk, kehilangan konsentrasi, dan disinhibisi serta potensi
ketergantungan. Perlu diperhatikan bahwa beberapa antipsikotik dapat
menurunkan ambang kejang, contohnya adalah klorpromazin, zotepin,
klozapin, olanzapine, dan quetapin. Pengobatan dilanjutkan untuk terapi
rumatan agar dapat mencegah kekambuhan (Adachi, 2013).
11
Hal ini penting bagi pasien untuk mengetahui penyakitnya dan
membutuhkan terapi jangka panjang. Peningkatan kesadaran dan
pemahaman dapat membantu memotivasi untuk melanjutkan pengobatan.
b. Pertolongan diri sendiri dan pengaturan stres
Stres memainkan peran dalam perkembangan interiktal psikosis.
Mekanisme koping yang buruk dapat berpengaruh pada menurunnya
kualitas hidup dan kepercayaan diri.
c. Dukungan keluarga, karir, dan relasi
Dukungan yang baik diantara anggota keluarga, karir, dan lingkungan sosial
dapat membantu pengobatan pasien agar lebih baik.
2. Postictal psychosis
Baik pada tahap awal sebelum postiktal psikosis dan selama
episode, obat penenang umumnya diperlukan, karena tidak hanya
menghentikan perilaku yang tidak pantas secara sosial tetapi
juga bisa menghentikan atau mengurangi gejala psikosis.
Beberapa ahli merekomendasikan benzodiazepin, sedangkan yang
lain lebih suka kombinasi benzodiazepin dan antipsikotik.
Walaupun antipsikotik diketahui menurunkan ambang kejang,
kecuali untuk beberapa pengecualian penting, seperti zotepin
dan clozapin. Umumnya, kebutuhan sedasi lebih diprioritaskan
daripada kemungkinan risiko prokonvulsif. Dalam beberapa kasus
berat, tahap awal dapat dikelola dan dihentikan dengan dosis
benzodiazepin oral yang relatif rendah. Namun, dalam kasus
ekstrim lainnya, obat penenang harus diberikan dengan cepat
dan cukup besar. Tergantung pada seberapa serius dampak yang
merugikan pada pasien dan lingkungannya, dan apakah situasi
rawat inap atau rawat jalan, berbagai kombinasi farmasi
intervensi dapat dipilih, sebagai berikut.
a. Pemberian benzodiazepine oral (misalnya, Lorazepam).
b. Kombinasi benzodiazepine oral dan dopamin-blocker (misalnya,
risperidon, olanzapin, quetiapin, klorpromazin).
c. Pemberian dopamin-blocker intramuskuler (misalnya,
haloperidol plus promethazine).
12
Ketika tanda-tanda yang diamati terbatas untuk suasana hati
yang sedikit meningkat atau lekas marah, pasien harus dalam
pengawasan ketat setidaknya untuk 24 jam ke depan (Adachi,
2013).
13
9. PROGNOSIS
Episode interiktal psikosis umumnya berlangsung lebih lama daripada
postiktal psikosis, dapat berlangsung hingga berbulan-bulan. Episode
psikotik dapat berulang pada interiktal psikosis bahkan dapat menjadi kronik.
Pasien dengan gangguan mental memiliki resiko tinggi untuk mati muda
begitu juga dengan pasien epilepsi, contohnya kematian mendadak, status
epileptikus, bunuh diri, kecelakaan. Untuk postiktal psikosis, setiap
episodenya pada dasarnya adalah kondisi jinak yang sembuh sendiri.
Tindakan sementara seperti pembatasan fisik dengan fiksasi atau sedasi
diperlukan untuk mengatasi perilaku berisiko yang bertujuan melindungi
keselamatan pasien dan orang lain. Dibandingkan dengan interiktal psikosis,
durasi postiktal psikosis jelas lebih pendek. Bahkan menurut penelitian
episodenya terselesaikan dalam 1 bulan Namun demikian, perlu dicatat
bahwa upaya bunuh diri dan tanpa intervensi mungkin ada risiko kematian
yang tinggi. Pada setengah dari pasien yang terkena, postiktal psikosis tetap
sebagai episode tunggal dan setengah lainnya, episodenya cenderung
berulang hingga akhirnya berkembang menjadi psikosis interiktal kronis
(Adachi, 2013).
14
DAFTAR PUSTAKA
Clancy JM, Clarke CM, Connor JD, Cannon M, Cotter RD. 2014. The
Prevalence of Psychosis in Epilepsy: a Systematic Review and Meta-
Analysis. BMC Psychiatry 2014;14: 75
Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas dari PPDGJ
III dan DSM 5. Jakarta: Nuh Jaya; 2013.
Moshe SL, Pedley TA. 2008. Overview: Diagnostic evaluation. Dalam: Engel
J, Pedley TA, editors. Epilepsy. Volume 1. Edisi ke-2. Philadelphia:
Lippincott Wiliams & Wilkins. hlm. 785–9.
15
Wang Q, Teng P, Luan G. 2017. Schizophrenia-Like Psychosis of Epilepsy:
From Characters to Underlying Mechanisms. Neuropsychiatry (London) S
(1): 10-15.
16