Anda di halaman 1dari 115

BAB III

DAFTAR PANDUAN PRAKTIK KLINIS


KSM BEDAH
BERDASARKAN MASALAH DAN PENYAKIT

III. 1. BEDAH UMUM

1. Apendisitis Akut

Pengertian
Apendisitis akut adalah radang yang timbul secara mendadak pada apendik, merupakan salah
satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui, dan jika tidak ditangani segera dapat
menyebabkan perforasi

Penyebab
1. Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan apendisitis akut
2. Erosi mukosa usus karena parasit Entamoeba hystolitica dan benda asing lainnya

Hasil Anamnesis / Subjective


Keluhan
Nyeri perut kanan bawah, mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa
bila telah terjadi inflamasi (>6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat
somatik.

Gejala Klinis:
1. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus.
2. Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan
dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan.
3. Disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.
4. Obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, timbul
biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.
5. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50C - 38,50C tetapi
bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
6. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam.
Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran
kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada
supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi
pada arteri spermatika dan ureter.

Hasil Pemeriksaan Fisik / Objective


Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+) bila
terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.

1
 Palpasi
1. Terdapat nyeri tekan Mc.Burney
2. Adanya rebound tenderness (nyeri lepas tekan)
3. Adanya defens muscular.
4. Rovsing sign positif
5. Psoas sign positif
6. Obturator Sign positif

 Perkusi
Nyeri ketok (+)

 Auskultasi
Peristaltik normal, peristaltic (-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

Rectal Toucher / Colok dubur


Nyeri tekan pada jam 9-12
Tanda Peritonitis umum (perforasi) :
1. Nyeri seluruh abdomen
2. Pekak hati hilang
3. Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala
sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,50C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)
d. Dehidrasi dan asidosis
e. Distensi
f. Menghilangnya bising usus
g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
h. Rebound tenderness sign
i. Rovsing sign
j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut.

Diagnosis Banding
a. Cholecystitis akut
b. Divertikel Mackelli
c. Enteritis regional
d. Pankreatitis
e. Batu ureter
f. Cystitis
g. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
h. Salphingitis

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium darah perifer lengkap.


a. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil
akan meningkat, walaupun bukan penanda utama.
2
b. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik untuk karakteristik apendisitis akut, akan
ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan
pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%.
c. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan
peritonitis.
d. Penanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CRP? Adakah
di puskesms?.
e. Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan
urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
f. Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan lakukan pengukuran
kadar HCG yakin tidak ada di puskesmas.

2. Foto Polos abdomen


a. Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin
terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi
apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus.
b. Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah
akan kolaps.
c. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah
abdomen kosong dari udara.
d. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain.
e. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga
timbul skoliosis ke kanan.
f. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut. Bila sudah terjadi perforasi, maka
pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang
udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.
g. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak
udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (decubitus), kalsifikasi bercak rim-like
(melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik.
h. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit:
kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis
dengan abses. Belum tentu ada di puskesmas

Komplikasi
1. Perforasi appendix
2. Peritonitis umum
3. Sepsis

Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)/ Terapi


Pasien yang telahterdiagnosisAppendisitis akutharus segera dirujuk ke layanan sekunder untuk
dilakukan operasi cito

3. Non-farmakologis
 Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
 Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut
 Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
 Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya
muntah pada waktu induksi anestesi.
 Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan
pembedahan.
 Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi
abdomen dan mencegah muntah.

4. Tata Laksana Farmakologi:


3
 Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
 Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
 Antibiotik spektrum luas

Edukasi
- Diet rendah serat
- Makan makanan yang berserat
- Defekasi yang teratur

Kriteria Rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito.

Sarana Prasarana
1. Cairan parenteral
2. Antibiotik

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam

Kriteria Pulang
Pasien yang tidak memerlukan operasi cito :
- Mual, muntah berhenti
- Nyeri menghilang dan perut membaik
- Suhu tubuh normal dan membaik
- Nafsu makan membaik
- Sadar sepenuhnya dan dapat berkomunikasi dengan baik

Pada pasien yang memerlukan operasi cito :


- Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan
makanan yang tidak merangsang persitaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain di perut
kanan bawah.
- Tindakan pre operatif, meilputi penderita di rawat, diberikan antibiotik dan kompres untuk
menurunkan suhu penderita, pasien diminta untuk tirabaring dan dipuasakan.
- Tindakan operatif ; appendiktomi.
- Tindakan post operatif, satu laporatomi pasca bedah klien dianjurkan untuk duduk tegak di
tempat tidur seama 2 x 30 menit, han berikutnya makanan lunak dan berdiri tegak di luar
kamar, han ketujuh luka jahitan diangkat, klien pulang.

Referensi
1. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan Anorektum”,
dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
2. Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC. Jakarta.

4
2. PERITONITIS

Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga abdomen dan
organ-organ abdomen di dalamnya). Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam
abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi apendisitis, perforasi tukak
lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ
berongga karena trauma abdomen.

Hasil Anamnesis/ Subjective


Keluhan
 Nyeri hebat pada abdomen yang dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya
di satu tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Intensitas nyeri semakin kuat saat
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.
 Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
 Mual dan muntah timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasiperitoneum.
 Kesulitan bernafas disebabkan oleh adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong
diafragma.

Faktor Risiko:

Hasil Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik
 Pasien tampak letargik dan kesakitan
 Dapat ditemukan adanya demam
 Distensi abdomen disertai nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen
 Adanya defans muskular
 Hipertimpani pada perkusi abdomen
 Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma
 Bising usus menurun atau menghilang
 Rigiditas abdomen atau sering disebut ‟perut papan‟, terjadi akibat kontraksi otot dinding
abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding
abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum.
 Pada rectal toucher akan terasa nyeri di semua arah, dengan tonus muskulus sfingter ani
menurun dan ampula rekti berisi udara.

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik dari tanda-tanda khas yang
ditemukan pada pasien.

Diagnosis Banding : -

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan di layanan primer untuk menghindari keterlambatan
dalam melakukan rujukan.

Komplikasi
1. Septikemia
2. Syok

5
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi
Penatalaksanaan
Pasien segera dirujuk setelah penegakan diagnosis dan penatalaksanaan awal seperti berikut:
- Memperbaiki keadaan umum pasien
- Pasien puasa
- Dekompresi saluran cerna dengan pipa nasogastrik atau intestinal
- Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
- Pemberian antibiotik spektrum luas intravena.
- Tindakan-tindakan menghilangkan nyeri dihindari untuk tidak menyamarkan gejala

Pemeriksaan penunjang lanjutan


Pemeriksaan lainnya untuk persiapan operasi.

Edukasi
Menjaga Kesehatan Saluran Cerna

Kriteria Rujukan
Rujuk ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis bedah.

SaranaPrasarana
Tidak ada sarana prasarana khusus

Prognosis
Prognosis untuk peritonitis adalah dubia ad malam.

Kriteria Pulang
- Pasien Nyaman
- Demam hilang
- Nyeri hilang
- Nutrisi terpenuhi
- Nafsu makan pasien timbul kembali
- Berat badan normal
- Jumlah Hb dan albumin normal
- Haluaran urine adekuat dengat berat jenis normal
- Tanda vital stabil
- Membran mukosa lembab
- Turgor kulit baik
- Pengisian kapiler meningkat
- Berat badan dalam rentang normal
- Pernafasan tetap dalam batas normal
- Pernafasan tidak sulit
- Tidak menggunakan otot bantu nafas
- Wajah rileks

Referensi
1. Wim de jong. Sjamsuhidayat, R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2011.
2. Schwartz. Shires. Spencer. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari Prinsip –
Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2000.
3. Rasad, S. Kartoleksono, S. Ekayuda, I. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik. Jakarta:
Gaya Baru. 1999.3
4. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa abdominal dalam IlmuBedah. Ed7.Alih bahasa dr.
Petrus Lukmanto. Jakarta: EGC. 2000.

6
3. KOLESISTITIS

Pengertian
Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronisdinding kandung empedu. Faktor yang
mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan
iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung
empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu.

Kolesistitis akut tanpa batu merupakan penyakit yang serius dan cenderung timbul setelah
terjadinyacedera,pembedahan, luka bakar, sepsis, penyakit-penyakit yang parah (terutama
penderita yang menerima makanan lewat infus dalam jangka waktu yang lama).

Kolesistitis kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai
dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Penyakit ini lebih sering terjadi
pada wanita dan angka kejadiannya meningkat pada usia diatas 40 tahun.

Hasil Anamnesis/ Subjective


Keluhan :
Kolesistitis akut:
 Demam
 kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium dan teralihkan ke bawah angulus scapula
dexter, bahu kanan atau yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina pectoris, berlangsung
30-60 menit tanpa peredaan, berbeda dengan spasme yang cuma berlangsung singkat pada
kolik bilier.
 Serangan muncul setelah konsumsi makanan besar atau makanan berlemak di malam hari
malam.
 Flatulens dan mual

Kolesistitis kronik :
 Gangguan pencernaan menahun
 Serangan berulang namun tidak mencolok.
 Mual, muntah dan tidak tahan makanan berlemak
 Nyeri perut yang tidak jelas (samar-samar) disertai dengan sendawa.

Faktor risiko
Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik/ Objective


Pemeriksaan Fisik
- Ikterik bila penyebab adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik
- Teraba massa kandung empedu
- Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda murphy positif

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

Diagnosis Banding
1. Angina pectoris
2. Appendisitis akut
3. Ulkus peptikum perforasi
4. Pankreatitis akut
7
Pemeriksaan Penunjang
- Leukositosis

Komplikasi
1. Gangren atau empiema kandung empedu
2. Perforasi kandung empedu
3. Peritonitis umum
4. Abses hati

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk kefasilitas kesehatan sekunder yang memiliki
dokter spesialis penyakit dalam. Penanganan di layanan primer, yaitu:
1. Tirah baring
2. Puasa
3. Pasang infus
4. Pemberian antibiotik :
- Golongan penisilin: ampisilin injeksi 500mg/6jam dan amoksilin 500mg/8jam IV, atau
- Sefalosporin: Cefriaxon 1 gram/ 12 jam, cefotaxime 1 gram/8jam, atau
- Metronidazol 500mg/8jam

Edukasi
Keluarga diminta untuk ikut mendukung pasien untuk menjalani diet rendah lemak dan
menurunkan berat badan.

Rencana Tindak Lanjut


1. Pada pasien yang pernah mengalami serangan kolesistitis akut dan kandung empedunya
belum diangkat kemudian mengurangi asupan lemak dan menurunkan berat badannya harus
dilihat apakah terjadi kolesistitis akut berulang.
2. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk dilakukan pembedahan.

Kriteria rujukan
Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke spesialis penyakit dalam, sedangkan bila
terdapat indikasi untuk pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis bedah.

Sarana Prasarana
Obat-obatan

Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung komplikasi dan beratnya penyakit.

Kriteria Pulang

- Nyeri hilang
- Mual /muntah hilang
- Demam hilang
- Wajah rileks
- Turgor kulit yang baik
- Membran mukosa lembab
- Urine cukup
- TTV stabil
- BB stabil

8
Referensi
1. Soewondo, P. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006:
Hal 1900-2.
2. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM. 2004: Hal 240.

4. LIPOMA

Pengertian
Lipoma adalah Benjolan di kulit.

Hasil Anamnesis/Subjective
Keluhan
Benjolan di kulit tanpa disertai nyeri.
Biasanya tanpa gejala apa-apa (asimptomatik). Hanya dikeluhkan timbulnya benjolan yang
membesar perlahan dalam waktu yang lama. Bisa menimbulkan gejala nyeri jika tumbuh dengan
menekan saraf. Untuk tempat predileksi seperti di leher bisa menimbulkan keluhan menelan dan
sesak.

Faktor Risiko
- Adiposisdolorosis
- Riwayat keluarga dengan lipoma
- Sindrom Gardner
- Usia menengah dan usia lanjut

Hasil Pemeriksaan Fisik/Objective


Pemeriksaan Fisik Patologis
KU: tampak sehat bisa sakit ringan – sedang
Kulit: ditemukan benjolan, teraba empuk, bergerak jika ditekan.

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik
Diagnosis Klinis
Massa bergerak di bawahkulit, bulat, yang memilikikarakteristiklembut, terlihatpucat. Ukuran
diameter kurangdari 6 cm, pertumbuhan sangat lama.

Diagnosis Banding
- Epidermoidkista
- Abses
- Liposarcoma
- Limfadenitis tuberkulosis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lain merupakan pemeriksaan rujukan, seperti biopsi jarum halus.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan
Biasanya Lipoma tidak perlu dilakukan tindakan apapun.
a. Pembedahan Dengan indikasi:kosmetika tanpa keluhan lain. Cara:EksisiLipoma. Dilakukan
sayatan di atas benjolan, lalu mengeluarkan jaringan lipoma
b. Terapi pasca eksisi: antibiotik, anti nyeri Simptomatik: obat anti nyeri

9
Edukasi

- Perhatikan asupan makanan, hindari memakan makanan seperti junk food, makanan
berpemanis buatan, atau bahaya minuman bersoda.
- Ubah gaya hidup tidak sehat, usahakan untuk berolahraga secara teratur. Selain mencegah
terbentuknya gumpalan lemak, dengan olahraga anda juga akan memiliki tubuh bugar secara
menyeluruh.
- Detoksifikasi liver, mengkonsumsi jus buah seperti perasan jeruk, jus apel atau bahkan
menggunakan minuman yang terbuat dari ginseng.
- Perbanyak minum air putih, airputih membantu mengeluarkan racun dalam tubuh

Kriteria rujukan :
 Ukuran massa> 6 cm dengan pertumbuhan yang cepat.
 Ada gejala nyeri spontan maupun tekan.
 Predileksi di lokasi yang berisiko bersentuhan dengan pembuluh darah atau saraf.

Prognosis
Prognosis umumnya adalah bonam, namun ini tergantung dari letak dan ukuran lipoma, serta
ada/tidaknya komplikasi.

Kriteria Pulang
Pasca eksisi :
- Klien menyatakan nyeri berkurang
- Skala nyeri berkurang 1-2
- TD 120/80 mmHg
- RR: 18-20 x/menit
- Luka tidak sakit
- Luka kering
- Tidak ada kemerahan
- Tidak ada tanda infeksi
- Pasien mengatakan tidak takut terhadap luka jahitan

Pada pasien noneksisi setelah diberikan pengobatan, kondisi pasien membaik dan :
- Lipoma tidak bertumbuh kembang
- Ansietas berkurang
- Nyeri berkurang berangsur menghilang
- Rasa gatal, rasa terbakar dan geli menghilang
- Kemampuan untuk rasa pada bagian yang terkena telah kembali
- Integritas kulit membaik
- Mual dan muntah berangsur hilang
- Nafsu makan kembali meningkat
- Berat badan meningkat

Referensi
1. Syamsuhidayat, R. Wim De Jong. Neoplasma in: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:
EGC. 2005.
2. Scoot, L. Hansen. Stephen, J. Mathes.Eds. Soft Tissue Tumor in: Manual of Surgery. 8th Ed.
New York:McGraw-Hill Company. 2006.
3. Gerard, M. Lipoma In: Current Essentials of Surgery. New York: Lange Medical Book.
2005.

10
III. 2 BEDAH TULANG & SENDI

1. FRAKTUR TERBUKA

Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik
yang bersifat total maupun parsial.

Fraktur terbuka adalah suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui
kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.

Hasil Anamnesis/Subjective
Keluhan
1. Adanya patah tulang terbuka setelah terjadinya trauma
2. Nyeri
3. Sulit digerakkan
4. Deformitas
5. Bengkak
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas
8. Kelemahan otot

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik/Objective


Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi (look) Adanya luka terbuka pada kulit yang dapat berupa tusukan tulang yang tajam
keluar menembus kulit atau dari luar oleh karena tertembus, misalnya oleh peluru atau
trauma langsung dengan fraktur yang terpapar dengan dunia luar.
2. Palpasi (feel)
- Robekan kulit yang terpapar dunia luar
- Nyeri tekan
- Terabanya jaringan tulang yang menonjol keluar
- Adanya deformitas
- Panjang anggota gerak berkurang dibandingkan sisi yang sehat
3. Gerak (move)
- Umumnya tidak dapat digerakkan

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Klasifikasi
Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Grade I
 Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih
 Kerusakan jaringan minimal, frakturnya simple atau oblique dan sedikit kominutif .
2. Grade II
 Fraktur terbuka dengan luka robek lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan jaringan lunak,
 Flap kontusio avulsi yang luas serta fraktur kominutif sedang dan kontaminasi sedang.

11
3. Grade III Fraktur terbuka segmental atau kerusakan jaringan lunak yang luas atau amputasi
traumatic,derajad kontaminasi yang berat dan trauma dengan kecepatan tinggi.
Fraktur gradeIII dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Grade IIIa: Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang dengan jaringan
lunak cukup adekuat.
b. Grade IIIb: Trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup luas,
terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka, serta adanya kontaminasi
yang cukup berat.
c. Grade IIIc: Fraktur dengan kerusakan pembuluh darah.

Diagnosis Banding : -

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi,berupa :
a. Foto polos : Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral
b. Pemeriksaan radiologi lainnya sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut,
antara lain: radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI

2. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah, untuk menilai kebutuhan penambahan darah,
memantau tanda-tanda infeksi.

Komplikasi
1. Perdarahan, syok septik sampai kematian
2. Septikemia, toksemia oleh karena infeksi piogenik
3. Tetanus
4. Gangren
5. Perdarahan sekunder
6. Osteomielitis kronik
7. Delayed union
8. Nonunion dan malunion
9. Kekakuan sendi
10. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama

Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)/ Terapi


Prinsip penanganan fraktur terbuka
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.
2. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam jiwa.
3. Lakukan irigasi luka
4. Lakukan stabilisasi fraktur
5. Pasang cairan dan berikan antibiotika intravena yang sesuai dan adekuat misalnya setriakson
dan segera rujuk ke layanan sekunder.
Penatalaksanaan
1. Pembersihan terhadap luka fraktur, dengan cara irigasi dengan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
2. Balut luka untuk menghentikan perdarahan, pada fraktur dengan tulang menonjol keluar
sedapat mungkin dihindari memasukkan komponen tulang tersebut kembali ke dalam luka.
3. Fraktur dengan luka yang berat memerlukan suatu traksi skeletal. Fraktur grade II dan III
sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna. Alat sederhana yang bisa digunakan dalam.
4. Pemberian antibiotika: merupakan cara efektif mencegah terjadinya infeksi pada fraktur
terbuka. Antibiotika yang diberikan sebaiknya dengan dosis yang besar. Untuk fraktur
terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin, dan dikombinasi dengan
golongan aminoglikosida.
5. Pencegahan tetanus: Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan
tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid
tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
Pasien segera dirujuk setelah kondisi lebih stabil.
12
Edukasi

- Menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap
pada saat menahan beban
- Menjelaskan kepada pasien tentang gejala dan penanganan penyakit fraktur terbuka

Kriteria Rujukan
Langsung dirujuk dengan tetap mengawasi tanda vital dan memberikan penanganan awal.
Sarana Prasarana
1. Alat untuk memeriksa tanda vital (tensi, stetoskop, thermometer)
2. Meteran
3. Perban
4. Spalk

Prognosis
Prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam, tergantung pada kecepatan dan ketepatan
tindakan yang dilakukan.

Kriteria Pulang
- Menyatakan nyeri hilang / terkontrol
- Menunjukan tindakan santai mampu berpartisipasi dalam aktifitas / tidur istirahat dengan
cepat
- Menunjukan panggunaan ketrampilan relaksasi aktifitas terapeutik sesuai motivasi untuk
situasi individual
- Mempertahankan perpusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat /
kering,sensasi normal,sensasi biasa,tanda vital stabil dan haluaran urine adequate
- Ds menyatakan nyeri berkurang / hilang / terkontrol
- Mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh terabanya nadi, kulit hangat / kering, tanda
vital stabil
- Tidak adanya dispnea / sianosis frkuensi nafas & AGD normal
- Luka sembuh
- Adanya peningkatan mobilitas
- Menyatakan pemahaman mobilitas kondisi prognosis & pengobatan

Referensi
1. Schaller, T.M. Calhoun, J.H. Open Fracture. E-medicine. Medscape. Update 21 May. 2011.
2. Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Terbuka. Edisi
3. Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2007. Hal: 332 - 334.

13
2. FRAKTUR TERTUTUP

Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik
yang bersifat total maupun parsial. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar.

Hasil Anamnesis/Subjective
Keluhan
1. Adanya riwayat trauma (terjatuh, kecelakaan, dll)
2. Nyeri
3. Sulit digerakkan
4. Deformitas
5. Bengkak
6. Perubahan warna
7. Gangguan sensibilitas
8. Kelemahan otot

Faktor Risiko: -

Hasil Pemeriksaan Fisik/Objective


Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi (look)
Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota tubuh tdak
dapat digerakkan.
2. Palpasi (feel)
 Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat.
 Nyeri tekan.
 Bengkak.
 Mengukur panjang anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang sehat.
3. Gerak (move)
 Umumnya tidak dapat digerakkan

Kriteria Diagnosis

Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis Banding
- Fraktur tertutup clavicula dextra 1/3 medial
- Fraktur tertutup clavicula dextra 1/3 tengah
- Fraktur tertutup clavicula dextra 1/3 lateral

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan berikut dapat dilakukan di layanan sekunder
1. Pemeriksaan radiologi,berupa :
a. Foto polos: umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral.
b. Pemeriksaan radiologi lainnya sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut,
antara lain: radioisotope scanning tulang, tomografi,artrografi, CT-scan, dan MRI.
2. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah.

14
Komplikasi
Kompartemen syndrom

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :
1. Semua fraktur dikelola secara emergensi.
2. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam jiwa.
3. Pasang cairan untuk mengantisipasi kehilangan darah yang tidak terlihat misalnya pada
fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang
4. Lakukan stabilisasi fraktur dengan spalk, waspadai adanya tanda - tanda kompartemen
syndrome seperti odema, kulit yang mengkilat dan adanya nyeri tekan.
5. Rujuk segera ke layanan sekunder

Edukasi
Menjelaskan kepada pasien mengenai Fraktur tertutup dan penanganannnya.

Kriteria Rujukan : pasien segera dirujuk ke RS

Sarana Prasarana
1. Alat untuk memeriksa tanda vital (tensi, stetoskop, thermometer)
2. Pensil untuk kulit (marker)
3. Meteran
4. Kapas
5. Jarum kecil
6. Senter saku
7. Goniometer

Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad fungsionamnya adalah dubia ad bonam.Hal ini
bergantung kepada kecepatan dan ketepatan tindakan yang dilakukan.

Kriteria Pulang
- Ansietas menurun
- Pasien mampu melakukan aktivitas
- Pasien menyatajkan nyei berkurang
- Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
- Tekanan darah normal
- Tidak ada peningkatan nadi dan RR
- Kulit utuh
- Bunyi paru jelas
- BAB dengan feses lunak.
- Tidak adanya manifestasi emboli lemak sindrom kompartemen dan infeksi
- Tak ada bau badan.
- Mukosa mulut lembab

Referensi
Chairuddin, R. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Fraktur Tertutup. Edisi 3. Jakarta: PT Yarsif
Watampone. 2007. Hal:327-332.

15
III. 3 TELINGA, HIDUNG & TENGGOROKAN ( T.H.T )

1. OTITIS EKSTERNA

Pengertian
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis disebabkan oleh infeksi bakteri,
jamur, dan virus. Penyakit ini sering dijumpai pada daerah-daerah yang panas dan lembab dan
jarang pada iklim-iklim sejuk dan kering.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan rasa sakit pada telinga, terutama bila daun telinga disentuh dan
waktu mengunyah. Namun pada pasien dengan otomikosis biasanya datang dengan keluhan rasa
gatal yang hebat dan rasa penuh pada liang telinga.
Rasa sakit di dalam telinga bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak enak sedikit,
perasaan penuh di dalam telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa sakit yang hebat, serta
berdenyut. Rasa penuh pada telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis
eksterna difusa dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga. Kurang
pendengaran mungkin terjadi pada otitis eksterna disebabkan edema kulit liang telinga, sekret
yang serous atau purulen, penebalan kulit yang progresif pada otitis eksterna yang lama sehingga
sering menyumbat lumen kanalis dan menyebabkan timbulnya tuli konduktif.

Faktor Risiko
1. Lingkungan yang panas dan lembab
2. Berenang
3. Membersihkan telinga secara berlebihan, seperti dengan cotton bud ataupun benda lainnya
4. Kebiasaan memasukkan air ke dalam telinga
5. Penyakit sistemik diabetes

Hasil Pemeriksaan Fisik (Objective)


Pemeriksaan Fisik
 Nyeri tekan pada tragus
 Nyeri tarik daun telinga
 Kelenjar getah bening regional dapat membesar dan nyeri
 Pada pemeriksaan liang telinga:
o Pada otitis eksterna sirkumskripta dapat terlihat furunkel atau bisul serta liang telinga
sempit;
o Pada otitis eksterna difusa liang telinga sempit, kulit liang telinga terlihat hiperemis dan
udem yang batasnya tidak jelas serta sekret yang sedikit.
o Pada otomikosis dapat terlihat jamur seperti serabut kapas dengan warna yang bervariasi
(putih kekuningan)
o Pada herpes zoster otikus tampak lesi kulit vesikuler di sekitar liang telinga.
 Pada pemeriksaan penala kadang didapatkan tuli konduktif.

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi Otitis Eksterna:


1. Otitis Eksterna Akut
a. Otitis eksterna sirkumskripta
Infeksi bermula dari folikel rambut di liang telinga yang disebabkan oleh bakteri
stafilokokus dan menimbulkan furunkel di liang telinga di 1/3 luar.
b. Otitis eksterna difus

16
2. Infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri. Umumnya bakteri penyebab yaitu
Pseudomonas. Bakteri penyebab lainnya yaitu Staphylococcus albus, Escherichia coli,
Enterobacter aerogenes. Danau, laut dan kolam renang merupakan sumber potensial untuk
infeksi ini.Otomikosis.
Infeksi jamur di liang telinga dipermudah oleh kelembaban yang tinggi di daerah tersebut.
Yang tersering ialah jamur Pityrosporum, Aspergillus. Kadang-kadang ditemukan juga
kandida albikans atau jamur lain.
3. Herpes Zoster Otikus
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella zoster. Virus ini menyerang satu atau
lebih dermatom saraf kranial.

Diagnosis Banding
1. Otitis eksternanekrotik
2. Perikondritis yang berulang
3. Kondritis
4. Dermatitis, seperti psoriasis dan dermatitis seboroika.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sediaan langsung jamur dengan KOH untuk otomikosis

Komplikasi
Infeksi kronik liang telinga jika pengobatan tidak adekuat dapat terjadi stenosis atau
penyempitan liang telinga karena terbentuk jaringan parut

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan
1. Membersihkan liang telinga dengan pengisap atau kapas dengan berhati-hati.
2. Selama pengobatan sebaiknya pasien tidak berenang dan tidak mengorek telinga.
3. Farmakologi:
a. Topikal
- Otitis eksterna sirkumskripta pada stadium infiltrat diberikan salep ikhtiol atau
antibiotik dalam bentuk salep seperti polymixin B atau basitrasin.
- Pada otitis eksterna difus dengan memasukkan tampon yang mengandung antibiotik ke
liang telinga supaya terdapat kontak yang baik antara obat dengan kulit yang
meradang.Pilihan antibiotika yang dipakai adalah campuran polimiksin B, neomisin,
hidrokortison dan anestesi topikal.
- Pada otomikosis dilakukan pembersihan liang telinga dari plak jamur dilanjutkan
dengan mencuci liang telinga dengan larutan asam asetat 2% dalamalkohol 70% setiap
hari selama 2 minggu. Irigasi ringan ini harus diikuti dengan pengeringan. Tetes telinga
siap beli dapat digunakan sepertiasetat-nonakueous 2% dan m-kresilasetat.
b. Oral sistemik
- Antibiotika sistemik diberikan dengan pertimbangan infeksi yang cukup berat.
- Analgetik paracetamol atau ibuprofen dapat diberikan.
- Pengobatan herpes zoster otikus sesuai dengan tatalaksana Herpes Zoster.
c. Bila otitis eksterna sudah terjadi abses, diaspirasi secara steril untuk mengeluarkan nanah.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Evaluasi pendengaran pada kasus post herpetis zooster otikus.

Rencana Tindak Lanjut


- Tiga hari pasca pengobatan untuk melihat hasil pengobatan.
- Khusus untuk otomikosis, tindak lanjut berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu.

17
Edukasi
Pasien dan keluarga perlu diberitahu tentang:
1. Tidak mengorek telinga baik dengan cotton bud atau lainnya.
2. Selama pengobatan pasien tidak boleh berenang.
3. Penyakit dapat berulang sehingga harus menjaga liang telinga agar dalam kondisi kering dan
tidak lembab.

Kriteria Rujukan
1. Pada kasus herpes zoster otikus
2. Kasus otitis eksterna nekrotikan

SaranaPrasarana
1. Lampu kepala
2. Corong telinga
3. Aplikator kapas
4. Otoskop

Prognosis
Prognosis tergantung dari perjalanan penyakit, ada/tidaknya komplikasi, penyakit yang
mendasarinya serta pengobatan lanjutannya.

Kriteria Pulang
- Nyeri berkurang
- Tanda vital dalam rentang normal
- Pasien merasa nyaman
- Pasien mMampu memahami/memberi respon atau sinyal
- Suhu tubuh normal
- Ansietas berkurang
- Pasien mampu memahami proses penyakitnya

Referensi
1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. KelainanTelingaLuardalamBuku Ajar, Hidung, Tenggorok,
Kepala&Leher. Ed. ke-6. FakultasKedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta. 2007.
2. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler,Boies. BukuAjarPenyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
3. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam
Physician. 2001. Mar 1; 63(5):927-937.
4. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.

2. OTITIS MEDIA AKUT

Pengertian
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
Prevalensi kejadian OMA banyak diderita oleh anak-anak maupun bayi dibandingkan pada orang
dewasa tua maupun dewasa muda. Pada anak-anak makin sering menderita infeksi saluran napas
atas, maka makin besar pula kemungkinan terjadinya OMA disamping oleh karena sistem
imunitas anak yang belum berkembang secara sempurna. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah
oleh karena tuba eustachius pendek, lebar, dan letak agak horizontal.

18
Hasil Anamnesis/Subjective
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan yang bergantung pada stadium OMA yang terjadi. Pada anak,
keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga dan demam serta ada riwayat batuk pilek
sebelumnya. Anak juga gelisah, sulit tidur, tiba-tiba menjerit waktu tidur, bila demam tinggi
sering diikuti diare dan kejang-kejang.Kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Pada
stadium supurasi pasien tampak sangat sakit, dan demam, serta rasa nyeri di telinga bertambah
hebat. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh
turun, dan anak tertidur tenang.

Pada anak yang lebih besar atau dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan pendengaran
dan rasa penuh dalam telinga.

Faktor Risiko
1. Bayi dan anak
2. Infeksi saluran napas berulang
3. Bayi yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif

Hasil Pemeriksaan Fisik /Objective


Pemeriksaan Fisik
 Dapat ditemukan demam
 Pemeriksaan dengan otoskopi untuk melihat membran timpani:
- Pada stadium oklusi tuba Eustachius terdapat gambaran retraksi membran timpani, warna
membran timpani suram dengan reflex cahaya tidak terlihat.
- Pada stadium hiperemis membrantimpani tampak hiperemis serta edema.
- Pada stadium supurasi membran timpani menonjol ke arah luar (bulging) berwarna
kekuningan.
- Pada stadium perforasi terjadi ruptur membran timpanidan nanah keluar mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar.
- Pada stadium resolusi bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal
kembali.Bila telah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering.
 Pada pemeriksaan penala yang dilakukan pada anak yang lebih besar dapat ditemukan tuli
konduktif

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Otitis Media Akut:
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam
telinga tengah, karena adanya absorpsi udara. Membran timpani terlihat suram dengan refleks
cahaya menghilang. Efusi mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit
dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
2. Stadium Hiperemis
Tampak pembuluh darah melebar di membran timpani sehingga membran timpani tampak
hiperemis serta edema. Sekret yang terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sukar dilihat.
3. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta
terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani yang menyebabkan membran timpani
menonjol (bulging) ke arah telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, dan demam, serta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat. Bila tidak dilakukan insisi (miringotomi) pada stadium ini,
kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan keluar nanah ke liang telinga luar. Dan
bila ruptur, maka lubang tempat ruptur (perforasi) kadang tidak menutup kembali terutama
pada anak usia lebih dari 12 tahun atau dewasa.

19
4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang
tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga
tengah ke liang telinga luar.
5. Stadium Resolusi

Diagnosis Banding
1. Otitis media serosa akut
2. Otitis eksterna

Pemeriksaan Penunjang : -

Komplikasi
1. Otitis Media Supuratif Kronik
2. Abses sub-periosteal
3. Mastoiditis akut

Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan
1. Asupan gizi yang baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh
2. Pemberian farmakoterapi dengani:
a. Topikal
- Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali tuba
eustachius. Obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% (atau oksimetazolin 0,025%) diberikan
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun dan HCl efedrin 1% (atau
oksimetazolin 0,05%) dalam larutan fisiologik untuk anak yang berumur lebih dari 12
tahun atau dewasa.
- Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari,
dilanjutkan antibiotik adekuat yang tidak ototoksik seperti ofloxacin tetes telinga sampai
3 minggu.
b. Oral sistemik
- Dapat diberikan antihistamin bila ada tanda-tanda alergi.
- Antipiretik seperti paracetamol sesuai dosis anak.
- Antibiotik yang diberikan pada stadium oklusi dan hiperemis ialah penisilin atau
eritromisin, selama 10-14 hari:
 Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
 Amoksisilin: Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
 Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
 Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin.
- Pada stadium supurasi dilakukan miringotomi (kasus rujukan) dan pemberian antibiotik.
Antibiotik yang diberikan:
 Amoxyciline: Dewasa 3x500 mg/hari. Pada bayi/anak 50mg/kgBB/hari; atau
 Erythromycine: Dewasa/ anak sama dengan dosis amoxyciline;atau
 Cotrimoxazole: (kombinasi trimethroprim 80 mg dan sulfamethoxazole 400 mg
tablet) untuk dewasa 2x2 tablet, anak (trimethroprim 40 mg dan sulfamethoxazole
200 mg) suspensi 2x5 ml.
 Jika kuman sudah resisten (infeksi berulang): kombinasi amoxyciline dan asam
klavulanat, dewasa 3x625 mg/hari. Pada bayi/anak, dosis disesuaikan dengan BB dan
usia.
3. Miringotomi (kasus rujukan)
Indikasi miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA
seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap
dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA.

20
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Kultur bakteri pada kasus OMA berulang dan dilakukan di layanan sekunder.

Rencana Tindak Lanjut


Dilakukan pemeriksaan membran tympani selama 2-4 minggu sampai terjadi resolusi membran
tymphani (menutup kembali) jika terjadi perforasi.

Edukasi
1. Memberitahu keluarga bahwa pengobatan harus adekuat agar membran timpani dapat kembali
normal.
2. Memberitahu keluarga untuk mencegah infeksi saluran napas atas (ISPA) pada bayi dan anak-
anak, menangani ISPA denganpengobatan adekuat.
3. Memberitahu keluarga untuk menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan sampai
dengan 2 tahun.
4. Menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokokdan lain-lain.

Kriteria Rujukan
1. Jika indikasi miringotomi.
2. Bila membran tymphani tidak menutup kembali setelah 3 bulan.

SaranaPrasarana
1. Lampu kepala
2. Spekulum telinga
3. Aplikator kapas
4. Otoskop

Prognosis
Prognosis quo ad fungsionam dan sanationam adalah dubia ad bonam jika pengobatan adekuat.
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun
tanpa pengobatan.

OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus
atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila sekret
menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

Kriteria Pulang
- Pasien dapat melakukan komunikasi dengan baik
- Pada telinga yang baik pasien mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran sampai
pada tingkat fungsional
- Pasien mampu mengungkapkan dan mengatasi ketakutan/kekhawatirannya

Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
4. Revai, Krystal et al. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper
Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. PEDIATRICS Vol. 119 No. 6 June 2007, pp.
e1408-e1412.2007.

21
3. SERUMEN PROP

Pengertian
Serumen adalah sekret kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan
partikel debu yang terdapat pada bagian kartilaginosa liang telinga. Bila serumen ini berlebihan
maka dapat membentuk gumpalan yang menumpuk di liang telinga, dikenal dengan serumen
prop.

Hasil Anamnesis/Subjective
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan pendengaran yang berkurang disertai rasa penuh pada telinga.
Impaksi/gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga menyebabkan rasa penuh dengan
penurunan pendengaran (tuli konduktif). Terutama bila telinga masuk air (sewaktu mandi atau
berenang), serumen mengembang sehingga menimbulkan rasa tertekan dan gangguan
pendengaran semakin dirasakan sangat mengganggu. Beberapa pasien mengeluhkan adanya
vertigo atau tinitus.Rasa nyeri timbul apabila serumen keras membatu dan menekan dinding
liang telinga.

Faktor Risiko
1. Dermatitis kronik liang telinga luar
2. Liang telinga sempit
3. Produksi serumen banyak dan kering
4. Adanya benda asing di liang telinga
5. Kebiasaan mengorek telinga

Faktor Predisposisi: (-)

Hasil Pemeriksaan Fisik /Objective


Pemeriksaan Fisik
 Otoskopi: dapat terlihat adanya obstruksi liang telinga oleh material berwarna kuning
kecoklatan atau kehitaman. Konsistensi dari serumen dapat bervariasi.
 Pada pemeriksaan penala dapat ditemukan tuli konduktif akibat sumbatan serumen.

Kriteria Diagnosis
Penegakan diagnostic (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

Diagnosis Banding
Benda asing di liang telinga

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang yang khas

Komplikasi
Trauma pada liang telinga dan atau membran timpani saat mengeluarkan serumen

Penatalaksanaan komprehensif(Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan
1. Menghindari membersihkan telinga secara berlebihan
2. Menghindari memasukkan air atau apapun ke dalam telinga
3. Tatalaksana farmakoterapi:
22
- Serumen yang lembek, dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
- Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret.Apabila dengan cara ini
serumen tidak dapat dikeluarkan, maka serumen harus dilunakkan lebih dahulu dengan
tetes karbogliserin 10% selama 3 hari.
- Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong kedalam liang telinga sehingga dikuatirkan
menimbulkan trauma pada membran timpani sewaktu mengeluarkannya, dikeluarkan
dengan mengalirkan (irigasi) air hangat yang suhunya disesuaikan dengan suhu tubuh.
- Indikasi untuk mengeluarkan serumen adalah sulit untuk melakukan evaluasi membran
timpani, otitis eksterna, oklusi serumen dan bagian dari terapi tuli konduktif.Kontraindikasi
dilakukannya irigasi adalah adanya perforasi membran timpani. Bila terdapat keluhan
tinitus, serumen yang sangat keras dan pasien yang tidak kooperatif merupakan
kontraindikasi dari suction.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Tidak diperlukan

Rencana Tindak Lanjut


Dianjurkan serumen dikeluarkan 6 -12 bulan sekali

Edukasi
1. Memberitahu pasien dan keluarga untuk tidak mengorek telinga baik dengan cotton bud atau
lainnya.
2. Memberitahu keluarga dan pasien untuk menghindari memasukkan air atau apapun ke dalam
telinga

Kriteria rujukan : -

SaranaPrasarana

1. Lampu kepala
2. Spekulum telinga
3. Otoskop
4. Serumen hook
5. Aplikator kapas
6. Cairan irigasi telinga
7. Irigator telinga (Spoit 20 - 50 cc + cateter wing needle)

Prognosis
Prognosis penyakit ini adalah bonam karena jarang menimbulkan kondisi klinis berat.

Kriteria Pulang
- Melaporkan nyeri berkurang/ terkontrol
- Pasien dapat mendengar dengan baik tanpa alat bantu pendengaran
- Mampu menentukan letak suara dan sisi paling keras dari garputala
- Mampu membedakan suara jam dengan gesekan tangan
- Pasien tidak meminta mengulang setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya
- Tidak terdapat tanda-tanda infeksi ( kalor, dolor, rubor, tumor, fungsiolesa)
- Tanda- tanda vital dalam batas normal

Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler,.Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
23
4. EPISTAKSIS

Pengertian
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir
90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat
mengganggu. Faktor etiologi dapat lokal atau sistemik. Sumber perdarahan harus dicari dan
dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
 Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari
hidung.
 Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan ataupada bagian
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
 Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai banyaknya perdarahan, frekuensi,
lamanya perdarahan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan
(misal : aspirin) harus dicari. Riwayat penyakit sistemik seperti riwayat alergi pada hidung,
hipertensi, penyakit gangguan pembekuan darah, riwayat perdarahan sebelumnya, dan
riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga.

Faktor Risiko
1. Trauma.
2. Infeksi/alergi seperti: rhinitis, sinusitis.
3. Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
nefritis kronik.
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin,
tiklodipin.
5. Riwayat pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.
6. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.
7. Kelainan kongenital. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).
8. Adanya deviasi septum.
9. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah
atau lingkungan udaranyasangat kering.

Hasil Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior: Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior
harus diperiksa dengan cermat untuk mengetahui sumber perdarahan.
 Rinoskopi posterior: Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
 Pengukuran tekanan darah: Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering
berulang.

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan.
24
Klasifikasi
1. Epistaksis Anterior Epistaksis anterior paling sering berasal dari Pleksus Kiesselbach, yang
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Selain itu juga dapat
berasal dari Arteri EthmoidalisAnterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan
dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
2. Epistaksis Posterior Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari Arteri Sfenopalatina
dan Arteri Ethmoidalis Posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada orang dewasa yang
menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya
hebat dan jarang berhenti spontan.

Diagnosis Banding
Perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari hidung seperti
hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah
mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan
- Darah lengkap
- Skrining terhadap koagulopati. Tes-tes yang tepat termasuk PT, APTT, trombosit dan waktu
perdarahan.

Komplikasi
1. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat).
2. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik.
3. Akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)/ Terapi


Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila
penderita sangat lemah atau keadaaan syok, pasien bisa berbaring dengan kepala
dimiringkan.
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara
duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama3-5
menit (metodeTrotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap
(suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupundarah yang
sudah membeku.

4. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam hidung yang dibasahi dengan
larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan pantokain 2% atau 2 cc larutan lidokain 2% yang
ditetesi 0,2 cc larutan adrenalin 1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk
mencari sumber perdarahan. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan
dan dilakukan evaluasi.
5. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik
dengan lidi kapas yang dibasahi larutan nitrasargenti 20 - 30% atau asam trikloroasetat 10%.
Sesudahnya area tersebut diberi salep untuk mukosa dengan antibiotik.
6. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan
tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau
zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai
pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 2 x 24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
25
mencari faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik
dan analgetik.

Gambar1. Tampon anterior

7. Untuk perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon
Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira
3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada
sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior). Teknik pemasangan
tampon posterior, yaitu:
- Masukkan kateter karet melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu
tarik keluar melalui mulut.
- Kaitkan kedua ujung kateter masing-masing pada 2 buah benang tampon Bellocq,
kemudian tarik kembali kateter itu melalui hidung.
- Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior dengan bantuan jari
telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke
dalam cavum nasi.

- Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kasa di
depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
- Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon
Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari.
- Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan itu.

Gambar2. Tampon Bellocq

Rencana Tindak Lanjut


Pasien yang dilakukan pemasangan tampon perlu tindak lanjut untuk mengeluarkan tampon dan
mencari tahu penyebab epistaksis.

Konseling & Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Mengidentifikasi penyebab epistaksis, karena hal ini adalah gejala suatu penyakit sehingga
dapat mencegah timbulnya kembali epistaksis.
b. Mengontrol tekanan darah pada penderita dengan hipertensi.
26
c. Menghindari membuang lendir melalui hidung terlalu keras.
d. Menghindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari sehingga dibutuhkan
pengawasan yang lebih ketat pada pasien anak.
e. Membatasi penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.

Pemeriksaan penunjang lanjutan


Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal bila dicurigai sinusitis.

Kriteria Rujukan
1. Pasiendenganepistaksis yang curigaakibat tumor di ronggahidungataunasofaring.
2. Epistaksis yang terus berulang.

SaranaPrasarana
1. Lampu kepala
2. Rekam medis
3. Spekulum hidung
4. Alat penghisap (suction)
5. Pinset bayonet
6. Kaca rinoskopi posterior
7. Kapas dan kain kassa
8. Lidi kapas
9. Nelaton kateter
10. Benang kasur
11. Tensimeter dan stetoskop

Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam, jika penyebab yang mendasari diatasi dan dihindari.

Kriteria Pulang
- Tidak terjadi perdarahan, tanda vital normal, tidak anemis
- Frekuensi nafas normal, tidak ada suara nafas tambahan, tidak menggunakan otot pernafasan
tambahan, tidak terjadi dispnoe dan sianosis
- Pasien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
- Pasien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya
- Nyeri berkurang
- Pasien tidak mengalami kesakitan

Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997.
2. Iskandar, M. Teknik Penatalaksanaan Epistaksis. In: Cermin Dunia Kedokteran. No. 132.
2001. p. 43-46
3. Mangunkusumo, E. Wardani, R.S.Epistaksis.Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

5. FURUNKEL PADA HIDUNG

Pengertian
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut yang melibatkan jaringan
subkutan. Biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus.Penyakit ini memiliki insidensi yang
rendah. Belum terdapat data spesifik yang menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya
terjadi paling banyak pada anak-anak, remaja sampai dewasa muda.

27
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan adanya bisul di dalam hidung. Gejala adanya bisul di dalam
hidung kadang disertai rasa nyeri dan perasaan tidak nyaman. Kadang dapat disertai gejala
rhinitis.
Faktor Risiko
1. Sosio ekonomi rendah
2. Higiene personal yang jelek
3. Rhinitis kronis, akibat iritasi dari sekret rongga hidung.
4. Kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.

Hasil Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik
Pada lubang hidung tampak furunkel. Paling sering terdapat pada lateral vestibulum nasi yang
mempunyai vibrissae (rambut hidung).

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding : -

Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan


Komplikasi
1. Furunkel pada hidung potensial berbahaya karena infeksi dapat menyebar ke vena fasialis,
vena oftalmika, lalu ke sinus kavernosus sehingga menyebabkan tromboflebitis sinus
kavernosus.
2. Abses.
3. Vestibulitis.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi


Penatalaksanaan
1. Kompres hangat dapat meredakan perasaan tidak nyaman.
2. Jangan memencet atau melakukan insisi pada furunkel.
3. Pemberian antibiotik topikal, seperti pemberian salep antibiotik bacitrasin dan polmiksin B
serta antibiotik oral karena lokasi furunkel yang berpotensial menjadi bahaya. Antibiotik
diberikan dalam 7-10 hari, dengan pemberian Amoxicilin 500mg, 3x/hari, Cephalexin 250 –
500 mg, 4x/hari, atau Eritromisin 250 – 500 mg, 4x/hari.
4. Insisi dilakukan jika sudah timbul abses.

Konseling & Edukasi


Memberitahukan individu dan keluarga untuk:
1. Menghindari kebiasaan mengorek-ngorek bagian dalam hidung.
2. Tidak memencet atau melakukan insisi padafurunkel.
3. Selalu menjaga kebersihan diri.

Kriteria Rujukan: -
Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Obat-obatan : amoksisilin, cephalexin, eritromisin

28
Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam

Kriteria Pulang
- Pasien dapat mempertahankan integritas kulit
- Nyeri terkontrol/teratasi
- Kebutuhan tidur pasien terpenuhi
- Pengembangan peningkatan penerimaan diri
- Pasien mampu mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya
- Pasien memahami tentang perawatan kulit
- Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Referensi
1. Adam, G.L. Boies L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007.

6. FARINGITIS
Pengertian

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri
(5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat
pelayanan kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5
kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini viral
faringitis merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika menelan dan batuk. Gejala dan tanda
yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis
besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia, demam, suara
serak, kaku dan sakit pada otot leher. Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa hari
kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk.
3. Faringitis fungal:terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk yang
berdahak.
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan
bakterial non spesifik.
7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual.

Faktor Risiko
1. Paparan udara yang dingin.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
3. Konsumsi makanan yang kurang gizi.
4. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring.

29
Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik
 Faringitis viral,pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada
coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.
 Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis
dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiaepada
palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri pada penekanan.
 Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan pangkal lidah,
sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
 Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa
faring dan lateral lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).
 Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
 Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada mukosa faring
dan laring.
 Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
o Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan.
Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
o Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke arah
laring.
o Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.

Kriteria Diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan.

Klasifikasi faringitis
1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), virus influenza,
coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada adenovirus juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak.
b. Faringitis Bakterial
Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakan Centor criteria, yaitu :
 Demam
 Anterior Cervical lymphadenopathy
 Eksudat tonsil
 Tidak adanya batuk
Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak mengalami
faringitis akibat infeksi streptococcus group A, bila skor 1-3 maka pasien memiliki
kemungkian 40% terinfeksi streptococcus group A dan bila skor 4 pasien memiliki
kemungkinan 50% terinfeksi streptococcus group A.
30
c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
d. Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital
2. Faringitis Kronik
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis
atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring.
3. Faringitis Spesifik
a. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis
bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak
dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi
endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberculosis miliaris
b. Faringitis Luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga penyakit
lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya.

Diagnosis Banding : -

Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah lengkap.
- Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
- Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

Pemeriksaan penunjang lanjutan (bila diperlukan)


 Kultur resistensi dari swab tenggorok.
 GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri
streptococcus group A-

Komplikasi
1. Sinusitis
2. Otitis media
3. Epiglotitis
4. Abses peritonsilar
5. Abses retrofaringeal.
6. Septikemia
7. Meningitis
8. Glomerulonefritis
9. Demam rematik akut

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi

Penatalaksanaan
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik untuk
menjaga kebersihan mulut. Pada faringitis fungal diberikan Nystatin 100.000-400.000 IU, 2
x/hari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin 25%.

31
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus metisoprinol (isoprenosine) dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan
50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari.
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group A,
diberikan antibiotik Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal bila pasien tidak
alergi penisilin, atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 x/hari selama 10 hari dan pada
dewasa 3x500mg selama 6-10 hari, atau Eritromisin 4x500mg/hari.
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3, seperti Ceftriakson 2 gr
IV/IM single dose.
7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada
faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi. Sedangkan, pada faringitis
kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari selama 3-5 hari.
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
9. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi sehingga
mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa deksametason 3 x 0,5 mg
pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari
selama 3 hari.

Konseling & Edukasi

Memberitahu pasien dan keluarga untuk:


a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
b. Berhentimerokok bagi anggota keluarga yang merokok.
c. Menghindari makanmakanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut
e. Mencuci tangan secara teratur

Kriteria Rujukan
1. Faringitis luetika.
2. Timbul komplikasi: epiglotitis,abses peritonsiler, abses retrofaringeal, septikemia,
meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.

Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi kapas
4. Pemeriksaan laboratorium sederhana
5. Larutan KOH
6. Pewarnaan gram
7. Obat-obatan: antibiotik, antiviral, obat batuk antitusif atau ekspektoran, obat kumur
antiseptik.

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam, namun hal ini bergantung pada jenis dan komplikasinya.

Kriteria Pulang
- Nyeri berkurang setelah dilakukan pengobatan
- Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi
- Suhu tubuh normal
- Inflamasi berkurang
- Pasien nyaman

Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.

32
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

7. RHINITIS AKUT

Pengertian

Rhinitis akut adalah peradangan pada mukosa hidung yangberlangsung akut(<12 minggu). Hal
ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, ataupun iritan. Radang sering ditemukan karena
manifestasi dari rhinitis simpleks (common cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili,
variola, varicella, pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau trauma.
Rhinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan walaupun sering dianggap sepele
oleh para praktisi. Gejala-gejala rhinitis secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien
karena gejala-gejala sistemik yang menyertainya seperti fatigue dan sakit kepala.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan keluar ingus dari hidung (rinorea), hidung tersumbat disertai rasa
panas dan gatal pada hidung.
- Rhinitis simpleks: gejala berupa rasa panas di daerah belakang hidung pada awalnya, lalu
segera diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien
merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Pada infeksi bakteri ingus menjadi mukopurulen,
biasanya diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala.
- Rhinitis influenza: gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit pada otot.
- Rhinitis eksantematous: gejala terjadi sebelum tanda karakteristik atau ruam muncul.
- Rhinitis iritan: gejala berupa ingus yang sangat banyak dan bersin.
- Rhinitis difteria: gejala berupa demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada
paralisis otot pernafasan.

Faktor Risiko
1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Paparandebu, asap atau gas yang bersifat iritatif.

Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik
 Dapat ditemukan adanya demam.
 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak kavum nasi sempit, terdapat sekret serous atau
mukopurulen dan mukosa udem dan hiperemis.
 Pada rhinitis difteri tampak ada ingus yang bercampur darah. Membran keabu-abuan tampak
menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila
diangkat dapat terjadi perdarahan.

Kriteria Diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi berdasarkan etiologi:


1. Rhinitis Virus
a. Rhinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)

33
Rhinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara.
Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya
seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
dalam 2-3 minggu.
b. Rhinitis Influenza
Virus influenza A, Batau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya mirip
dengan common cold. Komplikasi berhubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.
c. Rhinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rhinitis, dimana
didahului dengan eksantema sekitar 2-3 hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih
sering dijumpai dan lebih berat.
2. Rhinitis Bakteri
a. Infeksi non spesifik
1. RhinitisBakteri Primer. Infeksi ini tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi
pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus. Membran putih keabu-abuan yang
lengket dapat terbentuk di rongga hidung, dan apabila diangkat dapat menyebabkan
pendarahan/epistaksis.
2. RhinitisBakteri Sekunder merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rhinitis viral
akut.
b. Rhinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rhinitis difteri dapat
berbentuk akut atau kronik dan bersifat primer pada hidung atau sekunder pada
tenggorokan. Dugaan adanya rhinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena
cakupan program imunisasi yang semakin meningkat.
3. Rhinitis Iritan
Tipe rhinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif
seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh
trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi intranasal, contohnya
pada pengangkatan corpus alienum. Pada rhinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera
yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore,
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor
penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak.
Pemulihan akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.

Diagnosis Banding
1. Rhinitisalergi pada serangan akut
2. Rhinitis vasomotor pada serangan akut

Pemeriksaan Penunjang: tidak diperlukan

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan : Tidak diperlukan

Komplikasi
1. Otitis media akut.
2. Sinusitis paranasalis.
3. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracheobronchitis, pneumonia.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi

Penatalaksanaan
1. Istirahat yang cukup.
2. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat.
3. Rhinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan setelah kurang
lebih 1 - 2 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih bersifat simptomatik,
seperti analgetik, antipiretik, dan nasal dekongestan disertai dengan istirahat yang cukup.
Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder
bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.
34
- Antipiretik dapat diberikan parasetamol.
- Dekongestan oral dapat mengurangi sekret hidung yang banyak, membuat pasien merasa
lebih nyaman, seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin, atau fenilefrin.
- Antibiotik diberikan jika terdapat infeksi bakteri, seperti amoxicillin, eritromisin,
cefadroxil.
- Pada rhinitis difteri terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan antitoksin
difteri.

Rencana Tindak Lanjut


Jika terdapat kasus rhinitis difteri dilakukan pelaporan ke dinkes setempat.

Konseling & Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:


1. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehatdengan begitu dapat terbentuknya sistem imunitas
yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan zat-zat asing.
2. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
3. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
4. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
5. Mengikuti program imunisasi lengkap, seperti vaksinasi influenza, vaksinasi MMR untuk
mencegah terjadinya rhinitis eksantematous.

Kriteria Rujukan
Pasien dengan rhinitis difteri.

Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Obat-obatan: antipiretik, analgetik, antibiotik, dekongestan

Prognosis
Prognosis umumnya bonam. Pada rhinitis difteri, prognosis dapat menjadi dubia.

Kriteria Pulang
- Demam menurun dan berangsur hilang
- Pengeluaran ingus berkurang dan berangsur hilang
- Hidung tidak tersumbat lagi
- Kondisi tubuh membaik

Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997.
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
3. Wardani, R.S. Mangunkusumo, E.Infeksi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007.

35
8. RHINITIS ALERGIK

Pengertian

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkanoleh reaksialergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantai oleh Ig E.
Rhinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-
laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80%
kasus rhinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rhinitis alergi pada anak-
anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia tuarhinitis alergi jarang
ditemukan.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung
tersumbat dan rasa gatal pada hidung (trias alergi). Bersin merupakan gejala khas, biasanya
terjadi berulang, terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik
dan perlu dicurigai adanya rhinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat. Gejala lain
berupa mata gatal dan banyak air mata.

Faktor Risiko
1. Adanya riwayat atopi.
2. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk untuk tumbuhnya
jamur, sehingga dapat timbul gejala alergis.
3. Terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi.

Hasil Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik
 Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya
karena gatal.
 Wajah
o Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan dengan vasodilatasi
atau obstruksi hidung.
o Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang melalui setengah bagian
bawah hidung akibat kebiasaan menggosok hidung keatas dengan tangan.
o Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).
 Pada pemeriksaan faring: dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).
 Pada pemeriksaan rinoskopi:
o Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai adanya sekret
encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
o Pada rhinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya deviasi atau
perforasi septum.
o Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau dapat juga
ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau hipertropik. Dengan
dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konkatidak akan menyusut, sedangkan edema
konka akan menyusut.
36
 Pada kulit kemungkinan terdapat dermatitis atopi.

Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
bila diperlukan.
Rekomendasi dari WHO Initiative ARIA(Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001,
rhinitis alergi dibagi berdasarkan sifatberlangsungnya menjadi:
 Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
 Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:
 Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
 Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Diagnosis Banding
1. Rhinitis vasomotor
2. Rhinitis akut

Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan primer.
- Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
- Pemeriksaan Ig E total serum
- Pemeriksaan feses untuk mendeteksi kecacingan

Komplikasi
1. Polip hidung
2. Sinusitis paranasal
3. Otitis media

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi


Penatalaksanaan
1. Menghindari alergen spesifik
2. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis
3. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang
biasa digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat
tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis
medikamentosa.
4. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak
dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal:
beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon.
5. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi
rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.
6. Terapi oral sistemik
 Antihistamin
a. Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
b. Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
 Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin.
7. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan anatomi, selain itu dapat
juga dengan imunoterapi

37
Algoritma Penatalaksana Rhinitis Alergi Menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasa)

Diagnosa Rhinitis Alergi


(Anamnesis Pemeriksaan fisik, tes kulit)

Penghindaran Alergen

Intermiten Persisten / menetap

Ringan Sedang / berat Ringan Sedang / berat


KS topikal

- AH oral / topikal atau


- AH + dekongestan oral Evaluasi setelah 2-4 minggu
- AH oral / topikal atau
- AH + dekongestan oral atau
- KS topikal atau
- (Na kromoglikat)
membaik Tidak ada

Gejala persisten
th/ mundur 1 langkah
dan th/ diteruskan
untuk 1 bulan
Evaluasi setelah
2 – 4 minggu

- Salah diagnosis
Bila gagal : maju 1 langkah - Nilai kepatuhan pasien
Bila th/ berhasil : lanjutkan - Komplikasi / infeksi
1 bulan - Faktor kelainan antomis

Pertimbangkan Sumbatan hidung KS topikal Gatal hidung rinore


imunoterapi menetap menetap

Dekongestan (3 – 5 hari) KS topikal + Ipratropium


Atau KS oral (jangka pendek) AH bromida

Gagal

Kaustik konka / konkotomi

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001
(dewasa)

38
Rencana Tindak Lanjut
Dilakukan sesuai dengan algoritma rhinitis alergi menurut WHO Initiative ARIA.

Konseling & Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen).
2. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin.
3. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani. Hal ini dapat menurunkan gejala alergi.

Pemeriksaan penunjang lanjutan


Bila diperlukan, dilakukan:
1. Uji kulit atau Prick Test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab rhinitis alergi pada
pasien.
2. Pemeriksaan radiologi dengan foto sinus paranasal.

Kriteria Rujukan
1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.

Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Obat-obatan:
Topikal:
- Dekongestan hidung topikal: oxymetazolin, xylometazolin.
- Preparat kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamsinolon
- Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida
Oral:
4. Antihistamin
a. Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
b. Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine.
5. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa. Dekongestan oral : pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin.

Prognosis
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam dubia ad bonam bila alergen penyebab
dapat dihindari.

Kriteria Pulang
- Pasien menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
- Pasien tampak bisa tidur dan tidak sering terbangun pada malam hari
- Nafsu makan membaik
- Keadaan umum membaik
- Pasien tampak mau makan

Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler,. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma Initiative).
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
4. Irawati, N. Kasakeyan, E. Rusmono, N.Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007

39
9. RHINITIS VASOMOTOR
Pengertian

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi,
eosinofilia, perubahan hormonal, dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rhinitis ini digolongkan menjadi
non-alergi bila adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi Ig E spesifik serum).

Rhinitis non alergi dan mixed rhinitis lebih sering dijumpai pada orang dewasa dibandingkan
anak-anak, lebih sering dijumpai pada wanita dan cenderung bersifat menetap.

Sinonim: rhinitis non alergi, vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea,nasal vasomotor instability,
dan non-allergic perennial rhinitis.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Keluhan
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan tergantung posisi
tidur pasien. Pada pagi hari saat bangun tidur, kondisi memburuk karena adanya perubahan suhu
yang ekstrem, udara yang lembab, dan karena adanya asap rokok. Gejala lain rhinitis vasomotor
dapat berupa:
 Rinore yang bersifat serous atau mukus, kadang-kadang jumlahnya agak banyak.
 Bersin-bersin lebih jarang dibandingkan rhinitis alergika.
 Gejala rhinitis vasomotor ini

Faktor Predisposisi
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis antara lain: ergotamine,
chlorpromazine, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi, serta
bau yang menyengat (misalnya parfum) dan makanan yang pedas, panas, serta dingin
(misalnya es krim).
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang dan stress.

Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan rinoskopi anterior:
- Tampak gambaran edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua tetapi
dapat pula pucat.
- Permukaan konka licin atau tidak rata.
- Pada rongga hidung terlihat adanya sekret mukoid, biasanya jumlahnya tidak banyak. Akan
tetapi pada golongan rinore tampak sekret serosa yang jumlahnya sedikit lebih banyak
dengan konka licin atau berbenjol-benjol.

Kriteria Diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang bila
diperlukan.

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan, yaitu:

40
1. Golongan bersin (sneezer), gejala biasanya memberikan respon baik dengan terapi
antihistamin dan glukokortikoid topikal.
2. Golongan rinore (runners) dengan gejala rinore yang jumlahnya banyak.
3. Golongan tersumbat (blockers) dengan gejala kongesti hidung dan hambatan aliran udara
pernafasan yang dominan dengan rinore yang minimal.

Diagnosis Banding
1. Rhinitis alergika
2. Rhinitis medikamentosa
3. Rhinitis akut

Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilaksanakan di layanan primer, yaitu:
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi.
 Kadar eosinofil
 Tes cukit kulit (skin prick test)
 Kadar IgE spesifik

Komplikasi
1. Rhinitis akut, jika terjadi infeksi sekunder
2. Sinusitis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)/Terapi

Penatalaksanaan
1. Menghindari faktor pencetus.
2. Menghindariterlalu lama di tempat yang ber-AC
3. Menghindariminum-minumandingin
4. Tatalaksana dengan terapi kortikosteroid topikal dapat diberikan, misalnya budesonid, 1-2
x/hari dengan dosis 100-200 mcg/hari. Dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mcg/hari.
Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam aqua seperti flutikason propionate dengan pemakaian cukup
1 x/hari dengan dosis 200 mcg selama 1-2 bulan.
5. Pada kasus dengan rinorea yang berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal ipratropium
bromide.
6. Kauterisasi konka yang hipertofi dapat menggunakan larutan AgNO3 25% atau trikloroasetat
pekat.
7. Tatalaksana dengan terapi oral dapat menggunakan preparat simpatomimetik golongan
agonis alfa sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
Dekongestan oral : pseudoefedrin, fenilpropanol-amin, fenilefrin.

Konseling & Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:


1. Menghindari faktor pencetus.
2. Menghindari terlalu lama di tempat yang ber-AC dan mengurangi minuman dingin.
3. Berhenti merokok.
4. Menghindari faktor psikis seperti rasa cemas, tegang dan stress.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Pemeriksaan radiologi: Foto sinus paranasal

Kriteria Rujukan
Jika diperlukan tindakan operatif

41
Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Tampon hidung

Prognosis
Prognosis umumnya tidak mengancam jiwa, namun fungsi dan berulangnya kejadian dapat dubia
ad bonam jika pasien menghindarifaktorpencetus.

Kriteria Pulang

- Jalan nafas kembali normal terutama hidung


- Pasien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
- Pasien mengekspresikan kepercayaan diri dalam kemampuan.
- Mengekspresikan kepuasan dengan citra tubuh
- Mengekspresikan kepuasan dengan rasa berharga

Referensi
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler.Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Irawati, N.,Poerbonegoro, NL., Kasakeyan, E. Rhinitis Vasomotor dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala&Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.

10. TONSILLITIS

Pengertian

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyakit ini banyak diderita oleh
anak-anak berusia 3 sampai 10 tahun dan anak remaja berusia 15 hingga 25 tahun.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan.
Gejala lainnya tergantung penyebab tonsilitis.
 Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorokan, kemudian berubah
menjadi rasa nyeri di tenggorokan dan nyeri saat menelan. Rasa nyeri semakin lama semakin
bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai
referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia) tersebut tersebar melalui
nervus glossofaringeus (IX). Keluhan lainnya berupa demam yang dapat sangat tinggi sampai
menimbulkan kejang pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu
makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien terdengar seperti orang
yang mulutnya penuh terisi makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice/ hot potato
voice. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan
yang hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorokan.

42
 Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di tenggorokan,
tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis).
 Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala yang timbul adalah demam
tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorokan, badan lemah, gusi mudah
berdarah dan hipersalivasi.

Faktor Risiko
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.

Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik
 Tonsilitis akut: pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang udem (ukuran membesar), hiperemis
dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau
pseudomembran. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis, bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan
terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran
semu (pseudomembran) yang menutupi ruang antara kedua tonsil sehingga tampak
menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan
hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula terlihat
membesar dan ada nyeri tekan.
 Tonsilitis kronik: pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar, dan kriptus berisi detritus.Tanda klinis pada
Tonsilitis Kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe
submandibula dan tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada
seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibular.
 Tonsilitis difteri: pada pemeriksaan ditemukan tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat
pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
 Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
o T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.
o T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula.
o T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau batas medial tonsil
melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
o T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
o T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih.

Gambar 4. Gradasi pembesaran tonsil

43
Kriteria Diagnosis
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif
dengan pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi tonsilitis:
1. Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Jika terjadi infeksivirus coxschakie,
maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-lukakecil pada palatum dan
tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsilitis bakterial
Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A stereptococcus beta
hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumococcus, streptococcus viridan dan
streptococcus piogenes.Haemophilusinfluenzae merupakan penyebab tonsilitis akut
supuratif. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringantonsil akan menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukositpolimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Masa
inkubasi 2-4 hari.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan
dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala
akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat endotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis
sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot pernafasan, pesudomembran yang meluas ke faringolaring dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas atas yang merupakan keadaan gawat darurat serta
pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Tonsilitis septik
Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi
sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu
dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
c. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
d. Penyakit keganasan
Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu keganasan seperti limfoma
maligna atau karsinoma tonsil. Biasanya ditemukan pembesaran tonsil yang asimetris.
3. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,beberapa jenis
makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahanfisik dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat.

Diagnosis Banding
1. Faringitis.
2. Tumor tonsil.

Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan

44
1. Darah lengkap
2. Usap tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram

Komplikasi
1. Komplikasi lokal
o Abses peritonsil (Quinsy)
o Abses parafaringeal
o Otitis media akut
2. Komplikasi sistemik
o Glomerulonephritis
o Miokarditis
o Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi

Penatalaksanaan
1. Istirahat cukup
2. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang mengiritasi
3. Menjaga kebersihan mulut
4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik
5. Pemberian obat oral sistemik
- Pada tonsilitis viral istirahat, minum cukup, analgetika, antivirus diberikan bila gejala
berat. Antivirus metisoprinol (isoprenosine)diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
<5tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.
- Tonsilitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group A,
diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal
atauAmoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa
3x500mgselama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan
kortikosteroidkarena steroid telah menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan
reaksi inflamasi. Steroidyang dapat diberikan berupa deksametason 3x0,5 mg pada
dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian
selama 3 hari.
- Pada tonsilitis difteri, Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin
atau eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis dan pasien harus
diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
- Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) diberikan antibiotik spektrum
luas selama 1 minggu, dan pemberian vitamin C serta vitamin B kompleks.

Pengobatan tonsilitis kronik:


- Diberikan obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
- Indikasi tonsilektomi.

Indikasi Tonsilektomi
Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004, indikasi tonsilektomi, yaitu:

Indikasi Absolut:
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas, disfagia berat, gangguan
tidur dan komplikasi kardiopulmonar
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

45
Indikasi Relatif:
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik laktamase resisten.

Konseling & Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup tinggi.
b. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
c. Berhenti merokok.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut.
e. Mencuci tangan secara teratur.
f. Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan


Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri.

Rencana Tindak Lanjut


Memberikan laporan ke dinkes setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri.

Kriteria Rujukan
Segera rujuk jika terjadi:
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis, glomerulonephritis,
demam rematik akut.
2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.

Sarana Prasarana
1. Lampu kepala
2. Spatula lidah
3. Lidi kapas
4. Pemeriksaan laboratorium sederhana
5. Larutan KOH
6. Pewarnaan gram
7. Termometer
8. Obat-obatan: antiviral, antibiotik, obat kumur antiseptic

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam jika pengobatan adekuat dan kebersihan mulut baik.

Kriteria Pulang
- Pasien dapat beraktivitas seperti biasanya
- Pasien mengatakan rasa lemasnya berkurang
- Rasa nyeri berkurang
- Dapat menelan dengan baik
- Pasien dapat mendengar kembali dengan normal

Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997
2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 2003.
3. Rusmarjono. Soepardi, E.A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

46
11. LARINGITIS

Pengertian

Laringitis adalah peradangan pada laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau
jamur.Laringitis juga merupakan akibat dari penggunaan suara yang berlebihan, pajanan terhadap
polutan eksogen, atau infeksi pada pita suara. Refluks gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia
juga dapat menyebabkan laringitis.

Laringitis pada anak sering diderita oleh anak usia 3 bulan hingga 3 tahun, dan biasanya disertai
inflamasi pada trakea dan bronkus dan disebut sebagai penyakit croup. Penyakit ini seringkali
disebabkan oleh virus, yaitu virus parainfluenza, adenovirus, virus influenza A dan B, RSV, dan
virus campak. Selain itu, M. pneumonia juga dapat menyebabkan croup.

Hasil Anamnesis (Subjective)


Keluhan
Pasien datang dengan keluhan suara serak atau hilang suara (afonia).
Gejala lainnya (croup), antara lain:
 Gejala lokal seperti suara parau, seperti suarayang kasar atau suara yang susah keluar atau
suara dengan nada lebih rendahdari suara yang biasa/normal bahkan sampai tidak bersuara
sama sekali(afoni). Hal ini terjadi karena gangguan getaran sertaketegangan dalam
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan.
 Sesak nafas dan stridor.
 Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.
 Gejala radang umum seperti demam, malaise.
 Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental.
 Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulitmenelan, sumbatan
hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demamdengan temperatur yang tidak
mengalami peningkatan dari 38o C.
 Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam
beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anakmenjadi gelisah, nafas
berbunyi,air hunger, sesak semakin bertambah berat.
 Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten. Pada pagi hari, biasanya tenggorokan
terasa sakit namun membaik pada suhu yang lebih hangat. Nyeri tenggorokan dan batuk
memburuk kembali menjelang siang. Batuk ini dapat juga dipicu oleh udara dingin atau
minuman dingin

Faktor Risiko
1. Penggunaan suara yang berlebihan.
2. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minum-minuman alkohol.
3. Adanya refluks gastroesofageal, bronkitis, dan pneumonia.
4. Rhinitis alergi.
5. Perubahan suhu yang tiba-tiba.
6. Malnutrisi.
7. Keadaan menurunnya sistem imun atau daya tahan tubuh.

Hasil Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dengan laringoskopi indirek khusus untuk pasien dewasa untuk melihat daerah
laring dan sekitarnya.
 Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis,membengkak terutama
dibagian atas dan bawah pita suara.
 Biasanya terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal

47
 Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi dalam
beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi gelisah, stridor,air
hunger, sesak semakin bertambah berat dengan retraksi suprasternal dan epigastrium yang
dapatmenyebabkan keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.
 Pada laringitis kronik, dapat ditemukan nodul, ulkus dan penebalan mukosa pita suara.

Kriteria Diagnosis

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
jika diperlukan. Klasifikasi:
1. Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring, dapat disebabkan oleh virus danbakteri. Keluhan
berlangsung <3 minggu dan pada umumnya disebabkanoleh infeksi virus influenza (tipe A
dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirusdan adenovirus. Penyebab lain adalah
Haemofilus influenzae, Branhamellacatarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
aureus dan Streptococcuspneumoniae.
2. Laringitis Kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang, dan juga dapat
diakibatkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum berat, polip hidung, bronchitis
kronik,merokok, pajanan terhadap iritan yang bersifat konstan, dan konsumsi alkohol
berlebih. Tanda dari laringitis kronik ini yaitu nyeri tenggorokan yang tidak signifikan, suara
serak, dan terdapat edema pada laring. Mungkin juga disebabkan penyalahgunaan suara
(vocal abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa bicara keras.
3. Laringitis Kronik Spesifik
a. Laringitis tuberkulosa
Penyakit ini disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati, biasanya tuberkulosis paru
sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap (membutuhkan pengobatan yang lebih
lama), karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak
sebaik paru. Terdapat 4 stadium:
1. Stadium Infiltrasi Mukosa laring membengkak, hiperemis (bagian posterior), dan
pucat. Terbentuk tuberkel di daerah submukosa, tampak sebagai bintik-bintik
kebiruan. Tuberkel membesar, menyatu sehingga mukosa di atasnya meregang. Bila
pecah akan timbul ulkus.
2. Stadium ulserasi Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan dan terasa
nyeri oleh pasien
3. Stadium perikondritis Ulkus makin dalam mengenai kartilago laring, paling sering
terkena kartilago aritenoid, dan epiglottis. Terbentuk nanah yang berbau sampai
terbentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan pasien buruk dan dapat meninggal. Bila
bertahan maka berlanjut ke stadium akhir yaitu stadium fibrotuberkulosis
4. Stadium fibrotuberkulosis Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita
suara, dan subglotik.
b. Laringitis luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan. Pada penyakit laringitistergolong lues stadium
tersier yaitu stadium pembentukan guma yang dapat terjadi pada laring.

Diagnosis Banding
1. Benda asing pada laring
2. Faringitis
3. Bronkiolitis
4. Bronkitis
5. Pneumonia
6. Tumor pada laring

48
Pemeriksaan Penunjang: bila diperlukan
- Foto rontgensoft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis(Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
- Foto thorax AP.
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap.

Komplikasi
1. Pneumonia
2. Bronkhitis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) / Terapi

Penatalaksanaan
a. Istirahat yang cukup, terutama pada laringitis akibat virus. Istirahat ini juga meliputi
pengistirahatan pita suara.
b. Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk.
c. Menghindari udara kering.
d. Minum cairan yang banyak.
e. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
f. Bila diperlukan rehabilitasi suara (voice therapy).
g. Pengobatan simptomatik dapat diberikan dengan parasetamol atau ibuprofen sebagai
antipiretik jika pasien demam. Bila ada gejala nyeri tenggorokan dapat diberikan analgetik
dan bila hidung tersumbat dapat diberikan dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin
(PPA), efedrin, pseudoefedrin.
h. Pemberian antibiotik dilakukan bila peradangan dari paru dan bila penyebab berupa
streptokokus grup A dapat ditemukan melalui kultur. Pada kasus ini, antibiotik yang dapat
digunakan yaitu penicillin
- Proton Pump Inhibitor pada laringitis dengan penyebab GERD (Laringofaringeal refluks).
- Kortikosteroid dapat diberikan jika laringitis berat.
- Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau trakeostomi. -
Laringitis tuberkulosa, sesuai dengan penyakit TBC diberikan obat antituberkulosa.
- Laringitis Luetika diberikan obat sesuai penyakit leutika, penisilin dengan dosis tinggi.

Rencana Tindak Lanjut


Menindaklanjuti perbaikan pada laring dengan pemeriksaan laringoskopi indirek

Konseling & Edukasi


Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.
b. Menghentikan merokok.
c. Mengistirahatkan pasien berbicara dan bersuara atau tidak bersuara berlebihan.
d. Menghindari makanan yang mengiritasi seperti makanan pedas dan minum es.

Pemeriksaan penunjang lanjutan


a. Kultur eksudat pada kasus laringitis yang lebih berat.
b. Biopsi, yang biasanya dilakukan pada pasien laringitiskronik dengan riwayat merokok atau
ketergantungan alkohol atau pada daerah yang dicurigai menyerupai tumor.

Kriteria Rujukan
Indikasi masuk rumah sakit apabila:
1. Usia penderita dibawah 3 tahun.
2. Terdapat tanda sumbatan jalan nafas.
3. Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau exhausted.
4. Curiga adanya tumor laring.
5. Perawatan dirumah kurang memadai.

49
SaranaPrasarana
1. Lampu kepala
2. Kaca laring
3. Obat-obatan: analgetik, antipiretik, dekongestan nasal, antibiotik

Prognosis
Prognosis pada umumnya dubia ad bonam.

Kriteria Pulang
- Bunyi napas bersih dan jelas, tidak sesak, tidak sianosis, frekwensi napas normal
- Integritas jaringan dan kulit sembuh tanpa komplikasi
- Mulut lembab atau tidak kering, mulut terasa segar, lidah normal, bersih dan tidak pecah,
tidak ada tanda inflamasi pada bibir
- Nyeri Pasien berkurang berangsur hilang
- Pasien tidak gelisah, rileks dan ekpresi wajah ceria
- Pasien menunjukkan peningkatan BB
- Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dan melakukan aktivitas sehari-hari

Referensi
1. Adam, GL. Boies LR. Higler. Boies.Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC. 1997.
2. Hermani,B. Abdurrachman, H. Cahyono, A. Kelainan Laring dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. Ke-8. McGraw-Hill. 200

50
12. BENIGN POSITIONAL PAROXYSMAL VERTIGO

Pengertian
Gangguan keseimbangan perifer yang ditandai dengan serangan vertigo dan nistagmus yang tiba-
tiba pada perubahan posisi kepala akibat pengaruh gravitasi.

Anamnesis
Gejala klinis penderita BPPV adalah :
1. Vertigo yang timbul tiba-tiba akibat perubahan posisi
2. Mual dan muntah
3. Nistagmus

Pemeriksaan Fisik
1. Otoskopi
2. Nistagmus

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Tes Vestibular

Diagnosis Banding
1. Penyakit Meniere
2. Labirintitis
3. Neuritis Vestibular
4. Tumor VIII
5. Multiple Sklerosis

Pemeriksaan Penunjang
1. Elektronistagmografi

Terapi
1. Melakukan perasat sesuai dengan kanal yang terlibat
Perasat unutk BPPV pada kanal posterior dan anterior :
a. Canalith Repositioning Treatment (CRT) atau Epley’s Manuevers.
b. Perasat Liberatory.
c. Perasat Brandt daroff.
Perasat untuk BPPV pada kanal horizontal :
a. Barbecue Manuevers
2. Obat-obat antiemetik, anti vertigo dan benzodiazepine (valium)
3. Bedah

Edukasi
1. Mencegah perubahan posisi secara mendadak.
2. Melakukan latihan perasat sesuai dengan kanal yang terkena dirumah secara teratur.

Prognosis
Sembuh atau dapat berulang.

Kepustakaan
1. Agrawal Y, Minor LB, Carey JP. Peripheral Vestibular Disorders. Dalam: Bailey’s Head and
Neck Surgery Otolaryngology. Volume 2. Fifth Edition. Philadelphia. Lippincot Williams &
Wilkins. 2014. Hal. 2701-15
2. Friedland DR, Minor LB. Meniere Disease, Vestibuler Neuritis, Beningn Paroxysmal
Positional Vertigo, Superior Semicircular Canal Dehiscence, and Vestibuler Migraine.
Dalam: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC Decker. Philadelphia.
2009. Hal. 313-42

51
3. Santina CCD, Minor LB, Selters W. The Vestibuler System. Dalam: Essential Otolaryngology:
Head and Neck Surgery. Ninth Edition. Mc Graw Hill Medical. United States of America.
2008. Hal. 94-134
4. Halmagyi JO, Zee DS, Janssen I, Hain TC. Effectiveness of Particle Repositioning Manuevers
in The Treatment of Benign Positional Vertigo; A systematic Review. Physical Therapy J.
2010. P. 663-78.
5. Bashiruddin J, Hadjar E. Vertigo Posisi Paroksimal Jinak. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 6. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2007.
Hal.104-10.

13. PENYAKIT MENIERE

Pengertian
Penyakit telinga dalam yang diduga disebabkan karena meningkatnya cairan endolimfe

Anamnesis
Gejala klinis penderita meniere adalah :
1. Vertigo
2. Tinnitus
3. Tuli sensorineural
4. Perasaan penuh pada telinga
5. Mual dan muntah

Pemeriksaan Fisik
1. Otoskopi
2. Nistagmus, pada saat terjadi serangan.
3. Pemeriksaan garpu tala; tes rinne (+), tes weber laterisasi ke telinga yang sehat.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
1. Tumor N VIII
2. Labirintitis
3. Multiple Sklerosis
4. Neuritis Vestibuler
5. Benign Positional Paroxysmal Vertigo (BPPV)

Pemeriksaan Penunjang
1. Audiometri
2. Tes gliserol
3. Tes kalori
4. Elektrokokleagrafi

Terapi
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Medikamentosa
- Vestibular sedative
- Vasodilator perifer
- Diuretik
2. Bedah

52
Edukasi
Diet rendah garam dan tidak merokok.

Prognosis
Baik dengan penanganan yang tepat.

Kepustakaan
1. Agrawal Y, Minor LB, Carey JP. Peripheral Vestibular Disorders. Dalam: Bailey’s Head and
Neck Surgery Otolaryngology. Volume 2. Fifth Edition. Philadelphia. Lippincot Williams &
Wilkins. 2014. Hal. 2701-15
2. Bashiruddin J, Hadjar E. Penyakit Meniere. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 5. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2007. Hal.81-
84
3. Dhingra PL. Meniere’s Disease. Dalam: Disease of Ear, Nose and Throat. Fifth Edition.
Elsevier. New Delhi. 2010. Hal. 111-16
4. Friedland DR, Minor LB. Meniere Disease, Vestibuler Neuritis, Beningn Paroxysmal
Positional Vertigo, Superior Semicircular Canal Dehiscence, and Vestibuler Migraine.
Dalam: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. BC Decker. Philadelphia.
2009. Hal. 313-42
5. Santina CCD, Minor LB, Selters W. The Vestibuler System. Dalam: Essential Otolaryngology:
Head and Neck Surgery. Ninth Edition. Mc Graw Hill Medical. United States of America.
2008. Hal. 94-134

53
14. NEURITIS VESTIBULARIS AKUT

Pengertian
Vestibular neuritis adalah sindrom vertigo mendadak yang berlangsung beberapa hari tanpa
disertai gangguan pendengaran atau kerusakan neurologi

Anamnesis
1. Rasa berputar, mual, muntah positional vertigo
2. Onset tiba – tiba
3. Riwayat saluran nafas atas (virus)

Pemeriksaan Fisik
1. Nistagmus Posisional
2. Tes Kalori

Kriteria Diagnostik
1. Anamnese
2. Pemeriksaan Fisik

Diagnosis Banding
1. Labiriniti
2. BPPV

Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran dan elektronistagmografi (rekaman pergerakan mata
dengan menggunakan metoda elektronik)

Terapi
1. Anti Vertigo
2. Metil Prednisolon
3. Valacyclovir

Edukasi
1. Menjaga Daya Tahan Tubuh
2. Istirahat yang cukup

Prognosis
Dapat menghilang dalam beberapa hari / minggu

Kepustakaan
1. Agrawal Y, Minor L, Carey J. Peripheral Vestibular Disorder. In : Bailey,s Head & Neck
Surgery Otolaryngology, 2014

54
15. OTOTOKSIK

Pengertian
Kerusakan pada struktur telinga dalam yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan dan zat
kimia yang menimbulkan reaksi toksik pada struktuR koklea dan organ vestibuler. Obat- obatan
ototoksik ( antibiotic golongan aminoglikosida, loop diuretic, asam salysilat,obat kemoterapi :
cisplatin dan carboplatin)

Anamnesis
1. Adanya riwayat pemakaian obat-obatan ototoksik
2. Dijumpai gangguan pendengaran ,dapat berupa penurunan ambang pendengaran pada
frekuensi tinggi
3. Dijumpai tinnitus
4. Dijumpai gangguan keseimbangan

Pemeriksaan Fisik
1. Terjadi gangguan pendengaran bilateral disertai tinnitus
2. Otoskop : menilai bentuk dan warna membrane timpani,dijumpai perforasi atau tidak
3. Pemeriksaan Rinne test ,Weber Test dan Schwabach menunjukkan SNHL (Sensoryneural
/[hearing loss)
4. Pemeriksaan Audiometri Nada Murni menunjukkan SNHL
5. Pemeriksaan Romberg test : menilai ada tidaknyanya gangguan keseimbangan

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Inspeksi
3. Otoskopi
4. Rinne test, Weber test, Schwabach test
5. Audiometri Nada Murni dan Timpanometri
6. Pada pasien yang tidak kooperatif dilakukan OAE atau ABR
7. Tes Keseimbangan : Romberg Test

Diagnosis Banding
1. Meniere’s disease
2. Idiopatic suddent sensoryneural hearing loss

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen polos mastoid
2. CT Scan Temporal
3. OAE
4. ABR
5. Pemeriksaan Fungsi Ginjal

TERAPI
1. Pemberian Antioksidan,vitamin E, alpha lipoicacid, dan ginko biloba
2. Penghentian obat – obatan yang bersifat ototoksik
3. Alat Bantu Dengar
4. Psikoterapi
5. Auditory Training
6. Pemasangan implankoklea (cochlear implant)

EDUKASI
1. Menganjurkan pasien untuk jangan membeli obat , tanpa konsultasi kedokter.
2. Pada pasien kemoterapi cisplatin dan carboplatin dianjurkan untuk menghindari suasana
bising sampai 6 bulan sesudah terapi selesai.
3. Menganjurkan kepasien utuk sering mengkomsumsi buah- buahan dan sayuran yg banyak
mengandung antioksidan.

55
Prognosis
Pemakaian dalam jangka waktu lama dan dosis yg tinggi dapat menimbulkan gangguan
pendengaran yang bersifat permanen

Kepustakaan
1. Brendan C. Stack Jr. in Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, fourth
edition, volume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-Wilkins,
Philadelphia, USA, 2006: 70: 975-993.
2. Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two, Nasal
Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001: 71A: 995-1008.
3. GuiXne Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia,
2007.

16. SUDDEN HEARING LOSS

Pengertian
Sensasi subjektif hilangnya pendengaran pada satu atau kedua telinga, umumnya unilateral,
berlangsung cepat dalam periode 72 jam atau kurang, dengan kehilangan pendengaran lebih dari
30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi audiometri berturut-turut.

Anamnesis
Gejala klinis penderita tuli mendadak adalah :
1. Onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung tiba-tiba,progresif cepat atau lambat, fl
uktuatif, atau stabil)
2. Adanya persepsi subjektif pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral
atau bilateral)
3. Adanya sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia, otorea, nyeri
kepala, keluhan neurologis, dan keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-
obat ototoksik, operasi dan penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap kebisingan,
serta faktor predisposisi lain yang penting

Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu normal
b. Hum test dan tes penala untuk membantu klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Otoskopi, Hum test, tes penala
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
1. Infeksi/ inflamasi
2. Trauma
3. Tumor
4. Toxin
5. Vaskular
6. Idiopatik

56
Pemeriksaan Penunjang
1. Audiometri tutur (speech audiometry) dan audiometric impedans (timpanometri dan
pemeriksaan refleks akustik), terdapat penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya
pada 3 frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometric
2. Auditory brainstem response (ABR)
3. MRI dan tomografi komputer (CT Scan)

Terapi
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Medikamentosa
Kortikosteroid sistemik
- Prednison oral 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan dosis maksimum 60 mg/hari selama
10-14 hari
- Metilprednisolon 48 mg
- Deksametason 10 mg
Pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti tapering off 10 mg setiap dua
hari
2. Kortikosteroid intratimpani
- Deksametason 10-24 mg/mL
- Metilprednisolon 30 mg/mL
3. Hiperbarik oksigenasi

Edukasi
Tuli mendadak merupakan suatu kegawatdaruratan yang harus segera ditangani. Keluhan tuli
mendadak dan tinnitus dapat sangan menggangu psikologis penderita. Jika terlambat diatasi
dapat berakibat tuli permanen.

Prognosis
Baik dengan penanganan yang cepat dan tepat. Prognosis tuli mendadak tergantung pada
beberapa faktor, yaitu usia, derajat gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan,
saat memulai pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan factor predisposisi lainnya.
Evaluasi perbaikan pendengaran pada tuli mendadak, terdiri atas pemulihan total, pemulihan
bermakna, pemulihan minimal, dan tidak ada pemulihan.

Kepustakaan
1. K.J. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, Eighth edition,
McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York Chicago, 2003
2. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs DM, et al.
Clinical practice guiXne sudden hearing loss: Recommendations of the American Academy
ofOtolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;146:S1.
3. Rauch SD, Halpin CF, Antonelli PJ, Babu S, Carey JP, Gantz BJ, et al. Oral vs intratympanic
corticosteroid therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing loss: A randomized trial.
JAMA.2011;305(20):2071-9.
4. Bailey BJ, Johnson JT. Head and neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
5. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et al.
Cummings otolaryngology head and neck surgery. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Mosby;
2005.
6. Arslan N, Oguz H, Demirci M, Safak MA, Islam A, Kaytez SK, et al. Combined
intratympanic and systemic use of steroids for idiopathic sudden sensorineural hearing loss.
Otol Neurotol.2011;32:393-7.

57
17. ATRESIA LIANG TELINGA

Pengertian
Suatu kelainan yang jarang terjadi dengan karakteristik pembentukan jaringan fibrosis pada liang
telinga

Anamnesis
1. Telinga terasa tersumbat
2. Riwayat trauma kepala
3. Riwayat perdarahan dari liang telinga
4. Riwayat luka robek pada daun telinga
5. Gangguan pendengaran

Pemeriksaan Fisik
1. Liang telinga buntu/ atresia
2. Jaringan sikatrik bekas luka di konka aurikula

Diagnosis Banding
1. Stenosis liang telinga

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pendengaran
2. Audiometri nada murni
3. CT-Scan temporal

Terapi
1. Operasi kanaloplasti dengan pendekatan transkanal, pendekatan postaurikula (endaural)

Edukasi
1. Self cleaning liang telinga
2. Stimulus suara

Prognosis
Rekurensi atresia liang telinga pasca operasi tergantung kepada penyakit dasarnya dengan angka
kegagalan dapat mencapai 10-20%

Kepustakaan
1. Harcourt JP. Acquired atresia of the external ear. In: Gleesom M et al editors. Scott-Brown
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 7nd ed. 2008. p. 3346-50
2. Kroon DF, Strasnick B. diseases of the auricle, external auditory canal, and tympanic
membrane. In: Glasscock III ME, Gulya AJ, editors. Glasscock-Sambaugh, Surgery of the ear.
5th ed. Hamilton Ontario: BC. Decker Inc; 2003. p. 345-67
3. Jung T.M.K, Jinn T.H. diseases of the External Ear. In: snow Jr JB, Ballenger J, editors.
Ballenger’s Otolaryngologi Head and Neck Surgery. 6th ed. Hamilton Ontario: B. Decker Inc:
2003. p. 230-48

58
18. BELL’S PALSY

Pengertian
Suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis
perifer

Anamnesis
1. Paralisis fasial komplit
2. Otalgia
3. Rasa penuh pada telinga
4. Hiperakusis pada telinga
5. Migraine
6. Gangguan pengecapan
7. Mata kering

Pemeriksaan Fisik
1. Otot muka pada sisi yang sakit tidak dapat bergerak
2. Lipatan-lipatan didahi akan menghilang
3. Tampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat
4. Pemeriksaan nervus kranialis lainnya normal

Diagnosis Banding
1. Tumor
2. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt Syndrom)
3. Penyakit lyme
4. AIDS
5. Infeksi tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah
6. Guillen Barre Syndrome

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
2. Pemeriksaan radiologis dengan CT-Scan atau radiografi polos
3. MRI
4. Pemeriksaan elektromiografi (EMG)

Terapi
1. Antibiotik anti viral: Acyclovir 5×400 mg peroral selama 7-10 hari
2. Prednisone 40-60 mg/hari/oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan
selama 7 hari

Edukasi
Gunakan kaca mata untuk melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan

PROGNOSIS
Sekitar 80-90% penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan tanpa ada kecacatan.
Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih berisiko tinggi meninggalkan gejala sisa yaitu
sinkinesis, crocodile tears, kadang spasme hemifasial

Kepustakaan:
1. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease of The Cranial Nerve. Adams and victor’s
Principles of Neurology, 8th ed. New York: McGraw Hill. 2005. p. 1181-84
2. Holland, J. Bell’Palsy. Brithis Medical Journal. 2008, vol 1. p. 1204

59
19. BENDA ASING LIANG TELINGA

Pengertian
Terdapatnya benda asing pada liang telingayang pada keadaan normal tidak dijumpai.

Anamnesis
Gejala klinis penderita benda asing liang telinga:
1. Benda asing reaktif (batere, concrete, iron slag): edema liang telinga luar dan dapat dijumpai
sekret bila terjadi infeksi sekunder.
2. Benda asing non reaktif (inert): tidak bereaksi dengan kulit liang telinga dan tanpa
menyebabkan gejala sampai terjadi infeksi.
3. Benda asing serangga: menyebabkan iritasi dan nyeri karena pergerakannya.
Macam-macam benda Asing:
1. Benda Hidup ; cacing, nyamuk, semut, lalat dan lainya
2. Benda Mati ; organik dan non organik
3. Organik; kacang, daun dan lainnya
4. Non-Organik ; batu, kancing, dan lainnya.

Pemeriksaan Fisik
1. Edema liang telinga
2. Sekret pada liang telinga bila terjadi infeksi sekunder

Pemeriksaan Penunjang
1. Inspeksi
2. Otoskopi

Kriteria Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
1. Otitis eksterna difusa
2. Otitis eksterna sirkumskripta

Terapi
1. Benda asing serangga harus dimatikan terlebih dahulu dengan menyemprotkan eter, alkohol,
minyak, air garam kedalam liang telinga dan kemudian diekstraksi dengan menggunakan
forcep
2. Benda asing organik yang kecil dapat diektraksi dengan pengait benda asing atau forcep.
3. Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, oleh karenanya
benda asing higrosopis dihindari agar tidak terkena cairan.
4. Benda asing anorganik yang terlihat dapat diekstraksi dengan pengait kecil dan bila tidak
terlihat cukup disemprot dengan cairan.
5. Bila kasusnya sulit misalnya benda asing terdapat di ismus atau ressus anterior, perlu
dilakukan insisi endaural atau insisi post aurikuler (jangan menggunakan alkohol bila terdapat
perforasi sebab ototoksik)

Edukasi
1. Jauhkan benda benda kecil dari jangkauan anak anak
2. Hindari pengorekan telinga dengan cotton but

Kepustakaan
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat Disease, Second
edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p: 71-75
2. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver Science
Publishers, 1989, p: 64, 67-72

60
3. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok, kepala dan
leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
4. David, William, Alexander, Outer Ear Infection to the External ear in Otolaryngology head
and Neck Surgery, Seventh Edition, The C>V> Mosby Company, Missouri, 1988, P; 396-402

20. FRAKTUR TEMPORAL

Pengertian
Fraktur tulang temporal adalah retak atau pecahnya tulang temporal sehingga tidak utuh lagi.

Anamnesis
1. Gangguan pendengaran
2. Pusing
3. Otore
4. Rhinore
5. Kelemahan nervus fasialis
6. Diplopia
7. Riwayat trauma (+)

Pemeriksaan Fisik
1. Tampak darah keluar dari liang telinga
2. Pengumpulan darah di belakang membran timpani
3. Memar pada kulit di belakang telinga

Kriteria Diagnosis
Fraktur tulang temporal dibagi menjadi 4 berdasarkan orientasi relatif terhadap sumbu panjang
tulang petrosa,
1. Fraktur longitudinal
2. Fraktur tranversal
3. Fraktur oblik
4. Fraktur campuran

Diagnosis Banding
1. Konduktif atau sensorineural
2. Vertigo Perifer atau sentral
3. Defisit saraf kranialis V intratemporal
4. Cedera Nervus fasialis

Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi: CT Scan tulang temporal, MRI
2. Tes pendengaran: audiogram
3. Tes saraf fasialis
4. Tes vestibular

Terapi
1. Menstabilkan keadaan neurologis dan keadaan umum.
2. Antibiotika.
3. Operasi indikasi dari
a. Perforasi membran timpani
b. Parese fasialis
c. Kebocoran LCS.

61
Komplikasi
1. Penurunan pendengaran
2. kelumpuhan saraf wajah
3. Kebocoran cairan serebrospinal
4. Fraktur kanalis karotis
5. Vertigo

Edukasi
1. Gunakan sabuk pengaman ketika berkendaraan.
2. Gunakah helm ketika berkendaraan bermotor.
3. Hindari mengendarai kendaraan dengan kecepatan.
4. Untuk perjalanan yang dekat gunakan lah sepeda.

Prognosis
Bisa menyebabkan cacat sementara dan tetap, Jarang menyebabkan kematian

Kepustakaan
1. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Middle Ear and Temporal BoneTrauma. Head &
Neck Surgery – Otolaryngology, 4th ed. Lippincott Willia&Wilkins Publisher;2006.p. 2057-
2079
2. Lee KJ. Noninfectious Disorders of the Ear. In : Lee KJ, editor. Essential Otolarngology
Head & Neck Surgery, 8th ed. McGraw-Hill;2003.p.512-534.
3. Toner JG, Ker AG. Ear Trauma.In: Booth JB, editor. Otology, Scott-Browns’s
th
Otolaryngology, 6 ed. Butterworth Heinemann;1997.p.3/7/1-3/7/13

62
21. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

Pengertian
Otitis media supuratif kronis adalah infeksi kronis telinga tengah disertai perforasi
membrane timpani dengan sekret yang dialami lebih dari 6-12 minggu secara terus menerus
atau hilang timbul. OMSK terdiri dari 2 tipe yaitu: tanpa kolesteatoma dan dengan
kolesteatoma.
1. OMSK tanpa kolesteatoma
Proses peradangan terbatas pada mukosa dan tidak mengenai tulang. Perforasi terletak
sentral dan jarang menimbulkan komplikasi berbahaya. Pada OMSK ini tidak terdapat
kolesteatoma, terdiri dari fase tenang dan fase aktif.
2. OMSK dengan kolesteatoma
OMSK ini ditandai dengan perforasi yang letaknya marginal atau atik, Mengenai tulang
dan disertai dengan kolesteatoma, juga sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan telinga berair dan riwayat otitis media berulang, perforasi
traumatik atau riwayat pemasangan ventilation tubes. Pasien juga mengeluhkan adanya
gangguan pendengaran. Keluhan demam, vertigo dan nyeri merupakan kecurigaan terhadap
komplikasi intratemporal dan intrakranial. Riwayat OMSK yang persisten setelah
pengobatan medikamentosa sebaiknya dicurigai adanya kolesteatoma.

Kuman penyebab
Kuman penyebab yang dapat ditemukan pada OMSK adalah kuman gram positif dan negatif,
serta kuman aerob dan anaerob. Kuman penyebab tersering adalah aerob (Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, S.aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis,
Klebsiella sp) atau anaerob (Bacteroides, Peptostreptococcus, Proprionibacterium).

Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda yang OMSK tanpa kolesteatoma OMSK dengan
dapatdijumpaipada kolesteatoma
OMSK
Sekret Banyak, Mukoid, tidakberbau Sedikit, purulen, berbau
Perforasi Sentral Atikatau marginal
Granulasi Jarang dijumpai Sering dijumpai
Polip Pucat Merah
Kolesteatoma Tidak dijumpai Dijumpai
Komplikasi Jarang dijumpai Sering dijumpai
Audiogram Tuli konduktif ringan sampai Tuli konduktif atau campuran
sedang

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. PemeriksaanPenunjang

Diagnosis Banding
1. Otitis Eksterna
2. Tumor telinga

Pemeriksaan Penunjang
1. Fotorontgen mastoid
2. Bakteriologisekret
3. Pemeriksaanaudiometri
4. CT scan temporal
5. Laboratorium: darahrutin, dll

63
Terapi
OMSK tanpa kolesteatoma:
 Medikamentosa:
1. Menghindari aktivitas air.
2. Cuci liang telinga:
a. NaCl 0,9%.
b. Asam asetat 2%.
c. Peroksida 3%.
d. Antibiotik dan obat tetes telinga (dengan pertimbangan).
 Bedah:
bila perforasi masih menetap setelah 3 bulan pengobatan medikamentosa dapat
dilakukan timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi.

OMSK dengan kolesteatoma tanpa komplikasi


 Medikamentosa:
1. Menghindari aktivitas air.
2. Cuci liang telinga:
a. NaCl 0,9%.
b. Asam asetat 2%.
c. Peroksida 3%.
3. Antibiotika:
a. Topikal: Ofloksasin.
b. Sistemik: anti Pseudomonas sp. (golongan Quinolon dan Sefalosporin generasi
ketiga).
4. Tatalaksana multidisiplin :
a. Ilmu penyakit dalam atau anak.
 Bedah:
1. Timpanoplasti dinding runtuh.
2. Radikal mastoidektomi.
3. Radikal mastoidektomi dengan modifikasi.

OMSK dengan kolesteatoma disertai komplikasi


 Medikamentosa:
1. Menghindari aktivitas air.
2. Cuci liang telinga:
a. NaCl 0,9%.
b. Asam asetat 2%.
c. Peroksida 3%.
3. Antibiotika:
a. Topikal: Ofloksasin.
b. Sistemik:
i. Ampisilin: 200-400 mg/Kg BB/hari, terbagi 4 dosis, IV.
ii. Kloramfenikol: 75-100 mg/Kg BB/hari, terbagi 4 dosis, IV.
iii. Metronidazol: 3 X 500 mg (dewasa), 3 X 250 mg (anak).
4. Tatalaksana multidisiplin:
a. Ilmu penyakit saraf (neurologi).
b. Ilmu bedah saraf.
c. Ilmu penyakit dalam atau anak.

 Bedah :
1. Timpanoplasti dinding runtuh.
2. Radikal mastoidektomi.
3. Radikal mastoidektomi dengan modifikasi.

Komplikasi
Intratemporal:
1. Tuli konduktif, sensorineural, atau campur.
2. Labirinitis.
64
3. Paresis saraf fasialis.
4. Petrositis.
Intrakranial :
1. Abses subperiosteal.
2. Abses Bezold.
3. Trombosis sinus lateral atau sinus sigmoid.
4. Meningitis.
5. Sereberitis.
6. Abses epidura.
7. Abses subdura.
8. Abses serebrum.
9. Abses serebellum.

Edukasi
Pasien disarankan untuk menjaga telinga tetap kering dan dianjurkan untuk tidak berenang

Prognosis
Sembuh atau dapat rekuren

Kepustakaan
1. Roland, PS (2013). Chronic suppurative otitis media. Retrieved from Medscape website:
http://emedicine.medscape.com/article/859501-overview
2. World Health Organization (2004). Chronic suppurative otitis media. Switzerland: World
Health Organization.
3. Probst, R., Gerhard, G., & Iro, H. (2006). Basic Otorhinolaryngology A Step By Step
Learning Guide. Stuttgart: Georg Thieme Verlag.
4. Gulya, A. (2010). Anatomy of the Temporal Bone and Skull Base. In M. E. III, & A. J.
Gulya, Glasscock-Shambaugh Surgery of The Ear, 6th Edition. Hamilton: BC Decker Inc.
5. Dhingra, P. (2006). Diseases of Ear, Nose and Throat. India: Elsevier

65
Gambar 5 : Otitis Media Surpuratif Kronis
OTOREA

otoskopi

MT utuh MT perforasi

OE difus
OMSK
Otomikosis
Dermatitis eksim
OE maligna
Meningitis granulomatosa Komplikasi (-) Komplikasi (+)
perforasi

OMSK tanpa OMSK dengan


kolesteatoma kolesteatoma

Tenang Aktif

Cuci telinga
Perforasi Ab topikal
menutup Perforasi
Ab sistemik
menetap

 Romastoid Otorea Otorea


Tuli Konduktif (-) Tuli Konduktif (+) (schuller) stop Menetap > 1
 Audiogram minggu

Timpanoplasti dengan atau


Ab Menetap > 3
tanpamastoidektomi
Berdasarkan bulan
kultur

Mastoidektomi+ Timpanoplasti

OMSK + Komplikasi

Komplikasi Intratemporal KomplikasiIntrakranial

Tulikonduktif, sensorineural 1.Abses subperiosteal.


Labirinitis 2.Abses Bezold.
Paresis fasial 3.Trombosis sinus lateral atau sinus sigmoid.
Petrositis 4.Meningitis.
5.Sereberitis.
6.Abses epidura,subdura, serebrum,
serebellum.
Ab dosis tinggi
Mastoidektomi
Rawat Inap
Dekompresi N.VII
Periksa sekret telinga
Petrosektomi
Antibiotik IV dosis tinggi 7-15 hari
Konsul Sp.Saraf/Saraf anak/P.Dalam
Mastoidektomi lokal/ anestesi umum
Operasi Bedah saraf

66
22. RAMSAY HUNT

Pengertian
Infeksi virus yang mengenai ganglion genikulatum dan disertai parese nervus fasialis yang
disebabkan oleh infeksi virus Varicella zoster, yang merupakan golongan dari herpes virus.

Anamnesis
Gejala klinis adalah :
Pasien datang dengan gejala berupa nyeri pada telinga, rasa terbakar di sekitar telinga, wajah,
mulut, dapat juga mengenai lidah. Vertigo, mual dan muntah dapat terjadi, disertai gangguan
pendengaran, hiperakusis atau tinitus.

Pemeriksaan Fisik
Tampak vesikel pada liang telinga, konka dan daun telinga. Bintik-bintik merah juga dapat
terlihat pada kulit di belakang telinga, dinding lateral hidung, palatum molle dan lidah bagian
anterolateral. Vertigo, tuli sensorineural dan parese fasialis dapat terjadi.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Otoskopi
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
1. Bell’s Palsy
2. Otitis Eksterna

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan flouresensi antibodi dan kultur
2. MRI dan tomografi komputer (CT Scan)

Terapi
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
Medikamentosa
Antivirus
Acyclovir adalah 5x800 mg/hari selama 7 sampai 10 hari, Valacyclovir 3x1000 mg/hari
selama 7 hari dan Famcyclovir 3x500 mg selama 7 hari. Dosis acyclovir intravena adalah 10
mg/KgBB/8jam selama 7 hari.
Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengurangi nyeri akut, mengurangi vertigo, dan
mengurangi terjadinya neuralgia pasca herpes.
Anti inflamasi dan analgetik juga diberikan sebagai terapi simptomatis.
Antibiotik diberikan bila dicurigai adanya sekunder infeksi

Prognosis
Baik dengan penanganan yang cepat dan tepat. Prognosis tergantung pada
beberapa faktor, yaitu metode pengobatan yang digunakan, saat memulai pengobatan.

Edukasi
1. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin.
2. Mengkonsumsi Buah dan sayur serta berolahraga teratur.

Kepustakaan
1. Bloem C. Herpes Zoster Oticus. Departement of Emergency Medicine State University of
New York Downstate Medical Center, 2013. Available in
http://www.emidicine.com/emerg/topic250.htm
2. Rofii A, Syarifudin. Terapi Acyclovir pada Herpes Zoster Otikus. Dalam : Naskah Ilmiah
pertemuan Ilmiah Tahunan. Batu Malang, 1996. H: 286-292.
67
3. Vrabec JT, Coker NJ. Acute Paralysis of The Facial Nerve, In: Bailey BJ, Johnson JT (ed).
Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Vol. 2. Fourth Edition. Lipincott Williams &
Wilimns. Philadelphia. 2006. P : 2148-9
4. Dhaeng S, Siswanto, Agung IB. Satu Kasus Sindroma Ramsay Hunt. Dalam: Kumpulan
Naskah Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan. Batu Malang. 1996. H: 268-273.
5. Austin DF. The Ear. In : Ballenger JJ (ed). Disease of the Nose, Throat and Ear. 11st ed.
Lea & Febiger. Philadelphia. 1971. P : 501-516
6. Dhingra PL.Anatomy of Ear, Facial Nerve and Its Disorder. In : Diseases of Ear, Nose and
Throat. 5th ed. Elsevier. New Delhi. 2010. P : 3-11,102.
7. Gulya AJ. Developmental anatomy of the Ear. In : Glasslock ME, Shambaugh GE (ed).
Surgery of the Ear. 4th ed. WB Saunders Company, Philadelphia. 1990. P : 5-41.
8. Liston SL, Duvall AJ. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga.Dalam: Adams et al.
Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology).Ed 6. Penerbit Buku
KedokteranEGC, 1997.H: 27-38.
9. Lee KJ. Facial Nerve Paralysis, Infection of the Ear. In: Essential Otolaryngology Head &
Neck Surgery. 9th ed. Mc Graw Hill Companies Inc. New York. 2010. P: 198-223, 305.

68
23. TRAUMA LIANG TELINGA

Pengertian
Trauma pada liang telinga berupa laserasi yang disebabkan oleh benda tumpul ,tusukan dan
trauma thermal.

Anamnesis
1. Riwayat trauma : tusukan benda tajam ,tusukan benda tumpul,riwayat mengorek telinga
2. Dijumpai nyeri
3. Telinga terasa penuh
4. Keluar darah dari liang telinga

Pemeriksaan Fisik
1. Pada inspeksi : liang telinga dijumpai laserasi, liang telinga sempit
2. Otoskop dan otomikroskop : Dinding liang telinga tampak hiperemis,laserasi dan darah

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Inspeksi
3. Otoskop atau Otomikroskop

Diagnosis Banding
1. Fraktur temporal
2. Hemotimpanum

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen temporal /foto polos mastoid
2. CT scan Temporal
3. Pemeriksaan Darah rutin dan masa pendarahan

Terapi
1. Aural Toilet : Luka dibersihkan
2. Pemasangan Tampon Telinga
3. Pemberian Antibiotik

Edukasi
1. Menganjurkan kepasien untuk hati- hati membersihkan telinga dan jangan sering mengorek
telinga
2. Bagi pekerja bengkel atau pabrik yang menggunakan mesin las ,memakai alat pelindung
telinga

Prognosis
Penanganan Yg Cepat Akan Mencegah Dari Komplikasi Jaringan Parut Dan Fistel Pada Liang
Telinga

KEPUSTAKAAN
1. MD Schwaber,Mitchell K(2001).Trauma to Middle Ear Inner Ear and Temporal Bone in
Balanger’s : Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.London : BC
Decker.p.98-9

69
24. TRAUMA MEMBRAN TIMPANI

Pengertian
Kelainan pada mebran timpani yang disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung

Anamnesis
Riwayat trauma, dengan gejala tinius, gangguan pendengaran, vertigo.

Pemeriksaan Fisik
Tanda tanda Infeksi dengan tanda adanya otore.

Pemeriksaan Penunjang
Audiometri
CT scan bila diduga ada benda asing atau rusaknya rangkaian tulang pendengaran

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi
2. Otoskopi

Diagnosis Banding
1. Otitis media akut
2. Otitis media supuratif kronik

Terapi
Pada keadaan akut, dilakukan pencegahan terjadinya infeksi sekunder dengan menutup liang
telinga yang trauma dengan kasa steril.
Biasanya perforasi akan sembuh secara spontan.
Operasi emergensi dilakukan pada trauma tembus dengan gangguan pendengaran sensorineural
dan vertigo, dengan kecurigaan fraktur dan impaksi kaki stapes ke vertbuler atau fistua
perilimpa.
Jika perforasi menetap setelah 4 bulan, dan terdapat gangguan pendengaran konduktif >20 dB,
merupakan indikasi timpanoplasti.

Prognosis
Kehilangan pendengaran sebesar (> 35 dB HL).

Edukasi
Hindari melakukan mengorek telinga dengan benda yang Keras/Tajam.
Jangan sering mengorek telinga terlalu dalam.

Kepustakaan
1. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Middle Ear and Temporal BoneTrauma. Head &
Neck Surgery – Otolaryngology, 4th ed. Lippincott Willia&Wilkins Publisher;2006.p. 2057-
2079
2. Lee KJ. Noninfectious Disorders of the Ear. In : Lee KJ, editor. Essential Otolarngology
Head & Neck Surgery, 8th ed. McGraw-Hill;2003.p.512-534.
3. Toner JG, Ker AG. Ear Trauma.In: Booth JB, editor. Otology, Scott-Browns’s
th
Otolaryngology, 6 ed. Butterworth Heinemann;1997.p.3/7/1-3/7/13

70
25. TULI AKIBAT BISING

Pengertian
Gangguan pendengaran akibat bising ( noise induced hearing loss / NIHL ) adalah tuli akibat
terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya
diakibatkan oleh bising lingkungan kerja

Anamnesis
Riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang
cukup lama, biasanya lebih dari 5 tahun.

Pemeriksaan Fisik
1. Pada pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positip, Weber lateralisasi ke telinga
yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek.

Kriteria Diagnostik
1. Anamnese
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Audiologi

Diagnosis Banding
1. Sudden Deafness Hearing Loss

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekwensi tinggi (
umumnya 3000 – 6000 Hz ) dan pada frekwensi 4000 Hz sering terdapat takik ( notch ) yang
patognomonik
2. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI ( Short Increment Sensitivity Index), ABLB (
Alternate Binaural Loudness Balance ) dan Speech Audiometry menunjukkan adanya
fenomena rekrutmen (recruitment )yang khas untuk tuli saraf koklea

Terapi
1. Pemakaian Alat Bantu Dengar
2. Latihan pendengaran ( auditory training )

Edukasi
 Penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising
 Dapat dipergunakan alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup
telinga ( ear muffs ) dan pelindung kepala ( helmet )
 Dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya

Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap,
dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang
baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.

Kepustakaan
1. Dobie RA. Noise induced hearing loss. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and neck
surgery-otolaryngology, 2014

71
26. DISLOKASI DAN FRAKTUR SEPTUM

Pengertian
Diskolasi dan fraktur septum adalah gangguan pertumbuhan yang tidak seimbang antara
kartilago dengan tulang septum, traumatik akibat fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum atau
akibat trauma saat lahir.

Anamnesis
Gejala klinis penderita Diskolasi dan fraktur septum adalah :
1. Hidung tersumbat, biasanya unilateral dan dapat intermiten
2. Hiposmia atau anosmia
3. Sakit kepala dengan derajat yang bervariasi

Pemeriksaan Fisik
1. Obstruksi hidung
Selalu terjadi pada sisi yang deviasi, tetapi sisi sebelahnya juga sering terjadi obstruksi
disebabkan oleh hipertropi konka
2. Perubahan mukosa
Udara inspirasi menjadi terkonsentrasi pada daerah yang sempit menyebabkan efek kering
sehingga terjadi pembentukan krusta. Pengangkatan krusta dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahkan. Lapisan proteksi mukosa akan hilang dan berkurangnya resistensi terhadap
infeksi. Mukosa sekitar deviasi akan menjadi oedem sebagai akibat fenomena Bernouili yang
kemudian menambah derajat obstruksi.
3. Hiposmia / anosmia yang disebabkan oleh obstruksi
4. Nyeri
Tekanan yang disebabkan oleh septum yang deviasi terhadap syaraf sensoris sekitarnya dapat
menyebabkan nyeri.

Kriteria Diagnosis
1. Rinoskopi anterior.
2. Pemeriksaan nasoendoskopi

Diagnosis Banding
1. Fraktur Os Nasal
2. Fraktur Maksilla

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan X-ray paranasal

Terapi
Pada septum deviasi ringan yang tidak menyebabkan gejala, dilakukan observasi. Pada septum
deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan septoplasti.

Edukasi
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini jika tidak dijumpai gejala klinis tidak perlu di
reposisi.

Prognosis
Baik

Kepustakaan
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth edition, Volume
one, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p: 307- 334
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers, Inc., New York,
1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition, Mc.
Graw-Hill, 2003

72
4. Behrbohm H., Tardy M.E Jr, Essentials of Septorhinoplasty, Philosophy-Approaches-
Techniques, Thieme Medical Publishers, Inc., New York, 2004

27. FRAKTUR HIDUNG

Pengertian
Fraktur hidung adalah terjadinya diskontinuitas jaringan tulang yang biasanya disebabkan
benturan keras.

Klasifikasi
Jenis fraktur hidung:
1. Tipe 1: Unilateral.
2. Tipe 2: Fraktur multiple dari piramid hidung
3. Tipe3: Fraktur bilateral dan depresi atau dislokasi os nasal.
4. Tipe4: Kompresi dan fraktur septum disebabkan trauma arah kaudalkranial.

Anamnesis
1. Riwayat trauma
2. Hidung tersumbat
3. Epistaksis

Pemeriksaan Fisik
1. Deformitas.
2. Krepitasi.
3. Septal hematom.

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi.
2. Nasoendoskopi.
3. Pemeriksaan radiologi.

Diagnosis Banding
1. Septum deviasi.
2. Abses septum.

Pemeriksaan Penunjang
Ro foto: Lateral (profil hidung), PA, Waters.

Terapi
1. Luka terbuka di bersihkan, pinggir luka dan os nasal di periksa hati-hati. Fragmen fraktur di
posisikan kembali dan jaringan lunak di jahit atraumatik.
2. Reposisi fraktur sederhana sebaiknya dilakukan pada 24 jam pertama, atau paling lambat
dalam 48 jam karena fraktur mudah untuk direduksi. Tetapi bila terdapat pembengkakan
jaringan yang hebat, reposisi dapat dilakukan dalam 10 hari.

Edukasi
Menganjurkan pasien tidak menggosok2 hidung, dan hindari benturan pada wajah.

Prognosis
Kebanyakan frktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh tanpa adanya
kelainan kosmetik dan fungsional.

73
Kepustakaan
1. Brendan C. Stack Jr. in Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, fourth
edition, volume one, Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-Wilkins,
Philadelphia, USA, 2006: 70: 975-993.
2. Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, third edition, volume two, Nasal
Fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2001: 71A: 995-1008.
3. GuiXne Penyakit THT-KL di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia,
2007.

28. POLIP HIDUNG


Pengertian
Masa yang lunak, berwarna putih atau keabu – abuan yang terdapat di dalam rongga hidung.

Anamnesis
Gejala klinis penderita polip hidung adalah :
1. Hidung tersumbat.
2. Gangguan penciuman
3. Sekret dalam hidung
4. Makin lama makin tersumbat/tidak
5. Ada rasa sakit atau tidak
6. Waktu (sudah berapa lama)/ kapan mulai dirasakan

Pemeriksaan Fisik
1. Massa di rongga hidung putih keabuan, tidak nyeri tekan.
2. Sekret encer atau purulen.
3. Mukosa hidung pucat
4. Konka inferior normal atau hipertropi.

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Rinoskopi Anterior
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
1. Inverted Papiloma.
2. Karsinoma Sinonasal.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Foto Waters.
2. Pemeriksaan sitologi dan histopatologi.
3.pemeriksaan CT Scan Hidung dan SPN

Terapi
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Medikamentosa
- Steroid topikal
- Polipektomi medikamentoda dengan (HDST) High Dose Short Term oral steroid :
 Prednison 1 mg/kgbb 10 hari
 Metyl prednisolon 64mg  10 mg dalam 10 hari
 Deksametason 12mg  8mg  4mg dalam 10 hari
2. Bedah: polipektomi dengan atau tanpa Bedah endoskopik sinus fungsional.

74
Edukasi
Keluhan polip bisa berulang terutama jika disertai dengan alergi hidung.

Prognosis
Baik dengan penanganan yang tepat.

Kepustakaan
1. Byron J Bailey : Head &Neck Surgery-Otolaryngology ,Lippicont William & Wilkins A
Wolter Kluwer CO.Philadhelpia 2001 p 305 - 306
2. K.J. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, Eighth edition,
McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York Chicago, 2003 p 704 -705
3. Martin Burton : Hall and Colman’s Diseases Of The Ear, Nose And Throat, Fifteenth edition,
Churchill Livingstone 2000 p 107 – 109
4. David W. Kennedy, MD, FACS, FRCSI : Diseases Of The Sinuses Diagnosis And
Management, BC Decker Inc Hamilton London 2001 p 57 – 75
5. Niels Mygind and Torben Lildholdt : Nasal Poliposis, Munksgaard – Copenhagen, January
1997
6. John M Lore. Jr, MD, Jesus E. Medina, MD : An Atlas of Head & Neck Surgery, Fourth
edition, Elsivier Saunders 2005 p 286 – 287

29. RHINITIS MEDIKAMENTOSA

Pengertian
Adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh
pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan
berlebihan.

Anamnesis
Gejala klinis penderita Rhinitis Medikamentosa adalah :
1. Hidung tersumbat terus-menerus
2. Hidung berair terus-menerus
3. Riwayat Pemakaian obat-obatan nasal dekongestan tetes/semprot dalam jangka waktu yang
lama

Pemeriksaan Fisik
a. Tampak edema/ hipertrofi konka
b. Sekret hidung berlebihan

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Rinoskopi Anterior

Diagnosis Banding
1. Drug-induced Rhinitis
2. Rhinitis Okupasional
3. Rhinitis Vasomotor
4. Rhinitis Hormonal

Permeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Foto Waters
2. Pemeriksaan Laboratorium

75
Terapi
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Hentikan Pemakaian obat-obat vasokonstriktor topikal hidung
2. Medikamentosa
- Steroid topikal selama 2 minggu
- Steroid oral dosis tinggi jangka pendek
- Dekongestan oral yang mengandung pseudoefedrin

Edukasi
Hentikan pemakaian vasokonstriktor hidung topikal.

Prognosis
Baik dengan penanganan yang tepat.

Kepustakaan
1. Byron J Bailey : Head &Neck Surgery-Otolaryngology-Allergic and non allergic rhinitis,
Lippicont William & Wilkins A Wolter Kluwer CO.Philadhelpia 2001 p 351 - 363
2. K.J. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery – The Nose and
Paranasala Sinuses, Ninth edition, McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York
Chicago, 2008 p 383
3. Dhingra PL : Diseases Of The Ear, Nose And Throat, Vasomotor And Other Forms Of Non-
Allergic Rhinitis, Fourth Edition, 2006 p 160-1
4. Scott-Browns, Otolaryngology Head &Neck Surgery – non allergic perennial rhinitis, 2008 p
1408 – 1413

30. RINITIS ATROFI

Pengertian
Rinitis Atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada
mukosa dan tulang konka.

Anamnesis
Gejala klinis penderita rinitis atrofi adalah :
1. Napas berbau
2. Ingus kental yang berwarna hijau
3. Gangguan penghidu
4. Sakit kepala
5. Hidung merasa tersumbat

Pemeriksaan Fisik
1. Rongga hidung sangat lapang
2. Konka inferior dan media hipotrofi atau atrofi
3. Sekret purulent
4. Krusta berwarna hijau

Kriteria Diagnosis
1. Pemeriksaan rinoskopi anterior
2. Pemeriksaan histopatologik
3. Pemeriksaan mikrobiologi

Diagnosis Banding
1. Sinusitis
2. Nasofaringitis kronis

76
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media
2. Pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman
3. CT-scan sinus paranasal

Terapi
Pengobatan Konservatif:
1. Antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang kuat
2. Untuk menghilangkan bau busuk dapat dipakai obat cuci hidung.
3. Vitamin A 3x50.000 unit
4. Preparat Fe selama 2 minggu
Pengobatan Operatif

Edukasi
Menganjurkan pasien untuk teratur mencuci hidung

Prognosis
Pengobatan medis terbaik rhinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Dengan operasi diharapkan
perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa
kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

Kepustakaan
1. Boies, L, Boies Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta, EGC, 1997.
2. Chan, T, Nonallergic Rhinitis, in: Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology, 5th
edition, Philadhelpia, Lippincott Williams & Wilkins, 2014.
3. Wardani R, Infeksi Hidung, dalam: Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, edisi
6, Jakarta, FK-UI, 2009.

31. RINOSINUSITIS

Pengertian
Rinosinusitisadalahpenyakitinflamasimukosa yang melapisihidungdan sinus paranasal.

Anamnesis
1. Riwayatrinorepurulen yang berlangsunglebihdari 7 hari
2. Sumbatan hidung
3. Nyeri/rasa tekanan pada wajah
4. Nyeri kepala
5. Demam
6. Nyeri periorbital
7. Nyeri gigi
8. Nyeri telinga

Pemeriksaan Fisik
1. Rinoskopi anterior
2. Rinoskopi posterior tampakadanya secret purulen di nasofaring
(post nasal drip).

Kriteria Diagnosis
KriteriaRinosinusitisAkutdanKronikpadaAnakdanDewasaMenurut International Conference on
Sinus Disease 1993 &2004 :

RinosinusitisAkut RinosinusitisKronis
No Kriteria Dewasa Anak Dewasa Anak

77
1. Lama gejaladantanda <12 minggu <12 minggu > 12 minggu > 12 minggu
2. Jumlah episode <4 x/tahun <6 x/tahun > 4 x/tahun > 6 x/tahun
seranganakut,
masing-
masingberlangsung
minimal 10 hari
3. Reversibilitasmukosa Dapatsembuhsempurnadeng Tidakdapatsembuhsempurnadeng
anpengobatanmedikamentos anpengobatanmedikamentosa
a

Diagnosis Banding
1. Rinitisakut (common cold)
2. Neuralgia trigeminal,
3. Rinovirus,
4. Polip nasal
5. Infeksisalurannafasatas
6. Rinitisalergi
7. Polip nasal

Pemeriksaan Penunjang
1. Nasoendoskopi
2. Rinofaringolaringoskopi
3. PemeriksaanKemosensoriPenghidu (Sniffin Stick Test)
4. Pemeriksaanmenegakkanadanyagangguanpenghidu
5. Foto Rontgen Polosposisi Waters, Schedel PA danSchedel Lateral pada sinusitis akut yang
tidakrespondenganterapimedikamentosaselama 7 hari.
6. TomografiKomputer Sinus Paranasal
7. Pemeriksaantomografikomputer sinus merupakanstandarbakuemas diagnosis
rinosinusitisakutdengankomplikasidankronikkarenamampumenilai factor risiko yang
berupavariasianatomi, atauperluasanpenyakitdalamhidungdan sinus secarakeseluruhan.
Umumnyadikerjakansebagaipenunjang diagnosis kronik yang
tidakmembaikdenganpengobatanataupra-operasisebagaipanduan operator
saatmelakukanoperasi sinus.
8. Pemeriksaanmikrobiologikdantesresistensi (bilatdkadaperbaikandenganterapiantibiotik yang
diberikansebelumnya)
9. Pemeriksaanalergi (bilaadariwayatalergi)

Terapi
1. Medikamentosa:
 Antimikrobialgolonganpenilisinsebagaiterapilinpertamasepertiamoksisilin, amoksisilin-
klavulanat
 Steroid topical dan/ataudekongestan oral,
 Mukolitik
 Intranasal spray
 Antihistamingenerasikedua
2. Operasi

Edukasi
Mengontrolfaktor-faktorresikosepertiriwayatalergi, asma, polutan seperti rokok serta
reflukslaringofaringeal dan asupan nutrisi yang seimbang.
Pasien diedukasi pencegahan untuk rino sinusitis akut dentogen dengan menjaga oral higiene.
Pasien diabetes edukasi mengenai control gula darah.

Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40% akan sembuh secara spontan tanpa
pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bias mengalami relaps setelah pengobatan
namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5%. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat
tidak ada pengobatan yang kuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik,
78
meningitis, absesotak, ataukomplikasi extra sinus lainnya. Sedangkan prognosis untuk sinusitis
kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dinimaka akan mendapatkan hasil yang baik. Untuk
komplikasinya bias berupa selulitisorbita, trombosis sinus cavernous, perluasan ke intracranial
(absesotak, meningitis) danpembentukanmukokel.

KEPUSTAKAAN
1. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Rinosinusitis: current concept and management. In: Bailey
BJ, Calhoun KH, Healy GB, Pillsbury HC, Johnson JT, Tardy ME, Jackler RK eds. Head and
neck surgeryotolaryngology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2001:p
345-57.
2. Mangunkusumo E, Nusjirwan R. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N eds. Buku ajar
ilmukesehatantelinga-hidung-tenggorokkepalaleher. Edisi ke-5. Jakarta: Balaipenerbit FK UI;
2002: p 120-4

79
GAMBAR 6. PENATALAKSANAAN SINUSITIS

ANAMNESIS
Rinorepurulen> 7 hari
(sumbatanhidung, nyerimuka, sakitkepala,
gangguanpenghidu, demamdll

RINOSKOPI ANTERIOR
Polip?Tumor?
Komplikasi sinusitis?
YA Lakukanpenatalak
TIDAK sanaan yang
SINUSITIS AKUT / KRONIK ? sesuai
Lama gejala> 12 minggu ?
Episode seranganakut>4 x / tahun?
SINUSITISAKUT
Rinoskopi Anterior (RA)
TIDAK (consensusInternasional Sinusitis YA
2004) SINUSITIS KRONIK
RA/Naso-endoskopi
Terapitambahan :
Ro polos / CT Scan
AB empiric (2 x 24 jam) Dekongest.oral + topical FaktorPredisposisi Pungsi&irigasi sinus
LiniI :Amoksil 3x500 mg Mukolitik, Analgetik  Deviasi septum Sinuskopi
/Cotrimoxasol 2x480 mg PasienAtopi :  Konka bulosa, Hopertrofi
+ terapitambahan  Antihist/Kortikosteroid Adenoid (pada anak)
topikal  Polip, Kista, Jamur,
Dontogenik
YA
YA
Perbaikan ? FaktorPredisposisi?
YA
TIDAK Tata laksana yang
sesuai
TIDAK
Lini II AB (7 hari)
Terapitambahan :
Amoks. klav /
Dekongest.oralKortikost.oraldana
Ampi. sulbaktam tautopikal, Mukolitik Terapi sesuai pada episode
Cephalosporin gen. ll Antihistamin (pasienatopi) akut lini II + Terapi
Makrolide Diatermi,Proetz,Irigasi sinus tambahan

+ terapitambahan
TeruskanAB Perbaikan ?
YA
mencukupi
Perbaikan ? 7-14 hari
YA TIDAK
TIDAK
AB alternative 7 hari
Ro.polos/CT scan dan / Ataubuatkultur
naso-endoskopi (NE)

Kemungkinan
Sinusitis Akut TeruskanAB
Berulang mencukupi YA
YA Perbaikan ?
Kelainan ? Lakukan terapi 7-14 hari
sinusitis kronik
TIDAK
TIDAK Evaluasi kembali : NE,
Sinuskopi atau CT jika
Evaluasi diagnosis kembali belum
1. Evaluasi komprehensif` alergi, Obstruksi KOM?
LPR (refluks) TIDAK
2. Kultur pungsi sinus untuk
resistensi kuman, beri AB sesuai
kultur YA
Carialur TINDAKAN BEDAH : BSEF
Diagnostik lain atau Bedah Konvensional

80
32. SEPTUM DEVIASI

Pengertian
Septum deviasi adalah suatu pembengkokan septum yang banyak terjadi, dan pada derajat
tertentu dapat menimbulkan gangguan berupa obstruksi hidung.

Anamnesis
Gejala klinis penderita septum deviasi adalah:
1. Obstruksi hidung.
2. Perubahan mukosa.
3. Hiposmia/anosmia yang disebabkan oleh obstruksi.
4. Nyeri .

Bentuk-Bentuk
1. Deviasi bentuk C atau S.
2. Dislokasi.
3. Krista bentuk sudut (runcing : spina).

Pemeriksaan Fisik
1. Septum deviasi di bagian anterior atau posterior.
2. Deformitas hidung.

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi.
2. Nasoendoskopi.
3. X ray Paranasal.

Diagnosis Banding
1. Fraktur os nasal.
2. Perforasi septum.

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos paranasal.
2. CT-Scan Paranasal.

Penatalaksanaan
1. Pada septum deviasi ringan yang tidak menyebabkan gejala, dilakukan observasi.
2. Pada septum deviasi yang memberikan gejala obstruksi dilakukan pembedahan septoplasti.

Edukasi
1. Anjurkan pasien untuk tidak menggosok-gosok hidung.
2. Hindari trauma pada hidung.

Prognosis
1. Pada pasien deviasi septum nasal akan baik bila cepat ditangani dengan tindakan yang tepat
dan belum adanya komplikasi.

81
2. Bila sudah terdapat komplikasi maka harus diterapi, dan terapi dilakukan sesudah
rekonstruksi septum.

Kepustakaan
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth edition, Volume
one, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p: 307- 334
2. Maran A.G, Lund V.J, Clinical Rhinology, Thieme Medical Publishers, Inc., New York,
1990, p: 5-15, 82
3. Lee, K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition, Mc. Graw-
Hill, 2003
4. Behrbohm H., Tardy M.E Jr, Essentials of Septorhinoplasty, Philosophy-Approaches-
Techniques, Thieme Medical Publishers, Inc., New York, 2004

33. FRAKTUR MAKSILLA

Defenisi
Fraktur maksila : Fraktur yang berhubungan dengan sistem pilar vertikal dari sepertiga tengah
wajah.

Klasifikasi
Le Fort I ( Prosesus alveolaris ) : Fraktur maksila rendah yang memisahkan maksila setinggi
dasar hidung
Le Fort II ( Fraktur Piramidal ) : Fraktur pada palatum dan sepertiga tengah wajah yang
berakibat terpisahnya bagian sepertiga tengah wajah dari dasar kranium.
Le fort III (Craniofacial disjunction) : Fraktur yang mengakibatkan pemisahan lengkap kompleks
zygomaticomaxillaris dari dasar kranium.

Anamnesis
1. Pembengkakan infra orbital
2. Hipestesi cabang N.V2
3. Maloklusi (Le Fort I – II)
4. Epistaksis (Le Fort II – III)
5. LCS leak (Le Fort III)
6. mekanisme trauma : tentang kekuatan, lokasi dan arah benturan yang terjadi
7. cedera di bagian tubuh yang lain
8. riwayat perubahan status mental dan penuruna kesadaran
9. adanya defisiensi fungsional lainnya, misalnya berhubungan dengan jalan nafas,
penglihatan, syaraf otak ataupun pendengaran

Pemeriksaan Fisik
1. Secara inspeksi wajah tampak tidak simetris atau tidak proporsional
2. Inspeksi : kelainan lokal,luka, asimetri wajah, adakah gangguan fungsi mata, gangguan
oklusi, trismus, paresis fascialis dan sebagainya.
3. edema jaringan lunak dan ekimosis
4. palpasi : daerah supraorbital, lateral orbital rim, zygoma, infra orbital, hidung, mandibula,
sendi temporomandibular, palpasi bimanual (ekstra – intra oral).
5. LeFort I
- Terdapat mobilitas atau pergeseran arkus dentalis, maksila dan palatum
- Maloklusi gigi
6. LeFort II
- Palatum bergeser ke belakan
- Maloklusi gigi
7. LeFort III
- Terdapat mobilitas dan pergeseran kompleks zigomatikomaksilaris
komplikasi intrakranial misalnya : kebocoran cairan serebrospinal melalui sel atap ethmoid
dan lamina cribiformis.
82
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi baik berupa foto polos maupun CT Scan
2. Foto polos : posisi Waters, foto kepala lateral maupun servikal lateral.
3. CT Scan baik potongan axial maupun coronal.
4. pemeriksaan untuk persiapan operasi :
Lab darah : Hb, Lekosit, Trombosit, BT, CT, bila perlu PT dan aPTT,
SGOT,SGPT, Ureum, Kreatinin, Na, Kalium.
Radiologik : Foto Thoraks
Lain-lain : EKG bila perlu

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Penunjang
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Radiologi: Foto Polos, CT Scan

Diagnosis Banding
- Fraktur multiple wajah

Terapi
1.Perbaikan keadaan umum
2.Medikamentosa kausal
3.transfusi darah (bila perlu)
4.Operatif : Repair (atau Reduksi) fraktur maksila

Dapat berupa :
• LeFort I :
Fiksasi interdental dan intermaksilar selama 4 – 6 minggu
• LeFort II :
Seperti LeFort I disertai fiksasi dari sutura zigomatikum atau rim orbita
• LeFort III :

Reduksi terbuka dengan fiksasi interdental dan intermaksilar, suspensi dari sutura
zigometikum dan pemasangan kawat dari rim orbita.
Dapat digunakan mini/microplate untuk mobilisasi segmen fraktur sebagai pengganti kawat.
Bila dengan teknik diatas tidak didapatkan fiksasi yang adekuat, digunakan alat fiksasi eksterna
untuk membuat traksi lateral atau anterior.
Pemasangan splint bila terdapat displacement gigi, traktur alveolar atau maloklusi

Edukasi
1. Makan makanan yang lunak selama pengobatan
2. Bicara seperlunya saja
3. Hindari kontak langsung trauma pada wajah

Prognosis
Baik apabila ditangani dengancepat dan tepat

Kepustakaan
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Fourth Brendan C. Stack
Jr. in Bailey Byron J, Head & Neck Surgery-Otolaryngology, fourth edition, volume one,
Maxillary and periorbital fractures, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA, 2006: 70:
975-993.
2. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery- Otolaryngology, Atlas of Head & Neck
Surgery-Otolaryngology, fourth edition, Lippincot William-Wilkins, Philadelphia, USA,
1996, Section Tree, Plastic and Reconstructive Surgery, 204:540-546.

83
34. LABIOSKIZIS

Pengertian
Labioskizisatau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana terdapatnya celah pada
bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa takik kecil pada bahagian bibir
yang berwarna sampai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung

Anamnesis
Gejala klinis penderita palatoskisis adalah :
1. Kesukaran dalam menghisap/makan.
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Regurgitasi makanan
4. Bisa menyebabkan gangguan pernapasan.
5. Gangguan pendengaran
6. Infeksi telinga berulang
7. Distorsi pertumbuhan wajah

Pemeriksaan Fisik
1. Terdapat celah pada bibir
2. Distorsi hidung

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi
2. Nasalens
3. Naso endoskopi
4. Timpanometri untuk evaluasi otitis media efusi

Diagnosis Banding
1. Van der woude syndrome
2. Down syndrome
3. Velocardiofacial syndrome

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Foto rontgen
3. MRI

Terapi
1. Terapi non bedah
2. Terapi bedah : labioplasti

Edukasi
1. Rajin kontrol ulang setelah operasi
2. Berbicara seperlunya saja

Prognosis
Pasien dengan pembedahan dan intervensi yang benar, anak dengan celah bibir bisa berkembang
dengan normal.

Kepustakaan
1. Bailey BJ, Johnson JT, Head & Neck Surgery – Otolaryngology, Fourth Edition, Volume
two, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p : 1356-1365
2. Arun KL, Randal N, Embriology of Head and Neck. In: Grabb & Smith’s Plastic Sugery,
Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p : 179 -190
3. Lee .K.J, Kongenital Malformation in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 63-65

84
35. PALATOSKISIS

Pengertian
kelainan kongenital yang mengakibatkan masalah yang mutipel mulai dari gangguan wicara,
gangguan pendengaran, gangguan makan, gangguan perkembangan maksilofasial dan gigi geligi.

Anamnesis
Gejala klinis penderita palatoskisis adalah :
1. Kesukaran dalam menghisap/makan.
2. Gangguan komunikasi verbal
3. Regurgitasi makanan
4. Bisa menyebabkan gangguan pernapasan.
5. Gangguan pendengaran
6. Infeksi telinga berulang
7. Distorsi pertumbuhan wajah

Pemeriksaan Fisik
1. Teraba ada celah atau terbukanya langit langit saat diperiksa dengan jari
2. Distorsi hidung

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi
2. Nasalens
3. Naso endoskopi
4. Timpanometri untuk evaluasi otitis media efusi

Diagnosis Banding
1. Van der woude syndrome
2. Down syndrome
3. Velocardiofacial syndrome

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Foto rontgen
3. MRI

Terapi
1. Terapi non bedah
2. Terapi bedah:
Pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi, dilakukan pada
usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang
optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses
penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft palate
dapat berfungsi dengan baik.

Prognosis
Pasien dengan pembedahan dan intervensi yang benar, anak dengan celah langit langit bisa
berkembang dengan normal.

Kepustakaan
1. Bailey BJ, Johnson JT, Head & Neck Surgery – Otolaryngology, Fourth Edition, Volume
two, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p : 1356-1365
2. Arun KL, Randal N, Embriology of Head and Neck. In: Grabb & Smith’s Plastic Sugery,
Sixth edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p : 179 -190

85
3. Lee .K.J, Kongenital Malformation in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 63-65.

36. NEOPLASMA TONSIL

Pengertian
Merupakan keganasan pada jaringan tonsila palatina.

Anamnesis
1. Gejala klinis penderita Neoplasma Tonsil adalah:
2. Stadium awal biasanya asimtomatik
3. Nyeri tenggorok yang tidak sembuh-sembuh
4. Nyeri bertambah saat menelan
5. Nyeri dapat menyebar ke telinga (otalgia) akibat referred pain atau jika kanker menekan
saraf
6. Disfagia
7. Disartria
8. Pembesaran KGB yang keras dan terfiksir
9. Penurunan berat badan diakibatkan karena sulit menelan
10. Trismus, apabila infiltrasi mengenai M.Pterygoidei
11. Batuk dapat terjadi akibat kenaikan produksi lendir di tenggorok
12. Sindrom Jacod's (berhubungan dengan ekspresi muka, mata dan gerakan rahang)
13. Sindrom Villaret's (kesulitan menelan dan kesulitan gerakan lidah dan leher)

Pemeriksaan Fisik
1. Tampak tumor di daerah tonsil dengan permukaan yang tidak rat, kemerahan yang kadang
disertai perdarahan
2. Pada palpasi teraba tumor dengan konsistensi lunak sampai padat
3. Teraba pembesaran kelenjar getah bening leher

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. FNAB
4. Biopsi

Diagnosis Banding
1. Limfoma maligna (Limfoma Non-Hodgkin)
2. Melanoma
3. Sarkoma

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorax PA dan Lateral
2. Foto soft tissue leher
3. USG Abdomen
4. CT Scan/ MRI
5. PET / Positron Emission Tomography Scan
6. Pemeriksaan laboratorium darah

Terapi
1. Operasi
2. Kemoterapi
3. Radioterapi
4. Radiosensitisizer
5. Terapi Hipertermia

86
6. Pengobatan Lain (Vaksin, Antagonis reseptor growth faktor, inhibitor kinase dependent siklin,
virus onkolitik, dan lain lain)

Edukasi
1. Menjelaskan rehabilitasi pasca operasi
2. Kemungkinan adanya komplikasi akibat tindakan operasi dan pemberian radioterapi (antara
lain: kerusakan gigi, saraf, infeksi luka, disfagia, disfungsi tuba eustachius, malokluasi,
disfungsi TMJ, mukositis, xerostomia, disfungsi indra perasa, fibrosis)

Prognosis
5 tahun survival pada neoplasma tonsil menurut stadium:
Stadium I : 67 %
Stadium II : 46 %
Stadium III : 31 %
Stadium IV : 32 %

Kepustakaan
1. National Cancer Institute. Oropharyngeal Cancer. 2006. Aviable from URL :
http://www.cancer.gov.
2. De. V, Bosman. F, Wagener. D. Orofaring. Dalam : Onkologi. 5th ed. 1996 : p.287-90.
3. Jian. W, Yunyi. K, Hongfen. L, Yuexiang. X. Two cases of extranodal follicular dendritic
cell sarcoma, Chinese Medical Journal, 2003. Aviable from URL : http://www.cmj.com.
4. Bailey. B, Johnson. J. Oropharyngeal Cancer. In : Head and Neck Surgery Otolaryngology.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 4th ed. 2006 : p.1673-88.
5. Arsyad. E, Iskandar. N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi ke 5. 1996 : hal. 140,175-6.
6. Kraus. D. Tongue Base and Tonsil Cancer, 2006. Aviable from URL :
http://www.canceranswers.com.
7. Mulyarjo, Soedjak. S, Wisnubroto, Harmadji. S, Hasanusi. R, Artono. Perkembangan Terkini
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas THT-KL, Naskah Lengkap Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Penyakit THT-KL, Surabaya, 2002 : hal 86-91.
8. Steven. G, Castle. G. Tumors of Oropharynx, American Head & Neck Society 2006. Aviable
from URL : http://www.ahns.info.
9. Domanowski. G. Malignant Tumors of the Tonsil. 2007. Aviable from URL :
http://www.emedicine.com.
10. NCCN. Cancer of the Oropharynx, Practise GuiXnes in Oncology. 2002.
11. Perez. CA, Brady. LW. Tonsillar Fossa and Faucial Arch. In : Principles and Practise of
Radiation Oncology. 3th ed. Lippincott-Raven. USA. 1998 : p.1003-30.
12. Garth. L, Larson. D, Shah. J. Principles of Surgical Management, Principles of Radiation
Oncology, Principles of Chemotherapy, Oropharynx. In : Essentials of Head and Neck
Oncology. Thieme. New York. 1998 : p. 11-46, 198-204.
13. Lore, Medina. Soft Tissue Sarcoma. In : An Atlas of Head and Neck Surgery. 4th ed. 2006 :
p.152-4.
14. Sung. T, Po. S, Ping. K, Lin. W, Chin. H, Ming. N. Complications of Mandibulotomy :
Midline versus Paramidline, Otolaryngology of Head and neck Surgery, 2003. Aviable from
URL : http://www.elsevier.com.
15. Holsinger. FC, Mcwhorter. AJ, Menard. M, Garcia. D, Laccourreve. O. Transoral Lateral
Oropharyngectomy for Squamous Cell Carcinoma of the Tonsillar Region, Archives
Otolaryngology Head Neck Surgery, 2005. Aviable from URL :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

87
37. KARSINOMA LARING

Pengertian
Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik)

Anamnesis
Gejala dini : suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu pemeriksaan
laring secara seksama.
Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan
menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esophagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).

Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (LI) atau laringoskopi serat optik (LSO)
dapat diketahui tumor di laring.
 Pemeriksaan leher :
o Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid.
o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid atau tirohioid, yang
merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laryngeal. Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid
menyebabkan tiroid membesar dank eras. Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening
leher.

Kriteria Diagnosis
1) Anamnesis :
Gejala dini : suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring secara seksama.
Gejala lanjut : sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan
menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esophagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).
2) Pemeriksaan fisik :
 Pemeriksaan THT : pada laringoskop indirekta (LI) atau laringoskopi serat optik
(LSO) dapat diketahui tumor di laring.
 Pemeriksaan leher :
o Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan tiroid.
o Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membrane krikotiroid atau tirohioid,
yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laryngeal. Infiltrasi tumor ke
kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dank eras. Memeriksa pembesaran
kelenjar getah bening leher.
3) Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan radiologi :
 X-foto leher AP dan lateral (jaringan lunak)
 Tomogram laring atau “CT-Scan”

Biopsi :
Biopsi laring melalui operasi mikrolaring.

Penentuan Stadium
Tumor supraglotik
T1 : Tumor terbatas di supraglotik
T2 : Tumor keluar dari supraglotik, tanpa fiksasi
T3 : Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi dan/atau ekstensi tumor ke poskrikoid, sinus
piriformis atau daerah epiglottis.
88
T4 : Tumor sudah keluar laring, mengenai orofaring, jaringan lunak leher, atau merusak tulang
rawan tiroid.

Tumor glotik
T1 : Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal
T2 : Tumor ber eksternsi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau sedikit
terganggu
T3 : Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis
T4 : Tumor masif dengan kerusakan tulang rawan atau ekstensi keluar laring

Tumor subglotik
T1 : Tumor terbatas di daerah subglotik
T2 : Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu
T3 : Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis
T4 : Tumor masif dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar laring

M0 : Belum ada metastasis jauh


M1 : Metastasis jauh

Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 M0
T1-4 N2-3 M0
T1-4 N0-3 M0
T1-4 N0-3 M1

Diagnosis Banding
Tuberkulosis laring, Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip)

Pemeriksaan Penunjang
1. Laringoskopi optik
2. Aspirasi biopsi benjolan leher
3. Laboratorium : Daral lengkap, HST, KGD ad random, LFT, RFT, Elektrolit
4. Foto thorak PA
5. EKG
6. CT scan Laring potongan axial dengan kontras IV
7. Biopsi laring (operasi mikrolaring)

Terapi
1. Sesak nafas : Trakeostomi (Emergensi) atau trakeostomi dan mikrolaring (Elektif)
2. Sadium I : Radiasi, bila gagal dilanjutkan dengan Laringektomi total
3. Stadium II : Laringektomi total
4. Stadium III : Dengan atau tanpa N1 (Node) : Laringektomi diikuti radiasi.
5. Stadium IV : raditerapi dan kemoterapi

Edukasi
1. Berhenti merokok
2. Inform concent kegunaan, efek dan komplikasi operasi trakeostomi, mikrolaring dan
laringektomi.
3. Bila telah menjalani trakeostomi, supaya tetap menjaga kanul trakeostomi tidak tersumbat
dan memperhatikan kebersihan kanul trakeostomi,
4. Rutin kontrol dan menjalani kemoradioterapi sesuai jadwal.
5. Menjaga asupan gizi yang baik.

89
Prognosis :
a. Supraglottic 5-year relative survival rates
Stage I 59%
Stage II 59%
Stage III 53%
Stage IV 34%

b. Glottic 5-year relative survival rates


Stage I 90%
Stage II 74%
Stage III 56%
Stage IV 44%

c. Subglottic 5-year relative survival rates


Stage I 65%
Stage II 56%
Stage III 47%
Stage IV 32%

Kepustakaan
1. Eibling DE. Surgery for Glottic Carcinoma. In : EN Myers, ed. Operative Otolaryngology
Head and Neck Surgery vol. 1. WB Saunders. Philadelphia. 1997, pp. 416-42
2. Johnson JT. Surgery for Supraglottic Cancer. In : EN Myers, ed. Operative Otolaryngology
Head and Neck Surgery vol. 1. WB Saunders. Philadelphia. 1997, pp. 403-15.
3. Gopal HV, Frankenthaler R, Fried MP. Advanced cancer of the Larynx. In : BJ Bailey, et
al., eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins. 2001, pp. 1505-22.
4. Mulyarjo. Berbagai masalah dalam pengelolaan kanker laring di Surabaya. Pidato
peresmian jabatan Guru Besar dalam Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 1998.
5. Beasley NJP, Gullane PJ. Cancer of the Larynx, Paranasal Sinuses, and Temporal Bone. In
: KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed. McGraw-Hill,
New York. 2003, pp. 596-606.
6. Concus AP. Malignant Laryngeal Lesions. In : AK Lalwani, ed. Current Diagnosis &
Treatment in Otolaryngology – Head and Neck Surgery. International Edition. McGraw-
Hill, Boston, 2004. pp. 455-73.
7. Kaiser TN & Spector GJ. Tumor of the Larynx and Laryngopharynx. In : JJ Ballenger, ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia.
1991, pp. 682-746.

90
38. KARSINOMA NASOFARING

Pengertian
Karsinoma Nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel nasofaring.

Anamnesis
Gejala Klinis
1. Gejala telinga : kurang pendengaran sampai ketulian, tinnitus, otalgia, Otitis Media Efusi.
2. Gejala hidung : sekret atau lendir bercampur darah, hidung tersumbat serta epistaksis.
3. Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) leher : bilateral atau unilateral.
4. Gejala neurologis : sakit kepala, proptosis, diplopia, strabismus, parestesi sampai hipestesi
pada separuh wajah atau timbul neuralgia separuh wajah.

Pemeriksaan Fisik
Untuk melihat lesi tumor pada nasofaring dengan lebih jelas dan untuk melihat lesi yang tidak
dapat diraba dipergunakan indirectnasopharyngoscopy atau flexible fiber optic atau endoskopi
kaku. Dengan endoskopi maka biopsi dapat dilakukan pada nasofaring untuk menegakkan
diagnosa.
Pemeriksaan tidak langsung daerah nasofaring dapat dilakukan dengan cermin, tetapi variasi
anatomi nasofaring pada beberapa pasien akan mengakibatkan evaluasi yang tidak adekuat pada
daerah ini. Permukaan mukosa nasofaring yang tidak rata atau menonjol, perlu dicurigai adanya
tumor terutama bila relevan dengan gejala klinis.

Kriteria Diagnosis
Histopatologi Dan Stadium
Klasifikasi histologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun
1991 mengklasifikasikan tumor menjadi 2 kelompok, yaitu :
a. Squamous Cell Carcinoma dengan subtype Keratinizing Squamous Cell Carcinoma.
b. Non-Keratinizing Carcinoma yang dibagi atas Differentiated dan Undifferentiated.

Klasifikasi Tnm Menurut Ajcc 2010


Tumor Primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi
tanpa perluasan ke parafaring.
T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal.
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial,
hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.
KGB Regional (N)
NX KGB regional tidak dapat dinilai.
N0 Tidak ada metastase ke KGB regional.
N1 Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm
atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral
kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2 Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang, di atas fossa supraklavikular.
N3 Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa
supraklavikular.
N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm.
N3b Meluas ke fossa supraklavikular.
Metastase Jauh (M)
M0 Tanpa metastase jauh
M1 Metastase jauh

91
Kelompok stadium :
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T1 N1 M0
T2 N0 M0
T2 N1 M0
III T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N0 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
IVA T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
IVB setiap T N3 M0
IVC setiap T setiap N M1

Diagnosis Banding
Diagnosa banding bervariasi berdasarkan metode dan gambaran klinisnya. Beberapa penyakit
yang umum seperti Rhinosinusitis atau Polip Nasi dapat memberikan gejala yang serupa dengan
KNF. Karsinoma nasofaring didagnosa banding dengan Angiofibroma Nasofaring.

Pemeriksaan Penunjang
1. Nasoendoskopi
2. Lab : Darah lengkap, HST, RFT, LFT, KGD Ad Random, Elektrolit
3. Biopsi aspirasi
4. Biopsi nasofaring
5. CT Scan Nasofaring potongan Axial dengan zat kontras IV
6. Foto Thorax
7. EKG
8. USG Liver ( Atas indikasi )

Terapi
Stadium I : Radioterapi
Stadium Ii, Iii Dan Iv : Kombinsi Kemoterapi + Radioterapi

Edukasi
Pasien dianjurkan untuk menjalani kemoradioterapi sesuai dengan jadwal dan rutin kontrol ke
Poli THT. Pasien juga diedukasi untuk tetap menjaga asupan gizi yang cukup dan seimbang

Prognosis
Prognosis KNF untuk 5-year disease-spesific survival adalah 92% untuk stadium I, 87% untuk
stadium II, 79% untuk stadium III dan 65% untuk stadium IV.

Kepustakaan
1. Woo JK, Hasselt CA, Nasopharyngeal Carcinoma, in : Scott-Brown’s
Otorhinolaryngologi, Head And Neck Surgery, 7th edition, volume 2, Great Britain,2008 ;
p.2445-70.
2. Wei W.I, Nasofaryngeal Cancer, in : Byron J.Bailey, Johnson J.T Head and Neck Surgery-
Otolaryngology, 4th Edition, 2006; p.1656-71.
3. Ondrey FG, Wright SK, Neoplasma of the Nasopharynx, in ; Ballanger’s Manual of
Otorhinolaryngology Head and neck Surgery, Hamilton, Ontario, 2003;p.484-95.
4. Plant RL, Neoplasma of the Nasopharynx, In : Ballenger’s Otorhinolaryngology HHead
And Neck Surgery, BC Decker Inc, Connecticut, 2009; p.1082-88
5. Shah J.P, Woden SL, Cancer Of The Nasopharynx, In : Atlas Clinical Oncologi Cancer
Head And Neck Surgery, 2001, p. 146-54.
6. Chan et al, Nasopharyngeal Carcinoma, in : Pathology and Genetics of Head and neck
Tumours, WHO Classification of Tumours, Lyon, 2005,p.81-97.
7. NCCN, Clinical Practice GuiXnes in Oncology Head and Neck Cancer, V.2.2010; p.33-5.
92
8. Vlantis AC, Hasselt CA, Anatomi oftheNasopharynx, in : Scott-Brown’s
Otorhinolaryngologi, Head And Neck Surgery, 7th edition, volume 2, Great Britain,2008 ;
p.2107-14.
9. Brennan B. 2006. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease 1 (23): 1-
5.

39. TUMOR JINAK PITA SUARA

Pengertian
Massa pada pita suara yang bersifat jinak misalnya polip pita suara, nodul pita suara dan jenis
lainnya

Anamnesis
Gejala klinis penderita tumor jinak pita suara adalah:
1 Suara serak

Pemeriksaan Fisik
1. suara serak
2. Apabila massa besar akan timbul sesak nafas

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi
2. Laringoskopi indirek
3. Laringoskopi optik

Pemeriksaan Penunjang
1. Cek lab darah
2. Biopsy

Diagnosa Banding
1. keganasan laring.

Terapi
Prinsip – prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan:
1. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pengangkatan tumor jinak pita suara agar suara
penderita dapat normal kembali
2. Pemilihan pengobatan simtomatik

Edukasi
1. Penatalaksanaan awal adalah istirahat suara dan terapi bicara.

Prognosis
Pada pasien tumor jinak pita suara prognosisnya baik apabila penatalaksanaannya baik dan tepat.

Kepustakaan
1. Koufman JA, Bellafsky PC.Infectious and inflammatory diseases of the larynx. In: Snow JB
jr, Ballenger JJ eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. BC
Decker inc 2003. P.1185-217
2. Ludlow CL, Mann EA. Neurogenic and functional disorders of the larynx. In: Snow JB jr,
Ballenger JJ eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. BC
Decker inc 2003. P.1218-53
3. Lusk RP. Congenital anomalies of the larynx. In: Snow JB jr, Ballenger JJ eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th ed. BC Decker inc 2003: p. 1048-7

40. TUMOR LIDAH


93
Pengertian
Tumor lidah merupakan tumor ganas tersering yang berlokasi di rongga mulut setelah tumor
ganas bibir, sekitar 20-50% dari semua tumor ganas rongga mulut. Karsinoma sel skuamosa
adalah keganasan yang paling umum di rongga mulut, tempat yang paling sering adalah bibir
bagian bawah, lidah, dan dasar mulut.

Anamnesis
Gejala klinis penderita tumor ganas lidah adalah:
1. Sulit dan nyeri menelan
2. Sulit mengunyah
3. Malodour pada mulut
4. Sulit membuka mulut
5. Sulit berbicara
6. Perdarahan
7. Pembengkakan pada leher
8. Nyeri alih pada telinga
9. Berat badan berkurang

Pemeriksaan Fisik
1. Lesi merah pada lidah
2. Lesi merah bercampur putih atau plak putih
3. Pertumbuhan mukosa dan ulserasi
4. Lesi ulseroproliferatif dengan daerah yang sudah nekrotik
5. Fistula orokutaneus
6. Benjolan di leher

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium
4. Pemeriksaan radiologi
5. Pemeriksaan histopatologi

Diagnosis Banding
1. Granular cell myoblastoma
2. Adenoid cystic carcinoma
3. Adenocarcinoma
4. Mucoepidermoid carcinoma
5. Rhabdomyosarcoma

Pemeriksaan Penunjang
1. Cek lab darah

Terapi
1. Pembedahan: glosektomi parsial, hemiglosektomi, glosektomi total
2. Radioterapi
3. Kemoterapi
4. Terapi kombinasi

Edukasi
1. Menjaga higiene mulut dengan baik
2. Tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol
3. Tetap kontrol setelah pembedahan dan berobat secara rutin.

94
Prognosis
Prognosa untuk karsinoma rongga mulut tergantung pada lokasi tumor primer dan stadiumnya
pada saat ditemukan. Semakin kecil ukuran tumor semakin baik prognosisnya. Sebagaimana
diketahui bahwa kanker stadium dini merespon dengan baik apabila mendapat terapi eksisi lokal
ataupun radioterapi. Lesi yang lebih besar tidak merespon dengan baik jika diterapi dengan
modalitas tunggal dan biasanya menggunakan kombinasi terapi

Kepustakaan
1. Siddiqui IA dkk, Role of Toluidine Blue In Early Detection of Oral Cancer. Pak J Med Sci.
April-June 2006 Vol. 22 No. 2: 184-187.
2. Gluckman JL ,Savoury LW. ”Carcinoma of The Oral Cavity” . Paparela MM. Otolaringology,
3rd ed. Philadelphia. W.B Saunders Company, 1991. p :2041-67.
3. Barnes L dkk. Pathology & Genetics Head and Neck Tumours. World Health Organization
Classification of Tumour.
4. Jameson MJ, Levine PA.”Neoplasma of The ral Cavity”. Bailey BJ. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. 4th ed. Lippincot Williams & Wilkins. Philadhelpia. 2006. p:1551-66.
5. Rana M,et al.” Modern surgical management of tongue carcinoma – A clinical retrospective
research over a 12 years period.” Head & Neck Oncology. (2011)(3)(43) : 1-34.
6. Shah JP dkk. Head and Neck Surgery and Oncology 3rd ed. London. Elsevier, 2003.173-233.
7. Kokemueller H,et al.” The Hannover experience: Surgical treatment of tongue cancer – A
clinical retrospective evaluation over a 30 years period.” Head & Neck Oncology.
(2011)(3)(27) : 1-9.

41. TUMOR PAROTIS

Pengertian
Tumor parotis adalah tumor yang menyerang kelenjar liur parotis.Dari tiap 5 tumor kelenjar liur,
4 terlokalisasi di glandula parotis, 1 berasal dari kelenjar liur kecil atau submandibularis dan 30
% adalah maligna.

Anamnesis
1. Adanya radiasi terdahulu pada daerah kepala-leher, operasi yang pernah dilakukan pada
kelenjar ludah dan penyakit tertentu yang dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar liur
(diabetes,sirosis,hepatitis, alkoholisme).
2. Pemakaian obat-obat seperti opiate, antihipertensi, derivate fenotiazin, diazepam, dan
klordiazepoksid dapat menyebabkan pembengkakan, karena obat-obat ini menurunkan fungsi
kelenjar ludah.

Pemeriksaan Fisik
1. Apakah ada pembengkakan abnormal, bagaimana keadaan kulit dan selaput lendir di atasnya
dan bagaimana keadaan fungsi nervus fasialis.
2. Adanya fiksasi ke jaringan sekitarnya.
3. Tampak adanya trismus.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan sitologik (biopsi jarum kecil).
2. Foto rontgen kepala dan leher.
3. CT-Scan dan MRI leher

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Palpasi
3. Pemeriksaan penunjang

95
Diagnosis Banding
1. Penyakit dengaz metastase ke kelenjar lymph
2. Reactive lymph nodes
3. HIV infection
4. Sarcoidosis
5. Masseteric hypertrophy
6. Prominent transverse cervical process of C1
7. Chronic parotitis
8. Lymphangioma (paediatric)
9. Haemangioma.

Terapi
1. Ekstirpasi
2. Pada tumor parotis ganas Parotektomi total.
3. Adenolimfoma (Tumor Warthin)Parotidektomi superfisial
4. Tumor maligna primerEksisi luas

Prognosis
Prognosis pada tumor maligna sangat tergantung pada histology, perluasan lokal dan besarnya
tumor dan jumlah metastasis kelenjar leher. Jika sebelum penanganan tumor maligna telah ada
kehilangan fungsi saraf, maka prognosisnya lebih buruk. Ketahanan hidup 5 tahun kira-kira 5%,
namun hal ini masih tetap tergantung kepada histologinya.

Edukasi
1. Menjaga kebersihan mulut
2. Banyak minum untuk mencegah mulut kering
3. Tidak merokok

Kepustakaan
1. K.J.Lee. Essential Otolaryngology-Head & Neck surgery ed.8. Connecticut: McGraw-Hill,
2003.
2. Adams LG, Boies RL, Paparella MM. Dalam: Buku Ajar Penyakit THT, Ed.6. Jakarta : EGC,
1997: 305-319.
3. Anil K, Lalwani. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery.
USA:Mc Graw Hill,2004.

96
42. AKALASIA

Pengertian
Akalasia adalah tidak mampunya bagian distal esofagus untuk relaksasi dan berkurangnya
peristaltik esofagus karena diduga terjadi inkoordinasi neuromuskuler.

Anamnesis
Gejala klinis penderita akalasia adalah :
1. Disfagia
2. Regurgitasi
3. Nyeri daerah substernal
4. Penurunan berat badan

Pemeriksaan Fisik
1. Pelebaran lumen esofagus dengan bagian distal yang menyempit
2. Terdapat sisa-sisa makanan dan cairan di bagian proksimal dari daerah penyempitan

Kriteria Diagnosis
1. Pemeriksaan radiologik
2. Pemeriksaan esofagoskopi

Diagnosis Banding
1. Spasme esofageal difus
2. Penyakit gastroesofageal refluk

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan manometrik

Terapi
Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik esofagus tidak dapat
dipulihkan kembali, terapi yang dapat dilakukan antara lain :
1. Diet tinggi kalori
2. Medikamentosa
3. Tindakan dilatasi
4. Psikoterapi
5. Operasi esofago-kardiomiotomi (operasi Heller).

Edukasi
1. Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan

Prognosis
Terapi hanya bersifat paliatif

Kepustakaan
1. Adams G.L., Boies L.R, Higler P.A., Buku Ajar Penyakit THT. EGC. Jakarta. Hal 455.
2. Bailey BJ., Johnson JT. Esofageal Disorder, 755-70., 2006
3. Ballantyne J.C, Grove John, Edwards C.H., Downton David. In a Synopsis of
otolaryngology.

97
43. BENDA ASING TRAKEO-BRONKIAL

Pengertian

Benda asing di dalam suatu organ adalah benda atau bahan yang pada keadaan normal tidak
terdapat di dalam organ tersebut.

Anamnesis
Gejala :
1. Batuk tiba-tiba (coughing).
2. Rasa tercekik (chocking).
3. Rasa tersumbat (gasping).
4. Menahan napas (gagging).
5. Mendehem.

Pemeriksaan Penunjang
1. Benda asing metal  foto polos pa dan lateral
2. Benda asing densitas rendah  foto tehnik jaringan lunak
3. Benda asing radiolusen  foto pada akhir inspirasi & ekspirasi
4. Fluoroskopi 2 sisi (biplane fluoroscopy)
5. Fluoroskopi video (video fluoroscopy)

Kriteria Diagnosis
1. Laringoskopi
2. Bronkoskopi kaku / fleksibel

Diagnosis Banding
Acut pulmonary disease ( seperti asthma )

Terapi
Ekstraksi benda asing sesuai lokasi (Bronkoskopi)

Komplikasi
1. Emfisema
2. Atelektasis
3. Pneumonia
4. Pembentukan abses
5. Sepsis
6. Perforasi / fistula

Kepustakaan
1. Lore JM, Medina JE. Diagnostic Endoscopy. The Trachea and Mediastinum. In: An Atlas Of
Head And Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia. Elsevier Saunders. 2005. p. 188. 1015
2. Jackson C, Jackson CL. Bronchi and Esophagus. In: Diseases of the Nose, Throat and Ear.
Philadelphia. W.B. Saunders Company. 1959. p. 728-38

98
44. ESOFAGITIS KOROSIF

Pengertian
Esofagitis korosif adalah peradangan esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena bahan
kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa kuat/alkali.

Anamnesis
Berdasarkan gejala klinis & perjalanan penyakit, esofagitis korosif dibagi 3 yaitu :
Fase akut, fase laten (intermediate ) dan fase kronik (obstruktif)
Fase akut : Keadaan ini berlangsung 1 – 3 hari, gejala yang ditemukan ialah disfagi yang hebat,
odinofagi serta suhu badan yang meningkat
Fase laten : berlangsung selama 2 – 6 minggu, pada fase ini keluhan pasien berkurang, suhu
badan menurun, pasien merasa telah sembuh, sudah dapat menelan dengan baik akan tetapi
prosesnya sebetulnya masih berjalan terus dengan membentuk jaringan akut (sikatrik)
Fase kronik : setelah 1 – 3 tahun akan terjadi disfagi lagi oleh karena telah terbentuk jaringan
parut, sehingga terjadi striktur.

Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan beratnya luka bakar yang ditemukan :
Derajat 1 : Tanpa gejala, tidak nyeri telan
Hasil pemeriksaan endoskopi : non ulcerasi, erytema dan edema mukosa
esofagus.
Derajat 2 : Luka bakar pada rongga mulut atau sekitar rongga mulut atau keduanya dan nyeri
telan atau bahkan tidak bisa menelan.
Endoskopik : Erytema, exudat dan ulcerasi sampai ke muskularis.
Derajat 3 : Terdapat luka bakar yang berat ditandai dengan disfagia, nyeri retrosternal, nyeri
abdominal, kadang dijumpai tanda-tanda adanya obstruksi jalan nafas.
Endoskopik : Tampak kehitaman pada jaringan transmural, ulcerasi dalam sampai
ke jaringan periesofageal dan lumen mengalami oblitersi.

Kriteria Diagnosis
1. Laboratorium darah rutin dan elektrolit
2. X foto thorax posteroanterior dan lateral untuk mendeteksi adanya mediastinitis atau aspirasi
pneumonia
3. Esofagoskopi : Kurang lebih 3 x 24 jam setelah kejadian atau bila luka bakar di bibir, mulut
dan faring sudah tenang, harus dilakukan esofagoskopi dengan anestesi umum, untuk
menentukan apakah ada luka bakar di esofagus. Jika terdapat luka bakar, esofagoskopi
dihentikan, esofagoskopi tidak boleh diteruskan melalui daerah luka bakar untuk menghindari
terjadinya perforasi esofagus.

Diagnosis Banding
1. Akalasia

Pemeriksaan Penunjang
1. Esofagogram

Terapi
1. Perbaikan keadaan umum
2. Menjaga keseimbangan elektrolit
3. Menjaga jalan nafas
4. Observasi

Edukasi
1. Menjelaskan bagaimana cara penyimpanan dan pemakaian bahan yang mengandung zat
korosif dengan baik dan benar

99
2. Orang tua yang masih muda harus diberi kesadaran akan keselamatan bayi dengan mencoba
membersihkan rumah tanpa mengunakan zat kaustik atau menyimpan dan menggunakannya
sangat hati hati.
3. Sampah bahan kaustik atau kaleng/tempat bekas dikemas dalam tempat yang tertutup dan
aman bagi anak.

Prognosis
Pada umumnya baik jika ditangani saat fase akut, pada fase yang kronik dapat terjadi striktur
esofagus.

Kepustakaan
1. Griffith Pearson.F, Joel D.C, Jean Deslauries,et.al : Trauma. Foreign Bodies. Esophageal
surgery, 2nd ed.577-615.2002
2. Schiratzki H: Removal of Foreign Body in The Esophagus. Archives of Otolaryngology. Vol
102, Number 4. 238-240.1976
3. Ellen M.Friedman : Caustic Ingestion and Foreign Bodies in the Aerodigestive Tract. Byron
I.Bailey.Head and Neck Surgery Otolaryngology.2nd ed. Lippincot-Raven.1998
4. Byron J Bailey,Karen H.Calhoun : Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology.2nd
edition.834-835. J P Lippincot, Philadelphia, 2001

45. FISTULA TRAKEOBRONKOESOFAGUS

Pengertian
Fistula trakeobronkoesofagus adalah suatu keadaan dimana terjadi suatu saluran yang
menghubungkan dinding esofagus dan trakea yang dapat disebabkan karena kelainan kongenital,
ulkus atau trauma.

Anamnesis
1.Batuk dan tersedak saat minum
2.Riwayat penyakit : kongenital / didapat (infeksi, trauma iatrogenik, malignancy, benda asing)

Pemeriksaan Fisik
1. Under weight / Malnutrisi
2. Tes makan / Minum : batuk
3. Auskultasi : Ronkhi / wheezing

Kriteria Diagnosis
1. Pemeriksaan Klinis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
Stenosis trakeobronkial

Pemeriksaan Penunjang
1. Esofagografi dengan kontras bismuth subkarbonat.
2. Foto thoraks
3. Foto leher lateral

100
Terapi
1. Penanganan Konservatif
Bayi dengan fistula trakeo bronkoesofagusl harus dipertahankan agar tidak ada makanan atau
minuman masuk melalui mulut. Nutrisi masuk melalui cairan intravena. Pasienharus dirawat
dengan posisi setengah duduk (dengan sudut sekitar 30 hingga 60 derajat). Oesofagus bagian
atas harus selalu bersih dari sekresi dengan cara suction rutin. Antibiotik diperlukan bila
terdapat bukti aspirasi ayng dapat menyebabkan pneumonia.
2. Penanganan Bedah
Pasien harus segera dilakukan tindakan bedah untuk menangani atau memperbaiki fistula
trakeo bronkooesofagus

Edukasi
Pasien harus dirawat dengan posisi setengah duduk dengan sudut sekitar 30 hingga 60 derajat.

Prognosis
Prognosis untuk penyakit ini umumnya baik bila penanganan nya tepat waktu.

Kepustakaan
1. Jackson C, Jackson CL. Bronchoesophagology. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1950;
pp. 264-67
2. Jackson C, Jackson CL. Bronchi and Esophagus. Philadelphia: W.B. Saunders Company,
1959;pp. 728-38.

46. STENOSIS TRAKEOBRONKHIAL

Pengertian
Stenosis trakeobronkial adalah penyempitan lumen trakea yang banyak disebabkan oleh
trauma,baik trauma yang terjadi dari dalam seperti intubasi yang dialami cukup lama dan trauma
dari luar seperti pukulan, juga infeksi seperti amiloidosis, sarkoidosis dan polikondritis.

Anamnesis
1. Trauma
2. Infeksi
3. Intubasi yang dialami cukup lama

Pemeriksaan Fisik
Terdapat penyempitan lumen trakea sehingga mengganggu pernafasan

Kriteria Diagnosis
3. Anamnesis
4. Pemeriksaan fisik
5. Laringoskopi fleksibel

Diagnosis Banding
1. Benda asing jalan nafas
2. Asma bronkialis
3. Akut epiglotitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
2. CT Scan Laring dengan kontras

Terapi
Operasi rekonstruksi untuk stenosis trakeobronkial primer

101
Edukasi
Pasien harus dirawat dengan posisi setengah duduk dengan sudut sekitar 30 hingga 60 derajat.

Prognosis
Prognosis stenosis trakeobronkial umumnya baik bila penanganan bedah nya tepat waktu.

Kepustakaan
1. Bailey B.J, Johnson J.T, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, Fourth Edition, Volume
One, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p:307-334
2. Lee,K.J, Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery, International edition, Mc. Graw-
Hill, 2003.

47. VARISES ESOFAGUS

Pengertian
Melebar dan berkelok-keloknya pembuluh darah balik esofagus.

Frekuensi
Sering ditemukan pada penderita dengan kelainan kronis hati.

Anamnesis
1. Pasien mengeluh muntah darah dan buang air besar kehitaman.
2. Bila terjadi dalam jangka lama dan dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
kekurangan cairan tubuh dan dapat menimbulkan syok hipovolemik.

Faktor Risiko
Pasien dengan kelainan hati. Kelainan hati dapat menyebabkan peningkatan tekanan portal.
Usaha kompensasi tubuh untuk dekompresi tekanan sistem portal yang tinggi dengan jalan
pembentukan kolateral venus.

Etiologi
Penyebab hipertensi portal:
1. Intra hepatik : sirosis hepar, penyakit Wilson, skistosomiasis dan keganasan.
2. Ekstra hepatik : trombosis vena porta, atresia dan stenosis kongenital.

Kriteria Diagnosis
1. Foto kontras barium.
2. Esofagoskopi rigid.
3. Esofagoskopi serat optik.

Terapi
1. Atasi dan pengendalian perdarahan.
2. Perbaiki keadaan hemodinamik pasien.
3. Pemasangan balon “Sangstaken Blakemore”.
4. Bila gagal dilakukan ligasi varises endoskopi.
5. Skleroterapi varises endoskopi.
6. Transjugular intrahepatic Portosystemic Stent Shunt (TIPSS).

102
Kepustakaan
1. Ballenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia. Lea &
Febiger. 1993. Chapter 26. p. 424-34
2. Pedoman THT
3. Yang JY, Deutsch ES, Reilly JS. Bronchoesophagology. In: Snow Jr JB, Ballenger JJ, editors.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 16th ed. Philadelpia. Lea&Febiger.
2003.p.1562-73

48. ABSES SUB MANDIBULA

Pengertian
Abses yang terbentuk didalam ruang potensial sub mandibula

Anamnesis
Gejala klinis penderita abses sub mandibula adalah:
1. Demam
2. Nyeri tenggorok yang hebat
3. Gangguan menelan
4. Gangguan pernafasan akibat pembengkakan
5. Sukar membuka mulut (trismus)
6. Didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi.

Pemeriksaan Fisik
1. Pembengkakan di bawah dagu atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral
2. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak

Kriteria Diagnosis
1. Inspeksi
2. Aspirasi abses
3. Tanda klinik.

Diagnosis Banding
1. Abses parafaring
2. Abses yang berhubungan dengan gigi molar atas.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa abses sub mandibula
2. Pemeriksaan laboratorium dengan dilakukan kultur pada pus.

Terapi
Prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antaralain:
1. Tujuan pertama haruslah menjamin dan memelihara jalan nafas yang memadai.
2. Pada stadium infiltrasi dapat diberikan antibiotik dosis tinggi dan simptomatik
3. Aspirasi pada abses yang kecil atau pemasangan kateter untuk aspirasi berulang dari abses
yang lebih besar merupakan alternatif untuk insisi bedah dan drainase

Edukasi
1. Menjaga kebersihan mulut
2. Menganjurkan kepada pasien bila ada gangguan pada gigi segera diterapi
3. Menghindari infeksi saluran nafas atas

Prognosis
Pada umumnya prognosis abses leher dalam baik apabila dapat didiagnosis secara dini.

103
Kepustakaan
1. Bailey BJ. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Vol 1. 4th Ed. Lippincolt Williams & wilkins. Philadelphia. 2006:1183-97.
2. Dhingra PL. Head and Neck Space Infections. In: Diseases of Ear, Nose, and Throat.4th Ed.
New Delhi. 2007: 244-9.
3. Fachruddin Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Balai Penerbit FK UI Jakarta.2007: 226-30.

49. FARINGITIS KRONIK

Pengertian
Proses inflamasi kronik pada membran mukosa faring yang berlokasi di saluran nafas atas,
disebabkan oleh proses infeksi ataupun noninfeksi yang terus-menerus

Anamnesis
A. Faringitis kronik nonspesifik
Pasien datang dengan keluhan:
1. Tenggorokan, kering, berlendir, gatal dan terasa tebal
2. Rasa mengganjal di tenggorokan
3. Batuk berdahak kronik
4. Timbul rasa sakit di tenggorokan jika terdapat hal-hal yang merangsang (makanan pedas,
asap, dll)
5. Terkadang suara bisa serak
6. Bau mulut

B. Faringitis kronik spesifik


B.1. Faringitis Tuberkulosis
Pasien datang dengan keluhan:
1. Nyeri hebat di tenggorokan bahkan sampai ke telinga
2. Tanda tanda TBC paru biasanya (+): demam, keringat malam, batuk (dapat disertai darah),
pembengkakan kelenjar di leher, penurunan berat badan, dll.
3. Pada keadaan berat, dijumpai sesak nafas

B.2. Faringitis Sifilis


Pasien datang dengan keluhan:
1. Sulit menelan
2. Nyeri menelan
3. Nyeri tenggorokan
4. Batuk kronik
5. Bau mulut
6. Pada keadaan berat, dijumpai sesak nafas

Pemeriksaan Fisik
A. Faringitis kronik nonspesifik
A.1. Faringitis hiperplastik
Perubahan mukosa dinding posterior faring yang tidak rata dan bergranulasi. Mukosa
menghasilkan sekret kental. Pembuluh darah di dinding faring mengalami kongesti dan
kemerahan. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasia
atau menebal. Dinding faring posterior seringkali mempunyai gambaran cobblestone
(batu kerikil) karena hipertrofi limfoid.

104
A.2. Faringitis atrofi
Sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi, tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir
yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
B. Faringitis kronik spesifik
B.1. Faringitis Tuberkulosis
Terbentuk lesi tuberkel pada kedua sisi dan sering ditemukan pada posterior faring, arkus
faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole, dan palatum durum. Beberapa
tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang sehingga suatu saat
akan pecah dan terbentuk ulkus
B.2. Faringitis Sifilis (Faringitis Luetika)
Bergantung pada stadium klinisnya:
Stadium primer: terdapat bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil dan daerah
posterior faring. Bila infeksi terus menerus maka akan timbul ulkus yang tidak nyeri
Stadium sekunder: terdapat eritema pada dinding faring yang menjalar ke arah laring
Stadium tersier: terdapat guma terutama pada tonsil dan palatum. Jarang pada dinding
posterior faring, jika terdapat guma pada dinding posterior dapat menyebar ke vertebra
servikal dan bila pecah dapat menyebabkan kematian

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
A. Faringitis kronik nonspesifik
B. Faringitis kronik spesifik
B.1. Faringitis Tuberkulosis
B.2. Faringitis Sifilis

Diagnosis Banding
1. Faringitis Difteri
2. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
3. Karsinoma faring
4. Lupus vulgaris faring
5. Aktinomikosis faring
6. Mononukleosis Infeksiosa

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan darah, kultur sputum, hapusan mukosa
faring, serologik marker
2. Foto toraks untuk melihat proses spesifik (TB, dll)

Terapi
1. Pemberian antibiotik adekuat sesuai hasil kultur mikroorganisme dan uji
sensitivitas (Faringitis Tuberkulosis  obat anti TB, Faringitis Luetika 
Penicillin)
2. Pemberian tablet hisap atau obat kumur desinfektan
3. Pemberian steroid jangka pendek (short-term corticosteroid)
4. Pemberian analgesik
5. Pengangkatan sekuester (Faringitis Luetika)

Edukasi
1. Istirahat yang cukup
2. Menghindari paparan iritan seperti debu, asap rokok
3. Konsumsi cairan yang banyak
4. Diet ringan yang bergizi
5. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol
6. Menjaga kebersihan gigi dan mulut
7. Menghindari asupan makanan yang pedas dan berminyak

Prognosis
Prognosis baik, bergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, sanitasi, asupan
makanan, kebiasaan hidup sehat dan ketekunan berobat.
105
Kepustakaan
1. Centor, R.M., Allison, J.J. and Cohen, S.J. 2007. Pharyngitis management: defining the
controversy. J Gen Intern Med; 22:127.
2. Centor, R.M. 2009. Expand the pharyngitis paradigm for adolescents and young adults. Ann
Intern Med; 151:812.
3. Wessels, M.R. 2011. Clinical practice: Streptococcal pharyngitis. N Engl J Med; 364:648.
4. Pichichero, M.E. 2000. Controversies in the treatment of streptococcal pharyngitis. Am Fam
Physician; 42:1567
5. Randolph, M.F., Gerber, M.A., DeMeo, K.K. and Wright, L. 2005. Effect of antibiotic
6. therapy on the clinical course of streptococcal pharyngitis. J Pediatr; 106:870.
7. Gerber, M.A. and Tanz, R.R. 2001. New approaches to the treatment of group A
streptococcal pharyngitis. Curr Opin Pediatr; 13:51
8. Al-Abdulhadi, K., 2007, Common throat infections: a review, ORL-HNS Department,
9. Zain and Al-Sabah Hospital, Kuwait, Bull Kuwait Inst Med Spec 2007;6:63-67
10. Bisno, A.L. 2001. Chronic pharyngitis. N. Engl. J. Med; 344:205-211
11. Wannamaker LW. Perplexity and precision in the diagnosis of streptococcal
pharyngitis. Am J Dis Child 1972;124:352-8
12. Linder JA, Chan JC, Bates DW. Evaluation and treatment of pharyngitis in primary care
practice: the difference between guiXnes is largely academic. Arch Intern
Med 2006;166:1374-9.

106
50. LARINGITIS AKUT

Pengertian
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang
berlangsung kurang dari 3 minggu dan pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus influenza
(tipe A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus

Anamnesis
1. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang kasar atau
suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara yang biasa / normal
dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan kedua pita suara kiri dan
kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali
(afoni).
2. Sesak nafas dan stridor
3. Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
4. Gejala radang umum seperti demam, malaise
5. Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
6. Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan
hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur yang tidak
mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
7. Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,sumbatan hidung
(nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari
38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh.

Pemeriksaan Fisik
Tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak terutama dibagian atas dan bawah pita
suara dan juga didapatkan tanda radang akut dihidung atau sinus paranasal atau paru

Kriteria Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan fisik dan kuman penyebab

Diagnosis Banding
1. Benda asing pada laring
2. Faringitis
3. Bronkiolitis
4. Bronkitis
5. Pnemonia

Pemeriksaan Penunjang
1. Laringoskopi Indirek
2. Laringoskopi Direk
3. Fiber Optic Laryngoscope
4. Radiologi
5. Laboratorium

Terapi
1. Antibiotik terutama untuk Stafilokokus aureus, Streptokokus pyogenes, dan difteri. Buku
panduan -> memakai amoksisilin dengan asam klavulanat atau ampisilin dengan sulbaktam.
Injeksi Penisilin Prokain selama 10 hari untuk kuman Difteri disertai pemberian serum anti
difteri.
2. Terapi kortikosteroid terutama pada bayi dan anak dengan potensi terjadi sumbatan jalan
nafas atas.
3. Terapi simptomatis: analgesik, antipiretik, mukolitik
4. Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk dan dingin.
5. Tindakan operasi trakeostomi dilakukan bila didapatkan obstruksi jalan nafas atas yang gagal
penanganan konservatif.

107
Edukasi
1. Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat tenggorokan kering dan
mengakibatkan iritasi pada pita suara
2. minum banyak air karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada
tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan
3. batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegahtenggorokan kering
4. jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan
terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara,meningkatkan pembengkakan dan berdehem juga
akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir.

Prognosis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama satu
minggu.

Kepustakaan
1. Pedoman THT
2. Ballenger JJ. Disease of The Nose, Throat, Ear, Head and Neck, Philadelphia, Lea & Febiger,
1993, chapter 26, pp. 424-34

51. LARINGITIS KRONIS

Pengertian
Inflamasi pada membran mukosa laring yang terjadi lebih dari 3 minggu

Anamnesis
1. Suara parau yang menetap
2. Rasa tersangkut / seperti ada benda asing di tenggorokan
3. Sering berddehem akan tetapi dahak tidak keluar

Pemeriksaan Fisik
1. Mukosa laring menebal
2. Permukaan laring tidak rata
3. Hiperemis pada laring

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis Banding
1. Kista pita suara
2. Stenosis subglotik
3. Sulkus vokalis
4. Laringitis ulseratif idiopatik

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah
2. kultur sputum
3. hapusan mukosa laring untuk mengetahui penyebab laringitis kronis

108
Terapi
1. Mengobati faktor predisposisi
2. Tidak banyak berbicara (Vocal Rest)

Edukasi
1. Pasien mengistirahatkan suara
2. Dihindarkan menggunakan suara yang berlebihan untuk sementara waktu

Prognosis
Tergantung dari penyebab laringitis kronis

Kepustakaan
1. Bambang Hermani. Dalam: Buku ilmu kesehatan telinga tenggorok kepala & leher. Edisi
ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007: p. 237
2. Kenneth W. Altman, Jamie A. Koufman. Laryngopharyngeal and Laryngeal Infections
and Manifestation of Systemic Diseases. In: Ballenger JJ, Snow JB, editors.
Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2009. p.885

52. LARINGOMALASIA

Pengertian
Laringomalasia merupakan suatu kelainan dimana terjadi kelemahan struktur supraglotik
sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas

Anamnesis
1. Riwayat stridor inspiratoris diketahui mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa muncul pada
minggu 4-6 awal.
2. Stridor berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya
membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret nasal.
3. Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika terjadi infeksi
saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah makan.
4. Tangisan bayi biasanya normal
5. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau
batuk ketika diberi makan jika ada refluks pada bayi.
6. Bayi gembira dan tidak menderita.

Pemeriksaan Fisik
1. Dapat terlihat takipneu ringan
2. Tanda-tanda vital normal, saturasi oksigen juga normal
3. Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang
4. Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan
5. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. pemeriksaan fisik
3. laringoskopi fleksibel
4. radiologi.

Diagnosis Banding
Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain pada anak-anak.
Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya jaringan intraluminal
seperti laryngeal webdan kista laring, kelainan akibat trauma seperti edema dan stenosis
supraglotik, maupun kelainan pada pita suara.

109
Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
2. Esofagogram

Terapi
1. Konservatif
Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi
dengan menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan
memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada
bayi (ditandai dengan saturasi oksigen <90%)>Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk
kelainan ini
2. Operatif
Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk laringomalasia berat. Supraglotoplasti dapat
dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan

Prognosis
Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh sendiri, dan
tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala menghilang
pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa kasus, walaupun tanda
dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini, biasanya stridor akan
muncul saat beraktifitas ketika dewasa.

Kepustakaan
1. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In: Ballenger JJ, Snow JB,
editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery. Ontario: BC Decker Inc; 2003. p.1090-
95
2. Iskandar N. Bronkoskopi. Dalam: Iskandar N, Soepardi EA editor. Buku ilmu kesehatn
telinga tenggorok kepala & leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2007: p. 266.

110
53. LARINGOFARINGEAL REFLUX (LPR)

Pengertian
Sebuah kondisi pada seseorang mengalami Gastroesofageal Reflux (GERD), ketika asam
lambung naik ke laringofaring

Anamnesis
Gejala klinis penderita LPR adalah :
1. Suara serak
2. Batuk
3. Globect Faringeus
4. Throat Clearing
5. Disfagia
6. Nyeri Tenggorokan
7. Wheezing
8. Laringospasme
9. Halitosis

Pemeriksaan Fisik
1. Disfonia
2. Reflux Symptom Index (RSI)

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Laringoskopi Indirect, Laringoskopi Optik
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
Gastroesofageal Reflux (GERD)

Permeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiografi
2. Pemeriksaan Studi Monitor pH
3. Manometri Esofageal
4. Pengukuran Spektrofotometri
5. Biopsi Mukosa

Terapi
1. PPI : Omeprazole, Esomeprazole, Lansoprazole
2. H2-receptor blocker: ranitidine, cimetidine
3. Prokinetic Agents: Tegaserod, Metoclopramide, Domperidone
4. Mucosal cytoprotectants: sucralfat

Edukasi
1. Penuruna berat badan
2. Menghentikan kebiasaan merokok
3. Menghindari alkohol
4. Mengkonsumsi obat secara teratur

Prognosis
Baik dengan penanganan yang tepat.

111
Kepustakaan
1. Laryngopharyngeal Reflux. CCENT [online] 2004.
http://www.ccent.com/webdocuments/LPR-CCENT document.pdf
2. Laryngopharyngeal Reflux. Cleveland Clinic [online]
2012.http://my.clevelandclinic.org/disorders/laryngopharyngeal-reflux-
lpr/hic_laryngopharyngeal_reflux_lpr.aspx.
3. Laryngopharyngeal Reflux. UCDavis Health System [online].
http://www.ucdvoice.org/lpr.htmlFord, Charles N. Evaluation and Management of
Laryngopharyngeal Reflux. JAMA 2005; 294(12): 1534-1540.
4. doi:10.1001/jama.294.12.1534. Nayyar, Supreet S. Laryngopharyngeal Reflux. Slideshare
[online] 2012.
5. http://www.slideshare.net/ssnayyar/lpr-laryngopharyngeal-reflux
Simpson, C.Blake.
6. Laryngopharyngeal Reflux Disease (LPR). UT Health Science Center [online] 2003.
http://www.uthscsa.edu/oto/lpr.aspUntalan, Frederick M.
7. Laryngopharyngeal Reflux (LPR). Slideshare [online]2012.
http://www.slideshare.net/tongmd/laryngopharyngeal-reflux-entards

54. SIALADENITIS

Pengertian
Peradangan akut pada kelenjar ludah

Anamnesis
Gejala klinis penderita sialadenitis adalah :
1. Demam
2. Kemerahan pada leher atas
3. Kemerahan pada sisi wajah samping
4. Memiliki kesulitan membuka mulut anda
5. Menderita penurunan rasa
6. Mulut kering
7. Rasa sakit pada wajah
8. Sakit mulut
9. Wajah yang bengkak

Pemeriksaan Fisik
1. Pembengkakan dan rasa sakit, serta trismus ringan meliputi gumpalan lembut yang nyeri di
pipi atau di bawah dagu, terdapat pembuangan pus dari glandula ke bawah mulut dan dalam
kasus yang parah, demam, menggigil dan malaise (bentuk umum rasa sakit)
2. Pada anamnesis riwayat pasien dehidrasi (operasi mojor/op. mulut, pharynx + larynx,
gastrointestinal), terapi radiasi/brachytherapy, pemberian imunosupresi, khemoterapi, atau
syndrome Sjorgen, hygiene mulut jelek, perawatan rumah sakit yang tak higienis(infeksi
nosokomial), pasien banyak kali puasa/tak suka makan
3. Suhu badan meningkat

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Spatel lidah
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
1. Sialodenitis.
2. Neoplasma parotis.

112
Permeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Foto konvensional tampak lateral.
2. Pemeriksaan CT Scan, USG dan MRI .

Terapi
1. Masase lemah-lembut berulang, rehidrasi, kompres hangat, oral irigasi dengan anti septik
2. Antimikroba per-oral: tu. Untuk stafilokokus; ingat beta laktam bakteri; bakteri anaerob
dengan khoramfenikol
3. Sebaiknya antibiotika parenteral di poli kemudian dilanjutkan per oral, Buku panduan →
memakai amoksilin dengan asam klavulanat atau ampisilin dengan surbactam
4. Terapi simtomatis: anti inflamasi dan analgesik/analgesik antipiretik, mokolitik.
Terapi operasi minor dan major: major tak dikerjakan sedang insisi(minor) dilakukan

Edukasi
Pantau penyakit bila terjadi perburukan (cth :abses)

Prognosis
Baik dengan penanganan yang tepat.

Kepustakaan
1. JT Johnson, J Gluckman, AM Pou, eds. Head and neck surgery-otolaryngology, 3rd edition,
vol. 2. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2001.
2. BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001
3. KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed. McGraw-Hill, New
York. 2003
4. AK Lalwani, ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head and Neck
Surgery. International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2004.
5. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea & Febiger.
Philadelphia. 1991
6. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea & Febiger.
Philadelphia. 1999

55. SIALOLITHIASIS

Pengertian
Kejadian adanya batu yang letaknya bias di duktus, hilum atau jaringan parenchyma galadula
(gld).

Anamnesis
Gejala klinis penderita sialolithiasis adalah :
1. Rasa sakit yang hebat pada saat makan
2. Memikirkan makanan
3. Pembengkakan kelenjar ludah (sangat peka bila di palpasi)
4. Mereda setelah makan

Pemeriksaan Fisik
a. Benjolan yang kumatan pada rahang bawah (kelenjar submandibularis) sedang parotis dan
pipi.
b. Benjolan difus, kenyal dan nyeri apabila di tekan.
c. Benjolan bertambah besar dan lebih sakit pada saat makan
d. Bila abses akan keluar pus pada muara duktus dan disertai rasa sakit baik spontan maupun di
tekan
e. Terkadang suhu badan meningkat
113
Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan Fisik THT: Spatel lidah
3. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Banding
1. Sialodenitis.
2. Neoplasma parotis.

Permeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Sialografi, USG.
2.pemeriksaan CT Scan / CT-Sialografi

Terapi
Prinsip-prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan antara lain:
1. Antimikkroba per-oral: tu. Untuk stafilokokus; ingat beta laktam bakteri; bakteri anaerob
dengan chloramfenikol bila ada infeksi akut
2. Sebaiknya antibiotika parenteral di poli kemudian dilanjutkan per oral, Buku panduan→
memakai amoksilin dengan asam klavulanat atau ampisilin dengan surbactam
3. Terapi simtoatis: anti inflamasi dan analgesi/analgesic antipiretik, mokolitik
4. Terapi operasi major dan minor. Bila batu ada di duktus Wharton dapat di ambil secara
operasi major dengan neurolep atau GA dan hal ini tergantung ada tidaknya striktura distal
dari letak batu atau letak batu, apakah di duktus, di hilum atau di parenchyme gld atau dapat
secara operasi minor denga cara sialolithectomy mengunakan CO2 laser atau secara
sialolithotrpsy mengunakan pulse dye laseratau dengan extracorporeal electromagnitic shock-
wave lipthotripsy.
5. Bila batu di Hilum atau parenchyme paroitis sebaiknya secara minor dengan alat canggih atau
operasi major pengambilan batu dibawah mikroskop

Edukasi
Keluhan sialolithiasis bisa berulang

Prognosis
Baik dengan penanganan yang tepat.

Kepustakaan
1. JT Johnson, J Gluckman, AM Pou, eds. Head and neck surgery-otolaryngology, 3rd edition,
vol. 2. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2001.
2. BJ Bailey, et al., eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology.Vol 2. 3rd Ed. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001
3. KJ Lee, ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th Ed. McGraw-Hill, New
York. 2003
4. AK Lalwani, ed. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head and Neck
Surgery. International Edition. McGraw-Hill, Boston, 2004.
5. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea & Febiger.
Philadelphia. 1991
6. JJ Ballenger, ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th Ed. Lea & Febiger.
Philadelphia. 1999

114
56. TRAUMA LEHER

Pengertian
Trauma leher adalah suatu benturan yang mengenai bagian leher (Tenggorokan ) sebagai akibat
terkena benda tumpul ataupun benda tajam

Anamnesis
Gejala klinis penderita trauma leher adalah:
1. Batuk
2. Hemoptisis
3. Suara serak
4. Disfagia
5. Odinofagia

Pemeriksaan Fisik
1. Timbulnya stridor
2. Emfisema subkutis
3. Kelainan pita suara seperti edema, hematoma, laserasi dan parese pita suara

Kriteria Diagnosis
1. inspeksi
2. Palpasi leher
3. Laringoskopi optic

Pemeriksaan Penunjang
1. Cek lab darah
2. Foto rontgen cervical
3. Esofagoskopi

Terapi
prinsip – prinsip penatalaksanaan yang dapat diterapkan:
1. Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran nafas
dan mencegah aspirasi darah ke paru.
2. Pada trauma tertutup dilakukan eksplorasi paling lama 1 minggu setelah trauma.
3. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan nafas.
4. Pemberian antibiotic dan serum anti tetanus pada trauma terbuka.
5. Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi dan pemberian
kortikosteroid pada keadaan mukosa laring yang edema, hematoma atau laserasi ringan, tanpa
adanya gejala sumbatan laring.

Edukasi
1. Pasien diminta untuk istirahat suara.

Prognosis
Pada pasien trauma leher prognosisnya baik apabila penatalaksanaannya baik dan tepat.

Kepustakaan
1. Bailey BJ. Head and neck surgery-otolaryngology, third edition, Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia, 2001,717-821
2. Lore JM, Medina JE, An Atlas of Head and Neck Surgery, fourth edition, Elsevier Inc, W.B
Saunders, Philadelphia, 2005, 856.

115

Anda mungkin juga menyukai