Anda di halaman 1dari 26

DIVERTIKULOSIS

Definisi
Penyakit divertikular (atau diverticulosis) merupakan keadaan di
mana terdapat banyak penonjolan mukosa yang menyerupai kantong
(divertikula) yang tumbuh dalam usus besar, khususnya kolon sigmoid tanpa
adanya inflamasi. Peradangan akut dari divertikulum menyebabkan
diverticulitis
Epidemiologi

 pria : wanita 1 : 1,5


 Insidens tertinggi pada usia 40 tahun dan 50-an

Etiologi
Penyebab terjadinya divertikulosis ada 2 yaitu
1. Peningkatan tekanan intralumen
Diet rendah serat menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intralumen kolon sehingga menyebabkan herniasi
mukosa melewati lapisan dinding otot kolon yang menebal
dan memendek (sebuah kondisi yang disebut-mychosis).
2. Kelemahan otot dinding kolon
Penyebab lain terjadinya divertikulosis adalah terdapat
daerah yang lemah pada dinding otot kolon dimana arteri
yang membawa nutrisi menembus submukkosa dan
mukosa. Biasanya pada usia tua karena proses penuaan
yang dapat melemahkan dinding kolon.
Faktor Risiko
- Pertambahan Usia
Pada usia lanjut terjadi penurunan tekanan mekanik/ daya
regang dinding kolon sebagai akibat perubahan struktur
jaringan kolagen dinding usus.
- Konstipasi
Konstipasi menyebabkan otot-otot menjadi tegang karena
tinja yang terdapat di dalam usus besar. Tekanan yang
berlebihan menyebabkan titik-titik lemah pada usus besar
menonjol dan membentuk divertikula.
- Diet rendah serat
Pada mereka yang kurang mengkonsumsi makanan
berserat, akan menyebabkan penurunan massa feses
menjadi kecil-kecil dan keras, waktu transit kolon yang
lebih lambat sehingga absorpsi air lebih banyak dan output
yang menurun menyebabkan tekanan dalam kolon
meningkat untuk mendorong massa feses keluar
mengakibatkan segmentasi kolon yang berlebihan.
Segmentasi kolon yang berlebihan akibat kontraksi otot
sirkuler dinding kolon untuk mendorong isi lumen dan
menahan pasase dari material dalam kolon merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit
divertikular. Pada segmentasi yang meningkat secara
berlebihan terjadi herniasi mukosa/submukosa dan
terbentuk divertikel.
- Gangguan jaringan ikat
Gangguan jaringan ikat seperti pada sindrom Marfan dan
Ehlers Danlos dapat menyebabkan kelemahan pada
dinding kolon.

Gejala Klinis
Gejala klinis yang bisa ditemukan
- Sebagian besar asimptomatik
- Divertikulosis yang nyeri :
a. Nyeri pada fossa iliaka kiri
b. Konstipasi
c. Diare.
- Divertikulosis akut :
a. Malaise
b. Demam
c. Nyeri dan nyeri tekan pada fossa iliaka kiri dengan
atau tanpa teraba massa.
d. Distensi abdomen
- Perforasi : Peritonitis + gambaran diverticulitis
- Obstruksi usus besar :
a. Konstipasi absolute
b. Distensi
c. Nyeri kolik abdomen
d. Muntah
- Fistula : ke kandung kemih, vagina, atau usus halus
- Perdarahan saluran cerna bagian bawah : spontan dan tidak
nyeri
Perbedaan Divertikulosis dan Diverkulitis

Px Penunjang

 Kontras Barium
 Biopsi bila terdapat tumor
PROGNOSIS
Penyakit divertikular merupakan keadaan jinak, tetapi memiliki
mortalitas dan morbiditas yang signifikan akibat komplikasi. Sekitar 10-20%
pasien dengan divertikulosis dapat berkembang menjadi divertikulitis atau
perdarahan dalam beberapa tahun. Perforasi dan peritonitis dapat
menyebabkan angka kematian hingga 35% dan memerlukan tindakan bedah
segera

DAFTAR PUSTAKA

1. Grace P., Borley NR. At a Glance : ILMU BEDAH Edisi ke3. EMS.
2005. hal: 108-9.
2. Brunicardi FC, Andersen DK, etc. Schwartz’s Principle of Surgery 9th
ed. McGraw- Hill Company. 2010.
3. Akil, H.A.M., Penyakit Divertikular dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 ed IV. Sudoyo, A.W.; 2006. Jakarta. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal 366-7.
PROLAPS RECTI

DEFINISI
Prolaps rektum (atau prolaps ani) adalah keluarnya mukosa maupun seluruh
tebal dinding rektum melewati anus. Apabila yang keluar tersebut terdiri
dari semua lapisandinding rektum, prolaps ini disebut prosidensia.
EPIDEMIOLOGI
4. Insidensi antara pria dan wanita dewasa (1:6)
5. kejadian pada wanita terdiri dari 80-90% dari total kasus.
6. Insidensi prolaps recti pada anak dengan cystic fibrosis mencapai
20%
7. Insidensi puncak terdapat pada usia dekade keempat dan dekade
ketujuh, walaupun dapat mngenai segala umur
ETIOLOGI
 Peningkatan tekanan intraabdomen
 Gangguan pada dasar pelvis
 Infeksi
 Pengaruh struktur anatomi
 Kelainan neurologis.
FAKTOR PREDISPOSISI
 Kehamilan
 Riwayat operasi/pembedahan
 Riwayat diare
 Benign prostatic hypertrophy
 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
 Cystic Fibrosis
 Riwayat batuk pertusis (batuk rejan)
 Pelvic floor dysfunction
 Infeksi parasit (Amebiasis, Schistomiasis)
 Gangguan neurologis – riwayat penyakit punggung bawah atau
trauma pelvis atau lumbar disk, cauda equina syndrome, spinal
tumors, multiple sclerosis
 Gangguan defekasi (stool withholding)

KLASIFIKASI
Terdapat 3 gejala klinis yang dibawahi Prolaps Recti:
 Full-thickness rectal prolapse
 Mucosal prolapse
 Internal prolapse

TANDA DAN GEJALA


 adanya massa yang menonjol melalui anus

Awalnya, massa menonjol dari anus setelah buang air besar


danbiasanya tertarik kembali ketika pasien berdiri. Seiring proses
penyakit berlangsung,massa menonjol lebih sering, terutama ketika
mengedan dan manuver Valsava sepertibersin atau batuk. Akhirnya,
prolaps terjadi saat melakukan kegiatan rutin sehari-hariseperti
berjalan dan dapat berkembang menjadi prolaps kontinu. Seiring
perkembangan penyakit, rektum tidak lagi tertarik spontan, dan
pasienmungkin harus secara manual mengembalikannya. Kondisi ini
kemudian dapatberkembang ke titik di mana prolaps terjadi segera
setelah dikembalikan ke posisinyadan prolaps kontinu. Terkadang
rektum menjadi terjepit dan pasien tidak dapatmengembalikan
rektum.

 Keluhan nyeri bervariasi

 Konstipasi terjadi pada 15-65% kasus

 Dapat juga terjadi perdarahan rektum


 Buang air besar yang tidak dapatditahan (inkntinensia alvi) pada
sekitar 28-88% pasien

DIAGNOSIS
1. Px. Fisik : (cari penyebab reversibel yang dapat mendasari FA)

 Penonjolan mukosa rektum


 Penebalan konsentris cincin mukosa
 Terlihat adanya sulkus antara lubang anus dan rektum
 Ulkus rektum soliter (10-25%)
 Penurunan tonus sfingter anal

2. Px. Lab :

 Tidak ada pemeriksaan lab khusus yang membantu dalam evaluasi


prolaps rektum itu sendiri. Pertimbangkan pemeriksaan feses dan
kultur agen infeksius, khususnya pada pasien anak
3. Px. Imaging :

 Barium Enema dan Kolonoskopi

Sebelum memulai pengobatan bedah prolaps rektum, penting untuk


mengevaluasi seluruh usus besar untuk mengecualikan setiap lesi
kolon lainnya yang harus ditangani secara simultan. Kehadiran lesi
tersebut dapat mempengaruhi pilihan prosedur yang akan dilakukan.
Evaluasi usus besar dapat dicapai dengan cara kolonoskopi atau
enema barium. Barium enema adalah indikator yang lebih baik dari
redundansi dari usus besar.

 Video Defekografi

Defecography Video digunakan untuk membantu prolaps dokumen


internal atau untuk membedakan prolaps rektum dari prolaps
mukosa jika tidak jelas secara klinis. Hal ini tidak diperlukan untuk
prolaps full-thickness dubur secara klinis didiagnosis. Defecography
dapat mengungkapkan intususepsi dari usus proksimal atau obstruksi
panggul. Radiopak materi (biasanya pasta barium) yang ditanamkan
ke dalam rektum, dan pasien diminta untuk buang air besar di toilet
radiolusen. Spot film dan rekaman video yang dibuat dan dapat
digunakan untuk menentukan apakah intussuscepts rektum pada
buang air besar.

 Rigid Proctosigmoidoscopy

Rigid Proctosigmoidoscopy harus dilakukan untuk menilai rektum


untuk lesi tambahan, terutama ulkus rektal soliter. Borok hadir di
sekitar 10-25% dari pasien dengan prolaps baik internal maupun
full-thickness. Jika ulserasi hadir, daerah muncul sebagai ulkus
tunggal atau sebagai borok beberapa di dinding rektum anterior.
Tepi sering menumpuk, dan daerah dapat berdarah. Biopsi harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis dan untuk mengecualikan
patologi lainnya. Ulkus rektal soliter biasanya dapat diidentifikasi
oleh ahli patologi yang berpengalaman. Rektum prolaps mungkin
ulserasi mukosa tetapi sebaliknya histologis normal.

 Tes lainnya
Anal-rektal manometri kadang-kadang digunakan untuk
mengevaluasi otot sfingter anal. Di hampir semua pasien, hasil
menunjukkan penurunan tekanan beristirahat di sfingter internal dan
tidak adanya refleks penghambatan anorektal. Arti penting dari hasil
ini tidak jelas, dan kebanyakan ahli bedah tidak menggunakan tes
ini. Penelitian penanda Sitz kadang-kadang digunakan untuk
mengukur perjalanan kolon pada pasien dengan konstipasi dan
prolaps rektum untuk membantu menentukan kebutuhan untuk
reseksi kolon.

TATA LAKSANA
- Medikamentosa
Meskipun tidak ada pengobatan medikamentosa untuk prolaps
rektum, prolaps internal dapat diterapi terlebih dahulu dengan agen
bulking, pelunak tinja, dan supositoria atau enema.
- Non Medikamentosa
Pada permulaan, saat prolaps masih kecil, penderita diberi diet
berserat untuk memperlancar defekasi. Kadang dianjurkan latihan
otot dasar panggul. Pasien diinstruksikan untuk merangsang buang air
besar di pagi hari dan menghindari dorongan untuk buang air saat sisa
hari karena rasa penuh yang mereka rasakan sebenarnya adalah
intususepsi rektum proksimal ke arah distal rektum. Dengan waktu,
dorongan untuk buang air besar akan berkurang begitu juga dengan
intususepsi
- Pembedahan
Bila prolaps semakin besar dan makin sukar untuk melakukan
reposisi, akibat adanya udem, sehinga makin besar dan sama sekali
tidak dapat dimasukkan lagi karena rangsangan dan bendungan
mukus serta keluarnya darah. Dimana sfingter ani menjadi longgar
dan hipotonik sehingga terjadi inkontinensia alvi, penanganan prolaps
rektum dilakukan melalui pembedahan.

Terapi utama untuk prolaps rektum adalah operasi, dan lebih


dari 100 prosedur yang berbeda telah dijelaskan untuk mengobati
kondisi ini. Operasi dapat dikategorikan sebagai abdominal atau
perineal. Operasi abdominal memiliki tiga pendekatan utama: (a)
reduksi hernia perineal dan penutupan cul-de-sac (operasi
Moschcowitz s), (b) fiksasi rektum, baik dengan prosthetic sling
(Ripstein dan Wells rectopexy) atau dengan suture rectopexy, atau (c)
reseksi redundan kolon sigmoid. Dalam beberapa kasus, reseksi
dikombinasikan dengan rectal fixation (resection rectopexy).
Rectopexy abdominal dengan atau tanpa reseksi juga semakin banyak
dilakukan dengan laparoskopi. Pendekatan perineum telah berfokus
pada pengetatan anus dengan berbagai bahan prostetik, reefing
mukosa rektal (Delorme prosedur), atau resecting bowel prolaps dari
perineum (perineal rectosigmoidectomy atau prosedur Altemeier)
(Brunicardi, 2010).

Gambar 1.5 Transabdominal proctopexy untuk prolaps rektum. Rektum


dimobilisasi penuh dijahit ke fasia presacral. A. Anterior view. B. Lateral view. Jika
diinginkan, kolektomi sigmoid dapat dilakukan bersamaan dengan reseksi
redundant kolon.
Gambar 1.6 Rectosigmoidectomy perineal terlihat pada posisi litotomi. A.
Sebuah insisi melingkar dibuat 2 cm proksimal ke garis dentate. B. Refleksi
peritoneal anterior dibuka. C. Mesenterium dibagi dan diligasi. D. Peritoneum
dijahit pada dinding usus. E. Reseksi bowel. F. Dilakukan anastomosis handsewn.
Jumlah prosedur yang dijelaskan dalam literatur secara historis
dan dalam beberapa kali itu banyak. Lebih dari 50 jenis perbaikan
telah didokumentasikan-sebagian besar dari kepentingan sejarah saja.
Pendekatan umumnya termasuk anal encirclement, reseksi mukosa,
proctosigmoidectomy perineum, reseksi anterior dengan atau tanpa
rectopexy, rectopexy saja, dan sejumlah prosedur yang melibatkan
penggunaan mesh sintetis ditempelkan pada fasia presacral.
Antusiasme yang jelas dan kecerdikan ahli bedah dalam upaya mereka
untuk menentukan operasi prolaps yang ideal hanya berfungsi untuk
menyoroti elusiveness. Dua pendekatan predominan, abdominal dan
perineal, yang dipertimbangkan dalam operasi repair prolaps rektum.
Pendekatan bedah ditentukan oleh komorbiditas pasien, preferensi
dan pengalaman dokter spesialis bedah, dan usia pasien. Pada
umumnya dipercaya hasil pendekatan perineal adalah berkurangnya
morbiditas perioperatif dan rasa sakit dan mengurangi lama tinggal di
rumah sakit. Keuntungan ini, sampai saat ini, telah dianggap
diimbangi dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Data
terakhir tidak jelas pada titik ini dan operasi perineum benar
dilaksanakan bisa menghasilkan hasil jangka panjang yang sama
dengan prosedur abdominal. Hal ini akan diklarifikasi oleh studi
jangka panjang berkelanjutan. Munculnya pilihan laparoskopi juga
dapat memberikan keuntungan, tapi untuk saat ini, data pasien yang
kambuh sedikit (Fry et al, 2008).
Prosedur abdominal memiliki tingkat kekambuhan yang lebih
rendah dan preservasi kapasitas reservoir rektum tetapi mempunyai
risiko lebih dan memiliki insiden yang lebih tinggi dari kontipasi
pasca operasi. Prosedur perineal menghindari anastomosis intra-
abdominal tetapi menghilangkan rektum, sehingga menghilangkan
reservoir rektum, tetapi memiliki tingkat kekambuhan lebih tinggi.
Prosedur abdominal umumnya lebih disukai pada pasien berisiko
rendah aktif di bawah usia 50 dan pada mereka yang memerlukan
prosedur abdominal lainnya secara simultan (Doherty, 2009).
Perbaikan Ripstein memiliki banyak pendukung dan
melibatkan penempatan prosthetic mesh di sekitar mobilized rectum
dengan perlekatan dari mesh ke fasia presacral di bawah promontor
sakral. Tingkat kekambuhan untuk prosedur ini berkisar dari 2,3%
menjadi 5%. Usus secara mekanis disiapkan untuk prosedur ini
dengan glikol polietilen atau larutan sodium fosfat. Prosedur ini
melibatkan mobilisasi rektum pada kedua sisi posterior sampai ke
coccyx. Ripstein menggambarkan divisi bagian atas ligamen rektal
lateral, tetapi yang lain menganjurkan meninggalkan mereka
sepenuhnya intact karena tingkat konstipasi pasca operasi sepenuhnya
50% lebih besar pada pasien dengan divisi lateral stalks. Setelah
mobilisasi rektum, sebuah band 5-cm mesh rektangular ditempatkan
di sekitar aspek anterior pada tingkat dari refleksi peritoneal, dan
kedua sisi mesh dijahit dengan jahitan nonabsorbable ke fasia
presacral, sekitar 1 cm dari garis tengah. Jahitan digunakan untuk
mengamankan mesh ke anterior rektum, dan rektum ditarik ke atas
dan posterior. Berbagai bahan telah direkomendasikan untuk
mengamankan rektum, termasuk fasia lata autologous, produk
nonabsorbable sintetis seperti Marlex (Davol, Inc anak perusahaan CR
Bard, Inc Cranston, RI), Teflon (EI duPont de Nemours & Co,
Wilmington, DE), dan absorbable prosthetics seperti asam
polyglycolic. Tingkat kekambuhan untuk semua bahan ini kurang dari
10%, meskipun tindak lanjut kali dan kriteria evaluasi antara studi
telah bervariasi, dan perbandingan yang ketat tidak dapat dibuat.
Komplikasi termasuk obstruksi usus besar, erosi mesh melalui usus,
cedera ureter atau fibrosis, obstruksi usus kecil, fistula rektovaginal,
dan fecal impaction. Tingkat morbiditas pascaoperasi adalah 20%,
tetapi sebagian besar komplikasi ini kecil. Meskipun hasil rectopexy
mesh adalah perbaikan yang signifikan dalam inkontinensia tinja
(50%), tidak ada operasi prolaps rektum harus menganjurkan sebagai
prosedur untuk memulihkan kontinensia, dan pasien, khususnya
mereka dengan prolaps selama lebih dari 2 tahun, harus
memperingatkan kemungkinan bahwa inkontinensia bisa persisten
(Fry et al, 2008).
Sebuah komplikasi yang signifikan dari operasi ini adalah
insidensi konstipasi yang memiliki onset baru atau makin memburuk.
Lima belas persen pasien mengalami konstipasi untuk pertama
kalinya setelah Ripstein rectopexy, dan setidaknya 50% dari mereka
yang konstipasi sebelum operasi bertambah buruk. Meskipun
beberapa dari kesulitan-kesulitan ini dikaitkan dengan komplikasi dari
prosedur seperti striktur mesh, obstruksi pada level perbaikan, atau
disfungsi rektal mengikuti divisi lateral stalk, subset dari pasien akan
ditemukan memiliki slow-transit constipation mencirikan gangguan
motilitas global. Beberapa penulis menganjurkan penelitian transit
secara rutin yang preoperative untuk menyeleksi pasien keluar, tetapi
biasanya riwayat usus yang baik kebiasaan akan cukup. Etiologi berat,
tak henti-hentinya konstipasi pasca operasi atau masalah obstruksi
harus diselidiki dengan barium enema dan mungkin dengan studi usus
kecil. Striktur, obstruksi, adhesi, dan fistula dapat diidentifikasi oleh
radiograf (Fry et al, 2008).
Serat, cairan, dan pelunak feses berguna dalam pengelolaan
konstipasi fungsional menyusul repair prolaps rektum dari jenis apa
pun. Kadang-kadang, mild laxative seperti susu magnesium,
magnesium sitrat, atau polyethylene glycol-based therapies mungkin
diperlukan untuk periode singkat. Terapi yang lebih baru untuk
konstipasi melibatkan oral 5-HT4 agonis reseptor (maleat tegaserod)
dan terbukti berharga dalam pengobatan jangka pendek pada masalah
ini (Fry et al, 2008).
Prosedur Wells adalah teknik mesh alternatif yang mengurangi
insiden obstruksi rektal dengan menghilangkan penempatan anterior
mesh. Mesh ditempelkan pada aspek posterior fasia propria rektal dan
kemudian ke fasia presacral seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Ivalon (polivinil alkohol) spons adalah metode yang pada satu titik itu
populer di kalangan ahli bedah Eropa, tetapi sejak kehilangan minat.
Spons ditempatkan di pelvis posterior yang dalam dengan cara yang
mirip dengan teknik Wells. Bahkan, Wells awalnya menjelaskan
prosedur ini. Meskipun hasil tingkat kekambuhan pasca operasi telah
sebagus yang melibatkan mesh nonabsorbable sintetis, dan
melaporkan gangguan evakuasinya rendah, fitur mengganggu dari
spons Ivalon yaitu tingginya kejadian abses pelvis yang memerlukan
removal spons. Meskipun alkohol polivinil adalah sarcoma-produsing
carcinogen pada tikus, efek ini belum terbukti pada manusia (Fry et
al, 2008).
Rektopeksia yang dilakukan melalui laparotomi bukan
merupakan operasi yang ringan. Rektum dimobilisasi dari panggul
dan dilepaskan dari jaringan sekitarnya, kemudian ditarik ke atas dan
difiksasi kepada sakrum. Fiksasi rektum atau rektopeksi ini dapat
dilakukan dengan bahan teflon atau jahitan mersilen. Kadang
dilakukan sigmoidektomi dan kolon desendens dianastomosis dengan
sisa rektum (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Karena prolaps rektum terjadi paling sering pada wanita lanjut
usia, pilihan operasi sebagian bergantung pada kondisi medis pasien
secara keseluruhan Rectopexy abdominal (dengan atau tanpa reseksi
sigmoid) menawarkan perbaikan yang paling tahan lama, dengan
kekambuhan terjadi pada kurang dari 10% pasien.
Rectosigmoidectomy perineal menghindari operasi abdominal dan
mungkin lebih baik pada pasien berisiko tinggi, tetapi berkaitan
dengan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Reefing mukosa rektal
efektif untuk pasien dengan prolaps terbatas. Anal encirclement
procedures pada umumnya telah ditinggalkan (Brunicardi, 2010).
Prosedur perut untuk pasien dengan intussusception parah atau
prolaps rektum dengan fungsi sfingter normal yaitu reseksi sigmoid
dengan atau tanpa rectopexy dan rectopexy saja. Kedua operasi-
rectopexy atau reseksi-membutuhkan mobilisasi lengkap dari seluruh
rektum ke pelvic floor untuk menghindari intussusception distal
(Doherty, 2009).
Rectopexy reseksi adalah teknik pertama yang dijelaskan oleh
Frykman dan Goldberg pada tahun 1969 dan dipopulerkan di Amerika
Serikat dalam 30 tahun terakhir (Gambar 50-65). Kurangnya mesh
artificial, kemudahan pengoperasian, dan reduksi kolon sigmoid
redundant adalah atraksi prinsip dari prosedur. Tingkat kekambuhan
rendah, berkisar antara 2% sampai 5%, dan tingkat komplikasi mayor
berkisar dari 0% sampai 20% dan berhubungan baik dengan obstruksi
atau anastomotic leak. Pada dasarnya, kolon sigmoid dan rektum
mobilisasi sampai tingkat levatores. Ligamen lateral dibagi, diangkat
dari panggul dalam, dan dijahit ke fasia presacral. Mesenterium dari
kolon sigmoid kemudian dibagi, dengan preservasi arteri mesenterika
inferior, dan sebuat tension-free anastomosis dibuat. Sebuah versi
revisi dari prosedur ini melibatkan preservasi lateral stalk dan
unilateral fastening mesenterium rektal sampai sakrum pada level
promontori sakral. Reseksi sigmoid adalah fitur yang unik dan
kontroversial dari prosedur ini. Hal ini tampaknya untuk mengurangi
konstipasi sebesar 50% pada mereka yang mengeluh pre operasi dari
gejala ini dalam beberapa studi. Lainnya berpendapat bahwa
sigmoidectomy adalah operasi yang inadekuat untuk masalah
motilitas kronis yang mempengaruhi seluruh usus dan pasien itu harus
dievaluasi secara formal sebelum operasi dan subtotal colectomy
dianjurkan jika inersia kolon terdeteksi. Menariknya, pada pasien
yang mengeluh inkontinensia sebelum operasi, gejala ini konsisten
membaik pada sekitar 35%, bahkan dengan reseksi sigmoid. Sebuah
varian dari prosedur ini melibatkan forgoing reseksi sigmoid pada
mereka yang melaporkan tidak ada riwayat konstipasi dan yang
dominan adalah keluhan inkontinensia fecal (Fry et al, 2008).

Gambar 1.7 Reseksi anterior dengan rectopexy, atau prosedur Frykman-


Goldberg, untuk prolaps rektum. A, Setelah mobilisasi penuh dengan diseksi tajam,
jaringan lateral dinding rektum swept away laterally. B, Reseksi kolon sigmoid
redundant. C, anastomosis selesai, dan jahitan rectopexy ditempatkan. (Dari Gordon
PL, Nivatvongs S [eds]:.. Prinsip dan Praktek Bedah untuk Rektum, Colon, dan
Anus, 2nd ed St Louis, Medical Kualitas Publishing, 1999)
Rectopexy bertujuan untuk mengamankan rektum ke
cekungan sakral. Ini dapat dilakukan dengan jahitan atau bahan
prostetik seperti polypropylene mesh (Marlex), Gore-Tex, atau asam
polyglycolic atau mesh polyglactin (Dexon atau Vicryl). Banyak
penelitian telah menunjukkan tingkat komplikasi yang lebih tinggi
dengan prosthetics, tingkat kontinensia lebih rendah, dan tidak ada
perbedaan dalam kekambuhan, menunjukkan bahwa suture rectopexy
itu lebih baik. Suture rectopexy dilakukan dengan heavy
nonabsorbable suture, melekatkan rektum ke cekungan sakral. Jahitan
dapat ditempatkan melalui ligamen lateral atau melalui propria
muskularis dari rektum (Doherty, 2009).
Penambahan reseksi sigmoid pada saat rectopexy menurunkan
tingkat kekambuhan dan kejadian konstipasi pasca operasi tanpa
meningkatkan morbiditas. Rectopexy mengoreksi mobilitas rektum
tetapi tidak memperbaiki gangguan yang mendasarinya untuk pasien
dengan pelvic floor dysfunction atau konstipasi kronis. Reseksi
sigmoid menghilangkan intususeptum dan mobile portion of colon.
Dengan demikian, pada pasien konstipasi atau pasien dengan kolon
sigmoid redundant, reseksi yang lebih baik adalah fiksasi saja
(Doherty, 2009).
Metode laparoskopi untuk repair prolaps rektum melibatkan
fiksasi, dengan atau tanpa reseksi. Pasien mungkin mengalami sedikit
rasa sakit dan kembali lebih cepat dari fungsi bowel dan memiliki
durasi yang lebih singkat dibandingkan pasien rawat inap dengan
pendekatan abdominal terbuka (Doherty, 2009).
Operasi perineum untuk prolaps rektum terdiri dari anal
encirclement, prosedur Delorme transanal, dan prosedur Altemeier.
Anal encirclement memiliki aplikasi terbatas dan harus dilakukan
secara selektif hanya pada pasien dengan risiko operasi yang sangat
tinggi atau harapan hidup yang terbatas. Prosedur Thiersch yang asli
yakni menempatkan silver wire di sekitar sfingter eksternal pada
lemak iskiorektalis. Sekarang synthetic mesh atau tabung silikon
digunakan sebagai pengganti wire. Foreign body menciptakan
obstruksi outlet, dan laksatif atau enema yang diperlukan untuk
evakuasi rektum. Erosi dari bahan asing ke dalam rektum dan infeksi
adalah komplikasi signifikan yang membatasi kegunaan teknik ini
(Doherty, 2009).
Prosedur Delorme pada dasarnya adalah sebuah proctectomy
mukosa dengan lipatan dari prolapsing dinding rektum. Diseksi
dimulai 1-2 cm di atas garis dentate dan dibawa ke apex segmen
prolapsing, di mana mukosa yang diamputasi. Otot ini reefed dengan
4-8 heavy absorbable sutures, dan mukosa yang reapproximated
dengan jahitan atau stapler sirkular (Doherty, 2009).
Proctosigmoidectomy perineal pertama kali diperkenalkan
oleh Mikulicz pada 1899 dan pengobatan favorit yang tetap untuk
prolaps di Eropa selama bertahun-tahun. Miles menganjurkan
prosedur ini di Inggris, dan itu dipromosikan di Amerika Serikat oleh
Altemeier di University of Cincinnati. Sebagai pendekatan abdominal
mendapat minat, terutama karena tingkat kekambuhan yang
berkurang, pendekatan perineal itu semakin hanya diperuntukkan bagi
mereka dengan risiko operasi tertinggi. Namun, minat baru dalam
teknik ini disertai studi terbaru yang menunjukkan tingkat
kekambuhan berkurang, dan sejumlah ahli bedah merasa bahwa
pertimbangan yang kuat harus diberikan untuk teknik ini ketika
memperbaiki prolaps pada pria muda yang memiliki peningkatan
risiko untuk cedera saraf otonom yang mengakibatkan impotensi (Fry
et al, 2008).
Prosedur Altemeier menggabungkan proctosigmoidectomy
perineal dengan levatoroplasty anterior (Gambar 50-66). Prosedur
yang terakhir dilakukan untuk memperbaiki diastasis levator
umumnya terkait dengan kondisi ini. Secara teoritis, restorasi
kontinensia fecal ditingkatkan oleh manuver tambahan. Seperti biasa,
usus besar secara mekanis dibersihkan. Pasien ditempatkan dalam
posisi prone jackknife, dan kateter Foley ditempatkan. Mukosa
rektum secara serial digenggam dengan Babcock atau klem Allis
sampai prolaps full-thickness ditunjukkan. Sebuah insisi full-
thickness sirkumferensial dibuat 1,5 cm proksimal ke garis dentate.
Refleksi peritoneal rendah biasanya diinsisi secara anterior dan masuk
rongga peritoneal. Mesenterium dari rektum dan kolon sigmoid secara
berurutan dijepit dan diikat sampai tidak ada usus redundant yang
menetap. Transeksi kolon pada saat ini, dan anastomosis dibentuk
antara kolon dan kanal anus dengan jahitan atau staples (Fry et al,
2008).
Gambar 1.8 Altemeier rectosigmoidectomy perineal. A, Insisi
sirkumferensial rektum proksimal ke garis dentate. B, Delivery rektum dan kolon
sigmoid berlebihan. C, Ligasi suplai darah ke rektum. D, Penempatan purse-string
suture pada bowel proksimal dan eksisi kolon dan rektum berlebihan. Whip stitch
ditempatkan pada ujung rektum. E, proksimal purse-string suture diamankan di
sekitar poros tengah. F, usus proksimal maju melalui anus dan distal purse-string
terikat. G, Aproksimasi landasan untuk cartridge dan aktivasi stapler. H,
Anastomosis komplit. (Dari Gordon PL, Nivatvongs S [eds]: Prinsip dan Praktek
Bedah untuk Rektum, Colon, dan Anus, 2nd ed St Louis:.. Kualitas Medis
Publishing, 1999)

Pasien menjalani proctosigmoidectomy perineal secara umum


lebih tua dan dengan komorbiditas signifikan lebih dari mereka yang
dianggap dengan repair abdominal. Tingkat komplikasi kurang dari
10%, dan tingkat kekambuhan telah dilaporkan setinggi 16%,
meskipun, seperti yang disebutkan, seri terbaru menunjukkan tingkat
kekambuhan secara signifikan lebih rendah. Komplikasi meliputi
perdarahan dari staple atau suture line, abses pelvis, dan jarang,
dehiscence dari suture line, dengan eviserasi perineal. Kurangnya
insisi abdominal, nyeri berkurang, dan mengurangi lama rawat inap
membuat prosedur ini menjadi pilihan yang menarik (Fry et al, 2008).
Prosedur Altemeier adalah complete proctectomy dan sering
sigmoidectomy parsial. Apex segmen prolapsing dipindah dan
ditempatkan pada traksi, dan insisi full-thickness dibuat kira-kira 1 cm
di atas garis dentate. Rektumnya everted. Diseksi ini dibawa ke deep
cul-de-sac anterior. Secara lateral dan posterior, supply vascular ke
rektum diambil dengan elektrokauter atau klem bila diperlukan.
Diseksi ini dilakukan sampai ke midline mesorectum dan
mesenterium sigmoid sampai redundant segment of bowel telah
sepenuhnya dimobilisasi. Jika levatoroplasty yang direncanakan, hal
ini sangat mudah dilakukan saat ini dengan heavy absorbable suture.
Levatoroplasty plicates otot-otot dasar panggul dan menambah
kontinensia dengan peningkatan sudut anorektal. Transeksi bowel
proksimal, excising redundant portion, dan anastomosis hand-sewn
(heavy absorbable suture) atau stapled dilakukan (Doherty, 2009).
Kembalinya fungsi sfingter dan inkontinensia selesai pada
65% pasien yang mengompol pre operasi, tetapi tidak ada cara untuk
memprediksi siapa yang akan merespon. Mereka yang tidak kembali
fungsi sfingternya tidak akan mentolerir reseksi sigmoid. Oleh karena
itu, proctectomy perineal dan peningkatan sfingter posterior yang
direkomendasikan pada pasien ini. Rekonstruksi posterior dapat
mengubah sudut rektum atau menghalangi outlet cukup untuk
memberi kontinensia. Individu dengan intussusception parah dan
mereka yang memiliki prolaps rektum tanpa disfungsi sfingter harus
melakukannya dengan baik baik dengan abdominal atau pendekatan
perineal (Doherty, 2009).
Anal encirclement adalah salah satu teknik bedah tertua untuk
gambaran prolaps rektum. Thiersch menjelaskan silver wire anal
encirclement pada tahun 1891. Sejak saat itu, telah dicoba dengan
berbagai bahan, termasuk stainless stell wire, mesh nonabsorbable,
small Silastic bands, jahitan nilon, dan polypropylene. Teknik ini
disediakan oleh sebagian besar ahli bedah untuk pasien risiko bedah
tertinggi karena dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Dengan pasien
pada posisi prone jackknife atau posisi litotomi, daerah anal sterilely
prepped and draped. Dua insisi kecil lateral dibuat, dan kawat atau
jahitan diperkenalkan dengan curved needle sampai menjadi satu dan
membawa keluar yang lain. Hal ini diulang, dan simpul terikat dan
dipendam secara lateral. Orifisium harus nyaman tetapi harus mudah
dilewati jari telunjuk. Anal encirclement tidak memperbaiki
inkontinensia fecal terkait dengan prolaps, dan tingkat kekambuhan
tinggi (> 30%). Selain itu, meskipun angka kematian 0%, tingkat
morbiditasnya tinggi. Erosi dari wire ke sfingter, pembentukan fistula
anovaginal, prolaps rektum inkarserasi, impaksi fecal, dan infeksi
dapat terjadi. Tingkat reoperative dari 7% menjadi 59% dilaporkan
dalam literatur. Keamanan teknik anestesi saat ini dan morbiditas
yang rendah dan keberhasilan fungsional relatif proctectomy
perineum telah membuat anal encirclement, untuk sebagian besar,
sebuah prosedur dari masa lalu (Fry et al, 2008).

KOMPLIKASI
e. Infeksi
Sumber yang paling umum dari infeksi pada prosedur pembedahan
per abdomen adalah organisme kulit pada luka. Jika bahan asing telah
ditanamkan, infeksi dapat terjadi, paling sering disebabkan organisme
kulit, dan jika memungkinkan bahan asing harus disingkirkan.
Adanya fibrosis dapat membuat penyingkiran bahan prostetik terlalu
berbahaya, dalam kasus seperti ini digunakan terapi antibiotik jangka
panjang. Infeksi setelah prosedur perineum jarang terjadi, biasanya
sebagai akibat pemisahan di anastomosis perineum.
 Pendarahan
Perdarahan paling sering terjadi dalam 2 situasi. Situasi pertama
melibatkan robeknya pembuluh darah presakrum selama prosedur per
abdomen, ketika rektum langsung ditempelkan ke fasia presakrum.
Hal ini dapat menyebabkan hematoma presakrum atau perdarahan
hebat. Pendarahan seperti ini bisa sulit untuk dikendalikan karena
pembuluh darah keluar langsung dari tulang. Manuver awal dengan
tekanan langsung ke area perdarahan selama 10-15 menit. Jika ini
gagal untuk mengontrol perdarahan, pines titanium dapat ditempatkan
ke dalam tulang untuk menghambat perdarahan. Pemotongan di ruang
presakrum sering meningkatkan perdarahan dan harus dihindari.
Situasi umum kedua untuk perdarahan terjadi selama penipisan
mukosa pada prosedur Delorme atau dari pemisahan luka pasca
operasi.
 Perlukaan Usus
Perlukaan usus dapat terjadi selama mobilisasi rektum. Jika diketahui,
lukatersebut biasanya dapat diobati tanpa memerlukan diversi usus.
Jika usus terluka,tidak diperkenankan melakukan pemasangan
material asing. Adanya perlukaan yangtidak diketahui dapat
menyebabkan pembentukan abses dan sepsis panggul.Perlukaan usus
yang tidak diketahui mungkin terjadi saat prosedur laparoskopi
olehbeberapa mekanisme, dan jika tidak terdeteksi dengan cepat akan
menghambatperbaikan kondisi pasien, dan dapat menyebabkan sepsis
dan kematian.
 Kebocoran Anastomosis
Semua prosedur yang melibatkan suatu anastomosis membawa risiko
kebocoran anastomosis. Prosedur per abdomen dengan penyulit
kebocoran mungkintidak memerlukan eksplorasi ulang jika
kebocoran kecil dan berisi, dan pasien stabil. Timbunan kebocoran
dapat ditangani dengan drainase perkutan, dan kebocoran ini sering
membaik dengan perawatan suportif. Jika kondisi pasien
tidakmembaik, perlu dilakukakan washout abdomen dengan
pengalihan tinja proksimal. Jika kebocoran yang besar dan tidak
berisi, atau jika pasien tidak stabil,diindikasikan reeksplorasi darurat.
Sepsis panggul membuat diseksi lebih lanjutdalam panggul
menantang serta berbahaya bagi pasien, dan washout
denganpengalihan proksimal adalah prosedur pilihan. Kebocoran
anastomotik juga dapatterjadi setelah rekctosigmoidektomy
perineum. Jika kebocoran terjadi setelahprosedur ini, infeksi lokal dan
sepsis panggul jarang terjadi.
 Penurunan Fungsi Kandung Kemih dan Seksual
Perubahan fungsi kandung kemih dan fungsi seksual merupakan
komplikasiyang jarang terjadi dalam prosedur per abdomen jika
dilakukan dengan benar. Sarafsimpatik dan parasimpatis panggul
berjalan di sepanjang rektum, jika pembedahantidak dilakukan pada
bidang yang tepat, cedera dapat terjadi, menyebabkandisfungsi
kandung kemih, impotensi, atau ejakulasi retrograde. Ini
merupakanpertimbangan penting dalam pemilihan prosedur
perbaikan, terutama pada pria,meskipun risiko cedera kurang dari 1-
2%.
 Konstipasi
Prosedur dan perineum reseksi anterior memiliki risiko rendah
obstruksi outlet. Secara historis, prosedur per abdomen dimana
penempelan rektum pada sakrum menyebabkan tingginya tingkat
obstruksi saat rektum dibungkus mengelilinginya, seringkali
mengharuskan pelepasan fiksasi untuk mengobatinya, karena alasan
ini, bila dilakukan pembungkusan, hanya dilakukan pada sposterior
dan sebagian di sisi rektum.
PROGNOSIS

 Prognosis umumnya baik dengan pengobatan yang tepat.


 Resolusi spontanbiasanya terjadi pada anak-anak. Dari pasien-pasien
dengan prolaps rektum yangberusia 9 bulan sampai 3 tahun, 90%
hanya memerlukan pengobatan konservatif.
 Kontinensia biasanya buruk pada awalnya setelah perawatan bedah,
tetapi padakebanyakan pasien membaik dari waktu ke waktu,
namun, tingkat perbaikan tidak dapat diprediksi
 Prolaps rectum yang tidak diobati dapat menyebabkan inkarserasi
danstrangulasi, namun jarang. Yang lebih umum terjadi ialah
perdarahan rektum(biasanya minor), ulserasi, dan inkontinensia.
 Mortalitas pasca operasi rendah, namun tingkat kekambuhan bisa
setinggi 15%,terlepas dari prosedur operasi yang dilakukan.
Komplikasi pasca operasi paling umum melibatkan perdarahan dan
kebocoran di anastomosis. Komplikasi lainnyatermasuk ulserasi
mukosa dan nekrosis dinding rektum. Komplikasi operasi lebihtinggi
untuk operasi per abdominal, dengan tingkat kekambuhan yang lebih
rendah,sebaliknya untuk operasi perineum, yang memiliki tingkat
komplikasi yang lebih rendah, tetapi kekambuhan lebih tinggi.
 Terapi nonoperative (diet tinggi serat, defecation training untuk
menghindari mengejan, dan laksatif atau enema) efektif pada sebagian
besar pasien (Brunicardi, 2010). Pendekatan abdominal dikaitkan
dengan sekitar tingkat kekambuhan 10%. Pendekatan perineum
dikaitkan dengan tingkat kekambuhan 20-30%. Reoperation untuk
yang kambuh mungkin setelah pendekatan yang lain tetapi mungkin
secara teknis lebih mudah dari perineum jika reseksi abdomen belum
pernah dilakukan (Doherty, 2009).

DIAGNOSIS BANDING

 Prolaps rektum harus dibedakan dari penyakit hemoroid. Prolaps


rektum dipandang sebagai cincin sirkumferensial uninterrupte
mukosa, sedangkan prolaps hemoroid akan terlihat sebagai prolapsing
jaringan dengan alur yang mendalam antara bidang prolapsing
jaringan edematous (Doherty, 2009).
 Sebuah pitfall yang umum dalam diagnosis prolaps rektum adalah
potensi kebingungan dengan prolapsed incarcerated internal
hemoroids. Kondisi ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan dekat
dari arah lipatan jaringan yang prolaps. Dalam kasus prolaps rektum,
lipatan selalu konsentris, sedangkan jaringan hemoroid terdapat
radial invaginations yang mendefinisikan bantal hemoroid. Prolaps,
hemoroid inkarserata menghasilkan rasa sakit yang hebat dan dapat
disertai dengan demam dan retensi urin. Kecuali inkarserata, prolaps
rektum mudah direduksi dan tidak menyakitkan (Fry et al, 2008).

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi prolaps rektum tidak sepenuhnya dipahami. Namun terdapat 2


teori utama yang menjadi dasar mekanisme terjadinya prolaps rektum.

 Teori pertama mengatakan bahwa prolaps rektum merupakan


pergeseran hernia akibat defek padafasia panggul.
 Teori kedua menyatakan bahwa prolaps rektum dimulai
sebagaiintususepsi internal yang melingkar dari rektum mulai 6-8
cm proksimal ambanganal. Seiring dengan waktu peregangan ini
berkembang menjadi prolaps dari seluruhtebal dinding rektum,
meskipun tahap ini tidak selalu dilampaui oleh setiap pasien.

Patofisiologi dan etiologi prolaps mukosa kemungkinan besar berbeda


denganprolaps seluruh tebal dinding rektum dan intususepsi internal.
Prolaps mukosa terjadiketika jaringan ikat pada mukosa dubur melonggar
dan tertarik, sehingga memungkinkan jaringan prolaps melalui anus. Hal ini
sering terjadi sebagai kelanjutan dari penyakit hemoroid yang lama dan
mengalami hal serupa. Seringkali, prolaps dimulai dengan prolaps internal
dinding rektum anterior dan berkembang menjadi prolaps seluruh tebal
dinding rektum.

REFERENSI

- Medscape/Rectal Prolapse
- Prolaps Recti
- NCBI Treatment of Prolapsus Ani
- https://www.scribd.com/document/178942550/Prolaps-Rektum-doc
- https://www.scribd.com/doc/155475680/Prolaps-Rektum-Lapsus-docx

Anda mungkin juga menyukai