Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan AIDS adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan
oleh retrovirus (HIV) yang dapat mempermudah terkena berbagai infeksi seperti
bakteri, jamur, parasit dan virus.
1.2 Etiologi
Penyakit ini di sebabkan oleh golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus. Human Immunodeficiency Virus (HIV) pertama kali
ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di
Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV (Putra, S, 2015). Yang ditularkan melalui:
hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan
orang yang telah terinfeksi HIV, jarum suntik/tindik/tato yang tidak steri dan dipakai
bergantian, mendapatkan transfuse darah yang mengandung virus HIV, ibu penderita
HIV (+) kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan/melalui ASI
(NANDA, 2013)
1.4 Patofisiologi
Menurut Putra, S (2015), Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans (sel imun)
adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. HIV menginfeksi sel lewat pengikatan
dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup
120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka HIV menginfeksi
sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel
yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-
stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah
provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel
T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus
HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV
yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen
yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi
limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap
infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan
menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel
T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat
tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama
waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum
infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang
didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah,
atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
Pathway
Prot. Virus
Tunas virus
Virion HIV baru terbentuk di limfoid
humoral selular
Terinfeksi virus
Diferesiensi dalam plasma Penurunan aktivitas (sel T Helper)
CD 4 + menurun
1.7 Penatalaksanaan
Menurut Putra, S (2015), Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV),
maka pengendaliannya yaitu :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi
pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien
AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3. Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah :
Didanosine
Ribavirin
Diedoxycytidine
Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,
hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi
imun.
f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan
mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
II. RENCANA ASUHAN KLIEN DENGAN HIV
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
1. Riwayat Kesehatan Dahulu :
Pasien memiliki riwayat melakukan hubungan seksual dengan pasangan
yang positif mengidap HIV/AIDS, pasangan seksual multiple, aktivitas
seksual yang tidak terlindung, seks anal, homoseksual, penggunaan kondom
yang tidak konsisten, menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan
kerentanan terhadap virus pada wanita yang terpajan karena peningkatan
kekeringan/friabilitas vagina), pemakai obat-obatan IV dengan jarum
suntik yang bergantian, riwayat menjalani transfusi darah berulang, dan
mengidap penyakit defesiensi imun.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Pasien mengatakan mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas
biasanya, sulit tidur, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa
bersalah, kehilangan kontrol diri, depresi, nyeri panggul, rasa terbakar saat
miksi, diare intermitten, terus-menerus yang disertai/tanpa kram abdominal,
tidak nafsu makan, mual/muntah, rasa sakit/tidak nyaman pada bagian oral,
nyeri retrosternal saat menelan, pusing, sakit kepala, tidak mampu
mengingat sesuatu, konsentrasi menurun, tidak merasakan perubahan
posisi/getaran, kekuatan otot menurun, ketajaman penglihatan menurun,
kesemutan pada ekstremitas, nyeri, sakit, dan rasa terbakar pada kaki, nyeri
dada pleuritis, nafas pendek, sering batuk berulang, sering demam berulang,
berkeringat malam, takut mengungkapkan pada orang lain dan takut ditolak
lingkungan, merasa kesepian/isolasi, menurunnya libido dan terlalu sakit
untuk melakukan hubungan seksual.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga :
Riwayat HIV/AIDS pada keluarga, kehamilan keluarga dengan HIV/AIDS,
keluarga pengguna obat-obatan terlarang
(Putra, R, 2015)
2.1.2 Pemeriksaan fisik: data focus
Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS ((Huriyyah, 2013) adalah
1. Aktivitas / istirahat.
Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise
2. Sirkulasi.
Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.
3. Integritas ego.
Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah,
menangis.
4. Elimiinasi.
Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses rektal.
5. Makanan / cairan.
Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan
gigi / gusi yang buruk, dan edema.
6. Neurosensori.
Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon
melambat.
7. Nyeri / kenyamanan.
Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan
rentang gerak, dan gerak otot melindungi pada bagian yang sakit.
8. Pernafasan.
Batuk, Produktif/non produktif, takipnea, distres pernafasan.
Pengkajian fisik IPPA:
1. Inspeksi
(Pengkajian dada dan paru-paru) Postur, bentuk, kesimetrisan ekspansi,
keadaan kulit. (Pengkajian abdomen) mengetahui bentuk dan gerakan-
gerakan abdomen, kontur permukaan abdomen, adanya retraksi, penonjolan
serta ketidaksimetrisan.
2. Palapasi
(Pengkajian dada dan paru-paru) Keadaan kulit dinding dada, nyeri tekan,
masa, peradangan, vibrasi yang dapat teraba. (Pengkajian abdomen)
bentuk, ukuran, dan struktur di dalam abdomen.
3. Perkusi
(Pengkajian dada dan paru-paru) Bunyi perkusi paru. (Pengkajian
abdomen) mendengarkan atau mendeteksi adanya gas, cairan, atau masa di
dalam abdomen.
4. Auskultasi
(Pengkajian dada dan paru-paru) Mengkaji kondisi paru-paru dan rongga
pluera menggunakan stetoskop. (Pengkajian abdomen) mendengar dua
suara abdomen yaitu bising usus.
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang (sda)
Ket
1.Tidak ada
2. sedang
3. mampu
4. sangat mampu
4. Gangguan pola nafas Setelah dilakukan tindakan Asuhan 1. pantau KU dan
berhubungan dengan Keperawatan selama .....x24 jam TTV
penekanan pembuluh 2. Observasi Tanda-
diharapkan infeksi tidak terjadi
darah abdomen yang tanda infeksi
mengalirkan O2. dengan Kriteria Hasil : 3. Lakukan tindakan
1. Klien bebas dari tanda dan gejala keperawatan invasif
secara asepsis
infeksi
4. Ajarkan keluarga
2. Jumlah leukosit dalam batas untuk mencuci
normal. tangan sebelum dan
sesudah kontak
3.Menunjukkan perilaku hidup
dengan pasien
sehat
Indikator IR ER 5. Pantau jumlah
Bebas dari WBC
tanda dan
gejala infeksi
Jumlah
leukosit
dalam batas
normal
Menunjukkan
perilaku
hidup sehat
Ket :
1. buruk
2. sedang
3. ringan
4. baik
5. sangat baik
DAFTAR PUSTAKA
Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan Deinisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Nurarif. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA
NIC NOC. Edisi Revisi. Jilid 2. Yogyakarta: MediaAction
Putra, S. 2015. Laporan Pendahuluan dan Askep HIV / AIDS Aplikasi NANDA NIC NOC
<http://www.asuhankeperawatan.ga/2015/11/laporan-pendahuluan-dan-askep-hiv-
aids_32.html>
Wilkinson, dkk. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC