Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN

Disusun Oleh:
Yusuf Hardi Lubis 140100034
Stephannie Tandy 140100125
Pragaathy Rajasekaran 130100357

Pembimbing :
dr. Ahmad Yafiz Hasby, M. Ked (An), Sp. An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI & TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Perdarahan intraserebral atau Intracerebral haemorrhage (ICH)
mempengaruhi lebih dari 1 juta orang setiap tahun di seluruh dunia dan
merupakan jenis stroke yang paling sering dengan tingkat mortalitas dan
morbiditas yang tinggi. Hipertensi tidak terkontrol adalah faktor risiko paling
umum untuk ICH spontan. Insiden ICH lebih tinggi pada orang Asia, sebagian
karena perawatan primer terbatas untuk hipertensi dan ketidakpatuhan.
Pencegahan primer dengan obat antihipertensi mungkin merupakan strategi yang
paling efektif untuk mengurangi beban ICH. Meskipun hanya 10–15% dari semua
stroke di Amerika Serikat, ICH menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi secara tidak proporsional. Meskipun tingkat kematian usia standar
dari ICH menurun lebih dari 25% selama 15 tahun terakhir, 3,2 juta kematian
dikaitkan dengan ICH dibandingkan dengan 3,3 juta kematian akibat stroke
iskemik pada tahun 2013.1
Perdarahan intraserebral sering mempengaruhi ganglia basalis, talamus,
lobus serebral, pons, dan serebelum. Hipertensi, angiopati amiloid serebral, dan
antikoagulasi adalah penyebab utama perdarahan intraserebral. Ini disebabkan
oleh kerusakan hipertensi pada pembuluh darah, pecahnya aneurisma atau
malformasi arteri, angiopati amiloid serebral, hemostasis yang berubah (seperti
trombolisis dan antikoagulasi), nekrosis hemoragik (seperti tumor dan infeksi),
atau penyalahgunaan zat (kokain). Antikoagulan oral non-vitamin K dikaitkan
dengan frekuensi perdarahan intraserebral yang lebih rendah dibandingkan dengan
ukuran yang lebih kecil.2
Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa mayoritas pasien dengan ICH
kecil dapat dengan mudah sembuh dengan perawatan medis yang baik. Untuk
pasien dengan ICH besar, perawatan multidisiplin yang komprehensif sangat
penting untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa merawat pasien dengan ICH di unit perawatan intensif
neurologis khusus oleh tim perawatan neurokritikal khusus secara signifikan
menghasilkan lama rawatan dan mortalitas yang cepat.1

1.2 TUJUAN
Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Mengetahui alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus perdarahan intraserebral spontan.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus ini adalah
meningkatkan pemahaman terhadap kasus perdarahan intraserebral spontan serta
penanganan kegawatdaruratan sesuai kompetensi pada tingkat pelayanan primer.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERDARAHAN INTRASEREBRAL SPONTAN


2.1.1 Definisi
Perdarahan intraserebral spontan didefinisikan sebagai perdarahan
intraparenchymal tanpa adanya trauma atau operasi. Faktor risiko umum untuk
ICH spontan termasuk hipertensi, usia, riwayat berat penggunaan alkohol,
metamfetamin atau kokain, tingkat pendidikan rendah dan alel genetik yang
terkait dengan amiloid serebral. ICH spontan dapat diklasifikasikan sebagai
primer atau sekunder tergantung pada penyebab yang mendasarinya. ICH primer
menyumbang 70-80% dari kasus dan disebabkan oleh pecahnya spontan
pembuluh-pembuluh kecil yang dirusak oleh hipertensi atau amiloid angiopati.
Lokasi yang paling umum dari hipertensi ICH adalah putamen, thalamus,
materi putih subkortikal, pons dan otak kecil. ICH sekunder dikaitkan dengan
sejumlah kondisi bawaan dan didapat seperti malformasi vaskular, tumor,
gangguan koagulasi, penggunaan antikoagulan dan agen trombolitik, vaskulitis
serebral, penyalahgunaan obat dan trombosis vena serebral.1
2.1.2 Epidemiologi
ICH berkontribusi sekitar 10-20% dari semua stroke 8-15% di negara-
negara barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia, dan 18-24% di Jepang
dan Korea. Insiden ICH secara substansial bervariasi di seluruh negara dan etnis.
Tingkat kejadian ICH primer di negara berpenghasilan rendah dan menengah dua
kali lipat dari angka di negara berpenghasilan tinggi (22 vs 10 per 100.000 orang-
tahun) pada 2000-2008. Dalam tinjauan sistematis dari 36 studi epidemiologi
berdasarkan populasi, tingkat kejadian ICH per 100.000 orang-tahun adalah 51,8
di Asia, 24,2 di Kulit putih, 22,9 di Kulit hitam, dan 19,6 di Hispanik. Dalam
sebuah studi berbasis populasi Amerika Serikat yang mengidentifikasi 1038
pasien yang dirawat di rumah sakit karena ICH, orang kulit hitam Amerika
memiliki insiden ICH yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih
(per 100.000 orang-tahun, 48,9 vs 26,6).3
2.1.3 Etiologi

Beberapa etiologi telah dikemukakan dalam beberapa penelitian, seperti


hipertensi, Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pemakaian anti koagulan,
pemakaian beberapa obat dan alkohol, aneurisma, dan AVM. Tetapi secara garis
besar etiologi terjadinya PIS terbagi menjadi primer dan sekunder. PIS primer
disebabkan oleh karena gangguan pada pembuluh darah yang disebabkan
hipertensi kronis atau CAA, ini merupakan penyebab tersering dari PIS, meliputi
80% dan seluruh kasus PIS. PIS sekunder berhubungan dengan malformasi
vaskular, tumor atau gangguan koagulasi.4
1. Hipertensi
Hipertensi diduga kuat merupakan penyebab utama terjadinya PIS.
Hipertensi kronis menyebabkan degenerasi dan dinding pembuluh darah
kecil yang berasal dan arteri serebri anterior, media dan posterior.
Perubahan ini dapat mengurangi compliance, sehingga pembuluh darah
mudah ruptur. Tekanan darah normal adalah 120 mmHg untuk sistolik dan
80 mmHg untuk diastolik.
Hipertensi terbagi kedalam empat tingkat, yaitu: prehipertensi
untuk tekanan darah sistolik/diastolik 120-139/80-89 mmHg, hipertensi
tingkat 1 untuk tekanan darah 140-159/90-99 mmHg, tingkat 2 untuk
tekanan 160-179/100-109 mmHg, dan tingkat 3 untuk tekanan darah
>190/>110 mmHg. Risiko terjadinya PIS bervariasi pada beberapa
penelitian tentang hubungan tingginya risiko PIS dengan tingkat
hipertensi. Tingkat rekurensi PIS dikarenakan hipertensi kronis adalah 2%,
tetapi dapat diturunkan dengan pemakaian obat-obatan anti hipertensi
secara teratur.
2. Cerebral amyloid angiopathy (CAA)
CAA merupakan penyebab utama perdarahan lobar pada kelompok
lanjut usia. Gambaran patologi dari CAA ini berupa deposisi protein
amiloid pada tunika media dan tunika adventisia dari arteri
leptomeningeal, arteriol, kapiler, dan yang jarang terjadi, pada vena.
Destruksi elemen pembuluh darah yang normal oleh deposisi
amiloid pada tunika media dan adventisia dapat menyebabkan perdarahan
intraserebral. Pembuluh darah yang sudah mengalami gangguan ini rentan
untuk mengalami ruptur oleh trauma ataupun perubahan tekanan darah
yang mendadak. CAA juga berperan pada kelainan transient neurologic
symptoms dan demensia akibat leukoencephalopathy.
3. Koagulopati dan perdarahan intraserebral pasta terapi trombolitik
Koagulopati baik disebabkan oleh kelainan kongenital maupun
akibat efek samping pengobatan, berhubungandengan terjadinya
perdarahan intraserebral. Penggunaan antikoagulan Coumadin memiliki
peningkatan risiko 6 hingga 11 kali lipat terjadinya perdarahan
intraserebral spontan. Petty et al melaporkan bahwa risiko terjadinya
perdarahan intraserebral meningkat dan waktu ke waktu dari 1% pada 6
bulan, menjadi 7% pada 2 hingga 3 tahun pengobatan. Meskipun dosis
obat yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan risiko perdarahan,
kebanyakan kasus perdarahan terjadi pada rentang dosis standar. Riwayat
stroke atau trauma kepala sebelumnya tidak jelas berhubungan dengan
perdarahan akibat koagulopati.
Perdarahan intraserebral akibat terapi trombolitik 20% terjadi di
luar distribusi vaskular yang terlibat stroke iskemik. Gebel melaporkan
bahwa 77% perdarahan intraserebral akibat terapi trombilitik terjadi di
daerah lobar. Perdarahan akibat terapi trombolitik terjadi soliter pada 66%
kasus, konfluens pada 80% kasus, dan menunjukan gambaran blood-fluid
level pada 82% kasus. Pfleger (1994) melaporkan bahwa gambaran blood-
fluid level 98% spesifik untuk adanya PT atau APTT yang tidak normal.
4. Perdarahan akibat infark serebri
Infark serebri memiliki risiko terjadi perdarahan intraserebral
sebesar 5 hingga 22 kali lipat. Hubungan yang erat antara infark dengan
perdarahan intraserebral tidak mengherankan, karena kedua kelainan ini
memiliki faktor risiko yang sama, yakni hipertensi. Pada penelitian di
Greater Cinninati, 15% pasien yang mengalami perdarahan intraserebral
memiliki riwayat stroke sebelumnya. Woo (2002) juga melaporkan bahwa
13% dari seluruh perdarahan intraserebral disertai faktor risiko stroke
iskemik.
5. Hipokolesterolemia
Hipokolesterolemia merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
intraserebral dibandingkan individu yang memiliki kadar kolesterol yang
normal. Analisis multivariat yang dilaporkan oleh (Giroud, 1995) di Dijon,
Perancis, faktor risiko yang signifikan pada perdarahan intraserebral
adalah hipertensi dan kadar kolesterol yang rendah. (Okumura, 1999) juga
melaporkan bahwa kadar kolesterol yang rendah juga merupakan faktor
risiko yang signifikan pada pria, dan tidak signifikan secara statistik pada
wanita.
2.1.4 Patofisiologi

Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan


perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah
stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subaraknoid
dan perdarahan intraserebral.5
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan
pembuluh arteriola berdiameter 100 –400 mikrometer mengalami perubahan
patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa degenerasi lipohialinosis,
nekrosis fibrinoidserta timbulnya aneurisma Charcot Bouchard. Pada kebanyakan
pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan
pecahnyapenetratingarteri. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat
efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat
pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin
besar.5
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis.5

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis perdarahan intraserebral antara lain berdasarkan gejala klinis
kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imaging (CT dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI)). Computed Tomography (CT- scan) merupakan
pemeriksaan paling sensitif untuk ICH dalam beberapa jam pertama setelah
perdarahan.6 Hasil pemeriksaan CT Scan membuktikan reliable dalam mendeteksi
perdarahan dengan diameter 1 cm atau lebih. Pada saat bersamaan juga ditemukan
hidrosefalus, tumor, pembengkakan otak.7 CT-scan dapat diulang dalam 24 jam
untuk menilai stabilitas. Bila terjadi pada fase akut sulit untuk menemukan
penyebab yang mendasari malformasi vaskular, angiografi biasanya dibutuhkan
untuk diagnostik selanjutnya.6
Bedah emergensi dengan mengeluarkan massa darah diindikasikan pada
pasien sadar yang mengalami peningkatan volume perdarahan.6
Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan perdarahan
intraserebral dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan.6 Magnetic
Resonance Imaging (MRI) sangat bermanfaat dalam memperlihatkan perdarahan
brainstem dan sisa perdarahan Hemosiderin dan pigmen besi.2
2.1.6 Tatalaksana
2.1.6.1 Pertolongan Pertama Kegawatdaruratan
Pertolongan pertama mencakup ABCDE dari perawatan trauma dan
mengidentifikasi kondisi yang mengancam jiwa dengan mematuhi urutan ini:
• Airway maintenance with restriction of cervical spine motion
• Breathing and ventilation
• Circulation with hemorrhage control
• Disability (assessment of neurologic status)
• Exposure / Environmental control
Dokter dapat dengan cepat menilai A, B, C, dan D pada pasien trauma
(penilaian 10 detik) dengan mengidentifikasi diri mereka, menanyakan nama
pasien, dan menanyakan apa yang terjadi. Tanggapan yang tepat menunjukkan
bahwa tidak ada masalah pada jalan napas utama (yaitu, kemampuan untuk
berbicara dengan jelas), pernapasan tidak sangat terganggu (yaitu, kemampuan
untuk menghasilkan gerakan udara untuk memungkinkan berbicara), dan tingkat
kesadaran tidak menurun secara nyata (yaitu, cukup waspada untuk
menggambarkan apa yang terjadi). Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini menunjukkan kelainan pada A, B, C, atau D yang memerlukan
penilaian dan manajemen yang mendesak.11
1. Airway
Pertama menilai patensi jalan napas. Penilaian cepat untuk tanda-tanda
obstruksi jalan napas ini termasuk memeriksa benda asing; mengidentifikasi
fraktur wajah, mandibula, dan / atau trakea / laring dan cedera lain yang dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas; dan pengisapan untuk membersihkan
akumulasi darah atau sekresi yang dapat menyebabkan atau menyebabkan
obstruksi jalan napas. Mulailah langkah-langkah untuk membangun jalan napas
paten sambil membatasi gerakan tulang belakang leher.11
Jika pasien dapat berkomunikasi secara verbal, jalan nafas tidak mungkin
dalam bahaya langsung; Namun, penilaian berulang terhadap patensi jalan nafas
lebih bijaksana. Selain itu, pasien dengan cedera kepala parah yang memiliki
tingkat kesadaran yang berubah atau skor Glasgow Coma Scale (GCS) 8 atau
lebih rendah biasanya memerlukan penempatan jalan napas definitif. Pada
awalnya, jaw-thrust or chin-lift maneuver sering cukup sebagai intervensi awal.
Jika pasien tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah, penempatan jalan nafas
orofaringeal dapat membantu sementara waktu.11
2. Breathing and Ventilation
Patensi jalan nafas saja tidak menjamin ventilasi yang memadai.
Diperlukan pertukaran gas yang memadai untuk memaksimalkan oksigenasi dan
eliminasi karbon dioksida. Ventilasi membutuhkan fungsi paru-paru, dinding
dada, dan diafragma yang memadai; Oleh karena itu, dokter harus dengan cepat
memeriksa dan mengevaluasi setiap komponen.11
Untuk menilai secara memadai distensi vena jugularis, posisi trakea, dan
perjalanan dinding dada, memaparkan leher dan dada pasien. Lakukan auskultasi
untuk memastikan aliran gas di paru-paru. Inspeksi visual dan palpasi dapat
mendeteksi cedera pada dinding dada yang dapat mengganggu ventilasi. Perkusi
toraks juga dapat mengidentifikasi kelainan, tetapi selama resusitasi yang bising
evaluasi ini mungkin tidak akurat.11
Cedera yang secara signifikan mengganggu ventilasi dalam jangka pendek
termasuk tension pneumothorax, hemothorax masif, pneumotoraks terbuka, dan
cedera trakea atau bronkial. Cedera ini harus diidentifikasi selama survei primer
dan sering membutuhkan perhatian segera untuk memastikan ventilasi yang
efektif. Setiap pasien yang terluka harus menerima oksigen tambahan. Jika pasien
tidak diintubasi, oksigen harus dikirim oleh alat masker untuk mencapai
oksigenasi yang optimal. Gunakan pulse oksimeter untuk memantau kecukupan
saturasi oksigen hemoglobin.11
3. Circulation with hemorrage control
Unsur-unsur pengamatan klinis yang menghasilkan informasi penting
dalam hitungan detik adalah tingkat kesadaran, perfusi kulit, dan denyut nadi.11
• Tingkat Kesadaran
Ketika volume darah yang bersirkulasi berkurang, perfusi serebral dapat
terganggu secara kritis, menghasilkan tingkat kesadaran yang berubah.
• Perfusi Kulit
Tanda ini dapat membantu mengevaluasi pasien hipovolemik yang terluka.
Seorang pasien dengan kulit merah muda, terutama di wajah dan ekstremitas,
jarang mengalami hipovolemia kritis setelah cedera. Sebaliknya, seorang
pasien dengan hipovolemia mungkin memiliki kulit wajah kelabu dan kelabu
dan ekstremitas pucat.
• Denyut nadi
Denyut yang cepat dan cepat biasanya merupakan tanda hipovolemia.
Nilai denyut nadi sentral (mis., Arteri femoralis atau karotis) secara bilateral
untuk kualitas, kecepatan, dan keteraturan. Pulsa sentral yang tidak ada yang
tidak dapat dikaitkan dengan faktor-faktor lokal menunjukkan perlunya
tindakan resusitasi segera.
4. Disability
Evaluasi neurologis yang cepat menentukan tingkat kesadaran dan ukuran
serta reaksi pupil pasien; mengidentifikasi keberadaan tanda-tanda lateralisasi;
dan menentukan tingkat cedera sumsum tulang belakang, jika ada.
GCS adalah metode cepat, sederhana, dan obyektif untuk menentukan
tingkat kesadaran. Skor motorik GCS berkorelasi dengan hasil. Penurunan tingkat
kesadaran pasien dapat mengindikasikan penurunan oksigenasi otak dan / atau
perfusi, atau mungkin disebabkan oleh cedera otak langsung. Tingkat kesadaran
yang berubah menunjukkan kebutuhan untuk segera mengevaluasi kembali
oksigenasi, ventilasi, dan status perfusi pasien. Hipoglikemia, alkohol, narkotika,
dan obat-obatan lain juga dapat mengubah tingkat kesadaran pasien.11
5. Exposure
Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi pasien dengan selimut hangat atau
alat pemanasan eksternal untuk mencegahnya mengalami hipotermia di daerah
penerima trauma. Hangatkan cairan intravena sebelum diinfus, dan pertahankan
lingkungan yang hangat.6
2.1.6.2 Tatalaksana ICH
1. Intervensi Emergensi
Perdarahan intraserebral adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan
terapi darurat mengingat bahwa > 20% pasien mengalami penurunan 2 poin atau
lebih dalam Skala Koma Glasgow (GCS) setelah penilaian awal oleh Emergency
Medical Services (EMS). Selain itu, 15-23% pasien mengalami ekspansi hemoma
dan penurunan neurologis dalam beberapa jam pertama.1
Stabilisasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC) sangat penting
untuk mencegah cedera sekunder akibat hipoksemia, hipertensi, dan ekspansi
hematoma. Intubasi untuk perlindungan jalan nafas diindikasikan pada pasien
dengan GCS ≤ 8 atau gangguan pernapasan yang signifikan. Pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran dari perdarahan intraventrikular dengan hidrosefalus,
efek massa atau herniasi batang otak harus menerima ventriculostomy, terapi
hyperosmolar dengan manitol 0,5-1 g / kg atau infus hipertonik saline (HTS).1

Gambar 2.1 Alur intervensi emergensi untuk perdarahan intraserebral1


2. Manajemen Hipertensi
Pasien dengan ICH sangat sering datang dengan tekanan darah tinggi
secara signifikan. Peningkatan tekanan darah sistolik (SBP) berhubungan dengan
ekspansi hematoma, kerusakan saraf dan hasil yang buruk setelah ICH.1,8
Calsium channel blocker intravena (misalnya, nicardipine) dan β-blocker
(misalnya, labetalol) adalah pengobatan pilihan untuk pengurangan tekanan darah
sedini mungkin, mengingat waktu paruh yang singkat dan kemudahan titrasi.
Nitrat harus dihindari karena berpotensi menyebabkan vasodilatasi otak dan
tekanan intrakranial tinggi. Agen antihipertensi oral perlu dimulai sesegera
mungkin untuk mengontrol hipertensi yang resistan dan memfasilitasi transisi
perawatan dari ICU ke manajemen jangka panjang. Pedoman untuk hipertensi
yang resisten merekomendasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-
I) atau blocker reseptor angiotensin (ARB), calcium channel blocker (CCB) dan
diuretik seperti thiazide dengan dosis maksimal yang ditoleransi sebagai formula
kembar tiga yang optimal. 1,8
CCB dan ACE-I atau ARB diterima secara luas sebagai obat lini pertama
dan lini kedua untuk pasien yang resistan, tetapi pilihan agen antihipertensi lini
ketiga dan keempat sangat bervariasi dalam praktik dunia nyata. Tiazid dapat
menyebabkan hiponatremia dan memperburuk edema serebral pada pasien dengan
perdarahan besar atau efek massa. Ini harus digunakan dengan hati-hati. Dalam uji
coba baru ini, spironolakton terbukti sangat efektif untuk pasien dengan HTN
yang resistan. Spironolakton dan antagonis α-/β dapat digunakan sebagai agen
ketiga dan keempat untuk mempertahankan kontrol tekanan darah sambil
menghentikan sediaan intravena yang diberikan. Selama fase akut, pasien
mungkin memiliki hipertensi resisten karena lonjakan simpatis. Beberapa minggu
kemudian, mereka mungkin memerlukan lebih sedikit meditasi dan beresiko
hipotensi kecuali jika dosis obat disesuaikan segera. 1,8
3. Reversal Koagulopati
Koagulopati yang diinduksi oleh obat atau karena proses penyakit
sistemik, dikaitkan dengan ekspansi hematoma, dan peningkatan risiko hasil dan
kematian yang buruk. Sekitar 12-20% pasien yang mengalami ICH menggunakan
antikoagulan oral. Meskipun pembalikan akut koagulopati belum jelas terbukti
bermanfaat dalam uji acak besar, koreksi cepat koagulopati harus
dipertimbangkan pada pasien yang berpotensi diselamatkan.1

Gambar 2.2 Pedoman untuk membalikkan warfarin dan novel antikoagulan oral
(NOAC) koagulopati pada pasien dengan ICH simptomatik1
4. Manajemen perdarahan intraventrikular dan hidrosefalus
Perdarahan intraventrikular (IVH) terjadi pada hingga 45% pasien dengan
ICH. Ini dikaitkan dengan GCS yang lebih rendah dan prediktor independen
untuk hasil yang buruk. Penempatan external ventricular drain (EVD) harus
dipertimbangkan pada pasien dengan GCS ≤ 8, IVH yang signifikan, hidrosefalus
atau bukti hernia transtentorial. Peningkatan tekanan intrakranial (> 20 mmHg)
harus diobati dengan terapi hiperosmolar (HTS dan / atau manitol), drainase atau
sedasi cairan serebrospinal, meskipun tidak satu pun dari terapi ini yang terbukti
meningkatkan hasil.1
5. Manajemen Operasi
 Pendarahan infratentorial
Operasi darurat sangat dianjurkan pada pasien dengan perdarahan
serebelar dengan gejala kerusakan neurologis. Karena fossa posterior
memiliki sedikit ruang bebas, perdarahan serebelar dengan mudah
menyebabkan kompresi batang otak, obstruksi ventrikel, hidrosefalus, dan
akhirnya fatalitas yang tinggi. Pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm
atau pasien dengan perdarahan serebelar menyebabkan kompresi batang
otak atau hidrosefalus dapat memperoleh hasil yang lebih baik dengan
dekompresi bedah melalui evakuasi hematoma. Pengobatan awal
perdarahan serebelar dengan drainase ventrikel saja dan bukan evakuasi
bedah tidak dianjurkan karena kurangnya kontrol tekanan intrakranial.9
 Pendarahan supratentorial
Efek menguntungkan dari manajemen bedah ICH supratentorial
tetap kontroversial dan harus dibatasi dalam situasi tertentu. Meskipun
beberapa uji acak telah membandingkan kemanjuran manajemen bedah
dan manajemen medis konservatif, mereka belum menunjukkan manfaat
yang signifikan dari manajemen bedah pada mortalitas atau hasil
fungsional. The International Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage
(STICH) dilakukan untuk membuktikan keunggulan evakuasi hematoma
dini (dalam 24 jam pengacakan) dibandingkan perawatan medis
konservatif.9
 Dekompresi
Atas dasar analisis subkelompok yang dilakukan dalam percobaan
STICH II, pembedahan, jika perlu, harus dipertimbangkan dalam waktu 21
jam ictus untuk hasil yang lebih baik.9
 Perdarahan intraventrikular (IVH)
IVH biasanya terkait dengan ICH yang duduk di dalam ganglia
basal dan / atau thalamus. IVH adalah penentu penting dari hasil yang
buruk pada pasien dengan ICH. Baru-baru ini, pemasangan kateter
ventrikel dengan agen trombolitik telah dipelajari untuk mengatasi
inefisiensi dan kesulitan mempertahankan patensi kateter.9
Tabel 2.1 Kandidat operasi pada perdarahan intraserebral9
Situasi Manajemen Operasi
Perdarahan serebelar dengan
kerusakan neurologis yang terkait
Evakuasi hematoma
dengan kompresi batang otak atau
hidrosefalus
Perdarahan supratentorial dengan
Evakuasi hematoma
penurunan neurologis.
Perdarahan supratentorial dengan
skor GCS <8, pergeseran garis
tengah yang signifikan dan
Dekompresi kraniektomi
hematoma besar, Tekanan
intrakranial yang tidak bisa
ditangani secara medis.
Hidrosefalus dengan atau tanpa IVH Drainase ventrikular

 Indikasi Kraniostomy
o Pasien dalam keadaan koma (GCS score < 8)
o Pergeseran garis tengah yang nyata
o Perdarahan yang luas
o Tekanan intrakranial tidak dalam batas normal setelah diberikan
obat-obatan
6. Manajemen demam dan glukosa
Insiden demam setelah supratentorial ICH tinggi, terutama pada pasien
dengan perdarahan ventrikel. Demam telah dilaporkan memperburuk hasil pada
pasien dengan ICH. Pada pasien yang bertahan 72 jam pertama setelah rawat inap,
durasi demam dikaitkan dengan hasil fungsional yang buruk dan tampaknya
menjadi faktor prognostik independen. Oleh karena itu, suhu harus diukur secara
teratur pada pasien dengan ICH. Antipiretik biasanya merupakan metode
sederhana untuk mengurangi demam ringan.9
Hiperglikemia saat masuk berhubungan dengan peningkatan fatalitas
kasus 28 hari pada pasien nondiabetes dan diabetes dengan ICH. Karena itu,
hiperglikemia harus dikontrol secara adekuat. Di sisi lain, kontrol glukosa yang
ketat dengan terapi insulin intensif juga dilaporkan dikaitkan dengan
berkurangnya ketersediaan glukosa ekstraseluler serebral dan peningkatan
mortalitas. Oleh karena itu, kadar glukosa harus dipantau secara teratur dan baik
hiperglikemia maupun hipoglikemia harus dihindari.9
7. Manajemen Kejang
Studi menggunakan continuous electroencephalography (EEG)
menunjukkan bahwa kejang elektrografi terjadi pada hingga sepertiga pasien
dengan ICH. Kejang klinis sering 16% dalam 1 minggu setelah ICH dan lokasi
hematoma mempengaruhi frekuensi ini; keterlibatan kortikal merupakan faktor
risiko penting kejang dini. Meskipun hubungan antara kejang elektrografik dan
hasil klinis tidak jelas, ada konsensus bahwa kejang klinis dan kejang elektrografi
dengan penurunan kesadaran harus diobati. Dalam kasus bahwa pasien dengan
ICH mengalami penurunan status mental etiologi yang tidak diketahui,
pemantauan EEG berkelanjutan sangat penting untuk mendeteksi kejang
elektrografi. Sehubungan dengan penggunaan profilaksis obat antiepilepsi untuk
ICH, tidak ada bukti yang mendukung efek menguntungkan mereka. Oleh karena
itu, penggunaan profilaksis obat antiepilepsi tidak dianjurkan.9
2.1.6.3 Perioperatif pada tatalaksana ICH10
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik objektif
secara umum, yaitu keadaan umum, Glasgow coma score (GCS), status mental
dan kesadaran, primary survey, tanda vital dan lain-lain. Pemeriksaan lanjutan
seperti ada tidaknya papil edema (penelusuran peningkatan TIK), ada-tidaknya
cushing respone, ukuran pupil,ada tidaknya defisit bicara, dan pemeriksaan deficit
focal.
Pemeriksaan penunjang yang terkait seperti pemeriksaan CT Scan dan
MRI diperlukan untuk mengetahui lokasi lesi perdarahan, ukuran perkiraan
jumlah perdarahan, dan area-area yang terkena, serta mengetahui struktur anatomi
di dalam intrakranial seperti midline shift, penurunan ukuran ventrikel, herniasi
lobus temporal, cairan serebrospinal, ada tidaknya edema, dan hydrocephalus.
Semua pemeriksaan penunjang ini sangat penting karena dengan diketahui secara
pasti dapat diketahui pula prognosa dari pasien yang akan dioperasi. Pemeriksaan
penunjang laboratorium juga diperlukan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan pasien, seperti faktor koagulasi/pembekuan, modal hemoglobin, status
elektrolit jika diperlukan.
2.1.6.4 Pembiusan pada tatalaksana ICH10
Dipilih obat-obat yang dapat melindungi otak dari kerusakan sekunder.
Pemilihan dosis dan jenis obat induksi tergantung dengan kondisi actual pada
pasien yang bersangkutan.
Fentanyl merupakan opioid agonis sintetis derivat fenil piperidin yang
secara structural berhubungan dengan meperidin. Secara klinis fentanyl diberikan
dalam rentang dosis yang besar, dosis rendah 1 –2 mcg/kgbb iv, untuk analgesia.
Fentanyl 2 – 20 mcg/kgbb iv, dapat diberikan sebagai adjuvant untuk
menumpulkan respon gejolak hemodinamik pada saat (a) laringoskopi untuk
intubasi trakea atau (b) stimulasi pembedahan yang tiba-tiba. Dosis besar fentanyl
50-150 mcg/kgbb digunakan secara tunggal untuk anestesi.
Dengan berbagai pertimbangan fentanyl merupakan opioid pilihan untuk
neuroanestesi. Fentanyl seratus kali lebih poten dibandingkan morfin, dengan
onset yang lebih cepat dan durasi lebih singkat. Fentanyl sedikit menurunkan
tekanan intrakranial (minimal bila diberikan bersamaan dengan N2O) dan
mempertahankan tekanan perfusi otak lebih baik dibandingkan sufentanyl atau
alfentanyl. Fentanyl juga menurunkan resistensi terhadap absorpsi LCS dan
menghasilkan penurunan 10% CBV.
Rokuronium memiliki keuntungan dalam mempertahankan stabilitas
hemodinamik, bahkan bila diberikan dalam dosis besar. Vekuronium tidak
mengganggu tekanan intrakranial maupun dinamika liquor cerebrosipinalis
(LCS). Rokuronium diberikan dalam dosis 0,5 mg/kgbb. Dapat juga diberikan
untuk infus kontinyu dengan dosis 0,3 mg/kgbb/jam.
Lidokain 1-1,5 mg/kgbb diguna-kan untuk mencegah peningkatan tekanan
intracranial, juga efektif untuk menumpulkan efek hemodinamik terhadap
tindakan laringoskopi untuk intubasi trakea. Refleks bronkospasme juga dapat
dicegah dengan pemberian lidokain intravena. Pada saat intubasi ET tidak terjadi
gejolak hemodinamik yang berarti karena semua usaha untuk pencegahan telah
dilakukan, hal ini terjadi mungkin karena diikutinya onset dari masingmasing
obat.
Isofluran meru-pakan anestesi inhalasi pilihan untuk neuroanestesi. Isofl
uran bersifat cerebro-vasodilator yang meningkatkan aliran darah serebri.
Dibandingkan dengan halothan dan enfluran, isofluran paling sedikit efek
vasodiltasi cerebri dan paling poten menekan metabolism serebri (CMRO2).
Autoregulasi dapat dipertahankan sampai batas MAC isofluran tetapi akan
terganggu pada konsentrasi yang lebih tinggi. Pada konsentrasi rendah, isofluran
tidak berpengaruh terhadap produksi LCS maupun resistensi absorpsi LCS. Pada
konsentrasi tinggi isofl uran terhadap produksi LCS, tetapi menurunkan resistensi
absorpsi LCS (diperkirakan tekanan intracranial).
Walaupun pada pasien hipertensi dengan terapi antihipertensi mempunyai
kecenderungan untuk memiliki tekanan darah yang berfluktuasi selama anestesi.
Stabilnya tekanan darah selama operasi mungkin disebabkan karena bisa
tercapainya kedalaman anestesi yang diharapkan dengan balanced anestesi.
Propofol continous dan rokuronium kontinyu dan juga dengan pemberian fentanyl
sebagai anagetik tambahan penggunaan agen volatile. MAP dipertahankan dalam
range 80- 100 kontrol nafas penuh dengan setting frekuensi pernafasan 13-14
x/mnt, volume tidal : 450 cc.
2.1.6.5 Manajemen pasca operasi di perawatan intensif (ICU)
Pasien pasca bedah kraniotomi memerlukan stabilisasi dan manitor lebih
lanjut, terutama pasien dengan GCS<8 atau hemodinamik dan respirasi tidak
stabil. Manajemen ini termasuk memantau TIK. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa outcome yang baik berbanding terbalik dengan kenaikan
TIK, yaitu tidak lebih dari 20mmHg. Pasien juga harus dipantau agar MAP dijaga
lebih dari 90mmHg dengan pemberian cairan yang cukup. Pemenuhan cairan
dapat menggunakan Ringer Laktat atau saline normal, dan dipantau dengan
menggunakan tekanan vena sentral (CVP).
Pemenuhan oksigen sangat diperlukan agar tidak terjadi hipoksia. PaCO2
dijaga antara 35-40mmHg dan PO2> 70mmHg. Meskipun diketahui bahwa
oksigen dengan konsentrasi tinggi dapat memperbaiki oksigenasi jaringan otak,
tetapi hal ini tergantung juga pada konsentrasi Hb, pergeseran kurva disosiasi
oksigen dan saturasi oksigen. Dianjurkan untuk menggunakan pulse oximetry
untuk memantau saturasi oksigen jaringan dan dijaga agar saturasi > 94%.
Analgesia dan sedasi tetap diperlukan meskipun dalam keadaan koma,
karena masih merespon terhadap nyeri dan rangsang noxious dan hal ini dapat
meningkatkan TIK dan tekanan darah. Terapi yang utama pada nyeri ini adalah
morfin atau fentanil, terutama pada pasien yang terintubasi karena selain memiliki
analgesi juga menekan reflex jalan nafas. Sebagai hipnosis dapat digunakan
propofol karena dosisnya dapat dititrasi, waktu pulih cepat, menurunkan CMR,
potensiasi penghambatan GABAergik, inhibisi reseptor metil D-aspartat
glutamate, dan bersifat antioksidan dan penghambat peroksidasi lipid.
Agen paralitik dapat diberikan pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik, tetapi penggunaan yang rutin tidak dianjurkan, apalagi jika pasien telah
stabil, sedasi cukup dan analgesia telah tercapai. Tindakan antara lain dengan
posisi head up 30º, sehingga TIK tidak meningkat, tetapi CPP dan CBF tidak
turun. Pada kasus berat dapat diberikan antikovulsan selama 7 hari dengan
fenitoin dosis loading 18mg/kgBB dan dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari. Jika
dengan perlakuan di atas, TIK tetap naik, dapat diberikan agen hiperosmotik
seperti manitol dengan dosis 0,25 sampai 0.5g/kgBB tiap 2-6 jam untuk
meningkatkan osmolaritas serum 310-320 mOsm/kg H2O.
Kebutuhan nutrisi pasien dapat segera dipenuhi dengan pemberian nutrisi
enteral, sehingga keutuhan mukosa saluran cerna tetap terjaga, serta
meningkatkan respon metabolik terhadap stress. Penelitian menunjukkan bahwa
penundaan pemberian nutrisi entral akan menurunkan resiko infeksi 55%.
Dianjurkan pemberian nutrisi mulai 20 ml/jam dan ditingkatkan setiap 6 jam
sampai jumlah yang diinginkan. Volume residue dapat dicek tiap 6 jam.
BAB III

STATUS PASIEN

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama :J

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Pegawai Negeri

Alamat : Jalan Rawa Gang Famili

Tanggal Masuk : 14 Februari 2019

Berat Badan : 75 kg

Tinggi Badan : 170 cm

3.2 AUTOANAMNESIS

KU : Penurunan Kesadaran

Telaah : Hal ini telah dialami oleh pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Awalnya pasien sedang beraktifitas ringan dan kemudian pasien tiba-
tiba merasa lemah pada kedua anggota gerak atas dan bawah, jatuh terduduk
dan tidak sadarkan diri. Beberapa menit kemudian, pasien meringis kesakitan,
berbicara tidak jelas dan tidak merespons ketika ditanya. Dalam perjalanan
menuju klinik dekat rumah, pasien mengeluhkan sakit kepala yang hebat
sambil memegangi kepalanya. Tidak dijumpai adanya muntah menyembur
dan kejang. Riwayat trauma kepala disangkal. Riwayat diabetes melitus
disangkal. Riwayat hipertensi 5 tahun dengan tekanan darah tertinggi yang
pernah diukur 180/100 mmHg dan pasien tidak mengonsumsi obat secara
teratur.
RPT : Hipertensi
RPO : Tidak jelas
3.3 TIME SEQUENCES

14 Februari 2019 14 Februari 2019 14 Februari 2019

Pukul 10.46 WIB Pukul 12.25 WIB Pukul 15.50 WIB


Pasien tiba di IGD Pasien
RSUP Haji Adam dikonsulkan untuk Pasien dikonsul
Malik tindakan anestesi untuk rawatan
Pro Head CT ICU
SCAN

14 Februari 2019 14 Februari 2019 14 Februari 2019

Pukul 17.20 WIB Pukul 18.00 WIB Pukul 19.58 WIB


Pasien mulai
Pasien Anestesi telah acc dilakukan operasi
dikonsulkan untuk dilakukan Craniostomy
tindakan anestesi Craniostomy Dekompresi +
rencana Dekompresi +
evakuasi ICH
Craniostomy evakuasi ICH
Dekompresi + CITO
evakuasi ICH
CITO

15 Februari 2019

Pukul 03.00 WIB


Pasien selesai
dilakukan
Craniostomy
Dekompresi +
evakuasi ICH dan
dirawat di ICU
paska bedah.
3.4 PRIMARY SURVEY (16.20 WIB di IGD pada tanggal 14/02/2019)

A (Airway)
– Airway clear
– Snoring (-), Gurgling (-), Crowing (-)
B (Breathing)
– RR: 24 kali per menit, SaO2: 96%, O2 via nasal kanul 5 L/i
C (Circulation)
- Tekanan darah: 190/100 mmHg
- Frekuensi Nadi: 139 kali per menit, regular, t/v kuat/cukup
- Akral Hangat, Merah, Kering
- CRT < 2 detik
- Terpasang IV Line di tangan kiri
D (Disability)
- Kesadaran/AVPU: Sopor. GCS 7 E2 M4V1
- Pupil isokor, diameter 3 mm/3 mm, RC: +/+
E (Exposure)
- Suhu aksila: 38ºC

3.5 SECONDARY SURVEY (03.00 WIB di KBE tanggal 15/02/2019)


B1 (Breath) : Airway clear ; RR: 24 x/menit;
SP: vesikuler ka=ki; ST: (-/-)
S/G/C: -/-/-
B2 (Blood) : Akral: hangat/merah/kering; TD: 130/70 mmHg;
HR: 82 x/menit, reguler, t/v: kuat/cukup; CRT < 2
detik; Temperatur: 37,2°C, sianosis (-).
B3 (Brain) : Sensorium: Dalam pengaruh obat (DPO);
pupil: isokor; Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC +/+
B4 (Bladder) : UOP (+)
Warna: kuning pekat, terpasang kateter urin.
B5 (Bowel) : Abdomen: soepel, peristaltik (+) normal
B6 (Bone) : Fraktur (-); edema (-/-)

3.6 TATALAKSANA IGD

 Craniectomy dekompresi + evakuasi ICH

 Bed rest + head up 30o

 Oksigen 5 lpm via nasal kanul

 Memasang NGT no 18

 Memasang Kateter no 18

 IVFD Ringer solution 20 gtt/i

 Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam

 Inj. Nikardipin 1 ampul dalam 50 cc NaCl = 7,5 cc/jam

 Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam

 Drip manitol 300 cc loading selanjutnya 125cc / 6 jam

3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


3.7.1 Laboratorium
Lab (14/02/2019) Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 16,2 g/dL 13 – 18 g/dL
Eritrosit 5,42 jt/µL 4.10-5.10 jt/µL
Leukosit (WBC) 20,070/µL 4,000-11,000/µL
Hematokrit 49% 36 – 47 %
Trombosit (PLT) 192,000/µL 150,000-450,000/µL
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 148 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 3.1 mEq/L 3.6 – 5.5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96 – 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarah (Sewaktu) 150 mg/dL <200mg/dl
GINJAL
BUN 38 mg/dL 9-21 mg/dL
Ureum 81 mg/dL 19-44 mg/dL
Kreatinin 1.29 mg/dL 0.7-1.3 mg/dL
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Protrombin
 Pasien 15.2
 Kontrol 13.90
INR 1.10 0.8-1.30
APTT
 Pasien 29.4 27-39
 Kontrol 29.8
Waktu Trombin
 Pasien 18.4
 Kontrol 20.0
ANALISA GAS
DARAH
pH 7.530 7.35 – 7.45
pCO2 24 mmHg 38 - 42 mmHg
pO2 145 U/L 85 - 100 U/L
HCO3 20.1 U/L 22 - 26 U/L
Total CO2 20.8 U/L 19 – 25 U/L
BE -1.2 U/L (-2) - (+2) U/L
SaO2 99 % 95-100%
3.7.2 Foto Thorax (14/02/2019)

Hasil : Kedua sinus costophrenicus lancip, kedua diafragma licin.


Tidak tampak infiltrat pada kedua lapangan paru.
Jantung ukuran normal CTR < 50%.
Trakea di tengah.
Tulang-tulang dan soft tissue baik.
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo.
3.7.3 Elektrokardiografi

Gambar 3.1 Hasil Elektrokardiografi Pasien.


Hasil: Sinus takikardi, Reguler, QRS rate: 150x/I, normoaxis, Gel. P normal,
PR interval 0,16 s, QRS duration 0,04 s. ST changes (-). Gel.T normal, LVH
(-), RVH (-), RBBB (-), LBBB (-).
Kesan: Sinus takikardi.
3.7.4 MSCT HEAD (14/02/2019)

Dilakukan MSCT Scan Head potongan aksial dari basis crani hingga vertex
kemudian dilakukan rekonstruksi potongan coronal dan sagital:
Infratentoral, pons, cerebellum, ventricle IV tampak normal.
Supratentorial tampak hiperdens luas di basal ganglia kanan yang
mendorong midline ke kiri.
Ventricular system dan cortical sulci normal.
Kesimpulan: Right basal ganglia huge hemorragic + peninggian
tekanan intracranial.

3.8 DIAGNOSIS
Diagnosis: Spontaneous ICH Right ganglia basalis.
BAB IV

FOLLOW UP

14 Februari 2019
S Penurunan Kesadaran
O - Airway : clear, sp = vesikuler, intubasi st = -/-, S/G/C = -/-/-,
SpO2 = 96%, RR = 17x/menit.
- TD = 200/100, HR = 139x/menit, regular, t/v = kuat/cukup
Akral = H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,8O C
- Sensorium = sopor, RC = +/+
- UOP (+), warna kuning pekat, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) N
- Oedem (-), fraktur (-).

A Stroke Hemoragik
P pasien dengan penurunan kesadaran saat ini icu Ham dalam keadaan
penuh. Mohon optimalisasi keadaan pasien di ruang intermediate
lainnya. Terima kasih

15 Februari 2019
S Post Op
O - Airway : clear, sp = vesikuler, intubasi st = -/-, S/G/C = -/-/-,
SpO2 = 99%, RR = 17x/menit.
- TD = 130/70, HR = 88x/menit, regular, t/v = kuat/cukup Akral
= H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,8O C
- Sensorium = sopor, pengaruh obat. RC = +/+
- UOP (+), warna kuning pekat, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) N
- Oedem (-), fraktur (-).

A Post Craniotomy ICH


P - IVFD R. Sol 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
- Inj. Fentanyl 300 mcg + Miloz 15 mg/ dalam 50 cc Nacl 5 cc/ jam
15 Februari 2019
S Post Op
O - Airway : clear, terintubasi dengan modus SIMV 14, FiO2 50%
PEEP : 5 sp = vesikuler st = -/-, S/G/C = -/-/-, SpO2 = 95%, RR =
14x/menit.
- TD = 130/70, HR = 88x/menit, regular, t/v = kuat/cukup Akral
= H/M/K, CRT = ˂ 2’’. T = 37,8O C
- Sensorium = delirium pengaruh obat. RC = +/+
- UOP (+), warna kuning pekat, kateter (+)
- Abdomen = soepel, peristaltik (+) N
- Oedem (-), fraktur (-).

A Post Craniotomy ICH


P - IVFD R. Sol 20 gtt/i
- Mannitol 100 mg / 4 jam
- Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
- Inj. Fentanyl 300 mcg + Miloz 15 mg/ dalam 50 cc Nacl 5 cc/ jam
- Amlodipine 1 x 5 mg
- Valsartan 1 x 80 mg
- Nebule combivent 3 x 1
- N. Asetil sistein 3 x 1
- Inj. Asam Tranexamat 500 mg/ 8jam
- Sucralfat syr 3 x Cth
BAB V
DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
ICH didefinisikan sebagai perdarahan Tn. J, laki-laki berusia 45 tahun
intraparenchymal tanpa adanya trauma didiagnosa dengan Spontaneous ICH
atau operasi. ICH spontan dapat right ganglia basalis.
diklasifikasikan sebagai primer atau
sekunder tergantung pada penyebab
yang mendasarinya.
Etiologi ICH adalah: Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi
 Hipertensi
Riwayat pengobatan obat : Tidak jelas
 Cerebral amyloid angiopathy
(CAA)
 Koagulopati dan perdarahan
intraserebral pasta terapi
trombolitik
 Perdarahan akibat infark serebri
 Hipokolesterolemia
CT scan merupakan pemeriksaan Telah dilakukan MSCT Scan Head
paling sensitif untuk ICH dalam potongan aksial dari basis crani
beberapa jam pertama setelah hingga vertex kemudian dilakukan
perdarahan. Hasil pemeriksaan CT rekonstruksi potongan coronal dan
Scan membuktikan reliable dalam sagital:
mendeteksi perdarahan
dengan Infratentoral, pons, cerebellum,
diameter 1 cm atau lebih. Pada saat ventricle IV tampak normal.
bersamaan juga ditemukan Supratentorial tampak hiperdens
hidrosefalus, tumor, pembengkakan luas di basal ganglia kanan yang
otak. mendorong midline ke kiri.
Ventricular sistem dan cortical
sulci normal.
Kesimpulan: Right basal ganglia
huge hemorragic + peninggian
tekanan intrakranial.

Penatalaksanaan : Tatalaksana di IGD:


 Craniectomy dekompresi +
 Intervensi Emergensi
evakuasi ICH
 Manajemen Hipertensi  Bed rest + head up 30o
 Reversal Koagulopati
 Oksigen 5 lpm via nasal
 Manajemen perdarahan
kanul
intraventrikular dan hidrosefalus
 Manajemen Operasi  Memasang NGT no 18
 Manajemen demam dan glukosa
 Memasang Kateter no 18
 Manajemen Kejang
 IVFD Ringer solution 20
gtt/i

 Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12
jam

 Inj. Nikardipin 1 ampul


dalam 50 cc NaCl = 7,5 cc/jam

 Inj. Ranitidin 50 mg / 12
jam

 Drip manitol 300 cc loading


selanjutnya 125cc / 6 jam

Pre op Pada primary survey :


Pemeriksaan fisik yang - Airway : clear
- Breathing : RR: 24 kali per
dilakukan meliputi pemeriksaan fisik
menit, SaO2: 96%, O2 via nasal
objektif secara umum, yaitu keadaan kanul 5 L/i
- Circulation : Tekanan
umum, Glasgow coma score (GCS),
status mental dan kesadaran, primary darah: 190/100 mmHg
survey, tanda vital dan lain-lain. - Disability :
Pemeriksaan lanjutan seperti ada Kesadaran/AVPU: Sopor.
tidaknya papil edema (penelusuran GCS 7 E2 M4V1
peningkatan TIK), ada-tidaknya - Exposure : Suhu aksila:
cushing respone, ukuran pupil,ada 38ºC
tidaknya defisit bicara, dan Hasil Laboratorium :
- Hb : 16,2 g/dL
pemeriksaan deficit focal.
- Ht : 49%
Pemeriksaan penunjang yang
- PLT : 192,000/µL
terkait seperti pemeriksaan CT Scan - Leu : 20,070/µL
- PT : 15.2
dan MRI diperlukan untuk mengetahui
- APTT : 29.4
lokasi lesi perdarahan, ukuran - TT : 18.4
- INR : 1.10
perkiraan jumlah perdarahan, dan area-
Hasil foto thoraks :
area yang terkena, serta mengetahui - Tidak tampak kelainan pada
struktur anatomi di dalam intrakranial cor dan pulmo.
seperti midline shift, penurunan ukuran Hasil MSCT Head :
ventrikel, herniasi lobus temporal, - Kesimpulan: Right basal
cairan serebrospinal, ada tidaknya ganglia huge hemorragic +
edema, dan hydrocephalus. Semua peninggian tekanan
pemeriksaan penunjang ini sangat intracranial.
penting karena dengan diketahui secara
pasti dapat diketahui pula prognosa
dari pasien yang akan dioperasi.
Pemeriksaan penunjang laboratorium
juga diperlukan yang sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan pasien, seperti
faktor koagulasi/pembekuan, modal
hemoglobin, status elektrolit jika
diperlukan.

Pembiusan Pembiusan digunakan dengan metode:


Dipilih obat-obat yang dapat GA-ETT
melindungi otak dari kerusakan Dengan pembiusan
sekunder. Pemilihan dosis dan jenis - premedikasi : IV : Fentanyl /
obat induksi tergantung dengan kondisi Midazolam
actual pada pasien yang bersangkutan. - Induksi : Propofol, Rocuronium
Fentanyl merupakan opioid Dengan gas inhalasi nya menggunakan :
agonis sintetis derivat fenil piperidin Sevo
yang secara structural berhubungan Dengan obat-obatan/infus :
dengan meperidin. Secara klinis - Sulfas atropine, dexamethasone,
fentanyl diberikan dalam rentang dosis fentanyl, midazolam, propofol,
yang besar, dosis rendah 1 –2 Rocuronium
mcg/kgbb iv, untuk analgesia. Fentanyl
2 – 20 mcg/kgbb iv, dapat diberikan
sebagai adjuvant untuk menumpulkan
respon gejolak hemodinamik
Rokuronium memiliki
keuntungan dalam mempertahankan
stabilitas hemodinamik, bahkan bila
diberikan dalam dosis besar.
Vekuronium tidak mengganggu
tekanan intrakranial maupun dinamika
liquor cerebrosipinalis (LCS).
Rokuronium diberikan dalam dosis 0,5
mg/kgbb. Dapat juga diberikan untuk
infus kontinyu dengan dosis 0,3
mg/kgbb/jam.
Lidokain 1-1,5 mg/kgbb
diguna-kan untuk mencegah
peningkatan tekanan intracranial, juga
efektif untuk menumpulkan efek
hemodinamik terhadap tindakan
laringoskopi untuk intubasi trakea.
Pasca Operasi
Pasien pasca bedah kraniotomi
memerlukan stabilisasi dan manitor
lebih lanjut, terutama pasien dengan
GCS<8 atau hemodinamik dan
respirasi tidak stabil. Pemenuhan cairan
dapat menggunakan Ringer Laktat dan
dipantau dengan menggunakan tekanan
CVP.
Pemenuhan oksigen sangat
diperlukan agar tidak terjadi hipoksia.
PaCO2 dijaga antara 35-40 mmHg dan
PO2> 70mmHg. Dianjurkan untuk
memantau saturasi oksigen jaringan
dan dijaga agar saturasi > 94%.
Terapi analgesia pada nyeri ini
adalah morfin atau fentanil, terutama
pada pasien yang terintubasi karena
selain memiliki analgesi juga menekan
reflex jalan nafas. Tindakan lain pada
pasien cedera kepala antara lain dengan
posisi head up 30º.
BAB VI
KESIMPULAN
Intracerebral Hemorrhage (ICH) adalah perdarahan fokal dari pembuluh
darah dalam parenkim otak. Gejala umum termasuk defisit neurologis fokal,
seringkali dengan onset mendadak sakit kepala, mual, dan penurunan kesadaran.
Kebanyakan perdarahan intraserebral juga dapat terjadi ganglia basal, lobus otak,
otak kecil, atau pons. Diagnosis ICH antara lain berdasarkan gejala klinis
kemudian didukung dengan pemeriksaan darah dan imaging (CT dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI)).
Adapun penatalaksanannya di ruang gawat darurat (evaluasi cepat dan
diagnosis, terapi umum, stabilisasi jalan napas dan pernapasan, stabilisasi
hemodinamik, pemeriksaan awal fisik umum, pengendalian peninggian TIK,
pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh, pemeriksaan penunjang)
kemudian penatalaksanaan di ruang rawat inap (cairan, nutrisi, pencegahan dan
mengatasi komplikasi, penatalaksanaan medik yang lain. Penatalaksanaan stroke
ICH meliputi terapi medik pada ICH akut (terapi hemostatik, reversal of
anticoagulation) dan tindakan operatif.
Tn. J dibawa ke RSUP Haji Adam Malik dalam keadaan penurunan
kesadaran dialami sejak 2 hari ini. Awalnya pasien sedang beraktifitas ringan dan
kemudian pasien tiba-tiba pingsan dan tidak sadarkan diri. Pasien juga mengalami
kelemahan pada kedua anggota gerak atas dan bawah dan bicara celat. Pasien
didiagnosa dengan Spontaneous ICH right ganglia basalis dan telah dilakukan
operasi kraniektomi dekompresi. Pasien dirawat inap di pasca bedah dan
ditatalaksan dengan:
- IVFD R. Sol 20 gtt/i
- Mannitol 100 mg / 4 jam
- Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/ 12 jam
- Inj. Fentanyl 300 mcg + Miloz 15 mg/ dalam 50 cc Nacl 5 cc/ jam
- Amlodipine 1 x 5 mg
- Valsartan 1 x 80 mg
- Nebule combivent 3 x 1
- N. Asetil sistein 3 x 1
- Inj. Asam Tranexamat 500 mg/ 8jam
- Sucralfat syr 3 x Cth
DAFTAR PUSTAKA

1. Dastur C, Yu W. Current management of spontaneous intracerebral


haemorrhage. BMJ. 2017;2(1):21-29.
2. Kumar Garg R, Levine S. Nontraumatic intracerebral hemorrhage. Medlink
Clinical Neurology. 2018.
3. An S, Kim T, Yoon B. Epidemiology, Risk Factors, and Clinical Features of
Intracerebral Hemorrhage: An Update. Journal of Stroke. 2017;19(1):3-10.
4. Rosa B, Gofar A, Japardi I. Analisis Mortalitas 30 Hari Pasien Perdarahan
Spontan Basal Ganglia Pada Kelomok Terapi Bedah dan Konservatif
Berdasarkan Penilaian MICH Score. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara ; 20148. Hemphill J, Greenberg S, Anderson C, Becker K,
Bendok B, Cushman M et al. Guidelines for the Management of Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage. Stroke. 2015;46(7):2032-2060.
5. CaplanL.R. 2009. Stroke a clinical approach.4thedition. Saunders Elsevier.
USA.
6. Gilroy J. Basic neurology. New York: McGraw-Hill; 2000; pg 225-77
7. Carhuapoma J, Mayer S, Hanley D. Intracerebral hemorrhage. Cambridge:
Cambridge University Press; 2010.
8. Hemphill J, Greenberg S, Anderson C, Becker K, Bendok B, Cushman M et
al. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage.
Stroke. 2015;46(7):2032-2060
9. Kim J, Bae H. Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: Management. Journal of
Stroke. 2017;19(1):28-39.
10 . Peningkatan T, Intra T, Tik K. LAPORAN KASUS. 2013;1(November):35–
42.
11. ATLS Subcommitte. Advanced Trauma Life Support. J Trauma Acute 
Care
Surg. 2013:7-10.

Anda mungkin juga menyukai