Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penatalaksanaan anestesi pada kelompok pediatri mempunyai aspek psikologi,
anatomi, farmakologi, fisiologi dan patologi yang berbeda dengan orang dewasa.
Pemahaman atas perbedaan ini merupakan dasar penatalaksanaan anestesi pediatri
yang efektif dan aman. Pendekatan psikologis merupakan faktor penting yang
berdampak pada luaran anestesi pediatric (Menkes, 2015).
Sesuai perkembangannya, kelompok pediatri dibagi dalam kelompok usia
neonatus yang lahir kurang bulan dan cukup bulan, bayi usia diatas 1 bulan sampai
usia dibawah 1 tahun, anak usia prasekolah usia diatas 1 tahun sampai usia 5 tahun,
anak usia sekolah usia 6 tahun sampai 12 tahun dan usia remaja 13 tahun sampai 18
tahun (Menkes, 2015).
Neonatus merupakan kelompok yang mempunyai risiko paling tinggi jika
dilakukan pembedahan dan anestesi. Patologi yang memerlukan pembedahan berbeda
tergantung kelompok usia, neonatus dan bayi memerlukan pembedahan untuk
kelainan bawaan sedangkan remaja memerlukan pembedahan karena trauma
(Menkes, 2015).
Anestesia pediatrik merupakan anestesi pada pasien anak-anak yang dapat
dibagi menjadi 4 kelompok umur yaitu neonatus (umur 1-28 hari), bayi (sampai 1
tahun), anak pra sekolah (2-5 tahun), dan anak usia sekolah (6-14 tahun). Anestesi
pada pasien pediatrik memerlukan perhatian dan kebutuhan khusus dimana anak-anak
bukan merupakan miniatur dari orang dewasa namun merupakan kelompok individu
yang mempunyai anatomi, fisiologi, psikologi dan biokimia yang berbeda dari orang
dewasa. Kebutuhan dan karakteristik juga berbeda pada masing-masing kelompok
umur pasien pediatrik. Ditambah lagi pasien pediatrik mempunyai risiko morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi daripada orang dewasa.

B. Perubahan pada Pasien Pediatrik


Masa neonatus dan bayi adalah masa dimana terjadi perubahan yang sangat
besar dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi
pematangan organ hampir pada semua sistem. Sistem respirasi, sirkulasi, dan ekskresi
penting untuk anestesi pada kelompok umur ini. Begitu pula dengan kelompok anak

3
pra sekolah dan anak usia sekolah dimana secara anatomi, fisiologi, psikologi, dan
biokimia yang berbeda dari orang dewasa. Kelompok ini cenderung memerlukan
pendekatan-pendekatan psikologis yang berbeda sekali dengan orang dewasa. Maka
dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang untuk melakukan
suatu tindakan anestesi terhadap pasien pediatrik.
1. Sistem Respirasi
Secara anatomi jalur nafas neonatus dan bayi lebih rentan tersumbat daripada
orang dewasa. Diameter dari lubang hidung, orofaring, dan trakea relatif lebih kecil
pada anak-anak daripada orang dewasa. Diameter tersempit terdapat didaerah
cricoid, berbeda dengan orang dewasa dimana tersempit pada daerah epiglottis.
Perbedaan ini membuat pernfasan lebih mudah tersumbat oleh edema mukosa yang
dapat disebabkan oleh inflamasi ataupun iritasi dan dapat bersifat fatal. Produksi
mukosa pada neonatus dan bayi juga lebih banyak daripada orang dewasa, sehingga
membuat jalur pernafasan lebih mudah tersumbat. Lidah pada neonatus dan bayi
juga relatif lebih besar dan cenderung jatuh saat dalam pengaruh anestesi. Pada
neonatus dan bayi ukuran epiglottis lebih besar, berbentuk U, dan lebih terkulai.
Hal ini membuat terkadang pengangkatan epiglottis diperlukan untuk visualisasi
pada proses intubasi. Ukuran tonsil dan adenoid juga harus diperhatikan karena
dapat mempersulit proses intubasi. Karakteristik anatomis neonatus membuat
neonatus hanya dapat bernafas melalui hidung sampai berumur 5 bulan, sehingga
pemasangan pipa naso-gastrik dapat membahayakan pernafasan. Hampir sama
dengan neonatus dan bayi, pada kelompok anak-anak juga mempunyai lidah yang
lebih besar, laring yang letaknya lebih anterior, epiglottis yang lebih panjang, serta
leher dan trakea yang lebih pendek daripada dewasa membuat membuat seorang
anestesi lebih berhati-hati.
Jenis pernafasan neonatus adalah pernafasan diafragma. Hal ini disebabkan
oleh thoraks pada neonatus berukuran kecil dan iga horizontal, otot-otot pernafasan
pada neonatus belum berkembang dengan baik, diafragma terdorong keatas oleh
isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan dalam memelihara tekanan
negatif intratorakal dan volume paru rendah sehingga memudahkan terjadinya
kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus bernafas secara diafragmatis.
Kadang-kadang tekanan negatif dapat timbul dalam lambung pada waktu proses
inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi mudah terhirup ke dalam lambung. Pada
bayi yang mendapat kesulitan bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan

4
pemasangan pipa lambung.Pada neonatus juga ditemukan pola nafas periodik
dimana ada periode dimana nafas berhenti sebentar selama kurang dari 10 detik.
Hal ini harus dibedakan dengan apneu, dimana apneu berhubungan dengan
desaturasi dan bradikardi. Pada anak yang lebih besar, pola pernafasan sudah
hampir sama dengan orang dewasa namum frekuensi lebih cepat karena
berhubungna dengan tingkat metabolism yang lebih tinggi daripada orang dewasa
(Tabel 1).
Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong
diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat sedikitnya
elemen elastis paru atau surfaktan, maka akan menurunkan FRC (Functional
Residual Capacity) sementara volume tidalnya relatif tetap (7 mL/kgBB). Untuk
meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara menaikkan frekuensi nafas
(40-60 kali/menit), karena itu neonatus mudah sekali gagal nafas. Peningkatan
frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat metabolisme pada neonatus yang
relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen juga tinggi, dua kali dari kebutuhan
orang dewasa dan ventilasi alveolar pun relative lebih besar dari dewasa hingga
dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen dapat menerangkan mengapa desaturasi
O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau cepat, terlebih pada neonatus prematur, karena
adanya stress dingin maupun sumbatan jalan nafas.
2. Sistem sirkulasi
Estimasi volume darah pada neonatus dan bayi adalah sekitar 85 mL/kg dan
lebih tinggi pada bayi prematur (95 mL/kg) dengan nilai hematokrit neonatus dan
bayi berisar antara 45-65 %. Komposisi cairan pada neonatus dan bayi adalah
7580% dari berat badan dimana sebanyak 30% berada di ekstraselular, 40% di
intraselular, dan sekitar 5% di plasma. Semakin bertambah umur, komposisi
semakin menyerupai orang dewasa dimana komposisi cairan sekitar 60% dari berat
badan. Hemoglobin yang terdapat pada bayi terlebih neonatus kebanyakan adalah
hemoglobin fetal (HbF) yang mempunyai afinitas oksigen yang lebih tinggi
daripada hemoglobin dewasa (HbA). Hal ini membuat oksigen lebih susah untuk
ditransfer ke jaringan dalam tubuh. Seiring berjalannya waktu, jumlah HbF akan
berkurang dan HbA akan meningkat dimana kadar hemoglobin terendah pada saat
usia 3 bulan dan HbA menggantikan HbF seluruhnya pada usia sekitar 6 bulan.
Pada neonatus dan bayi reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga
keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang

5
ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus dan bayi harus dilakukan dengan
cermat dan teliti. Tekanan sistolik merupakan indikator yang baik untuk menilai
sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat terhadap
penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru lahir tetap
terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg. Frekuensi nadi
neonatus dan bayi antara 80-160 dengan rata-rata 120 kali/menit dengan tekanan
darah sekitar 80/60 mmHg.4,5 Sedangkan tekanan darah dan frekuensi nadi pada
anak-anak bervariasi menurut umur dan semakin lama semakin sama dengan orang
dewasa seiring dengan bertambahya usia (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter Tanda Vital pada Pasien Pediatrik
Frekuensi Frekuensi
Napas Jantung
nUmur Tekanan Darah (mmHg)
(kali/menit (kali/menit)
)
Sistole Diastole
Neonatus 40-60 120-160 60-80 40-60
Bayi 30-40 100-140 70-90 50-70
2-5 tahun 25-30 80-120 80-100 60-75
>6 tahun 18-25 70-110 90-110 70-80

Aktivasi dari sistem saraf parasimpaik, overdosis anestesi, ataupun hypoxia


dapat memicu bradikardi secara cepat meskipun denyut nadi pada bayi lebih cepat
dan mengurangi cardiac output yang dapat menyebabkan hipotensi, asistol, hingga
kematian intraoperative. Sesitivitas jantung terhadap rangsangan parasimpatis,
obat anestesi seperti opioid dan volatile neonatus dan bayi dapat disebabkan oleh
belum matangnya jantung, sistem saraf simpatik, dan reflek baroreseptor. Untuk
itu monitor kardiovaskular harus dilakukan secara hati-hati.
3. Sistem Ekskresi dan Elektrolit
Filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% dibanding orang dewasa akibat
belum matangnya ginjal neonatus. Fungsi tubulus juga belum matang sehingga
resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amino dan bikarbonat juga
rendah. Fungsi ginjal akan berangsur matang pada puncaknya sekitar umur 8 tahun.
Karena rendahnya filtrasi glomerulus, kemampuan mengekskresi obat-obatan juga

6
menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk menahan air dan
garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian air tanpa sodium dapat
dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan ketidakseimbangan elektrolit terutama
hiponatremia. Pemberian cairan dan perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi
diperlukan kecermatan lebih dibanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal
pemberian elektrolit, yang biasa disertakan pada setiap pemberian cairan.
Perhitungan kebutuhan cairan per jam pada pasien pediari menggunakan auran
“42-1” , dimana 4 ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, ditambah 2 ml/kgBB/jam
untuk 10 kg kedua, dan ditambah 1 ml/kgBB/jam untuk sisa berat badan.
4. Sistem saraf
Myelinisasi pada neonatus belum sempurna dan akan matang dan lengkap
pada usia 3-4 tahun. Jadi saat neonatus, otak sangat sensitive terhadap
keadaankeadaan hipoksia. Perkembangan yang belum sempurna pada
neuromuscular junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja
dari obat pelumpuh otot non depolarizing.
Syaraf simpatis belum berkembang dengan baik sehingga aktivitas
parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya
refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110 kali/menit) terutama pada
saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada stimulasi daerah nasofaring.
Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48 jam. Belum sempurnanya
mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain barrier akan menyebabkan
akumulasi obatobatan seperti barbiturat dan narkotik, dimana mengakibatkan aksi
yang lama dan depresi pada periode pasca anestesi. Sisa dari blok obat relaksasi
otot dikombinasikan dengan zat anestesi intravena dapat menyebabkan kelelahan
ototo-tot pernafasan, depresi pernafasan dan apnea pada periode pasca anestesi.
Setiap keadaan bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia
dan harus cepat diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong
baru dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.
5. Fungsi Hati
Fungsi hati belum matang pada bayi terlebih neonatus.3,4 Fungsi
detoksifikasi obat masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula
yang dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolik.6
Cadangan glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir
adalah 50-60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg/dL) sukar diketahui

7
tanda-tanda klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang.
Sintesis vitamin K juga belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan
dibutuhkan konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%).
6. Regulasi suhu
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang, walaupun
sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, luas permukaan besar,
tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air membuat mudah
kehilangan panas tubuh, sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat
terpengaruh oleh suhu lingkungan. Produksi panas mengandalkan pada proses
nonshivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang
terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia mencegah
produksi panas dari lemak coklat.
Hipertermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut
atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal: atropin,
skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang
rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi darah
dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum yang menekan
pusat regulasi suhu, maupun obat vasodilator.
Temperatur lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah
270C. Pemantauan suhu tubuh, mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian
selimut hangat, lampu penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, gas
anestesi, cairan irigasi maupun cairan antiseptic yang hangat dapat dilakukan untuk
mencegah hipotermia. Untuk anak yang lebih besar, penanganan suhu sama dengan
orang dewasa.
7. Respon Psikologis
Respon psikologis pada pasien pediatrik terutama pada kelompok umur anak
pra sekolah dan usia sekolah sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada kelompok
ini diperlukan pendekatan-pendekatan khusus. Respon psikologis kelompok ini
terhadap rasa takut, tidak nyaman, dan stress emosional seringkali membuat
masalah pada proses pre operatif, durante, maupun post operatif. Rasa takut bisa
datang dari nyeri fisik seperti jarum suntik, luka pasca bedah, dan penggantian
bebat. Rasa tidak nyaman yang seringkali dirasakan pasien pediatrik adalah pusing,
mual, infus, kateter, drain, dll. Sedangkan stress emosional yang paling sering
dirasakan adalah pisah dari orangtua, bau-bauan, alat-alat dan suara di rumah sakit

8
atau kamar bedah, ataupun ketakutan akan operasi yang akan pasien jalani.
Menangis, agitasi, retensi urine, nafas dalam, tak mau bicara, dan pernafasan dalam
merupakan respon yang biasa dilakukan anak-anak. Untuk itu mungkin diperlukan
pendekatan terhadap anak-anak seperti menggunakan mainan atau permainan
tertentu, selalu tersenyum dan menggunakan intonasi yang meyakinkan anak, anak
didampingi orangtua, dll.
8. Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada
neonatus dan bayi berbeda dibandingkan dengan dewasa karena:
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler
berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi
obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver dan
ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan: ventilasi
alveolar tinggi, minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan
koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat, mempercepat
induksi dan mempersingkat pulih sadarnya.

C. Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Pediatrik


1. Persiapan Pra Anestesi
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit,
asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal.
Heteroanamnesis dari orang tua, penilaian keadaan umum dan fisik, serta menilai
masalah anestesi yang akan dialami juga harus dilakukan. Pemeriksaan tambahan
yang rutin dilakukan adalah darah lengkap dan faal hemostatis, sedangkan
pemeriksaan lain sesuai dengan kebutuhan. Transportasi neonatus dari ruang
perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan incubator yang telah
dihangatkan. Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus. Tahanan terhadap aliran
gas harus rendah anti obstruksi, ringan dan mudah dipindahkan. Biasanya

9
digunakan system anestesi semi-open modifikasi system pipa T dari Ayre yaitu
peralatan dari Jackson-Rees. Untuk anestesi yang lama, gas-gas anestetik
dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik. Pada kelompok anak pra
sekolah dan usia sekolah, kunjungan anestesi dilakukan selain untuk menilai
keadaan umum, keadaan fisik, mental, dan menilai masalah yang akan dihadapi
penderita, juga merupakan kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan anak
tersebut sehingga mengurangi kecemasan anak.
Pedoman penatalaksanaan anestesi pada umumnya, yang juga dilakukan
pada anestesi pediatri meliputi:
a. Pedoman Pemeriksaan Prabedah.
Pedoman ini dilaksanakan pada semua pasien yang akan menjalani
tindakan anestesi, dan selanjutnya ditetapkan kondisi medik dan status fisik
pasien berdasarkan kelas American Society of Anesthesiologists (ASA) 1
sampai 5, jika pembedahan darurat ditambahkan kode (D=darurat).
Pemeriksaan pra bedah meliputi:
1) Melakukan review pada rekam medik pasien.
2) Melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang terfokus: riwayat penyakit
dan penyakit yang menyertai, obat yang diberikan, riwayat pembedahan dan
anestesi, mencari risiko penyulit perioperatif baik aktual maupun potensial.
3) Melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan sesuai kondisi penyakit
dan masalah pembedahan, masalah anestesi dan masalah yang berkaitan
dengan penyakitnya.
4) Melakukan terapi dan tindakan untuk mengurangi/menghilangkan potensi
penyulit peroperatif.
5) Menjelaskan rencana tindakan pada orang tua untuk memperoleh persetujuan
tindakan kedokteran/keperawatan.
6) Melakukan dokumentasi semua prosedur dan rencana anestesi selama
perioperative (Menkes, 2015).
b. Pedoman anestesi umum pada pediatric
Anestesi umum adalah suatu keadaan menghilangkan rasa nyeri secara
sentral disertai kehilangan kesadaran dengan menggunakan obat amnesia,
sedasi, analgesia, pelumpuh otot atau gabungan dari beberapa obat tersebut
yang bersifat dapat pulih kembali.

10
Tindakan anestesi yang dilakukan pada kelompok pediatri :
1) bayi prematur atau eks prematur
2) bayi baru lahir sampai usia 1 bulan (neonatus)
3) bayi usia < 1 tahun (infant)
4) anak usia prasekolah > 1 tahun – 5 tahun
5) anak usia sekolah 6 tahun – 12 tahun
6) remaja 13 tahun – 18 tahun
Hal-hal yang disiapkan :
a) Pasien (pada umumnya diwakili oleh orang tua/wali)
i. Pemeriksaan pra bedah
ii. Pemeriksaan penunjang
- penjelasan rencana, kondisi pasien, dan potensi penyulit tindakan
anestesi dan pembedahan
- ijin persetujuan tindakan anestesi
- kondisi penderita optimal untuk prosedur tindakan
- puasa
- medikasi sesuai kasusnya
iii. Premedikasi pra anestesi sesuai usia dan kasusnya
iv. Adanya sumber oksigen
b) Obat dan Alat:
i. Obat darurat:
- Sulfas atropine 0.25 mg
- Lidocaine 2%
- Efedrin
- Adrenaline
ii. Obat Premedikasi
- Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran,
Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal
0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan
pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan
umumnya jelek

11
- Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran,
Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal
0,1 mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan
pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan
umumnya jelek
iii. Obat induksi:
- Opioid (sesuai kebutuhan)
- Propofol
- Ketamine
iv. Obat pelumpuh otot (bila perlu intubasi atau relaksasi)
v. Obat rumatan anestesi :
- Obat anestesi inhalasi
- Obat anestesi intravena
- Suplemen opioid
vi. Obat pemulihan pelumpuh otot
vii. Obat untuk mengurangi nyeri:
- Parasetamol
- NSAID
- Opioid
viii. Alat intubasi:
- ETT nomor sesuai dengan perhitungan 2.5-3.5 disiapkan 1 nomor
diatas dan dibawahnya.
- Laringoskop sesuai ukuran, daun lurus.
- Oropharing sesuai usia
ix. Mesin anestesi:
- Sungkup muka sesuai umur
- Sirkuit nafas: sistem circle pediatri atau sistem Mapleson
x. Suction cath no sesuai dengan umur
xi. NG tube no sesuai dengan umur
xii. Transfusion set atau pediatric set
xiii. IV cath no disesuaikan dengan umur
xiv. Opsite infus
xv. 3 way stop cock

12
xvi. Oropharing 1 buah
xvii. Sungkup muka
xviii. Set Suction 1 buah
xix. Plester 1 buah
xx. Oksigen
xxi. Spuit ukuran 10cc, 5cc, 3cc sesuai kebutuhan
xxii. Dianjurkan ada matras penghangat
xxiii. Dianjurkan ada penghangat cairan infus
xxiv. Selimut dan topi untuk mencegah hypothermia (Menkes, 2015).

 Pedoman Puasa Pra Anestesi


Puasa adalah salah satu tindakan persiapan sebelum operasi, pasien tidak
boleh makan atau minum dimulai pada waktu tertentu sebelum operasi.
Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak faktor, seperti jenis
operasi, waktu makan terakhir sampai dimulainya tindakan (pada operasi
emergensi), tipe makanan, dan pengobatan yang diberikan pada pasien
sebelum operasi. Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia.
Lama puasa yang dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan pemberian air gula 2
jam sebelum anestesi untuk umur < 6 bulan. Stop susu 6 jam dan pemberian
air gula 3 jam sebelum anestesi untuk umur 6-36 bulan. Untuk >36 bulan
dengan cara stop susu 8 jam dan pemberian air gula 3 jam sebelum anestesi.
Untuk anak yang sudah lebih besar, puasa seperti orang dewasa yaitu 6-8 jam.
- Puasa pra anestesi untuk anak sehat:
Jenis asupan oral Minimum Masa Puasa
Cairan bening/lain* 2 jam [level of evidence A (usia > 1 th); level of
evidence D (usia < 1 tahun)]
ASI 4 jam (level of evidence D) Formula bayi 6 jam
(level of evidence D)
Susu sapi 6 jam (level of evidence D)
Makanan 6 jam (level of evidence D)

13
- Puasa pra anestesi untuk anak Risiko tinggi:
Rekomendasi Umum
a. Pasien berisiko tinggi harus mengikuti aturan puasa pra anestesi yang
sama seperti anak-anak yang sehat, kecuali ada kontraindikasi.
b. Selain itu, tim anestesi harus mempertimbangkan intervensi lebih lanjut,
(misal: pemasangan OGT/NGT) sesuai dengan kondisi klinis pasien [D]
c. Anak-anak yang menjalani operasi darurat harus diperlakukan seolah-
olah mereka memiliki lambung penuh. Jika memungkinkan, anak harus
mengikuti pedoman puasa yang normal untuk memungkinkan
pengosongan lambung. [D]

- Pemberian obat obatan pra anestesi:


a. Obat bisa diminum/dilanjutkan sebelum operasi kecuali ada anjuran
yang bertentangan. (D)
b. Sampai dengan 0,5 ml/kg (maksimal 30 ml) air dapat diberikan secara
oral untuk membantu anak-anak meminum obat. (D)
Premedikasi
a. Pemberian premedikasi yang ditentukan, misalnya benzodiazepin, tidak
mempengaruhi rekomendasi puasa untuk air dan cairan bening lainnya.
[A]
b. Antagonis reseptor histamin-2 (H2RAs). Penggunaan rutin antagonis
reseptor H2 (H2RAs) tidak dianjurkan untuk anak-anak yang sehat. [D]

- Bila Operasi Tertunda


a. Pertimbangan untuk memberikan anak minum air atau cairan bening
lainnya untuk mencegah rasa haus yang berlebihan dan dehidrasi.
b. Konfirmasi terlebih dahulu pada tim anestesi dan/atau ahli bedah yang
penundaan cenderung lebih dari dua jam, berikan air atau cairan lain
yang jelas harus diberikan. (D=darurat)

- Catatan:
a. Sehat didefinisikan sebagai ASA I-II tanpa penyakit gastrointestinal
atau gangguan lain
b. Cairan bening adalah cairan yang bila diberi cahaya, transparan.
Termasuk minuman berbasis glukosa, jus yang jernih. Tidak termasuk
partikel atau produk berbasis susu.

14
c. Ahli anestesi harus mempertimbangkan intervensi lebih lanjut (misal:
pemasangan OGT/NGT) untuk anak-anak yang berisiko regurgitasi dan
aspirasi.
d. Pasca anestesi pada anak-anak yang sehat dan telah sadar baik dapat
diberikan cairan oral selama tidak ada kontra indikasi. Tidak ada
persyaratan untuk minum sebagai bagian dari kriteria keluar ruang
pemulihan (Menkes, 2015).
 Pedoman Terapi Cairan
Terapi Cairan merupakan tindakan terapi untuk memenuhi kebutuhantubuh
dengan menggunakan cairan yang mengandung elektrolit. Indikasi untuk
mengganti kekurangan cairan dan elektrolit, memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit, mengatasi shock.
Kebutuhan cairan:
Gunakan cairan intravena isotonik, koloid atau darah
a. untuk kasus-kasus dengan dengan perkiraan adanya kehilangan darah,
operasi intra-abdominal, atau operasi lebih dari 30 menit.
b. Pemeliharaan/ rumatan : neonatus/prematur: D5 0,25% NS
c. Direkomendasikan cek kadar gula darah secara periodik
d. Kehilangan cairan diruang ketiga: cairan isotonik kristaloid 10-20
ml/kg/jam
e. Kehilangan darah karena melepaskan perlengketan (Menkes, 2015).
Infus dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa,
mengganti cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam,
jam I 50% dan jam II, III masing-masing 25%. Kecukupan hidrasi dapat
dipantau melalui produksi urin (> 0,5ml/kgBB/jam). Untuk pemeliharaan
digunakan preparat D5% dalam NaCl 0,225% untuk anak < 2 tahun dan
preparat D5% dalam NaCl 0,45 % untuk anak > 2 tahun.
 Persiapan kamar operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial, dan tergantung
pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan rencana airway
manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu dan ventilator
diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral airway.

15
Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran blade
yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, tube trakea, stylet yang sesuai
juga merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk resusitasi,
obat-obat emergensi juga harus dipersiapkan. Karena permukaan tubuh anak
lebih besar daripada dewasa, sehingga cenderung untuk terjadi hipotermi, suhu
di ruangan operasi tentu harus disesuaikan, dan alat pemanas dapat disediakan
untuk dapat menjaga suhu pasien.
 Keberadaan orang tua pasien
Keberadaan orang tua di sisi pasien, merupakan salah satu cara untuk
menghilangkan kecemasan pada pasien, selain dengan menggunakan obat-
obatan. Banyak rumah sakit yang telah menyediakan video tentang petunjuk
baik bagi sang pasien ataupun orang tuanya, tentang apa dan bagaimana
persiapan preoperative yang sebenar dan sebaiknya. Hal ini dapat membantu
terutama pada pasien usia pra sekolah. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun
dengan orang tua yang memiliki tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan
keuntungan untuk mengurangi kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun
jika orang tua pasien memiliki kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak akan
membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit. Jika pasien telah ter sedasi,
keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana hal ini tidak akan
berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua saat induksi
sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang diberikan, pasien
dan sang ahli anestesi sendiri

2. Induksi pada Pasien Pediatrik


Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status fisik, dan
tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki cara dan taktik
tersendiri dalam menginduksi pasien pediatrik dan harus memiliki informasi yang
adekuat dari pasien yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien,
jenis pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik dan mental
(kooperatif/tidak) pasien. Hal ini dilakukan untuk persiapan keperluan-keperluan
seperti pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi,
dan perawatan intensif yang memadai.

16
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu.
Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil mungkin.
Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.
a. Induksi inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang
takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N2O dalam
oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 0,5 vol% kemudian
dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka
mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah
tidur barn dirapatkan ke muka penderita.
b. Induksi intravena
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka
yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan dengan menggunakan
propofol 2-3 mg/kg diikuti dengan pemberian pelumpuh otot non depolarizing
seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg.3,4 Seringkali pada praktik pediatri, intubasi
bisa dilakukan dengan kombinasi propofol, lidokain, dan opiate dengan atau
tanpa agen inhalasi sehingga tidak diperlukan pelumpuh otot. Pelumpuh otot
juga tidak diperlukan saat pemasangan LMA.

3. Intubasi pada Pasien Pediatrik


Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal,
epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput menonjol dan membuat posisi
fleksi pada kepala, maka dapat dikoreksi dengan cara sedikit mengangkat bahu
dengan meletakan handuk dan menaruh kepala pada bantal berbentuk donat.
Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di ujungnya.
Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin cricoid. Intubasi
biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation) terlebih pada keadaan
gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan. Beberapa penulis menganjurkan
intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah usia 10-14 hari atau pada bayi
prematur. Yang berpendapat dilakukan intubasi tidur atas pertimbangan dapat
ditekannya trauma, yang dapat dilakukan dengan menggunakan ataupun tanpa
pelumpuh otot. Pipa trachea yang dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus
pandang dan tanpa cuff. Untuk premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm

17
sedangkan pada bayi aterm 2,5-3,5 mm. Pipa yang digunakan juga jenis pipa non
kinking atau yang tidak mudah tertekuk.
Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih kecil dan lurus,
jenisnya tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan saluran
pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang dapat
dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah
harus disiapkan bila diperlukan.
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff.
Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau
jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea sama
dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung. Untuk menghitung
perkiraan diameter dan panjang pipa dapat menggunakan formula.
4 + umur/4 = diameter pipa (mm)
dan
12 + umur/2 = panjang pipa (cm)
Pada pasien pediatrik, intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan harus dengan
ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-Jackson Rees.

4. Pemeliharaan/Intra Anestesi pada Pasien Pediatri


Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali.
Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi hanya untuk tindakan
ringan yang tidak lama. Gas anestetika yang umum digunakan adalah N2O
dicampur dengan 02 perbandingan 50:50 untuk neonatus, 60:40 untuk bayi, dan
70:30 untuk anak-anak. Walapun N2O mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat
anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan halotan, enfluran
atau isofluran. Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pacta berat
diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh
otot non depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus diencerkan dan diberikan
secara sedikit demi sedikit.
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan
yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan, adanya perdarahan dan

18
oleh sebab-sebab lain, cairan fistula dan lain-lainnya. Cairan yang seharusnya
masuk, karena puasa harus diganti dengan pedoman.
Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam II diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Pada jam III diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan
cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-
Iaktat sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi.
Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan :
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum dan
sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan keduanya
kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang
menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada neonatus
harus diganti dengan darah.

5. Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari lendir
kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh otot, dapat dinetralkan dengan
prostigmin (0,04 mg/kg) atau neostigmine (0,05 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg).
Depresi nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg
secara titrasi.
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota
badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat. Ekstubasi dalam
keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau
bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang
traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan
diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi.

6. Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik


Semua pasien anestesi pediatri, terutama yang diintubasi, lebih memiliki
resiko untuk mengalami komplikasi. Mual dan munatah adalah hal yang paling
sering terjadi, terutama pada pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa

19
ETT dipasang terlalu erat, sehingga mukosa trachea menjadi bengkak.
Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi. Biasanya
terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat digunakan,
bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi.

7. Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke
ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif
dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Hal yang perlu diawasi adalah
kesadaran, pernafasan yang spontan dan adekuat serta bebas dari pengaruh efek
sisa obat pelumpuh otot, denyut nadi dan tekanan darah, warna kulit, dan suhu
tubuh. Pasien dapat dipindahkan ke ruangan jika skor Aldretenya mencapai 10 dan
tidak ada penyulit. Prosedur pasca anestesi :
a. Terapi oksigen dengan menggunakan masker atau nasal kateter sesuai
kebutuhan
b. Pemantauan fungsi vital di ruang pulih sadar sampai tidak ada gangguan fungsi
vital
c. Evaluasi nyeri, gelisah, perubahan tanda vital
d. Beberapa kasus tertentu membutuhkan perawatan lebih lanjut di NICU/PICU
dengan alat dan monitoring khusus sesuai dengan kondisi penyulit penderita dan
prosedur pembedahan
e. Atasi komplikasi yang terjadi
f. Analgetik pasca operasi
Untuk mengukur tingkat pulih sadar pasien dengan alat ukur aldrete.

Yang Dinilai Nilai


GERAKAN
Menggerakkan 4 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 2
Menggerakkan 2 ekstremitas sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitas 0
PERNAFASAN
Bernafas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernafas berat atay dispneu 1

20
Apneu atau perlu dibantu 0
TEKANAN DARAH
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
WARNA KULIT
Merah 2
Pucat, Ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
KESADARAN
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak ada reaksi 0

21

Anda mungkin juga menyukai