Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Eksisting Wilayah Sampling

Sampel air praktikum modul klorida dan alkalinitas ini merupakan air yang
berasal dari sungai Gunung Nago, kecamatan Pauh, kota Padang, Sumatera Barat.
Pengambilan sampel dilakukan pada hari Rabu, 9 November 2016 pada pukul
16.30 WIB. Koordinat titik lokasi pengambilan sampel yaitu 0o55’26” Lintang
Selatan dan 100o26’5” Bujur Timur dengan elevasi 129 meter di atas permukaan
laut. Sampel memiliki pH 12,7 yang menunjukkan bahwa sampel bersifat basa
dan memiliki tingkat DO sebesar 3,4 mg/L yang mengindikasikan sampel tidak
mengandung banyak oksigen.

Kondisi eksisting saat pengambilan sampel yakni cuaca dalam keadaan cerah. Di
sekitar lokasi sampel terdapat kandang ternak ayam, yang menjadi sebab
tercemarnya air di sungai Nago yakni air menjadi berbau. Selain itu, saat
pengambilan sampel sedang ada perbaikan jalan sehingga tanah yang berada di
tepi sungai jatuh ke sungai membuat air di sungai menjadi keruh.

Titik sampling yang diambil yakni hanya satu titik yang berada di salah satu tepi
sungai. Air sampel diambil menggunakan botol sampel yang ditenggelamkan di
dalam sungai dan dalam posisi horizontal dan melawan arus. Tutup botol dibuka
di dalam sungai, sampai air memuhi botol sampel digunakan, botol ditutup
kembali di dalam sungai dan dipastikan tidak ada gelembung udara yang ikut
masuk ke dalam botol sampel.

2.2 Klorida

2.2.1 Umum

Klorida adalah ion yang terbentuk ketika unsur Klor mendapatkan satu elektron
untuk membentuk suatu anion (ion bermuatan negatif) Cl−. Garam dari Asam
Hidroklorida (HCl) mengandung ion Klorida, contohnya adalah garam meja, yang
disebut juga Natrium Klorida dengan formula kimia NaCl. Senyawa ini terpecah
menjadi ion Na+ dan Cl− di dalam air. Kadar Klorida pada sampel air dapat
dihitung dengan menggunakan metode Argentometri (Yurman, 2009).

2.2.2 Sumber Klorida

Klorida paling mudah ditemukan dalam bentuk garam yang kita konsumsi dari
makanan ataupun tambahan garam waktu kita mengolah makanan. Garam dapur
dan garam meja keduanya memiliki kandungan klorida yang sangat tinggi, sekitar
6x lebih besar dari kebutuhan minimal klorida manusia sudah dicukupi oleh
keberadaan garam dalam pola makan normal sehari-hari (Yurman, 2009).

Sementara itu, banyak juga jenis-jenis bahan makanan yang memiliki kandungan
klorida dalam tingkat yang baik dan cukup baik. Beberapa sumber-sumber
makanan dibawah ini bisa digolongkan sebagai sumber klorida yang baik, yaitu
(Sawyer, 2003):
1. Rumput laut;
2. Seledri;
3. Tomat;
4. Selada air;
5. Minyak wijen.

Pengolahan bahan makanan menggunakan sodium klorida (garam) sudah sangat


mencukupi karena dalam 1 gr garam mengandung 60% klorida (0.6 gr per 1 gr
garam) sementara batas minimal kebutuhan klorida tubuh ada pada kisaran 0,7 gr
per hari. Angka tersebut menunjukan tanpa kondisi medis tertentu, jarang sekali
bisa terjadi defisiensi klorida pada manusia (Sawyer, 2003).

2.2.3 Klorida dalam Perairan

Klorida dalam bentuk ion Klorida adalah salah satu anion anorganik yang besar
dalam air dan limbah. Rasa asin pada air laut diproduksi oleh kadar konsentrasi
Klorida yang bervariasi dan bergantung pada komposisinya di dalam air.
Beberapa yang air mengandung 250 mg/L ion Cl- memungkinkan terdapatnya rasa
asin jika kationnya adalah Natrium. Sebaliknya, rasa asin mungkin tidak
ditemukan pada air yang mengandung 1000 mg/L ion Cl- jika kationnya adalah
Ca2+ dan Mg2+. Konsentrasi Klorida pada air buangan lebih besar, karena NaCl
merupakan kandungan umum yang tidak dapat diubah melalui sistem pencernaan.
Sepanjang garis pantai, Klorida akan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi
karena kebocoran pipa air buangan. Selain itu disebabkan juga oleh aktivitas
industri (Alaerts, 1984).

2.2.4 Tritasi Argentrometri

Metode yang digunakan dalam praktikum ini hanya Metode Mohr


(Argentometrik). Metode ini menggunakan larutan Perak Nitrat untuk titrasi dan
berdasarkan metode standar, direkomendasikan menggunakan larutan 0.0141 N.
Larutan Perak Nitrat dapat menjadi standar terhadap larutan Klorida standar yang
dipersiapkan dari Natrium Klorida murni. Proses titrasi ion Klorida ini akan
menghasilkan endapan Perak Klorida putih (Sawyer, 2003).

Cl- + Ag+ AgCl

Titik akhir reaksi tidak dapat terdeteksi secara visual hingga ada indikator yang
mampu menunjukkan kehadiran Ag+. Indikator yang digunakan biasanya adalah
Potassium Kromat yang memberi ion Krom. Ketika konsentrasi ion Klorida
hampir habis, konsentrasi ion Perak meningkat. Reaksi antara Ag+ dan Kromat
akan menghasilkan endapan berwarna merah bata (Sawyer, 2003).

CrO4-2 + 2Ag+ Ag2CrO4

2.2.5 Dampak Positif dan Dampak Negatif Klorida

Secara umum, Klorida tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup, bahkan berperan
dalam pengaturan tekanan osmotik sel. Klorida tidak memiliki efek fisiologis
yang merugikan, seperti Amonia dan Nitrat, kenaikan akan terjadi secara tiba-tiba
di atas baku mutu sehingga dapat menyebabkan polusi. Toleransi Klorida untuk
manusia bervariasi menurut iklim, penggunaannya, dan Klorida yang hilang
melalui respirasi. Klorida dalam konsentrasi tinggi dapat menimbulkan gangguan
pada jantung dan ginjal. Kadar Klorida yang tinggi, yang diikuti oleh kadar
Kalsium dan Magnesium yang juga tinggi, dapat meningkatkan korosivitas
pada air. Hal ini mengakibatkan terjadinya perkaratan pada logam. Kadar Klorida
yang melebihi 250 mg/L dapat memberikan rasa asin pada air karena nilai tersebut
merupakan ambang batas Klorida untuk suplai air (Effendi, 2003).
Perairan yang diperuntukkan bagi keperluan domestik, termasuk air minum,
pertanian, dan industri, sebaiknya memiliki kadar klorida lebih kecil dari 100
mg/L (Sawyer, 2003).

Keberadaan klorida di dalam air menunjukkan bahwa air tersebut telah mengalami
pencemaran atau mendapatkan rembesan dari air laut. Di Indonesia, Klor
digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air minum untuk
menghilangkan mikroorganisme yang merugikan (Juanda, 2012).

2.3 Alkalinitas

2.3.1 Umum

Kemampuan air untuk mempertahankan kebasaannya ketika ditambahkan ion H+


disebut alkalinitas. Alkalinitas sangat penting dalam pengolahan air dan dalam
proses kimia serta biologi air secara alami. Kuantitas senyawa kimia yang
ditambahkan dalam pengolahan air dapat dihitung jika diketahui Alkalinitas air
tersebut. Air yang kadar alkalinya tinggi sering kali memiliki pH yang tinggi juga
dan umumnya mengandung tingkat elevasi kelarutan zat padat. Sifat ini dapat
mengganggu penggunaan air ketika dididihkan, dalam memasak makanan, dan
sistem air perkotaan. Alkalinitas berperan sebagai penyangga (buffer) pH dan
reservoir bagi karbon anorganik, sehingga membantu dalam penentuan
kemampuan air untuk mendukung pertumbuhan alga dan kehidupan air lainnya.
Itu biasanya digunakan dalam perhitungan kesuburan air oleh para ahli biologi.
Umumnya, ion-ion yang terlibat dalam alkalinitas air ialah ion Bikarbonat, ion
Karbonat dan ion Hidroksida yang reaksinya sebagai berikut (Manahan, 2001):

OH- + H+ H2O
CO32- + H+ HCO3-
HCO3- + H+ H2O + CO2

Sejauh ini, alkalinitas air memiliki peran kecil dalam kesehatan masyarakat.
Kadar alkali yang tinggi dalam air yang dikonsumsi masyarakat biasanya merusak
rasa air yang kemudian menyebabkan air tidak disukai oleh masyarakat untuk
dikonsumsi. Hal inilah yang menyebabkan U.S. EPA membuat peraturan batas pH
standar kedua, yaitu 8,5 (Sawyer, 2003).
2.3.2 Sumber Alkalinitas

Alkalinitas adalah suatu parameter kimia perairan yang menunjukan jumlah ion
karbonat dan bikarbonat yang mengikat logam golongan alkali tanah pada
perairan tawar. Nilai ini menggambarkan kapasitas air untuk menetralkan asam,
atau biasa juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap
perubahan pH. Perairan.mengandung alkalinitas ≥20 ppm menunjukkan bahwa
perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam/basa sehingga kapasitas
buffer atau basa lebih stabil. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga
dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Nilai alkalinitas
alami tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas
yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya
diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi
(Effendi, 2003).

2.3.3 Alkalinitas dalam Perairan

Air dengan alkalinitas tinggi jarang dijumpai dalam akuakultur, penggunaan


kolam semen baru memang akan menyebabkan pH meningkat, sehingga untuk
pengoprasian kolam semen diperlukan tindakan pengisian air dan pengurasan
berulang-ulang sebelum kolam semen siap digunakan untuk budidaya. Lanjut
dikatakan bahwa pemberian kapur atau atau aliran air yang tidak baik setelah
pemberian kapur dapat berakibat alkalinitas air tinggi dan dapat bersifat fatal
terhadap ikan (Irianto, 2005).

Alkali ialah zat yang melepaskan ion hidroksil dalam air dan mempunyai pH lebih
besar dari 7, antara lain kapur (kalsium hidroksil) yang ditambahkan pada tanah
untuk menetralkan sifat asam yang berlebihan (Manahan, 2001).

2.3.4 Pengolahan Alkalinitas

Pengolahan yang dilakukan untuk uji Alkalinitas yakni pengolahan yang melalui
proses ionisasi. Yakni proses yang dilakukan dengan menggunakan arus listrik
DC. Tujuannya agar air asam dan air basa terpisah. Arus listrik tersebut dialirkan
ke konduktor stainless foodgrade pada dua bejana yang berhubungan dan berisi
air. Semakin lama proses ionisasinya, maka perbedaan pH antara kedua bejana
semakin tinggi. Air basa yang dihasilkan dapat langsung diminum sedangkan air
asam akan digunakan sebagai pupuk. Air basa berperan lebih baik di dalam tubuh
jika kadarnya tidak terlalu besar (Kosasih, 2015).

Penentuan alkalinitas dilakukan melalui metode titrasi asam basa atau secara
umum dikenal dengan perhitungan secara volumetrik. Jika sampel memiliki pH
awal di atas 8,3, titrasi dilakukan dengan 2 tahap. Tahap pertama titrasi dilakukan
hingga pH di bawah 8,3, dimana indikator phenolphthalein berubah dari merah
muda menjadi tidak berwarna. Tahap kedua, titrasi dilakukan hingga pH kurang
dari 4,5 sesuai dengan titik akhir bromcresol hijau. Ketika pH sampel kurang dari
8,3 titrasi hanya dilakukan 1 tahap hingga pH menjadi 4,5. Titrasi 2 tahap
menggunakan indikator phenolphthalein untuk tahap 1 menunjukkan titik
ekivalen konversi ion Karbonat menjadi ion Bikarbonat (Sawyer, 2003):

CO32- + H+ HCO3-

sedangkan titrasi tahap 2 menggunakan indikator bromcresol hijau yang


menunjukkan titik ekivalen rata-rata konversi ion Bikarbonat menjadi Asam
Karbonik (Sawyer, 2003):

HCO3- + H+ H2CO3

2.3.5 Dampak Positif dan Dampak Negatif Alkalinitas

Alkalinitas sangat dipengaruhi oleh pH. Alkalinitas berperan sebagai sistem


penyangga (buffer) agar perubahan pH tidak terlalu besar. Alkalinitas juga
merupakan parameter pengontrol untuk anaerobic digester dan instalasi lumpur
aktif. Air ledeng memerlukan ion Alkalinitas dalam konsentrasi tertentu. Jika
kadar alkalinitas terlalu tinggi dibandingkan kadar Ca2+ dan Mg2+, air menjadi
agresif dan menyebabkan karat pada pipa. Alkalinitas yang rendah dan tidak
seimbang dengan kesadahan dapat menyebabkan timbulnya kerak CaCO3 pada
dinding pipa yang memperkecil diameter atau penampang basah pipa. Perairan
dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme
akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar
garam natrium yang tinggi (Juanda, 2012).
Alkalinitas biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/L) kalsium karbonat
(CaCO3). Air dengan kandungan kalsium karbonat lebih dari 100 ppm disebut
sebagai alkalin, sedangkan air dengan kandungan kurang dari 100 ppm disebut
sebagai lunak atau tingkat alkalinitas sedang. Pada umumnya lingkungan yang
baik bagi kehidupan ikan adalah dengan nilai alkalinitas diatas 20 ppm (Dewi,
2007).

2.4 Peraturan Terkait

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan


Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pada Bagian Ketiga yaitu
klasifikasi dan kriteria mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas yang terdiri dari:
a. Kelas I: air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku air minum
dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut;

b. Kelas II: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana


rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut;

c. Kelas III: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;

d. Kelas IV: air yang peruntukannya dapat digunakan untuk peternakan, air untuk
mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air
yang sama dengan kegunaan tersebut.

Tabel 2.2 PP No. 82 Tahun 2001


Kelas
Parameter Satuan Keterangan
I II III IV
Klorida mg/L 600 (-) (-) (-)

Alkalinitas mg/L 500 (-) (-) (-)


Sumber: PP. Nomor 82, 2001
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. 1984. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan.
Lingkungan Perairan. Yogjakarta: Kanisius.

Gandjar, I. G., Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Manahan, Stanley E. 2001. Fundamentals of Environment Chemistry. Boca


Raton: CRC Press LLC.

Sawyer, Clair N., dkk. 2003. Chemistry for Environmental Engineering and
Science. New York: McGraw-Hill Higher Education.

Syafila, Mindryani. 1994. Kimia Lingkungan I. Bandung: ITB.

Wijaya, Agung Arief. 2010. Prinsip Kerja Reverse Osmosis.

Anda mungkin juga menyukai