BTA NEGATIF
JAKARTA
1
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih tetap menjadi masalah baik di negara berkembang maupun
negara maju. Berdasarkan survei epidemiologi World Health Organization (WHO) tahun 2005
setiap detik terdapat satu orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M tuberculosis),
sepertiga penduduk dunia saat ini sudah terinfeksi M tuberculosis.1 World Health Organization
tahun 2006 memperkirakan insidens TB paru kasus baru di Indonesia lebih dari 539.000 kasus
setiap tahunnya dengan kasus basil tahan asam (BTA) positif 110 per 100.000 penduduk dan
angka kematian karena TB sekitar 101.000 orang per tahun. 2 Proporsi TB paru sputum BTA
positif tahun 2006 di poli RS Persahabatan /Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi 50% sebanding dengan TB paru sputum BTA negatif sebesar 49%.3
Kemampuan untuk mendeteksi secara akurat infeksi M tuberculosis sangat penting
untuk mengendalikan secara global epidemi TB paru. Cara yang cepat untuk mendeteksi
infeksi M tuberculosis akan membantu mempercepat diagnosis dini pada pasien yang secara
klinis tersangka TB dan segera diikuti penatalaksanaan yang tepat.4 Tahun 1993 WHO
memperkenalkan strategi direct observation therapy short course (DOTS) untuk
mengendalikan penyakit tuberkulosis. Penularan TB terutama berasal dari pasien dengan
sputum BTA positif sehingga dalam strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis TB
ditekankan pada pemeriksaan sputum BTA.5 Permasalahan yang sering timbul dalam TB
adalah diagnosis oleh karena pada pasien TB paru tidak selalu ditemukan basil M
tuberculosis baik pada pemeriksaan sputum mikroskopik maupun biakan. Hasil pemeriksaan
sputum BTA negatif ditemukan pada 30-60% pasien TB paru dan 10% dari pasien tersebut
mempunyai biakan negatif.5
Negara endemik TB membutuhkan teknik yang dapat memperbaiki diagnosis pasien
dengan BTA negatif, menentukan resistensi obat secara cepat dan mudah serta
mengidentifikasi mereka yang terinfeksi laten. 6 Identifikasi TB pada pasien BTA negatif
cukup sulit karena manifestasi klinis yang tidak spesifik mengakibatkan keterlambatan
diagnosis dan terapi sehingga angka kesakitan dan kematian menjadi tinggi, keadaan ini
dapat juga menjadi sumber penularan di masyarakat.7 Penegakkan diagnosis dan pengobatan
segera pada pasien TB paru BTA negatif sangatlah penting untuk menurunkan angka
penularan dan kematian.4
Penegakkan diagnosis TB paru dengan BTA negatif tidaklah mudah karena kadang
terdapat perbedaan antara gejala klinis dan gambaran foto toraks sehingga bisa terjadi over
treatment atau misdiagnosis.4 Idealnya pasien tersangka TB paru dengan satu atau lebih
2
sputum BTA negatif memerlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk konfirmasi diagnosis.5
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperoleh spesimen pemeriksaan BTA bila
sputum BTA negatif antara lain induksi sputum, bilasan lambung dan brochoalveolar lavage
(BAL).8 Tinjauan pustaka ini akan membahas beberapa metode di atas yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan nilai kepositifan pemeriksaan BTA dalam menegakkan diagnosis TB
pada pasien dengan sputum BTA negatif.
3
penggunaan obat immunosupresi, usia lanjut dan HIV pada tuberkulosis sering menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA negatif. Suatu studi di Afrika Barat menemukan bahwa tidak
terdapatnya kavitas, batuk yang tidak produktif, HIV seropositif, jumlah sel CD4 >200/μL serta
usia diatas 40 tahun merupakan prediktor pada pasien dengan sputum BTA negatif. 5 Prevalens
TB dengan sputum BTA negatif makin meningkat pada pasien yang terinfeksi HIV. Pasien
HIV dengan sputum BTA negatif mempunyai prognosis buruk, hal ini berhubungan dengan
keterlambatan diagnosis sehingga terjadi peningkatan angka kematian pada kelompok ini. 4,5
Pentingnya menegakkan diagnosis serta pengobatan awal pada pasien TB paru sputum BTA
negatif dapat menurunkan angka penularan dan kematian.4
DIAGNOSIS
4
penbesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas serta
luluh paru.2 Foto toraks dengan TB seringkali menunjukkan satu dari tiga gambaran lesi yaitu
lesi di apeks, kavitas atau gambaran retikular nodul. Foto toraks mempunyai nilai sensitivitas
86% dan spesifisitas 83%.12 Kavitas pada foto toraks 90% memberikan hasil sputum BTA
positif.9 Dickson melaporkan bahwa tidak ada korelasi antara gambaran radiologi dan hasil
kultur.13 Gambaran foto toraks yang tidak khas, kadang normal dapat ditemukan pada pasien
dengan imunosupresi seperti diabetes melitus, kanker, HIV dan jenis kelamin merupakan
faktor yang menyebabkan keterlambatan diagnosis.14
Pemeriksaan mikrobiologi
5
untuk dapat mendeteksi mikobakteria serta memiliki nilai spesifisitas yang rendah karena tidak
dapat membedakan antara M tuberculosis dengan spesies mikobakterium lain.2,9,17 Beberapa
hal yang bisa memberikan hasil sputum negatif palsu dapat dilihat pada tabel 1.15
6
Pada era peningkatan resistensi obat, spesimen sputum dari pasien tersangka TB paru
sangatlah penting untuk dilakukan biakan dan uji resistensi obat. Pasien dengan gejala klinis
dan gambaran radiologi yang menunjukkan TB paru sering menghasilkan BTA sputum
negatif atau tidak dapat mengeluarkan sputum sehingga diperlukan teknik lain untuk
mendapatkannya.8 Diagnosis definitif TB paru ditegakkan berdasarkan penemuan BTA
meskipun gambaran klinis dan radiologi cukup membantu dalam menegakkan diagnosis TB.
Pasien dengan hasil BTA sputum negatif atau tidak dapat mengeluarkan sputum secara
spontan namun memiliki kecurigaan TB paru tinggi, harus dilakukan usaha yang optimal
untuk menemukan basil M tuberculosis.13 Pada kasus seperti ini diperlukan teknik lain untuk
mendapatkan BTA pada spesimen. Teknik yang digunakan untuk kondisi ini adalah bilasan
lambung, induksi sputum dengan inhalasi salin hipertonik serta bronkoskopi dengan teknik
BAL. Teknik-teknik ini mempunyai variasi dalam toleransi, keamanan, ketenaran dan sumber
yang dilibatkan.8
Induksi sputum
Sputum merupakan sekresi abnormal, dihasilkan di dalam dan dikeluarkan dari sistem
bronkopulmoner. Sputum bukan saliva dan tidak berasal dari nasofaring. Sputum paling sering
digunakan untuk mendiagnosis penyakit bronkopulmoner. Lendir pada bronkus dan saliva
orang sehat berisi leukosit yang masih hidup, agak transparan, tidak opak. Leukosit yang sudah
mati dan sel mati akan berwarna opak atau kekuningan pada sputum. Sekret yang berasal dari
lesi TB biasanya terdiri atas sel mati tampak opak dan bewarna putih kekuningan. Kadang-
kadang sputum berisi darah, biasanya bagian yang mengandung darah jumlah kuman TB
sedikit. Lendir bronkus dapat menetap pada kavitas TB atau bronkus yang ektasis kemudian
tercampur dengan bahan cair dari kaseosa mengakibatkan sputum mukopurulen.15
Induksi sputum merupakan suatu tindakan upaya pengeluaran sputum dengan
pemberian inhalasi larutan NaCl hipertonik (3% atau 10%) dengan tujuan mendapatkan sputum
dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Cara ini biasanya digunakan pada pasien yang
tidak dapat mengeluarkan sputumnya secara spontan atau dengan dugaan proses di paru tanpa
gejala batuk. Induksi sputum ini dapat dilakukan dengan cara inhalasi. 8 Biekerman dikutip dari 18
adalah peneliti yang pertama kali mencoba teknik inhalasi ini untuk menghasilkan partikel
aerosol yang dapat merangsang batuk dengan menggunakan larutan propilen glikol 20% dan
NaCl 15%.
7
Peneliti lain juga telah mencoba dengan menggunakan larutan propilen glikol 15% dan
NaCl 10%. Litt dan Pavia19 melakukannya dengan larutan NaCl 3% dan ternyata diperoleh
hasil yang baik dalam pengumpulan sputum sehingga dapat diperoleh sputum yang
representatif. Efek samping induksi sputum dengan cara inhalasi jarang ditemukan walaupun
demikian ada beberapa pasien yang mengeluh pusing karena hiperventilasi dan mual yang
disebabkan inhalasi dengan larutan NaCl. Pada pasien yang mempunyai riwayat asma,
dilaporkan dapat timbul bronkospasme.18,19 Teknik induksi sputum dapat meyebabkan
penularan TB meskipun kejadiannya jarang. Teknik ini dapat menginduksi terjadinya batuk dan
bronkospasme. Keuntungan dari induksi sputum terutama adalah teknik ini lebih tersedia dan
cukup murah.20
Studi tentang induksi sputum menunjukkan bahwa penggunaan spesimen induksi
sputum dapat meningkatkan nilai diagnosis pada pasien TB paru sputum BTA negatif. Parry
dkk21. menggunakan induksi sputum pada pasien sputum BTA negatif dan pasien yang tidak
bisa mengeluarkan sputum spontan. Parry mendapatkan pulasan BTA menjadi positif sebanyak
25% dan 41% pada biakan setelah dilakukan teknik induksi sputum. Merrick dkk.dikutip dari 20
melaporkan bahwa teknik induksi sputum lebih mahal dan tidak lebih bermanfaat daripada
sputum spontan. Li dkk.22 dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pulasan sputum induksi
meningkatkan nilai diagnostik pada pasien dengan populasi besar. Alzahrani dkk. 23 dari Kanada
mendapatkan bahwa teknik induksi sputum yang diulang sampai tiga kali akan meningkatkan
sensitivitas dari 64% menjadi 97% pada pulasan BTA dan menjadi lebih tinggi lagi saat
dilakukan biakan yaitu dari 70% menjadi 99% setelah diulang tiga kali.
Bronkoskopi
8
Bronchoalveolar lavage
9
hasil BAL kurang dari 40 % volume yang di masukkan lewat bronkoskop. 26,27 Volume cairan
yang digunakan adalah variabel yang dianggap sangat penting pada berbagai institusi. Prosedur
BAL sering dilakukan dengan menggunakan cairan sebanyak 240–300 ml terutama jika
menginginkan sel inflamasi dalam jumlah besar tetapi tingkat risiko pada prosedur ini menjadi
lebih besar.26-28
Bronkoskopi sebagai teknik yang invasif memerlukan perlengkapan khusus. Hal ini
telah membatasi penggunaanya dalam kemajuan penyakit paru. Teknik ini cukup mahal namun
dapat mengambil langsung sampel dari lesi dan pada saat yang sama juga dapat menilai
kemungkinan terjadi keganasan.20 Bronkoskopi berhasil digunakan untuk diagnosis TB paru
dan memiliki nilai diagnostik antara 11-96%.29 Studi tentang bronkoskopi menunjukkan bahwa
diagnosis tuberkulosis pada pasien BTA negatif telah ditingkatkan dengan bronkoskopi.
Penelitian terhadap pasien BTA negatif oleh Willcox dkk. dikutip dari 20
mendapatkan bahwa
penggunaan bronkoskopi dengan teknik sikatan dan biopsi menghasilkan kepositifan sebesar
44% dan meningkat menjadi 67% setelah dilakukan biakan. Fuji dkk.dikutip dari 20
melakukan
penelitian yang sama dan mendapatkan kepositifan spesimen bronkoskopi sebesar 40%.
Charoenratanakul dkk.dikutip dari 20 mendapatkan 25% pasien BTA negatif menjadi positif
setelah dilakukan bronkoskopi. Chawla dkk.dikutip dari 20
mendapatkan kepositifan setelah
dilakukan bronkoskopi menjadi 72% dan ditingkatkan menjadi 90% dengan biakan. Nilai
diagnostik biakan bilasan bronkus yang dilaporkan dalam literatur adalah 4-9%. Dank dan
Bower30 dalam penelitian mereka mendapatkan sensitivitas biakan bilasan bronkus
63%.Okutan dkk.dikutip dari 32 melaporkan nilai kepositifan biakan bilasan bronkus adalah 81%.
Nilai sensitivitas biakan bilasan bronkus yang tertinggi dilaporkan oleh Jett dkk dikutip dari 32 yaitu
94%. Wallacedikutip dari 32 mendapatkan hasil biakan bilasan bronkus paling rendah yaitu hanya
4%. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan mulai dari ciri khas sampai populasi penelitian,
contohnya saja beberapa penelitian dilakukan hanya pada anak sedangkan penelitian lain
dilakukan pada seluruh kasus TB paru dan beberapa penelitian dilakukan hanya pada kasus TB
paru sputum BTA negatif. Prevalens TB pada daerah dengan geografis berbeda juga
mempengaruhi hasil-hasil penelitian ini.29
Studi yang membandingkan induksi sputum dan bronkoskopi mendapatkan hasil yang
bervariasi. Conde dkk.33 membandingkan teknik induksi sputum dengan bronkoskopi pada
pasien sputum BTA negatif di sebuah rumah sakit rujukan Rio de Janeiro, Brazil dan
didapatkan hasil bahwa induksi sputum merupakan prosedur yang aman serta mempunyai
hasil sebanding dengan bronkoskopi dalam diagnosis TB paru. Hasil yang hampir sama juga
didapatkan oleh Saglam dkk.20 Anderson dkk. dikutip dari 20
membandingkan induksi sputum
10
dengan bronkoskopi serat lentur dan didapatkan hasil bahwa induksi sputum dapat ditoleransi
baik, murah dan memberikan hasil yang sama dengan bronkoskopi serat lentur. Mc William
dkk.34 membandingkan spesimen sputum induksi dengan bronkoskopi pada pasien yang
memiliki gambaran radiologi TB paru. Hasil yang didapatkan adalah sputum induksi lebih
sensitif pada pasien dengan gambaran radiologi TB aktif. Schoch dkk.dikutip dari 20 menunjukkan
bahwa gejala klinis dan gambaran radiologi tidak sensitif untuk menegakkan diagnosis TB
paru. Mereka juga mendapatkan bahwa bronkoskopi lebih akurat dibanding teknik induksi
sputum. Fadaii dkk.31 dari Iran membandingkan induksi sputum dan BAL pasien tersangka
TB paru dengan sputum BTA negatif atau tidak dapat mengeluarkan sputum. Fadaii
melaporkan bahwa pulasan dan biakan BAL menghasilkan kepositifan yang lebih tinggi yaitu
masing-masing 21,9% sedangkan pulasan sputum induksi menghasilkan kepositifan hanya
12,2% dan 19,5% untuk hasil biakannya.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa penggunaan bronkoskopi meningkatkan nilai
diagnostik untuk M tuberculosis lebih baik dari sputum spontan atau induksi sputum. 20 De
Gracia dkk.dikutip dari 32 melaporkan bahwa nilai diagnostik BAL untuk M tuberculosis secara
bermakna lebih tinggi dari bilasan bronkus sedangkan Brown dkk. 8 mendapatkan bahwa BAL
tidak meningkatkan nilai sensitivitas diagnostik TB paru. Kobashi Y dkk.35 melakukan
penelitian terhadap 16 pasien TB paru dengan sediaan apus BTA negatif di Kawasaki, Jepang.
Enam belas pasien tersebut dilakukan bronkoskopi dengan melakukan tindakan BAL, sikatan
bronkus dan transbronchial lung biopsy (TBLB). Tindakan BAL lebih sensitif dalam
mendiagnosis kasus TB paru (93%) dibandingkan sikatan bronkus dan TBLB. Pasien yang
dilakukan bronkoskopi juga mempunyai lama rawat di RS lebih singkat dibandingkan yang
hanya dilakukan pemeriksan sputum dan tak ada komplikasi bronkoskopi pada semua pasien
yang dilakukan bronkoskopi.
Bilasan lambung
Bilasan lambung adalah tindakan aspirasi cairan lambung melalui nasogastric tube
(NGT) dapat dilakukan pada pagi hari setelah pasien berpuasa mulai malam hari. 32 Cairan
lambung dikumpulkan (kurang lebih 30 mL) dalam syringe steril. Irigasi 50 mL NaCl 0,9%
dapat dilakukan jika tak ada cairan yang diaspirasi kemudian cairan segera dikirim ke
laboratorium mikrobiologi. Bilasan lambung direkomendasikan untuk mengumpulkan sekresi
respirasi khususnya pada anak.32 Konfirmasi bakteriologi pada anak dan bayi sangat sulit.
Bilasan lambung merupakan prosedur standar untuk memperoleh spesimen pemeriksaan
11
apusan BTA dan biakan M tuberculosis pada anak karena mereka tidak dapat mengeluarkan
sputum melainkan menelannya. Bilasan lambung mudah dilakukan dan lebih ekonomis serta
tidak memerlukan peralatan canggih. Kartaloglu dkk.dikutip dari 32
melaporkan bahwa pulasan
bilasan lambung tidak meningkatkan nilai diagnostik TB kecuali jika juga dilakukan biakan.
dikutip dari 32
Zar dkk. membandingkan induksi sputum dan bilasan lambung untuk
mengisolasi kuman M tuberculosis pada bayi dan anak, hasil yang didapat ternyata induksi
sputum lebih baik dari bilasan lambung. Induksi sputum sebaiknya dilakukan sebagai
investigasi pertama pada anak yang dicurigai menderita TB paru. Sebagian besar penelitian
mengenai nilai diagnostik bilasan lambung dan BAL dalam diagnosis TB paru dilakukan pada
anak. Somu dan Abadco dkk.dikutip dari 32 di Inggris melakukan teknik bilasan lambung dan BAL
pada anak. Mereka melaporkan bahwa bronkoskopi tidak menambah jumlah hasil positif untuk
biakan bilasan lambung.
Hasil berbeda didapatkan oleh Uskul dkk.32 yang melaporkan bahwa penambahan
bilasan bronkus dengan biakan untuk bilasan lambung telah memberikan kontribusi yang
bermakna untuk konfirmasi TB. Uskul membandingkan bilasan bronkus dan bilasan lambung
dalam diagnosis TB paru BTA negatif dan mendapatkan biakan sputum positif pada 66%
pasien, biakan bilasan lambung positif pada 49% pasien sedangkan biakan bilasan lambung
positif pada 55% pasien. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Chan dkk. dikutip dari 32 yang juga
mendapatkan kepositifan pulasan lebih rendah dibandingkan biakan. Dickson dkk.13
mendapatkan bahwa bilasan lambung dan bronkoskopi merupakan teknik kombinasi yang
bagus untuk diagnosis TB paru pada pasien BTA negatif dewasa.
Sebuah penelitian di Afrika Selatan pada 250 pasien anak yang dirawat
membandingkan bilasan lambung dan induksi sputum.32 Penelitian ini mendapatkan bahwa
anak-anak memiliki toleransi terhadap induksi sputum lebih baik daripada bilasan lambung.
Hasil positif didapatkan pada 54 pasien (21,6%) yang dilakukan induksi sputum sedangkan
pada pasien yang dilakukan teknik bilasan lambung hanya 40 pasien (16%) yang memberi hasil
positif. Brown dkk.8 melakukan penelitian pada 107 subjek dewasa dengan kecurigaan TB paru
namun tidak bisa mengeluarkan sputum spontan. Subjek melakukan 3 kali induksi sputum, 3
kali bilasan lambung dan bila sediaan apus BTA negatif dilakukan BAL. Hasil penelitian ini
ternyata induksi sputum lebih sensitif (39%) mendeteksi kasus TB paru dibandingkan bilasan
lambung (30%) sedangkan BAL tidak meningkatkan nilai sensitivitas dalam mendeteksi kasus
TB paru dan ternyata tidak ada hubungan antara volume induksi sputum dengan hasil biakan
positif. Sampel yang dikumpulkan pada hari pertama menyebabkan diagnosis dan mulai terapi
lebih cepat serta mempersingkat masa lama rawat.8
12
Perbedaan hasil dari berbagai penelitian mungkin berhubungan dengan perbedaan
prosedur yang dilakukan, kerja sama pasien, pengalaman operator, dosis lidokain yang
digunakan, pengiriman spesimen ke laboratorium dan tingkat spesialisasi laboratorium.
Jumlah cairan yang digunakan untuk BAL juga mempengaruhi hasil.20 McWilliam hanya
menggunakan 40ml cairan untuk BAL.34 Andersen menggunakan cairan untuk BAL sekitar
50-60 ml sedangkan Saglam sebanyak 50 ml. 20 Penggunaan teknik yang berbeda yaitu bilasan
bronkus atau BAL juga memberikan hasil yang berbeda. Saglam dan peneliti lain
menggunakan bilasan lambung sedangkan Conde menggunakan BAL. Perbedaan hasil juga
berhubungan dengan berbedanya sampel penelitian dan tingkat berat atau luasnya penyakit.
dikutip dari 20
Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan memberi hasil yang bervariasi
ditunjukkan oleh tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan sensitivitas sputum induksi (SI) dan spesimen bronkoskopi (SB)
Sumber Acuan Pulasan SI Biakan SI BTA SB Biakan SB
(%) (%) (%) (%)
Andersen dkk 19 87 12 73
Conde dkk 34 67 38 75
McWiiliams dkk 96 - 52 -
Saglam dkk 47 63 53 67
Willcox dkk - - 44 (39/89) 67 (60/89)
Chawla dkk - - 72 (36/50) 90 (45/50)
Wongthim dkk - - 58 (38/65) 76
Fujii dkk - - 40 (18/45) -
Charoenratanakul dkk - - 25 (10/40) 33(13/40)
Parry dkk 25 (18/73) 55 (40/73) - -
Merrick dkk 25 (6/24) - - -
Li dkk 34 (558/1648) - - -
Hartung dkk 42 (15/36) - - -
Dikutip dari (20)
American Thoracic Society (ATS) dan Dickson dkk.dikutip dari 35 merekomendasikan untuk
melakukan prosedur noninvasif seperti bilasan lambung dan induksi sputum pada pasien TB
paru dengan BTA negatif. Bell dkk.dikutip dari 35
melaporkan bahwa BAL lebih berguna
dibandingkan bilasan lambung dan menganjurkan tindakan BAL pada pasien TB paru dengan
BTA negatif. Saglam menyarankan untuk menggunakan bronkoskopi sebagai alat diagnosis
dini TB paru bila BTA sputum spontan ataupun induksi memberikan hasil negatif.20
KESIMPULAN
13
1. Identifikasi TB pada pasien BTA negatif cukup sulit karena manifestasi klinis yang
tidak spesifik mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan terapi.
2. Penegakkan diagnosis dan pengobatan segera pada pasien TB paru BTA negatif
sangatlah penting untuk menurunkan angka penularan dan kematian.
3. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperoleh spesimen pemeriksaan BTA
bila sputum BTA negatif antara lain induksi sputum, bilasan lambung dan BAL.
4. Bronkoskopi sebagai alat diagnosis dini TB paru dapat digunakan bila BTA sputum
spontan ataupun induksi memberi hasil negatif.
5. Induksi sputum, bilasan lambung dan BAL dapat meningkatkan nilai kepositifan
pemeriksaan BTA pada pasien TB paru BTA negatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Curran ET, Hoffman PN, Pratt RJ. Tuberculosis and infection control: a review of the
evidence. British Jour of Infect Contr.2006;7:18-23.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional penanggulangan
tuberkulosis. In: Aditama TY, Kamso S, Basri C, Surya A, editors. Tuberkulosis secara
global. 2nd ed. Jakarta: Depkes RI; 2007.p. 1-13.
3. Departemen Pulmunologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI/RS Persahabatan.
Jakarta 2006. Unpublished.
14
4. Samb B, Sow PS, Kony S. Risk factor for negative sputum acid fast bacilli smears in
pulmonary tuberculosis: result from Dakar, Senegal, a city with low HIV
seroprevalence. Int J Tuberc Lung Dis.1999;3:330-6.
5. Kanaya AM, Glidden DV, Chambers HF. Identifying pulmonary tuberculosis in patients
with negative sputum smear results. Chest. 2001;120:349-55.
6. Aditama TY. Diagnosis. In: Yulherina editor. Tuberkulosis.Diagnosis, terapi dan
masalahnya. 5th ed. Jakarta: YP IDI; 2005.p.13-24.
7. Alsagaff H. What new current in tuberculosis. TB Up Date-VII 2007.
8. Brown M. Varia H, Davidson RN, Wall R, Pasvol G. Prospective study of sputum
induction, gastric washing, and bronchoalveolar lavage for the diagnosis of pulmonary
tuberculosis in patients who are unable to expectorate. Clin Infec Dis.2007; 44:1415-
20.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. In: Yunus F, editor. Tuberkulosis. Jakarta: PDPI; 2006.p.1-64.
10. Mixides G, Shende V, Teeter LD, Awe R, Musser JM, Graviss EA. Number of negative
acid fast smears needed to adequately assess infectivity of patient with pulmonary
tuberculosis. Chest. 2005; 128: 108-15.
11. Tsao TC, Chung ML, Yang PY, Chiou WK. Significant difference of clinical
manifestation between smear negative and smear positive pulmonary tuberculosis.
Chest. 2004;12:834.
12. Stern SDC, Cifu AS, Altkorn D. I have with acute respiratory complains of cough and
congestion. How do I determine the cause. In: Stern SDC, Cifu AS, Altkorn D, editors.
Symptom to diagnosis. Int edition. Boston: Mc Graw-Hill; 2006.p.105-25.
13. Dickson SJ, Brent A, Davidson RN. Comparison of bronchoscopy and gastric washings
in the invetisation of smear-negative pulmonary tuberculosis. Clin Infect Dis.
2003;37:1649-53.
14. Horie T, Lien LT, Tuan LA, Tuan PL, Sakurada S, Yanai H, et al. A survey of
tuberculosis prevalence in Hanoi, Vietnam. Int J Tuberc Lung Dis.2007; 11:562-6.
15. Long R. Smear-negative pulmonary tuberculosis in industrialized countries.
Chest.2001;120:330-3.
16. Collection, preservation and transport of specimens. In: Collins CH, Grange JM, Yates
MD,editors. Tuberculosis bacteriology: organization and practice. London:
Butterworth; 1997.p.41-7.
17. Toman K. How reliable is smear microscopy. In: Frieden T, editor. Toman’s
Tuberculosis case detection, treatment and monitoring-question and answers. 2nd
edition. Genewa: WHO; 2004.p.14-22.
18. Garet M. Sputum fundamentale and clinical pathology. In : Mauricio JD, editor. Cancer
cytology. 1st ed. Illinois: Spiringfield; 1970.p.382-411.
19. Pavia D. Thompson MM, Clarke SW.Enhance clearence of secretions from the human
lung after the administration of hypertonic saline aerosol. Am.Rev Physiol.1978;117:
1199-203.
20. Saglam L, Akgun M, Aktas E. Usefulness of induced sputum and fibreoptic
bronchoscopy specimens in the diagnosis of pulmonary tuberculosis. The J of Inter
Med Research.2005;33:260-5.
21. Parry CM, Kamoto O, Harries AD. The use of sputum induction for establishing a
diagnosis in patient with suspected pulmonary tuberculosis in Malawi. Tuberc Lung
Dis.1995;76:72-6.
22. Li LM, Yang HL, Xiao CF. Sputum induction to improve the diagnosis yield in patients
with suspected pulmonary. Int J Tuberc Lung Dis.1999;3:1137-9.
15
23. Alzahrany K, AL Jahdali H, Poirern L. Yield of smear culture and amplication test from
repeated sputum induction for the diagnosis of pulmonary tuberculosis. Int J Tuber
Lung Dis.2001;5:1-6.
24. Bronchoscopy. [cited Jan 08 ]. Available at www.wikipedia.com
25. Prakash U. Bronchoalveolar lavage. In: Helmers R, Pisani R, editors. Bronchoscopy. 1st
ed. New York: Reven Pres; 1994. p.156.
26. Linder J, Rennard S. Bronchoalveolar lavage. In: Linder J, Rennard S, editors.
Development and applications of bronchoalveolar lavage. 1sted. Nebraska: ASCP
Press;1988.p.1
27. Blic J, Midulla F, Barbato A, Clemet A, Eber E, Green C, et al. Bronchoaalveolar
lavage in children. Eur Respir J.2000; 15:217-31.
28. Helmers RA, Hunninghake GW. Bronchoalveolar lavage. In: Wang KP, editor. Biopsy
techniques in pulmonary disorders. New York: Raven Press; 1989.p.15-28.
29. Vencathesiah SB, Mehta AC. Role of flexible bronchoscopy in the diagnosis of
pulmonary tuberculosis in immunocompetent individuals. J Bronchol.2003; 10:300-8.
30. Danek SJ, Bower JS. Diagnosis of pulmonary tuberculosis by flexible fiberoptic
bronchoscopy. Am Rev Respir Dis.1979; 119:677-9.
31. Fadaii A, Sohrabpoor H, Bagheri B. Comparison between induced-sputum and
bronchoalveolar lavage fluid in diagnosis of pulmonary tuberculosis.Iranian Jour Clin
Inf Dis.2009;4(3):167-70.
32. Uskul BT, Turker H, Kant A, Partal M. Comparison of bronchoscopic washing and
gastric lavage in the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis. South Med
Jour.2009;102:154-8.
33. Conde MB, Soares SLM, Mello FCQ, Rezende VM, Almeida LL, Reingold AL, et al.
Bronchoscopy in the diagnosis of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med.2000;162:
2238-40.
34. Mc Williams T, Wells AU, Harrison AC. Induced sputum and bronchoscopy in the
diagnosis of tuberculosis. Thorax.2002;57(12):1010-4.
35. Kobashi Y, Mouri K, Fukuda M, Yoshida K, Oka M. The usefulness of bronchoscopy
for the diagnosis of pulmonary tuberculosis. J bronchol.2007; 14: 22-5.
16