Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN PUSTAKA III

SELASA, 2 0 JULI 2 0 1 0

IRIGASI PADA EMPIEMA TORAKS

Rofiman Hermanu

Narasumber : Dr. Boedi Swidarmoko, Sp.P(K)


Penanggungjawab: Dr. Fachrial Harahap, Sp.P(K)

PESERTA PPDS I PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT PERSAHABATAN
JAKARTA

1
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa tugas makalah ini saya susun
tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas
Indonesia.

Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada saya.

Jakarta, 10 Juli 2010

(Rofiman)

2
PENDAHULUAN

Pleura adalah membran serosa yang melapisi parenkim paru, mediastinum dan
dinding dada. Pleura dibagi menjadi dua bagian yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Pleura viseralis menutupi bagian parenkim paru sedangkan pleura parietalis
menutupi dinding dada. Rongga pleura terletak diantara paru dan dinding dada, pada
kondisi normal akan terisi oleh lapisan tipis cairan yang berfungsi melekatkan kedua
lapisan pleura tersebut. Nopen dan kawan-kawan menunjukkan bahwa jumlah cairan
pleura kanan orang yang sehat adalah 8,4 ± 4,3 ml. Pada orang yang sehat jumlah cairan
pleura paru kanan dan paru kiri kurang lebih sama. Cairan pleura juga mengandung
kurang lebih 1716 sel darah putih dan 700 butir darah merah per millimeter kubik cairan
Cairan pleura manusia juga dikatakan mengandung makrofag, limfosit, sel mesotel,
netrofil dan eosinofil. Sejumlah kecil protein terdapat dalam cairan pleura. Cairan pleura
berasal dari kapiler pleura, ruang interstitial paru, kelenjar limfa intratoraks, pembuluh
darah intratoraks. Perpindahan cairan kapiler menuju rongga pleura diatur dengan hukum
Starling. Produksi cairan pleura sehari kurang lebih 0,01 mL/Kg BB/jam sehingga orang
yang sehat akan terdapat produksi cairan kurang lebih 15 mL perhari. Absorpsi cairan
pleura melalui sistem limfatik dengan laju sampai dengan 0,22 mL/Kg BB/jam. Absorpsi
dapat juga terjadi di pembuluh kapiler pleura. Efusi pleura terjadi bila terjadi akumulasi
cairan pleura sebagai akibat dari peningkatan pembentukan cairan pleura dan penurunan
absorpsi cairan pleura seperti yang ditunjukkan pada gambar 1A dan gambar 1B. 1

Paru Pleura Viseralis


Rongga Pleura
Pleura Parietalis

Gambar 1A.
Lapisan pleura

3
Efusi Pleura

Gambar 1B. Pembentukan efusi pleura


Dikutip dari (2)
Peningkatan produksi cairan pleura terjadi pada keadaan peningkatan produksi
cairan interstisial, peningkatan tekanan hidrostatik antara tekanan intravaskuler dan
tekanan pleura sehingga akan terjadi peningkatan pembentukan cairan pleura.
Peningkatan tekanan intravaskuler terjadi pada keadaan gagal jantung kanan, gagal
jantung kiri, efusi perikard dan sindrom vena kava superior. Penurunan tekanan pleura
terjadi pada keadaan obstruksi bronkus pada ateletaksis. Peningkatan permeabilitas
kapiler juga akan meningkatkan pembentukan cairan pleura melalui peningkatan level
vascular endothelial growth factor (VEGF). Peningkatan level VEGF yang tinggi
ditunjukkan oleh sel mesotel pada peningkatan produksi cairan eksudat dibandingkan
dengan transudat. Penurunan tekanan onkotik akan meningkatkan produksi cairan pleura.
Lubang pada diafragma dapat juga menimbulkan akumulasi cairan pleura bila terdapat
cairan di rongga peritoneal. Penurunan absorpsi cairan pleura terjadi bila terdapat
obstruksi sistem limfatik yang bertugas sebagai drainase cairan tersebut. Absorpsi dapat
juga menurun pada keadaan peningkatan tekanan vena sistemik, seperti yang ditunjukkan
pada tabel 1.1,3

Tabel 1. Penyebab Efusi Pleura

Komponen Kelainan

Peningkatan pembentukan Peningkatan cairan interstisial di paru


cairan pleura Peningkatan cairan intravaskular di pleura
Peningkatan permeabilitas kapiler di pleura

4
Peningkatan protein cairan pleura
Penurunan tekanan pleura
Peningkatan cairan di ruang peritoneal
Kerusakan duktus torasikus
Kerusakan pembuluh darah

Penurunan absorpsi cairan pleura Obstruksi sistem limfatik


Peningkatan tekanan vaskuler sistemik
Gangguan sistem aquaporin
Dikutip dari (1)

Empiema sudah dikenal manusia sejak 500 tahun sebelum Masehi. Hippocrates
merekomendasikan penanganan empiema dengan drainase terbuka. Hippocrates sendiri
mengatakan bahwa bila cairan yang keluar dari lubang bekas insisi tersebut cepat akan
menimbulkan kematian pada pasien tetapi bila cairan yang keluar perlahan- lahan maka
akan menjadi kesembuhan pada diri pasien. Setelah masa Hippocrates maka penanganan
empiema hampir sama sekali tidak berubah sampai abad ke 19. Bowditch di Amerika
Serikat dan Trousseau di Prancis mempopulerkan torakosintesis dan menunjukan bahwa
drainase terbuka tidak perlu dilakukan pada semua orang. Windsor melaporkan
keberhasilan torakosintesis dan penyuntikan iodine ke dalam rongga pleura pada pasien
empiema tahun 1854. Perkembangan selanjutnya pada penanganan empiema terjadi tahun
1912, Hewwit memperkenalkan drainase tertutup dengan menggunakan selang karet yang
diletakkan didalam rongga empiema. Beliau juga yang pertama kali menggunakan water
sealed drainage {WSD) dan chest tube. Perkembangan selanjutnya dari penanganan
empiema terjadi tahun 1950, ketika itu Tillet dan Sherry melakukan debridemen
enzimatik dengan menggunakan streptokinase dan streptodornase pada kasus empiema
parapneumonia.1,3-7
Saat ini angka insiden infeksi bakteri pneumonia diperkirakan 4 juta kasus
pertahun, 20 persen pasien memerlukan perawatan dirumah sakit dan diperkirakan
sebanyak 40% pasien yang ke rumah sakit oleh karena efusi yang disebabkan pneumonia
dan sekitar 10 % memerlukan tindakan bedah. Keterlambatan dalam melakukan tindakan
invasif seringkali menyebabkan cairan pleura bertambah terlokulasi dan semakin sulit di
keluarkan. Parameter laboratorium yang digunakan untuk menilai prognosis tersebut
antara lain pH cairan pleura, kadar glukosa, kadar LDH cairan pleura yang tinggi, selain

5
itu cairan pleura yang purulen, penyakit penyerta seperti diabetes melitus, alkoholisme,
keterlambatan drainase cairan pleura, cairan pleura yang terlokulasi, hitung jenis sel
darah putih yang rendah di cairan pleura, usia tua, kadar albumin serum yang rendah,
bakteri gram negatif atau multiple. Cairan pleura yang terbentuk ádalah eksudat dengan
kadar netrofil yang banyak. Pada awalnya biakan cairan pleura sering menunjukkan hasil
negatif tetapi pada fase selanjutnya biakan bakteri menujukan hasil positif. Pemeriksaan
cairan pleura di laboratorium menunjukan bahwa pH akan turun sampai dibawah 7,2.
Kadar glukosa cairan pleura turun dibawah 60mg/dl sedangkan LDH akan naik sampai 3
kali lipatnya.1,3,4 Hal tersebut dapat dilihat dari tabel 2.

Tabel 2. Faktor yang mempengaruhi prognosis


Pus di rongga pleura
Pengecatan gram cairan pleura menunjukkan hasil positif
Kadar glukosa cairan pleura 40 mg/dl
Biakan cairan pleura positif
Ph kurang dari 7
Peningkatan LDH lebih dari 3 X diatas ambang serum
Cairan pleura yang terlokulasi
Efusi non purulen dalam jumlah besar.
Dikutip dari ( 3 )

Definisi

Empiema didefinisikan sebagai pus didalam rongga pleura. Wesse dan kawan-
kawan mendefinisikan empiema sebagai efusi pleura yang mempunyai berat jenis lebih
dari 1,018, sel darah putih lebih dari 500 sel per milimeter kubik dan kadar protein lebih
dari 2,5 g/dl. Viana mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura yang pada hasil
biakan terdapat bakteri, sel darah putih lebih dari 15.000 per mm 3 dan kadar protein
Dikutip dari 1
diatas 3 g/dl. Light mendefinisikan empiema sebagai efusi pleura yang kental
dan purulen. Efusi parapneumonia didefinisikan sebagai efusi pleura yang disebabkan
oleh bakteri, abses paru atau bronkietaksis atau dengan kata lain efusi ini merupakan
kelanjutan dari pneumonia 1,3,4

Patofisiologi

6
Empiema terjadi melalui tiga tahapan, tahapan – tahapan tersebut tidak terjadi
secara cepat tetapi terjadi secara perlahan-lahan. Pertama adalah fase pleuritis sicca yang
ditandai dengan masuknya cairan pleura yang masih steril kedalam rongga pleura,
kemudian masuk kuman yang berasal dari kapiler pleura, pada fase ini sel darah putih
dan laktat dehidrogenase (LDH) masih dalam kadar yang rendah, glukosa dan pH pun
masih dalam batas normal. Apabila pada fase ini pasien sudah mendapatkan antibiotik
yang tepat maka infeksi tidak akan berlanjut, produksi cairan pleura yang berlebihan juga
tidak terjadi sehingga tidak diperlukan pemasangan selang chest tube. Tahap selanjutnya
adalah fase eksudatif terjadi bila pasien tidak mendapat antibiotik yang adekuat, maka
bakteri dapat menginfeksi cairan pleura. Pada fase ini ditandai dengan akumulasi cairan
pleura, sel polymorfonuclear (PMN), bakteri dan sel-sel debris. Lapisan fibrin timbul dan
melapisi pleura viseral dan pleura parietal. Pada tahap ini juga kemungkinan akan
terbentuk lokulasi empiema. Kadar glukosa dan pH akan menjadi sedikit lebih rendah
dan LDH mulai menjadi tinggi. Tahap terakhir adalah tahap organisasi, pada tahap ini
fibroblas tumbuh dalam eksudat mulai dari permukaan pleura viseralis ataupun pleura
parietalis, memproduksi lapisan yang tidak elastis yang disebut pleural peel seperti
terlihat pada gambar 2. Bila pasien tidak mendapatkan terapi yang adekuat pada tahap ini
maka empiema dapat bertambah banyak, mengering sendiri melalui dinding dada
(empiema necessitatis) atau keluar ke paru melalui fistula bronkopleura.1,3,4

Gambar 2. Membran fibrin di rongga pleura


Dikutip dari (9)

7
Empiema dapat terjadi tanpa proses pneumonia atau dengan proses pneumonia
terlebih dahulu. Penelitian yang melibatkan 319 pasien empiema kebanyakan mempunyai
riwayat infeksi paru (55%), riwayat operasi (21%), trauma (6%), perforasi esofageal
(5%), komplikasi tindakan torakosintesis atau tube thoracostomy 2%, infeksi
subdiafragma (1%), sepsis (1%), lain lain (7%), seperti yang ditunjukkan pada tabel 3.1

Tabel 3. Penyebab empiema pada 319 pasien

Penyebab Jumlah Persentase

Infeksi paru 177 55


Tindakan bedah 66 21
Trauma 18 6
Perforasi esofagus 15 5
Pneumotorak spontan 7 2
Torakosintesis 6 2
Infeksi subdiafragma 4 1
Septikemia 4 1
Dan lain-lain 22 7
Dikutip dari ( 1 )

Etiologi

Era sebelum ditemukan antibiotik, bakteri yang paling sering ditemukan pada
efusi ádalah Streptoccus pneumoniae dan Streptococcus haemolyticus. Tahun 1955-1965
maka Staphylococcus aureus sering ditemukan pada biakan cairan pleura. Awal tahun
1970 bakteri anerob sering ditemukan pada efusi pleura. Tahun 1980-1990an maka
kembali bakteri aerob yang menjadi penyebab efusi ini, seperti yang ditunjukkan pada
tabel 4.1,3,4

Tabel 4. Bakteri penyebab empiema

Organisme 1970 1980 1990 Total %


Gram positif
Staphylococcus aureus 17(6) 7(4) 58(39) 82(49) 36
Staphylococcus epidermidis 5(0) 0(0) 3(0) 8(0) 3
Streptococcus pneumoniae 5(2) 6(6) 70(33) 81(41) 35

8
Enterococcus fecalis 5(0) 4(1) 4(0) 13(1) 6
Streptococcus pyogenes 4(0) 5(0) 9(9) 18(9) 8
Streptococcus lain 8(0) 6(3) 13(0) 27(3) 12
Total 44(8) 28(14) 157(81) 229(103)

Gram negatif
Escherichia coli 11(0) 4(1) 17(1) 32(2) 30
Klebsiella species 6(1) 1(1) 17(1) 23(8) 21
Proteus species 2(0) 1(0) 5(1) 8(1) 7
Pseudomononas specie 10(2) 8(6) 9(3) 27(11) 25
Enterobacter species 0(0) 3(3) 0(0) 3(3) 3
Hemopyhlus influenza 1(0) 0(0) 12(7) 13(7) 12
Lain-lain 0(0) 2(0) 0(0) 2(0) 2
Total 30(3) 19(11) 59(18) 108(32)

Anaerob
Bacterioides species 23(1) 13(4) 26(6) 62(1) 20
Peptostreptoccus species 26(1) 8(1) 28(4) 62(6) 20
Clostridium species 3(1) 5(3) 5(1) 23(5) 7
Prevotella species 13(0) 5(1) 22(2) 40(3) 13
Streptococcus species 15(5) 4(2) 12(0) 31(0) 10
Fusobacterium species 16(3) 7(2) 20(4) 43(9) 14
Lain-lain 34(1) 4(2) 14(0) 52(3) 16
Total 140(12) 46(15) 127(17) 313
Cat: Angka yang tertera didalam kurung berasal dari biakan
Dikutip dari ( 1 )

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari empiema tergantung dari besar bagian pleura yang
terinfeksi dan juga kuman yang menginfeksinya. Pasien yang terinfeksi dengan bakteri
aerob menunjukkan gejala demam, nyeri dada, produksi sputum dan leukosistosis.
Insiden nyeri dada berkisar antara 59% pada pasien yang tanpa efusi dan 64% pada
pasien dengan efusi. Pasien yang terinfeksi dengan bakteri anaerob menunjukkan gejala
subakut dengan lama gejala lebih 7 hari (70%), terdapat pula penurunan berat badan pada
60% pasien. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dan anemia.
Pemeriksaan fisis pada pasien empiema menunjukkan sisi dada yang sakit tertinggal pada
pernapasan, penurunan vokal fremitus, penurunan suara napas pada sisi dada yang sakit
dan pendorongan ke sisi kontralateral trakea bila empiema yang terbentuk besar.1,10

Penatalaksanaan

9
Penatalaksanaan empiema meliputi dua bagian besar yaitu pemilihan antibiotik
sistemik yang tepat dan evakuasi pus / efusi pleuranya sendiri. Pasien mengalami efusi
parapneumonia atau empiema harus diterapi dengan antibiotika yang sesuai. Antibiotik
yang dipilih diupayakan yang dapat menembus sampai ke rongga pleura seperti
metronidazole, diikuti oleh penisillin, klindamisin, vankomisin, seftriakson dan
gentamisin. Kuinolon dan klaritromisin juga dapat menembus dengan baik rongga pleura
yang terinfeksi. Penetrasi antibiotik ke dalam rongga pleura yang terinfeksi menjadi
pertimbangan utama pada pemilihan antibiotik, tidak ada alasan untuk menambah dosis
antibiotik dikarenakan infeksi yang terjadi sudah menimbulkan nanah di dalam rongga
pleura.1,10-13
Pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit dengan pneumonia komunitas
antibiotik yang dianjurkan adalah fluorokuinolon seperti levofloksasin, moksifloksasin,
gatifloksasin atau gemifloksasin atau makrolid seperti azitromisin, klaritromisin
dikombinasikan dengan β laktam seperti sefotaksim, seftriakson, ampisilin. Penelitian di
Yunani menyimpulkan bahwa pemberian Linezolid 10 mg/Kg BB dan Ertapenem 60
mg/Kg BB pada hewan percobaan menunjukan hasil yang baik. Kedua obat ini mampu
menembus cairan pleura dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Irigasi antibiotik
intra pleura dimasukan melalui chest tube seperti yang terlihat pada gambar 4.14

Gambar 3A. Foto toraks lateral posisi pemasangan chest tube. 3B. Posisi pemasangan
chest tube di anterior dan aksila dada kiri.
Dikutip dari (15 )

10
Gambar 4. Irigasi intrapleura dengan Video Assisted Thoracic Surgery
(VATS).
Dikutip dari ( 16 )

Evakuasi pus / penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan berbagai cara
mulai dengan torakosintesis terapeutik, tube thoracostomy, irigasi intrapleura dengan
bahan fibrinolitik, Video Assisted Thoracic Surgery (VATS), torakotomi dan dekortikasi.
Pada referat ini akan dibahas mengenai irigasi intrapleura. Pasien empiema biasanya
didapatkan kesulitan mengeluarkan cairan atau pus dari dalam rongga pleura dikarenakan
cairan pleura tersebut atau pus tersebut terlokulasi di dalam membran fibrin yang
sebenarnya berfungsi mencegah penyebaran nanah atau pus ke organ tubuh yang lain,
tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi kita ketika kita akan mengeluarkan pus. Cara
pemberian streptokinase adalah dengan menggunakan chest tube ukuran 24F atau 28F.
Kemudian cairan yang terdiri dari 100 ml larutan salin ditambah dengan 250000 Unit
Internasional (UI) streptokinase dimasukan melalui chest tube tersebut. Larutan tersebut
kemudian dibilas dengan menggunakan salin sebanyak 20 ml dan diklem selama 2 jam.
Tindakan ini dilakukan sekali setiap hari selama 7 hari atau sampai pus yang terbentuk
kurang dari 100 ml per hari. Penelitian di India pada 42 pasien menunjukkan bahwa
pemberian streptokinase 250.000 UI dicampur dengan 100 ml salin kemudian dimasukan
melalui kateter ternyata lebih efektif dalam mengeluarkan nanah/pus dibandingkan
hanya irigasi saja dengan salin. Dahulu Tillet dan kawan–kawan melaporkan

11
penggunakaan streptokinase dan streptodornase dengan disuntikan kedalam rongga
pleura. Perkembangan selanjutnya mengatakan bahwa penyuntikan streptokinase dan
streptodornase sudah ditinggalkan oleh karena kurang efektif, terutama efek samping
sistemik obat yang akan timbul pada manusia seperti febris, malaise dan leukositosis.
Akhir tahun 1970 Berg dan kawan-kawan melaporkan penggunaan streptokinase saja
dalam rongga pleura dan hasilnya menunjukan bahwa 10 dari 12 pasien mengalami
kemajuan radiologis. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukan bahwa
pemberian streptokinase tidak mengurangi efek masa hospitalisasi dan penggunaan
intervensi bedah.1,13,17
Chin-Ko dkk menyatakan irigasi dengan anti jamur intrapleura pada pasien
empiema jamur efektif dalam menurunkan resiko kematian. Penelitian ini dilakukan
terhadap 67 pasien yang didiagnosis jamur paru, yang mengalami leukositosis,
peningkatan suhu tubuh (>38,3°C), pasien tersebut. Sebelas pasien yang menjalani
irigasi pleura dengan anti jamur terhindar dari kematian. Pada pasien-pasien yang
mempunyai risiko tinggi kematian seperti pasien defisiensi imun, tindakan ini efektif
menurunkan risiko kematian oleh karena empiema.18
Penelitian multi center acak tersamar ganda, sebanyak 454 pasien secara acak
menerima 250000 UI streptokinase atau salin 2 kali sehari selama 3 hari.Ternyata tidak
ada perbedaan yang bermakna antara pemberian streptokinase dan salin. Studi acak
tersamar ganda lain menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara
kelompok pasien yang menerima streptokinase ataupun salin pada hari ke 3, akan tetapi
setelah 7 hari, kelompok yang menerima streptokinase mempunyai angka keberhasilan
klinis yang lebih besar.1
Bouros dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan pemberian urokinase
intrapleura pada 15 pasien empiema. Setiap pasien menerima 100000 unit urokinase yang
dilarutkan dalam 100 ml salin. Enambelas pasien lain sebagai kontrol hanya menerima
100 ml normal salin tanpa pemberian urokinase. Respons dinilai dari tampilan klinis, foto
toraks, USG, volume pus yang dikeluarkan. Tiga belas pasien yang menerima urokinase
mengalami kemajuan tampilan klinis dan foto toraks dibandingkan dengan 4 pasien yang
menerima salin saja. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pemberian urokinase

12
efektif dalam mengatasi empiema yang terlokulasi dibandingkan dengan pemberian
normal salin saja.19
Penelitian lain yang melaporkan kesuksesan penggunaan streptokinase dan
urokinase menunjukan hasil yang positif berdasarkan pengamatan terhadap jumlah
cairan atau nanah yang dapat dikeluarkan. Penelitian yang menggunakan varidase yang
mengandung fibrinolitik (streptokinase) dan DNAase (streptodornase) menunjukan
bahwa tidak ada likuefaksi yang signifikan pada percobaan ini. Inkubasi pus dengan
menggunakan varidase menunjukan bahwa pus tersebut akan mencair setelah 4 jam masa
inkubasi. Simpson dan kawan-kawan bahwa DNAase sangat efektif dalam menurunkan
viskositas cairan pleura. Pemberian rekombinan DNAase ditambah dengan aktivator
plasminogen jaringan (tPA) menunjukan hasil yang signifikan pada empiema skor,
dikatakan juga bahwa pemberian streptokinase tunggal mungkin tidak efektif ,menjadi
komplek aktivator. 1,20

Kesimpulan

1. Pleura adalah membran serosa yang melapisi parenkim paru, mediastinum dan
dinding dada.
2. Empiema didefinisikan sebagai pus di dalam rongga pleura. Efusi parapneumonia
didefinisikan sebagai efusi pleura yang disebabkan oleh bakteri, abses paru atau
bronkietaksis.
3. Penatalaksanaan empiema meliputi dua bagian besar yaitu pemilihan antibiotika
sistemik yang tepat dan evakuasi pus / efusi pleuranya sendiri.
4. Irigasi pleura dengan povidon iodin, antibiotik intrapleura, fibrinolitik dan anti jamur
terbukti efektif dalam mengatasi empiema.

13
Daftar Pustaka

1. Light RW. Parapneumonic effusions and Empiema. In: Light RW,editors. Pleural
Disease 5th ed. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins; 2007.p.179-210.
2. Pleural effusion.[Internet]. Virtual Medical Centre © 2002-2010. [cited 2010 july
8].Available from: http://www.virtualmedicalcentre.com
3. Light RW, Hamm H. Parapneumic effusion and empyema. Eur Respir
J.1997;10:1150-6.
4. Light RW. Parapneumonic effusion and empyema. Proc Am Thorac Soc.2006;3:75-
80.
5. Bowditch H. Paracentesis thoracis: a resume of twelve years experience. American
journal of medical science.1863;45(84):17-21.
6. Windsor J. Case of empyema successfully treated by thoracosintesis and iodine
Injection. Association Medical Journal. 1854;2(94):943-5.

14
7. Barnes NC, Benjamin SM. A breaktrough in the treatment of empyema: what we have
learnt 50 years on from Tillet and Sherry’s original case report.Grand Round.2004;
4:4-7.
8. Masood I, Bhargava, Ahmad Z, Pandey, Ahmad S. Role of intrapleural streptokinase
in empyema.JIACM. 2006;7(4):313-5.
9. Tassi GF, Davies RJO, Noppen M. Advanced techniques in medical thoracoscopy.Eur
Respir J.2006;28:1051-9.
10. Liapakis IE, Kottakis I, Tzatzarakis MN, Tsatsakis AM, Pitiakoudis MS, Ypsilantis P
Et al. Penetration of newer quinolones in the empyema fluid. Eur Respir J.2004;24:
466-70.
11. Dualibe LP, Donnati MI, Muller PT, Dobashi PN.Treatment of empyiema using
thoracosintesis with irrigation and intrapleural application of antimicrobial agent. J
Bras pneumol. 2004;30(3):215-22.
12. Limsukon A, Hoo GWS. Parapneumonic pleural effusion and empyema thoracis
[internet].medscape 2000-2010. [cited 2010 July 9]. Available from:
http://emedice.medscape.com/article2985-media.
13. NA MJ, Dikensoy O, Light RW. New trends in the diagnosis and treatment in
parapneumonic effusion and empyema. Tuberkuloz ve Toraks Dergizi. 2008;56(1):
131-20.
14. Saraglou M, Ismailos G, Liapakis I, Tzarzarakis M, Tsatsakis A, Papalois A et all.
Pharmacokinetics of linezolid and ertapenem in experimental parapneumonic pleural
effusion. Journal of inflammation.2010;7:1-8.
15. Bagan P, Boissier F, Berna P, Badia A, Barthes F, Souilamas R et al.
Postpneumonectomy empyema treated with a combination of antibiotic irrigation
followed by videothoracocopic debridement. J Thorac Cardiovasc Surg.
2006;132:708-10.
16. Sugarbaker DJ, Jaklitsch MT, Bueno R, Richards W, Lukanich J, Mentzer SJ et al.
Prevention, early detection, and management of complication after 328 consecutive
pneumonectomies. J Thorac Cardiovasc Surg.2004;128:138-46.

15
17. Prasad BM, Bhattachryya, Luthra M, Mathur AD. Management of empyema thoracis
with pleura pigtail drainage and intrapleural thrombolytic therapy. Am J Respir Crit
Care Med.2009;179:44.
18. Chin Ko S,Yu Chen K, Hsueh PR, Luh KT, Yang PC.Fungal empyema thoracis: An
emerging clinical entity. Chest.2000;117:1672-8.
19. Bouros D, Schiza S, Tzanakis N, Chalkiadakis G, Drositis J, Siafakas N. Intrapleural
urokinase versus normal saline in the treatment of complicated parapneumonic
effusion and empyema. Am J Respir Crit Care Med.1999;159:37-42.
20. Simpson G, Roomes D, Heron M. Effect of streptokinase and deoxyribonuclease on
viscosity of human surgical and empyema pus. Chest.2000;117:1728-33.

Korektor

(dr. Siti Sholikhah)

16
.

17

Anda mungkin juga menyukai