Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA I

Senin, 27 Juni 2011

FISIOLOGI PARU PADA PENYAKIT HATI KRONIK

Desdiani Muchlis

Narasumber : Prof. Dr. Faisal Yunus, Ph.D, Sp.P (K)

Penanggungjawab : Dr. Budhi Antariksa, Ph.D, Sp.P (K)

PESERTA PPDS I PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

1
RUMAH SAKIT PERSAHABATAN
JAKARTA

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tugas
makalah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
saya.

Jakarta, 27 Juni 2011

(Desdiani)

2
PENDAHULUAN

Penyakit hati kronik merupakan masalah besar di dunia kedokteran. Sepertiga dari
populasi total penduduk dunia telah terinfeksi virus hepatitis B. Pasien yang terinfeksi virus
hepatitis B sebanyak lebih dari 350 juta orang sedangkan yang terinfeksi virus hepatitis C
sebanyak 170 juta orang. Sekitar 20% pasien dengan hepatitis virus dapat berkembang menjadi
sirosis hati dapat membutuhkan transplantasi hati. Pasien dengan penyakit hati kronik
mempunyai risiko menjadi hepatoma. Satu dari 10 penduduk Amerika menderita penyakit hati
setiap tahunnya.1 Penyakit hati kronik adalah proses penyakit hati yang melibatkan kerusakan
progresif dan regenerasi parenkim hati serta dapat berubah menjadi fibrosis dan sirosis.
Penyebab penyakit hati kronik sangat banyak seperti virus ( hepatitis B, C, sitomegalo dan
Epstein Barr), obat-obatan ( seperti amiodaron, metotreksat, nitrofurantoin), perlemakan hati,
hemokromatosis, penyakit Wilson, penyakit autoimun seperti hepatitis kronik autoimun, sirosis
bilier primer, kolangitis sklerosing primer dan gagal jantung kanan. Komplikasi penyakit hati
kronik adalah hipertensi portal (asites, hipersplenisme dan varises), hipoalbuminemia,
koagulopati, sindrom hepatopulmoner, sindroma hepatorenal, ensefalopati dan karsinoma
hepatoseluler.1,2

Penyakit tersebut ditandai dengan jari tabuh, spider nevi, scratch marks, ginekomastia,
feminishing hair distribution, atrofi testis, small irregular shrunken liver, anemia dan kaput
medusa. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui fungsi hati seperti serum protein, serum
albumin, globulin, SGOT, SGPT, ɣGT, alkali fosfatase , PT, APTT, hitung trombosit, foto
abdomen dan biopsi hati. Dekompensasi ditandai dengan drowsiness, hiperventilasi, metabolic
flap, ikterus, asites, leukonisia, udem perifer dan hematom. Derajat berat ringan penyakit hati
kronik dapat dinilai dengan metode skor Child-Pugh dan skor Model for End Stage liver Disease
(MELD). Faktor risiko penyakit hati kronik yaitu petugas medis yang terpajan cairan tubuh atau
darah yang sudah terinfeksi, penggunaan obat tertentu, peminum alkohol, obesitas, berganti
pasangan serta bekerja dengan zat kimia toksik tanpa pelindung diri. Pengobatan dapat dengan
obat, operasi atau transplantasi.2 Identifikasi dan diagnosis kelainan fungsi paru pada penyakit
hati kronik dapat dilakukan dengan mengetahui perubahan fisiologis pernafasan pada penyakit

3
hati kronik. Kelainan fungsi paru disebabkan oleh kerusakan mekanika paru dan sistem ventilasi-
perfusi yang terjadi pada 15%-45% pasien penyakit hati kronik.3 (Hepatopulmonary..

FUNGSI PARU

Paru adalah organ yang berfungsi dalam pertukaran gas. Fungsi utamanya adalah
memasukan oksigen (O2) dari udara ke dalam darah vena dan mengeluarkan karbondioksida
(CO2). Selain itu paru menyaring benda tosik dari sirkulasi dan metabolisme beberapa senyawa.
Perpindahan oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah terjadi secara difusi sederhana,
dari tekanan parsial yang tinggi ke tekanan rendah. Udara dapat sampai ke alveoli melalui sawar
udara-darah dan masuk ke dalam darah melalui proses ventilasi, difusi dan perfusi. Bila salah
satu dari ketiga proses tersebut diatas mengalami gangguan maka fungsi paru akan terganggu.
Ventilasi adalah proses masuknya udara yang mengandung O2 ke dalam paru dan
keluarnya CO2 dari alveoli keluar paru. Volume ekshalasi setiap bernafas adalah 500 ml dan
terdapat 15x bernafas setiap menitnya. Volume total atau volume semenit adalah jumlah udara
yang masuk ke saluran nafas dalam 1 menit (7500 ml/m). Tidak semua udara yang melewati
mulut mencapai alveolar tempat terjadinya pertukaran udara. Sebanyak 150 ml dari 500 ml yang
diinhalasi tetap teringgal di ruang rugi anatomi atau zona konduksi, yaitu saluran nafas mulai
dari trakea sampai bronkiolus terminalis. Volume udara segar yang masuk zona respirasi
(bronkiolus respiratorius sampai alveoli) dan ikut pertukaran gas setiap menitnya adalah ( 500-
150 ) x 15 atau 5250 ml/m yang disebut sebagai ventilasi alveolar.4. (JB West)
Kapasitas ventilasi dapat diukur dengan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1),
yaitu volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik dengan ekspirasi paksa setelah inspirasi
penuh dan kapasitas vital (KV) yaitu volume udara total yang dikeluarkan setelah inspirasi
penuh. Kapasitas Vital Paksa adalah volume udara total yang dapat diekspirasi maksimal secara
paksa setelah inspirasi maksimal. Pengukuran VEP1, KV dan KVP dilakukan dengan spirometri.
Nilai nomal Kapasitas Vital Paksa sebesar 5 liter dan VEP 1 sebesar 4.0 liter, sedangkan rasio
VEP1/KVP sekitar 80% dan akan menurun sesuai pertambahan usia. Gangguan ventilasi terdiri
gangguan obstruksi dan restriksi. Pada gangguan obstruksi aliran udara yang keluar lebih lambat
sehingga KVP menurun menjadi 3.1 liter dan VEP1 sebesar 1.3 liter, sehingga rasio VEP1/KVP
akan turun menjadi 42%. Pada gangguan restriksi, rasio VEP1/KVP yang diukur sebesar 90%.5

4
(West Patofis)..Pola kurva pada keadaan normal, obstruksi dan restriksi bisa dilihat pada gambar
1 dibawah ini.

Normal Obstruksi Restriksi

VEP1
VEP1 KVP
1 liter

VEP1 KVP
KVP

1 dtk 1 dtk
1 dtk

VEP1 VEP1 VEP1


KVP KVP KVP

Gambar 1. Pola normal, obstruksi dan restriksi pada ekspirasi paksa yang diukur
dengan spirometer

Dikutip dari (5)

Difusi merupakan proses pertukaran O2 dengan CO2 dari alveoli ke darah dan sebaliknya
akibat perbedaan tekanan parsial yang melewati lapisan membran alveolar-kapiler diantara
kapiler jaringan dan mitokondria. Paru manusia mengandung sekitar 500 juta alveolus dengan
diameter sekitar 0,3 mm. Diantara alveolus-alveolus yang berdekatan terdapat 2 lapis epitel
alveolar yang masing-masing berada diatas membran basal dan melapisi ruang interstitial. Proses
difusi melewati lapisan dinding alveoli, jaringan interstisial, endotel kapiler, plasma, membran
sel darah merah dan sitoplasma eritrosit. Proses difusi terganggu bila ada kelainan pada salah
satu lapisan tersebut diatas.4,6 (JB west dan glance)
Kapasitas difusi didapatkan dengan mengukur kapasitas difusi karbon monoksida (CO).
CO konsentrasi rendah yang dihirup bercampur secara cepat dengan hemoglobin sehingga PCO
kapiler paru hanya sedikit meningkat. Perbedaan tekanan yang menimbulkan difusi
dipertahankan sepanjang kapiler dan ambilan CO tidak akan bertambah dengan meningkatnya
perfusi.6 (Glance) Pengukuran dilakukan dengan cara single breath. Pasien menghirup gas CO
kadar rendah sebesar 0.3% dan helium 10% kemudian pasien menahan nafas selama 10 detik
dan setelah itu dikeluarkan. Ekspirasi maksimal dilakukan untuk menghilangkan pengaruh ruang

5
rugi anatomi kemudian sampel gas dikumpulkan untuk memperkirakan fraksi helium dan CO
alveolar.7 (Fishman) Helium dimasukkan sebagai suatu ukuran dilusi oleh gas alveolar. Ambilan
CO dan PCO alveolar rata-rata dapat dihitung dengan gas yang diekshalasi.

DLCO = Ambilan karbon monoksida dari paru (VCO)


PACO

Nilai normal berkisar 15-30 ml/menit/mmHg.6 (Glance)

Perfusi adalah suatu proses masuknya sejumlah darah dalam volume tertentu yang
mengalir ke unit alveoli di dalam paru. Pada keadaan basal ventilasi alveolar dan dan aliran
darah paru besarnya sekitar 5 L/ menit. Nilai ventilasi alveolar (VA) dan perfusi (Q) bisa
bervariasi besarnya pada bagian paru yang berbeda. Bagian paru dengan perfusi tinggi
memerlukan ventilasi tinggi sehingga rasio ideal ventilasi-perfusi (VA /Q) harus mendekati 1.
Ventilasi perfusi akan berbeda bila rasio VA /Q bervariasi seperti pada pirau kanan ke kiri akibat
kolaps atau konsolidasi sehingga V/Q = 0. Perfusi tidak terjadi pada emboli paru, sehingga rasio
VA /Q tak terhingga .5 Pengaruh perubahan rasio ventilasi-perfusi PO2 dan PCO2 dalam unit paru
dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini.

6
Menurun Meningkat

Gambar 2. Pengaruh perubahan rasio ventilasi – perfusi PO2 dan


PCO2 dalam unit paru

(Dikutip dari 4)

PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA PENYAKIT HATI KRONIK

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia yang langsung terletak di bawah
diafragma di regio hipokondrium kanan dan epigastrium dan melebar ke hipokondrium kiri.
Beratnya sekitar 1200 – 1600 gram. Hati terdiri dari lobus kanan dan lobus kiri yang pada orang
normal tidak dapat dipalpasi. Hati dibungkus simpai tebal yang mengandung serabut kolagen
dan jaringan elastis. Massa hati seperti spons yang mengandung sistem pembuluh kapiler dan
disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid terdiri dari sel-sel fagosit/ sel Kupfer. Parenkim hati tersusun
dari lobulus-lobulus. Vena sentralis terletak ditengah parenkim paru yang merupakan cabang
vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar). Bagian tepi hati terdapat
Traktus portalis terdapat pada bagian tepi hati yang mengandung cabang-cabang vena porta,
arteri hepatika dan saluran empedu yang menyalurkan isinya langsung ke dalam sinusoid. Sistem
empedu terletak di antara sel hati. Hati merupakan pusat metabolisme seluruh tubuh yaitu
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, vitamin, pembekuan darah, detoksikasi, proses
fagositosis, imunitas dan hemodinamik.8 Bentuk anatomi hati yang normal dapat dilihat pada
gambar 3 dibawah ini.

7
Gambar 3. Bentuk anatomi hati yang normal

(Dikutip dari 8)

Penyakit hati kronik menyebabkan kemunduran fungsi hati yang akan menetap dan
ditandai dengan perubahan histopatologi. Perubahan histopatologi terjadi pada mikrosirkulasi,
anatomi seluruh pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hati akan menjadi tidak
teratur. Regenerasi mikronoduler (< 3 mm) atau makronoduler (> 3 mm) disertai penambahan
fibrosis terjadi disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Kelainan histopatologi
tersebut menyebabkan peningkatan tekanan pembuluh darah sistem vena porta. Akibat
peningkatan tekanan vena porta menyebabkan varises esofagus dan jika pecah akan
menimbulkan hematemesis.8 (natter..

FISIOLOGI PARU PADA PENYAKIT HATI KRONIK

Perubahan fisiologi pada penyakit hati kronik dapat mempengaruhi fungsi paru. Vanamee
dkk menemukan alkalosis respiratorik pada penyakit hati kronik. Rydell dan Hoffbauer
menemukan hipoksemia karena pirau arteri-vena intrapulmoner. Stanley dkk juga menemukan
gangguan pertukaran gas pada 20% dari 170 pasien dengan penyakit hati kronik.9 ( Gambar
Mottled chest...). Arthur dan kawan-kawan tahun 1965 mengungkapkan korelasi yang kuat

8
antara peningkatan SGOT dan SGPT terhadap keparahan hipoksemia arteri pada insufisiensi
paru yang berat.10 ( Liver function...).

Gambaran foto toraks kelainan fungsi paru dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5. (a). Terdapat bayangan mokular kasar pada zona bawah paru kanan. Bayangan vaskular hilus melebar
dan tampak gambaran vaskular perifer yang meningkat. (b) gambaran zona bawah paru kanan yang telah diperbesar.

(Dikutip dari 9)

Jenis kelainan fungsi paru yang ditemukan pada penyakit hati kronik dapat dilihat pada tabel 1
dibawah ini.

9
Tabel 1. Kelainan fungsi paru yang berhubungan dengan
penyakit hati kronik

Penyakit paru Manifestasi patologi


Penyakit yang mempengaruhi paru dan hati
Fibrosis kistik Kelainan obstruksi
Alfa 1-antitripsin Kelainan obstruksi
Sarkoidosis Kelainan restriksi

Sirosis
Efek mekanik asites dan efusi Volume rongga torak menurun
pleura Kapasitas difusi menurun
Kelainan restriksi
Sindrom Hepatopulmoner Dilatasi vaskular pulmoner
Ketidakimbangan VA/Q
Penurunan Kapasitas Difusi CO
Pergeseran kurva disosiasi
oksihemoglobin
Anastomosis portopulmoner

Keracunan Obat
Kolangitis sklerosing primer Bronkiektasis

(Dikutip dari 3)

Pasien dengan penyakit hati kronik sering mengeluh sesak nafas dan oksigenasi arteri
sering terganggu oleh orthodeoxia (sianosis dan hipoksemia). Penyebab fungsi paru yang
abnormal bervariasi dan berhubungan dengan gangguan fungsi jantung, merokok dan PPOK.
Fungsi paru dan proses oksigenasi bisa dipengaruhi oleh edema dan asites masif yang akan
membaik sesudah pemberian diuretik dan parasintesis. Gangguan ventilasi perfusi dan
hipoksemia ditemukan pada 30-70% pasien dengan penyakit hati kronik yang tergantung pada
derajat keparahannya. Patofisiologi lain menyebutkan berkurangnya kapasitas difusi, rasio
abnormal ventilasi perfusi, pirau vena-arteri dan perubahan pada membran arteri-alveolar. 11
(Cardiopulmonary complication...). Penyakit hati kronik dapat menyebabkan manifestasi
pulmoner karena gangguan pada produksi atau pembersihan dari sirkulasi sitokin dan mediator-
mediator yang lain.12 (The Complex interrelationship...). Oksigenasi darah dan fungsi paru yang
tergantung pada membran arteri-alveolar, derajat pirau arteri-vena pulmoner, dan derajat
ketidakimbangan ventilasi-perfusi dapat dilihat pada gambar 6 dibawah ini.

10
Gambar 6. Oksigenasi darah dan fungsi paru bergantung pada membran arteri-alveolar, derajat pirau arteri-vena
pulmoner, dan derajat ketidak imbangan ventilasi-perfusi.

(Dikutip dari 11)

Kondisi yang berkaitan dengan penyakit hati kronik dan dapat mempengaruhi fungsi paru
adalah:

1. Sirosis hati

Abnormalitas fungsi paru yang sering terjadi pada pasien penyakit hati tahap
lanjut adalah berkurangnya kapasitas difusi, defek ventilasi restriksi dan obstruksi. Asites
masif dapat mengurangi keteragangan paru, meningkatkan tekanan intrapleura dan
mengurangi pergerakan diafragma. Gangguan tersebut dapat menghambat kapasitas
ventilasi, mengurangi efisiensi pertukaran gas dan meningkatkan nilai A-aDO 2 dengan
atau tanpa hipoksemia.13 ( Murray ) Hipoksemia disebabkan pelebaran pembuluh darah
dan edema interstitial. Rasio abnormal ventilasi perfusi pada beberapa bagian paru dapat
menyebabkan hipoksemia. Penurunan ventilasi dapat berhubungan dengan efek
merokok, defisiensi alfa 1 anttitripsin dan penyakit sirosis bilier primer. 14 (Michel J
Krowka...). Huo dkk mengungkapkan bahwa pengukuran kapasitas difusi dapat
digunakan untuk mendeteksi abnormalitas pembuluh darah paru dan penggunaan skor
MELD lebih baik dibandingkan skor Child Pugh dalam menilai kerusakan pembuluh

11
darah intrapulmoner pada penyakit hati kronik. Chang dkk mengatakan bahwa kapasitas
difusi akan lebih tinggi pada pasien asites yang diperiksa pada posisi duduk dibandingkan
posisi tidur bahkan kapasitas difusi dan volume paru akan meningkat setelah dilakukan
parasintesis.15 ( Chang..). Chao dkk juga mengungkapkan bahwa peningkatan kapasitas
difusi sangat berhubungan dengan volume paru dan jumlah cairan asites yang
dikeluarkan. Berkowitz dkk menjelaskan bahwa volume paru dan volume cadangan
ekspirasi rata-rata akan meningkat serta berhubungan dengan peningkatan kapasitas vital,
kapasitas residu fungsional dan kapasitas paru total setelah dilakukan parasintesis dalam
jumlah besar.16 Kadar hormon progesteron dan estradiol berhubungan dengan
hiperventilasi akibat dilatasi pembuluh darah paru pada sirosis hati, seperti yang
diungkapkan oleh Aller dan kawan-kawan.17

Gambar 7. Patogenesis sindrom hepatopulmoner

(Dikutip dari 3)

Efusi pleura kanan terjadi pada 5-10% pasien sirosis hati akibat defek kecil
diafragma dan perbedaan tekanan antara perut dengan ruang pleura sehingga cairan
abdomen akan bergerak ke pleura. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi paru yang
ditandai dengan penurunan volume paru, keteregangan paru, hipoksemia sedang serta
peningkatan A-aDO2/A-aPO2 yang disebabkan oleh pirau kanan-kiri.
Penatalaksanaannya sulit karena tidakan torasentesis dan pirau portosistemik intrahepatik
transjugular hanya bersifat sementara. Perbaikan defek diafragma dan pleurodesis dapat

12
dipertimbangkan.13 ( Murray....) Derajat keparahan sirosis hati dapat dihitung dengan
menggunakan skor Child Pugh yang dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Klasifikasi sirosis hati menurut skor Chid Pugh


Skor/paramete 1 2 3
r
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time > 70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Asites 0 Min s/d sedang Banyak (+++)
(+) – (++)
Ensefalopati Tidak ada Stadium 1 & 2 Stdium 3 & 4
hepatik

(Dikutip dari 8)

2. Sindrom Hepatopulmoner (HPS)

Adalah gangguan oksigenasi arteri yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah
intrapulmoner dan berhubungan dengan penyakit hati kronik terutama sirosis hati.
Kelainan ini sering terjadi pada usia pertengahan dan 20% pasien dengan penyakit hati
kronik. Terdapat 3 gejala klinis pada sindrom hepatopulmoner yaitu penyakit hati kronik,
defek oksigenasi arteri/hipoksemia berat dan dilatasi pembuluh darah intrapulmoner yang
luas. Peningkatan nitrit oksida (NO) endogen menyebabkan dilatasi pembuluh darah
intrapulmoner. Ekshalasi NO meningkat pada pasien penyakit hati kronik yang mendapat
transplantasi hati. Peningkatan produksi NO endogen dan hubungannya dengan hipertensi
portal, sirkulasi hiperdinamik dan derajat sirosis hati masih belum pasti. Pada penelitian
Chronic Bile Duct Ligation (CBDL) mengungkapkan endotelin-1 dapat memicu
peningkatan eNOS (endothelial nitric oxide synthase) dan vasodilatasi setelah CBDL.
Terapi dengan norfloxacin dapat diberikan untuk menurunkan akumulasi makrofag dan
iNOS (inducible nitric oxide synthase) namun tidak dapat menurunkan eNOS. 18 (Pulmonary
Hepatic..
(Rodriguez...) Endotelin 1 dan TNF α terlibat dalam modulasi tonus pembuluh

13
darah mikrovaskular pulmoner yang menjadi faktor kontribusi terjadinya sindrom
hepatopulmoner termasuk angiogenesis, remodeling vaskular, pirau arteri-vena pulmoner
dan anastomosis vena portopulmoner.18

Gangguan oksigenasi disebabkan ketidakimbangan V/Q yang ditandai dengan


peningkatan aliran darah dan ventilasi alveolar yang tetap. PA-aO2 ≥ 15 atau 20 mmHg
adalah indeks yang paling sensitif pada stadium awal sindrom hepatopulmoner. Kapasitas
difusi karbon monoksida (CO) berkurang karena permukaan kapiler-alveolar terlalu lebar
untuk mengikuti keseimbangan ikatan CO dengan hemoglobin. Pasien dengan sindrom
hepatopulmoner dapat terjadi sesak, sianosis dan hipoksemia (orthodeoxia) yang
memburuk pada posisi tegak. Penilaian tekanan gas darah arteri pada saat normal dan
posisi duduk menunjukkan derajat keparahan penyakit.12

Pemeriksaan ekokardiografi dengan kontras dapat mendeteksi dilatasi pembuluh


darah pulmoner dan merupakan baku emas untuk mendeteksi sindrom hepatopulmoner.
Pada pemeriksaan tersebut akan tampak gambaran gelembung kecil yang terperangkap
dan masuk ke alveoli. Pemeriksan lain yaitu menggunakan perfusion lung scanning
dengan Technetium-99-labelled albumin macroaggregates. Macroaggregates yang
berdiameter > 20 mikrometer akan terperangkap dalam sirkulasi pulmoner. Dilatasi
pembuluh darah intrapulmoner atau pirau kanan-kiri akan terlihat dengan bantuan zat
kontras. Pemberian terapi oksigen jangka panjang dilakukan pada hipoksemia berat
ditambah dengan obat beta bloker, inhibitor siklooksigenase, kortikosteroid sistemik,
siklofosfamid, inhibitor nitrit oksida, vasokonstriktor pulmoner dan antibiotik pernah
dilaporkan dapat mengatasi dilatasi pembuluh darah pulmoner dan perbaikan oksigenasi.
Tindakan transplantasi hati dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hipoksemia berat
dan refrakter karena dapat memberikan perbaikan > 80%.12 Derajat keparahan sindrom
hepatopulmoner (The complex inter.... Derajat keparahan sindrom hepatopulmoner
dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

14
Tabel 3. Derajat keparahan sindrom hepatopulmoner`

Stadium PA-a O2 mmHg Pa O2 mmHg


Ringan ≥ 15 ≥ 80
Sedang ≥ 15 <80 - ≥60
Berat ≥ 15 <60 - ≥ 50
Sangat Berat ≥ 15 < 50 (<300 pada O2 100%)

(Dikutip dari )

Pirau arteri-vena pada sindrom hepatopulmoner dapat dilihat pada gambar 8 dibawah ini.

Gambar 8. Pirau arteri-vena pada sindrom hepatopulmoner

(Dikutip dari)

3. Hipertensi Portopulmoner

Hipertensi portopulmoner merupakan hipertensi arteri pulmoner yang


berhubungan dengan hipertensi portal ditandai dengan peningkatan tekanan arteri pulmoner
>25 mmHg pada saat istirahat dan >30 mmHg selama latihan. Selain itu akan ditemukan
peningkatan tahanan pembuluh darah pulmoner >240 dyne/s/cm-5 dan tekanan oklusi arteri
pulmoner <15 mmHg yang dapat dinilai dengan kateterisasi jantung kanan. Hipertensi

15
portopulmoner terbagi menjadi ringan (tekanan arteri pulmoner rata-rata antara 25-35
mmHg), sedang (≥35-45 mmHg) dan berat (≥45 mmHg). Prevalensi hipertensi
portopulmoner pada pasien dengan penyakit hati bervariasi. Hipertensi portopulmoner
terjadi akibat peningkatan tahanan vaskular akibat vasokonstriksi dan remodeling pembuluh
darah pulmoner. Kelebihan volume splanknik dan kongesti dinding saluran cerna
memberikan kontribusi dengan pelepasan sitokin dan endotoksin. Proliferasi sel endotel
arteri pulmoner dan sel otot polos dapat menimbulkan trombosis dan arteriopati. Jenis
kelamin perempuan, variasi genetik dalam sinyal estrogen dan regulator sel pertumbuhan
berhubungan dengan faktor risiko hipertensi portopulmoner. Keluhan yang sering ditemukan
pasien hipertensi pulmoner adalah sesak saat istirahat dan latihan, lelah, nyeri dada dan
pingsan. Dari pemeriksaan fisis didapatkan distensi vena juguler, bunyi jantung 2, bising
regurgitasi trikuspid. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah EKG, foto toraks,
ekokardiografi dan kateterisasi jantung kanan untuk menyingkirkan penyakit lain. Terapi
yang dapat diberikan adalah prostanoid, antagonis reseptor endotelin dan inhibitor
fosfodiesterase 5. Transplantasi hati dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik
stabil.12 Derajat keparahan hipertensi portopulmoner dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5. Derajat keparahan hipertensi portopulmoner

Stadium Karakteristik
Ringan (awal) Ppa > 25 - < 35mmHg
Sedang Ppa ≥ 35 - < 45mmHg
Berat Ppa ≥ 45

(Dikutip dari )

4. Sirosis Bilier Primer

Sirosis bilier primer adalah penyakit hati kolestatik kronik yang ditandai dengan
inflamasi portal dan kerusakan sistem imun saluran empedu intrahepatik. Penyakit ini
sering terjadi pada perempuan usia pertengahan dengan serum antimitokondria yang
positif ( titer ≥1/40). Pneumonia interstitial limfositik, usual interstitial pneumonia,
organizing pneumonia, sarcoid-like granulomas, sindrom hepatopulmoner dan

16
perdarahan pulmoner dapat menimbulkan kerusakan hati pada sirosis bilier primer.
Beberapa kelainan respirasi yang bisa dihubungkan dengan sirosis bilier primer antara
lain penyakit paru interstitial yang ditandai dengan peningkatan limfosit CD4 pada cairan
bronkoalveolar. Kelainan fungsi paru yang terjadi adalah penurunan kapasitas difusi
dengan atau tanpa kelainan ventilasi.12,13

5. Terapi Antivirus yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru

Pemberian interferon pada pasien dengan penyakit hati kronik dapat


menimbulkan gangguan pernafasan berupa gejala batuk kering, sesak dan ronki basah
kasar. Gambaran foto toraks tampak infiltrat bilateral dan ground glass attenuation.
Mekanisme terjadinya gejala tersebut masih belum jelas, dapat disebabkan oleh molekul
imunomodulator. Pengobatan interferon diduga dapat memberikan efek samping berupa
gangguan fungsi paru. Gejala gangguan pernafasan akibat penggunaan interferon dapat
terjadi setelah pengobatan selama 12 minggu.12 ( the complex interrelationship....

9. Virus hepatitis C yang berhubungan dengan penyakit paru

Virus hepatitis C sering menyebabkan penyakit hati kronik dan merupakan faktor
risiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma. Infeksi virus ini menimbulkan manifestasi
ekstra hepatik berupa penyakit paru restriksi dan obstruksi. Patogenesis penyakit ini
masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Virus hepatitis C dapat menyebabkan fibrosis hati
dan kelainan paru akibat induksi reaksi inflamasi dan aktivasi imunologi. Kelainan fungsi
paru yang terjadi adalah penurunan kapasitas difusi karbon monoksida. Efek langsung
virus hepatitis C pada paru akan memperburuk fungsi paru pada pasien yang menderita
asma/PPOK. Infeksi adenovirus laten pada PPOK dapat menyebabkan peningkatan
ekspresi protein EA1 adenovirus dalam sel epitelial alveolar. Pada kondisi berat
ditemukan peningkatan neutrofil, makrofag, limfosit CD4, dan CD8.12,19 Mekanisme
potensial virus hepatitis C yang berhubungan dengan penyakit paru dapat dilihat pada
gambar 9 dibawah ini.

17
Gambar 9. Mekanisme potensial virus hepatitis C yang berhubungan dengan penyakit paru
MCP = monocyte chemoattractant protein; NF = nuclear factor

(Dikutip dari 19)

Gangguan fungsi paru akibat komplikasi penyakit hati kronik disebabkan sirkulasi
mediator inflamasi yang melibatkan faktor mekanik dan faktor predisposisi. Derajat
keparahan kelainan paru berbanding lurus dengan kelainan pada hati. Presentasi individu
yang menderita kelainan paru akibat kelainan hati tidak diketahui secara pasti karena
pasien dengan penyakit hati sering tidak disertai dengan pemeriksaan fungsi paru.12

18
KESIMPULAN

1. Penyakit hati kronik menyebabkan penurunan fungsi hati yang menetap dan perubahan
histopatologi yang penyebabnya bervariasi.

2. Kelainan fungsi paru pada penyakit hati kronik berupa kelainan obstruksi, retriksi, pirau
intrapulmoner, penurunan volume rongga dada, penurunan kapasitas difusi, penurunan
kapasitas ventilasi, dilatasi pembuluh darah pulmoner, ketidakimbangan rasio ventilasi
perfusi, hipoksemia, alkalosis respiratorik, gangguan pertukaran gas dan perubahan
membran arteri alveolar.

3. Gangguan fungsi paru pada penyakit hati kronik adalah berkurangnya kapasitas difusi,
defek ventilasi, restriksi dan obstruksi.

4. Kelainan fungsi paru pada sindrom hepatopulmoner adalah penurunan kapasitas difusi
karbon monoksida dan ketidakimbangan rasio ventilasi-perfusi yang menyebabkan
gangguan oksigenasi/ hipoksemia.

5. Hipertensi portal yang menyebabkan sindrom portopulmoner akan menyebabkan


peningkatan tekanan arteri pulmoner, tahanan pembuluh darah pulmoner dan tekanan
oklusi arteri pulmoner.

6. Penurunan kapasitas difusi dengan atau tanpa kelainan ventilasi dapat ditemukan pada
sirosis bilier primer.

7. Terapi dengan menggunakan interferon untuk pasien penyakit hati kronik dapat
menimbulkan gangguan pernafasan.

8. Kelainan obstruksi dan restriksi sering ditemukan pada pasien hepatitis virus C yang
disertai penurunan kapasitas difusi karbon monoksida.

19
DAFTAR PUSTAKA

20
1. Normal lung function from childhood to old age. In: Coles JE, Chinn DJ, Miller MR,
editors. Lu ng function physiology, measurement and application in medicine.
Massachusetts: Blackwell Publishing, Inc; 2006. p. 317-32.
2. Yunus F. Sistem pernapasan dan fungsi paru, In: PDPI cabang Jakarta, editor. Workshop
on respiratory physiology and its clinical application; 1997 June 28-29; Jakarta,
Indonesia.
3. Structure & lung function in West JB, editor. Respiratory physiology the essential 7 th
edition. Baltimore : Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p 1-11.
4. Ventilation and gas exchange. In Jefferies A, Turley A. Mosby’s crash course respiratory
system. London: Mosby; 1999. p.31-58.
5. Ventilation, In: West JB, editor. Pulmonary pathophysiology the essential 7 th edition.
Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 3-16
6. Struktur dan fungsi. In: Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM, editors. The
respiratory system at a glance [Hartanto H, trans]. 2nd edition, Edisi Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. p. 10-43.
7. Pregnancy, neonates and children. In: Lumb AB, editor. Nunn’s applied respiratory
physiology. 6th edition. Philadelphia: Elsevier; 2005. p. 229-38.
8. Rosembluth DB, Popovich J. The lungs in pregnancy. In: Fishman AP, Elias JA, Senior
RM, Fishman JA, Pack AI, Grippi MA, editors. Fishman’s pulmonary disease and
disorder. 4th edition. New York: McGrawhill; 2008. p. 253-61.
9. McCormack MC, Wise RA. Respiratory physiology in pregnancy. In: Bourjeily G,
Rosene-Montella K, editors. Pulmonary problems in pregnancy. New York: Human
Press; 2009. p. 19-23.
10. Rizk NW, Lapinsky SE. The lungs in obstetric and gynecologic disease. In: Mason RJ,
Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Murray and Nadel’s textbook of respiratory
medicine. 4th edition. Philadelphia: Elsevier ; 2005. p. 2264-75.
11. Clift J. Maternal physiology and obstetrics. In: Clift J, Heazell A, editors. Obstetrics for
anaesthetist. Cambridge University Press; 2008. p. 1-6.
12. Weerasekara DS, Ruberu DK, Sivayogan S. Pulmonary function in pregnant Sri Lankan
women.Sabaragamuwa University Journal. 1999;2:57-60.
13. Gee JBL, Packer BS, Millen E, Robin ED. Pulmonary mechanics during pregnancy.
Journal of Clinic Investigation. 1967;46:945-51.
14. Mhuireachtaigh RN, O’Gorman DA. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric
surgery. Journal of Clinical Anesthesia. 2006;18:60-66.
15. Kolarzyk E, Szot WM, Lyszczarz J. Lung function and breathing regulation parameters
during pregnancy. Arc Gynecol Obstet. 2005;272:53-58.
16. Bedell GN, Adams RW. Pulmonary diffusing capacity during rest and exercise. A study of
normal persons and persosn with atrial septal defect, preganancy and pulmonary disease.
Journal of Clinical Investigation. 1962;41:1908-15.
17. Gazioglu K, Kaltreider NL, Rosen M, Yu NP. Pulmonary function during preganancy in
normal women and in patients with cardiopulmonary disease. Thorax.1970;25:445-50.
18. Natural factors affecting blood gases. In: Shapiro BA, Peruzzi WT, Kozelowski-Templin
R, editors. Clinical application of blood gases. 5 th edition. St Louis: Mosby; 1994. p. 214-
25.
19. Prowse CM, Gaensler EA. Maternal physiology. Anesthesiology.1965;26:381-90.

21
20. Peuter SD et al. Dyspnea: The role of physiological processes. Clinical Physiology
Review. 2004;24:557-581
21. Garcia-Rio F et al. Regulation of breathing and perception of dyspnea in healthy pregnant
women. Chest. 1996;110: 446-53.
22. Choi HS et al. The Korean Journal of Internal Medicine. 2001;16:247-9.
23. Sharma S, Franco R. Sleep and its disorders in pregnancy. Wisconsin
Medical Journal. 2004:103:48-51.
24. Santiago JR, Nolledo MS, Kinzler W, Santiago TV. Sleep and sleep disorder in
pregnancy. Ann Intern Med. 2001;134:396-408.
25. Venkata C, Ventakeshiah SB. Sleep-disordered breathing during preganancy. J Am Board
fam Med. 2009;22:158-68.
26. Maasilta P, Bachaour A, Teramo K, Polo O, Laitinen LA. Sleep-related disordered
breathing during pregnancy in obese women. Chest. 2001;120:1448-54.

Korektor

(dr. Windi)

22

Anda mungkin juga menyukai