Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. J
Tanggal lahir : 06 Juni 1957
Umur : 61 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Ds. Lala
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 21-10-2018
Nomor RM : 065799
Tanggal Pemeriksaan : 22-10-2018
Ruangan : Interna

II. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
- BAB berwarna kehitaman
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Namlea dengan keluhan buang air besar
berwarna kehitaman seperti aspal dengan konsistensi lunak, 3-5x/hari kurang
lebih sebanyak 1 gelas aqua, dirasakan sejak 1 minggu yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Pasien juga merasakan nyeri pada ulu hati seperti ditusuk
jarum dan tidak berkurang setelah makan, disertai rasa pusing berputar, mual
dan muntah 1x bewarna kehitaman yang bercampur dengan makanan seperti
kopi sebanyak kira-kira 20cc pada hari rabu (29/08/18). Diketahui pasien
memiliki riwayat penyakit dispepsia sejak usia 40 tahun dan memiliki
kebiasaan mengkonsumsi obat sakit kepala oskadon dan bodrex yang dibeli
diwarung sejak 5 tahun yang lalu hingga sekarang. 1 bulan terakhir pasien
mengatakan hampir tiap hari rutin mengkonsumsi jamu untuk mengurangi rasa

1
pegel linu. Pada tahun 2016 pasien pernah masuk rumah sakit dan dirawat
selama 7 hari di RSUD Namlea dengan keluhan yang sama yaitu bab
berwarna kehitaman disertai muntah berwarna kehitaman dan nyeri pada ulu
hati. Pasien mengatakan , tidak ada keluhan sulit untuk menelan, tidak ada
rasa panas seperti rasa terbakar didada, tidak ada penurunan berat badan, tidak
pernah sakit kuning, tidak ada kencing bewarna seperti teh, tidak merrasa
sesak dan batuk, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada kelemahan atau
kelumpuhan yang dialami, tidak ada nyeri pada tulang, tidak pernah minum
obat-obatan untuk mengencerkan darah.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien pernah sakit seperti ini 2 tahun yang lalu (2016).
- Riwayat Dyspepsia (+) sejak usia 40 th
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit kuning disangkal
- Riwayat stroke disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi (+)
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Keluarga pasien tidak pernah sakit seperti ini
- Riwayat penyakit diabetes disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
e. Riwayat Pengobatan
- Minum obat dari dokter untuk keluhan nyeri ulu hati (Tidak dibawa)
- Riwayat Transfusi Darah tahun 2016.
f. Riwayat Kebiasaan
- Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi jamu dan obat-obatan seperti asam
mefenamat dan bodrex.
- Minum-minuman beralkohol.
- Tidak merokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK

2
A. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang, Lemah Berat Badan : 70kg
B. Kesadaran : Komposmentis
GCS : E4V5M6
C. Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 106 x/menit/Reguler/Lemah
Suhu : 36,6 0C
Respiratory Rate : 19 x/ menit
Saturasi Oksigen : 96

D. Status Generalis
Kepala dan Leher
 Kulit : Sawo matang, suhu raba hangat, hiperpigmentasi (-), ptechie
(-), pucat (+), ikterik (-)
 Kepala : Normocephal , rambut berwarna kehitaman, uban (+), mudah
rontok (-), luka/bekas luka (-), benjolan (-)
 Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil bulat
isokhor, refleks cahaya (+/+),
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), edem mukosa
(-/-)
 Telinga : Normotia (+/+), membrane timpani intak, sekret (-/-),
perdarahan (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
 Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), sariawan (-), mukosa mulat
pucat (+)
 Lidah : Papil Tidak Atrofi, glositis (-)
 Leher : Trakea di tengah, peningkatan JVP (-), tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening, nyeri menelan (-), kesulitan menelan (-)

Thoraks
Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : iktus kordis tidak teraba, thrill (-), heave(-)
 Perkusi :

3
- Batas kanan jantung 2 cm di sebelah lateral sternum pada ICS IV kanan
- Batas kiri jantung 4 cm di sebelah lateral sternum pada ICS V kiri
- Kesan : Batas jantung tidak melebar
 Auskultasi:
Suara 1: tunggal regular
Suara 2: tunggal regular
Murmur (-), Gallop (-)
Paru
 Inspeksi: simetris kanan kiri, tidak ada pelebaran ICS
 Palpasi: gerakan nafas simetris, fremitus vokal tidak ada lateralisasi
 Perkusi: sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

E. Abdomen
 Inspeksi: Bentuk simetris, cembung (-), spider angioma (-), caput medusa (-)
 Auskultasi: bising usus (+) meningkat.
 Perkusi: timpani (+), asites (-), shifting dullness (-), undulasi (-)
 Palpasi: Supel, nyeri tekan epigastrium (+) , nyeri tekan hipocondriac kanan (-),
nyeri tekan hipocondriac kiri (-), distended (-), meteorismus (-). Hepar dan lien
tidak teraba.

F. Ektremitas
Superior:
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/-
Jejas -/-
Clubbing finger -/-
Koilonychia -/-
Eritema palmaris -/-
Icterus pada telapak tangan -/-
Pemeriksaan Motorik: Stage 5

Inferior:

4
Akral hangat kering merah +/+
Edema -/-
Jejas -/-
Clubbing finger (-)
Koilonychia -/-
Pemeriksaan Motorik: Stage 5

IV. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


21-10-2019
Darah Rutin
RBC : 1.8 juta sel/mm3
HGB : 4.9 gr/dL
HCT : 16%
PLT : 374/UI
MCV : 87.9 fl
MCHC : 30.6 gr/dL
Golda : O, Rhesus 

GDS : 143 mg/dL

Skrening

HbsAg :
- Non Reaktif

AntiHIV :
- Non Reaktif

22-10-2018
Darah Kimia

5
Hasil Pemeriksaan USG Abdomen

- Hepar : ukuran tidak membesar, parenkim halus, homogen, tanpa masa

- Ginjal Bilateral, spleen : tidak tampak kelainan

- Pankreas dan Vesika Urinaria : sulit dinilai

kesan : Dalam batas normal

V. RESUME
Anamnesis :
- BAB bewarna kehitaman dengan konsistensi lunak 3-5x/hari kurang lebih
sebanyak 1 gelas belimbing.
- Nyeri pada ulu hati seperti ditusuk jarum
- Pusing
- Mual
- Muntah 1x bewarna kehitaman seperti kopi bercampur dengan makanan
kurang lebih 20 cc
- Riwayat dispepsia sejak usia 40 th
- Memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat oskadon dan bodrex serta jamu-jamu.
- Riwayat Hipertensi (+)

Pemeriksaan Fisik :
- Keadaan Umum : Lemah
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Kulit : Pucat
- Mata : Konsjungtiva Anemis (+/+)
- Mulut : Mukosa mulut pucat (+)
- Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+)
- Ekstremitas : Akral hangat kering merah -/-

6
Pemeriksaan Penunjang :
21/10/18Darah lengkap

RBC : 1.8 juta sel/mm3


HGB : 4.9 gr/dL
HCT : 16%
PLT : 374/UI
MCV : 87.9 fl
MCHC : 30.6 gr/dL
Golda : O, Rhesus 

22-10-2018
Darah Kimia

VI. DIAGNOSIS
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini
dapat disimpulkan dengan diagnosis :
A. Diagnosis Kerja
- Hematemesis Melena et causa Ulkus Peptikum
- Susp. Anemia Hipokromik Mikrositer et causa pendarahan akut saluran
cerna bagian atas
B. Diagnosis Banding
 Gastritis erosif
 Ca Gaster
 Ca Esofagus
 Varises Esofagus

7
VII. PENATALAKSANAAN
A. Non – Medikamentosa
- Tirah baring
- Puasa sampai pendarahan berhenti
- Diet cair 1 6 x 125 cc
- Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.

B. Medikamentosa

- Inf. RL 30 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 gram / 24 jam/ IV
- Inj. Omperazole 2 cc / jam/ via syrng pump
- Peroral : Syr. Inpepsa 3 x 1 cth

Transusi PRC 2 kolf s/d Hb >> 10 g/dL Untuk mencegah terjadinya


kegagalan sirkulasi dan mencukupi suplai oksigen kejaringan.

8
BAB II

PEMBAHASAN DAN ANALISIS KASUS

Pada tanggal 21/10/18 pasien Tn. J (61th) datang ke IGD RSUD Namlea
dengan keluhan BAB berwarna hitam sejak 1 minggu konsistensi lunak berbau amis,
disertai mual dan muntah berwarna hitam seperti kopi yang bercampur dengan
makanan. Dari ringkasan uraian keluhan yang menjadi analisis pada kasus ini perlu
kita ketahui terlebih dahulu apakah perdarahan yang terjadi merupakan perdarahan
saluran cerna atas atau bawah. Pada perdarahan saluran cerna atas didapatkan
manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau melena serta aspirasi nasogastrik
didapat adanya darah, sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah didapatkan
manifestasi klinik umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan
jernih. Pada kasus ini didapatkan adanya hematemesis dan melena serta aspirasi
nasogastrik didapatkan adanya darah (Wenas, 2009).

Secara terminologi atau definisi pendarahan saluran cerna bagian atas atau
SCBA adalah pendarahan saluran makanan dari Ligamentum treitz bagian proksimal.
Kemungkinan pasien datang dengan 1).anemia defisiensi besi akibat pendarahan
tersembunyi yang berlangsung lama, 2). Hematemesis dengan atau tanpa melena
disertai dengan atau tanpa anemia dan gangguan hemodinamik (Sudoyo AW, 2009).

Menurut literatur dalam Oxord handbook of Clinical Medicine 2010


penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan
adalah :

9
a. Ulkus peptikum
b. Sindrome Mallory-weiss
c. Varises esophagus
d. Erosi gastritis
e. Penggunaan obat trombolitik dan antikoagulan
f. Keganasan.
g. Idiopatik.

Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam


bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah warna
menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kop tercampur enzim dan asam
lambung (Sudoyo AW, 2009).

Melena diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom
lainnya oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena dapat juga berasal
dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak semua
kotoran hitam ini melena karena bismuth, sarcol. Lycorice, obat-obat yang
mengandung besi (obat tambah darah) dapat menyebabkan faeces menjadi hitam.
Oleh karena itu dibutuhkan test guaiac untuk menentukan adanya hemoglobin
(Sudoyo AW, 2009).

Pendarahan saluran cerna bagian atas sendiri dibagi menjadi dua bagian yakni
perdarahan oleh karena Varises esophagus atau Non Esofagus. Pada kasus ini penting
untuk dibedakan antara perdarahan yang disebabkan oleh varises esofagus dan non-
varises dikarenakan perbedaan tatalaksana dan prognosis.

Pada perdarahan yang disebabkan karena varises esophagus sangat sering


terjadi dan erat kaitanya pada kasus Sirosis hepatis yang dapat disebabkan oleh karena
Hepatitis B, C, atau penyakit hati alkoholik, dimana terjadi peningkatan tekanan
dalam vena porta >10mmHg oleh karena adanya obstruksi aliran darah vena porta.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada Tn. J tidak didapatkan adanya
data yang menunjang kearah perdarahan yang disebabkan oleh karena Varises
Esofagus pada kasus Sirosis Hepatis. Pada anamnesis pasien mengatakan tidak pernah

10
memiliki riwayat sakit kuning, kencing bewarna seperti teh, ataupun minum-minuman
beralkohol dalam jangka waktu yang cukup lama. Dari hasil pemeriksaan fisik tidak
didapatkan adanya ikterus, ascites, spider navi, eritema palmaris, kerontokan pada
rambut pubis, serta edem pada tungkai.

Dari analisa diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwasanya perdarahan yang
terjadi pada Tn.J merupakan perdarahan Non-Varises yang dapat disebabkan karena
Keganasan seperti Ca gaster/esophagus, gastritis erosive, Mallory-weiss tear, dan
Ulkus peptikum/PUB. Hal ini dapat dibuktikan dari data yang hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang pada pasien.

Dari data dari anamnesis Tn.J mengeluhkan BAB berwarna hitam sejak 1
minggu yang diikuti keluhan dyspepsia seperti nyeri dibagian ulu hati seperti ditusuk
jarum, mual dan muntah berwarna hitam seperti kopi. Pasien juga memiliki riwayat
konsumsi obat golongan NSAID dan jamu-jamuan sejak lama. Pasien juga memiliki
riwayat dyspepsia sejak usia 40 th. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum
seorang yang menderita hematemesis melena biasanya mengeluh dyspepsia atau
memiliki riwayat keluhan dyspepsia berulang dan salah satunya dengan dengan
riwayat penggunaan obat NSAID jangka panjang. Dari kecurigaan pendarahan
saluran cerna bagian atas karena keganasan secara anamnesis dapat disingkirkan
karena tidak didapatkan adanya tanda dan gejala yang khas seperti adanya penurunan
berat badan berarti dalam 3 bulan terakhir, walaupun dari segi usia Tn. J (61th) >40th
prevalensi terjadinya Ca gaster tidak jarang ditemukan. Untuk pemakaian obat-obatan
antikoagulan pada kasus stroke atau penyakit jantung coroner disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan fisik Tn. J didapatkan adanya tanda-tanda anemia yakni


pasien tampak terlihat pucat dengan konjungtiva palpebra anemis (+/+) yang
menandakan kurang darah (Gralnek, 2008). Selain itu didapatkan pula nyeri tekan (+)
pada daerah epigastrium. Kekurangan darah ini sebagai akibat manifestasi perdarahan
akut yang dialami pasien. Dari hasil pemeriksaan laboratorium terlampir Untuk
mengetahui derajat dan penyebab dari kekurangan darah dapat dilihat dari
hemoglobulin, MCV dan MCH dari pemeriksaan darah lengkap (Djuwantoro et al,
2009). Pada pasien ini, dilihat dari Hb, MCV dan MCH maka pasien ini diduga

11
mengalami anemia hipokromik-mikrositer akibat pendarahan yang dialami, dan butuh
pemeriksaan lanjutan untuk memastikanya dengan pemeriksaan Hapusan darah tepi.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang pada Tn. J dapat saya
simpulkan dengan diagnosis hematemesis melena et causa Ulkus peptikum dengan
diagnosis sekunder Susp. Anemia Hipokromik Mikrositer yang perlu dipastikan
dengan evaluasi pemeriksaan hapusan darah tepi.

VIII. Ulkus Peptikum

Lambung sebagai reservoir/lumbung makanan berfungsi menerima


makanan/minuman, menggiling, mencampur dan mengosongkan makanan kedalam
duodenum. Lambung yang selalu berhubungan dengan semua jenis makanan,
minuman dan obat-obatan akan mengalami iritasi kronik. Lambung dilindungi
terhadap faktor iritan oleh lapisan mukus/mukus barier serta epitel, tetapi beberapa
faktor iritan seperti makanan minuman dan obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
alkohol dan empedu dapat menimbulkan defek lapisan mukus dan terjadi difusi balik
ion H+, sehingga timbul gastritis akut/kronik hingga ulkus peptik.

Ulkus peptikum merupakan kerusakan jaringan mulai dari mukosa,


submukosa, sampai dengan muskularis mukosa dari saluran makan bagian atas
dengan diameter >5mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis, yang
merupakan luka terbuka, pinggir edema dengan batas yang jelas disertai indurasi
dengan dasar tukak ditutupi debris, akibat pengaruh asam lambung dan pepsin
(Askandar et al, 2015).

A. Etiologi

Diketahui ada dua faktor utama penyebab dari ulkus peptikum, yaitu, infeksi
Helicobacter pylori, dan penggunaan NSAID (Askandar et al, 2015).

Hal tersebut sejalan dengan kasus yang didapatkan pada pasien, dimana Tn.J
memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan seperti bodrex dan oskadon apabila
nyeri kepala timbul yang sudah sering dikonsumsi sejak 5 tahun lamanya. Kedua obat

12
tersebut mengandung obat golongan NSAID berupa Paracetamol yang merupakan
turunan dari Salisilat. Selain itu pasien juga mengatakan rutin minum jamu-jamu
untuk mengurangi ras pegel linu sejak 1 bulan terakhir. Dikatakan oleh (Efi
Widyawati, et al, 2015) bahwa salah satu prinsip kerja obat tradisional adalah proses
reaksinya yang lambat namun bersifat konstruktif, tidak seperti obat kimia yang bias
langsung bereaksi tapi bersifat kuratif. Hal ini karena obat tradisional bukan senyawa
aktif. Karena itu, jika efek kesembuhan langsung muncul begitu obat tradisional
diminum, maka layak dicurigai karena pasti ada sesuatu. Itulah yang terjadi pada
obat-obatan tradiisional jika diberikan obat-obatan kimia. Adapun bahan-bahan yang
biasa diacmpur atau digunakan mengandung obat golongan kortikosteroid seperti
dexametason, phenilbutason ataupun prednison.

B. Patofisiologi

Dari kebiasaan Tn. J mengkonsumsi obat golongan NSAID dan Jamu pegel
linu adalah merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya gangguan
fisiokimia pertahanan dari mukosa lambung dan menyebabkan kerusakan mukosa
akan terus berlanjut, hingga memudahkan terjadinya proses inflamasi. Sejak usia 40
th pasien mengaku telah memiliki keluhan dispepsia (nyeri ulu hati, mual, muntah)
tetapi tidak sampai muntah bewarna seperti kopi atau buang air besar bewarna
kehitaman. Dimana bisa kita simpulkan bahwa pasien memiliki dispepsia kronik.
Kemudian pada tahun 2016 pasien mengatkan pernah di rawat di RSUD Namlea
dengan keluhan yang sama yakni BAB kehitaman disertai muntah bewarna seperti
kopi. Atas dasar teori yang didapatkan pada kasus ini telah terjadi gangguan pada
lambung yang terjadi sejak lama, kemudian di perparah dengan penggunaan NSAID,
dimana NSAID memiliki mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase
(COX) yang mengubah asam arakidonat (AA) menjadi prostaglandin (PG) yang
merupakan suatu mediator nyeri.

Jadi dengan dihambatnya sintesa prostaglandin, timbulnya rasa nyeri juga


akan dihambat seperti pada kasus ini pasien sering mengkonsumsi NSAID untuk
mengurangi nyeri kepala yang dirasakan oleh pasien (ScheimanJM, 2009). Tetapi
efek lain yang ditimbulkan dalam penggunaan jangka panjang NSAID justru
berdampak negatif atau menjadi faktor predisposisi terjadinya kerusakan organ seperti
pada kasus ini adalah gaster/lambung.

13
Pada lambung fungsi dari prostaglandin memiliki efek sitoprotektif terhadap
lapisan mukosa dan berperan penting dalam meningkatkan sekresi mukus dan
bikarbonat, mempertahankan pompa sodium, stabilisasi membran sel serta
meningkatkan aliran darah mukosa. Apabila terjadi hambatan pada sintesis PG akan
mengurangi ketahanan mukosa, dengan efek berupa lesi pada mukosa lambung
dengan bentuk ringan sampai berat (ScheimanJM, 2009).

Obat antiinflamasi non-steroid/NSAID akan merusak mukosa lambung


melalui 2 mekanisme utama yaitu lokal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara lokal
terjadi karena OAINS bersifat lipofilik dan asam, sehingga mempermudah trapping
ion hidrogen masuk kedalam mukosa dan menimbulkan ulserasi. Efek sistemik
NSAID lebih penting yaitu terjadinya kerusakan mukosa lambung akibat dari
produksi prostaglandin yang menurun. Pada keadaan normal, asam lambung dan
pepsin tidak akan menyebabkan kerusakan mukosa lambung (ScheimanJM, 2009

Bila oleh karena sesuatu sebab ketahanan mukosa rusak (misalnya karena
salisilat) maka akan terjadi difusi balik H+ dari lumen masuk ke dalam mukosa.
Difusi balik H+ akan menyebabkan reaksi berantai yang dapat merusak mukosa
lambung dan menyebabkan pepsin dilepas dalam jumlah besar. Na+ dan protein
plasma banyak yang masuk kedalam lumen dan terjadi pelepasan histamin. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi asam lambung oleh sel parietal,
peningkatan permeabilitas kapiler, oedema dan perdarahan. Di samping itu juga akan
merangsang parasimpatik lokal akibat dari sekresi asam lambung dan tonus
muskularis mukosa meningkat, sehingga kongesti vena makin hebat dan dapat
menyebabkan perdarahan.

C. Terapi

Pengelolaan dasar pada Tn.J dengan kasus perdarahan saluran cerna atas sama
seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi,
diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.
Sedangkan pada ulkus peptikum terapi ditujukan untuk menghilangkan keluhan
ataupun gejala, menyembuhkan ulkus, mencegah kekambuhan serta mencegah
timbulnya komplikasi.

14
Pada pemeriksaan awal yang perlu diperhatikan adalah status hemodinamik
dari pasien, pada kasus ini didapatkan TD120/80mmHg dengan nadi
103x/reguler/lemah, kesadaran compos mentis, akral teraba hangat, respiratory rate
19x, dengan produksi urin lancar dan banyak. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa status hemodinamik dari pasien dalam keadaan stabil. Adapun kondisi dimana
status hemodinamik tidak stabil dapat ditemukan tanda-tanda 1). hipotensi (< 90/60
mm Hg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi > 1OO/menit; 2). tekanan
diastolik ortostatik turun > l0 mm Hg atau sistolik turun > 20 mm Hg; 3). frekuensi
nadi ortostatik meningkat > l5l menit; 4). akral yang teraba dingin; 5). kesadaran yang
menurun; 6). anuria atau oliguria (produksi urin < 30 ml/jam).
Transfusi darah dapat diberikan diberikan, tergantung jumlah darah yang
hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung,
dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah pada perdarahan
saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini: 1). Perdarahan dalam kondisi
hemodinamik tidak stabil, 2).Perdarahan baru atau masih berlangsung dan
diperkirakan jumlahnya I liter atau lebih, 3).Perdarahan baru atau masih berlangsung
dengan hemoglobin < l0 g%o atau hematokrit <30%.) dan terdapat tanda-tanda
oksigenasi yang menurun.
Dalam hal ini pasien dapat diberikan transfusi darah agar suplai oksigen
kejaringan tercukupi dan mencegah kegagalan sirkulasi atas indikasi sebagai berikut,
sampai target Hb >10g% atau Hematokrit >30% :
Untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang pada perdarahan saluran cerna
bagian atas oleh karena ulkus peptikum di pasien ini dapat diberikan obat golongan
anti sekresi asam yang dikatakan memiliki manfaat untuk mencegah perdarahan
berulang dengan diberikan PPI (Proton Pump Inhibitor) dengan dosis tinggi diawali
bolus Omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan perinfus 8 mg/kgBB/selama 72
jam. Untuk Antagonis reseptor H2 dikatakan kurang bermanfaat dalam mencegah
perdarahan ulang oleh karena ulkus peptikum.
Secara keseluruhan 80% perdarahan Ulkus peptikum dapat berhenti spontan,
adapun beberapa terapi endoskopi yang dapat dilakukan pada kasus perdarahan ulkus
peptikum meliputi: l). Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi,
heater probe) 2). Noncontact thermal (laser) 3). Nonthermal (misalnya suntikan
adrenalin, polidokanol, alkohol, cy ano acrylat e, atau pemakaian klip). Terapi

15
endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung dapat dilakukan
dengan penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 :
10000 sebanyak 0,5-l ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol
absolut (98%) tidak melebihi 1 ml.
Berdasarkan ringkasan yang dimuat dalam Konsensus Nasional Perdarahan
Saluran Cerna Atas Non Varises oleh PGI tahun 2012 membagi penatalakanaan pada
kasus perdarahan oleh karena ulkus peptikum dalam 3 tahapan, yakni tatalaksana dini,
terapi endoskopik, terapi pasca endoskopik yang meliputi terapi antisekretorik dan
terapi eradikasi H. Pylori.
Terapi Ulkus peptikum pada Tn.J dapat dibagi menjadi terapi Non-
medikamentosa, terapi medikamentosa, operasi (Sudoyo AW, 2009).
1. Non Medikamentosa

Istirahat. Pada pasien dengan ulkus peptikum secara umum dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan, pada pasian Tn.J didapatkan adanya simtom alarm yaitu
berupa hematemesis-melena, usia >40 th, serta kebiasaan penggunaan NSAID
dalam waktu yang lama oleh karena itu dianjurkan untuk rawat inap dirumah
sakit selain untuk penyembuhan juga sebagai langkah awal dalam melakukan
manajemen terapi berdasarkan dari hasil temuan lesi dari endoskopik pada
dispepsia yang belum diinvestigasi. Dikatakan bahwa penyembuhan dapat lebih
cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh
bertambahnya jam istirahat berkurangnya refluks empedu, stres dan penggunaan
analgetik.
Diet. Pemberian makanan lunak (bubur) ataupun makanan yang mengandung
susu pada keadaan pasien ini tidak dianjurkan karena justru akan merangsang
pengeluaran asam lambung. beberapa peneliti menagnjurkan untuk diberikan
makanan biasa, tidak merangsang asam lambung dan diet seimbang.

2. Medikamentosa

Secara medikamentosa pada kasus ulkus peptikum dapat diberikan terapi


antisekretorik dan terapi eradikasi H.Pylori. Untuk terapi antisekretorik dapat
diberikan obat-obatan seperti golongan Antasida, koloid bismuth, sukralfat,
prostaglandin, antagonis reseptor H2, dan proton pump inhibitor.

16
Pada kasus yang dialami Tn.J dimana terjadi perdarahan saluran cerna bagian
atas oleh karena ulkus peptikum, Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna
Atas Non Varises oleh PGI tahun 2012 merekomendasikan penggunaan obat
golongan PPI karena dapat dengan cepat menetralkan asam lambung. Adapun
preparat yang banyak beredar di RS seluruh Indonesia berupa Omeprazole,
lansoprazole, dan pantoprazole (Sudoyo AW, 2009).
Pada kasus ini Tn. J dapat diberikan dengan dosis :
 Omeprazole 2x20mg/standar dosis atau 1x40mg double dosis
 Lansoprazole/Pantoprazole 2x 40mg /standar dosis atau 1x60
mg/double dosis.

PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel kanalikuli, menyebabkan


pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi aktivitas faktor agresif pepsin
dengan pH>4 serta meningkatkan efek eradikasi oleh triple drugs regimen.
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim K+H+- ATPase yang akan
memecah K+H+- ATP menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan
asam HCI dari kanalikuli sel parietal kedalam lumen lambung.
Selain itu pula pada kasus yang dialami oleh Tn.J sangat disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan H.Pylori hal ini telah dicantumkan dalam tatalaksana yang di
muat dalam Konsensus Nasional Perdarahan Saluran Cerna Atas Non Varises oleh
PGI tahun 2012.
Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi
(rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa
endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Urea breath test saat
ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test
yang ada antara lain 13CO2 breath analyzer.
Pemeriksaan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi eradikasi dengan
hasil tes diagnosis yang positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi
ulang pada gagal eradikasi.
Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat
keberhasilan sampai 80 % bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai
dengan efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap
antibiotik. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui
endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilan terapi PPI selama satu minggu

17
mencapai 80-85%. Setelah H. pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI rumatan tidak
diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAIDs atau antitrombotik.
Pada keadaan yang dialami oleh Tn. J saat ini tes diagnostik H.pylori
mempunyai nilai prediktif negatif yang rendah pada keadaan PSCBA akut. Hal ini
dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam melakukan biopsi representatif
atau ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan basa yang disebabkan darah. Hasil
biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut harus diinterpretasi secara hati-hati
dan bila perlu dilakukan tes ulang pada pemantauan kembali.
Triple Therapy. Secara historis regimen terapi eradikasi yang pertama
digunakan adalah: Bismuth, Metronidazol, Tetrasiklin. Regimen tipel terapi (PPI 2x1 ,
Amoxicilin 2x 1000, Klaritromisin 2x500, Metonidazol 3x500, Tetrasiklin 4x500).
Kelompok Studi HP Indonesia (KSHPI,2014) merekomendasikan untuk
rejimen Triple therapy yang digunakan adalah sebagai berikut :

Lama pengobatan eradikasi HP 1 minggu (esomesoprazol), 5 hari rabeprazole.


Ada anjuran lama pengobatan eradikasi 2 minggu, untuk kesembuhan ulkus peptikum,
bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3-4 minggu lagi. Keberhasilan eradikasi

18
sebaiknya di atas 90%. Efek samping triple terapi 20-30 %. 
 Kegagalan pengobatan

eradikasi biasanya karena timbulnya efek samping dan compliance dan resisten
kuman. Infeksi dalam waktu 6 bulan paska eradikasi biasanya suatu rekurensi dengan

infeksi kuman lain. 
 Tujuan eradikasi HP sendiri adalan untuk: l). Mengurangi

keluhan/simtom, 2). Penyembuhan ulkus, 3). Mencegah kekambuhan.. 
 Eradikasi

selain dapat mencegah kekambuhan ulkus juga dapat mencegah perdarahan dan

keganasan. 


Terapi kuadripel. Jika gagal dengan terapi tripel, maka dianjurkan


memberikan regimen terapi kuadrupel yaitu: PPI 2 x sehari, Bismuth Subsalisilat 4x2
tab, MNZ 4x250, Tehasiklin 4x500, bila bismuth tidak tersedia diganti dengan tripel
terapi. Kombinasi PPI, amoxicilin dan rifabutin selama l0 hari hasil > 80%
tereradikasi pada pasien yang telah resisten dapat dianjurkan, bila belum juga berhasil
dianjurkan kultur dan tes sensitivitas.

Terapi Operasi. Biasanya dilakukan pada pasien dengan keadaan ulkus yang
refrakter/gagal pengobatan, dalam kedadaan darurat (perforasi/stenosis pylorik), atau
ulkus dengan kecurigaan mengarah keganasan. Namun tindakan operasi ini sudah
jarang dilakukan karena efektifitas yang tinggi dalam terapi secara medikamentosa
dan secara endoskopi. Prosedur operasi yang dilakukan pada penyakit ulkus peptikum
ditentukan adanya penyertaan ulkus duodenum: l). Ulkus antrum dilakukan
anterektomi (termasuk tukaknya) dan Bilroth 1 anastomosis gastroduodenostomi, bila
disertai TD dilakukan vagotomi. Tingginya kejadian rekurensi ulkus paska operasi
maka prosedur ini kurang diminati. 2). Tukak gaster dekat EG junction tindakan
operasi dilakukan lebih radikal/sub total gastrektomi dengan Roux-en-Y/esofago
gastro j ejunostomi (prosedur Csendo). Bila keadaan pasien kurang baik lokasi tukak
proksimal dilakukan prosedur Kelling Madlener termasuk anterektomi, biopsi tukak
intra operatif dan vagotomi, rekurensi tukak 30%.
Pada pasien ini terapi yang diberikan diruangan Terapi yang diberikan
diruangan diruangan meliputi :
 Non – Medikamentosa
- Tirah baring/istirahat

19
- Puasa sampai pendarahan berhenti
- Diet cair
- Pasang NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) ini dilakukan dengan dugaan
pendarahan masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik.
NGT sendiri bertujuan untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai
perdarahan.
Transusi PRC 2 kolf s/d Hb >> 10 g/dL.

Pada kasus perdarahan non varises khususnya perdarahan oleh karena ulkus
peptikum secara evidance base medicine dan clinical guidlines tidak di
rekomendasikan untuk pemberian asam traneksamat karena tidak dijumpai adanya
proses fibrinolisis, sedangkan Vitamin K dikhususkan pada kasus gangguan hati
seperti pada kasus Sirosis Hepatis yang menyebabkan terjadinya Varises Esofagus
oleh karena Hipertensi Porta, terjadi kegagalan sintesis faktor koagulasi dependen
Vitamin K yaitu Faktor 2,7,9, dan 10. Hal ini dibutkikan dengan temuan di
laboratorium yang apabila terjadi pemanjangan Plasma Protrombin Time (PPT) maka
indikasi pemberian Vit K dapat diberikan.

IX. KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) merupakan perdarahan dari lumen


saluran cerna di atas ligamentum Treitz yang dapat mengakibatkan terjadinya
hematemesis dan melena. Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dalam bentuk
segar (bekuan/ gumpalan/ cairan warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan
asam lambung menjadi kecoklatan dan berbentuk seperti butiran kopi sedangkan
melena yaitu keluarnya feses yang lengket dan hitam seperti aspal.

Penyebab perdarahan SCBA dapat digolongkan menjadi 2 kelompok,

perdarahan varises dan perdarahan non-varlses.
 Pengelolaan perdarahan saluran

makanan secara praktis meliputi: evaluasi status hemodinamik, stabilisasi


hemodinamik, melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan lain yang

20
diperlukan, memastikan perdarahan saluran makanan bagian atas atau bawah,
menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan, terapi spesifik.

Prioritas utama dalam menghadapi kasus perdarahan SCBA ialah penentuan


status hemodinamik dan upaya resusitasi sebelum menegakkan diagnosis atau
pemberian terapi lainnya.

Pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan cara terpilih untuk menegakkan


diagnosis penyebab perdarahan dan sekaligus berguna untuk melakukan hemostasis.
Pada perdarahan ulkus peptikum dapat dilakukan antara lain dengan terapi
medikamentosa dan non medikamentosa yang dapat dilakukan secara komprehensif
untuk mempeeroleh hasil terapi yang optimal.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Akil.. Buku Ajar Penyakit Dalam: Tukak Duodenum. Jilid 1 Edisi 4. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Hal 345, 347
2. Askandar Tjokroprawito, Poernomo budi, Chairul Efendi, Djoko Santoso, Gatot
Sugianto. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam: Gastroenterologi-hepatologi. Jilid 1 Edisi
2. Surabaya: Airlangga University Press. 2015.Hal 207-225.
3. Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. 2009. Diagnosis dan Pengobatan Tukak
Peptikum; 
Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Padang. Dalam :
Cermin Kedokteran No. 79, 

4. Efi Widyawati, Bertha Rusdi,Indra T Maulana.. Identifikasi Kandungan
Kortikosteroid (Deksametason, Fenilbutason, dan Prednison)Dalam Kandungan Jamu
Pegel Linu yang beredar di Empat Pasar Kota Bandung. Unisba, 2015
5. Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. 2009. Pathophysiology and
Treatment 
of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy. Available at
Pendahuluan.pdf. FK Universitas Indonesia. Access on 30 agystus 2018
6. Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. The new england journal of medicine :

Management of Acute Bleeding from a Peptic Ulcer. England : N Engl J Med ;359:
2008.
p.928-37.
7. Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi.. Persatuan Gastroenterologi Indonesia & Kelompok Studi H.Pylori Indonesia
: Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi H.Pylory Jakarta.2014.
hal 10-13
8. Marcelus Simadibrata K, Ari Fahrial Syam, Murdani Abdullah, Achmad Fauzi, Kaka
Renaldi.. Persatuan Gastroenterologi Indonesia: Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Pendarahan Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. 2012.
hal 18-20
9. Norton J. Greenberger, Robert Burakoff, Richard S Blumberg. Current Diagnosis &
Treatment "Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy". Lange. Mc Graw Hill.
2009. .Page 330-335 Chapter 30
10. ScheimanJM.. Nonsteroidal antiinflamatory drug (nsaid)-induced gastropathy. Dalam:

22
KimK, editor. Acute gastrointestinal bleeding; diagnosis and treatment. New Jersey:
Humana. 2009. hlm. 75-93.
11. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
 2017.
12. Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I, Gastritis
erosiva. Jakarta. 

th
13. Wenas NT. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4
international 
endoscopy workshop & international symposium on digestive disease.
Jakarta : Pusat 
Penerbitan Departemen IPD FK UI. 2009. P83-4.

23

Anda mungkin juga menyukai