Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan
keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai
suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan
masyarakat. Evektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan
oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni orang-orang yang terlibat
sejak dari perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pembiayaan. Diantara
dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia
merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini
dibandingkan dengan negara lain dikawasan Asia bukanlah merupakan sebuah
negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian?
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya.
Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi
juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan
rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan
terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi
sosial penyakit sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah
mengakibatkan kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun
yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan
keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota
legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain
sebagainya di luar batas. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara
demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan
cerminan rendahnya moralitas dan rasa adalah malu, sehingga yang menonjol
adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya dapatkah korupsi
di'erantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus

1
diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak
mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap
Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara
lainuntuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena k&rupsi membawa
dampak negatif yang cukup luas dan dapat membaca negara ke jurang
kehancuran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari korupsi ?
2. Apa ciri dan jenis korupsi ?
3. Bagaimana pandangan korupsi menurut berbagai perspektif ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari korupsi.
2. Mengetahui ciri dan jenis korupsi.
3. Mengetahui pandangan korupsi menurut berbagai perspektif.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere
berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara rinci telah dijelaskan


dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 “Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 terdapat 13


buah Pasal yang menerangkan tentang korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah


berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan
padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

3
Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

2.2 Ciri dan Jenis Korupsi

Berbicara mengenai Ciri-ciri korupsi, Syed Hussein Alatas memberikan


ciri-ciri korupsi, sebagai berikut :

1. Selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan
antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan.
2. Pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.
3. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban
dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.
4. Berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki kekuasaan
atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan publik
atau pada masyarakat umum.
7. Setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan tersebut.
8. Dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan
umum di bawah kepentingan pribadi.

Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam tujuh
jenis yang berlainan, yaitu:

1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya


kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima, demi
keuntungan kedua belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya
pemaksaan kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah

4
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-
hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan
datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan
dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan
istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang
berlaku.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi
dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan
diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang
dilakukan oleh seseorang seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang
dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada

Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan


dalam tiga bentuk:

1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal. Korupsi ini terjadi karena
mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan
wewenangnya para bawahan tidak dapat menolak permintaan
atasannya.
2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang
melibatkan orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini
dilakukan dengan maksud agar dapat mempengaruhi objektivitas
dalam membuat keputusan atau membuat keputusan yang dibuat akan
menguntungkan pemberi, penyuap atau penyogok.

5
3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan
keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional,
tapi didasarkan atas pertimbangan “nepotis” dan “kekerabatan”.

Sedangkan korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi


dua yaitu:

1. Korupsi individualis, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh salah


satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi
2. Korupsi sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar
(kebanyakan) orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak
orang).

Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan,


penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan
pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah.
Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak
disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah,
suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya
kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan
dapat merugikan keuangan negara.

Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:

Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh


reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis
korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):

1. Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan


pengusaha kepada penguasa.
2. Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki
kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk
membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha
ekonominya.

6
3. Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan
kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya.
4. Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara
secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan
sejumlah keuntungan pribadi.

Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah:


pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan,
pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi
seseorang.

Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward
a General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-
bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:

1. Subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.


2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri.
3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan
penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi,
menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.
4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan,
memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya.
5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi
dan memperdaya, memeras.
6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian
palsu, menahan secara tidak sah, menjebak.
7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain
seperti benalu.
8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan,
meminta komisi.

7
9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-
bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk
kepentingan pribadi; membuat laporan palsu.
11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah,
dan surat izin pemrintah.
12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan
pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik
kepentingan.
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan
yang tidak pada tempatnya.
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi
dan pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan,
dan hak istimewa jabatan.

2.3 Korupsi dalam Berbagai Perspektif


1. Budaya
Korupsi sebagai kejahatan pencurian uang dalam bentuk
penyalahgunaan wewenang, memiliki arti yang sangat luas. Jika
korupsi dilihat dari sudut pandang budaya, maka pengertian
korupsi memiliki dimensi tradisi atau kebudayaan. Beberpa ahli
mengemukakan pendapat bahwa tindakan korupsi sekarang ini
bukan sebagi fenomena penyimpangan, namun telah manjadi
tindakan yang masif terjadi dan telah menjadi budaya.
Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan
pengertian bahwa prilaku koruptif telah masuk dalam struktur

8
kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tak
terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut
seperti pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama)
bahwa “prilaku korupsi telah membudaya dalam masyarakat
Indonesia”. Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya pada tahun
1970an, ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam
upaya pemberantasan korupsi saat itu (Margana, dalam
Wijayanto, 2009:415-416).
Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan
menghubungkan korupsi dengan konsep “determinisme kultural”
(cultural determinism). Determinisme kultural ini merupakan
konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam
mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh meluas
dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural memberikan
pengertian bahwa kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu
telah memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan
korupsi dan penyelewengan.
Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang
sedemikian berbeda sehingga korupsi kurang dituntut
kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan merupakan bagian
dari adat istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-
istiadat yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan
korupsi dan penyelewengan semakin masif terjadi di masyarakat.
Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman berperilaku
masyarakat satu dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat
menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat korupsi
terjadi. Perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk
mendukung tindakan korupsi.
Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi
sebagai persoalan budaya. Diantaranya adalah teori dari Emile
Durkheim (185-1917). Sosiolog Prancis ini memandang bahwa

9
watak manusia sebenarnya bersifat pasif dipengaruhi dan
dikendalikan oleh struktur dalam masyarakatnya. Individu secara
moral, netral, dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya
(Kamil, 2009:848). Dalam konteks prilaku koruptif dan
penyelewengan bantuan bencana, berarti bahwa sistem budaya dan
kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang membentuk prilaku
individu. Ketika individu berada dalam struktur kelembagaan yang
korup, maka struktur yang korup tersebut akan membentuk
individu yang korup pula. Sebesar apapun sifat baik yang dimiliki
seorang individu, ketika ia masuk dalam lembaga yang korup maka
lama kelamaan akan masuk dalam pusaran hitam prilaku korupsi.
Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk
prilaku individu. Ketika suatu lembaga memiliki sistem budaya
yang korup, nilai dan moral telah bergeser dan membentuk nilai
baru, yang selanjutnya dipegang bersama oleh anggotanya sebagai
pedoman berperilaku. Nilai baru inilah yang dianggap sebagai nilai
yang benar walaupun dalam ukuran nilai yang sebelumnya
merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga ketika ada seorang
Indvidu yang memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan
moral dan nilai yang kuat akan dianggap menyimpang ketika ia
berada dalam lembaga yang korup tersebut.
Sementara Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan
politik yang banyak dipengaruhi oleh teori Sosiologi
Fungsionalisme struktural Talcot Parson dan Behavioral Science
dari disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain mengenai
tindakan korupsi dan penyelewengan berkaitan dengan
kebudayaan. Bagi Almond, yang banyak dipengaruhi
fungsionalisme struktural, memahami kebudayaan dan masyarakat
dengan pengertian yang luas, dimana masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang saling bergatung
(interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam bntuk tindakan

10
korupsi tidak bisa dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,
namun saling berkaitan dan berinteraksi dengan struktur lain
seperti ekonomi, dan budaya (Kamil,2009:848-850).

2. Agama
1. Korupsi Menurut Agama
a. Korupsi Menurut Agama Islam
Korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat
diklasifikasikan kepada kategori, sebagai berikut :
 Khiyānah
Secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi
jahat (syar). Menurut al-Raghib al-Isfahānī, seorang pakar
bahasa Arab, khiyānah adalah sikap tidak memenuhi suatu janji
atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan
khiyānah juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau
mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan
sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah
mu‘amalah.
 Al-ghasy (penipuan)
Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadnya,
karena nas belum menerangkan bentuk sanksi kepadanya secara
kongkrit, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis. Oleh
karena itu penentuan sanksi hukumannya kembali kepada
jarimah ta‘zīr, yang membutuhkan ijtihād hakim dalam
memutuskan hukum terhadap pelakunya. Istilah al-ghasy dalam
bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang jelek.
 Risywah (suap)
Secara harfiah, suap (risywah) berarti “batu bulat” yang jika
dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu
berbicara apapun.30 Jadi suap bisa membungkam seseorang dari

11
kebenaran. Menurut Ibrahīm al-Nakha’ī, suap adalah sesuatu
yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan
kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran. Syaikh ‘Abd
al-‘Azīz bin ‘Abd Allāh bin Baz mendefinisikan suap dengan
memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi
pelaksanaan maslahat (tugas/kewajiban) yang tugas itu harus
dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip.

Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan


tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah),
akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala
dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap
kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan
fasad, kerusakan di muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah SWT. Dalil-
dalil yang dapat dirujuk untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum
korupsi adalah QS. Ali ‘Imrān [3] ayat 161, hadis riwayat Abū Dāwud dari
‘Umar bin Khattab10, hadis riwayat al-Bukhari dari Abi Hamid al-
Sa‘idi11, dan juga hadis riwayat al-Turmuzi dari ‘Abdullah bin ‘Amar.12

Dari beberapa dalil di atas, walaupun bukan khusus berbicara


tentang korupsi, namun sejumlah praktek atau bentuk korupsi yang terjadi
menyerupai dengan apa yang digambarkan dalam dalil-dalil tadi, misalnya
penyalahgunaan wewenang, suap menyuap, dan juga penipuan. Dari
makna zahir nas-nas tersebut bisa dipahami bahwa segala bentuk korupsi
itu hukumnya haram. Sabda Rasulullah lainnya yang bisa dijadikan
pijakan sebagai dalil korupsi, karena di dalamnya ikut mengandung
sebagian dari bentuk korupsi, adalah hadis yang dari ‘Adī bin ‘Umayrah
al-Kindī13 , hadis dari Abū Hurayrah14, dan hadis dari Abī Humayd al-
Sā‘adī.15 Sebagian ulama memahami makna hadis ini sebagai suatu
perumpamaan.

12
Maksudnya, orang melakukan penggelapan (korupsi) kondisinya di
hari kiamat nanti diumpamakan dengan keadaan seseorang yang memikul
apa saja yang dikorupsinya. Ia merasa kesulitan akibat beban dosa-
dosanya, tidak ada seorang pun yang mau membantunya, dan ia merasa
terhina karena tak ada seorang pun yang mau peduli kepadanya.

a. Korupsi Menurut Agama Kristen


Dalam Perjanjian lama maupun Baru, disebutkan jenis-jenis
korupsi menurut stratanya:
 korupsi karena kebutuhan (by need)
Merupakan jenis korupsi yang paling ringan. Karena dilakukan
dalam keadaan terpaksa atau karenakebutuhan yang mendesak.
Meskipun demikian, korupsi tidak boleh dilakukanmeskipun
untuk mencukupi kebutuhan. Karena Allah menjamin akan
penghidupan umat yang maupercaya kepadanya. Korupsi karena
kebutuhan akan gaya hidup mewah tidak termasuk dalam kriteria
korupsi by need.
 Karena kesempatan (by chance)
Merupakan jenis korupsi yang tercipta karena ada kesempatan,
lemahnya sistem atau kurangnyapengawasan. Pada dasarnya
kesempatan bisa ada atau diada-adakan.Jadi bisa jadi manusia
karenakebutuhan atau ketamakannya menciptakan kesempatan
untuk terjadinya korupsi. Sebesar apapunkesempatan yang
terbuka, korupsi tetap tergolong pencurian dan dilarang oleh
agama Kristen.
 Karena ketamakan (by greed)
Merupakan jenis korupsi yang terberat. Pelaku korupsi biasanya
sudah kaya, namun tetap melakukankorupsi untuk
mempertahankan gaya hidupnya yang foya-foya. Seperti yang
disebutkan tadi bahwaTuhan melaknat orang-orang yang tamak
dan akan memberikan hukuman kepada mereka.

13
Terutamaapabila yang dikorupsi adalah harta orang-orang
miskin yang jauh lebih membutuhkan daripada mereka.Maka
hukuman yang terberat akan diberikan kepadanya.

Menurut agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan korupsi


sangat dilarang karena korupsi mengandung beberapa hal yang
melanggar, yakin sebagai berikut:
 Korupsi identik dengan mencuri.
Dalam 10 Perintah Tuhan, larangan kedelapan adalah larangan
untuk mencuri. Larangan mencuri juga dikemukakan Yesus
dalam bentuk yang berbeda, yaitu hukum mengasihi sesama
manusia seperti diri sendiri ( Matius 22:39; Mark 12:31; Lukas
10:27 ). Hukum ini sama dengan hokum pertama, yaitu hukum
untuk mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan dengan
segenap akal budi.
 Korupsi adalah pengingkaran kepada Tuhan yang Maha
Memelihara Umatnya
Dari sisi iman Kristen, Allah telah tegas menyebutkan bahwa
burung di udara saja dipeliharanya, apalagi manusia. Demikian
umat tak perlu ragu akan usaha yang dijalankannya selama
berada di jalan Tuhan.Karena itu, korupsi jelas merupakan
pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan dan jaminannya.
 Korupsi adalah tanda ketamakan manusia
Tuhan sangat mengutuk manusia yang tamak. Dalam cerita-
cerita di Alkitab, orang-orang tamak akan diberikan hukuman
karena ketamakannya itu. Seerti pada cerita Gehazi, pelayan
Nabi Elisa yangmengambil pemberian Panglima Kerajaan
Aram, yakni Naaman, atas kesembuhannya dari penyakitkusta.
Alih-alih ingin mendapatkan hadiah yang ditolak Nabi Elisa,
Gehazi malah mendapat malapetaka.

14
b. Korupsi Menurut Agama Buddha
Dalam agama Buddha korupsi didasari oleh keserakahan dan
berakar pada kebodohan batin. Jika seseorang memiliki pandangan
benar tidak mungkin ia bertindak bodoh. Ia akan menyadari semua itu
tidak kekal. Kemudian juga karena faktor lingkungan pergaula yang
kurang bagus sehingga mendukung munculnya perilaku korupsi.
Korupsi termasuk melanggarAturan-moralitas Buddhis (sila) ke
dua—mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya— dan akan
mengkondisikan seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis
(sila)ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau
berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah
‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk
menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang
melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan-moralitas
Buddhis (sila) ke-4dariLima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila).
Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang
sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan-moralitas
Buddhis (sila).
Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa
mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata
pencahariannya dimanfaatkan untuk:
 Menipu (kuhana),
 Membual (lapana),
 Memeras (nemittakata),
 Menggelapkan (nippesikata),
 Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha)

Selain dari dalam diri sendiri, yang perlu dikembangkan untuk


menahan laju perkembangan korupsi adalah dengan memberikan
pandangan yang benar kepada orang lain dan membuat interaksi yang
positif dimulai dari diri sendiri. Dengan demikian akan terbentuk

15
lingkungan yang kondusif yang bebas dari sikap hidup korupsi,
sehingga akan meningkatkan rasa malu dan rasa takut dalam berbuat
korupsi.
Jika ditinjau dari dari aspek Buddhisme, semua perbuatan pasti
akan menerima akibatnya. Si pelaku korupsi akan menerima
akibat karma(karma artinya perbuatan yang disertai niat)sesuai
perbuatannya. Dan sesuai hukum paticcasamuppada, bahwa segala
sesuatu itu saling bergantungan, akan membuat akibat-akibat yang
buruk bagi keluarga si pelaku maupun bagi masyarakat luas dan
Negara.

c. Korupsi Menurut Agama Hindu


Korupsi dalam agama hindu dapat dipandang sebagai tindakan
yang melawan Dharma atau Hukum Rta. Dalam konsep Tri Kaya
Parisudha, maka korupsi adalah tindakan yang tidak benar karena
melanggar Manacika (berfikir yang benar), Wacika (berkata yang
benar) dan Kayika (berbuat yang benar).
Kemudian jika kita memperhatikan etimologi diatas korupsi adalah
bagian dari Panca Ma yaitu lima tindakan (perbuatan) yang dapat
menjauhkan manusia dari jalan dharma sehingga terjerumus kedalam
kegelapan. Ada pun dari kelima bagian-bagian Panca Ma adalah (1)
Madat (mengisap candu seperti narkoba), (2) Memunyah (mabuk-
mabukan akibat minuman keras atau sejenisnya), (3) Metoh atau juga
disebut Memotoh yaitu perbuatan Judi, (4) Madon (gemar bermain
perempuan, memitra atau bersina), dan Mamaling (mencuri atau
korupsi).
Mamaling sama halnya dengan korupsi yaitu mengambil barang
orang lain tanpa sepengetahuan sang pemilik. Mamaling juga dapat
diartikan tindakan yang melanggar hukum negara maupun hukum rta
sebab merugikan orang lain.

16
Korupsi dalam agama hindu juga merupakan tindakan yang
melanggar Catur Purusa Artha dimana seseorang harus mengutamakan
Dharma (kebenaran) untuk memperoleh Artha (harta benda) dan Kama
(keinginan) demi mencapai tujuan hidup yakni Moksartham Jagadhita
Ya Ca Iti Dharma (kebahagian di dunia dan akhirat).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah
kondisi yang terbangun karena melawan hokum kerja (rta) dimana
sang koruptor ingin mendapatkan sesuatu bukan dari hasil kerja keras
sehingga merugikan negara. (Sri Wedari.2015:14)
Tindakan kejahatan seperti ini, bukan hal yang biasa, dalam kitab
suci agama hindu telah diprediksi bahwa di Jaman Kali Yuga ini,
kejahatan akan lebih banyak dari pada kebaikan dimana kejahatan 75
persen sedangkan kebaikan hanya 25 persen. Selain itu, penyebab
orang korupsi yakni tidak adanya pengendalian terhadap Sad Ripu
yang ada dalam diri setiap manusia. Ke enam musuh tersebut yakni (1)
kama yaitu nafsu atau keinginan yang berlebihan sehingga melampau
batas kemampuan; (2) Tamak atau sifat rakus yang ada pada diri
manusia; (3) Krodha yaitu sifat marah yang terlalu berlebihan; (4)
Moha yaitu sifat bingung atau awidya; (5) Mada yaitu sifat mabuk baik
karena harta mau pun keinginan atau minuman; dan (6) Matsarya yaitu
sifat dengki atau iri hati.

3. Hukum
Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai
suatu tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidanakan.
Dalam konteks hukum, setiap tindakan yang melanggar peraturan
Perundang-Undangan maka dapat dipidanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan penyelewengan bantuan
bencana alam, maka Undang-undang yang dapat menjerat pelaku
yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah

17
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
pemberantasan tindak pidana Korupsi.
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan
tindak pidana Korupsi, memuat 29 pasal berkaitan dengan tindakan
yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Sebagai persoalan
hukum dan telah diatur dalam perundang-undangan, maka segala
bentuk tindakan individu ataupun kelompok yang melanggar UU
tersebut dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi yang berat.
Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain
ancaman pidana yang lebih berat dari UU sebelumnya (UU No.3
Th.1971), UU ini juga memberikan pemberatan terhadap hal-hal
sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)
Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu, ancamannya dapat berupa pidanan mati. Adapun yang
dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu keadaan saat negara
ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang
berlaku; Terjadi Bencana Alam Nasional; Pengulangan tindak
pidana korupsi; dan dalam keadaan krisis moneter.
Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi,
maka diberlakukan UU ini;
 Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana
yang sama;
 Orang diluar negeri yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama
dengan pelaku;
 Dilakukan dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu
pidana mati dapat dijatuhkan.

18
Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai
pidana tambahan berupa: pertama, Perampasan barang bergerak yang
berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kedua, pembayaran
uang Penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam
tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang
pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak memiliki
harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesudah putusan
pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Jika melihat konteks hukum dan perundang-undangan yang


berlaku, maka tidakan individu atau kelompok dalam menyelewengkan
bantuan bencana Alam juga tergolong sebagai tindak pidana korupsi.
Sesuai UU no.31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, pelaku
penyelewengan bantuan menurut UU tersebut dapat menerima pemberatan
pidana yaitu pidana mati. Pidana mati ini dapat dijatuhkan karena
perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu ketika
negara sedang menghadapi Bencana alam Nasional. Hal ini sesuai dengan
Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999.

Ancaman pidana mati yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU


No.31 Tahun 1999 sesuai dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawatimur
yang memberikan warning kepada pelaku penyelewengan bantuan

19
bancana alam meletusnya gunung kelud februari 2014 (EncietyNews,
2014).

Pemberantasan korupsi sebagai persoalan hukum dilakukan


sebagai upaya yang lebih bersifat represif dari pada upaya yang bersifat
preventif. Upaya pemberntasan ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). KPK sebagai lembaga yang bertugas untuk membernatas
kasus korupsi di Indonesia dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
2002.

Sementara untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi dilakukan


oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus yang berada dilingkungan
peradilan umum dan berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri bersangkutan.
Demikian pula ditingkat Banding, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di
Ibu kota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan tinggi yang bersangkutan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
iniberwewenang memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana
korupsi dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan korupsi (Isra &
Eddy, dalam Wijayanto, 2009:575).

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang
secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur
dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya
diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang
Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan
dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme,
penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman
yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi,
rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Adminstrative Coruption dan
Against The Rule Corruption. Serta ada hukum yang mengatur tindakan
tersebut dan ada lembaga tersendiri yang menangani kasus tersebut

3.2 Saran
1. Permasalahan negara berkembang yang paling kompleks adalah
perebutan kekuasaan dan penyelewengan kekuasaan, maka dari itu hal
pertama untuk membentengi diri adalah upaya seluruh pihak untuk
kembali kepada moral pribadi yang berdasarkan nilai dan kaidah
agama, serta penegakan hukum agama yang mantap di segala bidang
serta dari usia dini.
2. Korupsi tidak diselesaikan oleh satu badan hukum, tapi harus diadakan
konfigurasi yang erat. Maka dari itu kepada semua kalangan
diharapkan dapat turut serta mengawasi jalannya pemerintahan
sekaligus banyak berkaca untuk melihat keikutsertaan kita dalam
membangun bangsa
3. Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak
dini.Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Dan

21
seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap terpidana korupsi.
Undang-undang yang adapun dapat dipergunakan dengan sebaik-
baiknya. Agar korupsi tidak lagi menjadi budaya di negara ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Wijayanto dkk.2009. Korupsi Mengkorupsi Indonesia: sebab, akibat,


dan prospek pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural
Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-
Press)
Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Sri Wedari, Ni Nengah. 2015. Hukum Pelaku Korupsi Menurut Hindu.
Dempasar: IHDN
Yani, Komang Sri. 2015. Hukum Pelaku Korupsi dalam
Hindu.Mataram: STAH GDE PUDJA.
¬_. 1991. Sarasamuccaya. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
Al-Bukhārī. Sahīh al-Bukhārī. Beirut: Dār al-Fikr, 1991.
Dahlan, Abdul Azis (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2003.

23

Anda mungkin juga menyukai