PENDAHULUAN
1
diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak
mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap
Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara
lainuntuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena k&rupsi membawa
dampak negatif yang cukup luas dan dapat membaca negara ke jurang
kehancuran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari korupsi ?
2. Apa ciri dan jenis korupsi ?
3. Bagaimana pandangan korupsi menurut berbagai perspektif ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari korupsi.
2. Mengetahui ciri dan jenis korupsi.
3. Mengetahui pandangan korupsi menurut berbagai perspektif.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere
berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka
3
Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
(uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
1. Selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan
antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan.
2. Pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.
3. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban
dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.
4. Berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki kekuasaan
atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan publik
atau pada masyarakat umum.
7. Setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan tersebut.
8. Dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan
umum di bawah kepentingan pribadi.
Menurut Alatas (1987) dari segi tipologi, membagi korupsi ke dalam tujuh
jenis yang berlainan, yaitu:
4
kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-
hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau
jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan
datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan
dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan
istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang
berlaku.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi
dengan pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan
diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang
dilakukan oleh seseorang seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang
dilakukan untuk memperkuat korupsi yang sudah ada
1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal. Korupsi ini terjadi karena
mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan
wewenangnya para bawahan tidak dapat menolak permintaan
atasannya.
2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang
melibatkan orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini
dilakukan dengan maksud agar dapat mempengaruhi objektivitas
dalam membuat keputusan atau membuat keputusan yang dibuat akan
menguntungkan pemberi, penyuap atau penyogok.
5
3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan
keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional,
tapi didasarkan atas pertimbangan “nepotis” dan “kekerabatan”.
6
3. Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan
kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya.
4. Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara
secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan
sejumlah keuntungan pribadi.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward
a General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-
bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:
7
9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-
bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk
kepentingan pribadi; membuat laporan palsu.
11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah,
dan surat izin pemrintah.
12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan
pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik
kepentingan.
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan
yang tidak pada tempatnya.
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi
dan pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan,
dan hak istimewa jabatan.
8
kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tak
terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut
seperti pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama)
bahwa “prilaku korupsi telah membudaya dalam masyarakat
Indonesia”. Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya pada tahun
1970an, ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam
upaya pemberantasan korupsi saat itu (Margana, dalam
Wijayanto, 2009:415-416).
Melabel korupsi sebagai tindakan yang membudaya akan
menghubungkan korupsi dengan konsep “determinisme kultural”
(cultural determinism). Determinisme kultural ini merupakan
konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam
mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh meluas
dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural memberikan
pengertian bahwa kebudayaan tertentu dalam masyarakat tertentu
telah memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan
korupsi dan penyelewengan.
Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang
sedemikian berbeda sehingga korupsi kurang dituntut
kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan merupakan bagian
dari adat istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-
istiadat yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan
korupsi dan penyelewengan semakin masif terjadi di masyarakat.
Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman berperilaku
masyarakat satu dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat
menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat korupsi
terjadi. Perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk
mendukung tindakan korupsi.
Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi
sebagai persoalan budaya. Diantaranya adalah teori dari Emile
Durkheim (185-1917). Sosiolog Prancis ini memandang bahwa
9
watak manusia sebenarnya bersifat pasif dipengaruhi dan
dikendalikan oleh struktur dalam masyarakatnya. Individu secara
moral, netral, dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya
(Kamil, 2009:848). Dalam konteks prilaku koruptif dan
penyelewengan bantuan bencana, berarti bahwa sistem budaya dan
kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang membentuk prilaku
individu. Ketika individu berada dalam struktur kelembagaan yang
korup, maka struktur yang korup tersebut akan membentuk
individu yang korup pula. Sebesar apapun sifat baik yang dimiliki
seorang individu, ketika ia masuk dalam lembaga yang korup maka
lama kelamaan akan masuk dalam pusaran hitam prilaku korupsi.
Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk
prilaku individu. Ketika suatu lembaga memiliki sistem budaya
yang korup, nilai dan moral telah bergeser dan membentuk nilai
baru, yang selanjutnya dipegang bersama oleh anggotanya sebagai
pedoman berperilaku. Nilai baru inilah yang dianggap sebagai nilai
yang benar walaupun dalam ukuran nilai yang sebelumnya
merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga ketika ada seorang
Indvidu yang memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan
moral dan nilai yang kuat akan dianggap menyimpang ketika ia
berada dalam lembaga yang korup tersebut.
Sementara Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan
politik yang banyak dipengaruhi oleh teori Sosiologi
Fungsionalisme struktural Talcot Parson dan Behavioral Science
dari disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain mengenai
tindakan korupsi dan penyelewengan berkaitan dengan
kebudayaan. Bagi Almond, yang banyak dipengaruhi
fungsionalisme struktural, memahami kebudayaan dan masyarakat
dengan pengertian yang luas, dimana masyarakat dipandang
sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang saling bergatung
(interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam bntuk tindakan
10
korupsi tidak bisa dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri,
namun saling berkaitan dan berinteraksi dengan struktur lain
seperti ekonomi, dan budaya (Kamil,2009:848-850).
2. Agama
1. Korupsi Menurut Agama
a. Korupsi Menurut Agama Islam
Korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum Islam dapat
diklasifikasikan kepada kategori, sebagai berikut :
Khiyānah
Secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi
jahat (syar). Menurut al-Raghib al-Isfahānī, seorang pakar
bahasa Arab, khiyānah adalah sikap tidak memenuhi suatu janji
atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan
khiyānah juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau
mengambil hak-hak orang lain, dalam bentuk pembatalan
sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah
mu‘amalah.
Al-ghasy (penipuan)
Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadnya,
karena nas belum menerangkan bentuk sanksi kepadanya secara
kongkrit, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis. Oleh
karena itu penentuan sanksi hukumannya kembali kepada
jarimah ta‘zīr, yang membutuhkan ijtihād hakim dalam
memutuskan hukum terhadap pelakunya. Istilah al-ghasy dalam
bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang jelek.
Risywah (suap)
Secara harfiah, suap (risywah) berarti “batu bulat” yang jika
dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu
berbicara apapun.30 Jadi suap bisa membungkam seseorang dari
11
kebenaran. Menurut Ibrahīm al-Nakha’ī, suap adalah sesuatu
yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan
kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran. Syaikh ‘Abd
al-‘Azīz bin ‘Abd Allāh bin Baz mendefinisikan suap dengan
memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi
pelaksanaan maslahat (tugas/kewajiban) yang tugas itu harus
dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip.
12
Maksudnya, orang melakukan penggelapan (korupsi) kondisinya di
hari kiamat nanti diumpamakan dengan keadaan seseorang yang memikul
apa saja yang dikorupsinya. Ia merasa kesulitan akibat beban dosa-
dosanya, tidak ada seorang pun yang mau membantunya, dan ia merasa
terhina karena tak ada seorang pun yang mau peduli kepadanya.
13
Terutamaapabila yang dikorupsi adalah harta orang-orang
miskin yang jauh lebih membutuhkan daripada mereka.Maka
hukuman yang terberat akan diberikan kepadanya.
14
b. Korupsi Menurut Agama Buddha
Dalam agama Buddha korupsi didasari oleh keserakahan dan
berakar pada kebodohan batin. Jika seseorang memiliki pandangan
benar tidak mungkin ia bertindak bodoh. Ia akan menyadari semua itu
tidak kekal. Kemudian juga karena faktor lingkungan pergaula yang
kurang bagus sehingga mendukung munculnya perilaku korupsi.
Korupsi termasuk melanggarAturan-moralitas Buddhis (sila) ke
dua—mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya— dan akan
mengkondisikan seseorang melanggar Aturan-moralitas Buddhis
(sila)ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau
berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah
‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk
menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang
melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan-moralitas
Buddhis (sila) ke-4dariLima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila).
Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang
sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan-moralitas
Buddhis (sila).
Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa
mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata
pencahariannya dimanfaatkan untuk:
Menipu (kuhana),
Membual (lapana),
Memeras (nemittakata),
Menggelapkan (nippesikata),
Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha)
15
lingkungan yang kondusif yang bebas dari sikap hidup korupsi,
sehingga akan meningkatkan rasa malu dan rasa takut dalam berbuat
korupsi.
Jika ditinjau dari dari aspek Buddhisme, semua perbuatan pasti
akan menerima akibatnya. Si pelaku korupsi akan menerima
akibat karma(karma artinya perbuatan yang disertai niat)sesuai
perbuatannya. Dan sesuai hukum paticcasamuppada, bahwa segala
sesuatu itu saling bergantungan, akan membuat akibat-akibat yang
buruk bagi keluarga si pelaku maupun bagi masyarakat luas dan
Negara.
16
Korupsi dalam agama hindu juga merupakan tindakan yang
melanggar Catur Purusa Artha dimana seseorang harus mengutamakan
Dharma (kebenaran) untuk memperoleh Artha (harta benda) dan Kama
(keinginan) demi mencapai tujuan hidup yakni Moksartham Jagadhita
Ya Ca Iti Dharma (kebahagian di dunia dan akhirat).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah
kondisi yang terbangun karena melawan hokum kerja (rta) dimana
sang koruptor ingin mendapatkan sesuatu bukan dari hasil kerja keras
sehingga merugikan negara. (Sri Wedari.2015:14)
Tindakan kejahatan seperti ini, bukan hal yang biasa, dalam kitab
suci agama hindu telah diprediksi bahwa di Jaman Kali Yuga ini,
kejahatan akan lebih banyak dari pada kebaikan dimana kejahatan 75
persen sedangkan kebaikan hanya 25 persen. Selain itu, penyebab
orang korupsi yakni tidak adanya pengendalian terhadap Sad Ripu
yang ada dalam diri setiap manusia. Ke enam musuh tersebut yakni (1)
kama yaitu nafsu atau keinginan yang berlebihan sehingga melampau
batas kemampuan; (2) Tamak atau sifat rakus yang ada pada diri
manusia; (3) Krodha yaitu sifat marah yang terlalu berlebihan; (4)
Moha yaitu sifat bingung atau awidya; (5) Mada yaitu sifat mabuk baik
karena harta mau pun keinginan atau minuman; dan (6) Matsarya yaitu
sifat dengki atau iri hati.
3. Hukum
Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai
suatu tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidanakan.
Dalam konteks hukum, setiap tindakan yang melanggar peraturan
Perundang-Undangan maka dapat dipidanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan penyelewengan bantuan
bencana alam, maka Undang-undang yang dapat menjerat pelaku
yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah
17
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
pemberantasan tindak pidana Korupsi.
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan
tindak pidana Korupsi, memuat 29 pasal berkaitan dengan tindakan
yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Sebagai persoalan
hukum dan telah diatur dalam perundang-undangan, maka segala
bentuk tindakan individu ataupun kelompok yang melanggar UU
tersebut dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi yang berat.
Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain
ancaman pidana yang lebih berat dari UU sebelumnya (UU No.3
Th.1971), UU ini juga memberikan pemberatan terhadap hal-hal
sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)
Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu, ancamannya dapat berupa pidanan mati. Adapun yang
dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu keadaan saat negara
ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang
berlaku; Terjadi Bencana Alam Nasional; Pengulangan tindak
pidana korupsi; dan dalam keadaan krisis moneter.
Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi,
maka diberlakukan UU ini;
Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana
yang sama;
Orang diluar negeri yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama
dengan pelaku;
Dilakukan dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu
pidana mati dapat dijatuhkan.
18
Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai
pidana tambahan berupa: pertama, Perampasan barang bergerak yang
berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kedua, pembayaran
uang Penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam
tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang
pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak memiliki
harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesudah putusan
pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
19
bancana alam meletusnya gunung kelud februari 2014 (EncietyNews,
2014).
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang
secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur
dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya
diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang
Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan
dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme,
penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman
yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi,
rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Adminstrative Coruption dan
Against The Rule Corruption. Serta ada hukum yang mengatur tindakan
tersebut dan ada lembaga tersendiri yang menangani kasus tersebut
3.2 Saran
1. Permasalahan negara berkembang yang paling kompleks adalah
perebutan kekuasaan dan penyelewengan kekuasaan, maka dari itu hal
pertama untuk membentengi diri adalah upaya seluruh pihak untuk
kembali kepada moral pribadi yang berdasarkan nilai dan kaidah
agama, serta penegakan hukum agama yang mantap di segala bidang
serta dari usia dini.
2. Korupsi tidak diselesaikan oleh satu badan hukum, tapi harus diadakan
konfigurasi yang erat. Maka dari itu kepada semua kalangan
diharapkan dapat turut serta mengawasi jalannya pemerintahan
sekaligus banyak berkaca untuk melihat keikutsertaan kita dalam
membangun bangsa
3. Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak
dini.Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Dan
21
seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap terpidana korupsi.
Undang-undang yang adapun dapat dipergunakan dengan sebaik-
baiknya. Agar korupsi tidak lagi menjadi budaya di negara ini.
22
DAFTAR PUSTAKA
23