Anda di halaman 1dari 151

i

UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta


Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
secara komersial dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus
juta rupiah).
(2) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf
f, dan/atau huruf g untuk Penggunaan secara komersial dipidanakan
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan secara komersial dipidanakan
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
4.000.000.000,- (empat miliar rupiah)

ii
Diterbitkan oleh :

iii
MALEWA,
Lelaki yang Berjalan di Atas Air
(Sebuah Novel)
Andhika Mappasomba Daeng Mammangka

Diterbitkan oleh Penerbit Rumah Bunyi


2019
Email : rumahbunyibookstore@gmail.com
0852 2589 0811

Desain Sampul: Andi Mallarangan


layout : Andi Mallarangan
Pemeriksa Aksara: Ronisalasa
Penyunting: Nurlailatul Qadriani

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Tanpa Izin Tertulis Dari Penulis dan Penerbit,
Dilarang Keras
Memperbanyak Isi Buku Ini Bentuk dan Cara Apa Pun
Perpustakaan Nasional :
Katalog Dalam Penerbitan (KDT)

Edisi Pertama, Maret 2019


Halaman: viii-143
Ukuran: 13 x 20 cm
ISBN : 978-602-52758-9-0

iv
“Terbagi pahala karya ini
untuk kedua Orangtua dan Mertua, Istriku
Nursusanti B. Borakanda dan kedua lelaki yang
selalu didoakan menjadi Alim Ulama,
A. S Balya Al Battar dan A. S Xavier Al Bardani.
Juga kepada mereka yang membantu penyusunan
dan menyebarluaskan karya ini. Setiap kali selawat
dibaca dalam novel ini, semoga mereka semua
mendapatkan pula pahalanya,
aamiin”

v
Bismillahirahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala
ali Sayyidina Muhammad

Dengan memohon perlindungan kepada Allah


Subhana Wa Ta’ala, saya memulai menuliskan Novelet
ini di Masjid Tua Al Hilal Katangka, seusai salat Asar dan
hujan gerimis dengan suasana hati yang sedang belajar
berjuang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
zikrullah.
Mulai ditulis di Masjid Tua Al Hilal Katangka, Gowa,
Sulawesi Selatan (Tahun 1603), Selasa 04 Desember
2018 Dan terus Mengeksplorasi ide, diedit, dan dituliskan
di Masjid Agung Syech Yusuf Sungguminasa Gowa,
Masjid Besar Merdeka Wonomulyo Sulbar, Masjid Imam
Lapeo Campalagian, Masjid Jami H. Baharuddin Lopa
Campalagian, Masjid Besar nan Indah di Kota Lasuasua,
Masjid di Tengah Laut Al Alam Kota Kendari, Masjid Tua
Syech Abdul Mannan Salabose dan Masjid Tua Lambanan
di Mandar, Masjid Takwa Pambusuang Mandar, Masjid
Agung Kota Jeneponto, dan Masjid lain yang tak sempat
saya tuliskan namanya.

Februari 2019

Andhika Mappasomba Daeng Mammangka

vi
Pengantar Penulis vi

1. Pertemuan 1
2. Cinta yang Pergi 2
3. Dunia yang Asing dan Sepi 8
4. Pergi 12
5. Lautan 20
6. Meniti Ombak 26
7. Perempuan Cantik di Ujung Dermaga 32
8. Perompak 44
9. Tanda 54
10. Gerimis di Laut Lepas 57
11. Penghuni Dermaga 59
12. Godaan 63
13. Buku 66
14. Di Rumah Ustaz Kahar 72
15. Malam Terang Bulan 78
16. Meneruskan Pesan Mimpi 82
17. Memilih Jalan Berbeda 91
18. Atikah 99

vii
19. Bertahun-tahun Kemudian 102
20. Tragedi Pelabuhan 104
21. Singapura 108
22. Bunga Merah di Kota Melbourne 113
23. Mengenang Lelaki yang Berjalan di Atas Air 122
24. Diculik 137
25. Masjid Tua Katangka 140

Tentang Penulis 142

viii
“Sambil terus memilin biji tasbihnya yang hitam,
dia pun mulai berkisah...”

Masih sangat pagi. Jalanan belumlah terlalu ramai


orang berlalu lalang. Hujan gerimis masih turun ketika
seorang lelaki berjalan pelan memasuki Masjid Tua
Katangka Gowa. Dia memakai ikat kepala dan sarung
hitam dengan baju yang berwarna hitam. Dia datang
memenuhi janji untuk bertemu seorang Mahasiswi di
masjid itu, beberapa hari sebelumnya.
Mahasiswi itu telah ada di sana, melihat-lihat
kuburan tua di sekitaran masjid. Dia menyambut kehadiran
Lelaki yang berjalan itu dengan wajah yang bahagia.
Mereka duduk di serambi masjid, di sisi beduk tua
bercat hijau. Mahasiswi itu pun mendengar kisah hidupnya
yang penuh petualangan dan tak pernah diceritakannya
pada siapa pun.
Dinding Masjid Tua Katangka yang tebal dan
kokoh melintasi zaman itu menjadi saksi ketika lelaki itu
bercerita dengan pelan dan penuh penghayatan. Sesekali
lelaki itu tengadah ke langit-langit masjid jika matanya
berkaca-kaca mengisahkan perjalanan hidupnya.
Setelah menyodorkan selembar kertas bertulis
tangan kepada Mahasiswi itu, sambil terus memilin biji
tasbihnya yang hitam, dia pun mulai berkisah...

1
“Saya merasa telah menemukan kematian setelah
kehilangan kekasih. Saya tak memiliki bayangan
perempuan lain dan tidak juga memiliki nama lain. Saya
telah merasakan sebuah kehilangan yang dahsyat dan
kehilangan itu telah mengubah segalanya...”

Saat masih sekolah, mungkin, sayalah murid yang


paling sering masuk ke ruang perpustakaan, membaca
buku atau meminjamnya pulang ke rumah. Saya bukan
hanya membaca buku dari penulis Indonesia. Saya juga
membaca buku-buku mendunia yang telah diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia.
Dari sanalah, saya membaca banyak nama yang
di kemudian hari saya kenali sebagai sastrawan yang
terkemuka di dunia pada setiap zamannya. Sastrawan
yang menjadi penerjemah wajah sosial dan menjadi
penanda pada setiap penemuannya di dalam waktu.
Sastrawan yang jika menulis untaian kata bahagia,
orang-orang akan turut bahagia. Sastrawan yang jika
menuliskan kalimat duka lara, semua pembaca akan
dibuatnya menangis. Dari sanalah saya membaca Hassan
bin Tsabit sang penyair yang membela Nabi Muhammad
dari cercaan kaum kafir, pembenci Islam. Demikian juga
di sana kutemukan nama Pablo Neruda dan Rabinranath

2
Tagore, serta Kahlil Gibran yang tampak menuliskan
serpihan tragedi sepanjang hayatnya.
Saya membaca buku apa saja. Tapi, buku yang
paling menggetarkan hati bagi saya adalah selalu tentang
cinta. Buku-buku yang demikian itu seolah telah membuat
saya sedang berada di dunia lain, atau mungkin saja
menjadi tokoh utama dari cerita yang saya baca. Saya
selalu berhasil masuk ke dalam alur cerita, terlebih jika
membaca buku yang memang saya sukai.
Sekali waktu, saya membaca Laila Majnun, saya
menangis tersedu-sedu dan merasa bahwa saya adalah
Qais yang malang dengan cinta yang besar dan teduh itu.
Saya seolah merasakan derita jiwa yang merundung Qais
dalam ketakbisaannya memiliki Laila, kekasihnya yang
jelita nan berbudi lembut menyelimuti kesepian jiwa. Saya
ikut merasakan mata Laila yang besar dan bening itu saat
menatapi Qais dengan rasa yang tak terjelaskan dengan
kata-kata.
Saya seperti ikut merasakan bagaimana mata Laila
telah menjadi mata yang jika menatap akan membawa
kesejukan purnama atau angin semilir yang membawa
kabut tipis dari pegunungan. Tak ada mata dengan narasi
sepuitis itu. Saya curiga, penulisnya pernah bermimpi
melihat surga, lalu mencuri dengar kata-kata dan kalimat
penduduk surga dan membawanya ke dalam dunia yang
fana ini.
Setelah membaca kisah Laila Majnun yang telah
berusia hampir seribuan tahun itu, saya mengalami
guncangan jiwa. Saya menatap dunia dengan rasa yang
hampa. Saya menatapnya dengan harapan yang mati.
Seperti Qais, saya hanya menunggu kematian di dalam

3
kesepian dengan syair-syair penuh harapan dan luka yang
perih. Sungguh kisah mereka mengendap dalam pikiran
dan melumpuhkan kesadaran.
Saya mengikuti jejak Qais. Saya mulai senang
menyendiri dan merenungi kehidupan. Setiap hamparan
bunga di lereng perbukitan yang kujumpai, saya
senandungkan syair yang paling indah. Setiap kutemukan
teluk kesepian, saya senandungkan syair yang paling
luka. Setiap kujumpai gurun, kuteriakan nama kekasih
hatiku, kekasih yang tentu bukan Laila. Tapi, seseorang
yang terbaik dengan kecantikan yang tak bisa terjelaskan
dengan kata-kata.
Kembang desa dengan aroma semerbak mawar
dan melati yang mengundang banyak kumbang datang
padanya, bertarung memperebutkannya. Kumbang
dengan mahkota-mahkota rupa warna beserta jubah-
jubah kebesaran dengan benang emas dan rumbai-rumbai
pada ujung-ujung kainnya.
Adakah guncangan lebih dahsyat di dalam lembah
hening jiwa seorang lelaki muda yang jatuh cinta dan
jiwanya dipenuhi syair cinta? Qais yang malang dan Laila
yang merana. Kita sedang berada pada situasi yang sama.
Ketika orang menemukan tubuh Qais yang tak
lagi bernyawa, lalu mengantarnya ke pemakaman dan
memasukkannya ke dalam liang lahat, saya melihat
wajahku sendiri yang ditimbuni tanah. Wajah yang
berduka karena harapan-harapan cinta yang membeku
dan tak pernah sampai.
Ketika orang membuat nisan dan memahat nama di
sana, saya membaca bukan nama Qais yang tertera, tapi
saya merasa membaca namaku sendiri.

4
Saya merasa telah menemukan kematian setelah
kehilangan kekasih. Saya tak memiliki bayangan
perempuan lain dan tidak juga memiliki nama lain.
Saya telah merasakan sebuah kehilangan yang dahsyat
dan kehilangan itu telah mengubah segalanya. Malam
membentang terasa lebih panjang dan siang terasa
merentang dengan sangat lama dan sia-sia.
Bertahun lamanya, kami berjalan kaki saat pergi
dan pulang sekolah. Mengaji di masjid kampung dan
tumbuh bersama. Lalu, tanpa kami sadari, seiring waktu
dan kebersamaan, cinta pun tumbuh di antara kami,
meski kami tak pernah sungguh membahas dan membuat
pengakuan, tapi kami sama merasakannya. Merasakan
kuncup-kuncup rasa berdetak di dalam hati kami.
Sehari saja tak bertemu dan berjalan bersama,
dunia seperti dilanda kesepian yang dahsyat. Sekolah
kami terasa seperti taman kehilangan bunga atau bunga
yang kehilangan keharuman. Kampung seperti kota besar
yang mati karena ditinggalkan penduduknya. Kota seperti
dilanda perang yang dahsyat atau dilanda wabah penyakit
yang mematikan.
Begitulah kami saling mencintai dan merasa tak
ingin berpisah. Tapi, takdir harus berkata lain. Kami
dilarang untuk selalu bersama. Orang Tua Atikah bersama
keluarga besarnya tidak senang dengan keadaan kami.
Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Entah apa yang
mereka bicarakan di rumah besar dan mewah mereka
tentang kami, sehingga kami pun dipisahkan.
Atikah seolah dibawa ke dalam sebuah gua
tersembunyi dan tak seorang pun pernah ke sana. Dia
seolah disembunyikan dalam bilik-bilik berlapis baja yang

5
tak dapat saya tembus. Saya sungguh kehilangan jejaknya.
Kehilangan alamatnya, kemana dia pergi.
Pagi itu, di sebuah hari, saya melihat sebuah
koper dan beberapa tas dinaikkan ke mobil yang
berhenti di depan rumah Atikah, saya melihatnya dari
balik rumah tetangganya. Sudah cukup lama saya tidak
berani mendekati Atikah setelah peristiwa yang nyaris
merenggut nyawa saya. Sepupu Atikah yang pemabuk
pernah beberapa kali mengadang saya dan memaksa saya
untuk menjauhi Atikah, sambil menunjuki saya dengan
sebilah Badik Makassar.
Saat melihat Atikah turun dari tangga rumahnya
dan berjalan pelan membuka pintu mobil, aura wajahnya
muram dan sorot matanya yang indah itu tampak redup,
menyiratkan jika dia baru saja menangis dengan duka
yang sangat dalam.
Dia tak melihat ke arah saya, tapi saya yakin, saat
dia naik ke mobil dan menutup pintunya, pikirannya
sedang dipenuhi kerinduan, dia sedang ingin melihat
saya yang terakhir kalinya sebelum pergi dari kampung,
seperti yang kerap dilakukannya jika selama ini kami akan
berpisah sekadar beberapa hari saat liburan sekolah.
Perlahan mobil itu bergerak menjauh dan keluar
dari kampung. Saya merasa angkasa raya menjadi hitam
pekat dengan langit yang penuh benih air mata. Ketika
mobil menghilang di kelokan jalan, hujan badai terasa
tumpah di kampung kami mengguyur dengan dahsyat dan
saya berlari ke dalamnya, menangis dengan keras, dengan
kesedihan yang meraung dari dalam jiwa.
Orang mungkin melihat saya sedang girang bahagia
sambil menari. Sebenarnya, saya sedang menangis

6
tersedu-sedu dengan tubuh yang sempoyongan di dalam
hujan.
“Atikah kekasihku, pergilah kau, pergilah! patuhlah
pada orang tuamu. Dengarkanlah mereka, jangan seperti
saya, yang tak memiliki orang tua sejak kecil. Sungguh
tidak nyaman hidup tanpa mereka, kita tak memiliki
sandaran hidup dan tempat berkeluh kesah dan membagi
cerita.”
Begitulah kepiluan hati Malewa atas kehilangan
kekasih yang amat dicintainya. Hidupnya yang malang
dan penuh air mata kemiskinan sebagai yatim piatu, harus
bertambah berat dengan duka cinta yang menggores
hatinya.
Bukan sekali atau dua kali malewa pernah melompat
ke dalam laut dan menahan napasnya sampai pingsan. Dia
beruntung selalu diselamatkan oleh orang yang menyertai
atau melihatnya. Kelakuannya ini sungguh membuat orang
tua angkatnya kelimpungan dan ketakutan. Orang-orang
sekampung pun kini lebih waspada dengan kelakuan-
kelakuan Malewa yang kadang dianggap kurang wajar.
Malewa tak lagi pernah ikut latihan silat bersama Daeng
Marinnyo, pendekar tua di kampungnya.
Setiap Jumat sore dan Ahad pagi, dia menangis
lebih deras, bukan hanya karena kerinduan kepada
orang tuanya yang meninggal sejak dia masih balita. Dia
menangis lebih deras, karena kehilangan separuh kelopak
hatinya. Dia mengisahkan dukanya itu pada nisan ayah
dan ibunya di hari itu. Nisan yang berpahatkan nama; Hj.
M. Intang Daeng Kanang dan H. M. Sultan Demma’lala’.

7
“di langit mana pun kau bernaung dari derasnya
hujan kerinduan atau diselimuti kabut dingin kesedihan,
bentangkanlah cinta untuk memayungi tubuhmu dari
basahnya air mata kesedihan di pipimu”

Tanpa Atikah di kampung ini, semua waktu yang


berlalu terasa datar dan tanpa gairah. Saya kehilangan
senyum dan keriangan. Saya tak lagi punya hasrat apa-
apa. Makan pun hanya jika sudah tak bisa menahankan
lapar. Saya tak lagi ikut bermain ke hutan mencari madu
atau kayu bakar bersama kawan-kawan sekampung.
Saya beruntung memiliki orang tua angkat yang
menyayangi saya. Meski telah lama menikah, mereka
belum memiliki anak. Mereka telah menganggap saya
sebagai anak sendiri. Bersama dengan segala keterbatasan
sebagai keluarga nelayan yang miskin, mereka tetap selalu
berusaha memenuhi kebutuhan saya.
Mereka selalu berusaha membuat saya bahagia.
Saya amat mencintai mereka. Tapi, bagaimana pun,
mereka bukanlah keluarga yang segaris darah dengan
saya. Saya hanyalah orang lain yang dipeliharanya sejak
kecil, mereka adalah teman ayah ketika beliau masih

8
hidup. Dan ayah pernah berwasiat, jika terjadi sesuatu
pada mereka, saya dititipkan kepadanya, dirawat dan
disekolahkan semampunya.
Seperti mendapatkan pertanda dari langit, ayah
dan ibu saya meninggal tak lama setelah wasiat itu
disampaikannya. Di sebuah pagi, orang-orang menemukan
ayah dan ibu di atas perahu Sandeq miliknya dalam
keadaan kaku tak bernyawa.
Sejak memahami kematian sebagai sebuah
kehilangan abadi, dunia menjadi sepi di dalam jiwaku.
Kini, kesepian itu menjadi berlipat-lipat dahsyatnya.
Cinta telah merontokkan segalanya. Seperti taman yang
ditinggal pergi oleh tuannya, dan di sana masih tumbuh
setangkai bunga putih, setangkai bunga melati. Taman
bunga yang begitu luas dan tersisa satu bunga itulah
narasi jiwaku. Dia kesepian dalam kesendiriannya.
Tak ada yang pernah datang menyiramnya. Tak
ada yang pernah datang menyapa dan menikmati indah
putihnya, bahkan tak ada yang pernah datang walau
sekadar untuk menoleh. Dia seperti sebuah taman bunga
rahasia yang tak pernah ditemukan oleh siapa pun.
Seperti gua karang bawah laut yang tak pernah diselami
siapa pun.
Atikah pergi membawa hampir seluruh jiwaku
bersamanya. Rasanya, kematian begitu dekat setiap saat
karena rinduku yang kehilangan arah. Saya tak tahu harus
menghubungi Atikah dengan cara bagaimana. Dia tak
memiliki alamat. Seolah, semua orang menyembunyikan
alamatnya. Dunia terasa menjadi musuh. Tak satu pun
yang berpihak kepadaku.

9
Hampir setiap malam, ketika waktu menunjukkan
pukul 12.00 malam, saat mesin genset raksasa lampu
listrik di kampung kami telah dimatikan oleh petugas
PLN di gardu induk, suara binatang malam terasa nyaring
meneriakkan tangisan sedih meski datang dari kejauhan.
Suara-suara itu seperti orkestra kesedihan yang
menggiring jiwaku kepada kematian. Dia seperti sebuah
lagu klasik yang telah mengantarkan begitu banyak orang
untuk membunuh dirinya dalam kesepian yang mengilu-
kan. Lagu yang pernah mengguncang dunia dan dilarang
oleh berbagai negara untuk diperdengarkan. Lagu itu
tepat untuk menggambarkan suasana jiwa dan ragaku;
Gloomy Sunday.” Suara Billie Holiday yang melengking, se-
olah membawa belati dan menusuk jantungku berkali-kali
Saya pernah membaca buku Buya Hamka yang
berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, lalu terkenang
nasib Zainuddin yang merana karena pengkhianatan
Hayati yang meninggalkannya dan menikah dengan lelaki
lain, menuruti kata orang tuanya.
Saya terkenang bagaimana Zainuddin harus terbujur
tak berdaya dalam kemeranaannya. Cintanya yang begitu
dahsyat dan besar harus terhempas ke dalam palung laut
yang tiada terkira kedalamnya. Dan di dasar palung itulah,
Zainuddin menangis siang malam, meratapi kehilangan
cintanya.
Saya kerap menarasikan kesedihan jiwaku tanpa
Atikah kekasihku. Saya tak jarang kehilangan banyak
kosakata untuk menyatakannya.
“Atikah kekasihku, di langit mana pun kau bernaung
dari derasnya hujan kerinduan atau diselimuti kabut

10
dingin kesedihan, bentangkanlah cinta untuk memayungi
tubuhmu dari basahnya air mata kesedihan di pipimu.
Nantikanlah aku akan menemukanmu. Hingga ke ujung
dunia pun aku akan mencari jalan menemukanmu. Meski
harus bertemu malaikat di puncak-puncak gunung yang
tinggi atau dasar-dasar samudera yang dalam. Aku akan
memelihara kesetiaan untuk menyambut masa, setiap
pagi kita akan menyambut terang bersama-sama, di
depan jendela pada sebuah rumah yang hanya berisi cinta
kita. Kecuali, takdir harus membuat kita berada pada dua
dunia berbeda dan simpul cinta kita hanya terikat pada
separuh hati.”
Bagaikan pujangga yang merenungkan ilham, batin
Malewa terus membisikkan narasi-narasi kesedihannya,
untuk mengobati kepiluan hatinya.

11
“Dia seolah ingin berkata,
bahwa saya harus berjalan lebih jauh
dan mendaki lebih tinggi pada kehidupan untuk tiba pada
puncak-puncak ilmu. Dan saya bisa keluar dari hempasan
duka cinta dan lara rindu di dalam jiwaku...”

Sekali waktu, tanpa sengaja saya bertemu ibu


Atikah di depan masjid tempat kami mengaji, Masjid satu-
satunya di kampung kami. Saat dia melihatku, dia segera
memalingkan wajahnya dan bergegas pergi. Saya pun
mengikuti dan mencoba menghentikan langkahnya.
Saya terus mencoba untuk bicara padanya dengan
bahasa yang paling santun dari lubuk jiwa. Bukannya
dijawab dengan kata-kata penuh empati, malah ibunya
memberi jawaban yang menusuk hati dan membawa
keperihan pada jiwaku.
“Malewa, berhentilah kau memimpikan Atikah. Dia
telah jauh. Dia telah memiliki kehidupannya sendiri. Dia
tak akan diizinkan lagi kembali ke kampung ini sebelum
dia menikah dengan lelaki lain atau kamu telah tak berada
di kampung ini lagi. Berhentilah kau memimpikannya.
Jangan paksa kami untuk bicara dengan keras sehingga
12
kata-kata kasar terpaksa harus kami lontarkan kepadamu
setiap saat. Kami memikirkan masa depan anak kami.
Atikah tidak mungkin kami restui dengan laki-laki miskin
sebatang kara sepertimu. Masa depanmu gelap, kelam, dan
tanpa harapan. Kami tidak ingin anak kami menderita.”
Saya tak kuasa menanggapi kalimat ibunya. Saya
memahami kalimat itu dengan baik. Jika memaksa, maka
hinaan dan cercaan akan mengucur dari mulut-mulut
mereka, menghina diri dan kemiskinan saya.
Cinta yang meremukkan hati saya sungguh
melumpuhkan syaraf-syaraf kesadaran. Saya kadang tak
sadar diri berjalan kesana-kemari, berkeliling kampung,
bersenandung lagu tak jelas dan merapal syair-syair
dengan kalimat-kalimat yang kehilangan keriangan.
Kalimat-kalimat yang penuh duka lara dan rintihan
keperihan hati. Kadang, saya mengajak bayanganku untuk
berkelahi jika saya merasa bahwa bayangan itu mengejek-
ejek keadaanku.
Lima bulan setelah naik kelas tiga, saya memutuskan
berhenti sekolah. Saya tidak peduli dengan nasihat guru
dan teman sekolah. Hati dan pikiran saya telah gelap.
Hati saya hanya terbuka oleh cerita petualangan
beberapa perantau. Saya akhirnya diizinkan ikut
berlayar dengan sebuah kapal kayu buatan Bontobahari,
Bulukumba. Kapal kayu itu tidak terlampau besar, namun
sangat kokoh. Dia akan dilayarkan ke Irian Jaya. Melewati
Laut Banda. Saya telah berkali-kali betemu dengan
nakhodanya saat perahu itu dibuat.
Saya melihat proses perahu kayu itu dibuat dengan
penuh rasa cinta oleh tangan terampil orang Bulukumba.

13
Dia dibangun dengan kayu-kayu pilihan dari jenis Bitti
dan Jati. Berbagai ritual yang tak saya pahami maksud
dan tujuannya telah dihelat. Yang paling saya ingat adalah
sehari sebelum perahu itu didorong ke laut, di bagian
belakang, di buritan perahu itu dicat dengan tulisan warna
merah, KM Wasior Indah.
Laut tidaklah menakutkan bagi saya. Beberapa tetua
yang telah sepuh dan tak melaut lagi kerap mengisahkan
diri mereka kepada saya. Bahwa, ketika mereka masih
muda, mereka telah berlayar ke hampir semua perairan
di Nusantara. Mereka sangat fasih mengisahkan kenangan
pada setiap dermaga yang mereka singgahi. Mengisahkan
perjumpaan dengan hantu atau jin laut dan pertemuan-
pertemuan arus yang bergelora dahsyat.
Seperti kisah petualangan seorang lelaki tua yang
tinggal sendirian di tepi pantai, yang kerap kali saya
jumpai ketika saya ke pantai menyembunyikan kesedihan-
kesedihan atas kehilangan Atikah.
Mungkin karena penasaran selalu melihat saya
datang ke pantai dengan raut kesedihan, hingga suatu
saat dia mendatangi dan menanyakan sebab kegundahan
jiwa dan kesuraman di wajah saya. Saya pun mengisahkan
tentang duka cinta yang saya alami.
Lelaki itu hanya menarik napas panjang setiap
saya menjelaskan tentang cinta saya yang mendalam dan
besar untuk Atikah, anak kepala kampung yang kaya dan
disegani itu.
Lelaki tua itu pernah mengajak saya ke gubuknya dan
menyuguhkan segelas kopi yang tidak terlampau manis.
Sebungkus rokok juga digeletak di atas meja yang terbuat

14
dari papan-papan bekas yang tampaknya dibawa ombak
saat musim Angin Barat. Suara ombak yang menghempas
batu karang yang menjorok ke arah laut, tak jauh dari
gubuk itu, seakan berirama. Batu Tottok. Begitu orang
di kampung itu menyebut batu karang yang dipercaya
angker itu. Sesekali, sesajen warga tergeletak di sana. Batu
itulah yang menjadi muasal penamaan kampung kami.
“Kampung ini, terlalu kecil untuk menampung
mimpi lelaki muda sepertimu, nak.” Lelaki tua itu
memulai pembicaraan setelah sebatang rokok dibakar
dan diisapnya dua kali. Saya hanya menatap ke arahnya
dengan mimik yang hampa.
“Kampung ini, seharusnya menjadi persinggahan
sejenak saja untuk tumbuh. Seperti burung yang baru
ditetaskan dari telur, di sini kita hanya bisa menumbuhkan
bulu-bulu sebelum terbang meninggalkan sarang dan
hinggap dari pohon ke pohon. Kampung ini sebaiknya
hanya sebagai tempat untuk tumbuh seperti anak rusa
yang bersembunyi dari serigala. Dan ketika tanduknya
mulai tumbuh dengan kokoh tajam di atas kepalanya,
dia akan berjalan dengan langkah yang perkasa ke dalam
hutan atau perbukitan, untuk menemukan padang savana
yang rumputnya manis dan segar.” Saya terus menyimak
kata-kata lelaki tua itu yang kurasakan mengandung nilai
magis dan menggetarkan jiwa.
“Kau harus terus berjalan hingga bertemu seorang
guru yang akan menuntunmu berjalan di atas permukaan
air.” Lelaki tua itu terus berbicara memberi semangat.
Kata-katanya mengingatkan pada banyak buku sastra
yang pernah saya baca di perpustakaan sekolah.

15
“Lepaskan dahagamu dari berbagai mata air
yang memancar dari perut bumi. Kau tak akan bisa
mengisahkan segarnya air Ransiki di Manokwari, Irian Jaya
atau dinginnya angin semilir di Ngarai Sianok, Sumatera
Barat. Kau tak akan pernah bisa merasakan bagaimana
kakimu akan gemetaran saat menginjakkan kaki di titik
nol Sabang dan Merauke, menginjakkan kaki di Pulau
Miangas dan Pulau Rote lalu merasa paling Indonesia
di antara orang Indonesia saat kau merambahi batas-
batas negara di Utara dan Timur. Belumlah lagi, kau akan
menemukan begitu banyak mata yang cantik di Manado,
perempuan yang lembut di Solo, dan perempuan yang
penuh tata krama budaya di Aceh, serta gadis peranakan
Cina di Bangka Belitung,” lelaki tua itu terus bercerita
setiap kenangan yang pernah didapatinya pada tiap kota
yang pernah disinggahinya di masa muda.
Kata-kata lelaki tua itu terasa melampaui kata-kata
manusia biasa di hati Malewa. Ibarat pensyair, dia sedang
menusukkan kata-kata yang tajam ke dalam jiwa. Dia
sedang membakar dan mendidihkan darah muda yang
mengalir dalam tubuh Malewa.
Dia seolah ingin berkata, bahwa saya harus berjalan
lebih jauh dan mendaki lebih tinggi pada kehidupan untuk
tiba pada puncak-puncak ilmu. Dan saya bisa keluar dari
hempasan duka cinta dan lara rindu di dalam jiwaku.
“Tapi Atikah, jika saya pergi meninggalkan
kampung ini, itu berarti, ingatanku padamu akan menipis.
Di kampung ini, saya bisa menjaga cinta kita yang tebal
sebab hampir setiap sudut dari kampung ini mencatat
kenangan-kenangan kita sejak masih kecil. Satu-satunya

16
yang aku miliki saat ini dan membuatku bertahan untuk
hidup hanyalah kenangan tentang dirimu, tentang matamu
yang membekas pada sudut-sudut kampung, ruang yang
pernah kau tatapi,” bisik Malewa di suatu hari yang lain,
pada ombak yang berkejaran di pantai, tak jauh dari
rumah gubuk lelaki tua yang penuh kisah petualangan itu.
Lelaki tua itu juga mengisahkan bahwa dulu dia
pernah memiliki keluarga. Istrinya cantik dan punya dua
anak lelaki. Namun, dalam sebuah perjalanan dari Pulau
Nunukan, Kalimantan Timur menuju Mamuju dengan
Kapal Kayu yang telah digunakannya selama bertahun-
tahun mengarungi lautan, mereka tenggelam dihempas
badai saat berada di Selat Makassar, sekitar 5 kilometer
dari bibir Pantai Kumbiling, Mamuju, Sulawesi Barat.
Saat badai reda, dia ditemukan oleh seorang nelayan
dan diselamatkan ke darat. Sementara itu, perahu dan
keluarganya tidak pernah ditemukan. Bertahun-tahun
dia tinggal di tepi pantai yang bernama Pantai Kumbiling,
Mamuju itu dengan kondisi yang menyedihkan. Siang dan
malam dihabiskannya dengan menangis dan meratapi
anak dan istrinya yang tak kunjung ditemukan. Banyak
orang bersimpati dan memberinya makanan sebagai
penyambung hidup.
Semua orang yang pernah melihat dan mengetahui
kisahnya akan menaruh rasa prihatin pada dirinya.
Namun, seiring waktu, lelaki itu tiba pada kesadaran baru
soal kehidupan dan kematian. Dia berjalan meninggalkan
Mamuju dan berlayar kemana saja di Nusantara jika ada
perahu yang sudi membawanya entah sebagai Anak Buah
Kapal ataupun hanya sekadar menumpang.

17
Demikianlah, lelaki tua itu tiba di sini dan memba-
ngun gubuk dari potongan kayu dan papan yang dibawa
ombak dan Angin Barat ke tepi pantai. Sebelumnya, ka-
tanya, dia sempat berlayar ke Pulau Karasiang, dekat Pu-
lau Madura, bersama saudagar dari Mandar.
Hari demi hari, saya dan lelaki tua itu pun menjadi
sangat akrab. Seperti mata air yang terus memancar, dia
akan selalu memiliki kisah perjalanan dan buah-buah
pikiran yang bijaksana, seperti seorang sufi yang penuh
dengan kebijaksanaan dalam mengarungi kehidupan.
“Apakah pak tua pernah punya kekasih sebelum
menikah dan punya anak?” tanya saya saat berjalan
mencari ikan di tepi pantai saat air surut.
“ha..ha..ha... iya. Pernah. Saya punya beberapa. Tapi
entah, itu disebut kekasih atau bukan. Kadang, jika perahu
kami berlabuh di sebuah dermaga, meski tak lama, saya
selalu punya kisah yang tak pantas saya ceritakan di masa
tua ini. Tuhan melarang kita membongkar aib sendiri.
Saya senang menitipkan satu kenangan pada setiap
pertemuan dengan perempuan. Terlebih pada pertemuan
dengan seorang perempuan di dermaga yang baru kami
singgahi.” Lelaki tua itu tak membahasnya panjang. Dia
segera mengalihkan pembicaraan dengan mengarahkan
perhatiannya untuk menombak ke beberapa lubang yang
di dalamnya tampak ada cumi atau gurita di tepi laut yang
surut itu.
Mereka terus berjalan dan mengintip celah-celah
batu karang. Sesekali, lelaki tua itu memberikan tombak
ikannya kepada Malewa untuk menombak binatang laut

18
yang bisa disantap menjadi lauk yang gurih dan selebihnya
dijualnya untuk membeli kebutuhan hidup lainnya.
Demikianlah-kisah-kisah petualangan lelaki tua itu
menancap bagai anak panah keyakinan di hati Malewa
yang membuatnya semakin kukuh untuk berhenti sekolah
dan ikut berlayar. Dia jatuh hati pada kisah-kisah lelaki
tua itu.

19
“Dia terus menatapi laut dari atas ruang kemudi.
Seolah jiwanya menyenandungkan
puisi kepada laut yang luas tentang
cintanya yang terhempas
dan jatuh hancur berkeping-keping...”

Setelah menitipkan dua buah kaligrafi bertuliskan


Allah dan Muhammad kepada Marbut Masjid yang dia
harap dapat digantung di dinding masjid, dia melangkah
pulang ke rumah subuh itu. Malewa memohon doa
dan restu pada orang tua angkatnya, lalu bergegas ke
tepi pantai menemui lelaki tua sahabatnya untuk juga
berpamitan. Namun, sungguh kecewa hati Malewa, dia tak
menemukan lelaki tua itu di sana. Bahkan, tak ada tanda-
tanda bahwa rumah gubuk itu baru saja ditinggalkan,
kosong.
Dia mencari ke sekeliling gubuk dan tak menemukan
siapa-siapa, Malewa pun segera bergegas ke arah pantai,
tempat KM Wasior Indah itu ditambatkan. Enam orang
lain telah bersiap untuk berangkat. Barang-barang
kebutuhan dalam pelayaran pun telah dikemas rapi dan
diikat di geladak perahu. Malewa adalah yang paling muda
di antara mereka.
Setelah membaca doa bersama, seorang lelaki yang
lebih tua di antara mereka yang juga sebagai nakhoda
memimpin doa dan memberi arahan untuk segera
berangkat. Berkali-kali dia membaca selawat dan istigfar.
20
Jangkar ditarik dan mesin yang tak seberapa besar itu
pun dinyalakan. Perahu kayu bertiang satu itu bergerak
perlahan ke arah laut dan berbelok ke arah Timur.
Beberapa orang keluarga Anak Buah Kapal
melambai-lambaikan tangan di pantai. Sebuah bendera
merah dikibarkan dari gubuk lelaki tua sahabatnya, dari
sebatang bambu yang cukup panjang. Meski samar dan
tak jelas wajahnya dari tengah laut. Malewa yakin, lelaki
yang mengibarkan bendera itu adalah lelaki tua yang
penuh kisah petualangan hidup, sahabatnya yang telah
mengajarkannya banyak hal soal kehidupan.
Kampung kami sudah mulai hilang dari pandangan.
Hanya beberapa pohon besar dan tinggi menjulang
dari pepohonan lain yang menjadi penanda sehingga
kami masih bisa memperkirakan letak kampung kami.
Banyangan Atikah muncul di langit. Kesedihan menyeruak
di dalam hati. “Apakah Atikah sungguh tak akan bisa
kutemui lagi hingga kematian datang dan seperti apakah
akhir dari petualangan ini dan seperti apakah wujud
negeri-negeri yang akan saya tuju di kemudian hari?”
Pertanyaan itu terus menggema dalam pikiran
Malewa. Menggema dan sulit untuk dijawabnya.
Malam pertama di tengah lautan, sungguh
menggetarkan hatinya. Betapa tidak, daratan hanyalah
bayangan-bayangan kecil dengan kerlip lampunya yang
lebih kecil dari kunang-kunang.

*** ** ***
Saya tak banyak bergerak dan bicara. Sepanjang
pelayaran, saya hanya duduk di atas ruang kemudi,
melihat ke arah buritan, memperhatikan jejak perahu yang

21
sesekali diikuti ikan-ikan kecil yang beterbangan. Buih-
buih tampak bagai garis-garis memanjang, mentulkan
cahaya putih yang samar.
Seorang Anak Buah Kapal mendekati saya
dan menawarkan segelas kopi dan rokok. Kami pun
menikmati malam pertama di tengah lautan itu bersama-
sama. Sambil berkisah tentang banyak hal dan membahas
impian-impian perantauan.
Hingga pagi datang, cuaca sangat bersahabat.
Beberapa ekor lumba-lumba mengiringi perjalanan kami
di sisi kiri dan kanan perahu. Sesekali mereka muncul
ke permukaan. Hati saya sangat girang bukan kepalang.
Biasanya saya melihat situasi seperti ini hanya di televisi.
Kali ini saya melihatnya sendiri, betapa ikan lumba-lumba
itu tampak jinak dan bersahabat.
Tiba-tiba, bayangan wajah Atikah datang lagi.
Rasa bahagia saya melihat lumba-lumba di laut lepas,
menjadi sirna. Andai saja ada Atikah menemani, tentu
pemandangan pagi di laut lepas dengan lumba-lumba
akan jauh lebih indah dan menggetarkan hati.
Perahu kami terus bergerak ke arah Timur. Sesekali
kami berpapasan dengan perahu lain. Kami saling
menyapa dengan mengibas-ngibaskan kain sarung jika
berjauhan, namun bila berdekatan, kami hanya melambai-
lambaikan tangan. Seperti Pramuka yang mengirimkan
tanda dengan bendera semafor. Tapi, kami yakin, mereka
masih perahu-perahu milik nelayan Indonesia. Mereka
mengibarkan bendera merah putih pada bagian belakang
perahu mereka. Seperti kami yang mengikatkan bendera
serupa pada sebuah tiang pendek dan dipasang di bagian
buritan perahu.

22
Kami tiba di sebuah pulau yang sunyi dan sepi.
Nakhoda memerintahkan dua orang Anak Buah Kapal
untuk menggunakan sampan dan mendayung ke arah
sebuah pulau kecil yang tampaknya dihuni oleh beberapa
orang. Kami melihat beberapa atap rumah yang jumlahnya
tak sampai sepuluh buah. Nakhoda menyuruh mereka
membawa sebuah kardus yang entah isinya apa. Saya tak
begitu jelas mendengar apa yang dibahas oleh Nakhoda
dan dua orang Anak Buah Kapal itu.
Hampir sejam mereka berlabuh tak jauh dari pulau
itu. Setelah dua orang Anak Buah Kapal itu kembali,
seorang di antaranya bercerita kepada Nakhoda.
“Tabe Pungkaha! saya sudah tanya penduduk
di pulau itu, juga bertemu dengan orang Herlang dan
Bontotiro, Bulukumba yang tinggal di sana. Katanya,
tidak pernah tampak lagi perahu besar dengan bendera
Filipina itu berkeliaran di sekitar perairan yang akan
kita tuju. Mereka bilang, Polisi kerap melakukan patroli
dan menembaki mereka. Bahkan beberapa kapal telah
diamankan dan nelayan-nelayan biadab itu dideportasi.”
Anak Buah Kapal yang berambut panjang dan ikal
itu menjelaskan kepada Nakhoda setelah mengangkat
sampan kecilnya ke atas geladak. Nakhoda mendengarkan
penjelasannya dengan saksama.
“Kita tetap harus waspada. Nelayan-nelayan liar
dari Filipina itu sangat kejam dan selama-bertahun-
tahun mereka telah menjadi momok yang mengganggu
nelayan kita di Timur. Puluhan tahun saya melaut dan
pernah menjadi bulan-bulanan mereka saat mereka
merampas perahu kami dan menenggelamkannya.
Mereka adalah nelayan yang tidak berperikemanusiaan.

23
Mereka memburu Hiu dengan umpan daging manusia.
Setidaknya, demikianlah cerita yang tersebar dan juga
diyakini kebenarannya oleh banyak orang.” Nakhoda itu
mengisahkan dengan kening mengernyit.
Mendengar penjelasan itu, kami terdiam dan saling
berpandangan satu sama lain. Entah apa yang ada dalam
pikiran Anak Buah Kapal. Yang pasti, saya teguh hati
dengan tujuan saya. Saya ingin menjadi perantau dengan
rirsiko apa pun yang harus saya hadapi di depan sana.
Meski saya tak mengenali dermaga tujuan dan belum tahu
apa yang saya cari dengan pasti sebagai sebuah keyakinan
hidup dalam perantauan ini.
Kehilangan Atikah yang menghancurkan harapanku
telah cukup menjadi peristiwa yang paling mengerikan
dalam hidupku. Itu lebih dari sekadar terbunuh dan
menjadi umpan ikan Hiu nelayan liar Filipina.
Setelah melaksanakan salat Isya, Nakhoda
memanggil saya di malam kedua itu. Sebagai seorang
pemula yang ikut berlayar, Nakhoda menugaskan untuk
mengurusi masalah dapur dan kebersihan. Cukup
banyak yang dia ajarkan kepada saya, terutama tentang
keselamatan dan pantangan-pantangan bagi seorang
pelaut yang tidak boleh dilakukannya di laut, misalnya
bersiul atau menunjuk-nunjuk apa yang dilihatnya di atas
air, menyebut nama binatang berkaki empat atau meludah
dengan perasaan sombong ke atas laut. Katanya, itu bisa
mengundang bala.
Nakhoda menyuruh saya agar lebih berinisiatif
dalam bekerja dan tidak sekadar menunggu perintah
dahulu barulah mengerjakan. Katanya, nasi dan lauk pauk
tidak boleh kosong, kopi dalam cerek di meja kemudi kapal

24
dan cerek Anak Buah Kapal juga tidak boleh kosong. Kain
pel dan sapu harus selalu bersih. Tidak boleh membiarkan
perahu menjadi kotor.
Begitulah rupa tugas yang saya terima. Dan saya
tunaikan dengan baik. Saya tidak pernah peduli dengan
yang lain. Saya tidak mau tahu perahu sedang singgah di
dermaga mana dan memuat atau menurunkan apa. Saya
juga tidak pernah paham dengan perniagaan Nakhoda.
Yang jelas, tugas saya dari Nakhoda akan saya tunaikan
dengan baik.
Menenggelamkan diri ke dalam tugas di atas perahu
membuat Malewa lebih banyak waktu untuk mengalihkan
perhatian dari rasa sakit hatinya. Tapi, tidak sungguh
hilang dan tak terlupakan. Jika pekerjaan menyiapkan
makanan dan minuman telah selesai, dia kembali ke
atas, ke bilik kemudi, memperhatikan gelembung buih
dan ombak kecil yang dilalui perahu. Kesedihan dan air
matanya masih selalu saja tumpah seperti buih-buih yang
putih di atas air laut. Buih-buih itu seperti jejak kesetiaan
hatinya yang terus mengikuti.
Malewa terus menatapi laut dari atas ruang kemudi.
Seolah jiwanya menyenandungkan puisi kepada laut yang
luas tentang cintanya yang terhempas dan jatuh hancur
berkeping-keping.

oh buih laut
kau adalah kesetiaan tiada mengeluh
hadir di sepanjang jalan ini
seperti nyanyian hati terluka
yang pasrah bagai kara di tengah samudera

25
“Dia telah kenyang dengan badai laut.
Dia telah tumbuh dan menjadi tua di atas laut.
Dia bisa membedakan atau mengukur kedalaman laut
dengan mencicipi air di atasnya.
Dia bisa membedakan jenis pulau dengan
mencium embusan angin yang datang dari padanya...’

Berkali-kali Nakhoda berdiri di ujung haluan


perahu. Dia menatap langit di arah hadapan perahu yang
tampak menghitam. Sesekali dia juga melihat ke arah
belakang, kiri, dan kanan perahu. Saya memperkirakan
bahwa kami berada di sekitar perairan Laut Arafuru,
sebagaimana yang saya lihat pada peta yang tergantung di
dinding ruang kemudi.
Nakhoda kami yang namanya cukup dikenal dan
disegani kemampuan berlayarnya oleh orang sekampung
kami itu tampak mengangkat tangannya dan mulutnya
komat-kamit membaca doa. Kami hanya terdiam
melihatnya dengan rasa yang sulit dijelaskan.
Wajah Nakhoda kami tampak pucat pasi. Kami mulai
curiga bahwa ada bahaya yang mengancam pelayaran
kami dari arah depan, arah yang kami tuju. Kami terus
menunggu detik demi detik, bersiap dengan segala
kemungkinan.

26
Tak seberapa lama, suasana laut tiba-tiba berubah.
Kami melihat buih-buih putih besar dari kejauhan
mendekat ke arah kami. Ombak kecil pun mendekat
bersama embusan angin yang makin lama makin kuat.
Beberapa Anak Buah Kapal menguatkan ikatan barang
muatan di atas palka. Kami tak bicara satu sama lain.
“Ya Allah, yang Maha Hidup dan Menghidupkan,
Yang Maha Mengetahui takdir kami di hari esok, jiwa kami
dalam genggamanmu ya Allah, dengan wasilah berselawat
kepada Nabiyullah Muhammad kekasih-Mu yang menjadi
penuntun kami dalam iman dan bermuamalah dan
beramal saleh, selamatkanlah perjalanan kami melewati
badai yang ada di hadapan kami. Badai adalah mahluk-
Mu ya Allah, laut adalah mahluk-Mu ya Allah, semua
berzikir kepada-Mu, memuji nama dan keagungan-Mu.
Selamatkanlah Kami, terpujilah namamu yang indah dan
Engkaulah pemilik segala pujian. Allahumma shalli ‘ala
Sayyidina Muhammad wa ‘ala ali Sayyidina Muhammad.
Amin.”
Suara Nakhoda memecah kebekuan kami yang
menunggu detik demi detik dengan doanya yang
menggetarkan hati.
Apa yang dikhawatirkan Nakhoda, sungguh terjadi.
Cuaca yang awalnya cukup tenang, dalam waktu sekejap
berubah menjadi situasi yang sangat menakutkan.
Hujan lebat dengan petir serta suara dan kilatan petir
yang menggelegar seolah akan meruntuhkan langit.
Ombak yang awalnya hanya sekadar ombak kecil yang
menghadirkan buih-buih putih di atas laut menjadi ombak
yang ganas dengan hempasan yang dahsyat.

27
Saya yang berniat memasak sesuatu di dapur perahu,
mengurungkan niat dan segera keluar meninggalkannya.
Saya melihat beberapa alat dapur terjatuh dan makanan
yang tertumpah, namun saya tidak memedulikannya.
Tiang layar yang kami sebut dengan Palajareng
yang ujung dan tengahnya terikat tali ke bagian-bagian
perahu itu berderit-derit saat ombak menghantam badan
perahu. Nakhoda masuk ke dalam bilik kemudi dan terus
berjuang mengarahkan perahu. Dia terus mengarahkan
haluan untuk tidak berada pada posisi miring dengan
arah kedatangan ombak.
Seperti kuda jantan yang mengamuk di tengah
perang, perahu kayu buatan tangan para ahli perahu
Bulukumba itu terus berhadap-hadapan dengan ombak.
Bergerak maju di dalam salihuq. Saya melihat beberapa
kali ombak besar yang datang menerjang perahu itu,
lebih tinggi dari tiang layarnya. Entah berapa lama kami
mengalami situasi itu. Kami basah kuyup. Tapi rasa dingin
tak saya hiraukan. Saya menatapi wajah-wajah Anak
Buah Kapal yang lain. Saya tak menemukan raut wajah
ketakutan di wajah mereka. Mereka tetap tenang dan
duduk diam menunggu cuaca menjadi baik.
Saya mengikat badan saya dengan tali ke sebuah
balok kayu yang melekat kuat di sisi kanan bagian atas
ruang kemudi. Di sanalah saya berdiam, menunggu situasi
laut berubah lebih baik. Namun, dari waktu ke waktu,
bukannya membaik, malah semakin memburuk. Kami
tidak dapat melihat lebih jauh ke arah haluan maupun
buritan. Semuanya pekat diselimuti hujan lebat dan angin
kencang. Salihuq, kata orang di kampung kami. Tubuh

28
saya yang kuyup, menggigil dalam rasa cemas.
Berkali-kali saya merasakan perahu terangkat tinggi
lalu terhempas ke bawah. Seolah terhempas ke dalam laut.
Badan perahu terdengar berderit-derit. Seolah ada pasak,
balok yang terlepas, atau papan perahu yang patah.
Saya melihat beberapa barang yang diikat oleh Anak
Buah Kapal di atas palka terlepas dan jatuh ke dalam laut
dan hilang begitu saja di telan ombak.
Saya membayangkan bahwa itu adalah tubuh
saya. Jika saya terjatuh, saya akan mengalami nasib yang
sama dengan barang yang jatuh tersebut. “Owh, sungguh
kematian yang malang, hilang di tengah ganasnya badai
laut. Tentu tak ada tempat bagi tubuhku dimakamkan, dan
diziarahi oleh orang yang mengenal,” bisik hatiku.
Sebagai pemula, nyali saya ciut dihantam badai
laut yang ganas. Setelah sekian jam terus mencoba
untuk bertahan dalam situasi yang buruk, akhirnya, saya
tidak sanggup lagi menahan rasa takut dan cemas. Saya
menangis memanggil nama ibu dan ayah. Anak Buah
Kapal yang lain hanya menatap saya dengan tatapan yang
beku.
Saya berpikir bahwa inilah akhir dari hidup saya.
Saya merasakan bahwa tak ada harapan untuk hidup lagi.
Saya lalu mengeratkan ikatan tali yang mengikat tubuh.
Saya akan berdoa untuk yang terakhir kalinya sebagai
persiapan menjemput kematian.
Saya tidak peduli lagi dengan situasi perahu dan
orang sekeliling. Saya terus mencoba menutup mata
dan berdoa di dalam hati. Air mata saya tumpah dan
bercampur air laut yang asin. Kesadaran saya menurun.

29
Otak saya seperti kosong dan membeku. Kematian
seolah berada di depan mata saya. Perlahan-lahan, saya
merasakan semuanya menjadi sepi. Saya tak mendengar
apa-apa. Tubuh saya pun tidak merasakan apa-apa.
Sejenak, bayangan Atikah berkelebat. Dia tersenyum
dengan senyum yang telah lama kurindukan. Dia memakai
baju merah. Baju merah yang kubelikan untuknya setelah
berhasil menjual beberapa botol madu yang saya dapat
saat merambah hutan Lemo-lemo, tak jauh dari kampung
kami, saat kami masih bebas bertemu di kampung. Di atas
telinganya, terselip bunga melati putih yang menambah
cantiknya.
Atikah menyunggingkan senyum terindah yang
belum pernah saya lihat sebelumnya. Dia tampak semakin
cantik dibanding saat hari terakhir saya melihatnya pergi.
Air mata saya tumpah semakin deras. Ada rasa sakit yang
menghempas di relung hati saya yang terdalam. Rasa sakit
itu menguasai seluruh saraf. Saya kehilangan kesadaran.
Perahu KM Wasior Indah yang berlayar ke arah
Timur itu terus bergerak dan menggeliat dalam badai.
Nakhodanya yang masyhur di tanah kelahirannya sebagai
pelaut sejati itu terus berjuang mengarahkan perahu
di dalam badai. Doa tak henti-hentinya dirapalkan dari
mulutnya.
“Berselawatlah! Berselawatlah!” teriaknya berkali-
kali kepada Anak Buah Kapal saat ombak besar datang
menghantam perahu dari haluan dan samping perahu.
Dia telah kenyang dengan badai laut. Selama
puluhan tahun berlayar dengan banyak perahu dan
hampir ke semua wilayah di Nusantara. Dia telah tumbuh

30
dan menjadi tua di atas laut. Dia bisa membedakan atau
mengukur kedalaman laut dengan mencicipi air di atasnya.
Dia bisa membedakan jenis pulau dengan mencium
embusan angin yang datang dari padanya.
Sebagai lelaki yang menjadi tua di atas laut, dia bisa
membedakan ciri dari setiap badai yang mereka akan
hadapi dengan membaca tanda pada langit. Demikianlah
mereka pada hari itu, berlayar di dalam badai dengan
ombak bagai ribuan raksasa berwatak jahat dengan
berbagai senjata yang mematikan. Tapi dengan keyakinan
pasti, bahwa dia pasti bisa melewati badai dengan ikhtiar
dan doa yang telah dipelajarinya dari banyak guru di
banyak negeri, selama ini.

31
“Anak muda,
jangan kau petik bunga di taman
meski hanya selembar daunnya.
Kau tak tahu,
betapa sakit yang dirasakan batang bunga itu,
saat kau mematahkannya.”

Panas matahari terasa menyengat wajah saya.


Perlahan, saya mendengar ada suara lelaki yang
memanggil-manggil. Saya mencoba membuka mata
namun segera menutupnya kembali. Saya merasakan
kesilauan yang sangat.
“Malewa... Malewa, bangunlah! Kita telah aman dan
sedang berlabuh di dermaga Pulau Nai, lamat-lamat saya
kenali sebagai suara Nakhoda. Saya menggelinjang dan
mencoba meluruskan badan. Lalu saya membuka mata
dengan perlahan dan memperhatian sekeliling.
Rupanya, kami sedang berlabuh di sebuah dermaga
yang tak seberapa panjang dan juga tak seberapa lebar.
Sepertinya hanya cocok untuk perahu kecil.
Saya segera tersadar dengan situasi yang baru saja
terjadi. Kami baru saja lolos dari badai laut yang ganas.
Saya teringat tugas utama saya di atas perahu dan segera
tersenyum ke arah Nakhoda dan pergi meninggalkannya.
Saya bergegas ke dapur, bermaksud untuk memasak
makanan dan membuat kopi.
32
Tapi, sebelum sempat sampai di dapur, saya
mendengar Nakhoda berteriak kepada saya
“Istrahatlah dulu. Tugasmu sudah dikerjakan Anak
Buah Kapal yang lain. Mereka semua sedang ke darat
untuk berbelanja kebutuhan dan saya juga akan segera
ke darat untuk urusan bisnis. Kamu tunggu di kapal saja.
Jangan kemana-mana,” perintah Nakhoda.
“Baik pak,” jawabku singkat dengan nada yang malu.
Nakhoda pun pergi meninggalkan perahu. Saya
kembali ke atas bilik mengemasi barang-barang pribadi
saya. Saat di atas bilik kemudi, saya tersadar bahwa kami
sedang bersandar pada sebuah dermaga yang terletak di
sela-sela pulau karang yang kecil ditumbuhi pepohonan
yang tak seberapa lebat.
Saya melihat ke dalam air, saya merasa takjub
dengan keindahan alam pulau ini. Saya melihat terumbu
karang rupa jenis, ikan-ikan kecil dan besar bebas
berenang kesana kemari. Demikian pula dengan ikan-ikan
rupa warna yang juga bebas berenang, semaunya. Lobster
kecil dan ikan Ekor Kuning tampak riang bergerak di
dalam air.
Susasana laut sangat tenang. Mungkin karena arus
laut tertahan oleh batu-batu dan pulau-pulau karang
yang mengelilingi dermaga. Tiba-tiba, pandangan saya
tertuju pada sosok seorang gadis yang duduk pada sisi
lain dermaga. Hati saya tiba-tiba tersentak, mulut saya
terkunci. Tak mampu mengucap sepatah kata pun.
Saya segera turun dan masuk ke ruang kemudi.
Lewat celah-celah papan, saya mengintip gadis itu.
Wajahnya yang teduh dan rambutnya yang panjang

33
berombak, matanya yang lebar dan hidung yang mancung,
sungguh membuat saya terkenang kekasih pujaan hati,
Atikah. Dia memiliki kemiripan dengannya.
Berkali-kali dia menarik pancing dan mengganti
umpannya dengan umpan baru. Namun, saya tak melihat
sekali pun dia mendapatkan ikan. Meski demikian, dia
tampak tak menyerah. Dia terus mencoba melemparkan
pancingnya ke air.
Hingga menjelangs sore hari, gadis itu tidak juga
beranjak. Saya melihatnya membuka tas dan mengeluarkan
perbekalan makanannya. Dia terus mencoba dan mencoba.
Tapi, yang terjadi tetap seperti sebelumnya, tak satu pun
ikan yang berhasil dipancingnya.
Saat beberapa Anak Buah Kapal lain sudah kembali,
saya memutuskan turun dari perahu dan mendekati
gadis itu, sambil mengamati sekelilingnya. Meski merasa
salah tingkah karena tak tahu harus memulai dari mana
untuk menyapanya. Namun, saya menguatkan hati dan
memberanikan diri mendekatinya. Saya memilih duduk
tidak terlampau dekat dan menatap ke arah pancing yang
dia lemparkan.
“Mengapa kau tak ganti umpannya?, barangkali saja,
ikan di sini tidak suka umpan seperti itu.” Kalimat pertama
akhirnya berhasil saya keluarkan sebagai sapaan.
Gadis itu hanya menoleh sejenak dengan tatapan
yang datar. Tak ada senyum dan ekspresi hasrat untuk
menjawab. Saya tak menyerah. Setelah sekian lama
terdiam, saya kembali mencoba menyapanya.
“Barangkali mata pancing atau talinya terlalu besar
sehingga ikan enggan mendekat karena takut,” gadis yang

34
mengingatkan saya kepada Atikah itu tetap tak menjawab.
Dia hanya menoleh sejenak lalu kembali membuang
pandangannya.
Setelah lama terdiam, gadis itu mengemasi alat
memancing dan segera beranjak pergi. Saya tidak
melihat seekor ikan pun dibawanya. Hari sudah senja,
ketika dia berjalan ke darat tanpa sepatah kata pun. Saya
menatapinya hingga dia menghilang dari pandangan.
Malam merambat turun. Suara serangga malam
di pulau itu mulai terdengar. Azan Isya baru saja
berkumandang dari masjid pulau kecil itu saat Malewa
selesai membuat dua cerek kopi untuk ruang kemudi dan
juga untuk Anak Buah Kapal.
Tak seberapa lama kemudian, Nakhoda memanggil
semua Anak Buah Kapal dan mengajaknya ngobrol di atas
ruang kemudi.
“Kita akan melanjutkan perjalanan besok malam.
Barang yang saya pesan kepada kepala kampung belum
siap. Barang itu saya harus bawa serta ke Sorong. Besok
malam sepertinya cuaca akan baik sebab akan tepat
bulan purnama. Cahaya bulan akan memenuhi angkasa
dan lautan. Itu akan menjadi perjalanan yang indah,
semoga saja tidak badai.” Nakhoda menjelaskan rencana
perjalanannya.
“Bagaimana dengan rencana ke Teluk Wandamen
Wasior Pak? Saya pernah dapat kabar bahwa kualitas kayu
Gaharu di sana sangat bagus dan sangat laris di pasaran
Singapura, bahkan dijual kepada pengumpul pun masih
tetap dengan harga yang tinggi,” tanya seorang Anak Buah
Kapal yang berambut panjang.

35
“Setelah dari Sorong, kita akan terus ke Pulau Biak.
Dari Pulau Biak kita menyusuri perairan Manokwari. Dari
Manokwari lalu kita bergerak ke Teluk Wandamen. Di
sana kita akan berlabuh beberapa lama untuk membenahi
perahu dan melakukan perniagaan. Untuk saat ini, saya
rasa pekerjaan kita tidak akan terlalu berat. Jagalah
kesehatan kalian semua dan tetap waspada. Ingatlah,
bahwa kita semua hanya berlayar, dan di musim yang
tepat, kita akan kembali ke Bulukumba, tempat perahu
sejati kita tertambat pada pantainya.” Suara Nakhoda
menukik dengan mantap di hati Anak Buah Kapalnya.
“Jangan sampai di antara kita ada yang berjalan ke
darat dan menemukan satu bunga di taman orang, lalu
lupa jalan pulang ke dermaga,” Nakhoda tersenyum lebar
memberi bahasa penuh pesan bijak kepada anak buahnya.
Anak-anak muda yang menyertai pelayaran itu pun hanya
tersenyum dan tersipu malu.
“Bagaimana dengan teripang yang ada di pulau ini,
apakah kita beli juga dan kita bawa ke Sorong?” tanya
seorang Anak Buah Kapal yang bertubuh jangkung dan
berkulit hitam.
“Kita beli yang kualitas bagus secukupnya saja.
Setiba di Sorong, kita jual kepada pedagang yang lebih
besar. Selisih harga bisa membuat kita untung dan dapat
menutupi biaya bahan bakar dan kebutuhan makan kita
dalam perjalanan. Kita tidak bisa terlampau memaksakan
perahu. Kita perhatikan kapasitas kemampuan muatnya.
Takutnya, jika berlebihan, akan membahayakan pelayaran
kita,” Nakhoda menjawabnya dengan tenang.

36
Malam semakin larut. Angin laut yang dingin
membuat mereka tidak lagi berlama-lama di atas ruang
kemudi. Mereka lalu bergegas turun ke ruangan di belakang
ruang kemudi. Ruang yang menjadi kamar mereka
bersama. Di ruang itulah beberapa tempat tidur yang tak
seberapa besar menjadi pelabuhan tubuh mereka saat
lelah bekerja di pelabuhan atau berjibaku dengan tali saat
bertemu badai. Tak seberapa lama, terdengar beberapa
orang di antara mereka mendengkur. Mereka tenggelam
dalam mimpi dan pikiran mereka masing-masing.
Perahu mereka yang tertambat pada dermaga
sesekali bergoyang dimainkan ombak, membuat tidur
mereka lebih nyenyak.
Masih sangat pagi ketika Malewa telah selesai
menyiapkan sarapan dan kopi untuk Anak Buah Kapal.
Dia lalu berjalan ke anjungan perahu, duduk di samping
jangkar, menatapi pulau itu. Belum sempat dia menyeruput
kopinya, tiba-tiba, dia melihat gadis yang ditemuinya
kemarin sore itu sedang berjalan ke arah dermaga.
Malewa hanya menatapinya dari anjungan perahu.
Gadis yang membuatnya terkenang dengan Atikah itu pun
kembali ke tempatnya memancing sebagaimana kemarin.
Baru beberapa saat dia melempar pancingnya, seekor
ikan putih sebesar telapak tangan didapatkannya. Gadis
itu tampak tersenyum senang.
Melihat itu, Malewa bergegas turun dari perahu dan
mendekatinya seraya tersenyum.
“Kau benar. Saya seharusnya mengganti umpan
dan talinya. Ikan-ikan di sini sepertinya sudah tidak bisa
dipancing dengan umpan yang biasa. Mereka seperti

37
menginginkan sebuah rasa yang baru dan hal-hal baru.
Mungkin mereka jenuh, sebab bertahun-tahun lamanya,
hanya seorang saja yang datang ke sini untuk memancing,
hanya saya.” gadis itu mengawali pembicaraan sambil
menatap ramah ke arah Malewa.
“Mengapa hanya kau sendirian yang memancing,
warga lain kemana?”
“Ikan cukup banyak di pulau ini. Orang lebih memilih
untuk memancing ikan di balik pulau itu. Ikannya besar-
besar. Sementara, ikan di dermaga ini kecil-kecil. Bagi
kebanyakan orang, ikan sekecil ini hanya untuk sekadar
mainan saja. Mereka tidak bisa mengolahnya menjadi
ikan asin atau ikan yang dapat di jual. Pedagang ikan yang
mampir ke sini juga tidak berminat membelinya,” gadis itu
menjelaskan.
“Padahal, sangat mungkin, ikan-ikan kecil ini juga
ingin bepergian. Masuk ke pasar-pasar besar atau mungkin
menjadi ikan piaraan di dalam aquarium orang kota. Tapi,
sayang. Tak ada yang sungguh berminat menangkap atau
mengambilnya,” jelas gadis itu sambil menatap ke dalam
air.
“Mungkin saja, suatu hari kelak akan datang seorang
pembeli ikan kecil. Dan dia akan membelinya. Saya yakin,
suatu hari nanti, akan ada yang jatuh cinta pada ikan-
ikan kecil ini dan membawanya pergi. Apalagi, ikan-ikan
ini warnanya cantik. Saya senang memandanginya dari
atas sini. Dia mengingatkan dengan kampung halaman
yang jauh di Sulawesi. Yah, meski batu karangnya tidak
seindah dengan pulaumu ini. Tapi, saya yakin takdirnya
akan seindah dengan warna-warnanya, berdoalah pada

38
Yang Maha Kuasa,” Saya mencoba menanggapi bahasa
gadis itu yang saya rasa tidak sedang membahas ikan yang
sesungguhnya.
“Jawabanmu sungguh bijaksana, seperti seorang
yang pernah saya dengar saat saya masih kecil dan
bermain di ujung dermaga. Di pantai yang tak jauh
dari pintu dermaga, pernah tinggal seorang lelaki. Dia
selalu berbicara dengan bahasa penuh harapan dan
keyakinan kepada siapa saja. Bahkan, untuk membuat
saya dan banyak warga agar lebih yakin dengan doa dan
pengharapan, Dia pernah berdoa sambil menengadahkan
tangan, lalu berjalan di atas air, dari ujung dermaga ini ke
pulau karang kecil itu.” Kata gadis itu sambil menunjuk.
“Saya tak pernah tahu siapa lelaki itu. Saya tak tahu
dari mana dan mengapa dia berada di pulau ini. Yang jelas,
seingatku, dia melakukan itu dua kali, berjalan di atas air.”
Malewa hanya terkesima mendengar cerita gadis
itu. Belum sempat dia mengeluarkan satu kata, gadis itu
kembali melanjutkan kisahnya.
“Kali kedua dia berjalan di atas air, ketika suatu
sore, anak perempuan kepala kampung yang tak pandai
berenang bermain di ujung dermaga ini. Lalu, tiba tiba
dia terjatuh dan terseret arus yang agak kuat. Dia terseret
ke tengah sana. Semua orang menjadi panik. Beberapa
orang melompat dan berenang untuk menolong. Tapi,
karena arus sangat kuat, tidak mudah meraih tubuh anak
kepala kampung itu. Tiba-tiba, dari arah pantai, lelaki itu
berlari di atas air, di sisi dermaga dan menghampiri anak
kepala kampung lalu menyelamatkannya. Semua orang
dibuatnya takjub atas peristiwa itu. Tapi, tanpa sepatah

39
kata pun, lelaki itu meninggalkan dermaga dan kembali
ke gubuknya di tepi pantai, tak jauh dari pintu gerbang
dermaga,” perempuan itu terus bercerita.
“lalu setelah itu, dimana lelaki itu sekarang?”tanya
Malewa.
“Dia pergi entah kemana. Tak ada yang melihatnya.
Dia meninggalkan gubuknya begitu saja. Dia menghilang
di sebuah pagi. Saat dia telah pergi, kami menemukan
bendera warna merah pada sebatang bambu panjang
yang ditancapkannya di sisi kanan depan gubuk. Meski
dia telah pergi dan tak pernah datang lagi, pesan-pesan
kebajikannya sangat membekas di hati sebagian besar
warga pulau ini. Dia selalu memberikan semangat untuk
selalu meyakini doa dan harapan-harapan baik selalu
dikabulkan Tuhan,” jelas gadis itu dengan mimik yang
dingin.
“Mungkin dia adalah seorang pengelana yang tak
bisa menetap di sebuah negeri. Atau, mungkin juga dia
seorang yang zuhud dalam hidupnya dan terus berjalan
menebarkan kebaikan tanpa mengikatkan dirinya
pada dunia.” Saya menjawab sambil menatap ke dalam
matanya. Mata itu membuatku terkenang dengan mata
yang sulit untuk saya lupakan keindahannya, yang kini
hilang dalam genggaman. Mata yang cahayanya lembut
dan selalu memenuhi langit dan dinding jiwaku. Mata
Atikah kekasihku.
“Pada setiap perahu yang berlabuh di dermaga
ini, kadang saya berpikir bahwa itu adalah jawaban dari
pengharapanku, bahwa dia adalah seorang pencari ikan
kecil yang akan membawa ikan-ikan kecil ini pergi dari

40
pulau ini. Pulau yang tak bisa menampung harapan besar
seorang gadis sepertiku.”
Mendegar kata-kata terakhir dari gadis itu, jiwa
saya seperti awan kelam yang diterpa cahaya bulan.
Seperti padang savana yang kekeringan dan tersiram
hujan. Saya seperti tersihir dan kehilangan separuh
kesadaran. Saya menatap wajahnya lebih dalam. Wajah
gadis itu berubah menjadi wajah Atikah yang kurindukan.
Saya mendekatinya dan memegang kedua pundaknya.
Saya menatap matanya lebih tajam, dia pun tertunduk dan
malu.
“Malewa.. Malewa, jangan kau petik bunga di taman
orang lain jika hanya untuk melukainya.” Suara Nakhoda
yang memanggil dari atas perahu membuat saya tersentak
dan segera melepaskan pegangan saya pada pundak gadis
itu. Saya menoleh ke arah perahu dan melihat Nakhoda
yang sedang menatap kami sambil berkacak pinggang.
Sesaat membuat kami salah tingkah.
Saya tersenyum kepada gadis itu. Dia pun tersenyum
sambil berbalik dan berjalan pergi. Saya segera meng-
hampiri Nakhoda ke atas perahu yang tersenyum tak jelas
maknanya.

*** ** ***

Waktu terus bergerak dan masa yang dinantikan


untuk segera berlayar pun telah tiba. Kopi dan makanan
telah siap sejak sebelum petang datang. Anak Buah Kapal
telah siap dengan pakaian andalan masing-masing. Mesin
telah dipanaskan. Tali temali yang terikat pada tiang

41
layar pun telah diperiksa. Demikian pula dengan layar
yang terikat pada tiang itu pun dibentangkan sejenak
dan digulung kembali. Persediaan makanan dan air serta
bahan bakar pun telah disiapkan.
Setelah salat Magrib berjamaah di atas ruang kemudi,
semua kembali ke posisi dan tugas masing-masing. Ketika
tali penambat ke dermaga itu akan dilepaskan, seorang
gadis memanggil nama Malewa dari kejauhan, sambil
berjalan dengan langkah setengah berlari.
“Malewa... Malewa...” gadis itu mendekati perahu
dan Malewa pun menyambutnya dengan senyum yang
semringah dan wajah yang bahagia.
“Saya berdoa, semoga kelak, kau akan berlayar dan
berlabuh lagi di sini. Dan semoga kau berkenan membaca
surat ini.” Gadis itu menyodorkan sebuah amplop dan
sebuah bungkusan berisi singkong rebus.
Malewa menyambut amplop dan bungkusan itu.
Matanya terus menatap mata gadis itu sambil memegang
kedua pundaknya. Gadis itu pun hanya tertunduk dan
sesenggukan.
Seorang Anak Buah Kapal yang bertugas di bagian
palka berteriak dengan lantang sambil tersenyum lebar
dan disambut senyum lebar oleh Anak Buah Kapal lain.
“Tarik jangkar!”
Perahu bergerak perlahan menjauhi dermaga. Da-
lam biasan merah saga di dermaga, Malewa terus mena-
tap gadis itu dengan mata yang mendadak sembab. Gadis
itu berdiri di ujung dermaga dan menatap ke arah perahu
yang bergerak perlahan menjauhi dermaga yang tak se-
berapa besar itu.

42
“Anak muda, jangan kau petik bunga di taman meski
hanya selembar daunnya. Kau tak tahu, betapa sakit yang
dirasakan batang bunga itu, saat kau mematahkannya.”
Nakhoda meneriaki Malewa dari dalam ruang kemudi dan
membuyarkan lamunannya yang terus menatap ke arah
Pulau Nai yang baru saja ditinggalkannya.
KM Wasior Indah kini telah berada di laut lepas.
Cahaya bulan yang terang dan cuaca yang tak berombak
membawa nuansa yang syahdu ke dalam hati para pelaut
dari Bulukumba, Sulawesi Selatan itu. Pelaut dengan jiwa
sekeras baja dan seteguh Gunung Bawakaraeng. Mereka
adalah laki-laki yang senantiasa berlayar hingga tubuh
mereka tak sanggup lagi untuk menari-nari dalam badai
lautan yang kadang ganas tak terkira.
Di atas perahulah mereka belajar tentang laut. Di
dalam perjalananlah mereka belajar tentang Astronomi
dan badai. Mereka belajar pada tanda. Mereka bisa
mengetahui musim-musim di sebuah negeri hanya dengan
melihat jenis burung yang terbang di langit. Mereka
bisa mengenali jenis ikan yang banyak hidup di sebuah
perairan hanya dengan melihat jenis burung yang terbang
di sekitarnya.
Di bawah terang bulan purnama, mereka terus
berlayar. Di atas ruang kemudi, Malewa bersenandung;
wahai laut yang memendam kisah rahasia
kepadamu kubisikkan nyanyian jiwa yang luka
kepada karang kupahat nama
kepada hati kusimpan cinta
kepada masa depan kuhembuskan harapan
teka-teki cinta tak kuasa aku tuntaskan

43
“Saya telah berlayar lebih dari tiga puluh tahun lamanya,
yang membuat saya harus selalu berhati-hati
dan mencermati setiap tanda-tanda,
baik tanda alam maupun tanda yang dibuat manusia.”

Mereka tak terlalu lama saat berlabuh pada sebuah


dermaga kecil yang dipenuhi nelayan-nelayan Suku Bugis,
Buton, dan Ayamaru Sorong, jelang senja itu. Setelah
menurunkan sejumlah teripang kering dan menjualnya
ke seorang pedagang yang tak jauh dari dermaga, Anak
Buah Kapal pun bergegas berbelanja dan menambah
perbekalan. Seusai salat Magrib, Mereka lalu melanjutkan
pelayaran menuju Pulau Biak.
Tidak seperti pada hari biasanya, pelayaran setelah
meninggalkan Sorong ke Pulau Biak, Nakhoda tampak
tidak tenang. Dia lebih sering ke atas ruang kemudi dan
memegang teropong. Semua sisi laut diteropongnya. Dia
juga terus menoropong dengan cermat jika berpapasan
dengan perahu nelayan yang lampu-lampu kecil mereka
tampak kerlap-kerlip.
Tatkala hari telah gelap sempurna, Nakhoda
melarang kami untuk berada di luar ruangan terlampau
lama. Dia akan mengingatkan agar segera kembali ke
44
dalam ruangan. Bahkan, Anak Buah Kapal di bagian mesin
dimintanya untuk selalu waspada dan bersiap sedia turun
ke ruang mesin untuk selanjutnya menunggu perintah
Nakhoda.
Kami semua merasa tegang melihat Nakhoda.
Sepertinya, dia sedang membaca sebuah pertanda yang
kurang baik. Waktu terus belalu, hingga malam semakin
larut. Cahaya bulan yang menyinari lautan luas juga
membuat langit tampak indah dengan bintang yang
bertaburan. Tapi, kami tak melihat ada daratan yang dekat.
Atau bayangan gunung dan kerlip lampu di kejauhan. Yang
kami sadari, di sebelah kiri kami adalah Samudera Pasifik
yang digenal ganas ombaknya dan di sebelah kanan kami
adalah Pulau Irian Jaya.
Tiba-tiba, Nakhoda memerintahkan Anak Buah
Kapal untuk menambah kecepatan. Dengan sigap, Anak
Buah Kapal yang bertugas pada bagian mesin segera
melompat ke dalam ruang mesin dan menambah
kecepatan perahu. Nakhoda membuka sebuah laci yang
terletak di bawah kemudi. Dia mengeluarkan sebuah
senjata rakitan berlaras panjang dan memegang beberapa
peluru yang juga panjang. Dia segera keluar dari ruang
kemudi dan naik ke atas ruangan itu.
“Jangan ada yang keluar dari ruangannya,” perintah
Nakhoda dengan nada tegas.
Suara mesin perahu yang menderu memecah
kesunyian lautan. Dalam situasi yang membuat kami
tegang dan tanpa penjelasan itu, kami mendengar dua kali
letusan senjata di atas ruang kemudi, tempat Nakhoda
berada.

45
Tak lama setelahnya, Nakhoda segera turun dan
kembali ke dalam ruang kemudi. Sambil tersenyum ke juru
mudi, dia menyimpan kembali senjata beserta beberapa
butir peluru ke dalam laci.
Mungkin karena mesin terlampau panas, mesin
perahu tiba-tiba mati. Juru mesin tampak sibuk naik turun
dari ruang mesin ke palka untuk mengambil beberapa
benda. Perahu mereka hanya bisa berayun-ayun mengikuti
gelombang Samudera Pasifik. Nakhoda memerintahkan
Anak Buah Kapal untuk mempertahankan haluan perahu
dengan mendayung sekuat tenaga. Dia memerintahkan
agar juru mudi menghindari terpaan ombak dari arah
lambung kiri perahu.
Ombak Samudera Pasifik terus saja menggelora
dengan dahsyatnya. Tapi, tak satu pun di antara mereka
yang tampak merasa ketakutan. Demikian dengan si juru
mesin, dia tetap tenang membenahi mesin. Hanya nakhoda
yang terus hilir mudik di atas perahu untuk memeriksa
keadaan.
Akhirnya, jelang akhir dini hari, mesin perahu
itu berhasil dibenahi kembali. Nakhoda dan juru mudi
segera membuka peta dan melihat kompas penunjuk arah
yang terletak di dekat kemudi kapal. Setelah berdiskusi
sejenak, mereka pun menyepakati titik koordinat yang
harus mereka tuju.
Bulan di langit dini hari itu masih benderang
membias di permukaan lautan. Malewa yang yang
merebahkan tubuh di atas ruang kemudi menatapinya
dengan sendu. Dia membayangkan wajah Atikah
kekasihnya yang tak diketahui rimbanya itu. Begitulah

46
dia menatapi bulan, hingga akhirnya dia terlelap dengan
tubuhnya yang dihinggapi lelah setelah mendayung di
tengah ombak.
*** ** ***
Saat fajar tiba, Nakhoda mengarahkan juru mudi
untuk berlabuh pada sebuah tepian pantai di sebuah
pulau kecil tak berpenghuni, Pulau Um. Kami diizinkan
untuk turun menginjakkan kaki di pulau itu. Bahkan, kami
berkesempatan untuk menjaring ikan, mandi, mencuci,
dan mengambil air tawar pada mulut sebuah gua.
Saya yang ditugasi untuk mengambil air tawar.
Sambil berjalan di pantai yang berpasir putih itu, saya
memandangi pulau dengan saksama. Meski tak luas,
terdapat banyak pohon, tumbuhan merambat dan bukit
karang kecil. Beberapa bagian tepian pantainya juga
dipenuhi sampah laut yang mungkin dihanyutkan ombak
musim Angin Barat. Saya mencoba menemukan hal-hal
yang asing dan tak biasa.
Alangkah kaget hati saya ketika tiba di mulut gua.
Saya melihat tujuh helai bendera merah dengan coretan
berpola tertentu diikatkan pada sebatang tongkat yang
cukup panjang, ditancapkan di atas sela batu karang, tepat
di atas mulut gua.
Bendera itu mengingatkan saya pada cerita gadis
yang saya temui di Pulau Nai. Bendera yang dikibarkan
lelaki yang bisa berjalan di atas air, lelaki yang kini kerap
ikut mengusik ruang pikirku. Tak berlama-lama di mulut
gua, saya segera mengisi jeriken air dan kembali ke perahu.
“Sepengetahuan saya, pulau ini tak pernah
berpenghuni. Tapi, menurut cerita dari tetua dahulu, pulau

47
ini adalah pulau yang kerap disinggahi oleh banyak pelaut
untuk mengambil air tawar dan tinggal beberapa hari jika
cuaca sedang tidak bersahabat. Sejak remaja, saya pun
telah singgah di sini, saat saya mulai belajar berlayar pada
orang tua saya yang wara-wiri berlayar dan berdagang
antara Irian Jaya dan Jakarta,” ungkap Nakhoda kepada
kami setelah menyantap makan siang di atas geladak.
“Pulau yang seperti ini ada banyak di Nusantara.
Hanya saja, tidak semua pulau itu seramah pulau ini.
Saya malah pernah menyinggahi sebuah pulau yang tak
berpenghuni, tapi, kami menemukan tulang belulang
manusia yang cukup besar yang panjangnya tidak kurang
dari sepuluh meter. Selain itu, kami juga bertemu dua ekor
ular Piton besar yang mengejar kami kembali ke laut.
Nakhoda mengisahkan sambil bergidik.
“Pulau ini adalah persinggahan yang paling
diinginkan oleh banyak pelaut. Sebab, arusnya nyaris tak
terasa sehingga kita bisa berlabuh dengan tenang, seganas
apapun ombak di lautan lepas, air laut di sini tetap tenang.
Yang paling mengesankan, hampir setiap pelaut yang
singgah akan membuat tandanya sendiri. Tanda bahwa
mereka pernah berlabuh di sini,” jelas Nakhoda membuat
kami penasaran.
“Coba kalian lihat ke bukit karang di sisi kanan itu.
Perhatikan batu karang yang bersusun dan terikat antara
satu dengan yang lainnya. Itu adalah penanda yang saya
buat. Saya akan menambahkan satu batu karang setiap
saya berlabuh di sini. Tadi, saya dari sana lagi, menambah
satu batu di atasnya,” Nakhoda terdiam sejenak lalu
meminta kami untuk melihat ke arah telunjuknya.

48
“Kalian lihat garis-garis pada batu karang di sebelah
kiri itu? Itu adalah garis penanda ayah saya semasa hidup
dan berlayar. Semakin kalian menatap pulau ini, maka
kalian akan menemukan beragam penanda yang dibuat
dengan pola berulang dengan kekhasan dan misteri-
misterinya masing-masing,” ungkap nakhoda sambil
kembali membakar sebatang rokok kreteknya.
Setelah peralatan makan itu kami bereskan, kami
pun bubar dan mengerjakan hal-hal pribadi. Sebagian
dari kami memilih tidur.
Saya naik ke atas ruang kemudi dan menatapi pulau
itu dengan cermat dari kiri ke kanan dan dari kanan ke
kiri. Mencoba membaca tanda-tanda yang dijelaskan
Nakhoda, mencari pola tanda benda yang dibuat secara
berulang pada pulau itu. Sekilas, semua biasa saja dan
tak ada yang luar biasa. Tapi, saat saya mempersempit
pandangan dengan melihat pulau dari selajari-jari saya,
saya mulai menemukan tanda-tanda itu.
Setelah beberapa lama menatapi pulau itu dengan
menyempitkan pandangan, akhirnya, saya bisa melihat
benda yang tampaknya sengaja dibuat dengan berbagai
cara. Saking banyaknya benda dengan pola pembuatan
yang khas dan berulang dari setiap benda, saya pun tak
lagi bisa menghitung jumlahnya.
Saya melihat balok kayu yang disusun, tongkat yang
ditanam berjejer di atas gundukan pasir dan bebatuan,
ikatan tali pada lubang-lubang karang, pasak-pasak yang
ditancapkan ke dalam batu, sebuah nama dan garis-garis
penanda hitungan di bawahnya, bilah papan kecil dengan
ukuran yang sama yang digantungkan di pohon, bekas

49
tebasan pedang pada batang pohon, sebuah pahatan nama
pada sebilah papan dengan penanda bulan dan tahun di
bawahnya, beberapa tulisan latin dengan bahasa yang
saya tidak pahami, dan banyak lagi.

*** ** ***
Merasa terinspirasi dengan kisah Nakhoda
tentang tanda di pulau itu, Malewa pun mulai berpikir
untuk membuat tanda. Tanda yang akan menjadi saksi
perjalanan anak manusia yang berjalan dalam kehidupan
untuk merasakan dan melintasi pahit getirnya.
Setelah merasa bahwa semua Anak Buah Kapal
sedang beristirahat, Malewa bergegas menuju pantai
dengan membawa sebilah parang. Dia berjalan mengelilingi
pulau tersebut. Ditebasnya tanaman-tanaman yang
menghalangi langkahnya. Sesekali, dia menyusuri garis
pantai jika ada benda-benda yang menarik perhatiannya.
Dia terus berjalan mencari ilham tentang tanda yang akan
dibuatnya pada pulau tersebut.
Hari hampir Magrib ketika Malewa kembali ke atas
perahu. Tanpa banyak bicara, dia segera ke ruang dapur
untuk menyiapkan makan malam ikan masak Pallu Basa
dan kopi hitam kegemaran seisi kapal.
“Kita lanjutkan perjalanan esok hari, setelah salat
Duha. Besar kemungkinan kita akan tiba lusa di Pulau Biak
sebelum gelap atau setidaknya tidak terlalu larut malam.
Jika arah angin mendukung, kita pasang layar bantu,” jelas
Nakhoda pada Anak Buah Kapal setelah selesai menyantap
makan malam. Mendengarkan itu, Anak Buah Kapal hanya
menatap ke arah Nakhoda.

50
“Tapi, sebelumnya Pungkaha, saya mau tahu,
sebenarnya, apa yang terjadi dengan pelayaran kita
semalam. Kenapa Pungkaha tampak begitu tegang dan
penuh sikap waspada?” tanya juru mesin kepada Nakhoda.
Pertanyaan juru mesin sesungguhnya adalah
pertanyaan yang ingin diketahui juga jawabannya oleh
Anak Buah Kapal yang lain. Sejak peristiwa semalam,
Nakhoda belum menjelaskan peristiwa yang sebenarnya
kepada mereka.
Sambil mengisap rokok kreteknya, Nakhoda
memandang Anak Buah Kapalnya satu persatu dan mulai
bercerita.
“Saya telah berlayar lebih dari tiga puluh tahun
lamanya. Peristiwa semalam hanya bagian kecil dari
peristiwa perjalanan saya di Nusantara, yang membuat
saya harus selalu berhati-hati dan mencermati setiap
tanda-tanda, baik tanda alam maupun tanda yang dibuat
manusia.” Nakhoda menuang kopi dan juga menikmati
rokok kretek yang ada di tangannya.
“Dulu, sekitar dua puluh tahun lalu, kami pernah
dirampok di perairan semalam. Perahu kami yang
memuat banyak barang dagangan dan uang ratusan juta
dari hasil menjual teripang yang kami angkut dari Pulau
Nai ke Teluk Sorong, malam itu dirampok oleh bajak laut
atau perompak.” Nakhoda tengadah ke langit, mencoba
mengingat peristiwa yang pernah menimpanya.
“Lalu, apa hubungannya dengan peristiwa semalam?”
tanya Malewa yang tampak semakin penasaran.
“Saat kita berlabuh di pelabuhan Sorong kemarin,
saya melihat, ada beberapa orang yang mencurigakan.

51
Mereka memperhatikan perahu dan pergerakan kita
dengan saksama. Jumlah mereka ada beberapa orang.
Selain orang lokal Sorong, di antara mereka juga tampak
juga wajah pendatang. Saat saya turun dan berpapasan
dengan beberapa orang di antaranya, saya mencium bau
alkohol yang tajam. Saat saya kembali ke perahu, saya
perhatikan semua perahu yang tertambat atau berlabuh
di situ. Di antara perahu itu, ada beberapa perahu dan
speed boat yang memiliki tanda yang sama. Tanda itu
mengingatkan saya dua puluh tahun yang lalu. Tanda
itu digunakan oleh beberapa perompak yang malam itu
merampok uang dan barang kami di tengah laut,” jelas
Nakhoda dengan suara pelan.
“Sejak kita meninggalkan Pelabuhan Sorong, kita
telah diikuti. Saya melihat beberapa perahu nelayan
yang kita lewati itu memiliki tanda yang serupa pada
bendera yang mereka gunakan. Itu berarti, mereka telah
mempersiapkan diri pada jalur pelayaran yang biasa
dilewati perahu-perahu seperti kita. Saat hari telah gelap,
samar-samar, saya melihat sebuah speed boat dengan
memuat beberapa orang di atasnya telah mengikuti kita.
Olehnya, saat mereka mulai mendekat ke arah perahu
kita, saya ke atas ruang kemudi dan menembak dua kali.
Satu kali saya tembak ke udara dan satu kali saya tembak
ke arah mereka. Setelah saya menembak ke arah mereka,
sepertinya nyali mereka ciut dan berbalik arah. Semoga
saja mereka jera untuk merampok perahu yang melintas
di perairan ini,” Nakhoda menghela napas panjang.
Malam semakin turun. Angin sepoi dingin berembus
lembut dari arah Samudera Pasifik membuat mereka

52
segera menuju ruang istirahat. Nakhoda yang masih
terjaga menyetel sebuah musik dari radio dari ruang
kemudi dengan suara yang tak terlampau besar, membuat
Anak Buah Kapal itu segera lelap ke dalam istrahat
mereka. Suara penyanyinya berat dan serak

telah kuterima suratmu nan lalu


penuh sanjung dan kata merayu
syair dan pantun tersusun indah, sayang
bagaikan mada fatwa pujangga

KM Wasior Indah yang sedang berlabuh, sesekali


bergoyang dihempas arus yang lembut. Seperti lelaki yang
sedang berdansa sendirian di dalam kesepian.

53
“Dia ingin belajar ilmu yang lebih dahsyat,
agar doa-doanya menjadi mustajab,
agar harapan-harapannya dapat diwujudkannya.
Tapi, dia belum menemukan titik awal
untuk menemukan jejaknya yang lebih baik...”

Matahari belumlah muncul ketika saya duduk di


atas ruang kemudi pagi itu. Saya kembali menatapi pulau
dan mencoba melihat tanda yang telah saya buat. Nakhoda
lalu datang dan duduk di samping saya dan juga menatap
ke arah pulau.
“Sepertinya, ada yang membuat tanda yang baru,”
Nakhoda mencoba menyapa sambil tetap melihat ke arah
pulau.
“Bagiamana Bapak bisa tahu?” Tanya Malewa
“Saya mengenal setiap sisi dan guratan-guratan pada
pulau ini. Ayah saya mengajarkan saya tentang kecermatan
dalam memperhatikan sesuatu. Saya berlatih banyak hal
di sini. Dari ayah saya, saya belajar membaca bintang, air
laut, pasang surut, arah angin, dan memperbaiki perahu.
Kecermatan membuat saya selalu berhati-hati atas setiap
peristiwa. Jika salah membaca tanda kehidupan, kita akan
salah menafsirkan peristiwa,” Nakhoda menjawab dengan
bahasa kiasan yang menancap ke dalam hati Malewa.
“Tampak dari sini, salah seorang di antara Anak
Buah Kapal, ada yang membuat tanda dengan meletakkan
batu di atas tongkat kayu Santigi di ujung kanan pulau.
Santigi adalah kayu yang keras dan tahan terhadap cuaca.
Saya yakin tanda itu akan bertahan sangat lama. Selama
pulau ini tak dijamah oleh tangan yang tidak mengerti soal
54
tanda, kenangan, dan pelayaran. Semalam, saya juga naik
ke sana dan kembali ke perahu setelah dini hari.” Ungkap
Nakhoda kepada Malewa.
“Saya juga melihat, sepertinya kamu juga membuat
tanda. Tanda yang kau buat sangat terang dan jelas
terbaca dari kejauhan. Nama Atikah yang kau susun dari
potongan kayu dan kau pasak ke dalam celah karang di
dinding bukit kecil itu adalah satu hal yang luar biasa.
Sungguh ide yang belum pernah dibuat siapa pun di pulau
itu. Tentu itu bukan hanya sekadar tanda pelayaran. Tapi,
dia adalah tanda yang menyiratkan betapa kau mencintai
nama itu.” Nakhoda mencoba mengapresiasi tanda yang
dibuat Malewa.
“Betul pak. Andai saya bisa, saya akan menulis
nama itu dibanyak tempat. Menulis nama itu pada setiap
dermaga atau persinggahan yang saya singgahi. Agar
setiap saya berlayar atau berlabuh pada tempat yang
sama, saya bisa melihat nama itu. Duka dan kerinduan
saya pada nama itu bisa terobati.” Ungkap Malewa sambil
menatap mata Nakhoda.
“Saya tahu kisahmu. Banyak yang bercerita tentang
dirimu di kampung. Tentang cinta dan harapanmu
yang dihancurkan dan membuat hidupmu juga tampak
berantakan. Tapi, bagiku, itu hanya satu bagian saja dari
perjalanan hidup. Kau tetap berhak melanjutkan hidupmu
dengan warna barunya sendiri. Saya tak memintamu untuk
berhenti mencintai kekasih yang sulit kau miliki itu. Akan
tetapi, dengan berlayar, kau akan semakin tahu makna
kehidupan. Bahwa, setiap pelabuhan memiliki pesonanya
sendiri. Setiap lautan memiliki badainya sendiri, dan
setiap badai memiliki puncak amuknya sendiri.” Malewa

55
hanya mendengarkan Nakhoda yang terus memberinya
nasehat dan petuah bijak tentang kehidupan.
Malam terus merambat bersama angin yang
berembus pelan dengan dingin yang menyengat.
Kaki langit mulai terang. Tak seberapa lama,
matahari pun mulai menampakkan diri, membawa
kehangatan pada pagi di pulau itu. Semua lalu bergegas
mempersiapkan diri untuk kembali berlayar ke Pulau
Biak.
Jiwa Malewa yang terluka telah mendorongnya
memahat nama itu pada pulau persinggahan. Jiwanya
yang terluka itu dibawanya terus berlayar bersama
bayangan-bayang wajah Atikah kekasihnya. Kekasih yang
bisa membuatnya merasa mendapati keindahan dunia jika
menatapinya berlama-lama. Atikah adalah awal dan akhir
dari tujuannya berlayar sejauh ini. Dia ingin mengubah
takdirnya dengan mencari dan mengumpulkan materi,
tapi dia sadar itu tidaklah mudah.
Sementara itu, Lelaki yang bisa berjalan di atas air
juga terus menghantui pikirannya. Dia ingin bertemu le-
laki itu. Dia ingin belajar banyak hal tentang kehidupan.
Dia ingin belajar ilmu yang lebih dahsyat, agar doa-doanya
menjadi mustajab, agar harapan-harapannya dapat diwu-
judkannya. Tapi, dia belum menemukan titik awal untuk
menemukan jejaknya yang lebih baik.
“Dia bisa berjalan di atas air, tentu semua karena
doa. Saya akan mencarinya dan belajar padanya,” bisiknya
membatin pada dirinya sendiri.

56
“Perahu mereka meliuk liuk
di tengah gelombang,
seperti seekor cacing yang kepanasan
terpanggang terik matahari
di atas tanah...”

Pulau Biak telah mereka tinggalkan. Pelayaran


mereka lanjutkan ke arah Manokwari. Perjalan mereka
tidak bisa berjalan dengan normal. Ombak yang cukup
besar menghambat mereka. Ombak-ombak yang datang
dari arah Samudera Pasifik itu memang dikenal cukup
ganas di musim-musim tertentu. Akan tetapi, meski telah
diprediksi dengan tanda-tanda alam yang tampak, pelaut
yang melintasi rute Pulau Biak ke Manokwari kadang sulit
mempredisksi cuaca. Laut bisa berubah kapan saja.
Perahu mereka meliuk liuk di tengah gelombang,
seperti seekor cacing yang kepanasan terpanggang terik
matahari di atas tanah.
Anak Buah Kapal memilih berdiam diri di ruang
istrahat mereka. Hanya juru mudilah yang tetap fokus
dengan tugasnya. Nakhoda mendekatinya dan sesekali
memegang kemudi untuk mengarahkan apal ke titik
koordinat yang dituju.
57
Ombak mulai berkurang, seiring turunnya gerimis.
Bahkan, setelah Asar, cuaca sudah sangat bersahabat.
Gerimis pun berhenti. Anak Buah Kapal yang sedari tadi
hanya mengurung diri di ruang istrahat mereka, mulai
keluar dan memeriksa keadaan dan muatan perahu yang
terikat di atas geladak.
Mereka terus bergerak memasuki teluk Wandamen.
Teluk yang terletak di leher atas pulau Irian Jaya yang
berbentuk burung itu. dengan perlahan tapi pasti,
Melintasi perairan Pulau Mansinam dan Perairan
Oransbari. Saat mereka melewati perairan Windesi yang
dipenuhi pulau-pulau karang kecil, Nakhoda memberi
tahu mereka bahwa, mereka telah dekat dengan Wasior.

58
“Tinggal di dermaga membuat saya paham
bagaimana karakter dasar kebanyakan penduduk
Wasior yang kerap memancing ikan. Umumnya,
mereka tidak serakah. Jika mereka memancing ikan
dan telah cukup untuk disantapnya hari itu, maka dia
akan bergegas pulang...”

Kurang dari sebulan berlabuh di Dermaga Wasior,


saya telah bisa mengenal banyak orang yang menghuni
kecamatan kecil itu. Di sebelah kanan dermaga, rumah
pertama, itu adalah rumah milik Ustaz Kahar. Seorang
lelaki dari Pulau Ternate yang menikah dengan warga asli
Wasior. Ustaz Kahar adalah Imam Masjid yang hanya satu-
satunya masjid di Wasior.
Tak jauh dari rumah itu, rumah sebelah kiri adalah
rumah keluarga Tuan Ahmad, perantau asal Padang, yang
entah bagaimana kisahnya, jauh dari Sumatera, dia bisa
tiba di pedalaman Irian ini. Dia memiliki dua anak gadis
yang cantik. Rambutnya hitam lurus dan kulitnya hitam
manis. Rumahnya bersebelahan dengan kantor pos yang
berhadapan dengan kantor Polisi.
Tak jauh dari rumah Tuan Ahmad adalah rumah
Tokoh Masyarakat Irian yang sangat disegani, bapak
Martinus. Dialah lelaki pertama yang memiliki sepeda
59
motor yang cukup unik. Knalpotnya dua. Suaranya
menggelegar dan asapnya mirip cerobong pabrik, pekat
sekali. Meski suaranya menggelegar, kecepatannya tak
lebih cepat dari sepeda yang dikemudikan anak kecil.
Sangat lambat. Dia punya seorang anak gadis. Namanya
Martince yang gagu. Tince sangat agresif. Beberapa kali
dia datang ke perahu memakai pakaian yang agak terbuka
dan menggoda saya dengan tatapannya yang penuh harap
dan membawa serta pesona bunga yang merekah.
Di sebelah kanan, tak jauh dari rumah Bapak
Martinus ada rumah Orang Makassar. Seorang polisi
yang tanda pangkatnya berwarna merah. Namanya Arfah.
Selain sebagai Polisi, dia juga pengusaha. Dia memiliki
toko kelontong dan juga berdagang hasil hutan serta laut
yang dikelola oleh istrinya.
Jauh ke arah darat di poros jalan yang sama,
melewati beberapa rumah warga asli, di samping gereja,
rumah milik keluarga Tuan Rahman. Seorang perantau
asal Bulukumba. Saban hari saya bertemu di dermaga dan
dia berkisah bahwa terkadang dia bersitegang dengan
penduduk lokal Wasior, terutama tetangganya yang
berasal dari Pulau Biak, yang berprofesi sebagai guru.
Katanya, suatu hari di bulan Ramadhan, sekitar
Asar, saat orang berada di puncak rasa lapar berpuasa,
tetangganya membakar tikus tanah sebagai persiapan
makan malam. Tuan Rahman meracau sejadi-jadinya. Dia
mengingatkan tetangganya soal toleransi dalam beribadah
dan memintanya untuk saling menghargai.
Sesekali, saya bertamu ke rumah Tuan Rahman.
Dia selalu menyuguhkan kopi. Istrinya yang berasal dari

60
Ternate sangat ramah. Dia sangat penyayang pada anak-
anaknya yang berjumlah empat orang. Mereka keluarga
yang taat beribadah.
Sesekali mereka menjamu saya di teras rumah,
sambil melihat-lihat kandang rusa di samping rumahnya
yang cukup luas. Sepasang rusa ada di sana. Tuan Rahman
sangat membanggakan rusanya. Katanya, rusa itu adalah
pengusir rasa sepinya di Wasior sekaligus sebagai hiburan
dan pengisi waktunya jika merasa suntuk.
Wasior yang memang tidak seberapa luas, hanya
memiliki dua akses untuk didatangi. Melalui udara
dengan pesawat kecil yang beroperasi dua kali seminggu
dan melalui laut. Fasilitas listrik yang disediakan negara
pun hanya berupa genset besar yang menyala pada saat
menjelang Magrib dan dimatikan pada saat fajar atau
setelah salat Subuh. Kecuali pada hari minggu atau hari
raya tertentu, barulah listrik di kecamatan itu dinyalakan.
Begitulah saya menghapal nama-nama warga
pendatang, terutama yang beragama Islam di Wasior yang
jumlahnya tak seberapa. Bahkan, saya yakin, jumlahnya
tak sampai dua ratusan jiwa. Saya melihat di masjid ketika
salat Jumat, jamaahnya sangat sedikit. Wajarlah jika di
Wasior hanya ada satu masjid.
Tinggal di dermaga membuat saya paham
bagaimana karakter dasar kebanyakan penduduk Wasior
yang kerap memancing ikan. Umumnya, mereka tidak
serakah. Jika mereka memancing ikan dan telah cukup
untuk disantapnya hari itu, maka dia akan bergegas
pulang.

61
Sesekali, saya pun mendatangi pasar. Pasar itu
dipenuhi kios pedagang dari Bugis. Kebanyakan Bugis-
Soppeng. Mereka menguasai pasar. Pedagang lokal Wasior
hanya berdagang ikan dan sayuran. Beberapa orang juga
kadang datang membawa anak babi dalam gendongan
mereka atau ayam.
Orang-orang lokal wasior sangat doyan mengunyah
pinang dan sirih. Beberapa sudut pasar tampak kotor
dengan noda merah. Mereka kerap meludah seenaknya.
Beberapa pemuda lokal kadang datang ke pasar
membuat gaduh. Mengganggu para pemilik kios jika
mereka mabuk karena minum Bobo, sejenis Tuak. Kadang
mereka minum Bobo yang telah dicampurkan dengan
minuman keras Cap Tikus dari Manado. Entah bagaimana
mereka bisa mendapatkannya di Wasior.

62
“Saya mengangkat kedua tangan saya.
Menyambut tubuh Atikah yang sedari tadi berjuang
untuk mendapatkan pelukan balasan dari tangan saya.
Sambil memanggili namanya,

Saya menenggelamkan diri untuk menjaga hati saya


untuk Atikah. Tapi, cobaannya semakin hari kian berat.
Beberapa anak-anak gadis kerap datang bertandang ke
perahu. Kadang mereka beralasan hanya ingin melihat-
lihat. Akan tetapi, beberapa di antara anak gadis itu, ada
yang datang dengan membawa beragam hadiah untuk
saya. Ada juga yang menyapa dengan panggilan bernada
manja.
Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah
pernah di suatu larut malam dengan purnama yang
benderang, seorang gadis datang ke perahu. Dia
menyelinap mencari saya. Saat itu saya sedang berada di
atas ruang kemudi, sedang menikmati cahaya bulan yang
berkilauan di atas gelombang air laut yang tak seberapa
besar.
Saya mencium bau alkohol yang sangat menyengat
dari gadis itu. Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, dia
menghampiri, mendekatkan tubuhnya ke tubuh saya dan
memeluk saya dengan sangat erat. Saking eratnya, saya
merasa bernapas pun agak sulit.
Gadis yang mabuk itu terus berupaya menggoda
saya dengan bahasa tubuh penuh gairah. Saya terus
berjuang untuk melepaskan diri. Tapi, gadis muda dan

63
cantik yang mabuk ini sepertinya bukan sekadar mabuk.
Dia sepeetinya telah kerasukan setan. Tenaganya sangat
kuat.
Di bawah cahaya bulan, di atas ruang kemudi,
dia terus menggumuli saya. Saya terus berupaya untuk
menghindar tanpa melakukan tindakan kasar yang
justru dapat mengancam jiwanya. Saya takut, jika saya
mendorong tubuhnya dan dia terjatuh ke laut, dia bisa
mati tenggelam dan saya akan menjadi tersangka dan
dipenjarakan.
Gadis itu tidak juga berhenti, meski saya tak
membalas setiap geliat tubuhnya. Tanpa saya duga,
sebuah tendangan keras mendarat di ulu hati saya. Saya
tersungkur, Bayangan Daeng Marinnyo, Guru silat saya
di Kampung berkelebat. Tapi, saya tidak bisa mengingat
satu jurus pun yang pernah diajarkannya. Dalam keadaan
meringis sambil memegangi ulu hati, saya melihat gadis
itu melepaskan pakaiannya. Dia melepaskan semuanya.
Cahaya bulan yang benderang membuatnya terlihat
dengan jelas.
Pikiran saya kacau. Pandangan saya malah jadi
berkunang kunang setiap saya berupaya untuk berdiri.
Gadis itu tersenyum ke arah saya dengan senyum yang
semakin aneh.
Tiba-tiba, saya melihat wajah gadis itu berubah
menjadi wajah yang saya kenal. Wajah yang tak pernah
lepas dari ruang ingatan. Wajah yang lama hilang dan
membawa seluruh cahaya harapan dalam hidupku. Wajah
yang hilang dan mematahkan seluruh harapan. Itu adalah
wajah Atikah. Wajah yang menjadi makna dari kesunyian.
Wajah yang telah menjadi jawaban dari setiap pertanyaan

64
kelam dalam berlayar melintasi lautan-lautan ganas
penuh gelora yang mematikan.
Saya mengangkat kedua tangan saya. Menyambut
tubuh Atikah yang sedari tadi berjuang untuk mendapatkan
pelukan balasan dari tangan saya. Sambil memanggili
namanya, saya mendekati tubuh Atikah. Atikah tampak
tersenyum bahagia.
Ketika tangan saya hampir menyentuh tubuh Atikah,
saya mendengar suara menggelegar Nakhoda memanggil
nama saya.
“Malewa, berhenti! Dia bukan manusia. Dia adalah
jelmaan jin. Orang di sini menyebutnya Hantu Suanggi.
Mahluk jadi-jadian. Seperti Parakang jika di Bulukumba.
Lahaula wala quata illah billah. Allahumma shalli ‘ala
Sayyidina Muhammad wa ‘ala Sayyidina Muhammad.”
Suara Nakhoda menggelegar memecah kesunyian
dermaga yang sedang sepi.
Bersamaan dengan suara Nakhoda, sosok
perempuan telanjang itu kemudian menjerit dengan
lengking suara yang sangat keras, sebelum berhasil
disentuh oleh Malewa.
Sosok perempuan itu lalu melompat dan menghilang
dari pandangan Nakhoda dan Malewa. Anak Buah Kapal
yang mendengar teriakan Nakhoda lalu bergegas ke
atas ruang kemudi dan mendapati Malewa yang sedang
tampak kekelahan dan wajah yang kebingungan.
“Bukan pertama kali saya mendapati peristiwa
seperti ini. Di beberapa pelabuhan di kawasan Timur
Nusantara, saya pernah melihatnya juga. Bahkan,
beberapa peristiwa itu nyaris mencelakakan korbannya.”
Ujar Nakhoda sambil menepuk-nepuk pudak Malewa.

65
“Dia menerima buku itu dengan perasaan senang.
Dia membolak balik dan membaca
sebaris dua baris kalimat di dalamnya.
Dia telah lama tidak membaca buku.

Pagi yang cerah dan laut yang sangat tenang. Dari


kejauhan, tampak sebuah kapal dengan tiang yang agak
tinggi sedang bergerak menuju Wasior. Orang-orang
mulai berdatangan ke ujung dermaga dan menatap ke
arah kapal. Semakin lama, kapal itu semakin mendekat
dan terlihat sangat jelas.
Beberapa anak yang sedang bermain sampan
segera mendayung menjauh dari dermaga, meninggalkan
jalur atau area tempat kapal-kapal biasanya sandar atau
berlabuh, menghindar agar tidak ditabrak oleh kapal atau
ditenggelamkan oleh ombak atau pusaran air dari baling-
baling kapal yang berputar keras.
Seorang Anak Buah Kapal melemparkan tali sebesar
lengan orang dewasa ke arah dermaga dan disambut oleh
seorang di dermaga. Dia segera menambatkan ujung tali
kapal itu ke sebuah besi sebesar batang kelapa di sisi
dermaga. Kurang dari lima menit sejak ditambatkannya
tali kapal itu, kapal itu telah bersandar dengan sempurna.
Klakson kapal pun menyalak beberapa kali, menggema ke
segala penjuru.
Seorang pemuda dengan tas yang cukup besar di
punggungnya turun dari kapal perintis itu. Kapal besi
yang digunakan sebagai sarana transportasi antar wilayah
66
pesisir di Irian. Meski tidak seberapa besar dan telah penuh
dengan karatan. Beberapa bagian di lambungnya penuh
dengan tempelan besi yang sepertinya belum terlalu lama
diperbaiki. Tempelan besi itu menutupi nomor dan nama
kapal yang bertuliskan Tenggiri.
Dia turun, berjalan ke arah perahu Wasior Indah,
lalu menanyakan alamat Rumah Ustaz Kahar. Malewa
yang ditemui pemuda itu menunjukkan rumah di ujung
dermaga. Mengucapkan terima kasih dan tersenyum,
pemuda itu lalu melangkah pergi. Malewa menatap lelaki
itu yang berjalan ke arah darat.
Pelabuhan Wasior yang tak seberapa panjang itu
pun kini menjadi ramai. Warga Wasior berdatangan
melihat kapal yang sedang sandar tersebut. Beberapa di
anataranya hanya sekadar datang melihat. Namun, ada
juga yang memanfaatkan keadaan dengan berdagang,
menjual buah atau makanan sekadarnya.
Sebulan sekali kapal tersebut sandar di Wasior. Dia
melewati Rute Nabire, Biak, Manokwari, Wasior, Sorong,
Jayapura dan terakhir di Merauke. Dia juga menyinggahi
kota-kota kecil pesisir yang tidak memiliki pelabuhan
darat. Biasanya hanya akan berlabuh di laut sehingga
penumpang dan barang yang akan dimuat atau diturunkan
menggunakan perahu bantu yang akan mengantarkannya
ke pantai.
Setelah keadaan agak sepi dan tenang, Malewa
mendekati Kapal itu. Cukup lama dia mengamati perahu
besi yang berukuran sedang atau tiga kali lebih panjang
dari perahunya itu. dia berjalan dari depan ke belakang
lalu mengulanginya lagi. Dia menaiki perahu, berjalan

67
menuju ruang kemudi dan menemui seseorang di sana
yang sedang merapikan beberapa barang di atas meja
ruang kemudi.
Cukup lama mereka ngobrol di ruang kemudi.
Malewa tampak sangat serius menanyakan banyak hal
kepada lelaki itu. Lelaki yang merupakan wakil juru
mudi itu pun tampak senang menjawab pertanyaan-
pertanyaannya.
“Saya kase slesai sa pu skolah kelautan di Kota
Makassar. Lalu sa lanjut kursus pelayaran juga di
Makassar. setelah merantau kasana-kamari di Indonesia
Timur, saya lalu memutuskan untuk melamar bekerja di
beberapa perusahaan pelayaran swasta. Dan ini kapal so
kapal ketiga yang saya tempati bekerja. Saya agak betah di
kapal ini, dia memberi saya banyak pengalaman baru dan
mengantarkan saya untuk melihat keindahan Irian lebih
dalam lagi. Saya juga sanang selalu bertemu orang-orang
baru. Semoga nanti juga saya bertemu jodoh saya di Irian
Jaya.”
Lelaki yang mengaku masih sendiri dan berasal
dari Pinggiran Kota Tua di Kendari Sulawesi Tenggara
itu bicara kepada Malewa dengan dialeg khas Irian Jaya
dengan alis matanya yang terus digerakkan. Sesekali dia
terkekeh dan membuang pandangannya ke laut.
Malewa tetap di sana hingga klakson kapal itu
dibunyikan dan menggema ke seluruh penjuru Kecamatan
Wasior. Memantul di perbukitan yang mengelilingi Wasior.
Tak lama setelahnya, penumpang yang akan menggunakan
jasa kapal itu pun berdatangan ke arah perahu, dengan
berbagai macam barang bawaan.

68
Dengan wajah yang sangat senang, Malewa menjabat
tangan lelaki tadi. Dia berdoa agar dapat dipertemukan
lagi. Lelaki itu balas menjabat tangan Malewa dan
mengucap salam perpisahan.
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali
Muhammad. Semoga Allah mempertemukan kita lagi
Malewa. Inga’, bahwa seorang pelaut selalu basudara
dengan pelaut lainnya. Kapal kecil akan memberi hormat
pada kapal yang lebih besar jika berpapasan di lautan
luas,” kata lelaki itu sambil tersenyum.
Malewa meninggalkan ruang kemudi dan berjalan
menuju perahunya. Wajahnya tampak senang. Dia
mendapatkan banyak pengetahuan baru soal kehidupan
dari lelaki itu.
Setelah melepas dan menarik tali, kapal itu perlahan
bergerak menjauhi dermaga. Puluhan orang yang duduk
di tepi dermaga itu melambai-lambaikan tangan sebagai
tanda perpisahan. Seorang perempuan melambaikan
sehelai sapu tangan warna merah ke arah kapal. Wajahnya
penuh kesedihan.
Seorang lelaki paruh baya melakukan hal yang
sama. Dia menatap ke arah kapal yang semakin menjauh
itu sambil sesekali sesenggukan. Dia sepertinya merasa
berat melepas kepergian seseorang di kapal itu.
Malewa terkenang saat meninggalkan kampungnya.
Tak ada Atikah kekasihnya yang mengantarkannya ke
bibir pantai. Tak ada lambaian perpisahan dan kesedihan.
Hanya lelaki tua sahabatnya yang mengibarkan bendera
merah di halaman gubuknya yang memberi tanda
salamnya.

69
Malewa berjuang mengusir kesedihannya yang
menyeruak dari orang-orang yang melambaikan tangan
di dermaga. Dia mengintip dari celah papan ruang
istrahatnya.
Ketika kapal itu mulai hilang dari pandangan,
orang-orang di ujung dermaga satu persatu beranjak
pergi. Suasana berangsur menjadi sepi. Hanya beberapa
orang yang berada di sana, silih berganti melempar tali
pancingnya ke laut.
Hari telah sore ketika seseorang datang mencari
Malewa di perahu. Seorang lelaki yang pagi tadi datang
dengan tas besar itu ingin menemuinya. Malewa
menyambutnya di atas ruang kemudi.
“Anda adalah orang pertama yang saya temui di
Wasior ini. Anda pulalah yang menjadi orang pertama
yang saya ajak bicara. Saya ingin mengucapkan terima
kasih, semoga Anda berkenan menerima hadiah saya ini
dan berkenan membacanya.”
“Saya telah lama tidak membaca buku.” Malewa
membatin
Lelaki itu menyodorkan buku kepada Malewa.
Dia menerima buku itu dengan perasaan senang. Dia
membolak balik dan membaca sebaris dua baris kalimat
di dalamnya. Dia telah lama tidak membaca buku. Sejak
dia meninggalkan sekolahnya. Apalagi, sejak naik ke
perahu, dia sungguh telah terlepas dari buku.
The Alchemist karya Paulo Coelho, buku yang
diberikan padanya itu. Malewa membacaya selama dua
hari. Dia merasa tidak perlu harus membacanya terburu-
buru.

70
Sejak membuka lembaran pertama keesokan
paginya, setelah dia menyelsaikan pekerjaan rutinnya
di dapur, dia langsung jatuh cinta pada buku itu. dia
membacanya dengan cermat. Dia tak membiarkan satu
kata pun yang terlepas dan tak dibacanya.
“Santiago, Santiago, gembala domba bermalam
di gereja yang terbengkalai.” Dia membatin. Ingatannya
terpental pada masa kecilnya saat menjaga kambing milik
orang tua angkatnya di kampung halaman.
“Domba yang terancam serangan serigala dan
Santiago berbaring dengan berbantal buku yang tebal.” Dia
terus membatin. Ingatannya terus terpental ke masa kecil
saat dia menjaga kebun orang tua angkatnya dari serangan
monyet. Dia menyebutnya Addoeng atau Akkammiq koko.
Dia terus membuka lembaran buku The Alchemist
itu dari waktu ke waktu sambil terus membayangkan
bahwa Santiago, tokoh rekaan karya Paulo Coelho itu
adalah dirinya. Ketika dia telah sampai pada halaman
yang menceritakan pertemuan lelaki tua bijaksana
bernama Melkisedek dengan lelaki penggembala domba,
dia menutup buku itu dan merenung panjang.
Dia mengingat-ingat kembali perjalanan kehidupan-
nya. Dia merasa menemukan titik yang sama dengan kisah
dalam buku itu. hanya saja, dia menyadari, tidak seperti
Santiago sang penggembala di gurun pasir. Dia lelaki dari
Bulukumba. Bertarung hidup di atas laut dan bersahabat
dengan angin dan warna laut.

71
“Seorang lelaki berjalan dari dermaga ke arah darat.
Dia membawa noken di kepalanya.
Nokennya berisi dengan bermacam buah.
Di tangannya, dia menggenggam
seekor burung Cenderawasih yang telah diawetkan.
Bulunya sangat indah...”

Masih sangat pagi ketika Malewa berjalan menuju


ke darat. Tak ada siapa-siapa di atas dermaga. Dia
memegang buku yang telah dituntaskannya. Dia merasa
harus menemui lelaki yang memberinya buku itu. Dia
ingin mengenalnya lebih dalam.
Rupanya, pemuda yang memberinya buku itu sedang
duduk di teras rumah, menikmati kopi dan membaca buku
yang sampulnya tampak sudah agak kusam. Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka.
Ustaz Kahar muncul sejenak dari dalam rumah lalu
meninggalkan mereka berdua. Tak lama setelahnya, istri
Ustaz Kahar datang sambil tersenyum membawa segelas
kopi untuk Malewa.
“Saya telah membaca buku itu dahulu di
perpustakaan sekolah.” Malewa membuka percakapannya
sambil menatap ke arah buku yang dipegang oleh pemuda
itu.
“Saya telah membacanya berulang kali. Entah
ini telah kali yang keberapa. Saya terus mengulangnya.

72
Ada daya magis yang dimiliki buku ini pada untaian
kalimatnya. Dan yang lebih dahsyat adalah keberanian
Tokoh Zainuddin berangkat dari Makassar menuju
Sumatera untuk menemui keluarga bapaknya. Padahal, dia
tidak memiliki gambaran daerah yang dituju. Ini sungguh
karakter lelaki perantau yang dahsyat.
“Yah. Sangat berani. Mungkin karena dia dididik
dengan tradisi dan semangat orang pesisir oleh
pengasuhnya, Daeng Basse dari Bulukumba itu. Negeri
yang dipenuhi lelaki yang gemar merantau.”
Malewa sedikit terkekeh saat dia memuji kampung
halamannya. Obrolan mereka terus saja mengalir. Nakhoda
yang berjalan dari darat ke arah dermaga hanya menyapa
mereka dengan teriakan. Demikian pula dengan dua Anak
Buah Kapal yang ikut di belakangnya.
Pagi mulai terang. Beberapa anak sekolah dengan
seragamnya tampak berlalu lalang di jalanan kampung
yang tak seberapa besar itu. Obrolan mereka terus
mengalir.
“Saya telah semester akhir. Saya menargetkan
paling lambat tahun depan, saya sudah harus meraih gelar
sarjana. Skripsi saya tentang kehidupan dan bahasa orang
peisisir di Indonesia yang mengantarkan saya ke sini. Ikut
berlayar dengan kapal-kapal kecil telah membawa saya
ke banyak tempat. Saya mencatat apa yang saya lihat dan
menarik untuk dituliskan.”
Malewa hanya mengangguk saat menyimak pemuda,
yang ternyata seorang Mahasiswa, itu menjelaskan
tentang aktivitasnya. Tiba-tiba kepala suku melintas
dengan sepeda motornya yang memekakkan telinga.

73
Dia menuju dermaga. Asap dari knalpot motor kepala
suku itu membuat keduanya menutup hidung. Tak lama
setelahnya, Arfah, Polisi dari Makassar itu pun lewat dan
menoleh ke arah mereka sambil tersenyum.
“Saya percaya, bahwa keramahan Indonesia yang
paling asli bisa ditemukan di pesisir pulau-pulau kecil.
Mereka orang-orang yang ramah dan selalu terbuka
kepada setiap tamu yang datang. Tidak ada tamu yang
mendatangi kampung mereka yang akan dibiarkan mati
kelaparan.”
Mahasiswa itu menyeruput kopi dan membakar
sebatang rokok. Dia pun menawarkan rokoknya kepada
Malewa.
“Sangat berbeda dengan kota besar. Kita tak pernah
sepi dari berita orang yang mati karena kelaparan. Banyak
orang kota yang harus berbuat jahat untuk bertahan
hidup. Mencuri, mencopet, atau bahkan merampok.
Padahal, jika berpegang teguh pada keyakinan bahwa
rezeki dari Allah dan kita mesti berikhtiar dalam mencari
rezekinya, tak perlu ada kekerasan untuk hidup. Dengan
bersikap ramah saja, kita bisa hidup di mana saja dan bisa
bepergian kemana saja.”
Malewa hanya terdiam mendengarkan Mahasiswa
itu bercerita.
“Saya telah dua bulan meninggalkan Jakarta.
Awalnya saya menumpang kapal peti kemas menuju
Makassar, meski agak sulit, tapi saya berhasil membujuk
kapten kapal untuk diikutkan. Bermodal surat
pengantar penelitian dari kampus Universitas Gajah
Mada Yogyakarta, tempat saya kuliah. Demikianlah saya

74
menggunakan kertas itu untuk menjadi jalan kemudahan
untuk melakukan perjalanan. Saya percaya dengan
kekuatan bahasa. Keramahan akan menjadi jalan-jalan
kebaikan yang memudahkan kehidupan.”
Mendengar kalimat penutup yang terakhir dari
Mahasiswa itu, Malewa teringat dengan Melkisedek yang
bijaksana. Lelaki yang mengubah haluan hidup Santiago.
“Saya senang bepergian. Itulah akhirnya saya tiba
di sini. Sambil bepergian, saya mencatat apa yang saya
lihat. Saya membandingkannya dengan catatan-catatan
yang pernah dibuat orang jauh sebelum kita. Saya
membaca tentang Pulau Morotai sebelum dan sesudah
pendudukan penjajah. Saat saya ke sana, saya mencatat
apa yang saya lihat, termasuk sisa-sisa mesin perang dan
kosa-kata masyarakat di saat ini, yang dipengaruhi oleh
Jepang. Semoga suatu hari nanti saya bisa menjadikannya
sebuah buku, agar bisa menjadi tambahan pengetahuan
bagi banyak orang. Terutama yang senang dengan
petualangan. Demikian saat saya memasuki perairan
Kabupaten Manokwari, saya membayangkan bagaimana
perang pernah berkecamuk di sana. Saya terkenang
lelaki, ksatria pemberani Yos Sudarso yang keberaniannya
menggetarkan hati saat peristiwa pembebasan Irian
Barat.”
Seorang lelaki berjalan dari dermaga ke arah darat.
Dia membawa noken di kepalanya. Nokennya berisi dengan
bermacam buah. Di tangannya, dia menggenggam seekor
burung Cenderawasih yang telah diawetkan. Bulunya
sangat indah. Dia sempat singgah di depan rumah dan
menawarkan burung itu kepada Malewa dengan harga

75
murah. Karena tidak berhasil menjualnya, lelaki yang
tampaknya datang dari jauh itu pun berlalu pergi.
“Saya banyak membaca kisah-kisah pengelana di
negeri Arab. Mereka berkenala dari lembah ke lembah
yang dipenuhi kegersangan alam. Padang pasir yang luas
dan badai-badai yang mengenaskan tak membuat mereka
gentar. Rasa lapar dapat mereka lewati dengan kepasrahan
pada Tuhan. Mereka tidak pernah mengkhawatrikan
rezeki mereka. Mereka tidak pernah khawatir untuk
rezekinya esok hari. Jika mereka hidup hari ini, maka
besok adalah urusan lain. Hanya saja, mereka kebanyakan
adalah orang orang yang teguh dalam iman. Hidup hanya
untuk berbuat baik dan beribadah dengan tekun. Doa-
doa mereka mustajab. Mereka menjaga diri dari dosa.
Setidaknya, begitu yang saya baca dan sedikit-sedikit saya
coba amalkan dalam kehidupan.”
“Doa mereka mustajab?” Malewa tampak tersentak
dengan kalimat itu.
“Bagaimana membuat doa menjadi mustajab seperti
para pengelana di gurun pasir itu? apakah kau pernah
membacanya? Ceritakan padaku!” Pinta Malewa dengan
wajah serius menatap ke dalam mata Mahasiswa itu.
“Iya. Doa mereka mustajab. Bahkan, mereka tidak
pernah pusing dengan kehidupan dunia. Tapi dunialah
yang mendatangi mereka. Seperti rihlah yang dilakukan
Ibnu Batuta dari Maroko pada tahun 1300-an yang
berpetualang hingga ke Aceh.”
Obrolan mereka terhenti ketika Ustaz Kahar muncul
dari dalam rumah dan meminta agar Mahasiswa itu
bersiap-siap untuk pergi ke ujung kampung. Sebuah pesta

76
adat akan dihelat siang itu. Ustaz Kahar menepuk-nepuk
pundak Malewa sambil menatapnya penuh keakraban.
Rasa penasaran di hati Malewa semakin menebal.
Dia tak sabar untuk terus mendengarkan Mahasiswa itu.
tapi, dia harus kembali ke perahu. Dia harus menunaikan
tugasnya. Hari telah menjelang siang. Anak Buah Kapal
yang sedari pagi telah beraktifitas menyusun barang dan
membenahi bagian kapal tentu mulai lapar dan lelah,
pikirnya.

77
“Itu alasan lain mengapa saya terus
bepergian kemana saja, menemui siapa saja yang
memungkinkan untuk mengajarkan saya.
Kita tak bisa menduga orang-orang yang telah
menyatukan jiwanya dengan istigfar dan selawat...”

Belum terlampau lama meninggalkan waktu salat


Isya, Mahasiswa itu mengajak Malewa duduk di ujung
dermaga. Dia membawa sebotol kopi dan beberapa potong
pisang goreng. Sebungkus rokok pun diletakkannya di
samping botol.
“Ketika hidup saya serba kesulitan di awal kuliah,
jangankan untuk membeli buku, untuk makan saja saya
tidak punya jadwal khusus. Saya makan jika ada makanan
dan saya akan berpuasa jika tidak ada makanan. Minum
air dari keran tempat wudu masjid bukanlah hal yang
asing. Saya melakukannya sejak lama. Saya menjalaninya
dengan ikhlas. Apa pun akan saya lakukan untuk bertahan
menyelesaikan kuliah.”
Malewa terus menyimak Mahasiswa itu. dia
meneguk kopi, mengunyah pisang goreng, membakar
sebatang rokok, dan mengisapnya dalam-dalam. Dia
menunggu Mahasiswa itu melanjutkan pembahasannya

78
soal doa yang mustajab. Hanya saja, dia malu untuk
mengungkapkannya.
Setelah sekian lama bercerita, akhirnya Mahasiswa
itu kembali membahasnya.
“Orang yang banyak beristigfar itu akan mudah
dikabulkan doanya. Saya banyak membaca tentang kisah-
kisah orang yang banyak beristigfar dan hajat-hajatnya
dalam kehidupan selalu dimudahkan Allah. Demikian
dengan orang yang banyak membaca selawat kepada
Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam. Doa mereka
mustajab. Saya pernah mendengar itu dari banyak ustaz
atau tetua di kampung saya.
Setelah saya menelitinya dengan baik dari
banyak penuturan dan buku-buku agama, rupanya,
perintah berselawat ini memang ada dalam Alquran.
Surah Al Akhsab. Sebuah perintah Allah yang Allah
juga melakukannya. Allah pun berselawat kepada Nabi
Muhammad. Tentu ada kandungan yang dahsyat jika kita
berselawat kepada Nabi. Allah menyuruh kita bersedekah,
mendirikan salat dan berpuasa. Tapi itu tidak dilakukan
oleh Allah. Tapi selawat, Allah melakukannya, sebagai
sebuah apresiasi cinta kepada Nabi Mumammad,” jelas
Mahasiswa itu penuh semangat.
“Awalnya, saya tidak percaya. Tapi setelah saya
membaca banyak kisah tentang orang yang beristigfar dan
berselawat, saya akhirnya jatuh hati kepada selawat. Meski
baru memulainya, saya telah menemukan faedahnya. Jika
saya tidak melakukan apa-apa, saya hanya beristigfar dan
berselawat. Sejauh ini, Allah selalu memudahkan apa yang
saya lakukan.”

79
Pikiran malewa melayang jauh. Dia membayangkan
jika doanya menjadi mustajab, dengan mudah bisa
mendapatkan kekasihnya yang hilang. Atikah, kembang
desa yang selalu memenuhi ruang pikir, mimpi, dan sudut-
sudut kesunyian hatinya.
Dia berpikir bahwa jika doanya menjadi mustajab,
dia tak akan lagi dihinakan sebagai orang miskin di
kampung halamannya. Dia akan mendoakan kemuliaan
pada dirinya sehingga dia akan disegani oleh banyak
orang.
Pikiran Malewa terus bergelayut pada langit malam
yang terang benderang. Bulan purnama sedang hadir di
langit dengan kelembutan cahayanya, memesona siapa
pun yang melihatnya malam itu.
“Tapi, pengetahuan soal doa mustajab ini saya
barulah dapatkan melalui bacaan. Saya sangat ingin
mencari seorang guru. Guru yang dapat menyempurnakan
pengetahuan saya yang berserakan ini. Nah, itu alasan
lain mengapa saya terus bepergian kemana saja, menemui
siapa saja yang memungkinkan untuk mengajarkan saya.
Kita tak bisa menduga orang-orang yang telah menyatukan
jiwanya dengan istigfar dan selawat. Orang yang sudah
sampai di makam itu biasanya menyembunyikan dirinya.
Mereka menyembunyikan amalannya itu.
“Lalu bagaimana kita akan dapat mengenalinya?”
Tanya Malewa
“Dari apa yang saya pernah baca dan dengarkan,
biasanya, mereka akan muncul di tengah masyarakat
dengan cara dan peristiwa yang tak biasa. Orang
menyebutnya dengan karamah atau kesaktian yang

80
dimiliki oleh seseorang yang kadang dianggap remeh atau
biasa saja dalam masyarakat. Misalnya; berlari bersama
embusan angin, menaklukkan binatang buas, memanggil
angin atau hujan, meredakan badai di lautan, atau kadang
lebih dahsyat dari itu. ada yang bisa berjalan di atas
air. Mereka tak mudah dikenali secara lahiriah. Mereka
menutup rapat amalan rahasia mereka. Biasanya, hanya
sesama ahli amalan rahasia yang akan saling mengenali
sesama mereka. Mereka berbicara tidak dengan kata-kata.
Tapi getaran batin mereka”
Malewa terperanjat. Ingatannya tiba-tiba tertuju
pada gadis yang wajahnya mirip Atikah kekasihnya di
Pulau Nai di Kepulauan Tual. Dia teringat dengan kisah
lelaki yang berjalan di atas air dan selalu menitipkan
tanda bendera merah pada setiap tempat yang pernah
didatanginya. Dia juga teringat dengan selembar surat
yang diberikan gadis itu kepadanya, yang hingga hari ini
belum pernah dibacanya.

81
“Semoga kalian bertemu guru atau kitab
yang dapat menunjukkan kepada kalian tentang
jalan untuk membuka mata batin.
Pertemuan yang dapat mengubah pikiran dan
menghadirkan cahaya di dalam jiwa.
Cahaya yang akan membuat hidupmu
memiliki tujuan...”

Suatu Pagi, Mahasiswa itu dan Malewa diajak oleh


Ustaz Kahar mendaki Bukit Wandiboi. Bukit yang berdiri
tegak di belakang Wasior. Bukit hijau yang dipenuhi
pohon-pohon yang lebat dan menjulang tinggi.
Di atas bukit itu, seluruh bagian Wasior yang
memanjang dari Utara ke Selatan dapat dilihat dengan
baik. Perahu-perahu kecil nelayan juga tampak indah
berdiam diri di tengah laut. Beberapa titik kepulan asap
tipis tampak membumbung ke langit. Pertanda di sana
ada orang yang sedang berada di kebunnya. Mungkin
sedang membakar singkong atau makanan lainnya.
Setelah memilih tempat yang tepat untuk menikmati
pemandangan Wasior dari atas bukit, wajah Ustaz Kahar
tampak senang dan menyiratkan aura keteduhan jiwa.
“Semalam, saya bermimpi. Saya diminta mengajak

82
kalian ke sini. Ada petunjuk yang menyuruh saya
memberitahu kalian tentang sesuatu.” Malewa dan
Mahasiswa itu berpandangan dan tampak kaget.
“Anak muda seperti kalian berdua memang
sebaiknya mengetahui ini. Perjalanan kalian masih
jauh dan panjang. Sedangkan saya, saya telah memilih
untuk berdiam diri dan menetap hingga mati di Wasior
ini. Saya telah memilih untuk menghabiskan usia saya
melakukan syiar Islam di negeri kecil ini. Ummat Islam di
kampung ini harus memiliki pegangan untuk menguatkan
pemahaman ke-Islaman mereka. Apalagi, masih banyak
muallaf yang harus diajarkan soal tauhid dan muamalah
yang sesuai sunnah. Masih banyak muallaf yang harus
diberi pencerahan tentang zikir dan doa-doa mustajab.”
Uztas Kahar membuang pandangannya ke laut Teluk
Wandamen.
“Kenalilah tentang ilmu para pengelana. Mereka
tidak pernah mengkhawatirkan rezeki mereka. Walau
mereka terus berjalan kemana saja, mereka tidak pernah
khawatir tentang apa pun. Mereka menyandarkan hidup
mereka pada keyakinan dan kepasrahan kepada Allah.
Para pengelana yang mencari rida Allah dan menebarkan
kebaikan. Kita jarang mendengarkan ada pengelana
yang mati dalam perjalanan karena kelaparan. Mereka
selalu dikisahkan dengan baik tentang keberhasilannya
melintasi situasi yang sulit.”
Ustaz Kahar lalu mengisahkan tentang Ibnu Batuta
yang mengembara berkeliling dunia menaklukkan yang
capainnya melampaui jarak Cristopher Colombus atau
Laksamana Muhammad Ceng Ho. Ibnu Batuta bermodalkan

83
keyakinannya dalam menyebarkan kebaikan dengan
membawa ilmu fiqih dan sastra. Dia juga mengisahkan
tentang Syaikh Abdul Kadir Jaelani dan Imam AL Gazali
yang menjadi guru dari banyak wali.
Ustaz Kahar mengisahkan ketika dia masih muda dan
masih senang merantau, dia menceritakan pengalamannya
dalam menghadapi masa-masa sulit dalam hidupnya.
Sekali waktu, dia sedang berada di sebuah pulau kecil di
Kalimantan Timur. Namanya Pulau Bunyu. Dia mengalami
sakit yang membuatnya tak berdaya. Di pulau yang kaya
dengan Batu Bara, minyak, dan gas bumi itu, dia bekerja
sebagai buruh pada proyek pembangunan bandara.
Karena proyeknya dikerjakan dengan disiplin
yang sangat ketat, mereka bekerja nyaris tanpa istrahat.
Pimpinan proyek pembangunan bandara itu setiap saat
selalu berada di sana untuk mengarahkan para pekerja.
Apalagi, setelah dia dapat kabar bahwa Presiden Soeharto
dipastikan akan meresmikan proyek tersebut, dia
berada di sana nyaris dua puluh empat jam mengawasi
dan mengoreksi apa saja. Tubuhnya yang pendek,
Kumisnya yang tebal, dan perutnya yang buncit membuat
perawakannya tampak lucu bagi sebagian pekerja. Namun
begitu, dia sangat disegani. Tidak kurang dari lima orang
telah dipecatnya karena dianggap melanggar aturan kerja.
Dalam situasi demikian, Ustaz Kahar tiba-tiba sakit
keras. Tak ada obat yang bisa membuatnya tubuhnya
lebih baik. Perawat dan dokter di Pulau Bunyu pun
telah menyerah. Orang-orang telah pasrah menjemput
kematiannya. Dalam situasi itu, Ustaz Kahar sudah tidak
bisa bergerak dan hanya matanya saja yang sanggup

84
digerakkan dengan sayu. Hingga pada suatu malam, dia
bermimpi menjadi imam dalam salat Subuh. Lalu, ketika
sedang memimpin salat dalam mimpinya itu, dia membaca
surah dengan suara yang nyaring dan indah, dia terjaga
saat di pertengahan salat. Anehnya, surah yang terbaca
dalam mimpi itu, terus terbaca saat dia tersadar. Mulutnya
seolah bergerak dengan sendirinya.
Tersadar dengan keadaan, Ustaz Kahar tetap
melanjutkan bacaannya sampai selesai. Ketika surah yang
dibaca dalam mimpi dan bersambung ke saat terjaga itu
selesai, dia tersentak sadar bahwa waktu salat Subuh
telah tiba. Dia segera bangkit dan melaksanakan salat.
Pagi itu, dia meninggalkan gedung tempatnya
dirawat, berjalan menuju tempatnya bekerja. semua orang
yang melihatnya terperangah keheranan. Ustaz Kahar
menanggapinya dengan senyum dingin.
Karena dinilai tidak produktif lagi, Ustaz Kahar
rupanya telah dipecat oleh pimpinan proyek. Meski
sempat memprotes, pimpinan proyek yang buncit itu
tidak menggubrisnya. Akhirnya, dengan uang pesangon
yang tidak seberapa banyak, Ustaz Kahar meninggalkan
Pulau Bunyu. Hatinya hancur. Harapannya sirna. Dengan
speed boat pagi milik seorang pemuda Bunyu bernama
Sayyid Mawan, dia menuju Pulau Tarakan.
Dalam situasi hati yang gamang dan tujuan yang tak
menentu, dia duduk di pelabuhan Tarakan, menyaksikan
speed boat datang dan pergi membawa penumpang. Ada
yang pergi ke Pulau Nunukan dan Sebatik. Ada pula kapal-
kapal kayu yang katanya berlayar ke Sungai Sebuku dan
Sungai Sembakung di pedalaman Nunukan.

85
Setelah sekian lama di Pulau Tarakan dia kehabisan
uang dan tidak menemukan pekerjaan. Beberapa masjid
lalu ditempati untuk menghabiskan waktunya. Lapar dan
putus asa terus menghantuinya. Dia tak memiliki tempat
meminta. Meski demikian, selalu ada saja orang dermawan
yang tiba-tiba datang memberi sesuatu untuk mengganjal
perutnya. Hingga suatu malam yang tanpa harapan, dia
didatangi oleh seorang tua dalam mimpinya.
“Perbanyaklah membaca istigfar dan selawat
kepada Nabi Muhammad. Insya Allah, Allah akan memberi
banyak kebaikan dan kemurahan rezeki dalam hidupmu.
Akan dicatatkan sepuluh kebaikan dan diampuni
sepuluh kesalahan. Dan di akhirat akan mendapatkan
syafaat dari Rasululah. Hajat-hajat dan doa-doamu akan
dimustajabkan oleh Allah. Ada banyak orang di dunia ini
yang bersaksi akan kedahsyatan manfaat berselawat dan
beristigfar.” Demikianlah pesan yang disampaikan lelaki
tua dalam mimpinya itu, sebelum berbalik pergi sambil
memegang beberapa bendera kecil berwarna merah.
Berbalik sambil berjalan di atas permukaan air.
Sejak saat itulah, Ustaz Kahar mengamalkan pesan
lelaki tua dalam mimpinya itu. gairah hidupnya bangkit.
Degup jantungnya dirasakan dengan mengikutkan zikir
pada bunyinya. Hampir seluruh waktu luangnya adalah
istigfar dan selawat. Bahkan, di waktu sepertiga malam
dan pagi, dia tak pernah luput darinya.
Meski hidup tak jelas tujuan dan terlunta-lunta di
Tarakan, namun setelah bertemu dan mengamalkan pesan
lelaki tua dalam mimpinya itu, jiwanya menjadi tenang.
Meski pakaiannya kusam, tapi wajahnya memancarkan

86
aura keteduhan yang dahsyat. Siapa pun yang ditemuinya
dan bertatapan mata dengannya, orang itu akan merasa
senang dan akan memberikan senyum yang ramah.
Hari terus berganti, Ustaz Kahar semakin banyak
menghabiskan waktunya di masjid-masjid Kota Tarakan.
Lalu, oleh seorang marbut masjid di tengah kota, Ustaz
Kahar diajaknya tinggal di sana dan menjadi tukang bersih
masjid. Sejak saat itulah, dia banyak belajar ilmu agama
dari ceramah rutin di masjid dan buku-buku yang tersedia
di rak-rak masjid.
Ketika hidup Ustaz Kahar mulai tertata dengan
baik dan berinteraksi sosial dengan penuh persahabatan
dengan banyak orang. di suatu hari, atas petunjuk
seorang jamaah, dia melanjutkan pengembaraannya ke
tanah Makassar. Dia tinggal di sebuah pesantren di Kota
Maros. Di sana, dia lebih memperdalam ilmu agamanya.
Memperdalam ilmu ikhlas di dalam jiwanya. Setelah
sekian lama belajar, dia ikut dengan rombongan dai yang
akan berdakwah ke Irian Jaya. Lalu saat di Irian Jaya, dia
memilih jalan berbeda. Dia memutuskan untuk menetap
dan menjalani harinya sebagai penyiar Islam yang lalu
akhirnya tiba di Kecamatan Wasior, sebuah kampung di
pesisir Teluk Wandamen.
Demikianlah, Ustaz Kahar berkisah kepada Malewa
dan Mahasiswa itu. mereka berdua hanya terdiam. Merasa
kagum dengan perjalanan hidup Ustaz Kahar yang penuh
tantangan dan perjuangan untuk menemukan hati yang
istiqamah di jalan agama.
Awal mendengar kisah pertemuan Ustaz Kahar
dengan lelaki dalam mimpinya itu, terlintas rasa curiga

87
di benak Malewa, jangan sampai Ustaz Kahar adalah
Lelaki yang bisa berjalan di atas air, lelaki yang sedang
dicarinya itu. tapi, dia memendam kecurigaanya setelah
mendengar bahwa lelaki dalam mimpinya itu berlalu
dengan memegang bendera merah kecil dan berjalan di
atas air. Berarti, Ustaz Kahar dan Lelaki dalam mimpinya
adalah sungguh orang yang berbeda.
“Manusia yang ada di dalam titik kesulitan
hidup akan melakukan apa saja untuk keluar dari titik
itu. sebagian akan melakukan hal yang di luar batas
keyakinannya. Memilih kekafiran daripada melewati
jalan keyakinan agamanya. Tidak sedikit kabar tentang
orang yang lebih memilih menyelamatkan hidupnya
dari kelaparan dengan sebungkus makanan instan.
Lebih memilih gelimang harta kekayaan daripada hidup
sederhana dan bersahaja, karena impitan hidup. Padahal,
di titik tersulit kehidupan, doa-doa menjadi mustajab.
Tuhan menjadi sangat dekat pertolongan-Nya. Bahkan,
orang yang terdesak atau terancam jiwanya, dia dapat
melahirkan kekuatan yang sangat dahsyat dalam dirinya.
Dia dapat melakukan hal-hal yang melampaui batas tubuh
dan pikirannya.” Malewa dan Mahasiswa itu hanya terus
mendengarkan Ustaz Kahar.
“Suatu hari nanti, semoga kalian bertemu guru atau
kitab yang dapat menunjukkan kepada kalian tentang
jalan untuk membuka mata batin. Pertemuan yang dapat
mengubah pikiran dan menghadirkan cahaya di dalam
jiwa. Cahaya yang akan membuat hidupmu memiliki
tujuan. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa
‘ala ali Sayyidina Muhammad. Semoga keberkahan dalam

88
selawat itu diberikan Allah untuk memustajabkan doa
saya untuk kalian, janganlah lelah untuk berdoa, meminta
hal-hal baik dari Tuhan. Kita tidak pernah bisa menduga
doa mana yang akan diterima dan amalan mana dalam
ibadah kita yang akan mengantarkan kita pada surga
dunia dan akhirat.”
Ustaz Kahar melanjutkan uraiannya setelah
meneguk air dari botol kemasan yang dibawanya.
“Sebelum tiba di Wasior ini, saya pernah berlayar
dan tenggelam di perairan sekitar Gunung Botak. Sehari
perjalanan perahu dari sini. Sebelumnya, kami dikejar
oleh sebuah perahu asing. Tak jelas apa maksud mereka
mengejar kami. Teman saya di perahu menyebutnya dengan
pemburu Hiu dari Filipina. Konon, dia menggunakan
potongan tubuh manusia sebagai umpannya. Selain
memburu Hiu, mereka juga menculik dan merampok
nelayan yang ditemuinya dalam pelayaran. Nakhoda kami
memaksakan kecepatan perahu. Lalu, karena menabrak
sesuatu ketika jarak kami dengan daratan sudah cukup
dekat. Kapal kami terbelah dan tenggelam. Ketika itu,
ombak sangat besar. Ombak membanting kami kesana
kemari sehingga tubuh kami menjadi lemas. Untungnya,
setelah tenggelam, perahu yang mengejar kami itu
berlayar menjauh meninggalkan kami. Dalam situasi yang
sulit, saya lalu mengingat lelaki dalam mimpi saya tentang
doa mustajab dalam situasi sulit. Saya membaca doa nabi
Yunus saat ditelan ikan paus dan terus berselawat serta
beristigfar dengan penuh kepasrahan. Dan tiba-tiba saja,
laut menjadi tenang. Dengan sisa-sisa jeriken dan papan
yang mengapung, kami berenang ke daratan Gunung

89
Botak. Sebuah kapal kecil menolong kami beberapa saat
setelahnya dan membawa kami ke Wasior ini. Itulah
mengapa saya sampai di sini untuk pertama kali. Saya
ditolong oleh salah satu tokoh masyarakat asli Wasior
yang lalu menikahkan saya dengan anaknya setelah
menjadi muallaf.”
Ustaz Kahar lalu mengisahkan tentang kehidupannya
saat pertama kali berada di Wasior. Berkali-kali dia nyaris
berkelahi dengan pemuda mabuk di ruas jalan Wasior.
Tapi, dengan ketabahan dan kesabaran, dia selalu berhasil
menghindari bentrok fisik dengan mereka. Martinus dan
Arfah mendamaikannya.
Hari berganti hari, Ustaz Kahar pun menjadi akrab
dengan seluruh masyarakat Wasior. Dia kerap terlibat
pada acara-acara kemasyarakatan di Kecamatan Wasior.
Demikianlah dia hidup di tengah masyarakat Irian Jaya
yang cukup dihargai karena keramahannya. Lalu karena
Keistiqamahannya dalam beribadah, dia lalu diangkat
menjadi imam masjid satu-satunya di Wasior.
Sebelum meninggalkan bukit itu, Ustaz Kahar
mengajak mereka mencari akar pohon. Akar pohon mati
yang akan dibuatnya menjadi hiasan rumah.

90
“Ini bukan saat yang tepat untuk saya kembali.
Di kampung, di sana hatiku tak ada.
Ada yang hilang di kampung itu
dan saya merasa tak sanggup menghadapinya.”

Setelah pulang dari Bukit Wandiboi, Malewa tampak


berbeda dari biasanya. Setelah menyelesaikan tugas
hariannya di kapal, dia memilih lebih banyak berdiam diri
di tempat tidurnya. Dia terus memikirkan cerita Ustaz
Kahar. Gadis-gadis yang datang mengunjungi perahu dan
menggodanya tidak dipedulikannya.
Hatinya sedang menimbang-nimbang, apakah dia
akan tetap ikut berlayar atau memilih jalan berbeda.
Jika dia ikut berlayar, itu berarti, sangat mungkin dia
akan kembali ke kampung halamannya di Bulukumba.
Meskipun mungkin akan pulang dengan membawa uang,
tapi, itu tidaklah besar. Belum cukup untuk menaikkan
harga dirinya di mata orang kampung. Terlebih di mata
keluarga Atikah yang merendahkannya.
Hujan turun dengan sangat deras malam itu. Wasior
diselimuti kabut. Langitnya ditutupi awan pekat. Tak satu
pun bintang di sana. Petir dahsyat menyambar-nyambar
di puncak Bukit Wandiboi. Nakhoda dan Anak Buah

91
Kapal hanya memilih berdiam di tempat tidur masing-
masing. Malewa tak bisa memejamkan mata. Hingga
pagi menjelang, gerimis masih turun dengan sangat tipis.
Malewa belum juga bisa memejamkan matanya.
Biasan matahari belumlah tampak di puncak-
puncak bukit. Malewa berjalan ke arah darat dengan
sangat perlahan. Sesekali dia berjalan mundur. Menatapi
kapalnya yang bergoyang lembut dipermainkan
gelombang. Dia berjalan sambil sesekali menggaruk
kepalanya. Dia sedang memikirkan sesuatu. Di depan
rumah Ustaz Kahar, dia tidak segera masuk. Dia hanya
melihat ke teras yang masih kosong. Sepasang kursi dan
sebuah meja di tengahnya.
Entah apa yang dipikirkannya. Cukup lama dia
berdiri di sana dan akhirnya, dia pun memutuskan untuk
mengetuk pintu.
Anak-anak dengan seragam sekolah SD dan SMP
mulai tampak di jalanan ketika Ustaz Kahar dan Malewa
duduk di teras rumah itu. Mereka tampak mengobrol
dengan sangat serius. Dua anak gadis Tuan Ahmad juga
baru saja melintas dan menyunggingkan senyum. Malewa
menanggapinya juga dengan balas tersenyum.
“Jika apa yang Ustaz Kahar sampaikan adalah
benar, maka saya memiliki keyakinan hati untuk mencoba
berpetualang mencari guru dan ilmu.” Demikian salah
satu penyataan Malewa di teras rumah yang tak seberapa
besar itu.
“Dua hari lagi, KM Wasior Indah akan berlayar
kembali ke Sulawesi, membawa banyak barang dagangan.
Saya akan memilih untuk ikut berlayar, namun tidak akan

92
sampai di tujuan akhir. Saya akan milih untuk singgah di
sebuah pulau yang saya belum tahu di mana. Saya akan
mencoba untuk bertarung pada hidup. Melepaskan
ketergantungan pada tujuan tunggal. Saya akan terus
berkelana, hingga saya menemukan satu tujuan akhir
dalam hidup. Kecuali soal cinta, Atikah masihlah tujuan
terakhir dalam kerinduan.”

*** ** ***

Masih sangat pagi di hari kedua setelah Malewa


mendatangi rumah Ustaz Kahar, KM Wasior Indah
bergerak meninggalkan pelabuhan. Mahasiswa dari
Yogyakarta itu turut di atasnya.
Malewa menatap dermaga Wasior saat perahunya
bergerak perlahan menjauhi dermaga. Anak gadis Tuan
Ahmad dari padang itu berdiri di sana, melambaikan sapu
tangan berwarna merah. Malewa lalu berdiri di atas ruang
kemudi, membalas lambaiannya dengan sehelai sarung
berwarna putih.
Cuaca sangat bersahabat. Angin lembut berembus
dari buritan. Nakhoda memerintahkan Anak Buah
Kapal untuk menaikkan layar tunggalnya. Semakin lama
berlayar, atap-atap rumah penduduk wasior semakin kecil
dan akhirnya menghilang. Semua tampak menjadi hanya
perbukitan hijau yang berjejer memanjang. Hari telah sore
di keesokan harinya saat KM Wasior Indah akan merapat
ke pelabuhan Manokwari. Mereka baru saja melewati
sebuah patung salib di tengah laut ketika Mahasiswa itu
mengajak Malewa untuk duduk di atas ruang kemudi.

93
“Saya akan turun di kota ini,” kata Mahasiswa itu.
Dia menceritakan niatnya untuk mencari beberapa
tokoh masyarakat di perkampungan suku Mandacan yang
mendiami Kota Manokwari. Dia akan mengambil beberapa
data untuk melengkapi tugas akhirnya, agar bisa menjadi
sarjana.
“Dari catatan yang pernah saya baca, di Kota
Manokwari ini masih banyak jejak-jejak kolonial Belanda
yang terjaga sebagai artefak sejarah penjajahan Belanda
di Irian Jaya. Setelah ini, saya belum tahu akan kemana.
Pengetahuan saya soal berselawat sebagai solusi apa
saja bagi kehidupan tentu akan saya pegang lebih teguh,
terlebih setelah Ustaz Kahar memberitahu kita banyak
hal. Saya berdoa, semoga kita dapat dipertemukan lagi
di masa yang akan datang.” Malewa hanya tersenyum
menanggapinya.
Setelah temali KM Wasior Indah ditambatkan dengan
sempurna, Mahasiswa itu lalu turun dan berjalan ke arah
kota. Malewa hanya duduk tertegun menyaksikannya
dari atas ruang kemudi. Ditatapinya selembar kertas
bertuliskan identitas dan alamat yang diberikan oleh
Mahasiswa itu.
Malewa mendapatkan banyak pengetahuan
dari Mahasiswa itu. Dia merasa lebih bergairah untuk
menghadapi kehidupan. Dia ingin seperti Mahasiswa itu,
kuliah menuntut ilmu dan menggantungkan cita-citanya
di langit biru. Tapi, dia menyadari, keadaannya tidak
mungkin untuk menggapai dunia Mahasiswa itu. Dia
hanyalah seorang yatim piatu dan tak memiliki tempat
menggantungkan harapan dari orang yang mencintainya.

94
Di pelabuhan Kota Manokwari, mereka hanya
berlabuh semalam saja. Masih sangat pagi ketika mereka
bertolak meninggalkan pelabuhan. Di sisi lain pelabuhan,
tampak sebuah Kapal Pelni bertuliskan KM Ciremai
sedang bersandar. Malewa menatap Kapal Pelni itu. hati
kecilnya berbisik, sangat berharap bahwa suatu hari kelak,
dia dapat menumpang kapal raksasa itu bersama pujaan
hatinya, Atikah, mengelilingi Indonesia dan menyinggahi
setiap pelabuhan.
Setelah sekian hari di atas lautan, KM Wasior Indah
pun mendekati Pulau Kabaena. Nakhoda memutuskan
untuk menyinggahi pulau itu karena perbekalan makanan
mereka menipis, ditambah lagi ada sedikit kerusakan
pada mesin dan lambung perahu yang bocor, akibat
dihempas ombak di perairan Pulau Taliabu. Mereka
masih membutuhkan waktu sehari lagi sebelum tiba di
tepian pantai di Bulukumba. Kapal mereka harus dalam
keadaan prima untuk melintasi Teluk Bone yang cuacanya
juga kadang berubah-ubah. Apalagi, dia harus melintasi
pusaran arus di pertemuan antara Teluk Bone dan Laut
Flores yang disebut dengan Limbangang, tak jauh dari
Kepulauan Selayar.
Saat mereka berlabuh di Pulau Kabaena, Malewa
mendekati Nakhoda yang sedang membersihkan kaca
kompas di ruang kemudi.
“Sepertinya, saya tidak akan berlayar sampai di
kampung. Saya akan turun di sini. Saya akan melanjutkan
pengelanaan saya ke kota lain. Gaji saya selama berlayar,
berikanlah sebagian kepada orangtua angkat saya.
Sebagiannya, berikanlah kepada lelaki tua yang digelari

95
penjaga Kampung Batu Tottok, yang tinggal di gubuk, di
pantai yang tak jauh dari tempat kita berlabuh. Di antara
pohon asam tua dan batu karang yang menjorok ke laut
itu, Jika dia masih tinggal di sana. Jika tidak, masukkan
saja ke celengan masjid. Sampaikan pula salam saya buat
Marbut masjid.”
Nakhoda menanggapinya dengan hanya beberapa
kali tersenyum dan mengangguk.
“Ini bukan saat yang tepat untuk saya kembali.
Di kampung, di sana hatiku tak ada. Ada yang hilang di
kampung itu dan saya merasa tak sanggup menghadapinya.”
Nakhoda memaklumi perasaan anak muda di
depannya itu. Dia hanya mengingatkan agar rajin
beribadah selama berkelana.
“Jagalah salatmu. Insya Allah, Allah akan menjaga
rezekimu. Berselawat dan beristigfarlah dalam kesendi-
rianmu. Insya Allah, Allah akan mengabulkan doa dan ha-
jat-hajatmu. Bersedekahlah, agar melimpah rezeki halal
mendatangimu dari segala penjuru.”
Kata-kata Nakhoda menancap di relung hati Malewa.
Kata-kata itu menjadi pertanda restu untuknya.
“Di Pulau Kabaena ini, janganlah mudah tergoda
harta duniawi. Saya mengenali pulau ini. Ada beberapa
kapal karam di sekitarnya. Kapal-kapal milik kompeni
Belanda di masa lalu. Mereka tenggelam bersama harta
muatannya. Sudah banyak orang yang mencoba menye-
laminya. Beberapa di antaranya tidak selamat kembali ke
permukaan.” Pesan Nakhoda sekali lagi kepada Malewa.
Pagi itu, semua Anak Buah Kapal memeluk Malewa

96
secara bergantian. Beberapa di antaranya memeluknya
dengan mata yang bekaca-kaca.
“Kirimlah surat agar kami tahu di mana kau berada.
Tujukan saja suratmu ke masjid di kampung kita. Kami
akan selalu mengenang dan mendoakanmu,” kata seorang
Anak Buah Kapal yang bertugas di ruang mesin.

*** ** ***
KM. Wasior telah mendekati pantai tempatnya
dibuat. Ini adalah kepulangannya yang pertama kali. Orang-
orang yang melihatnya dari kejauhan pun mendekati bibir
pantai dan menyambutnya.
Orang-orang dengan mudah mengenali perahu itu.
meski telah berbulan-bulan lamanya dia pergi, dia masih
dikenali. orang pesisir memang terbiasa mengenali kapal-
kapal yang lalu lalang di laut. Menurut sebagian dari
mereka, perahu itu seperti wajah manusia. Setiap perahu
memiliki bentuk dan garis wajahnya sendiri, meski dibuat
dalam ukuran dan bentuk yang nyaris sama.
Keluarga Nakhoda dan keluarga Anak Buah Kapal
menyambut mereka pada sore hari yang hampir senja.
Beberapa anak kecil bermain kejar-kejaran sambil
melemparkan pasir basah di sana. Air mata haru dari
beberapa perempuan yang menunggu suaminya datang
pun tumpah. Merekalah perempuan yang dikenal dengan
kesetiaan sekeras baja. Tanpa kabar apa pun dari kepergian
suaminya yang berlayar, mereka akan tetap setia menanti
di pesisir pantai, merawat anak-anak mereka.
Anak Buah Kapal naik ke daratan dan memeluk

97
keluarga mereka. Orang tua angkat Malewa juga berada
di sana. Meski datang agak terlambat. Wajah mereka
sedih setelah mendengar penjelasan Nakhoda. Setelah
menerima beberapa barang titipan Malewa dan sebuah
bungkusan plastik kecil berisi uang, mereka segera
bergegas meninggalkan pantai.
Lelaki tua sahabat Malewa hanya melihat-lihat
mereka dari depan gubuknya.
“Sudah kuduga. Dia tidak akan kembali secepat
ini. Dia masih akan terus mencari jati dirinya dalam
pengembaraan,” lelaki tua itu membatin.
Suara ombak seolah berirama menghempas Batu
Tottok. Suara azan menggema di kejauhan. Tepi pantai
berangsur menjadi sepi. Siluet jingga di kaki langit di atas
permukaan laut mulai memudar menjadi gelap. Malam
menyelimuti kampung itu. lelaki tua masuk ke dalam
gubuknya.
Selain suara ombak yang menjilati pantai, semua
menjadi sepi.

98
“Cinta di dalam hatiku sungguh
bagai pelita yang tak pernah padam.
Meski jiwa ini bebas dan merdeka seperti burung,
tubuhku sungguh tidak bisa merdeka...”

Setelah sekian lamanya KM Wasior indah berlabuh


di sana untuk dibenahi kembali oleh Nakhoda bersama
Anak Buah Kapalnya, mereka pun akan berlayar kembali
ke arah Pulau Sumatera. Mereka akan menjelajahi Riau
Kepulauan, bahkan direncanakan untuk sampai di
Pulau Batam dan Pulau Bangka Belitung. Nakhoda telah
menyiapkan segalanya.
Seorang perempuan berambut panjang sedang
berada di tepi pantai itu. menatap ke lautan luas. Wajahnya
muram, kelopak matanya basah dengan air mata.
Dialah Atikah. Pujaan hati Malewa. Perempuan
yang telah merajai pikiran Malewa. Dia tidak mendekat
ke orang-orang yang mengantarkan keberangkatan
Anak Buah Kapal dan Nakhoda. Dia agak menjauh. Tapi,
menatapi mereka, Atikah seolah menemukan secercah
kebahagiaan.
Orang-orang itulah yang menjadi saksi dan telah

99
bercerita kepadanya, bagaimana malewa melintasi masa-
masa sedihannya selama perjalanan dan selama di Irian
Jaya.
Di hari yang lain sebelumnya, tak jenuh-jenuhnya
Atikah menemui mereka satu persatu dan menanyakan
kabar tentang Malewa. Mereka pun tampaknya senang
menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Seperti buku Laila Majnun yang pernah dibacanya
pula, dia merasa, jika menatap mata Anak Buah Kapal
yang pernah bersama dan melihat mata Malewa itu, dia
merasakan ketenangan dalam batinnya. Mata Anak Buah
Kapal itu pernah melihat kekasihnya. Malewa pernah
berada dalam mata itu melewati hari-hari kerinduannya.
Demikian jika sore hari dia ke pantai dan melihat KM
Wasior indah, dia selalu membatin tentang kerinduannya
pada Malewa.
“Di sanalah kau pernah berbaring dan meniti takdir
kehidupanmu kekasihku. Cinta di dalam hatiku sungguh
bagai pelita yang tak pernah padam. Kita terpisah bukan
untuk memadamkan api cinta di hati. Ada tembok yang
tak kuasa kutembusi, penghalang antara mimpiku dan
mimpimu. Tapi, kemana pun wajahmu menghadap
dan langkahmu kau ayun, doa-doaku selalu ada untuk
menjagamu. Tapi kekasih, meski jiwa ini bebas dan
merdeka seperti burung, tubuhku sungguh tidak bisa
merdeka.”

** *** **
Ketika jangkar KM Wasior indah telah dinaikkan
ke perahu dan orang-orang mulai meninggalkan pantai,

100
Atikah berjalan ke gubuk milik lelaki tua dekat batu karang
di tepi pantai itu. Tak ada tanda kehidupan di sana. Gubuk
itu telah lama kosong. Sebuah bendera yang dikibarkan
pada sebatang bambu rapuh masih ada di sana.
Atikah duduk dan menatapi kapal itu yang terus
bergerak ke arah Barat. Air matanya tumpah. Dia
membayangkan Malewa berada di perahu itu, berlayar
membawa seluruh kehancuran hatinya. Berlayar ke ujung
dunia yang tak pernah diketahui tujuannya. Dipisahkan
paksa dari dirinya karena tak direstui oleh orangtuanya.
Dia merasa sebagian dari nyawanya telah terlepas dari
tubuhnya.

101
“Begitulah waktu berlalu,
orang datang dan pergi di kampung itu.
anak-anak kecil tumbuh menjadi dewasa dengan
kisahnya masing-masing...”

Atikah telah menikah dengan sepupu dari pihak


ayahnya. Dia memiliki seorang anak perempuan yang
masih kecil. Dia tidak tinggal menetap di kampung itu. Dia
menetap di kota kecil Unaaha, tak jauh dari Kota Kendari
Sulawesi Tenggara, tempat masyarakat Suku Tolaki banyak
bermukim. Dia hanya datang jika menjenguk keluarga
atau berlebaran saja.
Kedua Orangtua angkat Malewa telah meninggal.
Mereka dikuburkan di Kampung Ara, cukup jauh dari
kampung Malewa. Nakhoda sudah semakin tua dan tidak
berlayar lagi. KM Wasior Indah tak lagi berlayar jauh.
Dia hanya berlayar di sekitaran Pantai Bulukumba atau
sesekali ke kepulauan Selayar, itu pun dengan nakhoda
yang lain. Dia memercayakan kapalnya itu kepada juru
mudi yang biasa ditemaninya berlayar.
Nakhoda hidup lebih spiritual. Dia lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan beribadah. Dia tinggal
di rumah salah seorang anaknya di Desa Borong, Herlang,

102
masih di wilayah Bulukumba. Anak-anaknya yang telah
dewasa dan menikah menanggung hidupnya sehari-hari.
Gubuk lelaki tua sahabat Malewa sudah lama
roboh dihempas Angin Barat. Tumbuhan sejenis rumput
merambat telah lama menutupi bekas rumahnya. Tak ada
yang tahu kemana perginya.
Begitulah waktu berlalu, orang datang dan pergi
di kampung itu. anak-anak kecil tumbuh menjadi
dewasa dengan kisahnya masing-masing. Selain Marbut
masjid, tak ada lagi orang yang mengenang Malewa.
Marbut mengenangnya, karena kaligrafi buah tangan
Malewa masih melekat di dinding masjid. Hanya dia
yang tahu muasal kaligrafi itu. Jamaah yang lain tak
pernah mengetahuinya. Jamaah setia yang tua dan sepuh
telah banyak yang berpulang. Di balik kaligrafi itu, pada
bingkainya, di sudut kanan bagian bawah, terpahat nama
Malewa.

103
“Seorang lelaki
bertopi hitam dan berseragam hitam pula,
melompat dengan gerakan yang sangat cepat
dan berlari ke arah laut...”

Kepulan asap menutup separuh puncak gunung


berapi Gamalama Ternate. Meski tidak lagi pernah erupsi,
gunung itu masih aktif. Gunung yang disakralkan oleh
orang Ternate itu tampak kokoh dengan aura mistis.
Sebuah vila bercat putih di atas gunung seperti lelaki yang
kesepian, menghadap ke Keraton Sultan Ternate.
Seorang lelaki bertopi hitam duduk di atas sebuah
perahu tua. Sesekali dia memandang ke puncak gunung
dan juga ke arah pelabuhan.
Pagi itu, seperti berbaris, orang-orang berjejer di
tepi pantai. Semua menghadap ke pelabuhan yang sangat
besar itu. Wakil Presiden dan beberapa orang Menteri
dikabarkan akan datang dan meresmikan pelabuhan
terbesar di kota itu. pelabuhan yang dibangun selama
bertahun-tahun dengan biaya yang sangat besar.

104
Waktu demi waktu berlalu. Pantai di sekitar
pelabuhan itu semakin dipadati pengunjung yang ingin
melihat wajah wakil presiden secara langsung.
Suara sirene menggema dari beberapa motor
Polisi dan mobil pengawal mendekati pelabuhan. Lalu,
mendadak menjadi senyap. Mobil wakil presiden berhenti
di gerbang pelabuhan dan berjalan ke arah laut bersama
rombongan pejabat dan pengawal.
Gubernur tampak mendampingi dan terus
menjelaskan banyak hal kepada Wakil Presiden yang
ditanggapi dengan mengangguk dan tersenyum.
Ketika tiba di ujung dermaga, Wakil Presiden
diarahkan mendekati sebuah prasasti dan diminta untuk
menandatangi tanda peresmian itu. Dia menoleh sejenak
kepada warga yang berdesakan memenuhi bibir pantai
lalu dia pun menandatanginya.
Belum selesai menggoreskan penanya, tiba-tiba
tembok pelabuhan itu berguncang dahsyat. Gempa
besar tiba-tiba saja terjadi. Tembok beton pelabuhan itu
roboh dan semua yang ada di atasnya menjadi panik lalu
tenggelam ke laut.
Orang-orang yang berdiri di tepi pantai pun
menjadi panik. Sebagian besar berlari tunggang-langgang
menjauhi pantai sambil menjerit-jerit. Situasi menjadi
kacau balau. Pejabat yang menyertai Wakil Presiden
berjuang meyelamatkan diri.
Pasukan pengawal dengan sigap berjuang
menyelamatkan Wakil Presiden, tapi gagal. Jangankan
untuk orang lain, menyelamatkan diri mereka sendiri pun
sulit mereka lakukan karena gelombang semakin lama

105
semakin besar.
Tanah bergetar dahsyat. Orang yang berdiri di
atasnya seperti diayun kesana kemari. Suara gemuruh
muncul dari dalam tanah. Mobil-mobil mewah yang
terparkir pun terbanting tak karuan.
“Allahu Akbar... Allahu Akbar, teriak orang-orang
dari berbagai penjuru. Hampir dua menit kejadian itu
terjadi. Lalu semuanya menjadi tenang kembali.
Rombongan pejabat yang menyertai Wakil Presiden
masih di sana. Beberapa di antaranya berenang menuju
pantai. Beberapa yang lain tampak mengambang tak
bergerak.
“Bapak Wakil Presiden… Wakil Presiden…, Bapak
Menteri, Bapak Gubernur, dimana mereka? Selamatkan
mereka!” teriak seorang polisi yang tiarap tak jauh dari
gerbang pos pelabuhan dan diikuti teriakan lainnya dari
arah berbeda.
Seorang Wartawan TV berdiri dan merekam ke arah
laut. Wajahnya pucat pasi. Jantungnya berdegup kencang.
Dia terus merekam dan mencari wajah Wakil Presiden.
Beberapa pengawal yang kesadarannya telah pulih
melepaskan pakaian dan terjun ke laut. Berenang ke arah
tubuh-tubuh yang mengambang di laut. Situasi menjadi
panik kembali.
Dalam situasi itu, dari sisi kanan pelabuhan, dari
sebuah perahu tua, seorang lelaki bertopi hitam dan
berseragam hitam pula, melompat dengan gerakan
yang sangat cepat dan berlari ke arah laut, mendekati
tubuh-tubuh yang mengambang. Satu persatu, tubuh
mengambang itu diraihnya dan dibawanya ke tepi pantai.

106
Beberapa orang berpakaian seragam dengan sigap
menyambut dan memberikan bantuan kepada orang-
orang yang lemas itu.
Wartawan TV itu terus merekam dengan cermat
dengan perasaan yang takjub. Beberapa kali dia mencoba
menangkap wajah lelaki bertopi itu dengan mode close
up. Orang-orang yang berada di pantai pun melihat
peristiwa itu. semuanya hanya terkesima. Tak ada yang
mengenalnya. Tak ada yang pernah melihatnya. Semua
terdiam bagai tersihir.

107
“Sekelam rasa sedih yang kubawa sembunyi di sini.
air mataku jatuh. aku ingat gadis di atas bukit yang penuh
bunga. Seseorang yang lain meminta hatinya.
hatiku berdarah dalam ketakutan dalam perjalanan...”

Dia baru saja turun dari pesawat di Bandara Changi


Singapura siang itu. Dia akan berada di kota itu untuk
urusan bisnis dan menemui beberapa orang relasinya.
Sebuah buku bacaan tebal dan buku catatan dipegangnya
sambil berjalan di koridor kedatangan Bandara.
Perhatiannya tertuju pada sebuah TV yang
dilekatkan di dinding sebelum pintu keluar bandara.
Dia mengangkat topi lalu membuka kacamata hitamnya,
berjalan mendekati TV itu. Sebuah siaran berita
menunjukkan peristiwa yang menggemparkan di
Indonesia. Berita itu berbahasa Inggris, namun sepertinya,
dia bisa memahaminya.
“Meski peristiwa ini sangat menggemparkan di
masyarakat Ternate beberapa hari yang lalu, tapi, saya
baru bisa sampai di Jakarta untuk mengantarkan kaset
yang memuat berita ini,” Kata wartawan TV Swasta itu di
depan presenter.
“Dia datang laksana menunggangi keajaiban. Dan
saat peristiwa tragis itu usai, dia menghilang entah kemana.

108
Tak satu pun orang yang mengenalnya di Ternate. Saya
menanyakannya kemana-mana. Satu-satunya petunjuk
kecil yang saya dapatkan di sana adalah, Seorang Marbut
menduga bahwa lelaki itu pernah tinggal beberapa hari
di Masjid Raya Sangaji. Masjid Besar yang tak jauh dari
Taman Makam Pahlawan Kota Ternate. Selebihnya tak ada
lagi petunjuk. Saya baca di berita koran nasional pagi tadi,
ada juga yang menyebut bahwa dia pernah bermalam
di sebuah masjid di Pantai Biniha. Sebuah kampung
pesisir Sulawesi Utara yang menghadap ke Teluk Tomini,”
jelasnya.
Foto close up lelaki berkulit agak gelap dengan
badan yang tegap itu dimunculkan di layar TV. Dia buru-
buru memakai kembali kaca matanya. Sesaat kemudian,
Wakil Presiden juga muncul dan memberikan pernyataan.
“Saya yakin dia orang baik dan rendah hati. Dia
datang dan pergi begitu saja. Jiwanya seolah tanpa ikatan
pada dunia. Dia tak terikat dengan apa pun. Saya pikir dia
seorang ahli ibadah yang doa-doanya sangat mustajab dan
diijabah Allah.” Wakil Presiden bicara di hadapan puluhan
wartawan yang mewawancarainya.
“Di mana pun dia sekarang, saya ingin mengucapkan
terima kasih kepadanya. Semoga kelak dia berkenan
datang menemui saya. Dia telah menyelamatkan nyawa
saya dan saya ingin membalasnya. Dia seperti malaikat
yang dikirim Tuhan untuk memberiku kesempatan kedua
untuk hidup.”
Wakil Presiden membuka kacamata dan mengusap
matanya yang berkaca-kaca itu dengan selembar sapu
tangan.

109
Lelaki yang baru saja tiba di bandara itu berbalik
pergi meninggalkan TV. Dia tampak menyalami seseorang
di pintu keluar dan berbicara akrab dengannya. Dengan
wajah yang tenang mereka memesan taksi dan menghilang
dalam belantara Kota Singapura.

*** ** ***
Di sebuah sore, di sebuah cafe di Bugis Village Singapura,
dia menulis catatan di bukunya;

Catatan di Bugis Village Singapura

aku menatap sepatu sandal bertelapak rata gaya terbaru


di tahun itu di negeriku yang bau lumpur sawah; Indonesia.
di pintu pesawat yang membawaku dari Jakarta, tercenung
melihat angkasa Singapura. Negeri sekecil biji kerikil yang
memiliki kekuatan paksa pada dunia, untuk menghitungnya
dalam geliat perekonomian.
 
seseorang yang menjemput saya di bandara itu
membawaku tak jauh ke sebuah tempat yang disebutnya
Bugis Village, mengantarkanku ke dalam sebuah hotel tua
bertuliskan Hotel Rochor 81 pada papan di depannya
resepsionis yang menawan dengan rambut tergerai
memberikan kunci kamar hotel, lantai 11.
 
lelah. tidur.
membuka jendela hotel rochor 81 di lantai sebelas,
singapura diselimuti kabut. gedungnya yang tinggi di
beberapa sisi membayang. aku menyalakan televisi, tak ada
yang menarik. kubiarkan menyala

110
 aku membuka tas, mengeluarkan sebuah foto. menatapnya
saksama. rindu.
rindu pada perempuan bergaun putih, rambut berombak
duduk di depan sebuah rumah putih yang dikelilingi bunga,
di atas sebuah bukit. lalu kuletakkan kembali. pintu diketuk,
kubuka, seorang mengantarkan makanan. gadis berambut
panjang. menatapnya sejenak. ingatanku terpental ke
wajah gadis bergaun putih di dalam foto.
mandi, berkemas dan menghambur diri ke stasiun kereta
api bawah tanah terdekat. tanpa telepon alamat, menguji
nyali bertualang di negeri Singapura, seharian berbekal
kartu berfungsi sebagai karcis. di sebuah tempat yang aku
tak kenali lagi, aku tak tahu jalan pulang. seorang security
menuntunku.
 
tak ada yang menarik. berhari-hari disini, hanya berkisar
antara Bugis Village dan hotel Rochor 81. televisi sesekali
mengabarkan prediksi krisis moneter di Indonesia diselingi
berita lelaki berjalan di atas air; negeri lumpur sawah dan
batu karangku. aku malas tahu. aku takut memikirkannya.
takut ditembak dan mayatku dibiarkan terapung-apung di
sungai.
 
telepon umum di depan Hotel Rochor 81, mengundang
tahuku. pada sebuah bangku, aku duduk mencuri dengar
pembicaraan sambil pura-pura mengengarkan musik dari
headphone berkaset pita.oh, gadis-gadis Indonesia entah
apa dan siapa. di telepon umum itu, beberapa diantaranya
berkabar gelisah entah pada siapa di seberang sana.
 

111
Air mancur di tengah Bugis Village mengajakku mendengar
jenis bunyi yang harmoni. ada yang mengajakku ke patung
kepala singa, aku enggan. menghabiskan waktu di sini,
jengah. aku tak menemukan coto dan pallu basa, rendang
dan dabu-dabu, sagu dan jepa,loka sattai dan kanre
batara, di tengah Bugis Village, aku tak mencari dan juga
tak membeli apa-apa. hanya menyimak wajah yang se ras
dengan wajahku. keras.
 
di sisi kiri depan hotel, warung India selalu ramai muda-
mudi, duduk bercengkerama, makan dan tertawa.
berkelompok-kelompok. ada yang berbahasa China, India,
Mandarin, Inggris, Melayu, Indonesia dan tak ada Bahasa
Bugis, Konjo, Apalagi Makassar. jenuh. aku rindu tanahku
yang bau lumpur Indonesia.
 
langit tanpa bulan terang. Hotel Rochor 81. Hotel tua
berwarna krem suram, mendekati coklat tua. sekelam
rasa sedih yang kubawa sembunyi di sini. air mataku
jatuh. aku ingat gadis di atas bukit yang penuh bunga.
dia menghempaskan cintaku di negeri bau lumpur sawah
Indonesia. seseorang yang lain meminta hatinya.
hatiku berdarah dalam ketakutan dalam perjalanan.
serasa ingin tergesa ke Changi Airt Port. pulang!
 
Bugis Village Singapura, Hotel Rochor 81, di pertengahan
tahun

112
“Bagiku, kau bukan sekadar perempuan biasa.
Kau menyimpan kesejatian dalam dirimu.
Saya percaya bahwa hanya dua hal
yang bisa menguji cinta,
yaitu waktu dan jarak...”

Bukan hanya di Indonesia, peristiwa menggempar-


kan tentang lelaki yang berjalan di atas air dan menye-
lamatkan Wakil Presiden itu menjadi berita yang hangat
di seluruh dunia.
Hampir semua media besar mengulasnya. TV, Radio,
dan Surat Kabar terus mengulang-ulang beritanya. Seolah
wartawan-wartawan dari berbagai penjuru itu berlomba
untuk menemukan hal-hal baru.
Wajah lelaki yang bisa berjalan di atas air itu lalu
dicetak dan beredar kemana-mana, baik di koran mau pun
poster-poster. Semua orang mencarinya. Namun, dia tak
kunjung bisa ditemukan.
Lelaki yang baru tiba dari Singapura itu menyewa
sebuah apartemen sederhana. Buku-buku digeletak di
atas tempat tidurnya. Beberapa helai kertas juga dibiarkan
begitu saja.
Sehelai kertas kusam nampak berbeda dari yang
lainnya juga diletakkan di atas kasur. Dengan tulisan

113
tangan tak terlalu rapi. Sesekali, dia berdiri dan melihat
keluar jendela. Lalu dia memutuskan berbaring dan
meraih kertas kusam yang berisi tulisan tangan itu.
Itu bukan pertama kali dia membacanya. Dia
telah membacanya beratus-ratus kali. Malah, dia telah
menghapalkan isi surat itu. sejak belasan tahun silam.
Sejak diterimanya surat itu dari seorang gadis di Pulau
Nai. Gadis yang menyerupai wajah kekasihnya. Telah
diteleponnya berkali-kali sebelum tiba di sana. Dia akan
menemuinya beberapa hari lagi.
Dinyalakannya TV di dalam kamar yang tak seberapa
besar itu. Berita tentang dirinya masih dibahas dengan
hangat oleh beberapa TV yang menyiarkan berita. Lalu
dia memutuskan pergi. Berjalan menjauh dari apartemen.
Di sebuah taman, Tak jauh dari apartemennya, dia
menuliskan catatannya di suatu hari yang tak terik dan
berudara dingin:
Catatan di Kampung Gravelia Brisbane
Australia.
akumulasi segala bahasa menggantikan aborigin yang
purba
dari lantai dua sebuah apartemen, memandang ke luar
jendela,  ada taman yang rimbun yang melengkapi
pemukiman gravelia dengan matahari yang aneh

dengan siang yang panjang dan malam yang tergesa,


menyusuri kota dengan biduk-biduk kebudayaan purba
menyapa taman-taman kota yang menawarkan mimpi
berada di sini griffith university di kota Brisbane, kampus
yang bagaikan digeletakkan begitu saja di sunyinya

114
belantara hutan, terasa menjadi ada di dalam dongeng;
beberapa sungai besar mengitarinya. ingatan terpental ke
negeri lumpur sawahku.
kampus-kampus megah dibangun di tengah polusi suara,
di bangun di tengah polusi kekuasaan dan di tengah polusi
knalpot robot yang yang memadati dan memacetkan jalan.
tak cukup dengan itu, dibangunkan pasar, terminal, shalon
kecantikan dan juga panti pijat berkedok tempat “praktek”
mahasiswi.

sungai-sungai panjang, ditimpuki berton-ton kantong dan


karung plastik sisa anjing yang tak habis dimakan bersama
tuannya.

malam di brisbane, sunyi dengan suara binatangnya yang


mengiris. tapi di gedung seni QPAC yang beraura coklat
muda dan abu-abu berhadapan dengan museum dengan
koleksi yang menggiurkan.

malam di dalam gedung menikmati orkestra, ingatan


kembali ke negeri lumpur sawahku. di dalam sebuah
pementasan, penonton yang entah dari kampung mana
bersorak-sorak bagai di pasar malam menonton adu ayam.
di negeri lumpur sawahku, gedung yang ada pun sempit,
kursi besi yang berkarat dan patah, lampu-lampu kristal
yang menggantung mewah dan di tempatkan dengan
serius, dan seisi ruang larut dalam nada orkestra. napas-
napas penonton bagaikan tertahan, mungkin takut jika saja
desahannya mengganggu penonton lain.

115
wajah korea dan china serta melayu demikian dengan
wajah melayu meramaikan jalan-jalan di kota brisbane yang
berakhir pada pukul 7.00 malam. aborigin yang mengamen
di emperan toko membuat kita menemukan kenyataan
budaya yang tak jauh beda dengan negeri lumpur sawah.

hei, lihat! betul kata kawanku dahulu soal brisbane ini saat
di negeri lumpur sawah. “brisbane punya sejenis pohon
yang berbunga putih kecil dan mudah rontok. jika angin
bertiup, bunga itu sangat indah berterbangan.
beberapa jalan menanjak jauh hingga kita seperti bergerak
menuju langit.”
di gravelia di beberapa ruas jalan, bunga flamboyan ungu
membetahkan. rumah-rumah dengan halaman-halaman
yang luas, mementalkan ingatan ke sebuah tempat di
negeri bau lumpur sawah (Kampung Tanete dan Sampeang
Bulukumba?). rumah dengan tangga kayu. rumah-rumah
di bukit-bukit yang tak terjal berjejer rapi dengan nuansa
alamnya yang seolah tak mengenal kemarau.
aku selalu ada ingin disini mengajak orang sekampungku
belajar hidup dari kematian.

Brisbane, Australia

*** ** ***
Pintu apartemennya diketuk. Seorang perempuan
dengan jaket tebal muncul dan masuk ke kamarnya.
Wajahnya teduh dengan rambutnya yang panjang
berombak, matanya lebar juga hidung yang mancung,
senyumnya merekah ke arah lelaki itu.

116
“Masih tersimpan juga surat yang saya berikan pada
Abang itu?” Lelaki itu hanya tersenyum menanggapinya.
“Saya harus menyimpanya. Kertas inilah yang saya
anggap sebagai bagian yang mengubah hidup. Tanpa
pertemuan denganmu di masa lalu dan menceritakan
tentang lelaki yang bisa berjalan di atas air itu, mungkin
saya tidak akan bisa seperti sekarang. Kisah itu telah
mengubah hidup dan cara pandang saya tentang
kehidupan.
“Jadi, Abang telah bertemu dengan lelaki yang
doanya mustajab itu?” Tanya perempuan itu.
“Iya. Saya telah bertemu dengannya, bahkan, telah
bertemu dengannya sebelum bertemu denganmu di Pulau
Nai. Namun, dia lalu pergi entah kemana.
Tanpa saya duga, dalam pencarian untuk menemukan
dirinya, saya bersua dengannya di Pelabuhan Liem Hie
Djung Nunukan. Menurutnya, dia dalam perjalanan yang
tak disebutkan tujuannya. Dia membawa tas kusam dan
sebuah tongkat kayu berwarna coklat tua.
Beberapa hari kami bersama di Nunukan. Menginap
di sebuah masjid yang jamaahnya banyak orang Arab.
Dia mengajarkan kepada saya ilmunya itu. dengan
mengamalkan ilmunya itulah saya bisa hidup sesuai
dengan apa yang saya inginkan.” Malewa menerawang
sambil menatap langit-langit apartemennya.
Malewa lalu menceritakan perjalanannya setelah
meninggalkan Pulau Kabaena, menumpang perahu
nelayan ke arah Pulau Karanrang di Kabupaten Pangkep,
Sulawesi Selatan. Di pulau yang tak ditumbuhi oleh pohon

117
kelapa itu, dia kembali menemukan jejak bendera merah
tak jauh dari dermaga.
Tidak lama dia di sana lalu kembali menumpang
perahu nelayan berlayar ke Bone Rate Kepaulauan Selayar,
terus mencari jejak lelaki yang bisa berjalan di atas air.
Dari sana dia terus ke Pulau Karasiang, pulau dengan
situs Jangkar Raksasa Kuno. Lalu dia ke Pulau Bali. Cukup
lama dia tinggal di tepi Pantai Sanur, bekerja serabutan
di sana, sebagai tukang angkut sampah atau tukang pijit
pelancong asing.
Setelah mengumpulkan cukup bekal dia lalu
merantau ke Kota Baru, Kalimantan Selatan. Di sana
dirinya bekerja sebagai buruh pekerja perahu. Di sana
pula dia menemukan jejak bendera merah di Tanjung
Dewa dan di sudut Candi Amungthai, Martapura. Beberapa
orang bersaksi bahwa pernah bertemu lelaki sakti yang
bisa berjalan di atas air.
Beberapa tahun di sana, dia lalu ikut merantau
bersama orang Nusa Tenggara Timur ke Pulau Sebatik. Di
sanalah dia bernasib baik. Bekerja pada perusahaan sawit
milik orang Malaysia. Mulai sebagai pekerja harian, lalu
menjadi karyawan lalu diangkat menjadi staf di kantor
perusahaan sawit itu.
“Dari sanalah saya mengirimimu uang ke Pulau
Nai melalui kepala kampung agar kau bisa pergi ke
Yogyakarta melanjutkan pendidikan. Beasiswa dan biaya
hidup yang selalu masuk ke rekeningmu setiap waktu
itu, sesungguhnya bukan dari negara. Itu dari saya yang
diam-diam mengirimkannya kepadamu. Lewat bantuan
sahabat yang saya pernah jumpai di Teluk Wandamen

118
Wasior. Dialah yang mengatur segalanya hingga kau bisa
bersekolah lebih tinggi ke Yogyakarta dan hingga ke
Australia ini.” Malewa terus berkisah.
“Puluhan tahun saya terus mengikuti jejakmu
bersama kawan Mahasiswa saya itu. Apalagi, dia bukan
mahasiswa biasa di masa itu. dia lebih dari sekadar
mahasiswa. Kini dia telah menjadi seorang Professor
dengan jaringan relasi yang luas, dia bisa membantumu
mewujudkan atas apa yang kau inginkan. Keluar dari
Pulau Nai.” Malewa menarik napas dan tersenyum.
“Doamu terkabul. Seorang pembeli ikan tertarik
membeli ikan kecil dan membawanya ke kota. Pembeli
ikan itu adalah diriku dan ikannya adalah dirimu, bukan?”
Perempuan itu tersenyum dan mencubit pundak Malewa.
“Bagiku, kau bukan sekadar perempuan biasa. Aku
meyakini kesungguhan dalam kata-kata yang kau tuliskan
dalam suratmu itu. Kau menyimpan kesejatian dalam
dirimu. Saya percaya bahwa hanya dua hal yang bisa
menguji cinta, yaitu waktu dan jarak. Waktu dan jarak
yang jauh telah lama memisahkan kita. Tapi, wajahnmu
tak pernah terhapuskan dalam ingatanku, seperti wajah
Atikah kekasihku itu.” Perempuan itu hanya menyimak
Malewa.
Tapi, takdir harus berkata lain. Meski saya
mencintainya, dia telah menjadi istri orang lain. Tak
mungkin saya merindukan apa yang bukan menjadi
milikku. Dia adalah milik orang lain. Dan wajahmu
yang mirip dengan Atikah bagiku adalah takdir cinta
yang kedua. Bukan lagi sebagai bayang-bayang Atikah.
Suratmu itu adalah kekuatan yang memberiku harapan-

119
harapan baru. Kau betul, cinta akan membawaku berjalan
kepadamu. Kemana pun aku pergi, aku akan berjalan ke
arahmu, karena doa-doamu lahir dari pengharapan dan
ketulusan.”
Perempuan itu hanya tersenyum dan terus meman-
dangi wajah Malewa yang seolah tak berjeda mengisah-
kan perjalanannya.
“Jika tak ada halangan, minggu pertama bulan depan,
ujian doktoral saya sudah selesai. Kita bisa memulai hidup
baru dan pulang ke Indonesia, setelahnya.”
Malewa tersenyum menanggapinya dan membisik-
kan pertanyaan, “Lalu, sekarang bagaimana?”
“Kita habiskan malam di apartemen ini?”
“Jangan. Kita tak boleh melakukannya. Nanti doa
kita tidak mustajab lagi.” Jawab perempuan itu dengan
suara yang manja.
“Lalu, bagaimana?” tanya Malewa.
“Kita menikah dulu,” jawabnya dengan suara yang
semakin manja.
Mereka berdua meninggalkan apartemen, menuju
ke sebuah Masjid Komunitas Masyarakat Muslim. Hari itu,
mereka menikah di sana.
******
Di malam pertama pernikahan mereka, perempuan
itu berbisik di telinga suaminya;
“Dengan cara apa Abang bisa berkeliling sesuka
hati? Apakah Abang berjalan di atas laut, Atau telah
mampu mengubah dedaunan yang Abang petik menjadi
lembaran uang?” tanyanya sambil memeluk erat tubuh
suaminya.

120
“Dari hasil mengumpulkan gaji di perkebunan sawit,
saya membeli sebidang tanah di Pulau Sebatik. meski tak
luas, siang malam saya terus menselawati tanah itu dan
akhirnya Allah mengijabah, saya bisa membelinya.” Jawab
Malewa datar.
“Hanya itu?”
“Tidak. Setelah sekian lama, tanah itu lalu diperiksa
kandungannya oleh seorang sahabat saya. Rupanya, di
dalam perut bumi di tanah itu terdapat Batu Bara dengan
kualitas terbaik.”
“Lalu Abang menjualnya?”
“Tidak. Sahabat saya itu mengelolanya kemudian
saya meninggalkan pulau itu. Hasilnya kami bagi tiga.
Satu bagian di antaranya saya bagikan ke banyak masjid
di Indonesia. Sebagiannya lagi untuk membiayai saya
bepergian dan berjalan menuju hatimu.”
Perempuan itu mencubit perut suaminya. Malewa
hanya tersenyum dan bergegas mematikan lampu. Malam
itu, mereka menikmatinya syahdu dengan iringan desau
angin lembut dari celah jendela.
Dedaunan bunga dengan kelopak yang merah
berguguran di halaman apartemen itu. Angin subuh terus
berembus dan membekukan daun-daun pohon yang
lembab.

121
“Berselawatlah dan rezekimu akan dicukupkan.
Di akhirat kelak, syafaat Rasulullah
menanti dirimu di depan pintu surga.
Yakinilah itu sebagai janji...”

“Dia mengisahkan padaku tentang orang-orang


yang dicatat sejarah dan pernah berjalan di atas air. Dia
mengajarkan doa-doa orang itu kepada saya. Yang paling
menggetarkan adalah doa Sa’ad bin Abi Waqqash dan Al
A’la bin Hadrami. Doa yang samalah yang dibacanya jika
dia berjalan di atas air.” Kata Malewa kepada Istrinya.
“Siapa Lelaki itu sesungguhnya, Bang?” tanya
perempuan itu kepada Malewa.
“Dia sulit ditebak. Dia hidup sesuka hatinya. Dia
bepergian kemana pun dia mau. Dia tak terikat pada
dunia. Dia bisa saja menjadi tampak tua atau tampak
menjadi muda. Doanya sangat mustajab. Perawakannya
berubah-ubah sesuai keinginannya.”
Malewa mengisahkan sambil menyeruput kopi
buatan istrinya itu.

122
Sebagai sepasang pengantin baru, mereka sangat
bahagia. Sesekali mereka tampak seperti sepasang angsa
yang berenang di tengah kolam yang dipenuhi bunga
teratai yang bermekaran.
“Dia mengajarkan saya doa mustajab. Berjalan di
atas air rupanya hanyalah bagian yang paling sepele dan
tidak penting bagi seorang pengamal kebaikan.”
“Maksud Abang?”
“Iya. Kesaktian hanyalah bagian tidak penting dari
mencari ilmu. Kesaktian hanyalah soal kemustajaban doa
dan kegigihan untuk belajar. Kesaktian menjadi tidak
berguna jika tidak menambah ketebalan iman. Malah, dia
bisa menjadi jalan kesombongan, jika merasa lebih hebat
atau mulia dari manusia lain. Seperti iblis yang merasa
lebih mulia dari Nabi Adam.”
“Apakah lelaki itu masih hidup?”
“Dia manusia yang tidak lagi memikirkan tentang
kematian dan kehidupan. Dia terus berjalan dan
menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Dia menyembah
sebagai hamba. Dia kemana saja menebarkan kebaikan.
Dia tak lagi terbebani dengan ibadah wajib. Dia telah
selesai dengan itu. Dia telah tiba pada keteguhan hati,
melakukan ibadah sunnah secara istiqamah.”
“Maksud Abang?”
“Dia tak pernah melepaskan ibadah sunnah dalam
hidupnya, terlebih yang wajib. Dia melakukan salat
qobliyah dan ba’diyah pada salat wajib. Dia berpuasa
Senin Kamis. Dia menjaga wudhunya seperti Bilal bin
Rabah. Dia menjaga salat malamnya seperti Muhammad
Al Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel. Dia bersedekah

123
seperti Abdurrahman bin Auf dan Khalifah Utsman bin
Affan. Dia pemberani seperti Khalid bin Walid. Tapi
hatinya, dia seperti Khalifah Abu Bakar Asshiddiq. Dia
memiliki ketajaman ingatan seperti Imam Bukhari dan
Imam Syafi’i.”
Malewa berkisah sambil membelai istrinya dan
sesekali mengecup keingnya.
“Lalu, apa doa yang diajarkannya kepada Abang?”
“Bukan tentang doanya yang utama. Dia mengajarkan
saya untuk bisa mengikuti kebiasaan hidup Sa’ad bin Abi
Waqqash, memaafkan seluruh umat manusia sebelum
tidur, menjaga makanan dan pakaian yang halal. Dia juga
mengajarkan kezuhudan Uwais Al Qarni yang rendah hati
yang membuatnya tidak terkenal di bumi tapi terkenal
di langit, serta keimanan setebal baja seperti Al A’la bin
Hadrami. Merekalah orang-orang beriman teguh dan
dikisahkan pernah berjalan di atas sungai atau pun lautan
bersama ratusan atau ribuan orang, dengan berjalan kaki
ataupun dengan ribuan pasukan berkuda.”
Malewa terus mengusap rambut istrinya yang
wajahnya mirip dengan kekasihnya di masa lalu. Kekasih
yang keluarganya pernah menghancurkan mimpi-
mimpinya tentang cinta.
“Jika hanya terus meratapi kesedihan dan tidak
menerimanya sebagai sebuah pembelajaran untuk
kehidupan, saya tidak mungkin bisa seperti ini. Saya tidak
akan diberi kelebihan oleh Allah dengan kemustajaban
doa. Saya terus menjaga diri untuk hal itu. Ilmu ikhlas
yang diajarkan oleh lelaki tua itu, telah saya amalkan
dengan baik. Yang terjadi, terjadilah. Jika dalam hidup ini

124
kita bertemu dengan hal yang tidak menambah ketebalan
iman dan penyembahan diri sebagai hamba Allah, lebih
baik ditinggalkan saja.”
Demikian yang sering dikatakannya saat kami
bersama di masjid yang dibangun oleh pendatang Arab di
Kota Nunukan.
“Siapa nama lelaki itu sesungguhnya, Bang?”
“Dia tak bisa diberi nama. Dia tak pernah menyebut-
kan namanya. Di setiap pulau yang pernah disinggahinya,
dia selalu punya kisah asal yang berbeda. Tapi dia menga-
kui bahwa dialah lelaki yang pernah kau lihat di Pulau Nai.
Dia pulalah yang menyimpan banyak bendera di
berbagai pulau di Nusantara yang hampir semuanya dapat
saya saksikan sebelum dan setelah bertemu dengannya.
Termasuk bendera di Pulau Um, Pulau Karanrang, Pulau
Balang Lompo, Pulau Kabaena, Pulau Ternate, Tanjung
Dewa, di tepi Pesisir Kampung Messa, Pulau Halmahera,
Kepulauan Seribu Jakarta, tepi-tepi Kepulauan Riau,
bahkan, di suatu hari saya melihat bendera merah serupa
di Tapal Batas Indonesia dan Papua Nugini.”
“Mengapa dia melakukan itu, Bang?”
“Saya bukanlah satu-satunya yang memburu lelaki
yang bisa berjalan di atas air itu. Dia pun tak lagi bisa
mengingat jumlahnya. Dia telah bertemu dengan banyak
orang yang mengaku sedang mencarinya dan ingin
berguru kepadanya. Dan apa yang disampaikannnya
selalu sama saja. Soal kisah-kisah orang yang memiliki
iman sekeras baja dengan ibadah sunnah yang istiqamah.
Dia menaruh bendera merah di mana-mana sebagai
tanda, agar setiap yang melihatnya merasa selangkah

125
lebih dekat dan meraka akan merasa memiliki harapan
yang diperjuangkannya dalam kehidupan. Bendera itu
disebutnya dapat menumbuhkan gairah pencarian ilmu,
seperti yang juga saya alami.”
Malewa kembali menyeruput kopi yang disajikan
istrinya.
“Perbanyaklah membaca selawat siang malam dan
beristigfar dalam segala keadaan. Bersedekahlah dengan
sedekah terbaik. Pujilah Allah pada permulaan doamu.
Lalu memintalah kepada Allah untuk semua harapan,
meski itu terasa tak mungkin terwujud menurut pikiran
manusia. Buka dan bacalah Alquran sesering kau bisa.
Insya Allah Allah akan mengabulkan doa-doamu.”
Itulah salah satu pesan di antara banyak pesan yang
tak bisa dilupakan Malewa, hingga di suatu malam lelaki
itu pergi dengan perahu kayu meninggalkannya duduk tak
jauh dari tepi Pelabuhan Liem Hie Djung Nunukan.
“Air mata saya tumpah tak bisa menahankan
kesedihan. Bagi saya, dia bukan hanya sekadar guru.
Dia lebih dari itu. Misteri-misteri yang melingkupi
dirinya, terlalu dalam untuk bisa saya singkap.” Malewa
menerawang sesaat lalu kembali bercerita.
“Dialah lelaki tua, sahabat saya yang kerap menemani
di saat-saat hancur dalam hidup karena dihinakan oleh
cinta. Dihinakan oleh orang tua Atikah, kekasih yang
pernah menjadi tujuan dari keseluruhan harapanku.
Perempuan yang menghancurkan seluruh impian, yang
pernah mengubah seluruh bahasa yang keluar dari
mulutku menjadi puisi-puisi yang penuh kegetiran. Dialah
lelaki tua yang menghuni gubuk di Kampung Batu Tottok.

126
Yang pernah mengibarkan bendera merah di gubuknya
saat saya pertama kali berlayar dengan KM Wasior Indah.
Dia menyelimuti dirinya dengan banyak rahasia. Dia tak
pernah bisa ditebak.” Mata Malewa berkaca-kaca.
“Janji Allah dan Rasulullah adalah Janji sebaik-
baiknya janji. Mereka tidak pernah mengingkarinya.
Lalu mengapa kau tak belajar memenuhi perintahnya
untuk menjemput penunaian janjinya? Salat Duhalah,
bertafakkurlah, Allah akan merahmatimu. Berselawatlah
dan rezekimu akan dicukupkan. Di akhirat kelak, syafaat
Rasulullah menanti dirimu di depan pintu surga. Yakinilah
itu sebagai janji.”
Begitulah suara lelaki tua itu pernah menggema
dalam keremangan malam di Tugu Dwikora Kota Nunukan
yang sepi. Suara itu menancap di dinding hatinya.

Dia sangat senang mendengar Malewa mengisahkan


perjalannya setelah berpisah di Pulau Nai, negeri
kecilnya yang indah. Dibayangkannya kembali ketika dia
melepas Malewa pergi dengan memberinya bungkusan
ubi yang dimasaknya sendiri. Dia mengenang kembali
saat dia menuliskan surat penuh penghayatan hati yang
diberikannya kepada Malewa.
Diraihnya buku catatan Malewa yang tergelak di
ranjang lalu membuka catatan-catatan itu. dia terperangah
takjub, membaca catatan perjalanan suaminya;...

*** ** ***

127
Catatan Dari Masjidil Haram

dingin.
entah berapa derajat tercatat di termometer ketika angin
yang berembus perlahan di dini hari ini di bandara king
abdul azis menyambut langkahku, saat turun dari pesawat.
pesawat yang membawaku selama berjam-jam dari
indonesia, negeri lumpur sawah, ikan asin dan hiruk pikuk
demonstrasi.
 
setelah melewati pemeriksaan yang ketat dengan segala
bahasa yang tak kupahami, akhirnya, mobil bis kafilah
yang kutumpangi  merambat perlahan membawaku ke
hotel grand zam-zam. di lantai sembilan, aku merebahkan
tubuhku yang sejak lama berlari menjauh, sembunyi dari
kesedihan. namun kesedihan bagai menjelma matahari,
selalu menemukanku.
di negeri yang disucikan ini, berharap kesedihan dapat
berdamai sejenak. maka kurapalkan banyak zikir dan diam.
lalu, dalam diam itulah ada wajah kekasih yang selalu
datang menyapa, mengajak entah kemana.
di makam nabi ibrahim yang kuning keemasan, zikir-zikir
kulantunkan, walau hajratul aswad belum sempat aku
dekati untuk menciumnya. di dalam zikir inilah, negeriku
yang bau lumpur sawah dan amis batu karang sesekali
terkenang. aku ingat semuanya. termasuk masa kecilku,
saat bermain perahu dari sabuk kelapa dan sandal bekas
yang berserakan di tepi pantai. bermain dengan bebas
tanpa harus tahu apakah itu penjajahan atau apakah itu
kemerdekaan?
 

128
di negeri yang bau lumpur sawahdan amis karang itu
terkenang di sisi makam nabi ibrahim, sambil mengamati
telapak kaki yang tergeletak rapi dalam sulaman logam
keemasan, aku ingat berita-berita yang tak pernah
usai di indonesia. korupsi, gate-gate dan semacamnya,
membuyarkan doa-doaku di makam ini. makam yang telah
disaksikan berjuta-juta manusia sejak berabad-abad silam.
 
aku usaikan segalanya, meninggalkan masjidil haram,
kembali ke hotel. merenung, siapalah aku ini, orang desa
lumpur sawah dan amis karang di indonesia tiba-tiba harus
memikul indonesia di pundakku.
 
di hari yang kesekian di tanah makkah ini, di padang
arafah yang membentang, duduk merenung menyaksikan
wajah-wajah manusia yang entah siapa mereka, ingatanku
kembali ke desaku yang bau lumpur sawah dan amis karang
di indonesia,
jika saja konser-konser musik selalu bisa seramai
ini, bermunajat, bertakbir, duh, semesta akan teduh
menggemakan keteduhan jiwa. tapi, ini hanya renungan,
tuhanlah yang tahu rahasia yang diciptakannya.
mengapa dia tak menggerakkan seluruh hati manusia untuk
melakukannya. sebab, aku menyaksikan khatib dan dai telah
kehabisan akal menggemakan sayap-sayap syiar kebajikan.
sebagiannya pun ikut menyanyikan lagu dunia.
 
padang arafah, lautan manusia, aku jadi debu. lembar-
lembar sajak yang kutulis tak akan pernah cukup
menuntaskan tulisan tentang ini semua. 
makkah, manisnya kurma, susu unta, daging yang lezat dan

129
kisah cinta yang tak bisa dihapuskan waktu. nabi adam as
dan sitti hawa di jabal rahmah. dalam kerinduan berjalan
bagai dalam kegelapan. memanggil, saling memanggil
dalam ketidakpastian. menjadikan kita bermilyar dan
bermilyar pula kisah dalam percintaan yang selalu berujung
tragedi.
 
rasulullah dan khadijah dalam kisah cintanya mengajarkan
kita pengorbanan dan kesetiaan. dukungan dan perjuangan
ketulusan yang membawa rasulullah dalam kubang
kesedihan dalam kematian khadijah. lalu ingatanku tertuju
pada sajak-sajak tentang manusia yang melarang orang
menikmati kesedihan. mereka ingin melampaui kelembutan
hati rasulullah yang membuktikan cintanya dalam
genggaman kesedihan.
 
khadijahlah yang memantik api cinta yang semakin besar
di dalam hati rasulullah membuat rasulullah bisa memiliki
cinta yang besar dan tak habis terbagi bagi kekasih-kekasih
rasulullah setelah kepergiannya. lalu yang ditinggalkannya,
mestinya menjadi ruang untuk mengingatkan kita tentang
rumah sederhana yang menyimpan cinta yang besar di
dalam rumahnya.
 
dan pagi ini, aku terjaga. kusibak tirai jendela kamar hotel
grand zam-zam di lantai 9. aku menyaksikan sekumpulan
manusia dengan segala mesin raksasa meratakan rumah
rasulullah dan khadijah dengan tanah.
 
ingatanku tiba-tiba tertuju pada eropa. bangsa belanda dan
bangsa eropa lainnya, begitu menjaga setiap bangunan

130
bersejarah miliknya padahal kebanyakan di antaranya
bukanlah seorang yang tahu tentang nikmatnya salat di
masjidil haram di samping makam nabi ibrahim as. dan di
negeri kelahiran para nabi ini. rumah manusia yang paling
banyak menebarkan inspirasi cinta, diratakan dengan
tanah.
 
jika memang benar, hanya satu negeri yang suka meratakan
dengan tanah setiap kenangan cintanya, indonesia, negeri
lumpur sawah dan amis karang. mirip dengan pemerintah di
tempatku kini berpijak. seperti dia pura-pura tak mengenal
rasulullah, wallahu a’lam.
 
aku menutup tirai hotel grand zam-zam. duduk merenung.
mengapa aku dituntun melihat rumah rasulullah dan
khadijah dihancurkan. hanya allah yang maha tahu.
 
wajah kekasihku terbayang di atas sebuah bukit, duduk di
beranda sebuah rumah putih yang dikelilingi bunga-bunga.
apakah bukit itu juga akan diratakan dengan tanah untuk
menghapus jejak cintaku?
 
Hotel Grand Zam-Zam Mekkah

*** ** ****

131
Catatan di Penghujung Malam di Thailand

jelang awal malam


di halaman nasa vegas hotel di jantung kota bangkok
cahaya hijau dan kuning yang memantul di dinding hotel
membawaku mengembara ke negeriku; indonesia, di
sebuah desa yang penuh lumpur sawah dan amis karang

kesetiaan petani dan gembala berduyun-duyun di subuh


buta menjemput takdirnya. sudah seperti itu sejak lama.
dan tak ada riuh musik, rel kereta listrik bagai yang
melintang di jalanan depan hotel. tapi, tak seperti di depan
hotel ini. kupu-kupu malam yang di sini entah namanya,
sibuk menjaja mewakilkan diri mereka pada germo yang
komunikatif. tapi aku memang tak pernah tergoda
 
dingin. mataku tertuju ke sebuah swalayan kecil yang
bersebelahan dengan sebuah panti pijat. yang entah
memang hanya sekadar memijat. atau saling pijat entahlah.
di swalayan itu, kuraih sebotol air karbonat, berharap
mengusir dingin dengan uap. namun setelah
menenggaknya, justru aku kehilangan moment di kota ini.
lalu kembali ke naza vegas hotel sembunyi dari malam di
lantai 17, dengan nomor kamar yang tak ingin kusebutkan.
 
tak ada mimpi. pada pagi yang tak jauh lebih indah dari
pagi di desaku, di indonesia, bis putih merah membawa
tubuhku menjelajahi kota bangkok. di beberapa candi aku
tak menemukan kisah yang harus kucatatkan. tetap saja
ingatanku menuju indonesia, kampung pesisir batu tottok.
 

132
matahari hampir tepat di atas kepala, peluh mengucur saat
aku tiba di damnoen saduak floating market, thailand. aku
terkenang dengan pasar-pasar yang mengapung di sebuah
sungai di kalimantan. aku tak kaget dengan ini. seandainya
bukan karena seorang penjual pakaian dan kain di salah
satu sudut pasar itu yang mencuri perhatianku, aku akan
lekas saja berlalu.
 
aku tak tahu siapa namanya. cantik. rambutnya yang
hitam lurus dan panjang, tersenyum kepada siapa saja
yang datang. semua turis tampak berhasrat untuk berfoto
dengannya. aku memilih tidak. hanya menikmati saja
cantiknya dengan mencuri pandang. saat aku begitu dekat
dengannya, dia mengajakku bicara. aku sungguh tak tahu
apa yang dibicarakannya. aku senyum saja. lalu kebodohan
menghampiriku. membayangkan kengerian, bagaimana jika
tiba-tiba kami saling jatuh cinta, menikah dan punya anak.

duh, bagaimana kami bicara. bahasa kami tak sama. saya


sedang tak siap, otakku membodoh. pikiranku dikalahkan
hasrat seksual saat berada lebih dekat. aku memilih pergi.
meninggalkan pasar dan gadis yang cantik itu. aku takut
semakin mendekat dan tiba-tiba aku ditakdirkan menjadi
orang thailand. aku terlalu mencintai desaku. cinta pada
tahi sapi, amis karang lumpur sawah, ikan asin dan kepura-
puraan kekuasaan.
 
tak banyak catatan di sini, siang dan malam pun hanya
kuhabiskan dengan menyantap ayam goreng.  tarung
bebas sampai tewas yang acap kutonton di televisi juga tak
kutemukan.

133
 kau tahu mengapa aku di kota ini? aku sedang sembunyi
dari kesedihan. tapi, kesedihan itu terus menemukanku.
sambil merenungi ini, di jendela hotel, aku mengintip,
seorang perempuan “kupu-kupu” muda nampak sendirian,
di samar gelap, duduk menunggu entah siapa. cukup lama
aku menyikmaknya.
 
di penghujung malam, aku merahasiakan peristiwa.
peristiwaku dan peristiwa perempuan itu!
dan namaku tetap malewa, aku tak mencoret dinding hotel
untuk sekadar menulis namaku.
 
Kota Bangkok Thailand, 26 Januari

*** ** ***

134
Catatan di Masjidil Aqhsa Palestina
suara patriark sophonius menggema di pintu gereja
makam kudus, umar binkhattab memilih berdiri di luarnya
dan mengangkat takbir, muslim mengikut dan disaksikan
pendeta-pendeta dan jamaah gereja, demikian kumeraba
sejarah yang entah.

kekuasaan datang berganti. batu-batu dibangun dan


dihancurkan. darah bersimbah. pedang gemerincing di
masa lalu, menggema ke masa kini. ini adalah istana
kehormatan dan harga diri.

al aqsha, istana tentara salib dan markas ksatria templar.


kandang kuda dan sampah penghinaan.

suara shalahuddin al ayyubi menggema, merobek dinding


kota, pedangnya menjadi pilar-pilar penyangga sejarah.

yahudi, nasrani dan muslim berlalulalang di sana,


menggemakan suara tuhan dalam doa-doa panjang.

gempa bumi dan kebakaran mengubah segalanya, jiwa


yang terbakar ambisi dan dosa sejarah yang kafir. masjidil
aqsha al mubarak sebagai rumah besar yang suci, di
dalamnya qubbatu shakhrakh, al jami al qibli (inti) dan
musholla al-mawarni. pernah kukeliru memahami ini.

di luar, yahudi meratap menghadap temboknya yang tua.


menyembunyi belati di balik jubah dan topi panjang.

terima kasih tuhan memanjangkan kaki dan tanganku,


menjamah pandang pada batu tempat nabi muhammad
bertolak ke langit ketujuh.

135
negeri tujuan manusia berjalan di hari kebangkitan. aku
ingin ke sana, aku ingin ke sana. berkali-kali, berkali-kali.
allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammad wa ‘ala ali
sayyidina muhammad

Palestina, sebuah Sore

*** ** ***

Helai demi helai terus dibukanya. Perempuan itu


sesekali menghela napas panjang. Malewa yang duduk
menghadap keluar jendela membiarkannya. Sebuah buku
tebal sedang dibacanya. Pada sampulnya tertera, Siti
Nurbaya, Kasih Tak Sampai, Marah Rusli.

Waktu terus berlalu. Kamar apartemen itu


dirambati kesunyian. Jam dinding dan TV menjadi saksi,
lampu dimatikan dan dihidupkan lagi berkali-kali.

136
“Apa permintaan Tuan? Izinkan saya membalas
kebaikan yang telah Tuan lakukan kepada saya,..?
Cukup dengan mengizinkan kami pergi secepatnya.”

Berita tentang dirinya belumlah betul-betul


dihentikan di TV-TV Indonesia. Dia masih terus dicari.
Beberapa pengakuan dari berbagai pulau mulai membuka
tabirnya. Ustaz Kahar di Wasior pun telah diboyong ke
Jakarta dan diwawancarai oleh TV.
Marbut masjid di kampungnya yang mengisahkan
tentang kaligrafi yang masih terpajang di dinding masjid
pun telah dihadirkan ke Jakarta. Demikian pula dengan
seorang dosen di Universitas Gajah Mada Yogyakarta telah
diwawancarai dan mengaku sebagai sahabat Malewa sejak
masih Mahasiswa dan terus berkomunikasi dengannya
meski tak pernah bertemu lagi.
Alamatnya ditemukan Malewa melalui surat kabar
nasional tempatnya sesekali menulis opini bertahun-
tahun silam.
Lambat laun, ada stasiun TV yang membuka
tabir kisah cintanya. Diundangnya Atikah ke Jakarta dan

137
mewawancarainya. Dengan berurai air mata, Atikah
mengisahkan cintanya yang harus kandas dan menikah
dengan lelaki yang ditunjuk oleh orangtuanya.
Selama berhari-hari, kisah mereka terus
diberitakan. Orang-orang kemudian menaruh empati
pada Malewa. Tidak sedikit yang menyalahkan orangtua
Atikah. Suami Atikah yang menyertainya ke Jakarta hanya
menanggapinya dengan banyak membisu. Tapi Atikah
meyakinkannya bahwa dia tetap setia dengan cinta di
hatinya untuk suaminya.
Malewa sempat melihat kemunculan Atikah di
layar TV. Hatinya beku. Dia segera mematikan TV dan
segera memeluk istrinya di pembaringan, di sebuah hotel.
Dia telah berjanji pada dirinya untuk mengubur masa
lalunya dan melanjutkan hidupnya dengan tenang.

*****

Suatu pagi, Malewa dan Istrinya tiba di Bandara


Soekarno-Hatta, Jakarta, sepulang dari perjalanannya
menunaikan Ibadah Umrah dan mengunjungi Masjid
Cordoba di Spanyol. Mereka belum sempat memesan taksi
ketika beberapa orang berbadan tegap menggiringnya ke
sebuah mobil berplat merah. Meski sempat menolak, pria-
pria tegap bersikukuh bahwa mereka harus ikut.
“Ini perintah. Kami harus membawa Tuan ikut
serta.” Kata seorang di antara mereka. Setelah bicara
dengan istrinya, mereka pun akhirnya setuju.
Mobil mereka terus melaju ke Jakarta Pusat.
Malewa masih sempat melirik Tugu Monas menjulang di
langit lalu akhirnya mereka tiba di Istana Wakil Presiden.

138
“Apa permintaan Tuan? Izinkan saya membalas
kebaikan yang telah Tuan lakukan kepada saya,” pinta
Wakil Presiden dengan wajah teduh dan penuh wibawa.
Malewa dan istrinya lalu berpandangan dan tersenyum.
“Kami tidak memiliki permintaan. Hidup kami
sudah cukup dengan apa yang kami miliki sekarang,”
jawab Malewa Singkat.
“Bagaimana cara kami membalasnya?” Tanya
Wakil Presiden sekali lagi. Susana menjadi hening.
Di Ruang Makan Istana Presiden itu semua terdiam
menunggu jawaban Malewa.
Sambil terus memikirkan jawaban, Malewa lalu
menjawab dengan pelan, “Cukup dengan mengizinkan
kami pergi dari istana ini secepatnya.” Semua orang yang
hadir di sana menjadi tercengang dengan jawabannya.
Seorang wartawan TV mengabadikan perbincangan
mereka.
Sore itu, dengan menyamar sebagai masyarakat
biasa, Wakil Presiden mengantarnya ke bandara. Malewa
dan istrinya segera menuju ke Makassar. demikianlah
Malewa meninggalkan Jakarta dan tak ada satu pun TV
yang berhasil mewawancarainya. Dia tak bisa ditemukan.

139
“Jika kau memiliki keinginan dalam hidupmu,
berselawatlah sebanyak-banyaknya.”

Waktu terus berlalu. Hari terus berganti. Hingga


setelah sekian lamanya, ada mahasiswi program doktoral
yang berhasil melacak dan mengenalinya.
Mahasiswi itu tertarik mengangkat kisah hidup
Malewa menjadi sebuah cerita fiksi yang dituliskan
berdasarkan kisah nyata. Dia pernah mendapatkan
klipping surat kabar yang memuat tentang Malewa dan
kisahnya saat berjalan di atas air.
Demikianlah hari itu. Mahasiswi Fakultas Sastra
Universitas Islam Makassar itu berhasil menghubunginya
dengan telepon ke rumahnya. Awalnya, Malewa merasa
keberatan dan mencari jalan untuk menghindar. Tapi,
mahasiswi itu berhasil membujuknya, bertemu dengannya
beberapa hari kemudian.
Malewa memang tidak banyak berinteraksi dengan
tetangganya. Lebih banyak waktunya dihabiskan untuk
berada di masjid. Masjid Tua Katangka, Gowa. Masjid yang
dibangun tahun 1603 Masehi itu telah menawan hatinya.

140
Hampir di setiap waktu salat, dia salat berjamaah di sana.
Berdiri di saf paling depan sebelah kanan masjid. Sesekali,
suaranya yang serak menggema sebagai muazin.
“Jika kau memiliki keinginan dalam hidupmu,
berselawatlah sebanyak-banyaknya.” Ungkapnya, sambil
memegang selembar kertas kusam yang berisi sebentuk
tulisan tangan. Demikian Malewa membuka pembicaraan-
nya dengan mahasiswi yang datang mewawancarainya itu.
Dia memperlihatkan surat kusam istrinya. kalimat
yang terulis di sana indah menawan. Kalimatnya halus
dan penuh penghayatan. Pada akhir surat, tertera sebuah
nama; Murtikanti.
“Dia meninggal sebulan lalu,” kata Malewa
sambil menatap mata mahasiswi cantik itu. Lalu hatinya
mendadak sendu.

“Siapa nama ibumu?”

“Atikah. Dia wafat setahun lalu, di Kampung


Batu Tottok, Bulukumba,” jawab mahasiswi itu seraya
mengedipkan matanya tiga kali.

Malewa terus memilin biji tasbih hitamnya.

*** Selesai***
.............................................................

Selesai ditulis di Kota Kendari, 9 Februari 2019.


Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala ali
Sayyidina Muhammad.

141
Andhika Mappasomba
Daeng Mammangka
Lebih dikenal dengan nama pena
Andhika Mappasomba, Lelaki
kelahiran Bulukumba, 4 April 1980.
Menulis karya sastra cerpen dan
puisi di berbagai media dan buku.
Terlahir dari Ayah dan Ibunya yang
merupakan guru dan memberinya nama Andi Abdul
Karim.
Senang melakukan perjalanan dengan Vespa
tua yang dinamainya Aladin (hilang dicuri pada bulan
Mei 2017), melakukan penelitian atau Perjalanan Sastra.
Bukunya yang telah terbit diantaranya Ingin kukencingi
Mulut Monalisa yang tersenyum (bersama Anis Kurniawan
tahun 2004) dan antologi puisi Mawar dan Penjara yang
juga dijadikan sebagai mahar pernikahan (2010), Sejarah
Eksistensi Ada’ Lima Karaeng Tallua di Kajang (bersama
Ramli Palammai tahun 2011), Percik Pemikiran Pemuda
Bulukumba (Kumpulan tulisan pemuda KNPI 2012), dan
sebuah buku puisi berbahasa konjo Jeraq Pangnguqrangi
(bersama H. Kamiluddin Daeng Malewa tahun 2014),
Kata-Kata yang Tak Menua (Antologi Puisi bersama
Penyair Sulsel 2017), Tentang Yang (Puisi Kumpulan
Penyair Makassar 2017), Kumpulan Puisi S (P3i-Rumah

142
Bunyi 2017), dan Berkaca Pada Kata (LPA 2017). Buku
Cerpen Kinokot (Rumah Bunyi 2018), Bulukumba Nol
Kilometer (Rumah Bunyi 2018)
Alumni SMA Bonto Bahari Bulukumba tahun 1997
ini juga merupakan Alumni Fakultas Sastra Universitas
Islam Makassar, tahun 2006.
Menulis beberapa lagu berbahasa Indonesia dan
berbahasa Konjo bersama Laskar Kelor Artist Community.
Pendiri Sekolah Sastra Bulukumba, sebuah sekolah sosial
atau komunitas belajar dan literasi yang mencintai dunia
kebudayaan, serta dunia membaca dan menulis karya
sastra. Bersama dua sahabatnya, Anis Kurniawan dan
Abdul Haris Awie mendirikan komunitas Keluarga Literasi
Indonesia.
Bersama IK Media, Andhika juga banyak
memproduksi dan bahkan bermain film pendek yang
tersebar di situs Youtube di antaranya; Jangan Lihat
Buku dari Sampulnya, Lompatan Cinta Apparalang,
Lipstick, Kemana?, Cita-Cita, Harga Cinta, Bukan Seminar
Kebohongan, Bukan Liontin Parakang, Jangan Dilihat, dan
sebagainya.

143

Anda mungkin juga menyukai