Anda di halaman 1dari 13

HEALTH BELIVED MODEL

Oleh :

Puguh Raharjo
196070300111030

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia kini sedang mengalami transisi epidemiologi, dimana penyakit-
penyakit infeksi baik yang menular maupun yang tidak menular masih memiliki
angka kejadian yang tinggi. Peningkatan penyakit-penyakit infeksi tersebut seperti
infeksi parasit berkaitan erat dengan gaya hidup (life style) di masyarakat.
Penularan infeksi parasit ini pada umumnya disebabkan karena gaya hidup yang
tidak sehat, misalnya seorang penderita yang buang air besar sembarangan, tidak
mencuci tangan setelah buang air besar serta menelan makanan yang tercemar
parasit ini atau makanan yang tidak ditutup rapat Oleh karena itu dibutuhkan
pendekatan yang sangat komprehensif agar dapat menurunkan angka kejadian
penyakit infeksi di masyarakat dan yang lebih penting untuk mencegah agar
penyakit tersebut tidak terjadi di masyarakat kita. Pendekatan komprehensif
tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan pendekatan kuratif / pengobatan saja,
sehingga dirasa perlu diupayakan peningkatan kesadaran dan peningkatan
pengetahuan masyarakat terhadap pola-pola penyakit tersebut yang akhirnya
berujung pada perubahan gaya hidup sehat. Di sinilah peranan pendidikan
kesehatan dan promosi kesehatan yang ditunjang dengan ilmu kesehatan
keperawatan komunitas untuk menyelesaikan masalah kesehatan tersebut. Melalui
teori Health Belived Model diyakini mampu menimgkatakan derajat kesehatan
masyarakat melalui pendidikan kesehatan yang berujung pada perubahan perilaku
masyarakat sehat.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian health belived model
2. Untuk mengetahui komponen helat belived model
3. Untuk mengetahui penerapan program health belived model dalam studi kasus
4. Untuk mengetahui hasil penelitian health belived model terkait dalam studi
kasus

C. Manfaat
1. Sebagai praktisi dibidang kesehatan kita dapat mengerti dan memahami
tentang konsep teori Health Belief Model
2. Sebagai praktisi dibidang kesehatan kita dapat mengerti dan memahami
bagaimana penerapan konsep Health Belief Model dalam menganalisis suatu
kejadian atau pola masalah kesehatan di masyarakat.

.
BAB II
ISI

A. Pengertian Health Belived Model


Irwin Rosenstock (1974) adalah tokoh yang mencetuskan health belief model
untuk pertama kali bersama Godfrey Hochbaum (1958). Mereka
mengembangkannya dengan mengemukaan kerentanan yang dirasakan untuk
penyakit TBC. Stephen Kegels (1963) menunjukkan hal yang serupa mengenai
kerentanan yang dirasakan untuk masalah gigi yang parah dan perhatian untuk
mengunjungi dokter gigi menjadi tindakan prefentif sebagai salah satu solusi
masalah gigi.
Health belief model adalah suatu model yang digunakan untuk
menggambarkan kepercayaan individu terhadap perilaku hidup sehat,
sehingga individu akan melakukan perilaku sehat, perilaku sehat tersebut
dapat berupa perilaku pencegahan maupun penggunaan fasilitas kesehatan
(Conner, 2005).

B. Komponen Health Belived Model


Health Belived Model mempunyai enam komponen yaitu :
1. Perceived susceptibility (kerentanan yang dirasakan)
Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi
kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi
penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya
resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan susceptibilily (kepekaan) terhadap
penyakit secara umum
2. Perceived severity (keseriuasan yang dirasakan)
Persepsi mengenai keseriusan suatu penyakit, meliputi kegiatan evaluasi terhadap
konsekuensi klinis dan medis (sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan
konsekuensi sosial yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan
keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua
komponen diatas sebagai ancaman yang dirasakan (perceived threat). Hal ini
berarti perceived severity berprinsip pada persepsi keparahan yang akan diterima
individu.
3. Perceived benefits (manfaat yang dirasakan).
Perceived Benefits adalah kepercayaan terhadap keuntungan dari metode yang
disarankan untuk mengurangi risiko penyakit. Ini tergantung pada kepercayaan
seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam
mengurangi risiko penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan
(perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika
seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan
(susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk
menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya
tersebut dirasa manjur dan cocok
4. Perceived barriers (hambatan yang dirasakan untuk berubah)
Perceived barriers secara singkat berarti persepsi hambatan atau persepsi
menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak sehat. Aspek-aspek
negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek
samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak
senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai halangan untuk
merekomendasikan suatu perilaku.
5. Cues to action (Isyarat Tindakan)
Cues to action adalah faktor mempercepat tindakan yang membuat seseorang
merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata untuk
melakukan perilaku sehat. Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar
tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-
isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-pesan
pada media massa, nasihat atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek
sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal,
pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku,
keadaan ekonomi, sosial, dan budaya. Cues to action merupakan elemen tambahan
dari elemen dasar Health Belief Model.
6. Self Efficacy (Kepercayaan Diri)
Biasanya, seseorang tidak akan mencoba melakukan sesuatu perubahan baru
sampai mereka menyadari bahwa mereka bisa melakukan perubahan tersebut. Hal
ini senada dengan pendapat Rotter (1966) dan Wallston mengenai teori self-
efficacy oleh Bandura yang penting sebagai kontrol dari faktor-faktor perilaku
sehat. Self efficacy dalam istilah umum adalah kepercayaan diri seseorang dalam
menjalankan tugas tertentu. Self Efficacy adalah kepercayaan seseorang mengenai
kemampuannya untuk mempersuasi keadaan atau merasa percaya diri dengan
perilaku sehat yang dilakukan. Self efficcay dibagi menjadi dua yaitu outcome
expectancy seperti menerima respon yang baik dan outcome value seperti
menerima nilai social (Hayden, 2014).

BAB III
PEMBAHASAN

A. Penerapan Program Health Belived Model


Penerapan program Health Belived Model dalam studi kasus. Disini saya
mengambil contoh studi kasus tentang pencegahan HIV pada remaja
1. Tahap Perceived Susceptibility
Pada tahap ini remaja memiliki persepsi bahwa mereka dapat menderita HIV.
2. Tahap Perceived Severity
Remaja percaya bahwa HIV adalah penyakit menular, sehingga remaja
menghindari aktifitas yang dapat menyebabkan HIV.
3. Tahap Perceived Benefits
Remaja percaya tentang kegunaan penggunaan kondom dapat melindungi diri
dari HIV, dimana mereka akan mendapat keuntungan karena menggunakan
kondom untuk mencegah penularan HIV.
4. Tahap Perceived Barriers
Persepsi menggunakan kondom menurunkan kenyamanan saat berhubungan
seks. Mengidentifikasi bagaimana dapat berhubungan seks dengan nyaman
walaupun menggunakan kondom.
5. Tahap Cues to Action
Melakukan tindakan nyata untuk menggunakan kondom saat berhubungan
seks. Menerima isyarat atau pesan pengingat misalnya 25% remaja aktif
seksual berisiko tertular HIV.
6. Self Efficacy
Merasa percaya diri dalam menggunakan kondom. (Taylor, 2012).

B. Hasil Penelitian Terkait Dengan Health Belived Model


1. Keikutsertaan Pelanggan Wanita Pekerja Seks Dalam Voluntary
Conseling And Testing (VCT) Tahun 2013.
Penulis : Arulita Ika Fibriana
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode survey dengan
pendekatan cross sectional, di mana variabel bebas dan variabel terikat
diobservasi dan diukur dalam waktu yang sama. Populasi penelitian ini
adalah pelanggan WPS di Lokalisasi Argorejo Semarang yang lokasinya atau
wismanya tersebar dalam 6 RT. Adapun sampel penelitian diambil dari
masing-masing wisma yang ada semua wilayah RT di komplek lokalisasi
Argorejo yaitu masing-masing wisma 3 orang pelanggan WPS secara
incidental. Analisis univariat dilakukan untuk menghasilkan distribusi dan
persentase dari masing-masing variabel penelitian. Analisis bivariat dengan
uji Chi-Square dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel
bebas terhadap variabel terikat.
Hasil Penelitian :
a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik VCT pada Pelanggan WPS
Persepsi tentang kerentanan terkena HIV/ AIDS
Responden yang persepsi tentang kerentanannya rendah memiliki
proporsi lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan dengan
responden yang persepsinya tinggi. Sebaliknya responden yang persepsi
tentang kerentanannya tinggi memiliki proporsi lebih besar untuk
melakukan VCT dibandingkan dengan responden yang persepsinya
rendah. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara persepsi tentang kerentanan terkena HIV/AIDS dengan
praktik VCT
b. Persepsi tentang keparahan atau keseriusan HIV/AIDS
Responden yang persepsi tentang keparahan rendah memiliki proporsi
lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan dengan responden
yang persepsinya tinggi. Sebaliknya responden yang persepsi tentang
keparahannya tinggi memiliki proporsi lebih besar untuk melakukan
VCT dibandingkan dengan responden yang persepsinya rendah. Hasil uji
chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
persepsi tentang keparahan HIV/AIDS dengan praktik VCT.
c. Persepsi tentang manfaat VCT
Responden yang persepsi tentang manfaat VCT rendah memiliki
proporsi lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan dengan
responden yang persepsinya tinggi. Sebaliknya responden yang persepsi
tentang manfaat VCT tinggi memiliki proporsi lebih besar untuk
melakukan VCT dibandingkan dengan responden yang persepsinya
rendah. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara persepsi tentang manfaat VCT dengan praktik VCT.
d. Persepsi tentang hambatan VCT
Responden yang persepsi tentang hambatan melakukan VCT tinggi
memiliki proporsi lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan
dengan responden yang persepsinya hambatannya rendah. Sebaliknya
responden yang persepsi tentang hambatan VCT rendah memiliki
proporsi lebih besar untuk melakukan VCT dibandingkan dengan
responden yang persepsinya tinggi. Hasil uji chi square menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang hambatan
VCT dengan praktik VCT
e. Cues to action (motivasi / isyarat melakukan VCT)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki motivasi
(isyarat melakukan tindakan) rendah memiliki proporsi lebih besar untuk
tidak melakukan VCT dibandingkan dengan responden yang motivasinya
tinggi. Sebaliknya responden yang motivasinya tinggi memiliki proporsi
lebih besar untuk melakukan VCT dibandingkan dengan responden yang
motivasinya rendah. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara motivasi (isyarat melakukan tindakan)
dengan praktik VCT.

2. Aplikasi Health Belief Model Pada Perilaku Pencegahan Demam


Berdarah Dengue (2017)
Penulis : Helmy Bachtiar Attamimy, M. Bagus Qomaruddi
Metode Penelitian : Bentuk penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitik.
Deskriptif analitik adalah suatu penelitian yang mencoba menemukan terus
menerus segala proses yang menjadi alasan sebuah fenomena kesehatan inmi
terjadi. Peneltian ini menggunkan pendekatan kuantitatif. Model yang digunakan
adalah non eksperimental dengan studi korelasi. Studi korelasional adalah studi
untuk mencari ada tidaknya hubungan antara variabel yang diteliti. Sedangkan
rancang bangun penelitian ini yaitu cross sectional. Cross sectional yang
mempelajari dinamika korelasi antara faktor resiko dengan efek, dengan cara
pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat
(Notoatmodjo: 2010).
Hasil penelitian :
a. Hubungan Faktor Persepsi Kerentanan dengan Upaya pencegahan DBD
Persepsi kerentanan sebetulnya mengacu penilaian subjektif dari risiko
terhadap masalah kesehatan. Individu yang percaya bahwa mereka memiliki
risiko yang rendah terhadap penyakit lebih mungkin untuk melakukan
tindakan yang tidak sehat, dan individu yang memandang memiliki risiko
tinggi mereka akan lebih mungkin untuk melakukan perilaku untuk
mengurangi risiko terserang penyakit (Onoruoiza, 2015)
b. Hubungan Faktor Persepsi Keparahan dengan Upaya pencegahan DBD
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa faktor persepsi
keparahan mempunyai hubungan dengan upaya pencegahan DBD yang
dilakukan oleh subjek penelitian, serta mengkategorikan tingkat hubungan
yang kuat. Hal ini didasarkan temuan bahwa walaupun sebagian besar subjek
penelitian yang beranggapan parah melakukan upaya pencegahan dengan
baik, masih terdapat juga yang cukup beranggapan parah, dan bahkan tidak
beranggapan parah masih melakukan pencegahan DBD yang cukup baik,
walaupun sebagian kecil
c. Hubungan Faktor Persepsi Manfaat dengan Upaya Pencegahan DBD
Hasil penelitian yang dilakukan tentang faktor persepsi manfaat dengan
upaya pencegahan DBD dapat diketahui bahwa terdapat hubungan persepsi
manfaat yang dirasakan oleh subjek penelitian dengan upaya pencegahan
DBD. Hasil penelitian menggambarkan bahwa terdapat kecenderungan
bahwa anggapan bermanfaat yang dirasakan subjek penelitian diikuti dengan
upaypencegahan DBD. Selain itu, juga masih ada anggapan cukup
bermanfaat justru upaya melakukan pencegahan DBD yang kurang baik.
d. Hubungan Faktor Persepsi Hambatan dengan Upaya pencegahan DBD
Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan faktor persepsi hambatan dengan upaya pencegahan DBD yang
dilakukan. Hal ini karena anggapan persepsi hambatan terdapat upaya
pencegahan DBD yang kurang dan ada juga yang baik. Selain itu, bahkan
anggapan tidak hambatan juga terdapat upaya pencegahan DBD yang baik.
e. Hubungan Faktor Isyarat Melakukan Tindakan dengan Upaya Pencegahan
DBD
Jika diamati pada uji statistik yang dilakukan pada variabel isyarat
melakukan tindakan dengan upaya pencegahan DBD, maka dapat diketahui
bahwa terdapat hubungan yang kuat. Nilai koefisien korelasi 0,432. Artinya
bahwa terdapat hubungan yang kuat karena diantara 0,401-0,701 (Nugroho:
2005). Sehingga hal ini menguatkan dari gambaran hasil kedua variabel ini.
Selain itu, nilai positif pada koefisien korelasi menggambarkan hubungan
yang berbanding lurus. Artinya bahwa jika terdapat isyarat melakukan
tidakan semakin tinggi maka upaya pencegahan DBD semakin tinggi pula.
Begitu juga sebaliknya semakin tidak ada isyarat melakukan tindakan, maka
semakin buruk tindakan upaya pencegahan DBD. Isyarat melakukan tindakan
adalah kegiatan, orang, dan sesuatu yang bergerak untuk mengganti sebuah
perilaku awal. Contohnya mencangkup kesakitan dari anggota keluarga,
laporan media, dan lain sebagainya, sehingga penelitian ini selaras dengan
konsep bahwa isyarat melakukan tindakan berhubungan dengan dorongan
untuk menjalankan sebuah tindakan.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Health Belived Model merupakan model psikologis yang mencoba
menjelaskan dan memprediksi bahaya penyakit melalui sikap dan keyakinan
individu
2. Health Belived Model merupakan sebuah kesiapan individu untuk mengubah
perilaku dalam rangka menghindari suatu penyakit.

B. Saran
Teori Health Belived Model dapat dijadikan bentuk intervensi praktis untuk
perawat kesehatan komunitas khususnya yang berhubungan dengan perilaku
pencegahan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Attamimy HB, Qomaruddin MB. Health belief model application on Dengue Fever
prevention behavior (Bahasa). J PROMKES. 2017;5(2):245-255. https://e-
journal.unair.ac.id/PROMKES/article/view/7744/4588.
.Conner, (2005). Predictiong Health Behaviour, Research and Practice with Social
Cognition Model. Buckingham: Open Univeristy Press
Hayden, Joanna Aboyoun. (2014). Introduction to Health Behavior Theory, Second
Edition. Burlington: Jones and Bartlett
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta
Onoruoiza SI, Musa, Umar BD, Kunle. 2015. Using Health Beliefs Model as
an Intervention to Non Compliance with Hypertension Information among
Hypertensive Patient. IOSR Journal Of Humanities And Social Science
(IOSR-JHSS), 20(9): V
Taylor, S. E. (2012). Health Psychology (8th edition). New York: McGraw-hill
Higher Education
Vct T, Indonesia D. Keikutsertaan Pelanggan Wanita Pekerja Seks Dalam Voluntary
Conseling and Testing (Vct). KESMAS - J Kesehat Masy. 2013;8(2):161-165.
doi:10.15294/kemas.v8i2.2640

Anda mungkin juga menyukai