CASE REPORT
Disusun Oleh :
Nindya Ayu Pramesti, S. Ked J510181035
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kedokteran Radiologi
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Pada ………………………….2018
Pembimbing
Dipresentasikan di hadapan
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46
iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Seperti halnya di negara-negara lain, besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia
masih relatif sulit diperkirakan.
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
1. Identitas Anak
2. Identitas Keluarga:
Ibu Ayah
Nama Ny S Tn F
Umur 30 tahun 40 tahun
Pendidikan / berapa tahun SMP SMP
Pekerjaan PRT BURUH
3
4
5. Riwayat Pengobatan:
Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebakkramat saat muncul
benjolan pertama setahun yang lalu dan diberi obat minum, namun keluhan
tidak membaik. Sebulan yang lalu saat benjolan kecil (bisul) di punggung
pasien pecah, pasien kembali dibawa ke Puskesmas dan dilakukan
perawatan luka. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD Karanganyar.
7. Riwayat nutrisi :
Pasien diberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan, setelah itu
diberi bubur serta diselingi dengan ASI sampai umur 2 tahun. Setahun
terakhir pasien tetap makan tiga kali sehari, terdiri dari nasi dan lauk pauk
berupa tempe, tahu, ikan, kadang-kadang telur dan sayuran, namun nafsu
makan pasien sangat berkurang bila dibandingkan dengan sebelum muncul
benjolan di punggung, pasien biasanya makan 4-5 sendok setiap kali makan
bahkan terkadang tidak makan sama sekali.
8. Riwayat vaksinasi :
Ibu pasien mengatakan anaknya sudah mendapatkan imunisasi
lengkap. Scar BCG (+) ukuran 2 x 3 mm.
2. Status Gizi
Berat badan : 14,5 kg, tinggi badan : 107 cm, lingkar kepala : 49 cm
Z Score : BB/TB : -1,88 SD ; BB/U : -2,39 SD ; TB/U : -5,41 SD
BB/U : di bawah persentil 5
TB/U : di bawah persentil 5
LK/U menurut Nellhaus : <-2 SD
Edema : (-)
Kesimpulan status gizi : gagal tumbuh (gizi buruk)
3. Status Generalis
a. Kepala:
1) Bentuk : bulat lonjong, Ukuran: microcephali, Kelainan yang ada:
(-), Ubun-ubun besar : tertutup, rambut jarang dan mudah putus (-),
wajah seperti orangtua (+).
2) Mata : An -/-, ikt -/-, RP (+), Isokor ukuran 3 mm/3 mm, Edema
palpebra -/-
3) Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), kelainan bawaan (-)
4) Telinga : sekret (-), serumen (+),
5) Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
6) Tenggorok : Faring hiperemia (-), pembesaran tonsil (-)
8
e. Kulit :
Ikterus (-), pustula (-), Petekie (-), kulit tampak kering & keriput/muscle
wasting (+).
f. Urogenital :
Tidak dievaluasi.
g. Vertebrae :
Skoliosis (+) menghadap ke kanan, perubahan postur (+), gibbus (+) pada
vertebrae thorakal 12 – lumbal 1, ukuran 10 x 7 cm, sewarna dengan kulit
sekitarnya, nyeri tekan (-), abses paravertebral (+).
D. RESUME
Pasien anak laki-laki, umur 11 tahun dikeluhkan muncul benjolan
yang semakin membesar sejak setahun yang lalu, tidak nyeri. Dua bulan
yang lalu muncul kembali benjolan berisi nanah di perut kanan bawah
pasien, pecah 5 hari kemudian dan menyembuh meninggalkan jaringan
parut. Kemudian sebulan yang lalu muncul kembali benjolan berisi nanah
di punggung pasien sebanyak tiga buah, dimana salah satunya pecah dan
terasa nyeri (+), demam (+). Nafsu makan pasien berkurang sejak setahun
terakhir. BAK/BAB normal, mual dan muntah disangkal. Pemeriksaan
10
fisik pasien dengan keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, vital
sign TD 100/60 mmHg, Nadi 100 x/menit, kuat angkat, teratur, RR 24
x/menit, suhu 36,5 oC. CRT <2 detik. Status gizi gagal tumbuh (gizi
buruk). Pada pemeriksaan fisik terdapat pembesaran KGB leher, terdapat
iga gambang, muscle wasting, bekas scrofuloderma di regio inguinal
kanan, pembesaran KGB inguinal, dan terdapat gibbus pada vertebrae
thorakal 12 hingga lumbal 1 dan abses paravertebral (+).
E. Pemeriksaan Penunjang
1 Pemeriksaan laboratorium 21-05-18
a HB : 10,9 g/dl
b HCT : 34,3 %
c WBC : 9.420/mm3
d PLT : 547.000/mm3
e MCV : 74,9 %
f MCH : 23,8%
g MCHC : 31,8 %
h GDS : 124 mg%
Expertise :
X Foto Vertebra proyeksi lateral, terdapat gambaran
peradangan pada discus intervertebra L3-L4, pembengkakan
jaringan lunak disekitarnya, ketinggian discus yang berkurang,
pembentukan tulang yang reaktif sehingga mengakibatkan erosi
pada endplate corpus vertebrae, reabsorbsi di bagian korteks,
berupa : osteopenia, kerusakan endplate, dan defek subperiosteal.
b. CT Scan Vertebra
Expertise :
Foto CT Scan vertebra proyeksi coronal, terdapat gambaran
penyempitan discus yang disertai erosi pada endplate corpus
vertebra yang berdekatan.
Foto CT Scan Vertebra proyeksi aksial, terdapat gambaran
pelebaran paraspinal.
12
c. MRI Thorakolumbal
Expertise :
Foto MRI vertebra, potongan sagital menunjukkan infeksi
subligamen pada T11-L3 dengan spondilitis dan abses epidural
posterior yang meluas melalui ruang epidural L1. Tampak massa
pada paraspinal yang luas, serta terdapat kerusakan pada discus
intervertebralis T12- L3 pada titik paraspinal.
Foto MRI vertebra, potongan aksial menunjukkan
perubahan erosif yang terletak di sudut anterolateral dari badan
vertebra L1, dan adanya infeksi subligamen pada Vertebra L1
dengan spondilitis dan abses epidural posterior yang meluas
melalui ruang epidural.
g MCHC : 33,3 %
h CRP : (+) titer 24 mg/ml
i Mantoux test : 18 mm
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Spondylitis Tuberculosis
3. Ankylosing Spondylitis
G. DIAGNOSIS
- Spondilitis TB
- Gagal tumbuh dengan gizi buruk
H. RENCANA AWAL
1. Terapi : OAT 2 HRZE/ 10 HR (mulai tanggal 25 Mei 2018)
a Rifampicin 1 x 200 mg
b INH 1 x 150 mg
19
c Pirazinamid 1 x 500 mg
d Ethambutol 1 x 300 mg
2. Tatalaksana Gizi Buruk :
a. Mencegah hipoglikemia : beri makanan awa F75 150 cc per dua jam
b. Mencegah hipotermia :
1) Letakkan tempat tidur di tempat yang hangat, bebas angin dan
anak selalu tertutup pakaian
2) Ganti pakaian dan seprai yang basah
3) Hindarkan dari suasana dingin misalnya setelah mandi
4) Beri F75 150 cc per dua jam
c. Mencegah dehidrasi karena diare : beri F75 sesegera mungkin dan
ReSoMal sebanyak 100-200 ml setiap kali buang air besar cair (jika
diare).
d. Mencegah gangguan keseimbangan elektrolit.
e. Berikan antibiotik spektrum luas.
f. Defisiensi zat gizi mikro
g. Pemberian makanan awal : berikan F75 150 cc per dua jam.
h. Tumbuh kejar : lakukan transisi dari F75 menjadi F100 dengan
jumlah yang sama selama dua hari berturut-turut.
i. Stimulasi sensorik dan emosional :
1) Ungkapan kasih sayang
2) Lingkungan yang ceria
3) Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
4) Keterlibatan ibu sesering mungkin misalnya menghibur, memberi
makan, dan bermain.
3. Tatalaksana gagal tumbuh : intervensi nutrisi dan mengubah pola makan
K. Follow up
Tanggal S O A P
26 Mei Demam (-), KU : baik Spondilitis Lanjut OAT
2018 batuk (-), Kes : CM TB + gagal Rifampici
sesak (-), BB : 15 kg tumbuh n 1 x 200
mual/muntah T : 36,0 ⁰C dengan gizi mg
(-), nafsu RR : 24 x/m buruk INH 1 x
makan baik, N : 92 x/m 150 mg
BAK/BAB K/L normal, Pirazinami
(+) normal an -/-, ikt -/- d 1 x 500
, mg
21
pembesaran Ethambut
KGB (+) ol 1 x 300
Thorak : mg
pergerakan
dada BPL
simetris,
retraksi (-),
ves +/+ rh -
/- wh -/-,
s1s2 tunggal
reg M (-) G
(-)
Abdomen :
dist (-),
bekas
scrofuloder
ma (+), BU
(+), NT (-),
H/L/R ttb
Vertebrae :
gibbus (+)
V.L 3-4
Ekstremitas
akral hangat
+/+, edema -
/-
22
L. Prognosis
Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan
neurologis atau tidak. Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya
berupa kelumpuhan atau neuritis perifer, maka tindakan bedah segera
dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka
tindakan bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah
umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak
respons terhadap OAT.2
Prognosis TB skeletal sangat bergantung pada derajat kerusakan
sendi atau tulang. Pada kelainan lain yang minimal umumnya dapat
kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Vertebra
Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh
ligamentum dan tulang rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri
dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus
fibrokartilago yang disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh
ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum longitudinalis
posterior. Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna
vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat
dimana banyak terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi sebagai
sendi dan shock absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi
trauma. Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain
oleh karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis
di anterior. Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang
membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal dan lumbal.
Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut
diskus intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh dengan
diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang.
Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra
torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang
membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup
gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup
geraknya semakin kecil.
23
`24
B. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang
biasanya merupakan lokasi infeksi primer.1
Tuberkulosis sistem skeletal merupakan suatu bentuk penyakit TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan/atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1-7% dari seluruh TB, yang mana TB sendi tulang belakang
merupakan kejadian tertinggi, diikuti dengan TB sendi panggul dan sendi
lutut. Umumnya TB sistem skeletal menganai satu tulang atau sendi.
Tuberkulosis pada tulang belakang dikenal sebagai spondilitis TB.2
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis
tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberculosis tulang belakang
selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus dari tempat lain dalam
tubuh. Pervical Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit
dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan
deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.3,7
`26
C. Epidemiologi
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun
2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB
bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap
tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang
paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.
Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah
15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu
5%-7%. Pada survei nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung
selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15
tahun menderita TB. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang
didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total
kasus TB. Data seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat
Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1086 kasus
TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia
terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan
16,5 %. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan
kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun
0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.4
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis
tulang dan sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis
tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga
menemukan persentase yang sama dari tuberkulosis tulang dan sendi.
Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 -10
tahun dengan perbandingan yang hamper sama antara wanita dan pria.3
`27
D. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. MTB
memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es) dimana kuman
dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.5
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma
makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis
kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain
kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis .5
E. Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi
TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut
dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi
menjadi penyakit (resiko penyakit).2,5
1. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif),
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan
sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti
`28
asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien
TB dewasa aktif. 2,5
Sumber infeksi TB anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti,
bayi dari seorang ibu BTA positif memiliki resiko tinggi terinfeksi TB.
Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula
kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius. 2,5
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum
positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum
banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang
baik. 2,5
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau
orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat
jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada
beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah
kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian
berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum. Dan yang ketiga adalah sedikitnya atau tidak ada produksi
sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim
menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.2,5
2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit
TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor resiko yang
pertama adalah usia. Anak yang berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko
`29
F. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang
terhirup setelah melewati barier mukosa basil TB akan mencapai alveolus.
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
`30
Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread). Kuman
TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini
berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis regional.
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen, terbentuknya
kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat
menjadi sakit TB primer.
4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses
reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman
TB dari luar (eksogen).
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan
pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
G. Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB
sangat bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta
interaksi diantara keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah
kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada
usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal
terjadinya infeksi.2,5
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak
spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan
lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:2
a. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas,
yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak
tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80%
kasus.
b. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1
bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan
grafik pertumbuhan.
c. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan
biasanya multipel.
e. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan,
tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama.
f. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
g. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Secara klinis gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama
dengan dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan
lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada
`36
H. Pemeriksaan Penunjang
Pada TB kleletal, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
pemeriksaaan penunjang untuk TB pada anak secara umum dan
pemeriksaan radiologis pada lokasi yang dicurigai seperti tulang belakang,
sendi panggul dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya terdapat
gambaran osteoporosis regional periartikuler dan pembengkakan jaringan
lunak sekitar sendi, destruksi tulang rawan sendi, dan lesi osteolitik pada
daerah epifisis. Untuk infeksi TB sendi, gambaran yang khas adalah
osteoporosis periartikuler, destruksi tulang rawan sekitar sendi, dan
penyempitan celah. 2
Pada kelainan TB tulang belakang, terjadi destruksi tulang pada
daerah korpus, serta penyempitan diskus intervertebralis. Pemeriksaan lain
yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan
ulatrasonografi (USG). Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel,
penurunan glukosa, dan peningkatan protein, atau bahkan dapat ditemukan
BTA positif (sekitar 15-20% kasus). Pemeriksaan biakan M. tuberculosis
dapat dilakukan, sedangkan pada pemeriksaan hispatologis dapat dijumpai
gambaran perkijuan (granuloma TB). 2
I. Tatalaksana
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. 2
`38
1. Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis
(OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang
sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat
ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke
dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi
simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 10-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak
stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak
di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme
melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih
cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB
yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI)
yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta,
tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel,
dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman
semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak
tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk
oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,
`39
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada
intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna.
Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 30-40 mg/kgBB/hari.
Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan
pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang
masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak.
Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami
efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia,
tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan
iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada
anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti
isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,
`40
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi
toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik,
tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi
dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat
ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-25 mg/kgBB/hari. Kadar serum puncak 5
µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250
mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.2
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap
kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak
efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin
jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya
penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan
MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis
15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
µg/ml dalam waktu 1-2 jam.2
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura
dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini
adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid
atau jika anak menderita TB berat.2
`41
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik
melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
`42
Tatalaksana Spondilitis TB
2. Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu3:
a. Pengobatan dengan kemotrapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
3. Indikasi operasi
Indikasi operasi yaitu3:
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia
atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum
tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa
diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka dan sekaligus debridement serta bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi
ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekan
langsung pada medula spinalis.
4. Operasi Kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat.
Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-
anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi
radikal3.
J. Prognosis
Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan
neurologis atau tidak. Apabila itemukan kelainan neurologis misalnya
berupa kelumpuhan atau neuritis perifer, maka tindakan bedah segera
dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka
`44
KESIMPULAN
Obat yang tepat biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang
berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri, dan gejala sisa neurologis dapat
dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja
sama yang baik antara pasien, keluarga, dan tim kesehatan.
45
`46
DAFTAR PUSTAKA
Rahajoe, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI.