Anda di halaman 1dari 49

HALAMAN JUDUL

CASE REPORT

SEORANG PASIEN LAKI- LAKI 11 TAHUN DENGAN SPONDILITIS TB

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kedokteran Radiologi

Pembimbing: dr. Hardiyanto, Sp. Rad

Disusun Oleh :
Nindya Ayu Pramesti, S. Ked J510181035

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


RSUD KABUPATEN KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT

SEORANG PASIEN LAKI- LAKI 11 TAHUN DENGAN SPONDILITIS TB


Diajukan Oleh :

Nindya Ayu Pramesti J500140081

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kedokteran Radiologi
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Pada ………………………….2018

Pembimbing

Nama : dr. Hardiyanto, Sp. Rad (.................................)

Dipresentasikan di hadapan

Nama : dr. Hardiyanto, Sp. Rad (.................................)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46

iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosa (TB) adalah suatu penyakit menular yang dapat berakibat


fatal. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosa atau
Tubercle bacillus. Tuberkulosis, terutama TB paru merupakan masalah yang
timbul tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Setiap tahun
diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta
kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dilaporkan
dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak berkisar antara 3%
sampai >25%. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan,
diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total kasus TB.
Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak berusia <15 tahun,
63% di antaranya berusia <5 tahun.
TBC pada anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
orang dewasa. Pada TBC anak, permasalahan yang sering dihadapi adalah
masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan, serta komplikasi TBC pada penderita
infeksi HIV. Berbeda dengan TBC dewasa, gejala TBC pada anak seringkali tidak
khas. Diagnosis pasti pada penderita dewasa dapat ditegakkan dengan
menemukan kuman TBC pada pemeriksaan putum. Sedangkan pada anak sulit
didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya
mendiagnosis TBC pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti
overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment.
Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TBC umumnya adalah orang
dewasa dengan sputum BTA positif, sehingga penanggulangan TBC lebih
ditekankan pada pengobatan TBC dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak
kurang diperhatikan. Peningkatan insidens infeksi HIV dan AIDS di berbagai
negara turut menambah permasalahan TBC anak. Saat ini, telah terjadi
peningkatan interaksi antara tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak.

1
2

Seperti halnya di negara-negara lain, besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia
masih relatif sulit diperkirakan.

Tuberkulosis tulang punggung merupakan salah satu tuberkulosis ekstra


paru yang dapat menimbulkan cacat fisik yang berat. Hampir 10% dari seluruh
pendertita TB memiliki keterlibatan dengan muskulo-skeletal. Setengahnya
mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologik 10% - 45%
dari penderita.
BAB II LAPORAN KASUS
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
1. Identitas Anak

Nama pasien : An. A


Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 11 tahun
Agama : Islam
Alamat : Bandardawung, Karanganyar
Nomor RM : 003527XX
Tanggal MRS : 21 Mei 2018
Tanggal Periksa : 21 Mei 2018

2. Identitas Keluarga:

Ibu Ayah
Nama Ny S Tn F
Umur 30 tahun 40 tahun
Pendidikan / berapa tahun SMP SMP
Pekerjaan PRT BURUH

B. Heteroanamnesis (dari ibu kandung pasien)


1. Keluhan Utama: benjolan di punggung
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien rujukan ke RSUD Karanganyar dengan susp. spondilitis TB.
Pasien dikeluhkan muncul benjolan di punggung sejak setahun yang lalu.
Benjolan awalnya kecil, lama-kelamaan semakin membesar. Pasien

3
4

mengaku benjolan yang muncul tersebut tidak terasa nyeri, tidak


mengeluarkan nanah maupun darah, tidak tampak kemerahan dan tidak
pernah pecah. Hanya saja semenjak munculnya benjolan nafsu makan dan
berat badan pasien mulai berkurang. Pasien mengaku tidak merasa sakit di
punggung, tidak pernah merasa lemas pada tungkai, dan tidak ada
gangguan dalam berjalan.
Lalu dua bulan yang lalu muncul satu buah benjolan berisi nanah
di perut kanan bawah pasien. Sekitar lima hari kemudian benjolan tersebut
pecah dan menyembuh meninggalkan jaringan parut di perut kanan bawah.
Kemudian sebulan yang lalu pasien dikeluhkan muncul lagi benjolan lain di
punggung sekitar benjolan pertama, sebanyak tiga buah benjolan kecil
(bisul) yang tampak berisi nanah. Pasien juga mengeluh nyeri pada
benjolan, dan seringkali demam baik siang dan malam. Salah satu di antara
benjolan tersebut kemudian pecah pada tanggal 18 Mei 2018. Kemudian
pasien dibawa ke Puskesmas Kebakkramat dan dilakukan perawatan luka.
Setelah itu pasien dirujuk ke RSUD Karanganyar pada tanggal 21 Mei
2018.
Saat ini ibu pasien mengaku pasien tidak menderita batuk, pilek,
maupun sesak nafas. Nafsu makan pasien belum membaik. Mual atau
muntah disangkal. BAB/BAK normal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.
Riw.batuk, pilek dan demam sering dirasakan selama setahun terakhir (-),
sesak nafas (-), batuk lama (-).
Ibu pasien mengaku sekitar setahun sebelum muncul benjolan di
punggung, pasien pernah jatuh dengan posisi terlentang di mana punggung
menjadi tumpuan, pada saat itu pasien sempat diurut dan dikatakan tulang
punggungnya mengalami kelainan oleh tukang urutnya.
5

4. Riwayat Penyakit Keluarga:


Tidak ada keluarga pasien atau tetangga yang mengalami keluhan
seperti pasien, namun ibu pasien mengaku kakek pasien yang tinggal
serumah dengan pasien menderita penyakit batuk lama lebih dari sebulan,
namun tidak pernah minum obat selama 6 bulan. Kakek pasien sering
dibawa ke Puskesmas namun hanya diberi obat batuk biasa. Di dalam
keluarga dan lingkungan sekitar tempat tinggal pasien tidak ada yang
menderita penyakit TBC. Riwayat sesak nafas dalam keluarga (-).

5. Riwayat Pengobatan:
Pasien pernah berobat ke Puskesmas Kebakkramat saat muncul
benjolan pertama setahun yang lalu dan diberi obat minum, namun keluhan
tidak membaik. Sebulan yang lalu saat benjolan kecil (bisul) di punggung
pasien pecah, pasien kembali dibawa ke Puskesmas dan dilakukan
perawatan luka. Kemudian pasien dirujuk ke RSUD Karanganyar.

6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


Selama kehamilan ibu pasien mengaku sering mengalami demam
tinggi hingga menggigil. Biasanya ibu pasien berobat ke Puskesmas dan
diberi obat minum namun tidak pernah sampai dirawat inap. Selain itu tidak
ada keluhan lain.
Pasien dilahirkan secara normal ditolong bidan di rumah, dengan
usia kehamilan hanya 7 bulan dan berat badan lahir 1500 gram. Setelah itu
pasien dirawat sendiri oleh ibunya di rumah. Ibu pasien mengaku pasien
tidak pernah dibawa ke RS maupun dirawat di Puskesmas. Ibu pasien
mengaku tidak ada keluhan selama pasien bayi, riwayat pasien tampak
kuning, kejang, atau demam tinggi disangkal.
6

7. Riwayat nutrisi :
Pasien diberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan, setelah itu
diberi bubur serta diselingi dengan ASI sampai umur 2 tahun. Setahun
terakhir pasien tetap makan tiga kali sehari, terdiri dari nasi dan lauk pauk
berupa tempe, tahu, ikan, kadang-kadang telur dan sayuran, namun nafsu
makan pasien sangat berkurang bila dibandingkan dengan sebelum muncul
benjolan di punggung, pasien biasanya makan 4-5 sendok setiap kali makan
bahkan terkadang tidak makan sama sekali.

8. Riwayat vaksinasi :
Ibu pasien mengatakan anaknya sudah mendapatkan imunisasi
lengkap. Scar BCG (+) ukuran 2 x 3 mm.

9. Riwayat Perkembangan dan Kepandaian :


Ibu pasien mengaku pertumbuhan dan perkembangan pasien
normal seperti anak seusianya. Pasien mulai bisa duduk tanpa dibantu pada
usia 8 bulan, pada usia 1 tahun pasien sudah dapat berdiri, dan pasien sudah
bisa berjalan dan bicara pada usia 1,5-2 tahun.

10. Sosial ekonomi dan lingkungan


Pasien tinggal berlima dalam satu rumah bersama ibu, kakek,
nenek, dan pamannya. Rumah keluarga pasien merupakan sebuah rumah
panggung dari kayu, tidak terdapat jamban, sumber air untuk kehidupan
sehari-hari berasal dari air sumur. Rumah keluarga pasien hanya memiliki
sebuah jendela sehingga cahaya matahari sulit masuk ke dalam rumah dan
rumah tampak gelap meskipun di siang hari, selain itu pertukaran udara
juga tidak leluasa. Ibu pasien memasak dengan menggunakan kayu bakar,
di rumah pasien tidak terdapat kompor. Pasien tidak terbiasa mencuci
tangan dengan sabun sebelum makan. Ibu pasien adalah pembantu rumah
tangga dengan penghasilan Rp 300.000 per bulan, ayah pasien tinggal
berpisah dengan pasien dan ibunya.
7

C. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 21-05-2018)


1. Status Pasien
KU : Sedang
Kes : CM
TD : 100/60 mmHg
RR : 24x/menit, tipe : torakoabdominal
Nadi : 100 x/menit, teratur, isi cukup.
T ax : 36,5 oC.
CRT : < 2 detik

2. Status Gizi
Berat badan : 14,5 kg, tinggi badan : 107 cm, lingkar kepala : 49 cm
Z Score : BB/TB : -1,88 SD ; BB/U : -2,39 SD ; TB/U : -5,41 SD
BB/U : di bawah persentil 5
TB/U : di bawah persentil 5
LK/U menurut Nellhaus : <-2 SD
Edema : (-)
Kesimpulan status gizi : gagal tumbuh (gizi buruk)

3. Status Generalis
a. Kepala:
1) Bentuk : bulat lonjong, Ukuran: microcephali, Kelainan yang ada:
(-), Ubun-ubun besar : tertutup, rambut jarang dan mudah putus (-),
wajah seperti orangtua (+).
2) Mata : An -/-, ikt -/-, RP (+), Isokor ukuran 3 mm/3 mm, Edema
palpebra -/-
3) Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), kelainan bawaan (-)
4) Telinga : sekret (-), serumen (+),
5) Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
6) Tenggorok : Faring hiperemia (-), pembesaran tonsil (-)
8

7) Leher : Kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar (+), jumlah satu,


ukuran 1 x 1 cm, nyeri tekan (-),
b. Thorax :
1) Inspeksi : Retraksi(-), pergerakan dinding dada simetris,
deformitas(-), iga gambang (+)
2) Palpasi : Fremitus vokal N (simetris kanan-kiri). Palpasi ictus
cordis pada ICS 4 linea midclavicula sinistra.
3) Perkusi : Pulmo: sonor pada seluruh lapang paru.
Cor : batas kiri ICS 3-4 linea parasternal kiri. Batas kanan
sulit dievaluasi.
4) Auskultasi :
a) Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
b) Cor : S1S2, tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
c. Abdomen :
1) Inspeksi : Distensi (-), massa (-), tampak scar bekas scrofuloderma
di regio inguinal kanan (+), proporsi perut lebih besar daripada pinggul
dan paha, bantalan bokong tipis, baggy pants (-), perut cekung (-).
2) Auskultasi : BU (+) N
3) Perkusi : Timpani (+)
4) Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien/ren tidak teraba,
pembesaran KGB inguinal (+), multipel, ukuran 1 – 1,5 cm, nyeri (-).
d. Ekstermitas :
Perubahan pola berdiri dan berjalan (+), pasien tampak berdiri dengan
menumpu pada kaki kanan, sedangkan kaki kiri tampak lebih panjang
dibandingkan kaki kanan.
9

Tungkai Atas Tungkai bawah


Kanan Kiri Kanan Kiri
Akral dingin - - - -
Edema - - - -
Kelainan bentuk - - - -
Kekuatan 5 5 5 5
Refleks fisiologis + + + +
Reflesk patologis - - - -

e. Kulit :
Ikterus (-), pustula (-), Petekie (-), kulit tampak kering & keriput/muscle
wasting (+).

f. Urogenital :
Tidak dievaluasi.

g. Vertebrae :
Skoliosis (+) menghadap ke kanan, perubahan postur (+), gibbus (+) pada
vertebrae thorakal 12 – lumbal 1, ukuran 10 x 7 cm, sewarna dengan kulit
sekitarnya, nyeri tekan (-), abses paravertebral (+).

D. RESUME
Pasien anak laki-laki, umur 11 tahun dikeluhkan muncul benjolan
yang semakin membesar sejak setahun yang lalu, tidak nyeri. Dua bulan
yang lalu muncul kembali benjolan berisi nanah di perut kanan bawah
pasien, pecah 5 hari kemudian dan menyembuh meninggalkan jaringan
parut. Kemudian sebulan yang lalu muncul kembali benjolan berisi nanah
di punggung pasien sebanyak tiga buah, dimana salah satunya pecah dan
terasa nyeri (+), demam (+). Nafsu makan pasien berkurang sejak setahun
terakhir. BAK/BAB normal, mual dan muntah disangkal. Pemeriksaan
10

fisik pasien dengan keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis, vital
sign TD 100/60 mmHg, Nadi 100 x/menit, kuat angkat, teratur, RR 24
x/menit, suhu 36,5 oC. CRT <2 detik. Status gizi gagal tumbuh (gizi
buruk). Pada pemeriksaan fisik terdapat pembesaran KGB leher, terdapat
iga gambang, muscle wasting, bekas scrofuloderma di regio inguinal
kanan, pembesaran KGB inguinal, dan terdapat gibbus pada vertebrae
thorakal 12 hingga lumbal 1 dan abses paravertebral (+).

E. Pemeriksaan Penunjang
1 Pemeriksaan laboratorium 21-05-18
a HB : 10,9 g/dl
b HCT : 34,3 %
c WBC : 9.420/mm3
d PLT : 547.000/mm3
e MCV : 74,9 %
f MCH : 23,8%
g MCHC : 31,8 %
h GDS : 124 mg%

2 Pemeiksaan Radiologi (21-05-18)


a. Foto Polos Vertebra
11

Expertise :
X Foto Vertebra proyeksi lateral, terdapat gambaran
peradangan pada discus intervertebra L3-L4, pembengkakan
jaringan lunak disekitarnya, ketinggian discus yang berkurang,
pembentukan tulang yang reaktif sehingga mengakibatkan erosi
pada endplate corpus vertebrae, reabsorbsi di bagian korteks,
berupa : osteopenia, kerusakan endplate, dan defek subperiosteal.

b. CT Scan Vertebra

Expertise :
Foto CT Scan vertebra proyeksi coronal, terdapat gambaran
penyempitan discus yang disertai erosi pada endplate corpus
vertebra yang berdekatan.
Foto CT Scan Vertebra proyeksi aksial, terdapat gambaran
pelebaran paraspinal.
12

c. MRI Thorakolumbal

Expertise :
Foto MRI vertebra, potongan sagital menunjukkan infeksi
subligamen pada T11-L3 dengan spondilitis dan abses epidural
posterior yang meluas melalui ruang epidural L1. Tampak massa
pada paraspinal yang luas, serta terdapat kerusakan pada discus
intervertebralis T12- L3 pada titik paraspinal.
Foto MRI vertebra, potongan aksial menunjukkan
perubahan erosif yang terletak di sudut anterolateral dari badan
vertebra L1, dan adanya infeksi subligamen pada Vertebra L1
dengan spondilitis dan abses epidural posterior yang meluas
melalui ruang epidural.

Kesan : Tampak gambaran spondilitis TB pada T11- L3 dengan


infeksi subligamen dan abses epidural posterior.

3 Pemeriksaan Laboratorium 22-05-18


a HB : 11,1 g/dl
b HCT : 33,3 %
c WBC : 6.710/mm3
d PLT : 462.000/mm3
e MCV : 74,8 %
f MCH : 24,9%
13

g MCHC : 33,3 %
h CRP : (+) titer 24 mg/ml
i Mantoux test : 18 mm

4 Pemeriksaan Laboratorium 25 dan 26-05-18


a BTA : tidak ditemukan
b Kokus gram positif (+)
c Basil gram negatif (+)

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Spondylitis Tuberculosis

Foto MRI vertebra, potongan sagital menunjukkan infeksi


subligamen pada T11-L3 dengan spondilitis dan abses epidural
posterior yang meluas melalui ruang epidural L1. Tampak massa
pada paraspinal yang luas, serta terdapat kerusakan pada discus
intervertebralis T12- L3 pada titik paraspinal.

Foto MRI vertebra, potongan aksial menunjukkan perubahan erosif


yang terletak di sudut anterolateral dari badan vertebra L1, dan
adanya infeksi subligamen pada Vertebra L1 dengan spondilitis dan
14

abses epidural posterior yang meluas melalui ruang epidural.

Kesan : Tampak gambaran spondilitis TB pada T11- L3 dengan


infeksi subligamen dan abses epidural posterior.
2. Pyogenic Spondylitis

Foto MRI vertebra, potongan sagital (A) menunjukkan penurunan


intensitas sinyal pada corpus vertebra L1- L2 dan terdapat
kerusakan diskus intervertebralis antara L1- L2. (B) menunjukan
gambaran corpus vertebra L1 –L2 isointens dengan tulang vertebra
disekitarnya. Namun terdapat abses pada discus intervertebralis L1
dan L2.

Foto MRI vertebra, potongan aksial menunjukkan adanya abses


paraspinal dengan dinding yang tebal dan tidak teratur dan ada
penonjolan ligament longitudinale posterior.

Kesan : Tampak gambaran spondilitis pyogenik dengan abses


paraspinal pada Vertebra Lumbalis 1
15

3. Ankylosing Spondylitis

X Foto Vertebra Proyeksi AP, posisi Erect, (A) Terlihat gambaran


ankylosis spinal dengan frakture columna vertebra T11 hingga ke
posterior (Andersson lesion). (B) Pada proyeksi lateral, terdapat
frakture columna vertebra T11 hingga ke posterior (Andersson
lesion).

Foto MRI vertebra, potongan sagital terdapat subchondral sklerosis,


lesi Romanus (erosi endplate) pada endplate superior T11 dan
endplate inferior T12 (panah putih), dengan tanpa pembengkakan
paraspinal, terdapat pula gambaran thoracix kyphosis (panah hitam)
karena adanya beban axial yang berat sehingga menimbulkan
pembengkakan.

Kesan : Terdapat ankylosis spondilitis pada Vertebrae T11- T12


4. Acute Cartilaginous Nodes
16

Foto MRI Vertebrae potongan sagital ditemukan adanya herniasi


pada discus intervertebra L3, kerusakan pada endplate corpus
vertebrae L3, tidak ada intensitas abnormal pada discuss.

Foto MRI Vertebrae potongan aksial ditemukan terdapat intensitas


sinyal tinggi berbentuk cincin konsentrik mengelilingi nodus
cartilago.

Kesan : Terdapat Acute Cartilaginous Nodes pada Vertebrae L3


5. SAPHO Syndrome
(synovitis, acne, pustulosis, hyperostosis, and steitis)
17

Foto MRI Verebrae potongan sagital, terlihat gambaran sumsum


tulang focal yang tidak normal pada L3, pembengkakan jaringan
lunak para vertebra, terdapat erosi endplate vertebra L5 anterior
yang tidak rata, dan penyempitan discus. Terdapat pula peningkatan
intensitas pada kontras T2w dan T1w.

SAPHO Syndrome dapat menjadi spondilitis apabila terdapat,


a. Kerusakan erosif pada corpus vertebra anterior
b. Terdapat kerusakan pada beberapa tingkat vertebra

Kesan : Terdapat gambaran SAPHO Syndrome pada L3- L5 dengan


erosi endplate vertebra anterior.
6. Neurophatic Spine

Foto MRI Verebrae potongan sagital, terlihat gambaran discus


thoracolumbar lebih sempit daripada discus pada verebra lumbar,
kerusakan yang merusak struktur tulang vertebra sehingga dapat
mengakibatkan fraktur yang diikuti dengan sklerosis tulang,
osteofit, dan kehilangan discus intervertebralis pada L2- L3,

Neuropati Vertebra dapat menjadi Spondilitis apabila terdapat,


a. Fenomena vacum yaitu akumulasi gas (biasanya nitrogen)
18

pada discus intervertebralis dan sekitarnya.


b. Melibatkan Facet joint
c. Penurunan intensitas sinyal pada dicuss atau sumsum tulang
belakang pada kontras T2w.

Kesan : Terdapat neuropati vertebra pada L2-L3


7. Modic type 1 Degeneration

Foto MRI Verebrae potongan sagital, terlihat gambaran kerusakan


erosif pada endplate corpus vertebra L4- L5, fenomena vacum, dan
terdapat paraspinal dan epidural abses.

Kesan : Terdapat gambaran Modic type 1 Degeneration pada L4-


L5.

G. DIAGNOSIS
- Spondilitis TB
- Gagal tumbuh dengan gizi buruk

H. RENCANA AWAL
1. Terapi : OAT 2 HRZE/ 10 HR (mulai tanggal 25 Mei 2018)
a Rifampicin 1 x 200 mg
b INH 1 x 150 mg
19

c Pirazinamid 1 x 500 mg
d Ethambutol 1 x 300 mg
2. Tatalaksana Gizi Buruk :
a. Mencegah hipoglikemia : beri makanan awa F75 150 cc per dua jam
b. Mencegah hipotermia :
1) Letakkan tempat tidur di tempat yang hangat, bebas angin dan
anak selalu tertutup pakaian
2) Ganti pakaian dan seprai yang basah
3) Hindarkan dari suasana dingin misalnya setelah mandi
4) Beri F75 150 cc per dua jam
c. Mencegah dehidrasi karena diare : beri F75 sesegera mungkin dan
ReSoMal sebanyak 100-200 ml setiap kali buang air besar cair (jika
diare).
d. Mencegah gangguan keseimbangan elektrolit.
e. Berikan antibiotik spektrum luas.
f. Defisiensi zat gizi mikro
g. Pemberian makanan awal : berikan F75 150 cc per dua jam.
h. Tumbuh kejar : lakukan transisi dari F75 menjadi F100 dengan
jumlah yang sama selama dua hari berturut-turut.
i. Stimulasi sensorik dan emosional :
1) Ungkapan kasih sayang
2) Lingkungan yang ceria
3) Aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat
4) Keterlibatan ibu sesering mungkin misalnya menghibur, memberi
makan, dan bermain.
3. Tatalaksana gagal tumbuh : intervensi nutrisi dan mengubah pola makan

I. Monitoring dan Evaluasi :


1. Monitoring setiap bulan mengenai perkembangan hasil terapi OAT dan
efek samping obat
20

2. Evaluasi hasil pengobatan OAT dilakukan setelah dua bulan terapi :


perbaikan klinis dan peningkatan berat badan.
3. Penilaian kenaikan berat badan pada fase rehabilitasi dengan kriteria :
baik, jika kenaikan berat badan >10 g/kg/hari ; cukup, jika kenaikan
berat badan 5-10 g/kg/hari ; dan kurang, jika kenaikan berat badan <5
g/kg/hari

J. KIE pada ibu pasien :


1. Mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan dan memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur.
2. Memberikan asupan gizi yang cukup bagi pasien.
3. Pasien tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB anak tidak
menular kepada orang di sekitarnya.
4. Memeriksakan kakek pasien dan semua orang (nenek, ibu, paman, dan
orang-orang di sekitar tempat tinggal pasien) yang pernah kontak
dengan kakek pasien yang menderita batuk lama ke puskesmas
terdekat.

K. Follow up

Tanggal S O A P
26 Mei Demam (-), KU : baik Spondilitis Lanjut OAT
2018 batuk (-), Kes : CM TB + gagal  Rifampici
sesak (-), BB : 15 kg tumbuh n 1 x 200
mual/muntah T : 36,0 ⁰C dengan gizi mg
(-), nafsu RR : 24 x/m buruk  INH 1 x
makan baik, N : 92 x/m 150 mg
BAK/BAB K/L normal,  Pirazinami
(+) normal an -/-, ikt -/- d 1 x 500
, mg
21

pembesaran  Ethambut
KGB (+) ol 1 x 300
Thorak : mg
pergerakan
dada BPL
simetris,
retraksi (-),
ves +/+ rh -
/- wh -/-,
s1s2 tunggal
reg M (-) G
(-)
Abdomen :
dist (-),
bekas
scrofuloder
ma (+), BU
(+), NT (-),
H/L/R ttb
Vertebrae :
gibbus (+)
V.L 3-4
Ekstremitas
akral hangat
+/+, edema -
/-
22

L. Prognosis
Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan
neurologis atau tidak. Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya
berupa kelumpuhan atau neuritis perifer, maka tindakan bedah segera
dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka
tindakan bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah
umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak
respons terhadap OAT.2
Prognosis TB skeletal sangat bergantung pada derajat kerusakan
sendi atau tulang. Pada kelainan lain yang minimal umumnya dapat
kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Vertebra
Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh
ligamentum dan tulang rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri
dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus
fibrokartilago yang disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh
ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum longitudinalis
posterior. Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna
vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat
dimana banyak terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi sebagai
sendi dan shock absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi
trauma. Setiap ruas tulang belakang dapat bergerak satu dengan yang lain
oleh karena adanya dua sendi di posterolateral dan diskus intervertebralis
di anterior. Pada pandangan dari samping, pilar tulang belakang
membentuk lengkungan atau lordosis di daerah servikal dan lumbal.
Keseluruhan vertebra maupun masing-masing tulang vertebra berikut
diskus intervertebralisnya merupakan satu kesatuan yang kokoh dengan
diskus yang memungkinkan gerakan antar korpus ruas tulang belakang.
Lingkup gerak sendi pada vertebra servikal adalah yang terbesar. Vertebra
torakal berlingkup gerak sedikit karena adanya tulang rusuk yang
membentuk toraks, sedangkan vertebra lumbal mempunyai ruang lingkup
gerak yang lebih besar dari torakal tetapi makin ke bawah lingkup
geraknya semakin kecil.

Vertebra thorakalis yang tipikal mempunyai ciri sebagai berikut.


1. Corpus berukuran besar dan berbentuk jantung.
2. Foramen vertebrale kecil dan bulat.

23
`24

3. Processus spinosus panjang dan miring ke bawah.


4. Fovea costalis terdapat pada sisi-sisi corpus untuk bersendi dengan
capitulum costae.
5. Fovea costalis terdapat pada processus transversalis untuk bersendi
dengan tuberculum costae.
6. Processus articularis superior mempunyai fascies yang menghadap
ke belakang dan lateral, sedangkan fascies pada procesus
articularis inferior menghadap ke depan dan medial.

Gambar 2.1. Vertebra Thoracica X, tampak kranial

Vertebra lumbalis yang tipikal mempunyai ciri sebagai berikut.


1. Corpus besar dan berbentuk ginjal.
2. Pediculus kuat dan mengarah ke belakang.
3. Lamina tebal.
4. Foramina vertebrale berbentuk segitiga.
5. Processus transversum panjang dan langsing.
6. Processus spinosus pendek, rata, berbentuk segiempat, dan
mengarah ke belakang.
7. Fascies articularis processus articularis superior menghadap ke
medial dan yang inferior menghadap ke lateral.
`25

Gambar 2.2. Vertebra Lumbalis IV, tampak kranial

B. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang
biasanya merupakan lokasi infeksi primer.1
Tuberkulosis sistem skeletal merupakan suatu bentuk penyakit TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan/atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1-7% dari seluruh TB, yang mana TB sendi tulang belakang
merupakan kejadian tertinggi, diikuti dengan TB sendi panggul dan sendi
lutut. Umumnya TB sistem skeletal menganai satu tulang atau sendi.
Tuberkulosis pada tulang belakang dikenal sebagai spondilitis TB.2
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis
tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberculosis tulang belakang
selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus dari tempat lain dalam
tubuh. Pervical Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit
dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan
deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.3,7
`26

C. Epidemiologi
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun
2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB
bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap
tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. World Health
Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang
paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa.
Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah
15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu
5%-7%. Pada survei nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung
selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15
tahun menderita TB. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang
didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total
kasus TB. Data seluruh kasus TB anak dari tujuh rumah sakit Pusat
Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1086 kasus
TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia
terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan
16,5 %. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan
kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 1–4 tahun
0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.4
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis
tulang dan sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis
tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga
menemukan persentase yang sama dari tuberkulosis tulang dan sendi.
Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2 -10
tahun dengan perbandingan yang hamper sama antara wanita dan pria.3
`27

D. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. MTB
memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman
lebih tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis. Kuman dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan
dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es) dimana kuman
dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.5
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma
makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis
kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain
kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis .5

E. Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi
TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut
dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi
menjadi penyakit (resiko penyakit).2,5
1. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif),
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan
sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti
`28

asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien
TB dewasa aktif. 2,5
Sumber infeksi TB anak yang terpenting adalah pajanan terhadap
orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti,
bayi dari seorang ibu BTA positif memiliki resiko tinggi terinfeksi TB.
Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula
kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius. 2,5
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan
lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum
positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum
banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang
baik. 2,5
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau
orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat
jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada
beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah
kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian
berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
sputum. Dan yang ketiga adalah sedikitnya atau tidak ada produksi
sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim
menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.2,5

2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit
TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor resiko yang
pertama adalah usia. Anak yang berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko
`29

lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena


imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi,
risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan
pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi
mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB).
Resiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB
adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul
gejala yang akut. 2,5
Faktor resiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun
terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi
HIV AIDS, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan
imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang
tidak kalah penting adalah sosial ekonomi yang rendah, kepadatan
hunian, penghasilan yang kurang, pengangguran, pendidikan yang
rendah dan kurangnya dana untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
Faktor lain yang mempunyai resiko terjadinya penyakit TB adalah
virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi secara
klinis hal ini sulit dibuktikan. 2,5

F. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang
terhirup setelah melewati barier mukosa basil TB akan mencapai alveolus.
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
`30

kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil


kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus ghon
(fokus primer).2,5
Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelnjar para trakeal.
Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer.2,5
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan
terbentuknya komplek primer secara lengkap) bervariasi antara 4-8
minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah, infeksi TB primer
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.2,5
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
dapat mengalami salah satu hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara
sempurna, atau membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.2,5
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat
terjadi penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran
limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk komplek
primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk
kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut
`31

penyakit sistemik. Penyebaran hematogen sering tersamar (occult


hematogenic spread) sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh dan
biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik
terutama apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman
TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya, kuman tetap
hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi reaktivasi jika daya tahan
tubuh pejamu turun.2,5

Gambar 2.3. Alur Patogenesis Perjalanan Tuberkulosis2


`32

Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread). Kuman
TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini
berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis regional.

3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen, terbentuknya
kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat
menjadi sakit TB primer.

4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses
reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman
TB dari luar (eksogen).

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang


konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ.2

Gambar 2.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer2


`33

Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat


terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih
lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.2
Pada spondilitis TB umumnya mengenai lebih dari satu vertebrata.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial kortus
vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan
osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks
epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian
depan korpus ini akan meyebabkan terjadinya kifosis.3,8
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) meyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi
ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal,
eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di
belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke
depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses
dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus atau kavum
pleura.3,8
Abses pada vertebrata torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan mendula spinalis sehingga timbul
paraplegia.3,8
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus
psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha.
Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat
mengikuti pembuluh daerah femoralis pada trigonum skarpei atau region glutea.3,8
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu3 :
`34

1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan
pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awal


Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi desktruksi korpus vertebra
serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.

3. Stadium desktruksi lanjut


Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin),
yang terjadi 23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus invertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang taji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat
kerusakan korpus vertebrata, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis


Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan
ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.

5. Stadium deformitas residual


Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis dan gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan
vertebra yang massif di sebelah depan.
`35

G. Diagnosis
1. Manifestasi Klinis
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB
sangat bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta
interaksi diantara keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah
kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada
usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal
terjadinya infeksi.2,5
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak
spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan
lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:2

a. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas,
yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak
tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80%
kasus.
b. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1
bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan
grafik pertumbuhan.
c. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat
badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan
biasanya multipel.
e. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan,
tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama.
f. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
g. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
Secara klinis gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama
dengan dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan
lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada
`36

punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada


malam hari (night cries). Akan tetapi gejala sistemik seperti ini
biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa
pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi
yang tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu TB skeletal
lebih sering terjadi pada anak dibandingkan orang dewasa.2,3
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat
adanya abses retrofiring. Kadangkala penderita datang dengan gejala
abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, popliteal atau
bokong, adanya sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang
dengan gejala-gejala paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan
pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibbus. Manifestasi
klinis dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus.
Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang
yang sudah lanjut dan irreversible. Gejalanya dapat berupa
pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh dan sulit
membungkuk.2,3

Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas,


sehingga umumnya didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Selain
dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat pula dijumpai gejala
spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan dan nyeri pada pergerakan.
Tidak jarang hanaya gejala pembengkakan sendi saja yang dikeluhkan.
Manisfetasi klinis TB tulang seringkali ditemukan atau disadari setelah
terjadi trauma, jangan lupa untuk mengeksplorasi kemungkingan TB
tulang. 2

Gejala atau tanda pada TB sistem skeletal bergantung pada lokasi


kelainan. Kelainan pada tulang belakang disebut gibbus, menampakan
gejala benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses
tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan
`37

sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan asbes


dingin. Apabila dijumpai kelainan pada sendi panggul biasanya pasien
berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Kelainan pada sendi lutut dapat
berupa pembengkakan di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan,
dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis. 2

H. Pemeriksaan Penunjang
Pada TB kleletal, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
pemeriksaaan penunjang untuk TB pada anak secara umum dan
pemeriksaan radiologis pada lokasi yang dicurigai seperti tulang belakang,
sendi panggul dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya terdapat
gambaran osteoporosis regional periartikuler dan pembengkakan jaringan
lunak sekitar sendi, destruksi tulang rawan sendi, dan lesi osteolitik pada
daerah epifisis. Untuk infeksi TB sendi, gambaran yang khas adalah
osteoporosis periartikuler, destruksi tulang rawan sekitar sendi, dan
penyempitan celah. 2
Pada kelainan TB tulang belakang, terjadi destruksi tulang pada
daerah korpus, serta penyempitan diskus intervertebralis. Pemeriksaan lain
yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan
ulatrasonografi (USG). Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel,
penurunan glukosa, dan peningkatan protein, atau bahkan dapat ditemukan
BTA positif (sekitar 15-20% kasus). Pemeriksaan biakan M. tuberculosis
dapat dilakukan, sedangkan pada pemeriksaan hispatologis dapat dijumpai
gambaran perkijuan (granuloma TB). 2

I. Tatalaksana
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. 2
`38

1. Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis
(OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat
efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang
sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat
ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke
dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan
pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi
simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 10-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak
stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak
di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme
melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih
cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB
yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI)
yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta,
tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,

2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel,
dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman
semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak
tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk
oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,
`39

dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan


dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari
dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan
isoniazid.2
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid.
Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan
warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye
kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas
(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar
transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi
maksimal 10mg/kgBB/hari. 2

3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada
intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna.
Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 30-40 mg/kgBB/hari.
Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan
pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang
masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak.
Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami
efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia,
tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan
iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada
anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti
isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,
`40

4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi
toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik,
tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi
dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat
ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-25 mg/kgBB/hari. Kadar serum puncak 5
µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250
mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.2

5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap
kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak
efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin
jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya
penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan
MDR-TB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis
15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50
µg/ml dalam waktu 1-2 jam.2
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura
dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini
adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid
atau jika anak menderita TB berat.2
`41

Tabel. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5,9

Nama Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping


Obat (mg/kgBB/hari) (mg/hari)

Isonia 10-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,


zid hipersensitivitas

Rifam 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi


pisin* kulit, hepatitis,
* trombositopenia,
peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan

Pirazi 30-40 2000 Toksisitas hati, atralgia,


namid gastrointestinal

Etam 15-25 1250 Neuritis optik, ketajaman


butol penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau,
penyempitan lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal

Strept 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik


omisin

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi


10 mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik
melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
`42

Tatalaksana Spondilitis TB

Tatalaksana TB sistem skeletal adalah dengan empat atau lebih


OAT, yaitu rifampisin, isoniazid, prazinamid dan etambutol. Rifampisin
dan isoniazid diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid dan
etambutol selama 2 bulan pertama. Selain medikamentosa, pemberian
terapi suportif juga diperlukan.2,5,6

Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan


neurologis atau tidak. Apabila ditemukan kelainan neurologis misalnya
berupa kelumpuhan atau neuritis perifer, maka tindakan bedah segera
dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka
tindakan bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah
umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan
tidak respons terhadap OAT.2,5,6

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama


bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif
masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat
cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.3
1. Abses dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena
dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.
Pasa abses yang besar dilakukan drainase bedah.3
Ada tiga cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu3:
a. Debrideman fokal
b. Kosto-transveresektomi
c. Debrideman fokal radikal yang disertai bone bone graft di bagian
depan
`43

2. Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu3:
a. Pengobatan dengan kemotrapi semata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasi radikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

3. Indikasi operasi
Indikasi operasi yaitu3:
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia
atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum
tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa
diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses
secara terbuka dan sekaligus debridement serta bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi
ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekan
langsung pada medula spinalis.

4. Operasi Kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat.
Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-
anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi
radikal3.

J. Prognosis
Pada TB tulang belakang harus diperhatikan adalah kelainan
neurologis atau tidak. Apabila itemukan kelainan neurologis misalnya
berupa kelumpuhan atau neuritis perifer, maka tindakan bedah segera
dilakukan, sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka
`44

tindakan bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah


umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak
respons terhadap OAT.2
Prognosis TB skeletal sangat bergantung pada derajat kerusakan
sendi atau tulang. Pada kelainan lain yang minimal umumnya dapat
kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.2
BAB IV KESIMPULAN
BAB IV

KESIMPULAN

Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah


berkurang pada beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan
distribusi pelayanan kesehatan dan perkembangan regimen OAT yang efektif,
penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah kesehatan di negara- negara yang
belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi tuberkulosa sistemik
mungkin dapat tertunda.

Obat yang tepat biasanya bersifat kuratif, akan tetapi morbiditas yang
berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri, dan gejala sisa neurologis dapat
dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja
sama yang baik antara pasien, keluarga, dan tim kesehatan.

45
`46

DAFTAR PUSTAKA

Pudjiadi, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak


Indonesia Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Rahajoe, dkk. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi Ke-2


dengan revisi. Jakarta : UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Jakarta : PT


Yarsif Watampone.

Kartasasmita, Cissy. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol. 11,


No. 2, Agustus 2009.

Rahajoe, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI.

Tim Adaptasi Indonesia. 2008. Buku Saku Pedoman Pelayanan Kesehatan


Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta : WHO Indonesia dan Depkes RI.

Sharivi dan Alavi. 2010. Tuberculous spondylitis: Risk factors


andclinical/paraclinical aspects in the south west of Iran. Journal of
Infection and Public Health (2010) 3, 196—200.

Moesbar, Nazar. 2006. Infeksi Tuberculosa Pada Tulang Belakang. Majalah


Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3. September 2006.

WHO. 2010. Rapid Advice Treatment Of Tuberculosis In Children.


Switzerland : WHO Press. Available from :
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/ (Accessed 28th May 2018)

Anda mungkin juga menyukai