Disusun Oleh:
LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh:
Zebulan Chandra Kirana
P07124519030
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Bidan
A. Dismenore
Dismenore atau nyeri haid merupakan gejala yang paling sering
dikeluhkan oleh wanita usia reproduktif. Nyeri atau rasa sakit yang siklik
bersamaan dengan menstruasi ini sering dirasakan seperti rasa kram pada perut
dan dapat disertai dengan rasa sakit yang menjalar ke punggung, dengan rasa mual
dan muntah, sakit kepala ataupun diare. Oleh karena itu, istilah dismenore hanya
dipakai jika nyeri haid tersebut demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita
untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari untuk
beberapa jam atau beberapa hari (Winknjosastro, 2007).
Dismenore (dysmenorrhoea) berasal dari bahasa Yunani, diman “dys”
bearti gangguan/nyeri hebat/abnormalitas, “meno” berati bulan dan “rrhea” berarti
aliran, sehingga dismenore (dysmenorrhoea) dapat diartikan dengan gangguan
aliran darah haid. Kejadian dismenore cukup tinggi diseluruh dunia. Menurut data
WHO, rata-rata insidensi terjadinya dismenore pada wanita muda antara 16,8 –
81%. Rata-rata di negara-negara Eropa dismenore terjadi pada 45 -97% wanita.
Dengan prevalensi terendah di Bulgaria (8,8%) dan tertinggi mencapai 94% di
negara Finlandia (Latthe, 2006). Dalam suatu data review Di Amerika Serikat,
terjadi kerugian ekonomi hingga mencapai 2 milliar dolar Amerika dan
berkurangnya produktifitas pekerjaan akibat hilangnya jam kerja sampai 600 juta
jam kerja hilang yang diakibat oleh dismenore (Zhu X, et al. 2009). Menurut
Singh (2008), di India ditemukan diantara wanita mahasiswa 31,67% mengalami
dismenore dan 8,68% diantaranya tidak dapat mengikuti perkuliahan akibat
gangguan menstruasi ini.
Menurut Ernawati (2010), di Semarang yang dilakukan survey pada
mahasiswa ditemukan kejadian dismenore ringan sebanyak 18%, dismenore
sedang 62% dan dismenore berat 20%. Dimana hal ini akan dapat mengganggu
aktifitas dan kegiatan belajar sehingga akan dapat mengganggu prestasi belajar
mahasiswa. Hal ini dibuktikan dalam suatu penelitian, dimana 71% dari 100
wanita usia 15 – 30 tahun yang mengalami dismenore, 5,6% diantaranya tidak
dapat masuk sekolah atau tidak dapat bekerja, serta ditemukan 59,2% mengalami
kemunduran produktifitas kerja yang diakibatkan oleh dismenore (Novia, 2006).
B. Klasifikasi
Dismenore dapat dibagi atas 2 bagian berdasarkan kelainan ginekologi,
antara lain:
a. Dismenore Primer.
Merupakan nyeri haid yang tidak terdapat hubungan dengan kelaiann
ginekologi, atau kelainan secara anatomik. Kejadian dismenore primer ini
tidak berhubungan dengan umur, ras maupun status ekonomi. Namun derajat
nyeri yang dirasakan serta durasi mempunyai hubungan dengan usia saat
menarche, lamanya menstruasi, merokok dan adanya peningkatan Index
Massa Tubuh. Sebaliknya gejala dismenore primer ini semakin berkurang jika
dikaitkan dengan jumlah paritas.
b. Dismenore Sekunder.
Nyeri haid yang disebabkan oleh kelainan ginekologi atau kelainan secara
anatomi. Gejala dismenore sekunder ini dapat ditemukan pada wanita dengan
endometriosis, adenomiosis, obstruksi pada saluran genitaia, dan lain-lain.
Sehingga pada wanita dengan dismenore sekunder ini juga dapat ditemukan
dengan komplikasi lain seperti dyspareunia, dysuria, perdarahan uterus
abnormal, infertilitas dan lain-lain.
C. Patofisiologi
Sebelumnya banyak faktor yang dikaitkan dengan kejadian dismenore,
seperti keadaan emosional/psikis, adanya obstruksi kanalis servikalis, ketidak
seimbangan endokrin, dan alergi. Namun sekarang timbulnya dismenore sering
dikaitkan dengan adanya peningkatan kadar prostaglandin. Dimana diketahui
bahwa prostaglandin mempunyai efek yang dapat meningkatkan kontraktilitas
dari otot uterus. Dan juga prostaglandin mempunyai efek vasokontriksi yang pada
akhirnya dapat menyebabkan iskemi pada otot uterus yang dapat menimbulkan
rasa nyeri.
Konsentrasi prostaglandin selama siklus haid terjadi peningkatan yang
bermakna. Ditemukan kadar PGE2 dan PGF2α sangat tinggi dalam endometrium,
miometrium dan darah haid wanita yang menderita nyeri haid primer (Mayo,
1997). Wanita dengan dismenore berat mempunyai kadar prostaglandin yang
tinggi selama masa siklus haid, konsentrasi tinggi ini terjadi selama 2 hari dari
fase menstruasi (Cunningham, 2008).
D. Diagnosis
Pada kebanyakan kasus wanita dengan gejala yang khas seperti rasa nyeri
pada perut bagian bawah yang muncul bersamaan saat haid dan menghilang
dengan pemberian terapi empirik dapat diduga dengan diagnosa dismenore primer
(Cunningham, 2008). Menurut Lefebvre (2005), dikatakan bahwa dismenore
primer ditandai dengan adanya rasa nyeri pada daerah supra pubik yang terjadi
beberapa jam sebelum dan sesudah keluarnya darah haid, namun terkadang rasa
nyeri akan dapat dirasakan selama dua sampai tiga hari haid. Dapat disertai
dengan adanya keluhan-keluhan lain seperti diare, mual dan muntah, rasa lemah,
sakit kepala, pusing, bahkan dapat juga dijumpai demam hingga hilangnya
kesadaran.
Keluhan rasa nyeri pada saat haid dengan adanya temuan massa pada
pelvik, vaginal discharge yang abnormal, daerah pelvik yang tegang, wanita
dengan risiko terhadap penyakit radang panggul, adanya riwayat seksual aktif
dengan risiko penyakit menular seksual sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut seperti skrining untuk adanya penyakit infeksi menular, pemeriksaan
ultrasonografi untuk melihat kelainan patologi pada pelvik dapat mengarahkan
kepada diagnosa dismenore sekunder. Kelainan seperti endometriosis,
adenomiosis sering dikaitkan dengan keluhan nyeri haid yang berlebihan.
Rasa nyeri dapat bersifat individual dan subjektif sehingga tidak ada
parameter yang dapat digunakan untuk menilai rasa nyeri secara. Beberapa
metode dapat digunakan dalam menilai rasa nyeri seperti unidimensi dan
multidimensi. Skala Unidimensi merupakan metode sederhana dengan
menggunakan satu variabel untuk menilai intensitas rasa nyeri. Metode
unidimensi yang biasa dipakai antara lain Categorical Scale, Numerical Ratting
Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS). Metode sederhana ini biasanya
digunakan secara efektik di rumah sakit dan klinik.
Metode Categorical Scales berisi beberapa deskripsi secara verbal atau
visual mengenai nyeri dari yang paling ringan sampai paling berat. Yang termasuk
dari Categorical Scale ini antara lain Verbal Descriptor Scale (VDS), Face Pain
Scale (FPS) yang menunjukkan gambaran perubahan ekspresi wajah terhadap
sensasi rasa nyeri. Sedangkan metode NRS berisi tentang serial angka dari 0
sampai 10 atau 100, dimana pada awal angka diberi label tidak nyeri dan akhir
angka sangat nyeri. Pasien akan memilih kriteria nyeri yang sesuai dengan
intensitas nyeri yang meraka rasakan. Sedangkan metode VAS berisi garis
horizontal atau vertikal sepanjang 10 cm dengan label pada awal 25 garis tidak
nyeri dan pada akhir garis sangat nyeri. Pasien akan memberi tanda pada garis
tersebut sesuai tingkat nyeri yang mereka rasakan. Panjangnya jarak dari awal
garis sampai tanda yang diberikan oleh pasien merupakan indeks derajat nyeri
(Berry dkk, 2006).
E. Penatalaksanaan
Penanganan dismenore dapat dibagi dalam tiga bagian besar:
1. Farmakologis
Yaitu penanganan dismenore dengan pemberian obat-obatan, suplemen.
Obat-obatan yang paling sering digunakan antara lain Non Steroid Anti
Inflamation Drug (NSAID) yang bekerja dengan menghambat aktivitas enzim
siklooksigenase sehingga produksi dari prostaglandin berkurang. COX –II
Inhibitor yang juga bekerja selektif terhadap penghambatan biosintesis
prostaglandin juga dapat digunakan untuk menangani nyeri haid. Pemakain
kontrasepsi hormonal dilaporkan juga dapat mengurangi nyeri haid.
Pemberian Vitamin B1, Magnesium, Vitamin E, juga menunjukkan efek yang
dapat mengurangi nyeri haid (Dawood, 2006; Lefebvre, 2005; Cunningham,
2008)
2. Non-Farmakologis
Penanganan non farmakologi yang dapat digunakan pada wanita yang
menderita dismenore antara lain: TENS (TranscutaneousElectrical Nerve
Stimulation), Akupunktur, pemakaian herbal, relaksasi, terapi panas, senam
(Smith, 2009; Istiqomah, 2009; Lefebvre, 2005).
3. Pembedahan
Terapi pembedahan pada penderita dismenore merupakan pilihan terakhir jika
dengan terapi farmakologis dan nonfarmakologis tidak berhasil sehingga
diperlukannya tindakan pembedahan dalam menangani dismenore. Terapi
pembedahan yang dapat dilakukan antara lain: laparoskopi (Laparoscopic
Uterine Nerve Ablation), histerektomi, presakral neurektomi (Dawood, 2006;
Cunningham, 2008; Lefebvre, 2005).