Anda di halaman 1dari 38

Referat

Penggunaan Klinis Dexmedetomidine dalam Anestesi Sedasi

Disusun oleh :
Julius Santoso
04102781923006

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan tugas MKDU periode Juli 2019

Pembimbing: Prof. Dr. dr. HMT Kamaludin, SpFK, DAFK

Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran


Universitas Sriwijaya
2019

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Penggunaan Klinis
Dexmedetomidine dalam anestesi sedasi”
Referat ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan studi Mata Kuliah
Dasar Umum bidang farmakologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. HMT Kamaludin,
SpFK, DAFK selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
referat ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan
penulis. Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, 4 September 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dexmedetomidine
2.1.1 Mekanisme Kerja......................................................................2
2.1.2 Farmakokinetik .........................................................................3
2.1.3 Farmakodinamik .......................................................................5
2.1.4 Dosis .........................................................................................5
2.1.5 Efek Samping dan Interaksi Obat .............................................5
2.2 Sedasi
2.2.1 Definisi .....................................................................................2
2.2.2 Pengukuran Sedasi....................................................................2
2.2.3 Dexmedetomidine sebagai Premedikasi Sedasi .......................2
2.2.4 Dexmedetomidine sebagai Sedasi prosedur Invasif .................2
2.2.5 Dexmedetomidine sebagai Sedasi prosedur non-invasif ..........2
BAB III Kesimpulan ..............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................13

1
BAB I
PENDAHULUAN

Dexmedetomidine merupakan obat parenteral agonis selektif alfa-2 dengan


properti sedatif. Dexmedetomidine lebih selektif daripada clonidine dalam hal
agonis alfa-2 reseptor. Pada dosis tinggi, dexmedetomidine kehilangan
selektivitasnya dan menstimulasi reseptor adrenergik alfa-1 juga.1
Ketertarikan akan peranan agonis alpha-2-adrenoreseptor pada bidang
anestesia dan perawatan intensif semakin berkembang. Obat-obatan ini
menunjukkan efek yang cakupannya luas meliputi sedasi, efek hemat obat
anestesi, analgesia, dan memiliki efek simpatolitik. Clonidine bersifat long acting
dan penggunaannya sering berhubungan dengan kejadian rebound hyptertension
yang seiring dengan putusnya penggunaan obat. Sebagian besar penelitian terbaru
mendukung profilnya baik dalam bidang anestesia dan perawatan intensif.
Dexmedetomidine akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang penting dalam bidang
anastesia sedasi demi keperluan operasi, endoskopi, dan prosedur imaging.
Meskipun agonis α2-adrenoseptor mengurangi insidensi cardiac event posoperatif
pada pasien yang menjalani operasi bedah vaskular, hipotensi tak terkontrol dan
bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang terganggu
atau pasien dengan heart block.
Pada referat ini, akan dibahas beberapa penelitian terkini tentang
dexmedetomidine yang memiliki efek pada bidang anestesi sedasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEXMEDETOMIDINE SEBAGAI OBAT ANESTESI UMUM

“Dexmedetomidine Melemahkan Respon Simpatoadrenal untuk Intubasi


Trakeal dan Mengurangi Kebutuhan Obat Anestesia Perioperasi”

Dexmedetomidine merupakan agonis α-2 adrenoreseptor yang memiliki


efek simpatolitik, sedatif, hemat obat anestesia dan bersifat menstabilkan
hemodinamik tanpa penurunan fungsi respiratori yang signifikan.

PENDAHULUAN
Clonidine, agonis α-2, telah dikenal pada anastesia klinik untuk efek
simpatolitik, sedatif, hemat obat anestesia dan bersifat menstabilkan
hemodinamik. Dexmedetomidine, secara farmakologis d-isomer aktif dari
medetomidine (4,[5]-[1-(2,3-dimethylphenyl)-ethyl]) imidazole merupakan agonis
α-2 adrenoreseptor selektif dan sangat spesifik. Rasio selektifitas ikatan α-2:α-1
dexmedetomidine adalah 1620:1 dibandingkan 220:1 pada clonidine. Percobaan
pada hewan menunjukkan bahwa terdapat efek anestesia yang menonjol. Sebuah
studi pada manusia menunjukkan clonidine memiliki efek analgesik, sedatif,
simpatolitik, dan juga efek pada kardiovaskular. Pada studi terbaru,
dexmedetomidine secara klnik menunjukkan efek pada keperluan anestesia,
respon hemodinamik yang ditimbulkan anastesi, dan operasi pada pasien. Telah
diteliti juga bahwa infusi intraoperatif dexmedetomidine yang dikombinasikan
dengan obat anestesia inhalasi menunjukkan kepuasan pada kondisi intraoperatif
tanpa efek buruk pada hemodinamik serta dapat menurunkan agitasi emergensi
pada anak-anak. Dexmedetomidine semakin banyak digunakan sebagai sedatif
untuk monitored anaesthesia care (MAC) karena sifat analgesiknya, “sedasi yang
kooperatif”, dan tidak menimbulkan penurunan fungsi respiratori.

2
Dexmedetomidine juga dieksplor sebagai obat noninvasif yang melalui rute
intranasal.
Studi ini dilakukan untuk menilai efikasi dan keamanan dari
dexmedetomidine dalam melemahkan respon simpatoadrenal untuk intubasi
trakeal dan untuk menganalisis pengurangan kebutuhan obat anestesia
intraoperatif.

METODE
Setelah mendapatkan izin dari institusi komite etik, sebuah studi acak dan
terkontrol dirumuskan. Populasi studi membandingkan 60 pasien dengan ASA I
dan II, berusia 18-65 tahun, dijadwalkan untuk menjalani operasi elektif dalam
durasi 3 jam atau lebih. Penulisan inform konsen dilakukan pada setiap pasien.
Wanita hamil dan menyusui, pasien dengan obesitas yang buruk, heart block, dan
pasien hipertensi pada ẞ bloker diekslusi dari studi. Pasien dengan diabetes dan
penyakit ginjal tidak dimasukkan ke dalam studi. Pasien secara acak dibagi
menjadi dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari 30 pasien, dengan
menggunakan metode undi. Tidak satupun pasien yang berada pada terapi obat
signifikan secara preoperatif.
Pengelompokan pasien adalah sebagai berikut:
Kelompok C : kelompok kontrol: isoflurane-opioid-anestesi saline.
Kelompok D : kelompok dexmedetomidine : isoflurane-opioid-anastesi
dexmedetomidine.
Seluruh pasien dipremedikasi dengan injeksi glycopyrrolate 0,2 mg
intramuskular, 20 menit sebelum induksi anestesia. Ketika masuk ke ruang
operasi, frekuensi nadi pasien, tekanan darah, saturasi oksigen (SpO2), dan laju
respirasi dicatat selama 5 menit. Kanula intravena yang berukuran besar
dimasukkan untuk pemberian obat dan cairan. Seluruh pasien kelompok D
menerima injeksi dexmedetomidine dengan dosis 1μg/kg dalam periode 10 menit
sebelum induksi anastesia melalui pompa infusi. Selama infusi, frekuensi nadi,
tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, laju respirasi, saturasi oksigen, dan

3
skor sedasi dicatat pada interval 5 menit dan pada 10 menit (akhir dari infusi).
Seluruh pasien di kelompok C mendapatkan saline melalui pompa infusi.
Semua pasien mendapatkan injeksi ondansetron 4 mg, injeksi fentanyl 1
μg/kg, dan injeksi midazolam 1 mg intravena (IV), sebelum induksi anestesia.
Lalu, injeksi thipentone yang cukup untuk melumpuhkan refleks bulu mata
diinjeksi setelah injeksi vecuronium 0,1 mg/kg untuk memudahkan laringoskopi
dan intubasi trakeal.
Paru-paru diventilasi dengan sungkup selama minimal 3 menit
menggunakan 100% oksigen. Laringoskopi dilakukan dengan menggunakan
laringoskop Macintosh dan trakea diintubasi menggunakan endotracheal tube
dengan ukuran yang sesuai. Anestesia dipertahankan dengan N2O dalam O2
(60:40), isoflurane, injeksi fentanyl, dan injeksi vecuronium. Isoflurane digunakan
dalam konsentrasi terendah untuk menjaga tekanan darah dan frekuensi nadi tetap
berada dalam 20% batas nilai preoperatif. Konsentrasi isoflurane inhalasi
disesuaikan pada setiap 0,2% jika dibutuhkan untuk menjaga parameter
hemodinamik untuk nilai yang dapat diterima. Fentanyl dalam kenaikan 0,4 μg/kg
diberikan ketika konsentrasi inspiratori isoflunare melebihi 1%. Pada kedua
kelompok, penambahan adjuvan disediakan pada injeksi natrium diklofenak atau
injeksi propofol intravena setelah injeksi fentanyl melebihi 2 μg/kg. Infusi
dexmedetomidine dilanjutkan setalah intubasi dengan dosis 0,2-0,7 μg/kg/jam
untuk menjaga parameter hemodinamik dalam batas yang masih dapat diterima.
Demikian pula, isoflurance diakhiri saat kulit mulai menutup dan N2O dihentukan
setelah penutupan kulit.
Pada akhir anestesia, blokade neuromuskular dihilangkan dengan injeksi
neostigmine 0,04 mg/kg dan injeksi glycopyrrolate 0,02 mg/kg intravena. Pasien
diekstubasi ketika respirasi sudah sufisien dan pasien mampu untuk melaksanakan
perintah sederhana.

4
Parameter yang dipelajari
1. Skor sedasi pada 5 menit dan 10 menit setelah pemberian dosis awal dari
dexmedetomidine pada grup D berdasarkan skor sedasi Ramsay.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik SpO2 pada 5 menit dan
10 menit setelah pemberian dexmedetomidine, preinduksi, induksi, 0 menit, 1
menit, 5 menit setelah intubasi.
3. Dosis injeksi thiopenthone untuk induksi anestesia.
4. Total kebutuhan fentanyl selama prosedur operasi.
5. Rata-rata inspiratori konsentrasi isoflurane dihitung sebagai jumlah dari
produk inspiratori konsentrasi dibagi dengan total waktu anestesia.
6. Kebutuhan adjuvan intraoperatif seperti injeksi natrium diklofenak dan
propofol.

Analisis statistik
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 10, 2010) untuk Windows

HASIL
Kedua grup sebanding dalam karakteristik pasien [Tabel 1].
Dexmedetomidine ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek merugikan yang
diteliti. Sekitar 10 menit setelah mendapatkan dexmedetomidine, pasien
mengantuk tetapi masih sadar (skor sedasi 2)
Rata-rata dosis tidur dari injeksi thiopentone yang diperlukan pada
kelompok C adalah 6 mg/kg, sementara pada kelompok D adalah 4,4 mg/kg
[Tabel 2]. Penurunan kebutuhan dosis adalah 30% pada kelompok
dexmedetomidine ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol (P=0,00)
Rata-rata konsentrasi inspiratori isoflurane yang diperlukan selama anestesi
adalah 0,8% pada kelompok C dan 0,54% pada kelompok D. Penurunan sebesar
32% terdapat pada kelompok D dibandingkan dengan kelompok D (P=0,00).
Selain itu, kebutuhan injeksi fentanyl adalah 1,8 μg/kg pada kelompok C
dan 1,1 μg/kg pada kelompok D. Kelompok C memerlukan fentanyl 33% lebih
banyak dibanding kelompok D (P=0,00) [Tabel 2].

5
Sebelum pemberian obat yang diteliti di ruang operasi, frekuensi nadi dan
tekanan darah kedua kelompok tidak berbeda.
Pada kelompok D pasien menerima infusi dexmedetomidine, turunnya
frekuensi nadi dan tekanan darah diteliti, tidak lebih dari 5% dari batas normal.
Pasien disedasi tapi masih sadar dengan skor sedasi 2.
Pada kedua kelompok, peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah
maksimal terjadi segera setelah intubasi trakea (0 menit) ketika dibandingkan
dengan nilai normal tekanan darah arteri. Peningkatan frekuensi nadi setelah
intubasi adalah 21% pada kelompok C dan 7% pada kelompok D (P=0,00).
Demikian pula, peningkatan tekanan darah sistolik yang signifikan didapatkan
pada kelompok C yaitu 40% sedangkan pada kelompok D hanya 8% (P=0,00),
sementara peningkatan tekanan darah diastolik adalah 25% dan 11% pada
kelompok C dan D, berturut-turut (P=0,00) [Gambar 1].
Untuk menghindari analgesik yang memiliki efek sedatif seperti injeksi
tramadol, digunakan injeksi natrium diklofenak. Dua puluh empat dari 30 pasien
pada kelompok C memerlukan injeksi natrium diklofenak 75 mg IV, sementara 7
dari 30 pasien pada kelompok D memerlukan injeksi natrium diklofenak 75 mg
IV. Tujuh belas dari 30 pasien pada kelompok C diberi tambahan injeksi propofol
dalam rata-rata 175 mg, sementara tidak satupun pasien kelompok D yang
memerlukan injeksi propofol.
Bradikardi dilihat pada dua pasien di kelompok D secara intraoperatif.
Frekuensi nadi turun menjadi 42 kali/menit, sehingga dianjurkan diberikan injeksi
atropine 0,6 mg IV. Tidak ada penurunan tekanan darah yang diamati pada kedua
kelompok pasien. Injeksi atropine diulangi saat periode postoperatif setelah
ekstubasi pada satu dari dua pasien.
Durasi dari rekoveri pada kedua kelompok hampir sama. Seluruh pasien
mampu menjalankan perintah ketika tiba di ruang recovery.
Pada ruang recovery, tiga pasien pada kelompok D dan dua pasien pada
kelompok C mengalami nausea. Transient headache didapatkan pada satu pasien
dari kelompok D pada ruang recovery. Tidak ada pasien yang mengingat secara

6
jelas kesadarannya atau komplain atas ketidaknyamanan ketika diinterview
setelah operasi.

DISKUSI
Studi ini dilakukan untuk menguji apakah pemberian dexmedetomidine
pada cara anestesi stabil yang biasa dilakukan meningkatkan stabilitas
hemodinamik pada pasien yang menjalani prosedur bedah mayor. Hal ini juga
akan mengurangi penguapan obat anestesi dan kebutuhan analgesik perioperatif.
Dexmedetomidine merupakan sebuah agonis α-2 yang sangat selektif dan
memiliki efek sedatif, analgesik, serta menghemat obat anestesi. Hal ini
menyebabkan penurunan dosis yang diperlukan pada tekanan darah arteri dan
frekuensi nadi, berhubungan juga dengan penurunan konsentrasi serum
norepinefrin.
Dexmedetomidine ditoleransi dengan sangat baik, dan tidak ada efek
samping serius atau reaksi merugikan yang terjadi pada studi ini.
Dosis dari thiopentone yang diperlukan untuk induksi menurun secara
signifikan (30%) pada pasien yang meneruma dexmedetomidine, yang juga
didapatkan oleh Aantaa dkk., menunjukkan efek anestesi dari obat tersebut.
Hal ini juga menunjukkan bahwa dexmedetomidine mampu menjadi
analgesia yang disebabkan oleh fentanyl dan mengurangi kebutuhan dosis pada
manusia selama operasi. Dosis fentanyl pada kelompok kontrol hampir mencapai
dua kali lipat dibanding kelompok dexmedetomidine. Kebutuhan fentanyl
berkurang 33% pada kelompok dexmedetomidine pada studi ini.
Dexmedetomidine telah dipelajari secara luas sebagai adjuvan anestesi dan
efek hemat obat anestesinya sudah sangat dikenal. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Aho dkk. dan Aanta dkk., menunjukkan pengurangan kebutuhan
dosis isoflurance lebih dari 90%. Pada penelitian ini, isoflurance sebagai agen
anestesi utama, kebutuhannya berkurang 32% pada kelompok D, sesuai dengan
penelitian sebelumnya.
Intubasi trakeal berhubungan dengan peningkatan tekanan darah arteri,
frekuensi nadi, dan konsentrasi katekolamin plasma. Peningkatan tekanan darah

7
arteri dan frekuensi nadi yang diperlihatkan pada kelompok kontrol pada
penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Pada
penelitian ini, pretreatment menggunakan dexmedetomidine 1 μg/kg dilemahkan,
tetapi tidak secara total ,respon kardiovaskular setelah intubasi trakeal setelah
induksi anestesia. Pada pasien yang menjalani operasi general atau ginekologikal,
sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dexmedetomidine melumpuhkan respon
kardiovaskular pada intubasi dan penelitian ini sesuai dengan hal tersebut. Selain
bermanfaat pada fungsinya sebagai agonis α-2, dexmedetomidine juga dilaporkan
meingkatkan risiko hipotensi dan bradikardi. Efek ini dapat lebih sering terlihat
pada anak yang sehat pada pemberian bolus cepat. Pada penelitian ini, bradikardi
ditemukan pada dua pasien yang mendapatkan dexmedetomidine, tanpa adanya
penurunan tekanan darah, yang memiliki respon cepat pada atropine IV.
Pada penelitian ini, tiga pasien menjalani karaniotomi tumor supratentorial.
Stabilitas hemodinamik perioperatif sepenuhnya penting pada setiap pembedahan.
Peningkatan atau penurunan tekanan darah dapat menyebabkan perdarahan atau
edema atau merupakan predisposisi iskemik pada pasien. Respon hemodinamik
pada kegawatdaruratan dari anestesia dan ekstubasi dikurangi efektivitasnya
dengan dexmedetomidine dan efek sentral simpatolitik berlangsung baik pada
periode postoperatif, hal ini sangat bermanfaat pada pasien-pasien tersebut.
Tanskanen dkk., pada penelitian mereka menggunakan dexmedetomidine sebagai
obat anestesi adjuvan pada tumor intrakranial, menyimpulkan bahwa terdapat
peningkatan stabilitas hemodinamik perioperatif pada pasien yang menjalani
operasi tumor otak tanpa penekanan respiratory postoperatif. Selain itu,
dexmedetomidine juga diteliti sebagai suplemen untuk isoflurane pada operasi
vitreoretinal, tanpa menyebabkan fluktuasi hemodinamik yang tak semestinya,
dan menunjukkan penurunan respon eksitatori selama ekstubasi dengan
penurunan yang dapat diterima pada tekanan intraokular.
Keterbatasan pada penelitian ini dapat disebabkan karena penggunaan
kriteria yang subjektif untuk menentukan dosis thiopentone, isoflurane, dan
fentanyl pada setiap pasien. Estimasi kedalaman anestesia dengan perubahan yang
dimediasi oleh sistem saraf otonom sulit selama infusi dexmedetomidine ketika

8
dia meningkatkan stabilitas hemodinamik. Monitoring Intraoperative Bispectral
Index (BIS) mungkin dapat lebih objektif dalam menentukan kedalaman anestesi
dasn kebutuhan agen obat anestesi. Dan juga, pengukuran interval QT dan kadar
katekolamin plasma, rata-rata respon hemodinamik yang lebih objektif, tidak
dapat dilakukan karena kesulitan praktis. Pengukuran konsentrasi isofluran tidal
akhir dapat menjadi ideal untuk mengindikasikan kedalaman dan untuk
menghitung penurunan kebutuhan antara kedua kelompok dibandingkan dengan
inspired dial konsentrasi. Kebutuhan postoperatif dari analgesik tidak
dipertimbangkan karena hal itu bukan merupakan bagian dari penelitian.
Pengukuran waktu rekoveri setelah extubasi dapat memberi gagasan dari rekoveri
pada kedua kelompok.
Penelitian ini mendapatkan penguatan dari penelitian sebelumnya. Tidak
ada efek buruk pada kardiovaskular pada obat yang diteliti. Bradikardi,
merupakan konsekuensi pemberian agonis α-2, dapat dinetralkan dengan
pemberian atropine. Tidak terdapat kedalaman adekuat dari anestesia.

2.2 DEXMEDETOMIDINE SEBAGAI OBAT ANALGETIK

“Efek dari Tiga Dosis Berbeda Dexmedetomidine Intratekal (2,5 µg, 5 µg, 10
µg) pada Karakteristik Blockade Subaraknoid: Sebuah Penelitian RCT
Prospektif”

Analgetik pascaoperasi pada operasi abdomen bawah, dan extremitas bawah


yang semakin berkembang ditandai dengan cepatnya mobilisasi, berkurangnya
resiko DVT, dan kenyamanan pasien yang lebih baik selama perioperatif. Obat
tambahan intratekal dapat memperpanjang durasi anastesi spinal, dengan
demikian dapat mengurangi penggunaan obat-obat analgesik post op. Kerja obat
tambahan juga dapat mengurangi dosis anestesi lokal dan dengan demikian, efek
sampingnya. Obat-obat tambahan ini terdiri dari berbagai kelas dengan berbagai
mekanisme antinociceptive yang berbeda-beda. Dexmedetomidin adalah a2
agonis yang sangat selektif dengan efek analgesik, sedasi, anxiolitik dan

9
simpatolitik. Efektivitas dexmedetomidine intratekal (ITD) yang luas hingga
periode post op telah dibuktikan melalui beberapa penelitian. Salah satunya
adalah perbandingan perbedaan dosis ITD(2-10 ug) dengan obat-obat tambahan
lain seperti clonidine, fentanyl, midazolam, buprenophrine, etc., dengan hasil
yang bervariasi. Namun, penelitian yang membandingkan perbedaan antara dosis
dexmedetomidine itu sendiri masih sedikit, misalnya membandingkan obat ini
dalam dosis rendahnya (2ug vs 4ug) atau dosis tingginya (5ug vs 10ug, atau 10ug
vs 15 ug). Terlebih lagi, tidak satupun penelitian ini menekankan pada hubungan
dosis dengan respon obat dibandingkan dengan analgetik lainnya sebagai
pembanding (DA), yang dilihat berdasarkan perbedaan offset blokade motorik
hingga kebutuhan analgesik pada skala >4.0. Design penelitian ini adalah
prospektif RCT double blind, dengan tujuan mengetahui perbedaan reaksi
berdasarkan 33 dosis berbeda dexmedetomidin (2.5, 5 dan 10 ug) ITD sebagai
tambahan bupivacaine hiperbarik 0.5% dan subaraknoid block (SAB) pada pasien
yang menjalani operasi elektif abdomen bawah dan ekstremitas bawah. Tujuan
utama penelitian ini adalah mengetahui durasi analgesik obat ini, sementara tujuan
lainnya adalah durasi blokade motorik dan efek samping perioperatif. Hipotesis
penelitian ini adalah adanya efek DA yang diperpanjang dengan semakin
ditigkatkannya dosia pemberian ITD.

METODE
Kriteria eksklusi dan inklusi
Setelah menyelesaikan ethical clearance, 90 orang pasien dengan rentang
usia 18-60 tahun, dengan ASA I/II, yang akan menjalani operasi abdomen bawah
dan ekstremiras bawah dengan subarachnoid block (SAB), setuju untuk
bergabung dalam penelitian ini. Krireria eksklusi adalah pasien dengan: 1)
kontraindikasi terhadap SAB, 2) sensitif terhadap obat yang akan diujicoba, 3)
sedang menjalani terapi analgesik kronik, 4) punya gangguan kognitif, 5) tidak
bisa memahami NRS, 6) hamil, 7) dengan kondisi komorbid, misalnya: hipertensi,
CHF, infark miokard selama 6 bulan yang lalu, dan 8) blokade jantung. Prinsip

10
etik yang digunakan berdasarkan deklarasi Helsinki. Delapan pasien termasuk
kriteri eksklusi dan dieliminasi sebagai sampel.
Anestesi pre dan intra operatif
Pemeriksaan anestesi lengkap telah dilakukan dan diberikan tablet
alprazolam 0.25 mg sebagai premesikasi pada malam sebelumnya dan pagi
sebelum operasi. Pasien juga dibiasakan dengan NRS, dan diinstrukaikan untuk
puasa selama 8 jam sebelum operasi. Pasien dipantau dengan elektrokardiografi,
pulse oximetry, dan NIBP dan tanda vital dasar juga direkam. Cairan intravena
yaitu RL 15ml/kg, dimulai dengan infus 2ml/kg/jam dan disesuaikan selama
operasi.
Randomisasi
Pasien dibagi menjadi 3 grup sama banyak dengan menggunakan star trek
random number generator. Dexmedetomidine diberikan dalam dosis 100 ug/ml
dengan 40 unit insulin syringe (2.5 ug/unit) dan 1, 2 dan 4 unit kemudian
ditambahkan dengan syringe yang sama yang mengandung 0.5% hiperbarik 3 mL
pada grup BD 2.5, BD 5 dan BD 10. Total volume adalah 3.5 ml pada semua grup
dengan menambahkan 0.9% saline. Obat trial ini kemudian dikemas dalam
syringe yang tidak dilabeli. Dokter anestesi kemudian melakukan injeksi
intratekal terhadap pasien dan mengumpulkan data yang didapat. Injeksi IT
diberikan dalam posisi duduk pada L3 dan L4 di ruang intervertebral dengan
jarum Quincke 27 gauge. Pasien kemudian diposisikan supinasi secepatnya
setelah injeksi.

11
Monitoring intra dan post op.
Denyut jantung, NIBP dan SpO2 dipantau dengan datex-Ohmeda Cardiocap
secara terus menerus dan direkam saat menit pertama, kemudian setiap lima menit
pada 15 menit pertama, dan kemudian tiap 15 menit hingga operasi berakhir.
Hipotensi didefinisikan sebagai turunnya tekanna darah sistolik dibawah 90mmHg
dan ditatalaksana dengan IV RL dan injeksi mephenteramin 6 mg, dan diulang
sesuai kebutuhan. Bradikardia didefinisikan sebagai denyut jantung yang kurang
dari 55x/menit dan di tatalaksana dengan injeksi atropin 0,6 mg IV. Hasil monitor
SAB tampak pada tabel berikut (tabel 1). Blokade sensoris ditandai dengan

12
hilangnya sensasi tes nyeri tajam pada kulit dengan jarum 25 G hypodermic pada
linea mid-clavicularis yang diperiksa setiap menit hingga stabilitas sensori
tertinggi tercapai. Setelah itu, tes nyeri tajam pada kulit dilakukan setiap 15 menit
hingga mencapai waktu TSSR (2 segment sensory regression). Blokade motorik
dilihat berdasarkan skor Bromage. Tingkatan nyeri dinilai dengan menggunakan
skala NSR setiap jam pada 12 jam pertama dan 24 jam setelah post-op. Tramadol
1.5 mg/kg digunakan sebagai anelgesik bantuan ketika skala NRS mencapai lebih
dari 4. Semua bantuan analgesik dicatat selama proses ini. Waktu tersebut, sejak
pertama kali operasi dilakukan dihitung dalam satuan menit. Tingkat sedasi
diakses berdasarkan grading berikut: 1: sadar penuh, 2: tersedasi, namun masih
bisa merespon perintah verbal, 3: tersedasi tapi hanya responsif terhadap stimulasi
fisik, 4: tersedasi dan tidak merespon. Setelah operasi dilakukan, skor Bromage
dan sensitivitas sensorik terus dinilai setiap lima belas menit hingga skor Bromage
sendiri mencapai nol dan obat mencapai waktu TSSR. HR, NIBP, dan NRS juga
terus dinilai selama 24 jam. Semua gejala komplikasi peri-operatif, termasuk:
bradikardi, hipotensi, mual-muntah, menggigil, retensi urin juga terus dipantau.

ANALISIS STATISTIK
Total sampel dikalkulasi sebagaimana percobaan sebelumnya.
Menggunakan G3* power, nilai a dua arah (0,05) dan CI 95%, ditemukan bahwa
66 pasien (22 pasien per grup), dapat dideteksi perbedaan reaksinya terhadap
analgetik ini. Peneliti merekrut 90 pasien untuk percobaan ini. Analisis statistik
menggunakan SPSS 17 pada windows. Variabel terikat ditampilkan dalam nilai
rata-ratanya ± SD atau median (range) untuk data yang berdistribusi tidak normal.
Variabel kategorik ditampilkan dalam bentuk persentase dan frekuensi. Distribusi
normal pada variabel terikat dibagi 3 kelompok dan dibandingkan dengan
menggunakan ANOVA. Distribusi tidak normal pada variabel terikat diuji dengan
test Kruskall-Wallis, dan analisis lebih jauh dilakukan dengan menggunakan
Mann-Whitney. Data kategori nominal antara masing-masing kelompok
dibandingkan dengan menggunakan Chi Square atau Uji Fischer. Untuk
keseluruhan tes statistik, nilai P < 0,05 dan 0,001 berarti signifikan.

13
HASIL PENELITIAN
Total 90 sampel konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dibagi
berdasarkan demografi, dan karakteristik medis dibandingkan diantara kelompok-
kelompok tersebut.
Karakteristik blokade sensori
Onset dari blok sensoris sangat signifikan pada kelompok BD 10
dibandingkan dengan kelompok BD 5, (p = 0,035), dan BD 10 ddibandingkan
dengan BD 2,5 hasilnya adalah signifikan (p=0,010). Namun, tidak ada perbedaan
signifikan pada kelompok BD 2,5 dan BD 5 (p= 0,89). Tingkatan blokade sensoris
kemudian dibandingkan pada setiap grup (tabel 3). Ada perbedaan yang sangat
signifikan antara TSSR BD 10 dibandingkan dengan BD 5 (p=0,001) dan
kelompok BD 10 dibandingkan dengan BD 2,5 (p= 0,001). Dan perbedaan
signifikan antara BD 5 dan BD 2,5 (p=0,001).
Karakteristik Blok motorik
Pada onset blokade motorik terdapat nilai yang signifikan antara kelompok
BD 10 dan BD 2,5 (p= 0,02), namun tidak ada perbedaan signifikan antara
kelompok BD 10 dibandingkan dengan BD 5 (p=0,277) dan kelompok BD 5
dibandingkan dengan kelompok BD 2,5 (p=0,45). Kelompok BD 10 memiliki
perbedaan signifikan pada durasi blokade motorik yang lebih panjang dariapa
kelompok BD 5 dan BD 2,5 (p<0,001). Durasi dari blokade motorik pada grup
BD 5 jauh lebih panjang dibandingkan denga BD 2,5 (p < 0,001) (Tabel 3).

14
Karakteristik Analgesik
Durasi dari analgesik berbeda secara signifikan pada kelompok BD 10
dengan kelompok BD 5 dan BD 2,5 (p <0,001). Kelompok BD 5 juga memiliki
durasi analgetik yang panjang secara signifikan dengan kelompok BD 2,5
(p<0,001) (Tabel 3). Perbedaan yang sangat signifikan ditemukan pada durasi dari
perbedaan analgesi antara kelompok BD 10 dibandingkan BD 5 dan BD 2,5 (p<
0,001) dan kelompok BD 5 dibandingkan dengan BD 2,5 (p= 0,009). Kelompok
BD 10 membutuhkan analgesik tambahan yang lebih sedikit pada 24 jam post op
dibandingkan dengan kelompok BD 5 (p = 0,033) dan BD 2,5 (p<0,001) tidak ada
perbedaan signifikan pada kebutuhan analgesik tamabahan antara kelompok BD 5
dan BD 2,5 (p=0,349) (tabel 3).
Hemodinamik perioperatif
Gambar 2 dan 3 mendeskripsikan rata-rata denyut jantung dan tekanan
darah. Angka kejadian bradikardi, dan hipotensi pada kelompok-kelompok berikut
adalah : BD 10> BD 5> BD 2,5. Bagaimanapun ketika dibadingkan secara
statistik, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan.

15
Karakteristik Efek samping
Tabel 4 menunjukkan angka kejadian komplikasi perioperatif. Mual
muntah, retensi urin, dan menggigil kemudian dibandingkan pada tiap kelompok.
Pada kelompok BD 10, memiliki angka kejadian sedasi yang lebih tinggi dengan
skor 2 yaitu tersedasi secara verbal, namun tidak ada pasien yang dapat bertahan
pada level sedasi yang lebih tinggi. Angka kejadian sedasi juga dapat
dibandingkan pada kelompok BD 5 dan 2,5 ug (p=0,112).

16
PEMBAHASAN
Penelitian ini membandingkan 3 dosis (2,5 ug, 5 ug, dan 10 ug) berbeda
dengan penelitian lainnya yang hanya membandingkan dua dosis dari ITD.
Menurut peneliti ini adalah percobaan pertama yang membandingkan 3 dosis dari
ITD. Percobaan ini menunjukkan bahwa TSSRT, durasi dari blok motorik dan
analgesi meningkat secara signifikan dengan peningkatan ITD melihat perbedaan
hemodinamik dan karakteristik efek samping. Bagaimanapun, peningkatan yang
lebih besar pada durasi analgetik dibaningkan denga peningkatan durasi blokade
motoris memiliki nilai yang sama untuk meningkatkan signifikansi dari durasi DA
(p <0,001) (gambar 4).

Meningkatkan dosis ITD dari 2.5 ke 10 ug berakiat meningkatnya durasi


blokade motorik, analgesik dan DA, yaitu peningkatan 41,28% (258,5 vs 365
menit), 67,28% (306, 17 vs 612 menit), dan 208,37% (47,67 vs 147 menit).

17
Pemanjangan dosis DA berhubungan dengan minimnya nyeri paska operasi
(penundaan penyembuhan luka, depresi fungsi imun, perawatan rumah sakit yang
lbeih lama, resiko dari neuro-sensitivasi dan dengan demikian, nyeri kronik),
sebagaimana blok motoris yang memanjang (mengurangi mobilisasi DVT dan
emboli paru dan lain-lain. Hal ini menunjukkan perbedaan durasi operasi yang
terjadi antar grup selama percobaan (p= 0,975). Yektas et al (3), masing-masing
membandingkan 2 ug vs 4 ug, 5ug vs 10 ug, dan 10 ug vs 15 ug pada ITD juga
menunjukkan peningkatan bergantung dosis pada blokade sensorik, motorik dan
analgesik.
ITD memperlihatkan efek antinosisepsinya melalui dua mekanisme yaitu
menghambat pelepasan neurotransmitter dengan cara menduduki reseptor a2A
dan memberikan efek hiperpolarisasi pada neuron postsinaptic. Perpanjangan efek
blokade motorik kemungkinan diakibatkan oleh efek inhibisi a2 agonist nya pada
saraf motorik di cornu dorsalis medula spinalis. Bagaimanapun juga, sensitivitas
dexmedetemidine dipengaruhi oleh berbagai tipe serabut saraf yang
dipengaruhinya. Misalnya, pada saraf tipe ED50 dibutuhkan dosis maksimum 2.5
ug sementara pada saraf sensorik tipe C dan saraf motorik A dan B membutuhkan
dosis maksimum melebihi 10 ug. Hal ini menunjukkan bahwa, range atau rentang
dosis yang digunakan untuk ITD adalah 2.5 ug hingga 10 ug pada penelitian ini.
Meskipun dosis yang lebih tinggi dari 15 mg ITD telah digunakan oleh Eid
et al ( 5 ) ; temuan peningkatan yang signifikan dari skor sedasi serta durasi
operasi di percobaan ini membuat penelitian akan dosis yang lebih besar beresiko
tinggi. Bahkan , Eid et al ( 5 ) telah menyarankan potensinya digunakan dalam
operasi kompleks panjang sebagai alternatif anestesi epidural atau umum ; yang
yang berada di luar spektrum inklusi . ITD telah terbukti efektif di nociceptive ,
visceral , serta neuropatik nyeri , neurologis dan keamanannya telah terbukti
hinggasatu dekade terakhir perkembangan anestesi. faktanya dexmedetomidine
telah ditunjukkan untuk memiliki Efek neuroprotektif dalam sejumlah studi
hewan. Nilai tengah onset blokade sensorik dapat dibandingkan antara kelompok-
kelompok BD2.5 dan BD5 (4 menit), namun itu secara signifikan lebih awal
dalam kelompok BD10 (3 menit).

18
Temuan ini sesuai dengan Halder et al, yang menggunakan definisi yang
sama dari onset blokade sensorik seperti pada penelitian ini dan menemukan
perbedaan signifikan sebelumnya dengan 10 ug dibandingkan dengan 5 mg.
Yektas et al, juga membandingkan 2 dan 4 mg dari ITD dan mendapatan hasil
peningkatan tergantung dosis yang signifikan dalam jumlah segmen sensorik yang
diblokir. Puncak tertinggi tingkat blok sensorik yang ditemukan dalam percobaan
ini adalah T4. Temuan ini didukung oleh pengamatan serupa yang dilaporkan oleh
Halder et al. Sifat dose-dependent ini memberikan keuntungan dalam
mengestimasi potensi efek samping kardiorespirasi diabnding yang terjadi pada
bius high spinal. Demikian pula penurunan tergantung dosis pada blokade
motorik. Pada penelitian ini diamati perningkatan dosis ITD namun, hasilnya
hanya signifikans untuk kelompok BD10 vs BD2.5 dan tidak untuk kelompok
BD10 vs BD5 atau BD5 vs BD2.5.
Sejumlah penelitian lain juga telah melaporkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam blokade sensorik atau motorik dengan penambahan ITD atau
adjuvant lainnya untuk bupivacaine hiperbarik. Inkonsistensi dalam onset dan
durasi dengan dosis yang sama dari dexmedetomidine tampak pula pada sejumlah
variabel seperti profil demografis, definisi waktu onset (T8 vs T10), volume IT
injectate , volume pengencer digunakan dengan (0,1 mL vs 0,5 mL) sehingga
mempengaruhi konsentrasi dan densitas bupivakain, posisi (duduk vs lateral),
serta sensitivitas nyeri individu.
Salah satu tujuan utama dengan penambahan ITD pada anestesi spinal
bupivacaine adalah pengurangan dari kebutuhan analgetik postoperative (3-5,7)
dari penelitian ini juga didapatkan bahwa dose-dependant menurun secara
signifikan (p=0,001) pada 24 jam pemberian tramadol yang biberikan melalui
ITD. 83,3% dan 50% dari kelompok BD2,5 BD5 dan BD10 membutuhkan lebih
dari 2 obat analgesi pada 24 jam pertama postoperative, namun, hasil hanya
bermakna secara signifikan pada kelompok BD10 vs BD5 ( p=0,023) BD10 vs
BD2,5 (p = 0,003)
Umumnya efek samping yang terjadi yaitu ketidakstabilan hemodinamik
seperti bradikardia dan hipotensi berkaitan signinfikan dengan a 2 agonis.

19
Kebanyakan peneliti lainnya tidak menjelaskan peningkatan signifikan pada
angka kejadian dari efek samping hemodinamik yang berhubungan dengan
penggunaan dosis ITD yang berbeda (4,6,8,14) Pada penelitian ini ditemukan
dose-dependent tidak berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan angka
kejadian bradikardia (3.30%, 13.30%, and 20%) dan hipotensi (13.30%, 23.30%,
and 30%) pada masing-masing kelompok BD 2,5 BD 5 BD10. Simpatolisis
maksimal dihasilkan oleh volume dan dosis bupivacaian yang lebih besar, pada
penelitian ini dicoba penambahan simpatolisis mkenggunakan dexmetedomidin.
Temuan ini didukung dengan temuan penelitian lainnya. Efek samping lain yang
terjadai seperti mualmuntah, menggigil dan retensi urin dikelompokan masing-
masing. Yektas dan Halder juga menemukan bahwa dosis independen memeiliki
efek samping yang sama.
Angka kejadian sedasi yang diamati pada 10 ug dibandingkan dengan 2,5 ug
dan 5 ug ITS meningkat secara signifikan ( p<0,001). Skor sedasi tertinggi 2
didapatkan sebanyak 0%, 13,3% dan 40% pada masing-masing kelompok BD2,5,
BD 5, dan BD 10. Bagaimanapun juga pasien mudah untuk berkomunikasi
=secara verbal dan spo2 > 95% pada udara kamar. Faktanya pada sedasi sedaasi
ringan dapaat berguna pada periode postoperative yang sedang berlangsung.
Tujuan pembatasan dari penelitian ini karena ketiadaan kelompok control.
Kelompok control yang dieksklusi karena tujuan utama dari penelitian ini untuk
menjelaskan perubahan pada variasi karakteristik SAB terhadapa peningkatan
dosis ITD. Penelitian ini juga, dapata menjelaskan efek dari penambahan ITD
pada karakteristik SAB. Pembatasan kedua dalam penelitian ini adalaha pada
durasi pendek dari follow up post operasi. Efek ITD pada postoperative adalah
nyeri kronik seperti nyeri post herniorraphy yang diketahui secara umum. Studi ke
depannya dengan periode yang lebih lama follow up yang baik dapat membuat
perbedaan terhadap angka nyeri kronik post op dengan dengan tambahan dan
perbedaan dosis ITD.

20
2.3 DEXMEDETOMIDINE SEBAGAI OBAT SEDASI

“Efek dari dosis dexmedetomidine yang berbeda-beda terhadap denyut


jantung dan tekanan darah pada pasien-pasien dengan perawatan intensif”

Sedatif yang ideal pada pasien-pasien yang berada pada ICU harus memiliki
persyaratan seperti: Kerja yang cepat, mudah mengontrol kedalaman sedasinya,
memiliki pengaruh yang minimal terhadap fungsi respiratorik, tidak ada metabolit
yang terakumulasi, tidak ada bukti interaksi yang jelas dengan obat-obatan lain
dan jalur-jalur metabolisme dalam tubuh, eliminasi obat dapat terjadi tanpa
bertumpu pada hati, ginjal atau pernafasan, murah, dan memiliki efek samping
minimal1. Pada masa sekarang, tidak ada obat-obatan yang dapat menunjukkan
seluruh efek-efek di atas, dan golongan obat benzodiazepine, opiod agonis,
propofol, dan α2-epinefrin agonis paling banyak digunakan di ICU. Meskipun
demikian, telah didemonstrasikan bahwa midazolam dosis tinggi dan injeksi cepat
dapat membuat depresi dari fungsi pernafasan dan menurunkan tekanan darah,
terutama pada manula, pasien dengan hipovolemia atau pasien dengan gagal
pernafasan2. Lebih lanjut, pemberian pofopol dosis tinggi dalam waktu lama dapat
menimbulkan profopol infusion syndrome, yang menimbulkan asidosis laktat,
hiperlipemia, inflitrasi dari lemak hati, rhabdomyolisis dan kematian 3. Oleh
karena itu diperlukan agen sedasi yang lain untuk pasien-pasien di ICU.
Dexmedetomidine (DEX) merupakan α2-adrenoseptor agonis selektif yang
memiliki efek sedasi, analgetik, anti ansietas, dan inhibisi dari saraf simpatis.
Pasien yang diberikan DEX dapat dibangunkan dengan mudah tanpa
menimbulkan respiratory arrest. Karena itu, DEX dianggap sebagai agen sedasi
dan analgetik ideal digunakan pada pasien-pasien di ICU4,5. DEX merupakan
dekstro-isomer dari medetomidine yang mengeluarkan efek sedasi dan analgetik.
Sebagai tambahan DEX juga menghasilkan efek neuroprotektif6 dengan cara
mengagitasi reseptor α2 yang dimediasi oleh reseptor tirosin kinase. LEbih lanjut,
DEX memulai pelepasan beraneka growth factor yang dengan mengagitasi
astrosit untuk berpartisipasi pada proteksi sel saraf7. DEX mampu untuk

21
mengaktifkan enzim-enzim bertahan hidup dengan mengaktivasi dari
α2adrenoseptor yang menghasilkan efek kardioprotektif dengan cara mengontrol
jalur protein kinase, protein kinase B, dan sintesis nitrit oksida pada endotel secara
extraseluler8.
Sekarang ini, kecepatan infus dari DEX pada pasien dengan bantuan
ventilator berada pada rentang 0,2-0,7µg/Kg/jam. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa DEX aman digunakan pada pasien sehat pada dosis 10-15
dari dosis normal, tanpa menghasilkan efek yang kentara atau penurunan tekanan
darah dan nadi9-11. Meskipun demikian, sebuah penelitian sebelumnya
mengindikasikan terdapat penurunan tekanan darah dan nadi pada pasien kritis,
yang mengharuskan penghentian pemakaian obat12.
Telah dilakukan pengamatan dimana pasien-pasien tertentu mendapatkan
DEX dengan dosis awal yang direkomendasikan (1,0µg/Kg/10menit) ditambah
dosis pemeliharaan (0,2-0,7µg/Kg/jam) mengalami hipotensi dan bradikardi13.
Pada pasien-pasien tertentu, pemberian DEX harus dihentikan, bahkan pada
kasus-kasus berbahaya. Observasi-observasi ini konsisten dengan efek-efek
merugikan dari DEX secara umum, seperti hipotensi, nausea, bradikardi, dan
mulut kering14. Meskipun demikian, pasien-pasien kritis di ICU memiliki
patofisiologi berbeda dengan pasien-pasien bedah elektif, dimana mereka sering
kali mengalami kerusakan multi organ yang melibatkan jantung, hati, dan ginjal15.
Oleh karena itu, proses metabolic DEX pada pasien-pasien ICU juga berbeda.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis optimum dari
DEX untuk pasien-pasien ICU dengan mengobservasi dan membandingkan efek
sedasi dari dosis DEX yang berbeda, untuk mencoba menyediakan referensi
eksperimental mengebai dosis DEX yang aman dan efektif.

SAMPEL DAN METODE PENELITIAN


Data umum pasien. Penelitian ini menggunakan total 82 pasien yang
berada di ICU dari First People’s Hospital Affiliated to Shanghai Jiao Tong
University (Shanghai, China) dan membutuhkan sedasi antara januari-maret 2014.
Pasien diekslusi jika memiliki tekanan darah >200mmHg dan HR <60x/menit,

22
atau jika mereka mengalami syok sirkulatori. Total 24 pasien diekslusi. Sisa 58
pasien secara acak dikelompokkan menjadi 3 grup; Grup A, grup dengan dosis
tinggi (1,0µg/Kg/10menit; n=18); Grup B, grup dengan dosis sedang
(0,5µg/Kg/10menit; n=24); Grup C, grup dengan dosis rutin normal
(0,4µg/Kg/jam; n=16). Pasien-pasien ini diberikan DEX melalui intravena dengan
Infus pump selama 10menit dan setelah itu diberikan dosis yang sama yakni
0,4µg/Kg/jam) (gambar 1).

Gambar 1.Pengacakan pasien menjadi 3 kelompok

Figure 2. Comparison of sedative scores between the three groups. Group A,


1.0 µg/kg/10 min; group B, 0.5 µg/kg/10 min; and group C, 0.4 µg/kg/h.

23
Fig u re 3. Compa r ison of H R b et we en t he t h re e g roups. G roup A,
1.0 µg/kg/10 min; group B, 0.5 µg/kg/10 min; and group C, 0.4 µg/kg/h.
*P<0.05 vs. group C. HR, heart rate.

Penelitian ini memenuhi deklarasi Helsinki. Protokol pengumpulan data


disetujui oleh Dewan pemeriksa dari First People’s Hospital. Seluruh partisipan
diberikan informed consent memberikan akses ke data rekam medis mereka.
Pemberian Obat. DEX (2ml; Sichuan Guorui Pharmaceutical Co., Ltd.,
Sichuan, China) pertama kali diencerkan dalam 0,9% NaCl sehingga mendapat
volume larutan 4ml. Pasien-pasien dalam 3 kelompok di atas diberikan DEX
sesuai dosis melalui infusion pump selama 10 menit, dan kemudian diberikan
dosis yang sama yakni 0,4µg/Kg/jam untuk menjaga keadaan sedasi yang ideal.
Propofol (Fresenius Kabi Deutschland GmbH, Langenhagen, Germany) atau
midazolam (Jiangsu Enhua Herun Medicine Co., Ltd., Xuzhou, China)
ditambahkan untuk mendapat kedalaman sedasi yang diinginkan. Jika sedasi
adekuat tidak didapatkan menggunakan DEX, fentanyl (Yichang Renfu
Pharmaceutical Co., Ltd., Yichang, China) dosis tunggal diberikan 1-4µg/Kg. IV
infusion pump dihentikan saat HR <50x/menit atau terjadi penurunan HR >30%
dan tekanan darah sistolik <90 mmHg.

24
Tabel 1. Data umum responden penelitian

Parameter penilaian. Skor Ramsay, HR, tekanan darah sistol, tekanan


darah diastol, frekuensi nafas (RR), saturasi oksigen kapiler perifer (SpO2) dicatat
pada saat memasukkan obat melalui infusion pump (menit ke-0) dan saat menit
ke- 2,4,6,8,10,60,120,180, dan 240. Darah rutin, elektrolit, fungsi hati dan ginjal,
dan analisa gas darah diambil saat IV pump infusion. Skor Ramsay dinilai oleh
dokter menurut Skala Skor Ramsay. HR dan SBP diambil melalui monitor
elektrokardiogram MP50 (Philips Healthcare, DA Best, The Netherlands). Darah
rutin, elektrolit dan analisa gas darah diambil menggunakan Beckman Power
Processor Sample-Handling System (Beckman Coulter Inc., Brea CA, USA).
APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II) juga dihitung.

25
Analisa Statistik. Analisis data menggunakan SPSS versi 16.0 (SPSS Inc.,
Chicago, USA). Hasilnya ditampilkan sebagai nilai rata-rata + standar deviasi.
Test Shapiro-Wilk dikombinasikan dengan histogram untuk melihat data
berdistribusi normal atau tidak. Data berdistribusi normal dianalisis menggunakan
analisis varian, dan data tidak berdistribusi normal dibandingkan menggunakan
analisis nonparametrik Mann-Whitney U. Data kategorik dites menggunakan
analisis χ2. P<0,05 mengindikasikan bahwa data memiliki perbedaan bermakna
secara statistik.

Figure 4. SBP values in the three groups at various time-points after IV pump infusion of DEX.
*C comparison between group A and C, P<0.05. *BC com- parison between group A and group

BC, P<0.05. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B, 0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4
µg/kg/h DEX; SBP, systolic blood pressure; DEX, dexmedetomidine.

Figure 5. DBP values in the three groups at various time-points after IV pump infusion of DEX.
*BC comparison between group A and group BC, P<0.05.

*AC comparison between group B and group AC, P<0.05. *B comparison between group A

26
and B, P<0.05. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B,
0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4 µg/kg/h DEX; DBP, diastolic blood pressure; DEX,
dexmedetomidine.

Figure 6. BR values in the th ree groups at va r ious time-points after


IV pump infusion of DEX. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B,
0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4 µg/kg/h DEX; BR, breathing rate; DEX,
dexmedetomidine.

Figure 7. SpO2 values in the three groups at various time-points afterIV


pump infusion of DEX. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B,0.5
µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4 µg/kg/h DEX; SpO2, peripheral capillary
oxygen saturation; DEX, dexmedetomidine.

27
Figure 8. Concomitant use of medications in the three groups. Group A,
1.0 µg/kg/10 min DEX; group B, 0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C,
0.4 µg/kg/h DEX; DEX, dexmedetomidine.

HASIL PENELITIAN
Perbandingan data umum. Karakteristik umum pasien pada ketiga
kelompok dapat dilihat pada tabel 1. Tidak terdapat perbedaan signifikan yang
dapat diamati pada skor APACHE II, jenis kelamin, umur dan diagnosis primer
diantara ketiga kelompok (P>0,05).
Tingkat keberhasilan sedasi. Pasien-pasien dalam ketiga kelompok
mendapatkan kedalaman sedasi yang ideal pada 1 jam setelah diberikan DEX,
dengan skor ramsay 3-4 (P>0,05). Kelompok A dan B mendapatkan kondisi
sedasi pada 6 menit, dimana lebih cepat dibanding kelompok C (P<0,05, gambar
2).
Perbedaan pada HR, SBP, dan DBP pada saat diberikan DEX. Terdapat
penurunan tendensi yang didapatkan pada aspek-aspek tersebut selama pemberian
dosis awal dari DEX dari ketiga kelompok (gambar 3-5). Penurunan dari HR
terutama terjadi pada kelompok A dan B dibanding dengan kelompok C pada
menit ke-8 dan menit ke-60 setelah diberikan DEX (P<0,05), serta tidak
ditemukan perbedaan bermakna pada HR antara kelompok A dan B (P>0,05
gambar 3). Pada delapan menit setelah pemberian DEX, bukti penurunan SBP
terlihat paling tinggi pada kelompok A dibandingkan dengan kelompok C
(P<0,05, gambar 4). Sebagai tambahan, setelah sepuluh menit pemberian DEX,

28
penurunan SBP terlihat lebih signifikan pada kelompok A dibanding kelompok B
dan C (P<0,05).
Meskipun demikian, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik
yang ditemui pada penurunan SBP diantara ketiga kelompok tersebut saat
memasuki dosis pemeliharaan (P>0,05). Penurunan DBP secara signifikan terjadi
pada kelompok A dibanding kelompok B dan C pada menit ke-8 dan 60 setelah
pemberian DEX (P<0,05, gambar 5). DBP pada kelompok B mengalami
peningkatan dibanding dengan kelompok A dan C pada menit ke 120 (P<0,05)
dimana penurunan lebih siginifikan terjadi pada kelompok A pada menit ke-240
dibanding kelompok B (P<0,05).
Perbedaan pada BR dan SpO2 pada pemberian DEX. Tidak ditemukan
indikasi dari henti nafas pada pemberian DEX di tiga kelompok, juga tidak
ditemukan perbedaan signifikan pada BR dan SpO2 diantara mereka (P>0,05).
Sebagai tambahan nilai SpO2 >97% pada keseluruhan waktu penilaian pada ketiga
kelompok (gambar 6,7) yang mengindikasikan tidak adanya efek inhibisi
langsung terhadap pernafasan.
Penggunaan obat bersamaan. Tidak ditemukan perbedaan signifikan
antara ketiga grup saat ditambahkan dengan obat-obatan sedatif yang lain
(P>0,05). Agen-agen vasokaktif diberikan pada 4 pasien di kelompok A, 2 pada
kelompok B, dan satu pada kelompok C. Dan perbedaannya tidak secara
siginifikan (P>0,05, tabel I, gambar 8).
Penghentian obat. Pemberian DEX dihentikan pada pasien di kelompok A,
4 di kelompok B dan tidak ada pada kelompok C. Penghentian obat pada
kelompok A dikarenakan penurunan HR lebih dari 30% pada 2 pasien dan
penurunan SBP <90mmHg pada 2 lainnya. Penghentian pada kelompok B
dikarenakan dikarenakan penurunan HR lebih dari 30% pada satu pasien dan
penurunan SBP <90mmHg pada 3 lainnya. Nilai BP dan HR secara bertahap
kembali ke batas normal seiring dengan penghentian pemakaian obat tanpa
adanya konsekuensi berat diantara mereka.

29
Pembahasan
Pasien kritis di ICU sering kali membutuhkan beraneka terapi suportif,
termasuk ventilasi mekanik, memonitor tanda-tanda vital, penanganan pasien
kritis, dan iluminasi konstan agar menjaga pasien tetap dalam keadaan tidur dalam
jangka waktu lama17,18. Oleh karena itu, penanganan terapi sedatif sering
dibutuhkan oleh pasien ICU, seperti yang dibutuhkan pasien setelah melakukan
operasi dan pasien dengan cedera multiple berat. Midazolam, propofol, DEX
merupakan sedatif yang paling sering digunakan di ICU. DEX merupakan α2-
adrenoseptor agonis yang sangat sensitive yang mengeluarkan efek sedatif dan
anti-anxietas dengan mempengaruhi lokus ceruleus batang otak, yakni area
dengan α2 reseptor paling banyak pada sistem saraf pusat19-21. DEX mengeluarkan
efek analgesik dan menurunkan respon stress, namum DEX terus menerus
menghambat respirasi dengan mengaktivasi α2 reseptor pada membran presinaps
di tanduk dorsal tulang saraf tulang belakang dan membran postsinaps
interneuron22-23. DEX dapat menjadi salah satu opsi sebagai medikasi sedasi pada
pasien ICU karena kemampuannya untuk menurunkan insidensi delirium dan
presentasi kebutuhan ventilasi menggunakan mesin24,25.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan pemberian DEX terus menerus
mampu untuk memicu keadaan sedasi ideal (Skor Ramsay 3-4) pada ketiga
kelompok. Target tingkat sedasi dapat dicapai dalam waktu enam menit setelah
pemberian DEX pada kelompok A (1,0µg/Kg/10menit) dan kelompok B
(0,5µg/Kg/10menit). Ini merupakan hal yang krusial untuk sedasi pada pasien
ICU, Sebagai perbandingan, antara pernafasan spontan atau menggunakan
pernafasan bantuan dapat muncul bila sedasi tidak dapat timbul secara cepat, yang
dapat mempengaruhi target volume tidal, atau dapat meningkatkan kerusakan
paru-paru yang sudah ada. Oleh karena itu tujuan utama dalam memakai DEX
adalah untuk membuat pasien dapat masuk ke dalam keadaan sedasi ideal24-26.
Sebagai tambahan, Pemberian DEX secara IV terus menerus mampu untuk
menjaga skor Ramsay berada pada 3-4, dimana pasien berada dapat menstimulasi
fase ‘dormant’, dimana dapat melemahkan cedera dari kondisi patologis berat

30
sambil membuat pasien dapat dibangunkan bila perlu untuk melakukan tindakan
yang menyakinkan dalam menilai kondisi dan fungsi neurologisnya.
Penelitian sebelumnya mendemonstrasikan DEX memiliki fungsi regulasi
dua arah terhadap sistem kardiovaskular27. DEX menginisiasi α2B-reseptor pada
membran postsinaps pada membran otot polos untuk menghasilkan takikardi dan
hipertensi melalui vasokonstriksi. Kemudian hipotensi diinduksi melalui
vasodilatasi dibawah efek simpatolitik sentral yang diproduksi oleh pemberian
DEX secara terus menerus. Oleh karena itu, DEX menghasilkan efek yang dapat
diprediksi terhadap hemodinamik28. Pada pasien saat ini, HR, SBP, DBP
cenderung berkurang seiring pemberian DEX, namun seluruh nilai rata-rata dari
ketiga hal tersebut tetap berada dalam nilai normal selama pengamatan pada
seluruh kelompok (HR >60x/menit, SBP >115mmHg, DBP >60mmHg).
Pemberian DEX dihentikan pada 8 pasien pada penelitian ini akibat keadaan
hemodinamik yang tidak stabil. Nilai BP dan HR pada pasien ini kembali secara
perlahan seiring penghentian DEX.
Analisis dari 8 pasien ini (4 dengan hipercapnia, 3 dengan anemia dan 1
dengan hipercapnia dan anemia) yang dihentikan pemberian DEX mengindikasi
bahwa hipercapnia dan anemia merupakan faktor resiko tinggi yang berkontribusi
kepada hemodinamik yang tidak stabil. Penyebab utama dari hasil ini antara lain;
1) pasien ekstraserbasi akut dari COPD yang merupakan kelompok pasien utama
dari penggunaan ventilasi mekanik akibat tidak sadar dengan hipercapnia.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa pasien COPD dapat menginduksi
pelepasan norepinefrin dari jantung menyebabkan hipertensi dan peningkatan HR.
Pada pasien COPD dengan hipercapnia dapat mengeksitasi saraf simpatis secara
persisten walau keadaan gas darah normal30,31. 2) Pada pasien anemia terjadi
dilatasi pembuluh darah perifer, penurunan BP, peningkatan respon dari sistem
simpatis, peningkatan HR, penurunan dari RBF, retensi air dan natrium. 3)
Subtipe α2A-reseptor berperan penting dalam farmakologi dari DEX. Reseptor ini
berada pada pre- dan postsinaps, berfungsi utama untuk menginhibisi
norepinefrin. DEX menginhibisi pelepasan norepinefrin dengan berikatan dengan
membran presinaps α2-reseptor yang juga menghambat impuls nyeri. Sebagai

31
tambahan DEX menginhibisi aktivitas simpatetik dengan cara berikatan dengan
α2-reseptor pada membran postsinaps. Saat konsentrasi dari DEX dalam darah
cukup, maka efek DEX akan menghilangkan efek simpatis dari COPD dan
anemia.

32
BAB III
KESIMPULAN

Dexmedetomidine, sebagai obat-obatan preanestesia dan infusi intraoperatif,


mengurangi kebutuhan obat anestesi intraoperatif. Dia memiliki efek opioid yang
signifikan dan penghemat keperluan obat anestesi. Obat ini secara signifikan
melemahkan respon simpatoadrenal pada intubasi trakea. Selain itu, pemberian
dexmedetomidine secara kontinu pada intraoperatif tidak mempengaruhi stabilitas
kardiovaskular.
Pemberian 10 ug IntrathecalDexmedetomidine bila dibandingkan dengan
dosis yang lebih rendah sebagai terapi adjuvant untuk bupivacaine hiperbarik
secara signifikan memperpanjang durasi blok sensorik , blok motorik , dan
analgesia . Peningkatan yang tidak proporsional dalam durasi analgetik dan
blokade motorik sangat signifikan secara klinis maupun statistik dalam
memperpanjang durasi DA. Penambahan 10 ug ITD berkaitan dengan
menurunnya kebutuhan penggunaan analgesik post op pada pasien yang
melakukan operasi abdomen bawah dan ekstremitas bawah tanpa peningkatan
efek samping yang signfikan.
efek sedasi ideal dapat dicapai dengan dosis perawatan DEX
(0,4µg/Kg/Jam), namun, efek-efek ini diinduksi secara perlahan. Untuk
mendapatkan efek yang lebih cepat, kami menyarankan dosis awal yakni
0,5µg/Kg/10 menit. Pada pasien dengan COPD dan anemia, dosis awal yang
tinggi perlu dihindari. Kombinasi dari obat-obatan dapat diberikan bila perlu.

33
DAFTAR PUSTAKA

Bajwa S.J.S., Bajwa S.K., Kaur J., et al. Dexmedetomidine and clonidine in
epidural. Indian Journal of Anaesthesia. (55):352-357; 2011.
Gupta M., Gupta P., Singh D.K. Effect of 3 Different Doses of Intrathecal
Dexmedetomidine (2.5μg, 5μg, and 10 μg) on Subarachnoid Block
Characteristics: A Prospective Randomized Double Blind Dose-Response
Trial. Pain Physician (19):E411-E420; 2016.
Keniya V.M., Ladi S., Naphade R. Dexmedetomidine attenuates sympathoadrenal
response to tracheal intubation and reduces perioperative anaesthetic
requirement. Indian Journal of Anaesthesia, (55):352-357; 2011.
Mantz J., Josserand J., and Hamada S. Dexmedetomidine: new insights. Eur J
Anaesthesiol, (28):3–6; 2011.
Zhang X., Wang R., Lu J., Wei Jin, et al. Effects of different doses of
dexmedetomidine on heart rate and blood pressure in intensive care unit
patients. Experimental and Therapeutic Medicine, (11): 360-366; 2016.

Anda mungkin juga menyukai