Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

The American Academy of Pediatrics (AAP) dan The American Academy of


family Physician (AAFP) mendefinisikan otitis media akut sebagai suatu infeksi dari
telinga tengah dengan onset akut dan terdapatnya efusi telinga tengah serta terdapat
tanda-tanda peradangan dari telinga tengah. Otitis media dengan efusi atau disebut
juga dengan otitis media serosa (OMS) adalah cairan di dalam telinga bagian tengah
tanpa disertai gejala dan tanda infeksi. OMS biasanya terjadi ketika tuba eustachius
tertutup dan cairan terperangkap di dalam telinga bagian tengah.
Otitis media serosa, lebih dikenal sebagai cairan dalam telinga tengah (Middie
Ear Effusion), adalah kondisi yang paling sering menyebabkan hilangnya
pendengaran pada anak. Normalnya, ruang di belakang gendang telinga yang terdiri
dari tulang-tulang pendengaran diisi oleh udara. Hal inilah yang memungkinkan
terjadinya transmisi suara normal. Ruangan ini dapat terisi oleh cairan selama periode
flu atau pada kondisi infeksi saluran nafas bagian atas. Ketika flu sembuh, cairan ini
secara keseluruhan akan di alirkan keluar dari telinga melalui sebuah saluran yang
menghubungkan telinga luar dengan hidung yaitu tuba eustachius. Tuba eustachius
tidak dapat kering dengan baik pada anak-anak. Cairan yang telah terakumulasi
didalam ruang di telinga tengah seringkali terblokir untuk keluar (Levensn, M.J.,
2007) (1)
Faktor resiko Otitis media serosa/efusi pada anak dapat berupa kelainan dari
struktur anatomi (adanya anomali kraniofasial, Sindrom Down, Cleft Palate,
Hipertrofi Adenoid, GERD), fungsional (Serebral Palsy, Sindrom Down,
Imunodefisiensi), maupun dari faktor lingkungannya (Bottle feeding, Menyandarkan
botol di mulut pada posisi tengadah (supine position), Perokok pasif, Status ekonomi
rendah).
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

OTITIS MEDIA EFUSI

ANATOMI TELINGA TENGAH

Telinga tengah digambarkan seperti sebuah kotak (kubus) dengan batas-batas


seperti berikut:

 Batas luar : membran timpani


 Batas depan : tuba eustachius yang menghubungkan daerah telinga
tengah dengan nsofaring
 Batas bawah : vena (bulbus) jugularis yang superiolateral menjadi
sinus sigmoideus dan ke tengah menjadi sinus cavernous, cabang
aurikulus saraf vagus masuk telinga tengah dari dasarnya.
 Batas belakang: aditus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan
telinga tengah dangan antrum mastoid.
 Batas dalam : berturut – turut dari atas ke bawah kanalis
semisirkularis horizontal,kanalis fasialis,tingkap oval,tingkap
bundar,dan promontorium.
 Batas atas : tegmen timpani

MEMBRAN TIMPANI

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang teling dan terlihat terlihat oblik terhdap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut
pars flaksida (membrane Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membrane
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikitserat elastin yang berjalan radier di bagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani


disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflex cahaya..(cone of light) kearah
bawah yaitu pada pukul 7 untuk membrane timpani kiri dan pukul 5 untuk membrane
timpani kanan. Reflek cahaya adalah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membrane timpani. Di membrane timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan
radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya reflex cahaya yang berupa
kerucut.
Membrane timpani dibagi dalam 4 kuadran,dengan menarik garis searah
prosessus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,sehingga
didapatkan bagian atas depan ,atas belakang,bawah depan serta bawah belakang untuk
menyatakan letak perforasi membrane timpani.

KAVUM TIMPANI

Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal,


bentuknya bikonkaf. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan
diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu : bagian
atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior.

Atap kavum timpani.

Dibentuk tegmen timpani, memisahkan telinga tengah dari fosa kranial


dan lobus temporalis dari otak. bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang
temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama.

Lantai kavum timpani


Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari
bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum
timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis.

Dinding medial.

Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini
juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam.

Dinding posterior

Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus,


yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui
epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii
posterior dan sinus sigmoid.

Dinding anterior

Dinding anterior bawah adalah lebih besar dari bagian atas dan terdiri dari
lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang
tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior. Dinding ini ditembus oleh saraf
timpani karotis superior dan inferior yang membawa serabut-serabut saraf
simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri
karotis interna. Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba
eustachius.

Kavum timpani terdiri dari :

1. Tulang-tulang pendengaran terdiri dari :

 Malleus ( hammer / martil).


 Inkus ( anvil/landasan)
 Stapes ( stirrup / pelana)

2. Otot-otot pada kavum timpani.


Terdiri dari : otot tensor timpani ( muskulus tensor timpani) dan otot
stapedius ( muskulustapedius)

3. Saraf Korda Timpani

Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari


analikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior.
Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang
berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui
ganglion ubmandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3
depan lidah bagian anterior.

4. Pleksus Timpanikus

Berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan


nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri
karotis interna.

Saraf Fasial

Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal


melalui meatus akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial
terutama terdiri dari dua komponen yang berbeda, yaitu:

1. Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial


kedua (faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m.
digastrik dan m. stapedius.

2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor


parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali
parotis.

TUBA EUSTACHIUS

Menghubungkan rongga timpani dgn nasofaring,panjang 3,5 cm. Bagian 1/3


posterior terdapat dinding tulang dan bagian 2/3 anterior terdapat dinding tulang
rawan. Dilapisi oleh epitel silindris bertingkat bersilia dan epitel selapis silindris
bersilia degan sel goblet dekat farings. Dinding tuba biasanya kolaps,tetapi selama
proses menelan dinding tuba akan terpisah dan udara masuk ke rongga telinga tengah
sehingga tekanan udara pada kedua sisi membran timpani seimbang dengan tekanan
atmosfer. Tuba auditiva meluas dari dinding anterior cavum timpani ke
bawah,depan,dan medial sampai ke nasophaynx. Sepertiga posteriornya adalah
tulang,dan dua pertiga anteriornya dalah tulang rawan. Berhubungan dengan
nasopharinx setelah berjalan diatas tepi atas m. constrictor pharynges superior.

Tuba auditiva berfungsi untuk membuat seimbang tekanan udara dalam cavum
timpani dengan nasopharing.

PROSESUS MASTOIDEUS

Tulang mastoid adalah tulang keras yang terletak di belakang telinga,


didalamnya terdapat rongga seperti sarang lebah yang berisi udara. Rongga-rongga
udara ini ( air cells ) terhubung dengan rongga besar yang disebut antrum mastoid.
Kegunaan air cells ini adalah sebagai udara cadangan yang membantu pergerakan
normal dari gendang telinga, namun demikian hubungannnya dengan rongga telinga
tengah juga bisa mengakibatkan perluasan infeksi dari telinga tengah ke tulang
mastoid yang disebut sebagai mastoiditis

Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke


kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral
fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini.
Pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :

1. Prosesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), diomana tidak ditemui sel-sel.

2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.

3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini


besar.

ANTRUM MASTOID

Merupaka ruangan didalam os temporal yang dilapisi mukosa dgn epitel


squamous simplex danmerupakan lanjutan dari cavum timpani. Antrum melanjut ke
cavum timpani melalui aditus ad antrum . Atap antrum mastoid adalah tegmen
timpani (berbatasan dengan fossa kranii media, bagian medialnya Canalis
semisirkularis lateralis dan posterior.
Pertemuan antara tegmen dan sinus lateralis disebut sinodural angle. Dasar antrum
berbatasan dengan canalis falopii pars horisontalis. (1) (2) (3)

I. DEFINISI
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis media
terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (=otitis media serosa,
otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME, otitis media
mucoid). (2)
Adanya cairan di telinga tengah tanpa dengan membran timpani utuh tanpa
tanda-tanda infeksi disebut juga sebagai otitis media dengan efusi. Apabila efusi
tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem
disebut otitis media mukoid (glue ear). (2)
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas dua jenis yaitu otitis media
serosa akut dan otitis media serosa kronis. Otitis media serosa akut adalah keadaan
terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan
fungsi tuba. Batasan antara otitis media serosa akut dan kronis hanya pada cara
terbentuknya sekret.
Pada otitis media serosa akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga tengah
dengan disertai rasa nyeri pada telinga
, sedangkan pada keadaan kronik sekret terbentuknya secara bertahap tanpa
rasa nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama (Blakleyp). (2)

II. EPIDEMIOLOGI
Infeksi telinga tengah merupakan diagnosa utama yang paling sering dijumpai
pada anak-anak usia kurang dari 15 tahun yang diperiksa di tempat praktek dokter.(3)
Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu
episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka
mengalaminya tiga kali atau lebih. (4)
Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum
usia 10 tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6
tahun.(4)
Pada tahun 1990, 12,8 juta kejadian otitis media terjadi pada anak-anak usia di
bawah 5 tahun. Anak-anak dengan usia di bawah 2 tahun, 17% memiliki peluang
untuk kambuh kembali. 30-45% anak-anak dengan OMA dapat menjadi OME setelah
30 hari dan 10% lainnya menjadi OME setelah 90 hari, sedikitnya 3,84 juta kasus
OME terjadi pada tahun tersebut; 1,28 juta kasus menetap setelah 3 bulan. (3)
Statistik menunjukkan 80-90% anak prasekolah pernah menderita OME.
Kasus OME berulang (OME rekuren) pun menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi
terutama pada anak usia prasekolah, sekitar 28-38%. (5,1)
Otitis media serosa kronis lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan
otitis media serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Otitis media serosa
unilateral pada orang dewasa tanpa penyebab yang jelas harus dipikirkan
kemungkinan adanya karsinoma nasofaring. (2)

III. ETIOLOGI

Otitis media serosa dapat terjadi akibat kondisi-kondisi yang berhubungan


dengan pembukaan dan penutupan tuba eustachius yang sifatnya periodik.
Penyebabnya dapat berupa kelainan kongenital, akibat infeksi atau alergi, atau
dapat dapat juga disebabkan akibat blokade tuba (misalnya pada adenoid dan
barotrauma)
Tuba eustachia immature merupakan kelainan kongenital yang dapat
menyebabkan terjadinya timbunan cairan di telinga tengah. Ukuran tuba eustachius
pada anak dan dewasa berlainan dalam hal ukuran. Beberapa anak mewarisi tuba
eustachius yang kecil dari kedua orang tuanya, hal inilah yang dapat meningkatkan
kecenderungan terjadinya tendensi atau kecenderungan infeksi telinga tengah dalam
keluarga. Selain itu, otitis media serosa juga lebih sering terjadi pada anak dengan
”cleft palatal” (terdapatnya celah pada daerah palatum). Hal ini desebabkan karena
otot-otot ini tumbuh tidak sempurna pada anak dengan ”cleft palate”
Membrana mukosa dari telinga tengah dan tuba eustachius berhubungan
dengan membran mukosa pada hidung, sinus, dan tenggorokan. Infeksi pada area-area
ini menyebabkan pembengkakan membrana mukosa yang mana dapat mengakibatkan
blokade dari tuba eustachius. Sedangkan reaksi alergi pada hidung dan tenggorokan
juga menyebabkan pembengkakan membrana mukosa dan memblokir tuba
eustachius. Reaksi alergi ini sifatnya bisa akut, seperti pada hay fever tipe reaksi
ataupun bersifat kronis seperti pada berbagai jenis sinusitis kronis. Adenoid dapat
menyebabkan otitis media serosa apabila adenoid ini terletak di daerah nasofaring,
yaitu area disekeliling dan diantara pintu tuba eustachius. Ketika membesar, adenoid
dapat memblokir pembukaan tuba eustachius. (Steward, D, 2008). Kegagalan fungsi
tuba eustachi dapat pula disebabkan oleh rinitis kronik, sinusitis, tonsilitis kronik, dan
tumor nasofaring. (6)

Selain itu, otitis media serosa kronis dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari
otitis media akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna. (2) Terapi antibiotik yang
tidak adekuat pada OMA dapat menonaktifkan infeksi tetapi tidak dapat
menyebuhkan secara sempurna sehingga akan menyisakan infeksi dengan grade
rendah. Proses ini dapat merangsang mukosa untuk menghasilkan cairan dalam
jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan mukus juga bertambah. (6)

IV. KLASIFIKASI (2)


Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas 2 jenis:
 Otitis media serosa akut:
 Adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-
tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
 Pada otitis media serosa akut, sekret terjadi secara tiba-tiba di
telinga tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga.
 Otitis media serosa kronis:
 Pada keadaan kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa
nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.

V. PATOFISIOLOGI

Dalam kondisi normal, mukosa telinga bagian dalam secara konstan


mengeluarkan sekret, yang akan dipindahkan oleh sistem mukosilier ke nasofaring
melalui tuba eustachius. Sebagai konsekuensi, faktor yang mempengaruhi produksi
sekret yang berlebihan, klirens sekret yang optimal, atau kedua-duanya dapat
mengakibatkan pembentukan suatu cairan di telinga tengah. (6)
Ada 2 mekanisme utama yang menyebabkan OME :
a. Kegagalan fungsi tuba eustachi
Kegagalan fungsi tuba eustachi untuk pertukaran udara pada telinga
tengah dan juga tidak dapat mengalirkan cairan.
b. Peningkatan produksi sekret dalam telinga tengah
Dari hasil biopsi mukosa telinga tengah pada kasus OME didapatkan
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan mukus atau serosa. (5)
Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang
mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat
adanya perbadaan tekanan hidrostatik, sedangkan pada otitis media mukoid, cairan
yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang
terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid. Faktor
utama yang berperan disini adalah terganggunya fungsi tuba eustachius (2).
Otitis media serosa sering timbul setelah otitis media akut. Cairan yang telah
terakumulasi dibelakang gendang telinga selama infeksi akut dapat tetap menetap
walau infeksi mulai mengalami penyembuhan. Selain itu, otitis media serosa dapat
pula terjadi tanpa didahului oleh infeksi, dan dapat terjadi akibat penyakit
gastroesophagal reflux atau hambatan tuba eustachius oleh karena infeksi atau
adenoid yang membesar. Otitis media serosa sering sekali terjadi pada anak-anak
dengan usia antara 3 bulan sampai 3 tahun (7).
Seringkali mengikuti infeksi traktus respiratorius bagian atas adalah otitis
media serosa. Sekresi dan inflamasi menyebabkan suatu oklusi relatif dari tuba
eustachius. Normalnya, mukosa telinga tengah mengabsorbpsi udara di dalam telinga
tengah. Apabila udara dalam telinga tengah tidak diganti akibat obstruksi relatif dari
tuba eustachius, maka akibatnya terjadi tekanan negatif dalam telinga tengah dan
menyebabkan suatu efusi yang serius. Efusi pada telinga tengah ini menjadi suatu
media pertumbuhan mikroba dan dengan adanya ISPA dapat terjadi penyebaran virus-
virus dan atau bakteria dari saluran nafas bagian atas ke telinga bagian tengah (8).
Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-
tiba di luar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau penyelam, yang
menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan melebihi 90
mmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada
keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keuar
dari pembuluh kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai ruptur pembuluh darah
sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah.
Saat lahir, tuba Eustahius berada pada bidang paralel dengan dasar tengkorak,
sekitar 10 derajat dari bidang horizontal dan memiliki lumen yang pendek dan sempit.
Seiring dengan pertambahan usia, terutama saat mencapai usia 7 tahun, lumen tuba
eustachius menjadi lebih lebar, panjang, dan membentuk sudut 45 derajat terhadap
bidang horizontal telinga. Dengan struktur yang demikian, pada anak usia < 7 tahun,
sekresi dari nasofaring lebioh mudah mencapai telinga tengahdan membawa kuma
patogen ke telinga tengah. Selain itu terdapat faktor resiko pada anak, baik dari
struktur anatomi (adanya anomali kraniofasial, Sindrom Down, Cleft Palate,
Hipertrofi Adenoid, GERD), fungsional (Serebral Palsy, Sindrom Down,
Imunodefisiensi), maupun dari faktor lingkungannya (Bottle feeding, Menyandarkan
botol di mulut pada posisi tengadah (supine position), Perokok pasif, Status
ekonomi rendah). (5,6,1)

VI. MANIFESTASI KLINIS

Otitis Media Serosa Akut

Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran
berkurang. Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau
suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda, pada telinga yang sakit (diplacusis
binauralis). Kadang-kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga
pada saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit nyeri di dalam telinga dapat terjadi pada
saat awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbul tekanan negatif pada telinga
tengah. Tapi setelah sekret terbentuk, tekanan negatif ini perlahan-lahan menghilang.
Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila penyebab timbulnya sekret ada virus
atau alergi. Tinitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang
ringan. Pada otoskopi tampak membrana timpani retraksi. Kadang-kadang tampak
gelembung udara atau permukaan cairan dalam cavum timpani. Tuli konduktif dapat
dibuktikan dengan garpu tala. (2).

Bakley, B. W (2005) menuliskan bahwa meskipun otitis media serosa


seringkali muncul tanpa nyeri, cairan yang terkumpul dalam telinga tengah dapat
mengurangi pendengaran, pemahaman pembicaraan, gangguan perkembangan bahasa,
belajar serta gangguan tingkah laku. Apalagi bila otitis media serosa sering kali terjadi
pada anak-anak. Pada kebanyakan anak, otitis media serosa terjadi secara
asimptomatis terutama pada anak-anak dibawah 2 tahun. Karena anak-anak
memerlukan pendengaran untuk belajar berbicara, maka hilangnya pendengaran
akibat cairan di telinga tengah dapat menyebabkan keterlambatan bicara. Anak-anak
mulai belajar mengucapkan kata pada usia 18 bulan. Apabila kejadian ini berulang
selama berbulan-bulan pada tahun-tahun belajar bicara, maka terjadi
”misspronounciation” atau kesalahan pelafalan yang berat yang akan membutuhkan
terapi bicara (9).
Masalah cairan dalam telinga tengah ini paling sering ditemukan pada anak
dan biasanya bermanifestasi sebagai tuli konduktif. Merupakan penyebab tersering
gangguan pendengaran pada usia sekolah. Keterlambatan berbahasa dapat terjadi jika
keadaan ini berlangsung lama. Anak-anak jarang mengemukakan bahwa mereka
mempunya kesulitan dalam pendengaran. Guru dapat mengatakan bahwa anak-anak
ini kurang perhatiannya terhadap pelajaran. Umumnya orang dewasa dapat
menjelaskan gejala-gejala yang dialaminya secara lebih dramatis, dapat berupa
perasaan ”tersumbat” dalam telinganya dan menurunnya ketajaman pendengaran.
Mereka dapat merasakan adanya perbaikan pendengaran dengan perubahan posisi
kepala. Akibat gerakan cairan dalam telinga tengah dapat terjadi tinitus, tapi pusing
jarang menjadi masalah (1).
Pada pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga`pada
penilaian dengan otoskop pneumatik. Setelah otoskop ditempelkan rapat-rapat di
liang telinga, diberikan tekanan positif dan negatif. Jika terdapat udara dalam
timpanum, maka udara itu akan tertekan sehingga membrana timpani akan terdorong
kedalam pada pemberian tekanan positif, dan keluar pada tekanan negatif. Gerakan
menjadi lambat atau tidak terjadi pada otitis media serosa atau mukoid. Pada otitis
media serosa, membrana timpani tampak berwarna kekuningan, sedangkan pada otitis
media mukoid terlihat lebih kusam dan keruh. Maleus tampak pendek, retraksi dan
berwarna kapur. Kadang-kadang tinggi cairan atau gelembung otitis media serosa
dapat tampak lewat membrana timpani yang semitransparan (1).
Otitis Media Serosa Kronik

Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik lebih menonjol (40-45 dB), oleh
karena adanya sekret kental atau glue ear. Pada anak-anak yang berumur 5-8 tahun
keadaan ini sering diketahui secara kebetulan waktu dilakukan pemeriksaan THT atau
dilakukan uji pendengaran. (2)

Pada otoskopi terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram, kuning


kemerahan atau keabu-abuan. (2)

VII. DIAGNOSIS

Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karena prosesnya sendiri yang


kerap tidak bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan
absennya gejala seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering
tidak terdeteksi baik oleh orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.(3)
Oleh karena itu diperlukan anamnesa yang lengkap dan teliti mengenai
keluhan yang dirasakan dan riwayat penyakit pasien, misalnya :
 Telinga seperti tertutup/ rasa penuh?
 Tinitus frekuensi rendah?
 Pendengaran berkurang, diplakusis?
 Otofoni?
 Nyeri ? (Bila ada, deskripsikan kwantitas dan kwalitasnya)
 Riwayat alergi?
 Riwayat infeksi saluran napas atas?
 Riwayat keluarga?
 Aktivitas akhir-akhir ini? (3)
Dari anamnesa, selanjutnya bisa dilakukan pemeriksaan fisik untuk
memperkuat diagnosa kerja. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain :
 Nyeri tarik ?
 Nyeri tekan tragus ?
 Inspeksi kondisi liang telinga luar
Beberapa instrumen penunjang juga membantu menegakkan diagnosis OME,
antara lain:
Otoscope
Pemeriksaan otoskop bertujuan untuk memeriksa liang dan gendang
telinga dengan jelas. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan
atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.(5,1,4)
Pemeriksaan otoskopik dapat memperlihatkan:
 Membran timpani yang retraksi (tertarik ke dalam), dan
opaque yang ditandai dengan hilangnya refleks cahaya
 Warna membran timpani bisa merah muda cerah hingga
biru gelap.
 Processus brevis maleus terlihat sangat menonjol dan
Processus longus tertarik medial dari membran timpani.
 Adanya level udara-cairan (air fluid level) (5,3)
Pneumatic otoscope
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai respon gendang telinga
terhadap perubahan tekanan udara. Gerakan gendang telinga yang berkurang
atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini.(1,4)
Pemeriksaan Tuba
Untuk menilai ada tidaknya oklusi tuba, bisa dilakukan pemeriksaan
tuba misalnya dengan manuver Valsava, pulitzer balik.
Tes Pendengaran dengan Garpu Tala
Pemeriksaan dilakukan sebagai salah satu langkah skrining ada tidaknya
penurunan pendengaran yang biasa timbul pada otitis media efusi. Pada pasien
dilakukan tes Rinne, Weber, dan Swabach. Pada otitis media didapatkan
gambaran tuli konduktif

(2)
Impedance audiometry (tympanometry)
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur perubahan impedans
akustik sistem membran timpani telinga tengah melalui perubahan tekanan
udara di telinga luar. Timpanogram tipe A merupakan gambaran dimana
tekanan telinga tengah kurang lebih sama dengan tekanan atmosfer (contoh:
gambaran normal), timpanogram tipe B adalah gambaran datar tanpa
compliance (contoh: adanya efusi di telinga tengah), timpanogram tipe C
(contoh: adanya tekanan negatif pada telinga tengah). Pada otitis media efusi,
biasanya didapatkan timpanogram tipe B (5,4)

Pure tone Audiometry


Selain dengan Garpu Tala, penilaian gangguan pendengaran bisa
dilakukana dengan Audiometri Nada Murni. Tuli konduktif umumnya berkisar
antara derajat ringan hingga sedang.(5,3)
VIII. DIAGNOSA BANDING

IX. TATALAKSANA

NON BEDAH

Tatalaksana otitis media efusi secara medikamentosa dapat dikatakan


kontroversial, dan penerapannya tergantung dari setiap negara (3). Terapi
medikamentosa dapat berupa decongestan, anti histamin, antibiotik, perasat
valsava (bila tidak ada tanda-tanda infeksi jalan napas atas), dan
hiposensitisasi alergi.
Dekongestan dapat diberikan melalui tetes hidung, atau kombinasi anti
histamin dengan dekongestan oral (2). Namun kepustakaan lain menuliskan
bahwa antihistamin maupun dekongestan tidak berguna bila tidak ada kongesti
nasofaring (1).
Dasar dari pemberian antibiotik adalah berdasarkan penelitian dari hasil
kultur bakteri cairan otitis media efusi. Cairan serosa dan mukoid yang
dikumpulkan pada miringotomi untuk diteliti, hasilnya ditemukan biakan
kultur positif pada 40% spesimen. Hasil biakan kultur tersebut mengandung
organisme yang identik dengan organisme yang didapat dari timpanosentesis
otitis media akut. Maka, pemilihan antibiotik pada otitis media serosa dan
mukoid serupa dengan otitis media akut (1). Hasil penelitian terkini,
membuktikan bahwa penggunaan antibiotik terbukti efektif hanya pada
sejumlah kecil pasien, dan efeknya cenderung bersifat jangka pendek. Oleh
karena itu, penggunaannya tidak selalu mutlak, mengingat efek sampingnya
(seperti gastroenteritis, reaksi atopik, risiko resistensi) tidak sebanding dengan
keefektifannya. (3)
Hiposensitisasi alergi hanya dilakukan pada kasus-kasus yang jelas
memperlihatkan alergi dengan tes kulit. Bila terbukti alergi makanan, maka
diet perlu dibatasi.
Tatalaksana lain yang masih kontroversial keefektifannya antara lain:
penggunaan steroid, dan mucolytik. Penggunaan kedua golongan ini
kontroversial karena hasil studi banding dengan placebo, tidak menunjukan
perbedaan atau hanya sedikit perbaikan. (8)

BEDAH

Beberapa pilihan untuk tatalaksana bedah antara lain: miringitomi,


pemasangan tuba timpanostomi, adenoidektomi.
Pemasangan tuba timpanostomi untuk sebagai ventilasi, yang
memungkinkan udara masuk ke dalam telinga tengah, dengan demikian
menghilangkan keadaan vakum (1). Tuba timpanostomi terdapat dua macam:
short term (contoh: grommets), long term (contoh: T-tubes). Tuba jangka
pendek dapat bertahan hingga 12 bulan, sedangkan tuba jangka panjang dapat
digunakan hingga bertahun-tahun (3). Tuba ventilasi dibiarkan pada tempatnya
sampai terlepas sendiri dalam jangka waktu 6-12bulan. Sayangnya karena
cairan seringkali berulang, beberapa anak memerlukan tuba yang dirancang
khusus sehingga dapat bertahan lebih dari 12 bulan. Keburukan tuba yang
tahan lama ini adalah menetapnya perforasi setelah tuba terlepas. Namun,
Pemasangan tuba ventilasi dapat memulihkan pendengaran dan membenarkan
membran timpani yang mengalami retraksi berat terutama bila ada tekanan
negatif yang menetap. (1)

Tindakan miringitomi dan aspirasi efusi tanpa pemasangan tuba


timpanostomi dibuktikan hanya berguna untuk efek jangka pendek.
Berdasarkan studi oleh Gates, tindakan miringitomi diikuti pemasangan tuba
timpanostomi, dapat mempercepat perbaikan pendengaran, mempersingkat
durasi penyakit, mengurangi angka rekurens. Luka insisi setelah miringitomi
biasanya sembuh dalam 1minggu, namun, biasanya disfungsi tuba eustachius
membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh (biasanya 6minggu). Oleh
karena ini, tindakan miringitomi saja, akan meningkatkan angka rekurens. (8)
Manfaat adenoidektomi pada otitis media serosa kronik masih
diperdebatkan. Tentunya tindakan ini cukup berarti pada individu dengan
adenoid yang besar, dimana tindakan adenoidektomi dapat menghilangkan
obstruksi hidung – nasofaring, memperbaiki fungsi tuba eustachius, dan
mengeliminasi sumber reservoir bakteri (1) (3). Namun sebagian besar anak
tidak memenuhi kategori tersebut. Penelitian mutakhir (Gates) melaporkan
bahwa adenoidektomi terbukti menguntungkan sekalipun jaringan adenoid
tersebut tidak menyebabkan obstruksi (1). Namun, mengingat risiko post
operasi (seperti perdarahan), adenoidektomi biasanya baru dipertimbangkan
ketika penggunaan tuba timpanostomi gagal untuk menangani otitis media
efusi (3).
PILIHAN TERAPI

Kebanyakan pasien dengan otitis media efusi, tidak membutuhkan


terapi, terutama jika gangguan pendengarannya ringan, oleh karena resolusi
spontan sering terjadi. Dalam 3 bulan pertama setelah onset atau setelah
diagnosis, disarankan untuk diobservasi atau dapat diberikan tatalaksana non
bedah terlebih dahulu (3). Dalam jangka waktu tersebut, menurut studi, cairan
dapat menghilang hingga 90 persen. Cairan yang tetap bertahan setelah 3
bulan, merupakan indikasi bedah. (1)
Keputusan untuk melakukan intervensi bedah tidak hanya berdasarkan
lamanya penyakit. Derajat gangguan dan frekuensi parahnya gangguan
pendahulu juga perlu dipertimbangkan (1). Intervensi lebih awal dan agresif
disarankan perlu dilakukan pada pasien dengan: (1) (8)
 keterlambatan berbicara dan tumbuh kembang
 otitis media unilateral
 gangguan pendengaran bermakna (> 40 db: indikasi 21elative, 21-40
db: indikasi 21elative)
 pasien dengan sindrom (contoh: Down Syndrome), atau dengan
palatoschizis

Sumber lain membagi pilihan terapi berdasarkan onset akut atau kronis.
Pada otitis media efusi akut, pengobatan medikal diberikan vasokonstriktor
lokal (tetes hidung), anti histamin, perasat valsava bila tidak ada tanda infeksi
jalan napas atas. Setelah satu atau dua minggu, bila gejala masih menetap,
dilakukan miringitomi, dan bila masih belum sembuh maka dilakukan
miringotomi serta pemasangan pipa ventilasi (Grommet). Pada otitis media
efusi kronis, pengobatan harus dilakukan miringotomi dan pemasangan pipa
ventilasi Grommet (2).

X. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada otitis media efusi (8):

 Kurangnya pendengaran
 Terganggunya proses bicara dan tumbuh kembang
 Otitis media akut

XI. PROGNOSIS

Secara umum, prognosis pasien dengan otitis media efusi tergolong baik.
Kebanyakan kasus sembuh sendiri tanpa intervensi (8). Angka prevalensi otitis
media efusi juga menurun tajam pada anak usia 7 tahun, yang dikaitkan
dengan maturasi tuba eustachius dan fungsi imunitas (3)

XII. PENCEGAHAN

Beberapa tindakan pencegahan yang dapat mengurangi prevalensi otitis


media efusi: menghindari rokok atau asap rokok, memperpanjang ASI
ekslusif, pada pasien anak disarankan tidak sering ke tempat ramai berisiko
(contoh: day care center, tempat ramai lain dengan banyak penderita ISPA,
dll) (8).
BAB III
HIPERTROFI ADENOID

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI ADENOID


Jaringan limfoid nasofaring dan orofaring tersusun atas struktur yang
membentuk sebuah cincin yang disebut cincin Waldeyer sesuai dengan
nama penemunya Heinrich Wilhelm Gottfried von Waldeyer-Hartz, seorang
ahli anatomi asal Jerman. Cincin waldeyer ini terdiri dari adenoid, tubal
tonsils, lateral bands, tonsil palatina, dan tonsil lingual. Terdapat pula
beberapa jaringan limfoid di dinding posterior faring dan ventrikel laring.
Adenoid atau tonsila faringeal merupakan sebuah massa yang memiliki
dasar yang terletak di dinding posterior nasofaring dan apeks yang menusuk
ke arah septum nasi.7 Permukaan adenoid berlapis-lapis dalam serangkaian
lipatan dengan beberapa kripta namun tidak disertai kompleks kripta seperti
yang terdapat pada tonsil palatina. Secara histologis, epitel yang
menyusunnya merupakan epitel pseudostratified bersilia dan diinfiltrasi
oleh folikel limfoid.8

Gambar 1. Anatomi adenoid

Suplai darah adenoid berasal dari arteri palatina asenden yaitu cabang
arteri fasialis, arteri faringeal asenden, cabang faringeal dari arteri
maxillaris interna, arteri canalis pterygoid, dan cabang cervical asenden
dari arteri trunkus thyrocervicalis. Drainase vena melalui plexus faring dan
plexus pterygoideus yang akan mengalirkan darah ke vena fasialis dan
jugularis interna. Persarafan yang
menginvervasi berasal dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus.7,8

Adenoid merupakan bagian dari sistem imun sekunder. Adenoid


berperan pada traktus respiratorius dan traktus gastrointestinalis,
menempati posisi yang dapat diekspos oleh antigen dari udara maupun
makanan. Lipatan adenoid yang terpajan oleh antigen akan ditransfer
melalui lapisan epitel.9
Struktur imunologis dari adenoid terbagi ke dalam empat
kompartemen,
yakni: reticular crypt epithelium, area ekstrafolikular, mantle zone of the
lymphoid
follicle, dan germinal center of the lymphoid follicle. Membran sel dan
antigen
presenting cell (APC) terlibat dalam proses transportasi antigen melalui
lapisan
epitel dan mempresentasikannya pada sel T-helper. Ketika suatu saat
terdapat
antigen yang cukup banyak, sel B di germinal zone of the lymphoid follicle
akan
terstimulasi untuk berdiferensiasi dan memproduksi antibodi. Adenoid
terlibat
dalam kebanyakan produksi IgA, yang kemudian ditransportasikan ke
permukaan
untuk menyediakan proteksi imun lokal. Perlu diingat bahwa adenoid yang
mengalami kelainan tetap bertindak sebagai struktur yang normal seperti
jaringan
limfoid lainnya, dengan fungsi yang tetap, yaitu produksi antobodi (IgA
lokal,
IgG serta IgM sistemik).8,9

II. HIPERTROFI ADENOID


A. DEFINISI

Hipertrofi adenoid adalah pembesaran jaringan adenoid.5 Hal ini


sering terjadi akibat infeksi saluran nafas bagian atas berulang. Hipertrofi
dan infeksi dapat terjadi secara terpisah tetapi sering terjadi bersama.
Struktur adenoid yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring,
terutama pada dinding posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan
terbentuk massa dengan berbagai ukuran. Massa ini dapat hampir mengisi
ruang nasofaring, mengganggu saluran udara yang melalui hidung,
mengobstruksi tuba eustachii, dan memblokade pembersihan mukosa
hidung.10

Gambar 2. Hipertrofi Adenoid

B. ETIOLOGI

Etiologi hipertrofi adenoid dapat diringkas menjadi dua yaitu secara


fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami
hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil
dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun.1 Hipertrofi adenoid
biasanya asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi
kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA.2 Etiologi
pembesaran adenoid sebagian besar disebabkan oleh infeksi yang berulang
pada saluran nafas bagian atas. Selain itu episode alergi juga dapat
menyebabkan pembesaran adenoid.5

C. PATOGENESIS

Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid


merupakan jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin
Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting dalam sistem
pertahanan tubuh lini terdepan dalam proteksi tubuh dari mikroorganisme
dan molekul asing.9

Pada anak-anak pembesaran adenoid terjadi karena aktivitas imun,


karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid
pertama dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan
tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus
dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada epitel kripta,
folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari
jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora normal itu
sendiri dan mikroorganisme patogen.5,9

Adenoid dapat membesar yang mengakibatkan tersumbatnya jalan


udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan usaha yang keras untuk
bernafas. Akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid
dapat menyebabkan obstruksi di saluran udara pada nasal sehingga
mempengaruhi suara.3

Pembesaran adenoid juga menyebabkan obstruksi pada tuba eustachius


yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga
tengah akibat gangguan fungsi tuba eustachius yang tidak bekerja efisien
karena adanya sumbatan.4

D. DIAGNOSIS
a) Anamnesis

Keluhan utama pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya adalah


rhinore, kualitas suara berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa
pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing),
mendengkur, gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif
(merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga
tengah yang persisten) dan facies adenoid.2,3

Gambar 3. Facies Adenoid

Jika seseorang mengalami infeksi pada saluran napas bagian atas


berulang, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan menyebabkan
sumbatan pada koana dan tuba eustachius. Akibat sumbatan koana maka
pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi;

1) Lengkung palatum durum meninggi dan menyempit, area dentalis


superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus dentalis
inferior hingga terjadi maloklusi dan overbite (gigi incisivus atas
lebih menonjol ke depan),

2) Wajah pasien terlihat seperti anak bodoh, yang dikenal sebagai


facies adenoid,
3) Mouth breathing mengakibatkan udara pernafasan tidak disaring
dan kelembabannya berkurang, sehingga mudah terjadi infeksi,

4) Sumbatan tuba eustachius akan memicu otitis media serosa baik


rekuren maupun residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian.
Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.2,3

Secara umum anak-anak dengan pembesaran adenoid memiliki


karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan
pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini terdiri
dari postur bibir yang terbuka atas yang lebih pendek; hidung yang kurus,
maksilla yang sempit dan hipoplastik, dan high-arched palate.3

Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi cross bite dan


open bite. Pada sebuah penelitian menunjukkan hubungan yang sangat erat
antara pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta maksilla. Alasan
alternatif adalah bahwa kelainan rahang atas ini didapat dari variasi normal.
Hubungan kausatif antara pembesaran adenoid dan kelainan maxilla tidak
pernah diteliti.3

Mouth breathing dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala


paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya saat tidur, terutama bila
anak tidur terlentang, bila mendengkur, kemungkinan juga terjadi. Dengan
adanya hipertrofi adenoid yang berat, mulut akan terus terbuka, sehingga
membran mukosa mulut serta bibir menjadi kering. Nasofaringitis kronis
dapat terjadi secara konstan dan dapat berulang. Kualitas suara berubah
menjadi suara hidung, serak. Pernapasan terasa menusuk hidung, indra
pengecap serta penciuman pun terganggu. Batuk yang mengganggu dapat
muncul akibat dari drainase nanah ke dalam faring bawah atau iritasi laring
dan udara inspirasi yang belum dipanasi serta dilembabkan oleh karena
masuk melalui mulut. Gangguan pendengaran juga dapat dijumpai. Otitis
media kronis dapat terjadi karena adanya hipertrofi adenoid yang terinfeksi
dan blokade orifisium tuba eustachii. Pernapasan mulut kronis memberi
kecenderungan lengkungan palatum tinggi, sempit, dan mandibula
memanjang. Tidak jarang ortodontis merujuk untuk melakukan
pemeriksaan obstruksi hidung dan adenoidektomi.3
Sejumlah kecil anak dengan pembesaran adenoid (juga tonsil) yang
nyata tidak mampu bernapas dengan mulut selama waktu tidur, sehingga
terjadilah obstructive sleep apnea Mereka mendengus dan mendengkur
keras dan sering menampakkan tanda-tanda kegawatan pernapasan, seperti
retraksi interkostal dan pelebaran lubang hidung. Anak ini berisiko
mengalami insufisiensi pernapasan (hipoksia, hiperkapnea, asidosis).11

Sebuah penelitian mengklasifikasikan hipertrofi adenoid menurut


gejalanya sebagai berikut:

1) Mendengkur (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–2 malam dalam


seminggu, grade 2 = 3–5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6–7
malam dalam seminggu),
2) Hidung tersumbat (chronic mouth breathing) (grade 0 = tidak ada, grade
1 = ¼ hingga ½ hari, grade 2 = ½ hingga ¾ hari, dan grade 3 = ¾ hingga
sehari penuh)
3) Sleep apnea (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–2 malam dalam seminggu,
grade 2 = 3–5 malam dalam seminggu, dan grade 3 = 6–7 malam dalam
seminggu),
4) Otitis media (grade 0 = tidak ada, grade 1=1–3 episode per tahun, grade
2 = 4–6 episode per tahun, dan grade3 = lebih dari 6 episode per tahun),
serta
5) Faringitis rekuren (grade 0 = tidak ada, grade 1 = 1–3 episode per tahun,
grade 2 = 4–6 episode per tahun, dan grade 3 = lebih dari 6 episode per
tahun).12

b) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terbagi dua yaitu secara langsung dan tidak


langsung. Secara langsung yaitu:

 Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasofaring


setelah palatum molle di retraksi,
 Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum
molle waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh
pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena palatum molle
yang negatif.
Sedangan secara tidak langsung yaitu:

 Dengan pemeriksaan rhinoskopi posterior, menggunakan


cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah
orofaring,
 Dengan nasofaringoskop, suatu alat yang mempunyai sistem
lensa dan lampu diujungnya, dimasukkan melalui cavum
nasi, sehingga nasofaring dapat terlihat.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi nasal
kebanyakan sulit dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang dilakukan
dengan rinoskopi anterior dapat terlihat normal atau dapat menunjukkan
peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti (hiperemis atau kebiruan)
di konka. Pada beberapa anak, pemeriksaan nasofaring dengan kaca laring
dapat mengidentifikasi adenoid yang besar. Akan tetapi, pada beberapa
anak pemeriksaan dengan kaca laring ini tidak mungkin dilakukan. Cara
yang paling mungkin untuk mengidentifikasi ukuran adenoid ini adalah
dengan menggunakan foto lateral. Foto radiologi ini akan memberikan
pengukuran absolut dari adenoid dan juga dapat memberikan taksiran
hubungannya dengan ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik
untuk menentukan apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala
obstruksi nasal.2,6

c) Pemeriksaan Penunjang

1. Foto polos
Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos
true lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan
ukuran nasofaring dan massa adenoid dua dimensi. Namun, Holmberg dan
Linder- Aronson (1979) menemukan hubungan yang signifikan antara
ukuran adenoid yang diukur pada foto kepala lateral dan adenoid yang
diukur secara klinis menggunakan nasofaringoskopi.3,4

Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam


mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.4

2. CT Scan dan MRI


CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor. Gambaran
hipertrofi adenoid yang terdapat pada CT scan dan MRI adalah
gambaran densitas/intensitas rendah tanpa adanya central midline
cyst.19,20

Gambar 11. MRI dan CT scan nasofaring. A. potongan axial MRI T1 pada
nasofaring B. potongan sagittal CT scan yang menunjukkan soft tissue shadow
pada nasofaring

3. Endoskopi
Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid,
infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk
menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid
diklasifikasikan menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana adenoid grade I
adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal posterior
bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga dua per
tiga dari koana, grade III ketika mengisi dua per tiga hingga obstruksi koana
yang hampir lengkap dan grade IV adalah obstruksi koana sempurna.21

Gambar 12. A. Gambaran endoskopi adenoid pada orang dewasa B. Gambaran


CT scan potongan aksial pada pasien yang sama, menunjukkan adenoid yang
kontak dengan konka inferior.

E. PENATALAKSANAAN

Terapi pada hipertrofi adenoid adalah dengan terapi bedah


adenoidektomi menggunakan adenotom.1 Beberapa penelitian menerangkan
manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid.
Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat
mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu
dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga
tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren, adeinoidektomi
meminimalkan terjadinya rekurensi.4 Indikasi adenoidektomi adalah:

1) Sumbatan; Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut,


sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk
wajah dan gigi (facies adenoid).
2) Infeksi; adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik,
otitis media akut berulang.

3) Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.1,10

Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi umum dan


penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa
keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan
manfaat dan risikonya. Keadaan tersebut antara lain insufisiensi palatum,
gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
anemianfeksi akut yang berat, penyakit berat lain yang mendasari.9

F. KOMPLIKASI

Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila


pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan
terjadinya kerusakan dinding posterior faring. Bila kuretase terlalu ke
lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba
eustachius dan timbul tuli konduktif.1

Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari


obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab
terpenting dari obstructive sleep apnea syndrome atau OSAS, khususnya
ketika terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi jalan napas bagian
atas, antara lain seperti anomali kraniofasial, maupun micrognathia akibat
sindrom Treacher Collins.11

G. PROGNOSIS

Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada


kebanyakan individu.5 Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat
sembuh sempurna, sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat teratasi.
Terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidektomi. Suatu
penelitian menunjukkan adanya resolusi gejala sinusitis setelah
pengangkatan adenoid. Otitis media persisten kronik
, suatu penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 30-50% terjadi penurunan otitis media setelah
dilakukan adenoidectomy.
Sinusitis kronik, studi dari Lee and Rosenfeld
pada tahun 1997, menunjukkan bahwa sinusitis kronik tidak berkurang
meskipun telah dilakukan pengangkatan adenoid. Namun penelitian yang
lain tetap menunjukkan adanya resolusi gejala sinusitis setelah
pengangkatan adenoid.
Obstruksi jalan napas, adenoidektomi
menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala obstruksi nasal seperti
sleep apnea, hiponasal menghilang dengan sendirinya.22

Anda mungkin juga menyukai