Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEBIDANAN PADA NEONATUS, BAYI,

BALITA, DAN ANAK PRA SEKOLAH

Di susun oleh :
1. Hanifa Madihatillah (17.156.02.11.051)
2. Mitha Sinta Dewi (17.156.02.11.061)
3. Rifania Mahesadara (17.156.02.11.067)

2B Kebidanan

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA INDONESIA

Jl. Cut Mutia Raya No.88A Sepanjang Jaya Rawalumbu

Kota Bekasi Jawa Barat 17113

Tahun ajaran 2018 - 2019


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis pnjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya. Penulis dapat menyelesaikan tugas Asuhan Kebidanan pada
neonatus, bayi, balita dan anak pra sekolah yang berjudul “Asuhan kebidanan
pada Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra-Sekolah”
Penulis menyadari bahwa keberhasilan pengerjaan tugas ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih.
Demikian tugas ini dibuat dengan harapan dapat bermanfaat bagi yang
membacanya walaupun penulis menyadari bahwa tugas ini kurang dari kata
sempurna

Bekasi, Desember 2018

Penulis

i
PEMBAHASAN
1.1 Cephalhematoma
1.1.1 Pengertian Cephalhematoma
Cephal hematoma adalah perdarahan sub periosteal akibat
kerusakan jaringan poriestum karena tarikan atau tekanan jalan lahir dan
tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Pemeriksaan x-ray
tengkorak dilakukan, bila dicurigai ada nya faktur (mendekati hampir 5%
dari seluruh cephalhematoma). Tulang tengkorak yang sering terkena
adalah tulang temporal atau parietal ditemukan pada 0,5-2 % dari kelahiran
hidup.
Cephal hematoma adalah pembengkakan pada daerah kepala yang
disebabkan karena adanya penumpukan darah akibat pendarahan pada
subperiostinum Kelainan ini agak lama menghilang (1-3 bulan). Pada
gangguan yang luas dapat menimbulkan anemia dan hiperbilirubinemia.
Perlu pemantauan hemoglobin, hematokrik, dan bilirubin. Aspirasi darah
dengan jarum tidak perlu di lakukan. Klasifikasi Menurut letak jaringan
yang terkena ada 2 jenis yaitu :
1. Subgaleal Galea
Merupakan lapisan aponeurotik yang melekat secara longgar pada
sisi sebelah dalam periosteum. Pembuluh-pembuluh darah vena di daerah
ini dapat tercabik sehingga mengakibatkan hematoma yang berisi sampai
sebanyak 250 ml darah. Terjadi anemia dan bisa menjadi shock. Hematoma
tidak terbatas pada suatu daerah tertentu. Penyebabnya adalah perdarahan
yang letaknya antara aponeurosis epikranial dan periosteum. Dapat terjadi
setelah tindakan ekstraksi vakum. Jarang terjadi karena komplikasi tindakan
mengambil darah janin untuk pemeriksaan selama persalinan, risiko
terjadinya terutama pada bayi dengan gangguan hemostasis darah.
Sedangkan untuk kadang-kadang sukar didiagnosis, karena terdapat edema
menyeluruh pada kulit kepala. Perdarahan biasanya lebih berat
dibandingkan dengan perdarahan subperiosteal, bahaya ikterus lebih besar.

1
2. Subperiosteal
Karena periosteum melekat pada tulang tengkorak di garis-garis
sutura, maka hematoma terbatas pada daerah yang dibatasi oleh sutura-
sutura tersebut. Jumlah darah pada tipe subperiosteal ini lebih sedikit
dibandingkan pada tipe subgaleal, fraktur tengkorak bisa menyertainya.
Cephal hematoma biasanya disebabkan oleh cedera pada periosteum
tengkorak selama persalianan dan kelahiran, meskipun dapat juga timbul
tanpa trauma lahir. Cephal hematola terjadi sangat lambat, sehingga tidak
nampak adanya edema dan eritema pada kulit kepala. Insidennya adalah 2,5
%. Perdarahan dapat terjadi di satu atau kedua tulang parietal. Tepi
periosteum membedakan cephal hematoma dari caput sucsedeneum.
Terdapat juga faktor predisposisi yaitu seperti tekanan jalan lahir yang
terlalu lama pada kepala saat persalinan, moulage terlalu keras dan partus
dengan tindakan seperti forcep maupun vacum ekstraksi. Caput terdiri atas
pembengkaakan lokal kulit kepala akibat edema yang terletak di atas
periosteum. Selain itu,sefalhematum mungkin timbul beberapa jam setelah
lahir, sering tumbuh semakin besar dan lenyap hanya setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan.
1.2.1 Tanda dan gejala cephalhematoma
Berikut ini adalah tanda-tanda dan gejala Cephal hematoma:
1. Adanya fluktuasi
2. Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas setelah 2 jam setelah
bayi lahir
3. Adanya chepal hematoma timbul di daerah tulang parietalBerupa
benjolan timbunan kalsium dan sisa jaringan fibrosa yang masih
teraba. Sebagian benjolan keras sampai umur 1-2 tahun. Tempatnya
tetap. ( Menurut : Prawiraharjo, Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan ).
4. Kepala tampak bengkak dan berwarna merah, karena perdaraahan
subperiosteum
5. Tampak benjolan dengan batas yang tegas dan tidak melampaui
tulang tengkorak ( tidak melewati sutura).

2
6. Pada perabaan terasa mula – mula keras kemudian menjadi lunak,
tetapi tidak leyok pada tekanan dan berfluktuasi.
7. Benjolan tampak jelas lebih kurang 6 – 8 jam setelah lahir
8. Benjolan membesar pada hari kedua atau ketiga, pembengkakan
terbatas
9. Benjolan akan menghilang dalam beberapa minggu.
1.3.1 Penanganan cephalhematoma
Cephal hematoma umumnya tidak memerlukan perawatan khusus.
Biasanya akan mengalami resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu tergantung
dari besar kecilnya benjolan. Namun apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini
akan agak lama menghilang (1-3 bulan) dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara
lain :
1. Cegah infeksi bila ada permukan yang mengalami luka maka jaga agar tetap
kering dan bersih.
2. Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan Cephal hematoma
3. Pemberian vitamin K
4. Pemeriksaan radiologi, bila ada indikasi gangguan nafas, benjolan terlalu
besar observasi ketat untuk mendeteksi perkembangan
5. Pantau hematokrit
6. Rujuk, bila ada fraktur tulang tengkorak, cephal hematoma yang terlalu
besar
7. Bila tidak ada komplikasi, tanpa pengobatan khusus akan sembuh /
mengalami resolusi dalam 2 - 8 minggu
Bayi dengan Cephal hematoma tidak boleh langsung disusui oleh ibunya
karena pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah yang mulai pulih. Untuk
melakukan penanganan pada kasus cephal hematoma sebagai berikut :
1. lebih hati-hati jangan sering diangkat dari tempat tidur.
2. Cairan tersebut akan hilang terabsorbsi dengan sendirinya dalam satu
minggu. Terabsosbsinya menjadi lama apalagi terjadi jaringan fibroblast.
3. Tidak di aspirasi karena dikhawatirkan akan terjadi infeksi bila kulit ditusuk
jarum sehingga terjadi trauma akibat peradangan benda asing.

3
4. Setelah hematoma lenyap, terjadi hemolisis sel darah merah.
5. Stilumus secara pelan untuk merangsang pembuluh limfe dibawah kulit.
6. Hari pertama kopres dingin
7. Hari kedua sampai keempat kompres hangat.
8. Hiperbilirubinemia dapat timbul setelah bayi dirumah.
9. Observasi terhadap bilirubinemia dan trombositopenia. Pada neonatus
dengan sefalhematoma tidak diperlukan pengobatan, namun perlu
dilakukan fototerapiuntuk mengatasi hiperbilirubinemia.
10. Dapat diberi vitamin K untuk mengurangi perdarahan.
11. Pemeriksaan x-ray tengkorak, bila dicurigai adanya fraktur (mendekati
hampir 5% dari seluruhcephalhematoma
12. Pemantauan bilirubinia, hematokrit, dan hemoglobin
13. Aspirasi darah dengan jarum suntik tidak diperlukan.
14. Konseling orang tua untuk awasi timbulnya kemungkinan ikterik.
15. Diminta cek RS, pada minggu keempat.
1.4.1 Etiologi cephalhematoma
Hematoma dapat terjadi karena :
1) Persalinan lama
Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya tekanan
tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan robeknya
pembuluh darah.
2) Tarikan vakum atau cunam
Persalinan yang dibantu dengan vacum atau cunam yang kuat dapat
menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang
melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.
3) Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
1.5.1 Patofisiologi
1. Bagian kepala yang hematoma bisanya berwarna merah akibat adanya
penumpukan daerah yang perdarahan sub periosteum.
2. Pada partus lama (kala I lama, kala II lama), kelahiran janin dibantu dengan
menggunakan vacum ekstraksi atau forseps yang sangat sulit. Sehingga

4
moulage berlebihan dan menyebabkan trauma kepala dan selaput tengkorak
rupture. Sehingga menyebabkan pendarahan sub periosteum dan terjadi
penumpukan darah sehingga terjadi Cephal Hematoma.
3. Pada kelahiran spontan (kepala bayi besar) terjadi penekanan pada tulang
panggul ibu. Sehingga moulage terlalu keras atau berlebihan dan
menyebabkan trauma kepala dan selaput tengkorak rupture. Sehingga
menyebabkan pendarahan sub periosteum dan terjadi penumpukan darah
sehingga terjadi Cephal Hematoma. Karena adanya tekanan yang
berlebihan, maka akan menyerap dan terabsorbsi keluar sehingga oudema.
1.6.1 Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi pada cephal hematom bisa terjadi karena kulit kepala luka
2. Ikterus
Pada bayi yang terkena cephal hematom dapat menyebabkan ikterus karena
inkompatibiliatas faktor rh atau golongan darah A,B,O antara ibu dan bayi
3. Anemia
Bisa terjadi pada bayai yang terkena cephal hematom karena pada benjolan
terjadi pendarahan hebat atau pendarahan hebat .
4. Klasifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun
Gejala lanjut yang mungkin terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia.
Jarang menimbulkan perdarahan yang memerlukan transfusi, kecuali bayi
yang mempunyai gangguan pembekuan Kadang-kadang disertai dengan
fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan intra kranial.

5
2.1 Trauma pada Flexus Brachialis
2.1.1 Pengertian
Cedera Plexus Brachialis diartikan sebagai suatu cedera pada Plexus
Brachialis yang diakibatkan oleh suatu trauma. Trauma ini sering kali berupa
penarikan berlebihan atau avulsi. Posisi jatuh dengan leher pada sudut
tertentumenyebabkan cedera pleksus bagian atas yang bisa menyebabkan erb’s
paralysis.
Cedera seperti ini menghasilkan sutu tanda yang sangat khas yang disebut
deformitas Waiter’s tip karena hilangnya otot-otot rotator lateral bahu, fleksor
lengan, dan otot ekstensor lengan (Mahadewa, 2013).
Sebagian besar cedera plexus brachialis terjadi selama proses persalinan. plexus
brachialis sering mengalami masalah saat berada di bawah tekanan, seperti dengan
bayi yang besar, presentasi bokong atau persalinan yang lama. Hal ini juga dapat
terjadi ketika kelahiran menjadi rumit dan orang yang membantu persalinan harus
melahirkan bayi dengan cepat dan mengarahkan beberapa kekuatan untuk menarik
bayi melalui jalan lahir. Jika salah satu sisi leher bayi tertarik, saraf yang terdapat
didalamnya juga akan tertarik dan dapat mengakibatkan cedera. Saraf Plexus
Brachialis memiliki beberapa kemampuan untuk meregenerasi diri, selama
lapisan luar selubung atau penutup saraf yang diawetkan, yang serabut saraf yang
rusak dapat menumbuhkan kembali ke otot. Bayi mungkin tidak dapatmenggerakan
bahu, tetapi dapat memindahkan jari-jari. Jika kedua saraf atas dan bawah yang
meregang, kondisi ini biasanya lebih parah dari sekedar erb’sparalysis. Erb’s
Paralysis merupakan lesi pada plexus brachialis bagian atas karena cedera yang
diakibatkan perpindahan kepala yang berlebihan dan depresi bahupada sisi yang
sama saat kelahiran, sehingga menyebabkan traksi yang berlebihan bahkan
robeknya akar saraf C5 dan C6 dari plexsus brachialis. Hal ini sering disebabkan
ketika leher bayi itu ditarik ke samping selama kelahiran yang sulit.Kebanyakan
bayi dengan lesi plexus brachialis lahir akan memulihkan kedua gerakan dan
perasaan di lengan yang terpengaruh. Untuk mendiagnosa cedera plexus brachialis
pada bayi baru lahir, dapat dilihat dari manifestasi klinisnya berupa tidak adanya
respon motorik yang normal pada otot-otot ekstremitas atas, seperti tidak adanya

6
refleks menggenggam dan refleks moro asimetris. Namun agak sulit untuk
menentukan diagnosis otot yang mengalami kelumpuhan karena bayi belum dapat
melakukan apa yang diperintahkan. Selain itu bisa juga ditemui gejala Syndrome
Horner (ptosis, miosis, dan anhidrosis) yang terjadi karena trauma pada lower root
dan gejala ini mempunyai prognosis buruk. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk
menentukan lokasi dan eksistensi cedera saraf seperti avulsi (cedera preganglionik)
atau ruptur (cedera postganglionik) (Mahadewa, 2013). Untuk mengevaluasi
intraoperatif dapat menggunakan myelografi, CT myelografi dan MRI.
Pemeriksaan ini dapat membantu merencanakan prosedur operasi dan
digunakan untuk menilai tingkat keparahan suatu cedera. Orang tua harus waspada
dan berperan aktif dalam proses pengobatan untuk memastikan anak mereka pulih
dengan fungsi maksimal pada lengan yang terpengaruh. Erb’s Paralysis merupakan
salah satu yang dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik dan kecacatan.
Oleh karena itu, penulis mengangkat judul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Erb’s
Paralysis Dextra” sebagai salah satu tindakan untuk pencegahan dan meningkatkan
pengetahuan di masyarakat.
Sebagian besar rumah sakit melaporkan satu sampai dua bayi yang lahir
dengan plexus brachialis mengalami cedera pada 1000 kelahiran. Informasi yang
disebabkan ketika leher bayi itu ditarik ke samping selama kelahiran yang sulit.
Kebanyakan bayi dengan lesi plexus brachialis lahir akan memulihkan kedua
gerakan dan perasaan di lengan yang terpengaruh. Untuk mendiagnosa cedera
plexus brachialis pada bayi baru lahir, dapat dilihat dari manifestasi klinisnya
berupa tidak adanya respon motorik yang normal pada otot-otot ekstremitas atas,
seperti tidak adanya refleks menggenggam dan refleks moro asimetris. Namun
agak sulit untuk menentukan diagnosis otot yang mengalami kelumpuhan karena
bayi belum dapat melakukan apa yang diperintahkan. Selain itu bisa juga ditemui
gejala Syndrome Horner (ptosis, miosis, dan anhidrosis) yang terjadi karena trauma
pada lower root dan gejala ini mempunyai prognosis buruk.

7
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan lokasi dan eksistensi
cedera saraf seperti avulsi (cedera preganglionik) atau ruptur (cedera
postganglionik) (Mahadewa, 2013). Untuk mengevaluasi intraoperatif dapat
menggunakan myelografi, CT myelografi dan MRI. Pemeriksaan ini dapat
membantu merencanakan prosedur operasi dan digunakan untuk menilai tingkat
keparahan suatu cedera. Orang tua harus waspada dan berperan aktif dalam proses
pengobatan untuk memastikan anak mereka pulih dengan fungsi maksimal pada
lengan yang terpengaruh. Erb’s Paralysis merupakan salah satu yang dapat
menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik dan kecacatan. Oleh karena itu, penulis
mengangkat judul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Erb’s Paralysis Dextra”
sebagai salah satu tindakan untuk pencegahan dan meningkatkan pengetahuan di
masyarakat.
Sebagian besar rumah sakit melaporkan satu sampai dua bayi yang lahir
dengan plexus brachialis mengalami cedera pada 1000 kelahiran. Informasi yang
cukup tentang insiden cedera plexus brachialis atas (erb’s paralysis) trumatis sulit
ditemukan, insiden pastinya tidak diketahui. Saat ini, insiden tersebut adalah 0,8
per 1000 kelahiran bayi. Angka ini turun dari tingkat pada tahun 1900, ketika
dilaporkan jumlah penderita yang mencapai dua kali lipat dari pada saat ini.
Penurunan penderita ini dipengaruhi oleh pelayanan kebidanan yang terus
ditingkatkan. Diperkirakan terjadi 400-450 penderita cedera tertutup
supraclavicular di inggris setiap tahunnya. Laki-laki lebih banyak yang terkena
trauma (Mahadewa, 2013).
Masalah utama yang timbul pada penderita Erb’s Paralysis adalah lesi pada
plexus brachialis yang dapat menyebabkan adanya nyeri pada bahu, adanya
penurunan kekuatan pada otot-otot lengan atas, keterbatasan lingkup gerak sendi
pada lengan dan penurunan aktivitas fungsional.
Intervensi fisioterapi yang digunakan untuk mengatasi problematik yang
timbul pada kondisi erb’s paralysis adalah Infra Red, Muscle Stimulation, dan
terapi latihan (active assisted dan hold relax). Tujuan dari penggunaan Infra Red,
untuk mengurangi nyeri, merileksasi otot-otot dan meningkatkan suplai darah
(Sujatno, dkk, 2002).

8
Penggunaan muscle stimulation bertujuan untuk menimbulkan kontraksi
otot dari saraf yang lesi, menstimulasi saraf sensorik untuk mengurangi nyeri,
membuat medan listrik pada jaringan lunak untuk merangsang proses
penyembuhan, dan membuat medan listrik pada permukaan kulit untuk mengirim
ion bienefical untuk merangsang proses penyembuhan pada kulit yang lesi
(Prentice, 2002).

Penggunaan terapi latihan bertujuan untuk merileksasi otot dan


meningkatkan lingkup gerak sendi.
Pleksus brakhialis adalah pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal
dari medulla spinalis yang mempersarafi ekstremitas superior. Pleksus brakhialis
merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1. C5
dan C6 bergabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8
dan T1 bergabung membentuk trunk inferior. Trunkus berjalan melewati klavikula
dan disana membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior dari masing-
masing trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari
trunkus-trunkus superior dan media membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior
dari trunkus inferior membentuk fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior
membentuk n. radialis dan n. axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang
yang satu membentuk n. muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan
fasikulus media untuk membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua
dimana cabang pertama ikut membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi
n. ulnaris.

9
Ada empat jenis cedera pleksus brakialis :
1) Avulsion : jenis yang paling parah, di mana saraf rusak di tulang
belakang;
2) Pecah : di mana saraf robek tetapi tidak pada lampiran spinal;
3) Neuroma : di mana saraf telah berusaha untuk menyembuhkan dirinya
sendiri, tetapi jaringan parut telah berkembang di sekitar cedera,
memberi tekanan pada saraf dan mencegah cedera saraf dari melakukan
sinyal ke otot-otot.
4) Neurapraxia atau peregangan : di mana saraf telah rusak tetapi tidak
robek.
5) Neurapraxia adalah jenis yang paling umum dari cedera pleksus
brakialis
2.2 Tanda dan gejala
Secara umum, tanda dan gejala trauma fleksus brachialis antara lain :
a) Gangguan motorik pada lengan atas
b) Paralisis atau kelumpuhan pada lengan atas dan lengan bawah
c) Lengan atas dalam keadaan ekstensi dan abduksi
d) Jika anak diangkat maka lengan akan lemas dan tergantung
e) Reflex moro negative
f) Tangan tidak bisa menggenggam
g) Reflex meraih dengan tangan tidak ada
Tanda dan gejala pada lesi plexus brachialis adalah ditandai dengan adanya
paralisis pada otot deltoid, otot biceps, otot ekstensor karpi radialis brevis dan
ekstensor karpi radialis longus, kadang – kandang juga otot supraspinatus dan
infraspinatus yang disebabkan Karena tergangguna otot yang terdinerfasi oleh
percabangan syaraf plexus brachialis. Kemudian akan menyebabkan hilangnya
gerakan abduksi, adduksi, fleksi dan ekstensi shoulder, endorotasi dan eksorotasi
shoulder, gerakan fleksi dan ekstensi elbow, gerakan dorso fleksi dan palmar fleksi,
serta kadang-kadang adanya hilang rasa sensoris di area dermaton C5-Th1 dan
atrofi bahkan kontraktur pada grup otot fleksor dan ekstensor lengan (Kimberly,
2009).

10
2.3 Penanganan
a. Paralisis erb-duchene
1) Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan imobilisasi pada posisi
tertentu selama 1-2 minggu yang kemudian diikuti program latihan.
2) Pada trauma ini imobilisasi dilakukan dengan cara fiksasi lengan yang
sakit dalam posisi yang berlawanan dengan posisi karakteristik
kelumpuhan Erb.
3) Lengan yang sakit di fiksasi dalam posisi abduksi 90 ̊ disertai eksorotasi
pada sendi bahu, fleksi 90 ̊
b. Paralisis Klumpke
Penatalaksanaan trauma lahir klumpke berupa imbolisasi dengan memasang
bidang pada telapak tangan dan sendi tangan yang sakit pada posisi netral yang
selanjutnya diusahakan program latihan.
c. Bedah
Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila
tidak ada perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization) atau
tendon transfer diperlukan bila perbaikan saraf gagal.
d. Pembedahan Primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki
injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung
berat ringan lesi.
e. Neurolysis :Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.
f. Neuroma excision :Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan
kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts.
g. Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak
mungkin dilakukan Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan
medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n
interosseus posterior.
h. Intraplexual neurotisation: menggunakan bagian dari root yang masih
melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
i. Pembedahan Sekunder

11
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena.
Ini tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer,
pedicled muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational,
wedge or sliding osteotomies.
j. Rehabilitasi Paska Trauma Pleksus Brakialis
k. Pasca operasi Nerve repair dan graft.
Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4
minggu. Terapi rehabilitasi dilakukan setelah 4 minggu paska operasi
dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota gerak atas untuk
mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada
minggu ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus
diobservasi dan apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan
aktif bisa segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat bagi pasien agar
otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa mempunyai kontrol yang lebih
baik.
l. Paska operasi free muscle transfer
Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu
abduksi 30̊ , fleksi 60̊ dan rotasi internal, siku fleksi 100̊. Pergelangan tangan
posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi atau ekstensi tergantung jenis
rekonstruksinya. Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi
bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada pergelangan tangan. Enam
minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot
dan tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif
ekstensi siku. Sembilan minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan
ortesa elbow sling dipakai untuk mencegah subluksasi bahu.
Setelah Reinervasi 3 – 8 bulanan paska operasi Teknik
elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk
menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan
mengkontraksikan ototnya secara efektif.Pada alat biofeedback terdapat
level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien sendiri. Saat

12
otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan
merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
m. Terapi Okupasi
Terapi okupasi terutama diperlukan untuk Memelihara luas gerak
sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi tangan, siku
dan lengan, mengontrol edema defisit sensoris. Melatih kemampuan untuk
menulis, mengetik, komunikasi. Menggunakan teknik-teknik untuk
aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu lengan,
menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.
n. Terapi Rekreasi
Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat
menggantikan berkurang dan hilangnya fungsi ekstremitas.
o. Pengobatan
Pengobatan tergantung pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brakialis
dan mungkin termasuk terapi okupasi dan fisik dan, dalam beberapa kasus,
pembedahan. Beberapa cedera pleksus brakialis menyembuhkan sendiri. Anak-
anak dapat puih atau sembuh dengan 3 sampai 4 bulan.
Prognosis juga tergantung pada lokasi dan jenis cedera pleksus brakialis
menentukan prognosis. Untuk luka avulsion dan pecah tidak ada potensi untuk
pemulihan kecuali rekoneksi bedah dilakukan pada waktu yang tepat. Untuk cedera
neuroma dan neurapraxia potensi untuk pemulihan bervariasi. Kebanyakan pasien
dengan cedera neurapraxia sembuh secara spontan dengan kembali 90-100%
fungsi.
2.4 Etiologi
Trauma pleksus brakialis umumnya terjadi pada bayi besar. Kelainan ini
timbul akibat tarikan yang kuat pada daerah leher saat melahirkan bayi sehingga
terjadi kerusakan pada pleksus brakialis. Biasanya ditemukan pada persalinan letak
sungsang bila dilakukan traksi yang kuat saat melahirkan kepala bayi. Pada
persalinan letak kepala, kelainan ini dapat terjadi pada kasus distosia bahu. Pada
kasus tersebut kadang-kadang dilakukan tarikan pada kepala yang agak kuat ke
bawah untuk melahirkan bahu depan.

13
Sebagian besar traction injury akibat dislokasi terjadi pada kecelakaan lalu
lintas. Dari data yang terkumpul, 1173 pasien lesi plexus brachialis dewasa, 82 %
disebabkan karena kecelakaan saat mengendarai sepeda motor.Korban jatuh saat
mengendarai sepeda motor dengan kepala dan bahu membentur tanah. Benturan
yang terjadi dengan posisi bahu depresi dan kepala fleksi ke arah yang berlawanan.
Gerakan yang sangat tiba – tiba tersebut juga menyebabkan cedera tarikan
pada clavicula dan struktur di bawahnya termasuk plexus brachialis dan vena
subclavia. Apabila clavicula sebagai penghubung paling kuat antara bahu dengan
kepala patah, maka semua gaya tarikan berpindah ke serabut neurovascular.
Mekanisme cederasemacam ini menyebabkan kerusakan yang parah pada serabut
saraf bagian atas.
Hiperabduksi shoulder atau tarikan yang kuat yang menyebabkan
melebarnya sudut scapulohumeral kebanyakan mempengaruhi akar saraf C8 dan
T1, cedera traksi dengan kecepatan tinggi bisa menyebabkan avulsi (robek) akar
saraf dari medulla spinalis
2.5 Patofisiologi
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi
atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed
pada prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak
pembuluh darah. Cedera pleksus brakialis dianggap disebabkan oleh traksi yang
berlebihan diterapkan pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu,
penggunaan traksi yang berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat
ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi
janin selama proses persalinan untuk menentukan cedera pada pleksus brakialis.
Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu, namun lengan posterior
biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang kuat
diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri
dapat menyebabkan cedera, cedera pleksus brakialis. Kompresi yang berat dapat
menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf
sekitarnya.

14
Pada kasus ini lesi plexus brachialis terjadi akibat benturan keras sendi bahu
yang mengakibatkan terminal plexus robek.Terjadi karena tarikan yang kuat antara
leher dengan bahu atau antara ekstremitas atas dengan trunk.Patologi saraf muncul
diantara dua titik. Pada titik proksimal di medulla spinalis dan akar saraf (nerve root
junction), sedangan pada titik distal ada di neuromuscular junction. Processus
coracoideus sebagai pengungkit saat hiper abduksi yang kuat pada bahu. Selain arah
gerakan yang kuat pada plexus brachialis , kecepatan tarikan menentukan terjadinya
kerusakan saraf. Sehingga terjadilah cedera pada akar saraf C5-Th1 (Songcharoen
1995)

15
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/270582441/PBL-Cephal-Hematoma
Apr Tutu Ariani. 2012. “Sistem Neurobehaviour”. Salemba Medika. Jakarta
Maryunani Anik, Puspita. 2013. “Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal”. CV.Trans Info Media : Jakarta
Rudolph Abraham M. 2007. “Buku Ajar Pediatric Rudolph”. Buku Kedokteran
EGC. Jakarta
ZR Arief, Kristiyana W.S. 2009. “Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak”.
Nuha Medika : Yogyakarta.
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://simdos.unud.a
c.id/uploads/file_penelitian_dir/7ac5946f0e4829f49006c8a483c0757b.pdf&ved=2
ahUKEwiQ6ceh0pTfAhVFQo8KHWVbDaQQFjAAegQIBhAB&usg=AOvVaw3
5jQ-EQmZzbhrP9P_PdFBt
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.ums.ac.
id/30718/2/04_BAB_I.pdf&ved=2ahUKEwiQ6ceh0pTfAhVFQo8KHWVbDaQQ
FjABegQICRAB&usg=AOvVaw2w913xCPcFsNKoxkm6rQIp
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://eprints.ums.ac.
id/30718/2/04_BAB_I.pdf&ved=2ahUKEwiQ6ceh0pTfAhVFQo8KHWVbDaQQ
FjABegQICRAB&usg=AOvVaw2w913xCPcFsNKoxkm6rQIp

16

Anda mungkin juga menyukai