Anda di halaman 1dari 5

V.

Penanganan Penyakit

Rabies adalah salah satu penyakit penting berdasarkan aspek sosial-ekonomi dan aspek
kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam memberantas Rabies dilaksanakan
dengan alasan utama untuk perlindungan kesehatan manusia dan mencegah penyebarannya
ke hewan domestik dan satwa liar.

Dalam mencapai tujuan itu Pemerintah mengatur dengan melaksanakan strategi dibawah ini
(Departemen Pertanian, 2007):

 Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular Rabies


diwilayah/daerah untuk mencegah penyebaran penyakit
 Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber viru
Rabies yang paling berbahaya.
 Vaksinasi semua hewan yang dipelihara didaerah tertular untuk melindungi hewan
terhadap infeksi dan menguangi kontak terhadap manusia.
 Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah
pembebasan dari penyakit; dan
 Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi
kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

Adapun langkah-langkah pencegahan rabies dapat dilihat dibawah ini:

 Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing, kera dan
hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
 Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa izin ke
daerah bebas rabies.
 Melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah bebas rabies.
 Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi yang
ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
 Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang telah
divaksinasi.
 Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak betuan dengan jalan
pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
 Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies, selama
10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang dibunuh,
maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium terdekat untuk
diagnosa.
 Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera nan hewan sebangsanya yang
bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
 Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-
kurangnya 1 meter.

Tindakan terhadap Korban Gigitan atau Dijilat oleh Hewan Tersangka Rabies

 Luka korban hasil gigitan dibersihkan dan segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah
Sakit terdekat untuk tangani dan dirawat oleh pihak medis
 Korban yang digigit anjing atan dijilat oleh hewan yang tersangka Rabies harus segera
diberikan pengobatan anti Rabies yaitu pemberian serum anti Rabies (SAR) atau
vaksinasi Rabies. Semua anjing atau HPR lainnya yang mengigit khususnya pada
daerah endemis Rabies atau pun mempunyai sejarah penyakit Rabies dianggap hewan
terinfeksi Rabies, untuk itu penanganan korban adalah diberikan pengobatan anti
Rabies yaitu pemberian serum anti Rabies (SAR) atau vaksinasi Rabies
 Tangkap HPR tersangka dan lakukan pengamatan sekurang-kurang selama 14 hari
 Setiap penderita gigitan oleh HPR harus mendapatkan pengobatan terlebih dahulu,
sampai ada kepastian apakah HPR tersangka postif atau negative terhadap Rabies.
Apabila HPR tersangka negatif maka pengobatan “post exposure” dihentikan.
Sebaliknya jika positif maka pengobatan dilanjutkan
 Apabila hewan yang menggigit itu tidak dapat ditangkap, atau tidak dapat diobservasi
atau spesimen tidak dapat diperiksa karena rusak, maka kita berasumsi bahwa HPR
tersangka adalah terinfeksi Rabies.

Tindakan terhadap Hewan Tersangka Terinfeksi Rabies

Tindakan pada hewan tersangka rabies atau menderita rabies, petugas berwenang (Dinas
setempat) harus melakukan penangkapan dan melakukan eliminasi pada hewan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika terinfeksi Rabies).

Tindakan Terhadap Hewan yang Mengigit (Departemen Pertanian, 2007)

Hewan Tindakan
 Isolasi dan Observasi selama 14 hari
 Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap
hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak
Hewan yang di vaksin berpemilik maka dilakukan eliminasi
Menggigit/Mencakar  Jika dalam masa observasi anjing mati, otak
anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk
peneguhan diagnosa Rabies

 Isolasi dan Observasi selama 14 hari


 Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap
hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak
Hewan yang di vaksin kontak berpemilik maka dilakukan eliminasi
dengan HPR  Jika dalam masa observasi anjing mati, otak
anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk
peneguhan diagnosa Rabies

 Isolasi dan Observasi selama 14 hari


 Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap
hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak
Hewan yang tidak di vaksin berpemilik maka dilakukan eliminasi
Menggigit/Mencakar berpemilik  Jika dalam masa observasi anjing mati, otak
anjing tersangka dikirim ke Laboratorium untuk
peneguhan diagnosa Rabies

Hewan yang tidak di vaksin


Anjing dieliminasi dan diambil spesimen untuk
Menggigit/Mencakar tidak
peneguhan diagnosa
berpemilik
Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu
masih hidup, maka hewan tersangka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah
divaksinasi, atau dapat dilakukan eliminasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila
tidak ada pemilikinya.

Pelaporan Rabies

 Apabila terjadi kasus gigitan oleh HPR, Kepala Desa harus segera melaporkan kepada
Camat dan atau petugas Peternakan didaerah setempat.
 Camat setelah menerima laporan dari kepala desa/ Lurah tentang adanya kasus gigitan
rabies pada hewan harus segera melaporkan kepada Bupati/Walikota didaerah
tersebut.
 Petugas peternakan di Kecamatan setelah menerima laporan dari kepala desa dan
pimpinan unit kesehatan setempat tentang adanya kasus gigitan oleh HPR harus
segera melaporkan kepada kepala Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan
dan Peternakan Kabupaten/Kotamadya.
 Kepala Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan di
Kabupaten/Kotamadya setelah menerima laporan harus segera melaporkan kepada
Bupati/Walikota madya.
 Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan dan Peternakan setelah melakukan
pemeriksaan klinis atau menerima hasil pemeriksaan laboratorium dari spesimen yang
berasal dari HPR harus segera melaporkan kepada unit Kesehatan yang melakukan
perawatan penderita.
 Instansi-instansi pemerintah seperti Dinas yang membawahi bidang Kesehatan hewan
dan Peternakan dan Buoatiu atau Walikota setelah laporan untuk selanjutnya
melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Pimpinan Unit Kesehatan yang merawat orang yang digigit atau dijilat hewan yang
tersangka rabies harus segera melaporkan kepada Dinas yang membawahi bidang
Kesehatan hewan dan Peternakan setempat.
 Pimpinan Unit Kesehatan yang dimaksud selanjutnya melaporkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku

Pengendalian dan Pemberantasan

Vaksin Rabies

Vaksinasi Rabies adalah salah satu tindakan pencegahan dalam proses kontrol dan
pemberantasan Rabies. Vaksinasi adalah tindakan yang dianggap paling efektif dalam
melaksanakan kontrol dan pemberantasan Rabies serta menurunkan tingkat kasus gigitan oleh
HPR kepada manusia.

Vaksin rabies telah dikenal sejak tahun 1879 dibuat pertama kali oleh Victor Galtier.
Selanjutnya vaksin tersebut dikembangkan oleh Louis Pasteur pada tahun 1880 dalam
studinya untuk mencegah penularan Rabies kepada manusia. Vaksin ini dikembangkan
dengan metode yang cukup sederhana jika dibandingkan dengan produksi pada saat ini yaitu
dengan mengambil virus dari jaringan syaraf pada tulang belakang hewan terinfeksi Rabies
kemudian diberikan melalui inokulasi intracerebral kepada kelinci secara serial dalam waktu
spesifik tertentu. Kemudian virus diambil dan disuntikkan sebagai vaksin ke anjing dalam
beberapa waktu spesifik tertentu dan di challenge dengan Rabies.
Pasteur pada percobaan ini menemukan bahwa inokulasi intracerebral virus secara serial
kepada monyet dengan virus yang berasal dari anjing yang terinfeksi. Masa Inkubasi akan
meningkat dan virulensi dari virus berkurang atau menurun. Dengan berkembangnya cara
pengembangbiakan virus dengan biakan sel, Naguchi pada tahun 1913 dan Levaditi pada
tahun 1914 berhasil membiakan virus rabies secara in vitro pada biakan gel.

Produksi vaksin beberapa decade setelah metode pengembangan yang ditemukan oleh
Pasteur adalah metode Nerve Tissue Origin (NTO) vaksin yang dilakukan inaktivasi oleh
phenol, tetapi vaksinasi dengan menggunakan Vaksin NTO inaktif ini juga mengalami post
vaksinasi yang cukup siginifikan, yaitu gejala syaraf hingga kematian. Kemudian berbagai
metode pengembangan vaksin pun berkembang hingga sekarang, seperti Modified Live Virus
Vaccines dan Killed Cell Culture Rabies Vaccines (Briggs et al., 2002).

Meskipun efikasi dan keamanan vaksin dengan metode baru berkembanag tetapi penggunaan
metode NTO tetap banyak dipakai pada Negara-negara Asia dan masih memproduksi vaksin-
vaksin ini sehingga korban membutuhkan kunjungan beberapa kali ke rumah sakit dan
mempunyai efek samping yang cukup signifikan.

Modified Live Virus Vaccines (MLV)

Vaksin Rabies aktif (Live Vaccines) dihasilkan dari virus Flury and Kelev strain yang
dikembang dalam sel telur bertunas berembrio (CEO=Chicken Embryonated Eggs), The
Street Alabama Dufferin (SAD) yand dikembangkan dalam jaringan ginjal hamster dan
Evelyn-Rokitnicki-Abelseth (ERA) strain yang menggunakan ginjal babi.

Prosedur diatas adalah prosedur yang sering digunakan untuk memproduksi Rabies MLV.
Berbagai metode pun berkembang dalam memproduksi MLV vaksin tetapi strain yang
dikembangkan dengan metode CEO, ERA dan SAD adalah MLV vaksin strain yang
digunakan secara luas di Asia dan Afrika dan juga sebagain dari Eropa (Briggs et al., 2002).
Meskipun penggunaan MLV masih sering digunakan tetapi penggunaan vaksin inaktif (killed
vaksin) juga telah berkembang diberbagai Negara yang masih menerapkan MLV vaksin.

Killed Cell Culture Rabies Vaccines

Vaksin inakfit memerlukan jumlah virus yang sangat banyak. Hal ini diatasi dengan
pengembangan metode baru yaitu pengembang biakan virus dalam jaringan otak dari kelinci,
ginjal anak hamster, sel otak marmot, SMB dan CEO dan juga substraat yang lain oleh strain-
strain virus seperti CVS-11, PM-NIL 2 dan PV-BHK 2.

Proses inaktivasi virus yang dikembangkan dilakukan dengan menggunakan sinar UV, Agen
inaktivasi β-propiolactone (BPL), acethyllethyleneimine dan amines lainnya. Penggunaan
formadehyd dan phenol sudah tidak direkomendasikan. Yang paling sering digunakan adalah
agen inaktivasi BPL. Jika telah di inaktivasi kemudian adjuvant akan ditambahkan untuk
meningkatakan respon imun dari inang. Adjuvant yang paling sering digunakan adalah
saponin, aluminium hidroksida, alumunium phosphate dan minyak adjuvant (Briggs et al.,
2002)

Jika dilihat dari tipe pemberian vaksin dapat dibagi menjadi dua jenis:
 Vaksin parenteral (melalui otot (intra muscular) dan melalui jaringan dibawah kulit
(intra sub-cutaneous)), adalah vaksin yang paling umum digunakan untuk hewan-
hewan potensial mendapatkan Rabies dan berpemilik (ada dalam pengawasan
pemilik).
 Vaksin Oral adalah jenis vaksin alternatif yang banyak digunakan dalam tindakan
pencegahan Rabies pada satwa liar.

Di Indonesia, vaksin rabies untuk hewan telah diproduksi sejak tahun 1967 oleh Pusat
Veterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya yang pada saat itu masih bernama lembaga virologi
kehewanan (LVK), menggunakan fixed virus rabies. Sebagai media untuk membiakkan virus
rabies digunakan otak kambing/domba umur 3 bulan. Otak yang ditumbuhi virus digerus,
dibuat suspensi kemudian diinaktifkan dengan phenol 0,5%. Vaksin jenis ini disebut vaksin
rabies sampel yang selanjutnya diberi nama paten Rasivet Aplikasi vaksin tersebut melalui
suntikan dibawah kulit dengan dosis 4 ml. Masa kebal vaksin rasivet relatif pendek yaitu 6
bulan.

Pada tahun 1983, metode baru dikembangkan. Metode baru ini menggunakan biakan sel
sebagai media pertumbuhan virus rabies. Virus yang digunakan yaitu virus rabies galar
Pastuer yang dibiakan pada kultur sel ginjal anak hamster (BHK 21), dengan bahan inaktif
berupa 2-Bromo Ethylamin (BEA). Sel BHK 21 seperti yang dinyatakan Bear (1975)
merupakan sel yang paling peka untuk pembiakan virus rabies.

Setelah melalui rangkaian percobaan, pada tahun 1984, Pusvetma mengeluarkan vaksin
rabies yang menggunakan biakan sel sebagai tempat pembiakan virus. Vaksin baru ini diberi
nama “Rabivet”.

Vaksin Rabivet mempunyai kelebihan dibandingkan dengan vaksin sebelumnya, rasivet


yaitu:

 Rabivet tidak mengandung jaringan syaraf dan kandungan proteinnya lebih rendah
sehingga efek samping berupa alergi dan paralisa non spesifik sangat dikurangi.
 Mudah diproduksi secara besar-besaran.
 Harga satuan lebih rendah.
 Pencemaran lingkungan dan resiko tersebarnya virus sangat rendah.
 Rabies mempunyai masa kekebalan yang lebih lama.

Pengobatan

Tindakan vaksinasi dan pemberian serum anti rabies sebagai tindakan post exposure
treatment (PET) telah meningkatkan keberhasilan pengobatan bagi korban terutama manusia
yang terkena gigitan dan berisiko.

Anda mungkin juga menyukai