Anda di halaman 1dari 12

Jati diri—atau yang lazim juga disebut identitas—merupakan ciri khas yang menandai

seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu
bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain,
bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia.
Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain.
Salah satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa
Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu “bahasa
menunjukkan bangsa”.

Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan
bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia
harus senantiasa kita jaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita
kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang
mampu membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Lebih-lebih dalam era global
seperti sekarang ini, jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting untuk
dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain di
dunia. Namun, bagaimana kondisi kebahasaan kita sebagai jati diri bangsa saat ini?

Kalau kita lihat secara cermat, kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan,
terutama penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat
perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa
asing, terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu
mulai banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri keindonesiaan.
Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri. Kondisi
seperti itu harus kita sikapi dengan bijak agar kita tidak menjadi asing di negeri sendiri.

Di sisi lain, kita juga melihat sikap sebagian masyarakat yang tampaknya merasa lebih hebat,
lebih bergengsi, jika dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam berbahasa Indonesia, padahal
kosakata asing yang digunakannya itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya,
sebagian masyarakat lebih suka menggunakan kata di-follow up-i, di-pending, meeting, dan on
the way. Padahal, kita memiliki kata ditindaklanjuti untuk di-follow up-i, kata ditunda untuk di-
pending, pertemuan atau rapat untuk meeting, dan sedang di jalan untuk on the way, lalu
mengapa kita harus menggunakan kata asing? Sikap yang tidak “menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia itu, harus kita kikis karena kita harus mengutamakan penggunaan bahasa
Indonesia sebagai simbol jati diri bangsa.

Tidak seharusnya kita membiarkan bahasa Indonesia larut dalam arus komunikasi global yang
menggunakan media bahasa asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita biarkan, tidak tertutup
kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa pun akan pudar, bahkan tidak
tertutup kemungkinan terancam larut dalam arus budaya global. Jika hal itu terjadi, jangankan
berperan di tengah kehidupan global, menunjukkan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu
bangsa pun kita tidak mampu. Kondisi seperti itu tentu tidak akan kita biarkan terjadi. Oleh
karena itu, diperlukan berbagai upaya agar jati diri bangsa kita tetap hidup di antara bangsa lain
di dunia. Dalam konteks kehidupan global seperti itu, bahasa Indonesia sesungguhnya selain
merupakan jati diri bangsa, sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan bangsa.
Selain bahasa Indonesia, sastra Indonesia juga merupakan bagian dari simbol jati diri bangsa.
Hal itu karena sastra pada dasarnya merupakan pencerminan, ekspresi, dan media pengungkap
tata nilai, pengalaman, dan penghayatan masyarakat terhadap kehidupan sebagai suatu bangsa.
Oleh karena itu, segala sesuatu yang terungkap dalam karya sastra Indonesia pada dasarnya juga
merupakan pencerminan dari jati diri bangsa Indonesia.

Jika sebagai suatu bangsa, salah satu simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia;
sebagai anggota suatu komunitas etnis di Indonesia, simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra
daerah. Oleh karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan, bahasa dan sastra daerah juga
harus kita jaga dan kita pelihara untuk menunjukkan jati diri dan kebanggaan kita sebagai
anggota masyarakat daerah.

Sebagai warga negara Indonesia, kita tidak boleh kehilangan jati diri kita sebagai suatu bangsa
dan sebagai putra daerah, kita tidak boleh kehilangan jati diri kedaerahan kita agar kita tidak
tercerabut dari akar budayanya. Sebagai putra daerah, kita tidak boleh kehilangan jati diri
kedaerahannya, dan sebagai putra Indonesia, kita tidak boleh kehilangan jati diri kita sebagai
suatu bangsa.

Selain terungkap dalam simbol bahasa dan sastra, jati diri kita tercermin pula dari kekayaan seni
budaya, adat istiadat atau tradisi, tata nilai, dan juga perilaku budaya masyarakat. Terkait dengan
itu, Indonesia amat kaya akan keragaman seni budaya, adat istiadat atau tradisi, dan juga tata
nilai dan perilaku budaya. Sebagai unsur kekayaan budaya bangsa, seni budaya, adat istiadat atau
tradisi, tata nilai, dan perilaku budaya perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai simbol yang
dapat mencerminkan jati diri bangsa, baik dalam kaitannya dengan jati diri lokal maupun jati diri
nasional.

Satu hal lagi yang dapat menjadi simbol jati diri adalah kearifan lokal. Hampir setiap daerah di
Indonesia memiliki kearifan lokal yang merupakan pencerminan sikap, perilaku, dan tata nilai
komunitas pendukungnya. Kearifan lokal itu dapat digali dari berbagai sumber yang hidup di
masyarakat, yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi leluhurnya dalam bentuk
pepatah, tembang, permainan, syair, kata bijak, dan berbagai bentuk lain. Kearifan lokal itu sarat
nilai yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan masa kini yang dapat memperkuat
kepribadian dan karakter masyarakat, serta sekaligus sebagai penyaring pengaruh budaya dari
luar.

Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus terus dikembangkan agar tetap dapat
memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi yang modern dalam berbagai bidang kehidupan.
Di samping itu, mutu penggunaannya pun harus terus ditingkatkan agar bahasa Indonesia dapat
menjadi sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk berbagai keperluan. Upaya ke arah itu
kini telah memperoleh landasan hukum yang kuat, yakni dengan telah disahkannya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. Undang-undang tersebut merupakan amanat dari Pasal 36 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus merupakan realisasi dari tekad para
pemuda Indonesia sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928,
yakni menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Dalam menjalani kehidupan pada era global saat ini, jati diri lokal ataupun jati diri nasional tetap
merupakan suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar kita tetap dapat menunjukkan
keberadaan kita sebagai suatu bangsa. Jati diri itu sama pentingnya dengan harga diri. Jika tanpa
jati diri, berarti kita tidak memiliki harga diri. Atas dasar itu, agar menjadi suatu bangsa yang
bermartabat, jati diri bangsa itu harus diperkuat, baik yang berupa bahasa dan sastra, seni
budaya, adat istiadat, tata nilai, maupun perilaku budaya dan kearifan lokalnya.

Untuk memperkuat jati diri itu, baik yang lokal maupun nasional, diperlukan peran serta
berbagai pihak dan dukungan aturan serta sumber daya yang memadai. Peran serta masyarakat
juga sangat diperlukan dalam memperkuat jati diri bangsa itu. Dengan jati diri yang kuat, bangsa
kita akan makin bermartabat sehingga mampu berperan—bahkan juga bersaing—dalam kancah
kehidupan global.

Artikel Terpopuler

BAHASA SEBAGAI JATI DIRI


kerabatgalih / September 24, 2013
A. Pengertian Bahasa

Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang
terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau
perasaan.

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola
secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap
lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang
bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa
setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna.

B. Karakteristik Bahasa

Telah disebutkan di atas bahwa bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat abitrer,
produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
di antara karakteristik bahasa adalah abitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.

 Bahasa Bersifat Abritrer

Bahasa bersifat abritrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak
bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi
makna tertentu. Secara kongkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat
yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.
Meskipun bersifat abritrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan
mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi,
misalnya, lambang ‘buku’ hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang
dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia
telah melanggar konvensi itu.

 Bahasa Bersifat Produktif

Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat
dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang
lebih 23.000 kosa kata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang
tidak terbatas.

 Bahasa Bersifat Dinamis

Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan
perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja:
fonologis, morfologis, sintaksis, semantic dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat
kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.

 Bahasa Bersifat Beragam

Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu
digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan
yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis,
sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya berbeda
dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir
berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.

 Bahasa Bersifat Manusiawi

Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai
bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat,
tidak bersifat produktif dan dinamis. Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif
atau naluriah, tetapi dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa
manusia, oleh karena itu dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.

C. Fungsi-Fungsi Bahasa

Konsep bahasa adalah alat untuk menyampaikan pikiran. Bahasa adalah alat untuk beriteraksi
atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep
atau perasaan.

Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan
pikiran dianggap terlalu sempit, sebab yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “who speak
what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu fungsi-fungsi bahasa dapat
dilihat dari sudut penutur, pendengar, topic, kode dan amanat pembicaraan.

 Fungsi Personal atau Pribadi

Dilihat dari sudut penutur, bahasa berfungsi personal. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap
terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa,
tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak
pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedang sedih, marah atau gembira.

 Fungsi Direktif

Dilihat dari sudut pendengar atau lawan bicara, bahasa berfungsi direktif, yaitu mengatuf tingkah
laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi
melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dikehendaki pembicara.

 Fungsi Fatik

Bila dilihat segi kontak antara penutur dan pendengar, maka bahasa bersifat fatik. Artinya bahasa
berfungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas
sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu
pamit, berjumpa atau menanyakan keadaan. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapan ini tidak dapat
diterjemahkan secara harfiah.

Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti
senyuman, gelengan kepala, gerak gerik tangan, air muka atau kedipan mata. Ungkapan-
ungkapan tersebut jika tidak disertai unsure paralinguistik tidak mempunyai makna.

 Fungsi Referensial

Dilihat dari topik ujaran bahasa berfungsi referensial, yaitu berfungsi untuk membicarakan objek
atau peristiwa yang ada disekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi
referensial ini yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk
menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana si penutur tentang dunia di sekelilingnya.

 Fungsi Metalingual atau Metalinguistik

Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik.
Artinya, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa
digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti ekonomi, pengetahuan dan lain-lain. Tetapi
dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal
ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan
dengan bahasa.

 Fungsi Imajinatif
Jika dilihat dari segi amanat (message) yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif.
Bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang
sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan) saja. Fungsi imaginasi ini biasanya berupa
karya seni (puisi, cerita, dongeng dan sebagainya) yang digunakan untuk kesenangan penutur
maupun para pendengarnya.

D. Pengertian Jati Diri

Dalam kamus besar bahasa Indonesia jati diri mempunyai pengertian yaitu ciri-ciri, gambaran,
atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda, identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak
dari dalam, spiritualitas. Jadi jati diri adalah segala sesuatu yang dapat menunjukan identitas,
ciri-ciri atau apapun yang dapat menggambarkan keadaan seseorang atau suatu benda.

E. Hubungan Bahasa Dengan Jati Diri

Bahasa berperan utama dalam pembentukan pengalaman atau pemahaman seseorang tentang
alam semesta. Dengan pembentukan pengalaman dan pemahaman ini bahasa telah berperan
dalam pembentukan jati diri seseorang atau suatu bangsa. Bahasa merupakan sistim arti dan
bentuk yang diekspresikan dalam bunyi, tulisan, atau isyarat (Hallliday 2004, Martin 1992).

Secara teknis linguistik ketiga elemen bahasa itu masing-masing disebut semantik (arti), tata
bahasa atau leksikogramar (bentuk), dan ekspresi yang dapat berupa bunyi, tulisan, atau isyarat.
Ketiga elemen itu merupakan strata dan membentuk hubungan semiotik.

Dengan pengertian ini bahasa memiliki cakupan yang lebih luas dari pemahaman tradisional
(yang memandang bahasa terfokus pada bunyi), yakni bahasa lisan, bahasa tulisan, atau bahasa
isyarat.

Setiap bahasa memiliki sistim semantik, leksikogramar dan ekspresi yang unik (di samping
keuniversalan bahasa) yang membedakan satu bahasa dengan yang lain. Hal ini berimplikasi
bahwa pengalaman atau pemahaman tentang realitas yang dibentuk dengan suatu bahasa berbeda
dengan pengalaman atau pemahaman yang dibentuk dengan bahasa lain.

Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentukan jati diri seseorang atau suatu bangsa.
Satu bangsa berbeda dengan yang lain karena persepsi bangsa itu terhadap alam dan sosial
semesta berbeda dengan persepsi yang lain dan perbedaan persepsi itu akibat perbedaan bahasa.

F. Bahasa Sebagai Sebuah Jati Diri

Bahasa merupakan elemen penting dalam kehidupan umat manusia. Karena bahasa merupakan
alat komunikasi untuk berinteraksi satu sama lain. Itulah mengapa bahasa menjadi salah satu
faktor krusial dalam kehidupan bermasyarakat di dunia.

Secara historis, bahasa Indonesia merupakan bagian dari rumpun melayu, karena bahasa melayu
merupakan cikal bakal adanya bahasa Indonesia. Bahasa melayu sendiri mengalami penyebaran
di beberapa Negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia bahkan Filipina. Dengan
berbagai faktor geografis serta antropologis yang berbeda di tiap negara, maka bahasa melayu
pun mengalami asimilasi karena berbagai faktor tersebut, demikian pula dengan bahasa melayu
yang terasimilasi oleh berbagai faktor di Indonesia, sehingga munculah bahasa Indonesia.
Sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, seharusnya bukan hanya menjadi bahasa pemersatu
bangsa yang hanya dijadikan “alat” komunikasi antar daerah yang memiliki perbedaan bahasa
dengan daerah lain. Lebih dari itu, bahasa Indonesia harus mampu menjadi sebuah simbol dari
jati diri bangsa yang bermartabat.

2.Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa IndonesiaMenurut Sedyawati


(1998) jati diri bangsa adalah suatu pengertian yang abstrak dan dapat
mengalami perubahan-perubahan substansi mengikuti kejadian-kejadian
sejarah berkenaan dengan bangsa yang bersangkutan. Jati diri bangsa
ada yang bersifat kasat mata dan ada pula yang tidak kasat mata. Jati diri
yang kasat mata misalnya pakaian, makanan, tarian, dan lain. Jati diri yang
tidak kasat mata misalnya rantau, siri, eling, dan lain-lain.Di tengah
kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural ini, tentu bukan
pekerjaan mudah untuk menyepakati jati diri bangsa yang diakhiri dengan
kata Indonesia. Misalnya, ketika diajukan pertanyaan mana pakaian
Indonesia? Jawabannya tentu akan lebih dari satu. Ada yang akan
menjawab rendang, bakso, sate, pempek, gudeg, dan lain-lain. Semua
jawaban yang dikemukakn itu memang benar. Contoh lain lagi, ketika
ditanya mana kesenian Indonesia? Sekali lagi, jawabannya tentu lebih dari
satu. Ada yang akan menjawab wayang, randai, jaipong,reog, dan lain-lain.
Lain halnya, jika diajukan pertanyaan mana bahasa Indonesia? Hampir
pasti jawabannya hanya satu, yaitu bahasa Indonesia. Jawaban yang
dikemukakan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang
multikultural sepakat menyatakan bahwa jati diri bangsa Indonesia
berkaitan dengan bahasa adalah bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia
sebagai jati diri bangsa Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak
lama. Paling tidak dapat dicatat, sejak diikrarkan Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Para tokoh pemuda di kala itu berkeyakinan bahwa alat
yang paling memungkinkan menjadi perekat pelbagai suku bangsa waktu
itu adalah bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Menariknya, ketika itu negara
Indonesia belum ada, tetapi para pemuda sudah memberikan nama
bahasa Indonesia. Perkembangan lebih lanjut adalah dilaksanakan
Kongres Bahasa I tahun 1938 dan puncaknya tanggal 18 Agustus 1945
disahkan UUD 1945. Dalam UUD 1945 pasal 36 dinyatakan bahwa bahasa
negara adalah bahasa Indonesia.Berkaitan dengan sejarah perkembangan
bahasa Indonesia sebagai jati diri, Sedyawati (1993) membagi tiga tahapan
perkembangan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Tahap pertama,
perkembangan fungsi bahasa Indonesia terjadi pada masa pra-
kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada tahap ini bahasa Indonesia
berfungsi sebagai sarana pembentuk kesadaran akan kesatuan bangsa,
kesadaran akan kebutuhan bersatu mengatasi keanekaragaman budaya
dan juga kesadaran akan perbedaan bangsa Indonesia dari bangsa-
bangsa asing di luarnya.Tahap kedua, perkembangan fungsi bahasa
Indonesia terjadi pada masa kemerdekaan awal. Pada tahap ini negara
Republik Indonesia teleh terbetuk, tetapi masih mengalami masa
pancaroba dalam bidang politik dan kemiliteran. Rongrongan terhadap
84Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB 2015 persatuan bangsa
dilakukan oleh pelbagai pihak musuh. Dalam situasi itu, pelaksanaan
penggunaanbahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara merupakan
peningkatan fungsi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bukan saja
merupakan lambang persatuan bangsa, melainkan telaih menjadi bagian
dari kehidupan bernegara yang memerlukan pengelolaan tersendiri.Tahap
ketiga, perkembangan fungsi bahasa Indonesia terjadi ketika kekuatan
negara Republik Indonesia semakin mantap. Organisasi pengelolaan
bahasa pun semakin mantap, dana untuk pelaksanaan berbagai usaha pun
tersedia, pakar-pakar Indonesia yang ahli dalam bidang bahasa dan sastra
semakin bamyak, dan karya-karya ilmiah yang bermutu telah banya ditulis
dalam bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa
Indonesia secara jelas dan tegas dirumuskan dalam hasil Seminar Politik
Bahasa Nasional. Menurut Halim (1975) bahasa Indonesia di negara
Indonesia memiliki dua macam kedudukan, yaitu bahasa Indonesia dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa Indonesia dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara.Di dalam kedudukannya sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang
kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang
memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar
belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan
kebangsaan Indonesia, dan (4) alat perhubungan antardaerah dan
antarbudaya. Di sisi lain, dalam kedudukannya sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2)
bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada
tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah, dan (4) alat
pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bahasa
Indonesia sebagai jati diri bangsa Indonesia secara tegas dirumuskan
dalam produk hukum. Secara berturut-turut dapat dikemukakan produk
hukum yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan bahasa Indonesia
sebagai berikut. Pertama, pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
negara adalah bahasa Indonesia. Kedua, putusan dari Seminar Politik
Bahasa Nasional yang melahirkan konsep tentang kedudukan bahasa
Indonesia seabagai bahasa nasional dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa daerah. Ketiga, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyatakan penggunaan bahasa Indonesia yang
diwajibkan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia.
Keempat, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Bendera Negara,
Bahasa Negara, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. 3.Upaya
Mempertahankan Bahasa Indonesia Sebagai Jati Diri
BangsaMembicarakan tentang mempertahankan bahasa Indonesia
sebagai jati diri bangsa tidak dapat dilepaskan dari persoalan perencanaan
bahasa. Menurut Moeliono (1985) perencanaan bahasa adalah segala
usaha dan tindakan yang dilakukan orang agar
85Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB 2015 komunikasi di dalam
suatu negara dapat berlangsung secara lancar dengan bahasa sebagai
alat utama. Sejalan dengan itu Suhendar, dkk (1997) menyatakan pada
hakikatnya setiap negara menghendaki adanya satu bahasa yang dapat
dipakai sebagai alat komunikasi bagi seluruh warganya, baik dalam rangka
pembinaan kebangsaannya, dalam administrasi pemerintahannya maupun
dalam bidang pendidikannya. Dengan adanya satu bahasa untuk seluruh
negara hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, antara instansi-
instansi yang ada dalam negara itu, serta antara anak didiknya akan
berlangsung dengan lancar dan tidak mengalami kesulitan.Salah satu
upaya yang dilakukan dalam rangka mempertahankan bahasa Indonesia
sebagai jati diri bangsa ialah melalui jalur lembaga pendidikan. Ini terbukti
dalam sistem pendidikan Indonesia, di setiap jenjang pendidikan siswa
mempelajari bahasa Indonesia. Bahkan jumlah jam pelajaran bahasa
Indonesia setiap minggu di setiap jenjang pendidikan jumlahnya paling
banyak. Kalau dihitung jumlah waktu yang digunakan seorang siswa
belajar bahasa Indonesia sejak SD sampai dengan SMA paling tidak ada
sekitar 12 tahun. Ditambah lagi, sejak diberlakukan ujian nasional (UN)
bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang sejak awal di-UN-
kan.Menurut Suparno (1998) dalam pendidikan dan pembangunan bangsa,
mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki fungsi yang strategis. Ada lima
fungsi penting mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu (1) sarana
pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka
pelestarian dan pengembangan budaya nasional, (3) sarana peningatan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, dan (5) sarana
pengembangan penalaran.Berdasarkan fungsi mata pelajaran bahasa
Indonesia, pengajaran bahasa Indonesia memiliki fungsi yang strategis
berkait dengan kedudukanbahasa Indonesia itu sebagaai bahasa nasional
dan bahasa negara. Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah jalur
formal dan juga salah satu upaya pembinaan bahasa Indonesia. Melalui
jalur ini pembinaan bahasa Indonesia dapat dilakukan secara programatis.
Penggunaan jalur ini sangat tepat karena sasaran pembinaan ini adalah
siswa yang masih dalam proses belajar, termasuk masih dalam proses
belajar bahasa Indonesia.Strategisnya pengajaran bahasa Indonesia dapat
dilihat pula dalam konteks upaya peningkatan sumber daya manusia
Indonesia. Bahasa Indonesia bukan sekedar alat komunikasi masyarakat
Indonesia, tetapi juga sebagai alat berpikir dan bernalar. Kualitas
penguasaan bahasa Indonesia merupakan salah satu faktor penentu
kualitas insan Indonesia. Pada gilirannya, kualitas penguasaan bahasa
Indonesia itu berdampak luas pada pembangunan bangsa karena bahasa
Indonesia juga berfungsi sebagai alat komunikasi pembangunan.4.
Hambatan dalam Upaya Mempertahankan Bahasa Indonesia Sebagai Jati
Diri Bangsa

86Prosiding Seminar Nasional Bulan Bahasa UNIB 2015 Pengajaran bahasa


Indonesia yang dilakukan di sekolah diberbagai jenjang pendidikan
memiliki sejumlah masalah. Mulai dari masalah kurikulum, fasilitas, buku
teks, guru, dan sebagainya. Menurut hemat penulis, dari sekian persoalan
yang ada tentang pengajaran bahasa Indonesia, masalah yang paling
krusial adalah masalah sikap bahasa. Menurut Halim (1978) salah satu
faktor yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan
kebijaksanaan bahasa nasional adalah sikap bahasa yang dimiliki oleh
warga masyarakat yang bersangkutan.Sikap bahasa adalah salah satu di
antara berbagai sikap yang mungkin ada. Menurut Anderson (1974) sikap
bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang,
sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan
kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu
yang disenanginya. Selanjutnya Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap
terdiri atas tiga komponen yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Komponen
kognitif berkaitan dengan penalaran, intuisi, dan persepsi. Komponen
afektif berhubungan dengan reaksi emosipnal, sedangkan komponen
konatif bertalian dengan kecenderungan untuk berperilaku
tertentu.Hambatan yang berkaitan dengan sikap bahasa dalam rangka
mempertahankan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, dapat
ditelusuri dari pendapat beberapa para ahli dan hasil penelitian berikut.
Kridalaksana (1980) menyebutkan bahwa orang Indonesia cenderung
bersikap tidak menghargai bahasanya karena lebih bangga menggunakan
bahasa asing; Gunarwan (1983) membuktikan adanya sikap positif dari
kalangan mahasiswa terhadap bahasa Indonesia baku.Moeliono (1988)
melalui pengamatannya, sekurang-kurangnya mencatat ada enam sikap
negatif yang tidak menguntungkan bagi usaha pembakuan bahasa
Indonesia, yaitu (1) sikap yang meremehkan mutu bahasa, (2) sikap yang
suka menerobos, (3) sikap tuna harga diri, (4) sikap mejauhi disiplin, (5)
sikap enggan memikul tanggung jawab, dan sikap suka melatah
mengambil alih diksi dan gaya bahasa lain. Mustakim (1997) yang
mengkaji “Sikap Bahasa Kalangan Perguruan Tinggi di Jakarta Terhadap
Kata-kata Baru Bahasa Indonesia” menyimpulkan bahwa sikap perguruan
tinggi terhadap kata-kata baru tersebut bersifat positif.Sejalan dengan itu,
Habiebie (1998) menyatakan bahwa yang perlu direformasi sehubungan
dengan bahasa Indonesia ialah perilaku pengguna bahasa itu sendiri. Ada
kecenderungan dalam masyarakat—terutama dalam dunia birokrasi—
untuk mengikuti pengguna bahasa dari para pejabat yang lebih tinggi
kedudukannya, neskipun mereka menyadari bahwa cara berbahasa
pejabat itu tiak tepat, bahkan menyimpang dari kaidah tatabahasa bahasa
Indonesia. Di samping itu, terdapat pula kecenderungan untuk
memfeodalkan bahasa Indonesia.4. SimpulanGlobalisasi dan reformasi
memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam segala aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya persoalan bahasa Indonesia sebagai jati
diri bangsa. Bahasa Indonesia sebagai jati diri sudah sejak lama dirasakan
fungsinya.

Anda mungkin juga menyukai