Anda di halaman 1dari 9

IMAN

Kelompok 2
Nama :
1. Alwi Muarif Sembiring
2. Ananda Dwi Cahya
3. Alma Daniatun
4. Velly khairunnisa

T.A 2018/2019
1. HADIS TENTANG IMAN ISLAM, IHSAN, DAN AKHIRAT

ISLAM adalah mengabdikan diri kepada Allah dan tidak menyekutukannya


dengn sesuatu yg lain, mendirikan sholat yg telah difardhukan, mengeluarkan zakat
yang di wajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan. “ kemudian lelaki itu bertanya
lagi : “Wahai Rasulullah, apakah yang di maksud IHSAN? ‘’Rasulullah kemudian
bersabda: “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-
Nya. Sekitarnya engkau tidak melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah senantiasa memperhatikanmu’’.Lelaki itu bertanya lagi: “Sesungguhnya orang
yang bertanya lebih mengetahui daripada orang yang ditanya. Walaupun demikian,
namun aku tetap akan tetap akan menceritakan kepadamu tentang tanda-tanda
datangnya hari kiamat: Apabila seorang hamba telah melahirkan majikannya.
Artinya, apabila orang-orang miskin telah menjadi pemimpin masyarakat, kemudian
menginjak-injak hak mereka. Dan apabila masyarakat yang pada asalnya pengembala
kambing kemudian mampu bersaing dalam menghiasi bagunan bangunan secara
berlebihan diantara mereka, maka pada saat itulah hari kiamat akan tiba. Dan lima
rahasia lagi yang tidak boleh diketahui kecuali hanya Allah saja Yang Maha
Mengetahui. Kemudian Rasullullah shallallahu’alaihi wasallam membaca surat
Luqman ayat: 34 yang menegaskan “sesungguhnya hanya Allah yang lebih
mengetahui, bilakah akan datang hari kiamat, dan Dia pulalah yang menurunkan
hujan, dan mengetahui apa yang berada di dalam Rahim seorang ibu yang
mengandung. Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok
hari, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui di manakah dia akan menemui
ajalnya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi sangat meliputi pengetahuan-
Nya. Kemudian lelaki itu meninggalkan majlis. Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam kemudian bersabda kepada salah seorang sahabat” Silahkan panggil orang itu
kembali. ” Lalu para sahabat berkejaran ke arah lelaki tersebut untuk memanggilnya
kembali, tetapi mereka dapati lelaki itu telah hilang. Kemudian Rasulullah
shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda: “ Lelaki itu adalah Jibril’ alaihis salam.
Kedatangannya adalah untuk mengajar manusia tentang agama mereka.”
Hadis di atas menerangkan tentang iman, islam, ihsan, serta percaya kepada
takdir Allah subhanahu wa ta’ala dan tanda tanda orang yang tidak percaya terhadap
takdir. Dan menerangkan pula tentang tanda tanda datangnya hari kiamat, serta lima
rahasia yang tidak boleh diketahui oleh umat manusia, dan hanya Allah subhanahu wa
ta’ala saja lah yang mngetahuinya.

2. HADIS TENTANG IMAN DAN MAKSIAT

Pada hakikatnya, pemisahan itu tidak pernah terjadi. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, beliau mengatakan, “tidaklah dapat diterima akal
sehat iman seseorang yang mengetahui bahwa shalat itu wajib, dan dia mendengar
seruan Allah setiap hari dalam hidupnya, marilah shalat, akan tetapi tidak sekalipun ia
menyambut seruan itu sepanjang hidupnya”. Kita mengetahui bahwa Iman itu
merupakan tashdiq (pembenaran) yang disertai dengan amal. Kita juga telah
mengetahui bahwa tashdiq dengan amal itu dua hal yang tidak dapat terpisahkan.
Maka apabila terdapat tashdiq amalnya pun ada, begitu pun sebaliknya.

Iman seorang hamba akan bertambah dan meningkat bilamana ketaatan dan
ibadahnya bertambah dan meningkat, sebaliknya keimanannya akan menurun
bilamana kadar ketaatan dan ibadahnya menurun. Perbuatan maksiat sangat
berpengaruh kepada iman seseorang, apabila kemaksiatan tersebut dalam bentuk
syirik besar atau kekufuran, maka bisa mengikis keimanan sampai ke dasar-dasarnya.

Allah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,


dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar. (Q.S An Nisa 48)

Dalam ayat lain Allah berfirman: dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di
antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu
yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang
beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (Q.S At
Taubah 124)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.(Q.S Al
Anfal 2)

Ayat tersebut menegaskan bahwa iman itu dapat bertambah dan dapat juga
berkurang. Sesungguhnya amal itu merupakan bagian dari iman. Dan iman itu
bertambah ketika kita melakukan hal-hal yang sesuai dengan ajaran dan undang-
undang yang berlaku berupa al Qur’an dan Hadis. Sedangkan iman itu berkurang
manakala ia melanggar dan keluar dari koridor ajaran agama yang berupa
kemaksiatan. Keimanan orang-orang yang beriman berbeda-beda, tidak sama satu
dengan yang lainnya. Bahkan ketika bertambahnya amal shalih dan keyakinan pada
diri seseorang, maka bertambahlah keimanannya dan menjadi lebih utama dibanding
dengan orang yang selainnya.

Iman dapat dikatakan sebagai kekuatan dan perisai untuk menangkis segala
kemungkaran, kemaksiat dan perbutan tercela lainnya. Ketika iman seseorang itu
dalam keadaan baik, maka orang itu akan mencerminkan sifat-sifat terpuji, baik itu
dalam sikap, perilaku maupun tutur katanya. Orang beriman itu pada hakikatnya
berusaha untuk tidak melakukan hal yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun
orang lain. Karena patut kita sadari bahwa iman itu tidak hanya berhenti pada aspek
i
teologi saja, namun termasuk di dalamnya aspek sosial sebagai upaya implementasi
dari keimanan tersebut. Ketika iman sudah menjadi pondasi kokoh dalam kehidupan
seseorang, tentu saja orang itu akan diiringi sikap-sikap terpuji sesuai dengan konsep
agama yang sudah termaktub dalam al Qur’an dan Hadits. Dan sudah dipastikan
perbuatan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip agama akan menjauh dengan
sendirinya. Iman itu ibarat filter dan parameter yang mampu menyaring dan
mengukur kesadaran seseorang dalam menjalani ajaran-ajaran agama.

Dalam hadits dikatakan:

‫يسرق حين السارق واليسرق وهومؤمن يزني حين الزاني اليزني وسلم عليه هللا صلى هللا رسول قال قال هريرة ابي عن‬
‫)وغيرها ومسلم البخاري رواه( وهومؤمن يشربها حين الخمر واليشرب وهومؤمن‬

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda


“pezina tidak akan berzina tatkala ia berzina dalam keadaan beriman; pencuri tidak
akan mencuri takala ia mencuri dalam keadaan beriman; dan peminum khamar tidak
akan minum khamar tatkala ia minum dalam keadaan beriman.(HR. Bukhari Muslim)

Hadits ini tidak memilki asbabul wurud yang pasti. Namun ketika mencermati
dari sisi teks semata, kita akan menemukan bahwasannya hadits tersebut
menerangkan prinsip orang beriman itu tidak akan melakukan hal-hal yang berbau
kemaksiatan. Logikanya, ketika seseorang melakukan kemaksiatan seperti yang telah
termaktub dalam hadits di atas, orang tersebut bukan lagi seorang mukmin. Karena
sejatinya setiap orang mukmin itu akan terus mendidik dan membina keperibadiannya
untuk selalu melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan diri dari hal-hal yang
tercela.

Para mutakallimin berbeda pendapat dalam menentukan status seorang


mukmin yang melakukan kemaksiatan. Sebagian kaum Khawarij berasumsi bahwa
ketika seoang mukmin melakukan maksiat, katakan saja membunuh, yang merupakan
salah satu kriteria dosa besar, maka orang tersebut menjadi kafir. Aliran ini memilki
pemahaman yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Disisi
lain, ada juga golongan yang beranggapan bahwa perbuatan maksiat ataupun dosa
besar tidak mempengaruhi kadar iman seseorang. Menurut mereka, prinsip dasar iman
itu hanya sebatas pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu
utusan Allah. Masalah maksiat ataupun dosa besar yang dilakukan, urusan tersebut
dikembalikan kepada Allah semata dan akan dipertanggungjawabkan pada yaumul
hisab kelak. Golongan ini kita kenal dengan kaum Murjiah. Sedangkan kaum
Mu’tazilah menggunakn istilah fasik bagi orang yang melakukan maksiat ataupun
dosa besar. Mereka berasumsi bahwa orang tersebut tidak termasuk kafir seperti apa
yang telah dikemukakan oleh kaum Khawarij.

Sekarang ini manusia sedang berhadapan dengan perubahan zaman yang dapat
mengubah pola hidup mereka. Persoalan yang muncul dari perubahan tersebut berupa
krisis akhlaq. Hal itu terjadi akibat dari keindahan dunia yang dihiasi berbagai macam
sajian yang sangat menggiurkan. Lemahnya iman juga turut andil terhadap fenomena
tersebut. Akhirnya mereka tenggelam dalam kehidupan yang hanya merupakan
panggung sandiwara, mereka menyangka akan hidup kekal di dunia. Mereka lupa
akan kematian, yaumul hisab, surga dan neraka sehingga mereka terjerumus ke
lubang kemaksiatan. Menurut Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar M.A, sumber
timbulnya krisis akhlaq yaitu:

1. Longgarnya pegangan agama yang menyebabkan hilangnya kontrol diri.

2. Pembinaan moral yang dilakukan orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif.

3. Derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik, sekuleristik.

Rendahnya kualitas akhlaq dan iman seseorang merupakan faktor utama


tindakan kriminalitas dan maksiat lainnya dalam kehidupan masyarakat. Krisis akhlaq
kini telah menjalar kepada masyarakat luas, tidak mengenal itu dari kalangan elite
politik, pelajar, pedagang dan kalangan lainnya. Sering kita dijumpai praktik kolusi,
korupsi, nepotisme, pemerkosaan, penyelundupan, penipuan, pencurian, perzinahan,
tawuran dan berbagai macam kriminalitas lainnya baik dalam bentuk media elektronik
maupun media cetak. Melihat kondisi yang demikian, sepatutnya kita melakukan
intropeksi diri dan evaluasi untuk membina akhlaq yang mulia sehingga menjadi
mukmin yang hakiki. Perubahan sosial dan arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang
cepat menjadikan proses pembinaan akhlaq sulit direalisasikan. Karena tidak sedikit
dari dinamika tersebut yang melenceng jauh dari nilai-nilai Qur’an. Bahkan tidak
jarang hal itu mempengaruhi psikologi yang menghawatirkan, seperti kehilangan
pegangan dan tujuan serta makna hidup seseorang.

Dengan demikian, pembinaan akhlaq mulia merupakan keharusan yang


bersifat mutlak dan merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Hal tersebut
harus menjadi kepedulian semua pihak, sebab akhlaq menjadi pilar tumbuh
berkembangnya dinamika sosial. Pembinaan akhlaq menekankan pada sikap, tabiat
dan perilaku yang menggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk
senantiasa berakhlaq karimah, karena akhlaq merupakan implikasi dari tauhid kepada
Allah. Dari sini kita dapat menilai, seberapa benarkah seseorang itu benar-benar
beriman, karena iman sangat erat kaitannya dengan semua amal kita.
3. HADIS TENTANG IMAN DAN RASA MALU

Malu ( al-haya’) adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan


melakukan sesuatu yang tidak baik. Orang yang memiliki rasa malu, apabila
melakukan sesuatu yang tidak patut atau tidak baik akan terlihat gugup, misalnya
wajahnya menjadi merah. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki rasa malu, akan
melakukan hal tersebut dengan tenang tanpa ada rasa gugup sedikit pun.

Sifat malu adalah akhlak terpuji yang menjadi keistimewaan ajaran Islam.
Islam juga memandang sifat malu perlu dimiliki oleh seluruh umatnya. Dengan sifat
malu, seseorang akan malu kepda didi sendiri dan kepda orang lain untuk melakukan
perbuatan yang tidak baik.

Sabda rasulullah :

ُ‫ َو ِستُ ْونَُ بِضْعُ أَ ُْو َو َسبْع ْونَُ بِضْعُ ََ اْ ِإل ْي َمان‬،ً‫ضل َها ش ْعبَة‬
َ ‫الَ قَ ْولُ فَأ َ ْف‬ ُ ِ‫ إ‬،‫طةُ َوأَدْنَاهَا هللا‬
ُ َ‫الا إِل ُه‬ َ ‫ن اْألَذَى إِ َما‬
ُِ ‫ع‬
َ ،‫ق‬ ‫ال ا‬
ِ ‫ط ِر ْي‬
ُ‫ََ اْ ِإل ْي َمانُ ِمنَُ ش ْعبَةُ َو ْال َحيَاء‬.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling
tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”

Rasa malu adalah sumber utama kebaikan dan unsur kemuliaan dalam setiap
pekerjaan. Sifat malu dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu:

A. Malu kepada Allah

B. Malu kepada diri sendiri

C. Malu kepada orang lain

Seseorang akan malu kepada Allah apabila ia tidak mengerjakan perintah


perintah-Nya, tidak menjauhi larangan-Nya, serta tidak mengikuti petunjjuk-Nya.
Orang yang malu terhadap Allah, dengan sendirinya malu terhadap dirinya sendiri. Ia
malu mengerjakan perbuatan salah sekalipun tidak ada orang lain yang melihat atau
mendengarnya. Penolakan datang dari dalam dirinya sendiri. Ia akan mengendalikan
hawa nafsunya dari keinginan-keinginan yang tidak baik. Setiap keinginan untuk
mengerjakan perbuatan yang tidak baik, ia tertegun, tertahan, dan akhirnya
membatalkan keinginan tersebut. Setelah malu pada dirinya sendiri, ia juga akan malu
melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

Ketika rasa malu tersebut harus ditumbuhkan dan dipelihara terus- menerus
oleh seorang muslim. Terutama malu kepada Allah, karena malu kepada Allah inilah
yang menjadi sumber dari 2 jenis malu lainnya. Malu kepada Allah adalah malu yang
bersumber dari iman, dari keyakinan bahwa Allah selalu melihat, mendengar , dan
mengawasi apa saja yang ia lakukan.

Malu adalah refleksi iman. Bahkan malu dan iman akan selalu hadir bersama-
sama. Apabila salah satu hilang yang lain juga akan hilang. Semakin kuat iman
seseorang, semakin tebal pula rsa malunya, demikian pula sebaliknya

Rasa malu berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari segala


sikap dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol rasa malu seorang akan
bebas melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Maka rasa malu harus
dimiliki oleh setiap muslim agar menjadi pengendali ketika akan melakukan tindakan
yang tidak baik, apalagi melanggar nilai nilai agama.

Pada prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Wafii syarah Arbain


Nawawi, rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi dari pertumbuhannya kepada dua:
pertama, rasa malu yang ada secara fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri
manusia. Malu untuk melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena
memang setiap anak manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Namun rasa malu ini
akan dipengaruhi dalam proses selanjutnya.

Kedua, rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu ini bisa ditumbuhkembangkan
dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari akhlak, dan akhlak
adalah sesuatu yang bisa diupayakan dalam diri manusia. Ada satu langkah yang
utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang terpuji, yaitu mengenal Allah
swt, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa pengawasan-Nya. Mengenal Allah
swt kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an untuk mengenal Allah swt.

Seorang muslim harus berhias dengan perilaku malu yang utama tersebut
sebab malu adalah kategori agama seluruhnya. Etika itu termasuk cabang keimanan
dan termasuk bagian dari Etika Islam. Setiap agama memilki etiaka dan sesungguhnya
etiaka Islam adalah malu.

Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila sifat malunya kuat, maka
kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi melemah. Bila sifat malunya
lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk dominan, Karena malu adalah
penghalang antara seseorang dengan hal-hal yang dilarang.

Anda mungkin juga menyukai