Dokter Pembimbing:
Dr.dr. Suzy Yusna Dewi SpKJ(K)
Disusun oleh:
Mohamad Yanuar Prasetyo Nugroho
112018035
KEPANITERAN KLINIK
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
ILMU KESEHATAN JIWA
PERIODE 26 AGUSTUS – 28 SEPTEMBER 2019
1
Pendahuluan
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) merupakan metode non-invasif yang
menggunakan prinsip dari induksi elektromagnetik mengandung aliran elektromagnetik untuk
menginduksi aliran listrik yang sudah ada di otak melalui gulungan yang dililit di kulit kepala.1
Medan magnet yang dialirkan melewati tengkorak, membuat stimulasi magnetis untuk
menginduksi arus intrakranial fokal yang kuat dan cukup spasial di jaringan otak yang terkena.
Awalnya, TMS digunakan untuk mempelajari konduktivitas motorik, namun waktu dari efek
stimulasi sangat cepat menghilang. Kemudian kemampuan untuk memberikan beberapa aliran
listrik melalui Repetitive TMS (rTMS) memungkinkan efek yang bertahan lebih lama dan dapat
mengubah koneksi sinaps melalui mekanisme neuroplastisitas.1
Beberapa sesi dari rTMS dapat meningkatkan atau mengurangi aktivitas dari regio otak
yang terkena, dan dari rTMS juga membuat aktivitas hiperaktif atau hipoaktif dari regio otak
pada orang dengan gangguan depresi mayor menjadi normal. Dari penelitian Eldaif, et. al.2,
TMS dapat digunakan sebagai modalitas terapi pada berbagai penyakit saraf walaupun
mekanismenya belum di mengerti sepenuhnya, seperti pada pasien dengan epilepsi, rehabilitasi
pasien stroke, gangguan gerak anggota tubuh, nyeri kronis, dan tinitus. Pada gangguan perilaku
yang berhubungan dengan penyakit neurologis masih belum banyak pilihan terapi yang
tersedia, dan TMS merupakan salah satu pilihan dengan bukti eksperimental pada pasien
dengan penyakit neurologis.
Fisiologi TMS
TMS dapat digunakan dengan denyut tunggal atau dengan sepasang denyut yang
interval waktu yang disebut juga rTMS. Denyut TMS berkisar antara 0,2-0,3 ms. Denyut
tunggal sering digunakan pada motor korteks primer untuk mengaktivasi otot kontralateral,
sebuah proses yang dapat diterjemahkan sebagai motor evoked potential (MEPs). MEP ini yang
menyediakan ambang motorik untuk aktivasi, amplitudo sinyal, dan latensi yang berhubungan
dengan rangsangan kortikal dan kortikospinalis.2 Perlu dicatat bahwa denyut TMS mem
fasilitasi / meningkatkan dan juga men supresi / mengurangi MEP. Denyut tunggal dari TMS
mampu menginduksi potensial aksi di regio target meskipun hanya mampu bertahan hanya
beberapa detik. Berbeda dengan beberapa denyut pada rTMS yang ternyata memberikan efek
terapeutik pada pasien dengan gangguan Substances Use Disorder (SUDs).1
Terdapat berbagai macam cara penggunaan TMS dari segi teknik, lamanya efek yang
diberikan, waktu pemberian denyut, dan frekuensi. Sebagai contoh, frekuensi TMS yang tinggi
2
(5-25 Hz) menghasilkan efek fasilitatif atau meningkatkan MEP, sedangkan frekuensi TMS
yang rendah (1-5 Hz) menghasilkan efek inhibisi atau menurunkan MEP.1
3
akumulasi Ca2+ dalam dendrit postsinaps, sehingga meningkatkan kemungkinan akson
presinaptik dan dendrit postsinaps menjadi aktif, yang diharapkan dapat mempotensiasi sinaps.
Penggunaan TMS
Terapi rTMS melibatkan 20-30 sesi, biasanya diberikan sekali sehari pada hari kerja
selama empat hingga enam minggu, terapi rTMS dilakukan oleh teknisi atau perawat terlatih,
di bawah pengawasan dokter. TMS tidak seperti terapi elektrokonvulsif yang memerlukan
pembiusan pada pasien.3 Konsekuensi TMS yang paling mengkhawatirkan adalah induksi
kejang, namun ketika diterapkan dengan batas keamanan yang ditetapkan (misal ; berkenaan
dengan intensitas dan durasi stimulasi), kejang sangat jarang terjadi.2 Pada pasien yang dengan
penyalahgunaan obat-obatan, pasien yang berhenti dari alkohol dan benzodiazepin
meningkatkan risiko terjadinya kejang.4
Dalam kasus kehamilan, kecil kemungkinan TMS di kulit kepala akan mempengaruhi
pertumbuhan janin mengingat tingkat pelemahan medan magnet yang cepat karena jarak yang
cukup jauh. Dengan demikian, ketika digunakan dalam pedoman yang ditetapkan, pada pasien
yang tepat dan dalam pengaturan yang sesuai (misalnya, dengan personel terlatih), TMS
dianggap aman.2
4
Sedangkan pada studi lain gagal menunjukkan penurunan kebutuhan pada alkohol
setelah sesi aktif rTMS.4
Gambar 1. Mekanisme Stimulasi Otak pada Binatang dan Manusia dengan Adiksi.1
Pada Gambar 1., menggambarkan kesamaan antara modulasi optogenetic
dengan TMS dari medial prefrontal cortex (mPFC), yang dimana mensupresi kompulsi
dari kebutuhan tikus terhadap kokain, dan mekanisme hipotetikal dari TMS dari
stimulasi dorsolateral PFC (DLPFC) menyebabkan pengurangan pada penggunaan
kokain dan kejadian relapse pada orang dengan kecanduan kokain. Mekanisme dari
terapi ini adalah aktivitas termodulasi dalam subcortical reward circuitry menyangkut
5
dopaminergik midbrain ventral tegmental area (VTA) dan nucleus accumbens (NAc)
melalui glutamatergic PFC efferen. Dengan memperkuat hipofungsional PFC melalui
neuron piramidal eferen, langsung menuju neuron spinal dari NAc2 dan memperkuat
PFC membuat jalur VTA mendorong pelepasan dopamin di NAc.
Kesimpulan
Berbeda dengan pendekatan neurostimulasi lainnya, TMS bersifat noninvasif. Dengan
pendekatan ini, TMS mampu menilai hubungan otak-perilaku, yang memiliki implikasi
diagnostik yang jelas untuk gangguan neurologis. Potensi diagnostik tersebut telah
direalisasikan dalam penggunaan TMS yang sekarang disetujui untuk pemetaan motorik dan
languange mapping. Untuk sekarang, tampaknya TMS masih membutuhkan penelitian
eksperimental yang masih bergantung oleh hipotesis dan butuh diuji sebagai pilihan terapi yang
menjanjikan untuk penyakit otak seperti gangguan adiksi atau kecanduan. Dan pada beberapa
kasus, perlu diwaspadai muncul kejang saat TMS dimulai.
6
Daftar Pustaka