Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Trauma Abdomen

Dokter Pembimbing:
dr. Gunadi Petrus, sp. B, KBD

Disusun oleh:
Mohamad Yanuar Prasetyo Nugroho
112018035

KEPANITERAN KLINIK
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
ILMU PENYAKIT BEDAH
RS BAYUKARTA
PERIODE 17 Juni – 24 Agustus 2019
Pendahuluan
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih
tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tembus. Walaupun tehnik diagnostik
baru sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen
masih merupakan tantangan bagi ahli klinik.Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan
secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya
jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait.1

Pasien mungkin juga memiliki trauma organ abdomen dalam bahkan jika luka tikam
atau luka tembak masuk di luar daerah perut depan, seperti di punggung, pinggang, pantat,
perineum, paha atas, dada bawah atau setelah lengan.

Penatalaksanaan trauma abdomen sampai sekarang masih merupakan bahan diskusi


dalam Ilmu Bedah, dari tindakan yang konservatif sampai tindakan yang radikal. Akhir-akhir
ini terdapat kecenderungan untuk lebih selektif dalam melakukan tindakan laparotomi pada
trauma abdomen.1

Kematian pada trauma abdomen tidak hanya ditentukan oleh beratnya trauma atau
adanya trauma penyerta, tetapi juga oleh keterlambatan dalam menegakkan diagnosis.
Kematian biasanya disebabkan oleh perdarahan atau peradangan dalam rongga peritoneum.
Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penanggulangan
optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya.2

Definisi
Trauma merupakan kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera. Trauma abdomen
adalah trauma yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan
immunologi dan gangguan faal berbagai organ.1

Epidemiologi
Pada tahun 1990, sekitar 5 juta orang meninggal di seluruh dunia karena cedera
(trauma). Resiko kematian karena trauma sangat bervariasi tergantung dari daerah, usia, dan
jenis kelamin. Kematian karena trauma sekitar 12,5% dari seluruh kematian pada laki-laki dan
pada perempuan hanya 7,4%. Pada tahun 2020, diperkirakan angka kematian di dunia akibat
trauma akan mencapai 8,4 miliar dan salah satu penyebab tersebut adalah kecelakaan lalu
lintas.1,2
Dari seluruh kasus trauma abdomen di RSCM, trauma tembus akibat luka tusuk
menempati tempat teratas (65%) diikuti oleh trauma tumpul. Lebih dari 50% trauma tumpul
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, biasanya disertai dengan trauma pada bagian tubuh
lainnya. Di negara-negara yang mengharuskan penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan,
dikenal trauma tumpul yang disebabkan oleh sabuk pengaman ini yang disebut seat-belt
syndrome. Trauma tumpul terutama terjadi di daerah pedesaan, sementara trauma tembus lebih
sering terjadi di daerah perkotaan.3

Anatomi
1. Anatomi Luar.1,3,4
a. Abdomen depan
Abdomen depan merupakan bidang yang dibatasi di bagian cranial oleh garis
intermammaria, caudal oleh kedua ligamentum inguinale dan simfisis pubis serta di lateral oleh
kedua linea axillaris anterior
b. Pinggang
Merupakan daerah yang berada di antara linea axillaris anterior dan linea axillaris
posterior, dari sela iga ke VI sampai crista iliaca. Di lokasi ini ada dinding otot yang tebal,
berlainan dengan dinding otot yang tipis di bagian depan, menjadi pelindung terutama terhadap
luka tusuk.
c. Punggung
Daerah ini berada di posterior dari linea axillaris posterior, dari ujung caudal scapula
sampai crista iliaca. Otot-otot punggung dan otot paraspinal menjadi pelindung terhadap
trauma tajam.
2. Anatomi Dalam.1-4
a. Rongga peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding cavitas abdominis
dan cavitas pelvis serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Peritoneum parietale melapisi
dinding cavitas abdominis dan cavitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-
organ. Rongga potensial di antara peritoneum parietalis dan visceralis disebut cavitas
peritonealis.
b. Rongga pelvis

Merupakan ruangan yang terletak diantara aperture pelvis superior dan aperture pelvis inferior.
Biasanya cavitas pelvis dibagi oleh diafragma pelvis yang terletak di atas dan perineum
dibawahnya. Rongga ini terutama berisi organ urogenitalia.

c. Rongga retroperitoneum

Rongga potensial yang berada di belakang dinding peritoneum yang melapisi abdomen. Cedera
pada organ dalam retroperitoneum sulit dikenali karena daerah ini jauh dari jangkauan
pemeriksaan fisik dan biasanya cedera awalnya tidak akan menimbulkan gejala peritonitis.
Rongga ini termasuk dalam bagian yang diperiksa sampelnya pada diagnostic peritoneal lavage
(DPL).

Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai untuk
menentukan lokalisasi kelainan, yaitu:

1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal melalui
umbilikus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri
bawah.

2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua garis
vertikal.

a. Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga kesepuluh dan yang
kedua dibuat melalui titik spina iliaka anteriorsuperior (SIAS).

b. Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS dan mid-line
abdomen.

c. Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri,lumbal kanan,


umbilical, lumbal kiri, iliaka kanan, hipogastrium atau suprapubik, dan iliaka kiri.
Gambar 1. Pembagian Kuadran pada Abdomen

Klasifikasi

Trauma pada abdomen disebabkan oleh dua mekanisme yang merusak, yaitu: (1)
trauma tumpul: merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga peitonium. Luka
tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, keselakaan
kendaraan bermotor, cedera akibat berolah raga, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau
sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. (2) Trauma tembus:
merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum. Luka tembus pada
abdomen disebabkan oleh tusukan benda tajam atau luka tembak.3

Berdasarkan organ yang terkena trauma abdomen dapat dibagi menjadi dua: (1) Trauma
pada organ padat, seperti hepar, limpa (lien) dengan gejala utama perdarahan. (2) Trauma pada
organ padat berongga seperti usus, saluran empedu dengan gejala utama adalah peritonitis.2,3

Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh
tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau organ dibawahnya. Trauma
tumpul dapat berupa benda tumpul, perlambatan(deselerasi), dan kompresi. Benturan benda
tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi dan
organ padat berupa laserasi.3
Trauma tembus dibagi menjadi luka tusuk dan luka tembak. Trauma tembus akibat
peluru dibedakan antara jenis kecepatan rendah (low-velocity) dengan kecepatan tingg (high-
velocity). Trauma tembus akibat peluru dengan kecepatan tinggi menimbulkan kerusakan yang
lebih besar. Hampir selalu luka tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-
organ dalam abdomen. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki rongga abdomen
dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam abdomen akibat efek ledakan.4

Patofisiologi
Pada trauma tumpul abdomen cedera pada struktur dalam rongga abdomen dapat
diklasifikasikan menjadi dua mekanisme cedera yaitu kekuatan kompresi dan kekuatan
perlambatan (deselerasi).3
Kekuatan kompresi dapat ditemukan pada pukulan secara langsung atau kompresi luar
yang melawan benda yang memfiksasi organ tersebut misalnya lap belt dan spinal column.
Umumnya kekuatan yang merusak menyebabkan robek dan timbulnya hematoma subkapsular
dari organ visera yang padat. Kekuatan tersebut juga menyebabkan perubahan bentuk pada
organ berongga dan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sementara sehingga dapat
menimbulkan robekan. Peningkatan tekanan sementara ini biasanya terjadi pada usus kecil.3
Kekuatan deselerasi menyebabkan peregangan (stretching) dan memotong (shearing)
secara linier bagian organ yang relatif terfiksir dengan bagian yang bergerak bebas. Kekuatan
memotong secara longitudinal cenderung menyebabkan ruptur dari struktu penyokong pada
daerah hubungan antara dua segmen yang bergerak bebas dan terfiksir. Cedera deselerasi yang
klasik termasuk robeknya hepar sepanjang ligamentum teres dan trauma lapisan intima dari
arteri renalis. Hal serupa juga dapat menyebabkan kolon terlepas dari perlekatannya dengan
mesenterium, trombosis dan robekan mesenterik serta dapat juga ditemukan cedera pada arteri
splanikus.3

Cedera Organ Abdomen


a. Diafragma
Robekan diafragma dapat terjadi pada bagian manapun dari ke dua diafragma, yang
paling penting mengenai cedera adalah diafragma kiri. Cedera biasanya 5 – 10 cm panjangnya
dengan lokasi di postero lateral dari diafragma kiri. Pada pemeriksaan foto thorak awal akan
terlihat diafragma yang labih tinggi ataupun kabur, biasanya berupa hemathoraks, ataupun
adanya bayangan udara yang membuat kaburnya gambaran diafragma, ataupun terlihat NGT
yang terpasang dalam gaster terlihat di thorak. Pada sebagian kecil foto thorak tidak
memperlihatkan adanya kelainan.5

b. Organ Berongga

1. Lambung dan usus halus


Trauma tumpul dan penetrasi ke dalam lambung, jejunum, dan ileum relatif mudah
dikoreksi pada eksplorasi bedah. Trauma penetrasi memerlukan debridemen luka dan
penutupan sederhana. Kadang-kadang sejumlah luka akan ditemukan dalam usus halus di atas
segmen yang relatif pendek, sehingga mereseksi segmen yang terlibat dan melakukan
anastomosis primer merupakan tindakan yang tepat. Faktor yang dianggap mencetuskan hal
tersebut adalah peningkatan mendadak tekanan intralumina lokal, kompresi usus halus pada
kolumna vertebralis serta deselerasi pada atau dekat titik fiksasi. Penggunaan sabuk pengaman
mengakibatkan avulsi lambung dan usus halus.5

2. Kolon dan rektum


Trauma kolon dan rektum tersering mengikuti trauma penetrasi cavitas abdominalis.
Banyak kontroversi sehubungan dengan terapi cedera kolon. Penatalaksanaan memerlukan
banyak penilaian klinik dan terutama ditentukan oleh derajat cedera, adanya cedera penyerta
yang mengancam nyawa dan kontaminasi feses serta waktu yang terlewatkan antara trauma
dan perbaikan bedah. Para ahli percaya terapi konservatif lebih tepat, kecuali cedera kolon
ringan dan kontaminasi feses sedikit.5

c. Organ padat

1. Hati
Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling sering terkena
kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering kali kerusakan disebabkan oleh
trauma tumpul. Hal utama yang dilakukan apabila terjadi perlukaan di hati yaitu mengontrol
perdarahan dan mendrainase cairan empedu. Trauma hepar dengan hemodinamik stabil dan
tidak ada tanda perdarahan serta defans muskular dilakukan perawatan non operatif dengan
observasi ketat selama minimal 3 x 24 jam. Harus dilakukan pemeriksaan CT scan serial, USG
maupun Hb serial. Indikasi operatif cedera hepar yaitu trauma hepar dengan shok, peritonitis,
hematoma yang meluas, penanganan konservatif gagal, dan dengan cedera lain intra
abdominal.3,5
2. Limpa
Merupakan organ yang paling sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh trauma
tumpul. Sering terjadi hemoragi atau perdarahan masif yang berasal dari limpa yang ruptur
sehingga semua upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan di limpa.2
Penatalaksanaan cedera limpa dapat dilakukan dengan terapi operatif dan non operatif.
Jika terapi operatif harus dipilih, splenorafi dapat dilakukan dengan memberikan zat-zat
hemostatik topikal, dijahit atau splenoktomi parsial cedera dengan vaskularisasi.
Kontraindikasi tindakan penyelamatan limpa adalah kondisi pasien yang tidak stabil, avulsi
limpa atau fragmentasi yang luas, dan cedera pembuluh darah hilus yang luas serta kegagalan
mencapai hemostasis.4

3. Pankreas
Umumnya cedera pankreas terjadi pada pukulan langsung di daerah epigastrium dengan
kolumna vertebralis sebagai alas. Peningkatan kadar amilase yang konstan harus dicurigai
adanya cedera pankreas. Pada 8 jam pertama pasca trauma pemeriksaan CT dengan double
contras bisa saja belum memperlihatkan cedera pankreas. Pemeriksaan harus diulang jika
dicurigai adanya cedera pada organ tersebut. Jika CT scan meragukan maka dianjurkan untuk
dilakukan pembedahan eksplorasi.3

4. Traktus urinarius

a. Ginjal
Delapan puluh sampai delapan puluh lima persen trauma ginjal disebabkan oleh trauma
tumpul yang secara langsung mengenai abdomen, pinggang, dan punggung. Trauma tersebut
disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, dan olahraga kontak. Tabrakan
kendaraan pada kecepatan tinggi bisa menyebabkan trauma pembuluh darah utama karena
deselerasi cepat. Luka karena senjata api dan pisau merupakan luka tembus terbanyak yang
mengenai ginjal sehingga jika terdapat luka pada pinggang harus dipikirkan trauma ginjal. Pada
luka tembus ginjal, 80% berhubungan dengan trauma visera abdomen.2
Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneum bagian atas hanya terfiksasi oleh
pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara massa ginjal melayang bebas dalam bantalan
lemak yang berada dalam fascia gerota. Karena fiksasi yang sedikit, ginjal mudah mengalami
dislokasi oleh akselerasi maupun deselerasi mendadak yang bisa menyebabkan trauma seperti
avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsila
mauopun komplit pembuluh darah.3
Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrasi di daerah ini bisa
menyebabkan trauma pada ke dua struktur. Vena renalis yang berdekatan dengan pankreas dan
pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma
kombinsai yaitu trauma pankreas, duodenum, dan ginjal. Anatomi ginjal yang mengalami
kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur karena
adanya trauma ginjal.3

b. Ureter, vesika urinaria, dan urethra


Trauma tumpul ureter jarang terjadi dan biasanya timbul akibat tindakan laparotomi.
Ruptur intraperitonium dari kandung kemih biasanya timbul akibat fraktur pelvik atau ketika
pukulan langsung pada perut bagian bawah. Gejala yang timbul berupa rangsangan peritoneum.
Pemeriksaan dengan CT scan dapat mendeteksi cairan intraperitoneum. Cedera tersebut juga
dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan retrograde atau CT cystography.3
Cedera urethra anterior lebiha jarang terjadi, namun biasanya timbul akibat straddle
injury yang menyebabkan timbulnya hematom di daerah penis dan perineum. Pasien dengan
cedera tersebut bisanya megalami kerusakan berat pada spongiosus urethra. Eksplorasi bedah
dini dindikasikan dengan mobilisasi urethra dan eksisi segmen cedra dengan reanastomosis. 3

d. Organ reproduksi
Cedera intraabdominal yang mengenai organ jarang terjadi pada pasien yang tidak
hamil dan biasanya ditemukan ketika dilakukan laparotomi akibat yang lain.5

e. Pembuluh darah abdomen


Cedera pada pembuluh darah besar abdomen biasanya menyebabkan instabilisasi
hemodinamik dan ditemukan pada saat laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan dapat
berhenti sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan adanya pseudoaneurisma. Jika
aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh
darah yang rusak dengan cara laparotomi. Pada beberapa kasus perdarahan dapat berenti
sendiri. Pada pemeriksaan CT scan mungkin ditemukan adanya pseudoaneurisma. Jika
aneurisma terjadi pada pembuluh darah besar, maka merupakan indikasi perbaikan pembuluh
darah yang rusak dengan cara laparotomi dan mencegah perdarahan yang terjadi.3
Gejala dan Tanda Klinik
Gejala awal dari cedera abdomen meliputi mual, muntah, dan demam. Darah dalam
urine juga sebagai tanda yang lainnya. Cedera pada abdomen bisa didapatkan nyeri abdomen,
distensi, atau kaku pada palpasi, dan suara usus bisa menurun atau tidak ada. Perlindungan
abdomen yaitu dengan penegangan dari dinding perut untuk menjaga organ-organ yang
mengalami inflamasi di dalam abdomen. Pneumoperitoneum merupakan udara atau gas di
dalam rongga abdomen, bisa menjadi suatu indikasi adanya ruptur dari organ berongga. Pada
luka tembus, bisa didapatkan adanya eviserasi (keluarnya organ-organ dalam abdomen dari
tempat luka tersebut). Cedera-cedera yang berhubungan dengan trauma intraabdomen meliputi
fraktur costa, fraktur vertebra, fraktur pelvis, dan cedera pada dinding abdomen.1
Trauma tumpul abdomen seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang
karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. Adanya darah atau cairan
usus akan menimbulkan rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas
dan kekakuan dinding perut. Adanya darah dapat pula ditentukan dengan shifting dullness,
sedangkan adanya udara bebas dapat diketahui dengan hilang dan beranjaknya pekak hati.
Bising usus biasanya melemah dan menghilang. Rangsangan peritoneum dapat pula berupa
nyeri alih di daerah bahu sebelah kiri.1,2
Trauma tembus dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intraperitoneal. Rangsangan peritoneal yang timbul sesuai dengan isi dari
organ yang berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang
berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi
terjadi di bagian atas, misalnya di daerah lambung, maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah, seperti
kolon, mula-mula tidak terdapat gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembangbiak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum.6

Diagnosis
a. Anamnesis
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang
sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin,
bersamaan dengan usaha resusitasi.2
b. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik lakukan inspeksi, auskultasi, perkusi dan baru palpasi. Untuk
inspeksi lihat mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda dehidrasi, perdarahan, dan
tanda-tanda syok. Pada trauma abdomen biasanya ditemukan kontusio, abrasio, lacerasi dan
echimosis. Echimosis merupakan indikasi adanya perdarahan di intraabdomen. Terdapat
Echimosis pada daerah umbilikal biasa kita sebut Cullen’s Sign sedangkan echimosis yang
ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai Turner’s Sign. Terkadang ditemukan
adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ abdomen keluar seperti usus, kolon yang terjadi pada
trauma tembus atau tajam.1-3
Untuk auskultasi selain suara bising usus yang diperiksa di empat kuadran dimana
adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya bunyi bising usus, juga perlu didengarkan
adanya bunyi bruits dari arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan indikasi adanya
trauma pada arteri renalis. Perkusi untuk melihat apakah ada nyeri ketok. Salah satu
pemeriksaan perkusi adalah uji perkusi tinju dengan meletakkan tangan kiri pada sisi dinding
thoraks pertengahan antara spina iliaka anterior superior kemudian tinju dengan tangan yang
lain sehingga terjadi getaran di dalam karena benturan ringan bila ada nyeri merupakan tanda
adanya radang atau abses di ruang subfrenik antara hati dan diafragma.3
Selain itu bisa ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran
atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi bila ditemukan balance
sign dimana bunyi resonan yang lebih keras pada panggul kanan ketika klien berbaring ke
samping kiri merupakan tanda adanya rupture limpe. Sedangkan bila bunyi resonan lebih keras
pada hati menandakan adanya udara bebas yang masuk.2
Adanya darah atau cairan usus dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda
rangsangan peritoneum berupa nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity)
dinding abdomen. Kekakuan dinding abdomen dapat pula diakibatkan oleh hematoma pada
dinding abdomen. Adanya darah dalam rongga abdomen dapat ditentukan dengan shifting
dullness, sedangkan udara bebas ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau menghilang.
Bising usus biasanya melemah atau hilang sama sekali. Bising usus yang normal belum berarti
bahwa tidak ada apa-apa dalam rongga abdomen. Trauma abdomen disertai ranggsangan
peritoneum dapat memberikan gejala berupa nyeri pada daerah bahu terutama yang sebelah
kiri. Gejala ini dikenal sebagai referred pain yang dapat membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan: pemeriksaan rektum, adanya darah menunjukkan
kelainan pada usus besar: kuldosentesis, kemungkinan adanya darah dalam lambung; dan
kateterisasi, adanya darah menunjukkan lesi pada saluran kencing. 1-3
c. Pemeriksaan Laboratorium
Secara rutin diperiksa hemoglobin, hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis.
Nilai-nilai amilase urine dan serum dapat membantu untuk menentukan adanya perlukaan
pankreas atau perforsi usus.3
1. Darah Lengkap
Hemoglobin dan hematokrit normal ditemukan jika tidak terjadi perdarahan. Pasien
yang mengalami perdarahan dapat dilakukan transfusi dengan cairan kristaloid. Transfusi
trombosit diperlukan jika terjadi trombositopenia (plateler count < 50.000/ml) dan perdarahan
aktif.2

2. Kimia Serum
Pemeriksaan kimia serum penting dilakukan untuk mengatahui adanya
ketidakseimbangan elektrolit. Pemeriksaan gula darah sewaktu juga penting digunakan untuk
mengetahui status mental pasien.2

3. Liver Function Test (LFT)


LFT mungkin dapat digunakan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen untuk
mengetahui alasan insiden seperti pada alcohol abuse. Peningkatan kadar aspartate
aminotransferase (AST) atau alanin aminotransferase (ALT) lebih dari 130μ berhubungan
dengan cedera hepar yang signifikan. Kadar lactate dehydrogenase (LDH) dan bilirubun
merupakan indikasi non spesifik untuk cedera hepar.2,3

4. Pengukuran amilase
pemeriksaan amilase merupakan test yang sensitif non spesifik untuk cedera pankreas. Namun
peningkatan kadar amilase setelah 3 – 6 jam setelah trauma memiliki akuransi yang cukup
besar.2

5. Urinalisis
Indikasi untuk dilakukan urinalisis antara lain trauma yang cukup parah pada abdomen
dan flank, gross hematuri, microscop hematuri pada pasien hipotensi, dan mekanisme
deselerasi yang parah.3
6. Coagulation profile
Pemeriksaan PT dan PTT dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat blood
dyscrasias (hemophilia), gangguan sintesis (cirrhosis), atau yang sedang dalam terapi obat-
obatan (warfarin dan heparin). 2

7. Golongan darah, screen, dan crossmatch


Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami trauma abdomen dengan
tujuan untuk menghemat waktu crossmatch sehingga dapat dipersiapkan darah utnuk transfusi
dengan segera. 2,3

8. Pengukuran gas darah arteri


Pemeriksaan ini penting untuk memberikan informasi tentang kadar oksigen (PO2,
SaO2) dan ventilasi (PCO2). Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi asidosis metabolik yang
sering menyertai keadaan syok.2

9. Skrining obat dan alkohol


Pemeriksaan skrining terhadap pemakaian obat dan alkohol dapat berguna untuk
menilai kesadaran pasien.2

d. Pemeriksaan Radiologi
Bila indikasi untuk melakukan laparatomi sudah ditentukan tidak perlu lagi dilakukan
pemeriksaan radiologi, lebih-lebih pada penderita dalam keadaan syok. Pemeriksaan radiologi
hanya akan memperburuk keadaan penderita bahkan dapat berakhir dengan kematian di atas
meja rontgen. 3
Pemeriksaan radiologi untuk skrining adalah Ro-Cervical lateral, thorak anterior-
posterior, dan pelvis anterior-posterior dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multi
trauma. Rontgen foto abdomen 3 posisi (terlentang, setengah duduk, dan lateral dekubitus)
berguna untuk melihat adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di
retroperitoneum yang menjadi petunjuk untuk dilakukannya laparotomi. Hilangnya bayangan
psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal. IVP atau sistogram hanya dilakukan
bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.3,4
e. Parasentesis Perut
Pada trauma tumpul sulit untuk melihat setiap bagian intraperitoneum dari traktus
gastrointestinal dengan diagnosis laparoskopi. Teknik ini tidak memungkinkan untuk melihat
secara adekuat bagian retroperitoneum. Cara ini mungkin mampu menilai adanya cedera hepar
atau limpa dan terapi kejadian cedera minor, namun cara tersebut sulit untuk menentukan
rencana terapi. 3

f. Lavase Peritoneal
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada
suatu trauma tumpul bila dengan pemeriksaan fisik dan radiologik, diagnosa masih diragukan.
Test ini tidak boleh dilakukan pada penderita yang tidak kooperatif, melawan, dan yang
memerlukan operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu.
Posisi penderita terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tinktur dan infiltrasi
anestesi lokal di garis tengah diantara umblikus dan pubis, kemudan dibuat insisi kecil. Kateter
dialisa peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Bila pada pengisapan tidak keluar
darah atau cairan, dimasukkan cairan garam fisiologis sampai 1000 ml yang kemudian
dikeluarkan kembali. Hasil dikatakan positif bila: cairan yang keluar berwarna kemerahan,
adanya empedu, ditemukannya bacteria atau sel darah lebih dari 100.000/mm3, sel darah putih
lebih dari 500/mm3, amylase lebih dari 100 u/100 ml.1,3,4

Penatalaksanaan

a. Trauma Tumpul
Tindakan awal yang dilakukan pertama kali adalah primary survey untuk
mengidentifikasi permasalahan yang mengancam dengan segera. Stabilisasi ABCs (Airway,
Breathing, Circulation) dilakukan secara simultan. Pasien dengan permasalahan jalan nafas
atau yang memiliki potensi mengancam dilakukan pemasangan endotracheal tube. Atasi
pasien yang mengalami apnea atau hipoventilasi serta pasien yang mengalami takipnea dengan
memberikan oksigen. Menurunnya suara nafas mungkin ditemukan pada hemothoraks atau
pneumothoraks sehingga perlu dilakukan dekompresi. Identifikasi hipovolemi dan tanda shok
dan mencari sumber perdarahan. Atasi segera dengan pemberian cairan intravena. Setelah
tertangani semua lakukan pemeriksaan fisik lengkap mulai dari kepala sampai ke kaki dengan
memfokuskan pada daerah yang mengalami trauma. Setelah melakukan primery survey dan
resusitasi awal, segera lengkapi dengan secondary survey untuk mengidentifikasi semua
potensi yang memungkinkan menimbulkan cedera. Bedside ultrasonography merupakan salah
satu protokol untuk menilai adanya perdarahan intraperitoneum. Jika hasil penilaian negatif
atau meragukan, DPL bisa dilakukan pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil. Pasien
yang mengalami instabilisasi hemodinamik atau ditemukan abnormalitas yang jelas pada
pemeriksaan fisik dan prosedur diagnostik memerlukan intervensi pembedahan. Penemuan
yang spesifik pada tahap diagnostik, seperti terbukti adanya cairan bebas atau cedera organ
padat pada sonogram atau CT-scan merupakan indikasi untuk dilakukan intervensi
pembedahan.3,4
Pasien harus dimonitor secara ketat di ICU bedah setelah selesai laparotomi. Banyak
pasien akan masih diintubasi dan diberikan ventilasi. Perhatian harus ditujukan pada suhu
pasien, kelancaran resusitasi pemberian cairan dan darah, penggantian elektrolit, dan
memonitor keluaran drainage. Pada pasien dengan adanya bukti perdarahan yang berlanjut
mungkin mempunyai keuntungan untuk dilakukan evaluasi dengan angiografi untuk
mengetahui adanya embolisasi; dan beberapa pasien memerlukan eksplorasi kembali untuk
mengontrol perdarahan. Pasien yang menjalani prosedur control kerusakan demage-control
procedures) dan/atau yang dilakukan penutupan abdomen sementara harus dilakukan operasi
kembali dalam 24-48 jam untuk perbaikan definitive.3,4

b. Luka Tusuk
Karena tingginya frekuensi laparotomi negatif pada tindakan laparotomi rutin, sekarang
orang cenderung untuk lebih selektif dalam memutuskan tindakan laparotomi pada luka tusuk
abdomen. 3,4
Tindakan laparotomi hanya dilakukan bila: adanya tanda-tanda rangsangan peritoneal,
syok, bising usus tak terdengar, prolaps visera melalui luka tusuk, darah dalam lambung, buli-
buli, rectum, udara bebas intraperitoneal, dan lavase peritoneal memberikan hasil positif. Selain
dari itu penderita diobservasi selama 24-48 jam.3
Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM memakai cara penentuan terlebih dahulu apakah luka
tusuk itu menembus peritoneum dengan cara mengeksplorasi luka tusuk. Luka tusuk yang
menembus peritoneum dilanjutkan dengan tindakan laparotomi. 6,7
c. Luka Tembak
Berbeda dengan luka tusuk abdomen yang belum tentu mengenai alat dalam abdomen,
luka tembak hampir selalu menimbulkan kerusakan pada alat dalam perut. Dianjurkan pada
luka tembak perut agar dilakukan laparotomi.7

Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi pada trauma yang dapat diidentifikasi maupun yang tidak
teridentifikasi. Perdarahan intraabdomen, infeksi, sepsis, dan kematian dapat terjadi. Delayed
ruptur atau delayed hemmorage dari organ padat khususnya limpa dapat muncul. Pada pasien
yang menjalani laparatomi dan perbaikan, komplikasi sama dengan kondisi lain yang
memerlukan tindakan operasi. Komplikasi yang lebih lambat lagi meliputi obstruksi usus halus
dan hernia insisional.8

Daftar Pustaka
1. American College of Surgeons.Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter Edisi 7.
Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
2. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher, 2009,
Bab 2; Digestive.
3. Diktat Kuliah.Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Secara Terpadu. Jakarta :
Ambulan Gawat Darurat 118.
4. Guilon, F. 2011. Epidemiology of abdominal trauma. in: CTof the Acute Abdomen.
London: Springer.
5. Heater Herdman, T. 2015. NANDA internasional Inc. nursing : definition & classification
2015-2017. Jakarta: EGC.
6. Musliha.(2010). Keperawatan gawat darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
7. Mochamad Aleq Sander. (2013). Kasus serial ruptur lien akibat trauma abdomen:
bagaimana pendekatan diagnosis dan penatalaksanaannya.
8. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/vie w/2377/3216

Anda mungkin juga menyukai