PENDAHULUAN
1
& Paryani, 2010). Pengobatan BPH bervariasi dari watchful waiting sampai
intervensi bedah hal ini tergantung pada hasil IPSS (International Prostate
Symptom Score). Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada
umumnya tidak ada terapi hanya watchful & waiting dan dilakukan
kontrol saja. Nilai IPSS diantara 8 –18 derajat sedang dilakukan terapi
medikamentosa, sedangkan nilai 19 –35 termasuk derajat berat diperlukan
operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi
transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) (Singodimedjo,
2000). Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau
terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross
hematuria berulang, batu vesika urinaria berulang, infeksi saluran
kemih yang rekuren dan insufisiensi renal rekuren (Bozdar, Memon, &
Paryani, 2010).
Pada umumnya para spesialis urologi sependapat bahwa apabila
perkiraan berat kelenjar prostate 60 gram ke bawah dilakukan operasi
tertutup sedangkan apabila perkiraan berat kelenjar prostat lebih dari 60
gram dilakukan operasi terbuka. Seperti telah diterangkan di atas operasi
pasien BPH bergejala baik tertutup maupun terbuka adalah berdasarkan
dari perkiraan berat kelenjar prostat baik yang diperkirakan diperiksa
melalui pemeriksaan colok dubur atau dengan pemeriksaan ultrasonografi
(Singodimedjo, 2000). Reseksi transuretral prostat atau Transurethral
Resection of the Prostate (TURP) adalah gold standard dalam perawatan
bedah untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan
konservatif. TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam
94,7% kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan BPH. (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Prostat pada umumnya memiliki
ukuran dengan panjang 1,25 inchi atau kira–kira 3 cm, dan beratnya kurang lebih 20
gram.
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat
prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat
berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada
diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh
3
lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas
pada ampulla recti (Moore & Agur, 2002).
Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur
hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur
(Sjamsuhidajatdkk., 2012).
Gambar 2.2 Prostat Normal (Kiri) dan Prostat yang membesar (Kanan)
2.2 Fisiologi
4
oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan
prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum,
karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir
metabolisme sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma.
Selain itu, sekret vagina bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak
optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat
yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan. seminalis
lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma
(Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2011).
5
Kenapa operasi ini perlu dilakukan pada BPH? BPH adalah kelenjar prostat
yang mengalami pembesaran sehingga pembesaran ini dapat menyebabkan
penekanan pada urethra, yang menyebabkan aliran urin dari bladder akan terganggu
bila di biarkan akan menyebabkan penyumbatan, yang pada akhirnya akan
menyebabkan hidronefrosis, resiko terjadi kegagalan ginjal tinggi.
Diindikasikan bahwa seseorang mengalami BPH adalah :
1. Meningkatnya frekuensi buang air kecil
2. Kesulitan memulai buang air kecil
3. Aliran urin pelan
4. Berhenti sebentar di tengah aliran
5. Dribbling setelah urination
6. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk BAK
7. Perasaan tidak puas (ada sisa urin di bladder) setelah BAK
8. Nyeri atau burning selama BAK
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah ketika pasien dengan
gejala sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak
dapat diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran 30-60 gram.
TURP merupakan tindakan non-invasif, namun dapat menimbulkan
beberapa komplikasi. Hahn, et al(2000) menjelaskan diantara adalah ejakulasi
retrograde(60-90%), infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh kolonisasi
bakteri pada prostat (2%), persistent urinary retentionketika pulang dari rumah
sakit dengan terpasang kateter (2.5%), stricture bladder (2-10%), striktur
uretra(10%)dan komplikasi kardiovaskuler misalnya Acute Myocardial Infarction
6
(AMI). Selain itu terdapat komplikasi yang dapat membahayakan kondisi
pasien, bahkan dapat mengakibatkan kematian, yaitu sindrom TURP
TURP (Transurethral Resection Prostate) adalah tindakan operasi yang
dilakukan dengan memasukkan alat khusus ke uretra yang kemudian mereseksi
(mengerok) prostat yang membesar hingga tidak ada sumbatan pada uretra. Jaringan
yang telah direseksi akan dikeluarkan lewat drain kateter. Dalam operasi ini tidak ada
insisi dan masa penyembuhan selama 8-12 minggu (QHC, 2009). Dalam perspektif
lain, Transurethral Resection of Prostate (TURP) adalah operasi yang dilakukan
dengan tujuan menghilangkan obstruksi di area central prostat dengan menggunakan
panas diatermi dan insersi kateter sementara menuju kandung kemih untuk irigasi sisa
jaringan yang tereseksi (CUP, 2011). Jadi TURP adalah metode operasi prostat
(prostatektomi) non insisi dengan memasukkan alat melalui utetra yang berfungsi
untuk mengerok bagian prostat sampai tidak terjadi sumbatan di uretra.
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi
absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
Retensi urine yang berulang.
Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
Gross hematuria berulang.
Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan buli
terganggu akibat pembesaran prostat.
Secara umum pasien dengan gejala LUTS sedang-berat yang tidak berespon terhadap
pengobatan dengan alfa-adrenergik bloker dan/atau 5-alfa reduktase blok inhibitor
dipertimbangakan untuk menjalani prosedur pembedahan. TURP diindikasikan pada
pasien dengan gejala sumbatan saluran kencing menetap dan progresif akibat
pembesaran prostat yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi obat-obatan.
7
TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasikan pada pasien
tertentu. Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif, berdasarkan
kondisi komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam menjalani prosedur bedah
dan anestesi. Kontraindikasi relatif antara lain adalah status kardiopulmoner yang
tidak stabil atau adanya riwayat kelainan perdarahan yang tidak bisa disembuhkan.
Pasien yang baru mengalami infark miokard dan dipasang stent arteri koroner
sebaiknya ditunda sampai 3 bulan bila akan dilakukan TURP.
Kontrandikasi yang lain adalah pasien kanker prostat yang baru menjalani
radioterapi terutama brachyterapi atau krioterapi dan infeksi saluran kencing yang
aktif.
Operasi ini selain memiliki efek positif juga memiliki efek negatif (komplikasi) yang
bisa membahayakan nyawa pasien. Salah satu komplikasinya adalah TURP
syndrome. TURP syndrome adalah sekumpulan gejala sistemik sebagai efek dari
penyerapan cairan irigasi yang terlalu banyak sehingga hal tersebut mengganggu
kestabilan kadar natrium tubuh, sementara natrium memiliki peran vital dalam
menjaga fungsi kerja saraf (Claybon, 2009; Damirel, 2012). Tanda dan gejala tersebut
adalah disorientasi, gangguan kesadaran, gangguan pengelihatan, mual dan muntah,
gangguan pola nafas, abnormalitas nilai Capillary Refill Time, hiponatremia, anemia,
nyeri kepala, hipertensi, gangguan frekuensi nadi, suara paru ronchi, gangguan kadar
kalium, kadar ureum dan kreatinin yang tinggi dan edema kaki. (Hawary, 2009).
8
Kunci utama munculnya tanda dan gejala tersebut adalah ketika kadar natrium dalam
darah mulai berkurang (< 135 mmol/l) sementara kadar normal dalam tubuh berkisar
antara 135-145 mmol/l dan sindrom ini bisa muncul pada 15 menit setelah reseksi
dilakukan hingga lebih dari 24 jam post operasi.
Pencegahan agar tidak terjadi sindrom ini adalah saat operasi memposisikan
pasien dengan ekstrimitas bawah lebih rendah dari kepala karena hal ini bisa
menurunkan jumlah cairan irigasi yang masuk ke sirkulasi, skill dan pengalaman
kerja dari urolog karena semakin memiliki banyak pengalaman dalam TURP maka
bisa meminimalisir munculnya sindrom TURP, tidak melakukan TURP melebihi 60
menit karena lebih dari itu bisa memunculkan TURP syndrome, bipolar TURP
(penggunaan aquades untuk irigasi bukan Na Cl), penggunaan diuretik semisal
furosemid dan infus manitol untuk prevensi edem pulmo. Namun yang menjadi
catatan penting adalah diuretic hanya digunakan pada pasien dengan kondisi
9
hemodinamik yang stabil. Karena penggunaan diuretik yang melebihi dosis akan
memperburuk hiponatremia dan hipotensi. Tentunya hal ini berdampak pada safety
pasien post TURP dan bisa meningkatkan resiko kematian (Hawary, 2009).
10
14. Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan ellik evakuator sampai bersih,
selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
15. Setelah selesai, dipasang three way kateter 24F dan dipasang Spoel NaCl 0,9%
atau Aquades.
Kateter ditraksi selama 6 jam, dan dilepas 3-5 hari.
Flowmetri dilakukan setelah lepas kateter dan penderita dapat miksi
spontan.
1. Perdarahan
11
2. Sindrom TURP
12
Perdarahan rekuren dan persisten bisa mengakibatkan terbentuknya formasi
klot dan tamponade vesika urinaria, hal ini membutuhkan evakuasi atau bahkan
intervensi kembali. Kadang-kadang, hubungan antara kelainan koagulasi yang tidak
terdeteksi saat preoperasi, tidak memberi reaksi terhadap masalah koagulasi
saja. Pada beberapa situasi, pengguaan kompresi rektodigital bisa menghentikan
perdarahan. Jika operasi reintervensi tidak berhasil, bisa dilakukan superselektif
transfemoral embolisasi.
3. Retensi Urin
Retensi urin setelah pelepasan kateter terjadi pada sekitar 3-9 % kasus dan
lebih disebabkan karena kegagalan detrusor daripada reseksi inkomplet, ditemukan
pada obstruksi persisten. Indikasi TURP ulang seharusnya dilakukan dengan sangat
hati-hati dan menunggu rekomendasi sekurang-kurangnya 4-6 minggu setelah
operasi. Hanya sekitar 20% dari pasien mengalami obstruksi urodinamis setelah
TURP primer. Pada kasus kegagalan otot detrusor, terjadinya BAK secara spontan
setelah TURP primer yang baik kemudian diikuti TURP sekunder sangat minimal
dan pasien harus berhati-hati dengan keadaan ini.
13
Inkontinensia urin dapat terjadi sebanyak 30-40 % kasus pada minggu-
minggu awal post operatif dan kebanyakan diakibatkan dari overaktivitas yang telah
muncul sebelum operasi atau akibat dari ISK. Penanganan simtomatik termasuk
memberikan obat anti kolinegrik dan antiinflamasi. Inkontinensia yang
muncul > 60 bulan membutuhkan evaluasi yang lebih mendalam dengan sitoskopi
dan urodinamik. Ada beberapa penyebab dari inkontinensia urin yang menetap antara
lain : inkontinensia urin (30%), overaktivitas detrusor (20%), inkontinensia campuran
(30%), adenoma residual (5%), kontraktur leher vesika (5%) dan striktur
uretra (5%). Penatalaksanaannya termasuk memberikan edukasi, feedback,
duloxetine atau intervensi pembedahan. Jumlah inkontinensia urin akibat stress
iatrogenic < 0,5 %. Untuk meminimalisir resiko inkontinensia aiatrogenik, maka
bagian verumontarum harus selalu dicek secara berulang-ulang selama proses
operasi.
2. Striktur Uretra
Angka kejadian dari striktur uretra bervariasi sekitar 2% - 9%. Alasan utama
berkaitan dengan lokasi,antara lain: 1. Mental Striktur, biasanya disebabkan
oleh hubungan antara diameter dari instrument dan meatus 2. Striktur Bulbar, akibat
dari trauma mekanik dan insufisiensi arus listrik. Oleh karena itu, hal ini dapat
ditangani dengan penggunaan gel (saat prosedur TURP ketika waktu
reseksinya diperpanjang/diperlama). Pergerakan mekanik minimal dan restetoskopi in
situ serta menghindari arus listrik yang terlalu tinggi.
3. Stenosis Leher Vesika
Insidensinya bervariasi dari 0,3% - 9,2 % kebanyakan terjadi akibat terapi
pada kelenjar-kelenjar yang berukuran kecil. Seperti yang telah dijelaskan,
TURP harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelenjar yang berukuran kecil.
Penanganannya termasuk insisi leher vesika secara elektrik atau laser.
4. Disfungsi Seksual
Ejakulasi retrograde terjadi pada > 90% kasus dan dapat dicegah jika jaringan
pada veru montanum dipisah. Karenan adanya ejakulasi retrograde, indikasi TURP
14
harus dipertimbangkan secara hati-hati pada pasien dengan usia yang lebih muda.
Pada usia muda, TURP harus dipertimbangkan karena angka kejadian ejakulasi
retrograde lebih minimal. Menurut sebuah penelitian, Proporsi pasien yang
mengalami gangguan seksual sebanyak 19% setelah melakukan prosedur TURP.
Namun, penelitian lain melaporkan bahwa terjadi perbaikan dari fungsi seksualnya
karena peningkatan kualitas hidup yang dialami
15
BAB III
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17
12. Quinte Health Care. 2009. Transurethral Resection Prostate.
http://www.qhc.on.ca/photos/custom/QHCTransurethral%20Resection%20of
%20Prostate%20(TURP).pdf
18