Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior, bila
mengalami pembesaran, organ ini dapat menjepit uretra pars prostatika
dari bagian luar dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari
buli-buli. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa kurang Beningn Prostate Hyperplasia atau hiperplasia prostat jinak
(BPH), pembesaran atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patalogis
yang paling umum pada pria lanjut usia dan penyebab kedua yang paling
sering untuk intervensi medis pada pria (Rahardjo et al.,1999). Pada
tahun 2000 atau millennium tiga angka harapan hidup penduduk dunia
baik dari negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia menjadi 80
tahun, oleh karena itu pria yang hidup pada usia tersebut diperkirakan
kurang lebih 80% secara histologi akan mengalami BPH dan diperkirakan
50% nya mempunyai kesempatan untuk terjadinya BPH bergejala. Prevalensi
dari BPH bergejala meningkat dengan bertambahnya umur, usia diantara 40 -
49 tahun sebesar 14%, usia diantara 50 - 59 tahun sebesar 24% dan pada
usia lebih dari 60 tahun prevalensinya lebih 45% (Singodimedjo, 2000).
BPH secara klinis menyebabkan gejala saluran kemih bagian
bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) dari sedang sampai
berat yang terjadi pada kira-kira seperempat dari laki-laki berusia 50
tahun, sepertiga dari laki-laki berusia 60 tahun dan sekitar setengah dari
semua laki-laki berusia 80 tahun ke atas. LUTS pada BPH dapat ditentukan
dengan sistem skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang
termasuk rasa kencing yang tidak puas, frekuensi, intermitensi, urgensi,
pancaran urin lemah, hesitansi dan nokturia. Menurut IPSS keparahan
LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan berat (Bozdar, Memon,

1
& Paryani, 2010). Pengobatan BPH bervariasi dari watchful waiting sampai
intervensi bedah hal ini tergantung pada hasil IPSS (International Prostate
Symptom Score). Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan pada
umumnya tidak ada terapi hanya watchful & waiting dan dilakukan
kontrol saja. Nilai IPSS diantara 8 –18 derajat sedang dilakukan terapi
medikamentosa, sedangkan nilai 19 –35 termasuk derajat berat diperlukan
operasi prostatektomi terbuka (Open Prostatectomy) atau operasi reseksi
transuretral (Transurethral Resection of the Prostate) (Singodimedjo,
2000). Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau
terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross
hematuria berulang, batu vesika urinaria berulang, infeksi saluran
kemih yang rekuren dan insufisiensi renal rekuren (Bozdar, Memon, &
Paryani, 2010).
Pada umumnya para spesialis urologi sependapat bahwa apabila
perkiraan berat kelenjar prostate 60 gram ke bawah dilakukan operasi
tertutup sedangkan apabila perkiraan berat kelenjar prostat lebih dari 60
gram dilakukan operasi terbuka. Seperti telah diterangkan di atas operasi
pasien BPH bergejala baik tertutup maupun terbuka adalah berdasarkan
dari perkiraan berat kelenjar prostat baik yang diperkirakan diperiksa
melalui pemeriksaan colok dubur atau dengan pemeriksaan ultrasonografi
(Singodimedjo, 2000). Reseksi transuretral prostat atau Transurethral
Resection of the Prostate (TURP) adalah gold standard dalam perawatan
bedah untuk BPH dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan
konservatif. TURP mengurangi LUTS juga mengurangi skor IPSS dalam
94,7% kasus-kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan BPH. (Bozdar, Memon, & Paryani, 2010).

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Prostat

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Prostat pada umumnya memiliki
ukuran dengan panjang 1,25 inchi atau kira–kira 3 cm, dan beratnya kurang lebih 20
gram.

Gambar 2.1 Anatomi Prostat

Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat
prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari prostat
berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada
diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh

3
lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas
pada ampulla recti (Moore & Agur, 2002).

Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur
hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur
(Sjamsuhidajatdkk., 2012).

Gambar 2.2 Prostat Normal (Kiri) dan Prostat yang membesar (Kanan)

2.2 Fisiologi

Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang


mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan
profibrinolisin. Selama pengisian, sampai kelenjar prostat berkontraksi sejalan
dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan

4
oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan
prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum,
karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir
metabolisme sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma.
Selain itu, sekret vagina bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak
optimal sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Akibatnya, cairan prostat
yang sedikit basa mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan. seminalis
lainnya selama ejakulasi, dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma
(Guyton & Hall, 2008; Sherwood, 2011).

2.3 Definisi TURP

Gambar 2.3 Transurethral Resection of the Prostate

(TURP) yaitu suatu tindakan endoskopis pengurangan masa prostat


(prostatektomi) dengan tujuan urinasi pada pasien yang mengalami Benign
Prostate Hyperplasia (BPH) stadium moderat atau berat selain open prostatectomy.
Pada operasi ini dilakukan dengan alat endoskopi yang dimasukkan ke dalam
uretra. Pengerokan jaringan prostat dengan bantuan elektrokauter.

5
Kenapa operasi ini perlu dilakukan pada BPH? BPH adalah kelenjar prostat
yang mengalami pembesaran sehingga pembesaran ini dapat menyebabkan
penekanan pada urethra, yang menyebabkan aliran urin dari bladder akan terganggu
bila di biarkan akan menyebabkan penyumbatan, yang pada akhirnya akan
menyebabkan hidronefrosis, resiko terjadi kegagalan ginjal tinggi.
Diindikasikan bahwa seseorang mengalami BPH adalah :
1. Meningkatnya frekuensi buang air kecil
2. Kesulitan memulai buang air kecil
3. Aliran urin pelan
4. Berhenti sebentar di tengah aliran
5. Dribbling setelah urination
6. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk BAK
7. Perasaan tidak puas (ada sisa urin di bladder) setelah BAK
8. Nyeri atau burning selama BAK

2.4 Indikasi TURP

Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah ketika pasien dengan
gejala sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak
dapat diobati dengan terapi obat lagi. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran 30-60 gram.
TURP merupakan tindakan non-invasif, namun dapat menimbulkan
beberapa komplikasi. Hahn, et al(2000) menjelaskan diantara adalah ejakulasi
retrograde(60-90%), infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh kolonisasi
bakteri pada prostat (2%), persistent urinary retentionketika pulang dari rumah
sakit dengan terpasang kateter (2.5%), stricture bladder (2-10%), striktur
uretra(10%)dan komplikasi kardiovaskuler misalnya Acute Myocardial Infarction

6
(AMI). Selain itu terdapat komplikasi yang dapat membahayakan kondisi
pasien, bahkan dapat mengakibatkan kematian, yaitu sindrom TURP
TURP (Transurethral Resection Prostate) adalah tindakan operasi yang
dilakukan dengan memasukkan alat khusus ke uretra yang kemudian mereseksi
(mengerok) prostat yang membesar hingga tidak ada sumbatan pada uretra. Jaringan
yang telah direseksi akan dikeluarkan lewat drain kateter. Dalam operasi ini tidak ada
insisi dan masa penyembuhan selama 8-12 minggu (QHC, 2009). Dalam perspektif
lain, Transurethral Resection of Prostate (TURP) adalah operasi yang dilakukan
dengan tujuan menghilangkan obstruksi di area central prostat dengan menggunakan
panas diatermi dan insersi kateter sementara menuju kandung kemih untuk irigasi sisa
jaringan yang tereseksi (CUP, 2011). Jadi TURP adalah metode operasi prostat
(prostatektomi) non insisi dengan memasukkan alat melalui utetra yang berfungsi
untuk mengerok bagian prostat sampai tidak terjadi sumbatan di uretra.
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi
absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
 Retensi urine yang berulang.
 Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
 Gross hematuria berulang.
 Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
 Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
 Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan buli
terganggu akibat pembesaran prostat.

Secara umum pasien dengan gejala LUTS sedang-berat yang tidak berespon terhadap
pengobatan dengan alfa-adrenergik bloker dan/atau 5-alfa reduktase blok inhibitor
dipertimbangakan untuk menjalani prosedur pembedahan. TURP diindikasikan pada
pasien dengan gejala sumbatan saluran kencing menetap dan progresif akibat
pembesaran prostat yang tidak mengalami perbaikan dengan terapi obat-obatan.

2.5 Kontraindikasi TURP

7
TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasikan pada pasien
tertentu. Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif, berdasarkan
kondisi komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam menjalani prosedur bedah
dan anestesi. Kontraindikasi relatif antara lain adalah status kardiopulmoner yang
tidak stabil atau adanya riwayat kelainan perdarahan yang tidak bisa disembuhkan.
Pasien yang baru mengalami infark miokard dan dipasang stent arteri koroner
sebaiknya ditunda sampai 3 bulan bila akan dilakukan TURP.

Pasien dengan disfungsi spingter uretra eksterna seperti pada penderita


miastenia gravis, multiple sklerosis, atau Parkinson dan/atau buli yang hipertonik
tidak boleh dilakukan TURP karena akan menyebabkan inkontinensia setelah operasi.
Demikian pula pada pasien yang mengalami fraktur pelvis mayor yang menyebabkan
kerusakan spingter uretra eksterna. TURP akan menyebabkan hilangnya spingter urin
internal sehingga pasien secara total akan tergantung pada fungsi otot spingter
eksternal untuk tetap kontinen. Jika spingter eksternal rusak, trauma, atau mengalami
disfungsi, pasien akan mengalami inkontinesia.

Kontrandikasi yang lain adalah pasien kanker prostat yang baru menjalani
radioterapi terutama brachyterapi atau krioterapi dan infeksi saluran kencing yang
aktif.

Operasi ini selain memiliki efek positif juga memiliki efek negatif (komplikasi) yang
bisa membahayakan nyawa pasien. Salah satu komplikasinya adalah TURP
syndrome. TURP syndrome adalah sekumpulan gejala sistemik sebagai efek dari
penyerapan cairan irigasi yang terlalu banyak sehingga hal tersebut mengganggu
kestabilan kadar natrium tubuh, sementara natrium memiliki peran vital dalam
menjaga fungsi kerja saraf (Claybon, 2009; Damirel, 2012). Tanda dan gejala tersebut
adalah disorientasi, gangguan kesadaran, gangguan pengelihatan, mual dan muntah,
gangguan pola nafas, abnormalitas nilai Capillary Refill Time, hiponatremia, anemia,
nyeri kepala, hipertensi, gangguan frekuensi nadi, suara paru ronchi, gangguan kadar
kalium, kadar ureum dan kreatinin yang tinggi dan edema kaki. (Hawary, 2009).

8
Kunci utama munculnya tanda dan gejala tersebut adalah ketika kadar natrium dalam
darah mulai berkurang (< 135 mmol/l) sementara kadar normal dalam tubuh berkisar
antara 135-145 mmol/l dan sindrom ini bisa muncul pada 15 menit setelah reseksi
dilakukan hingga lebih dari 24 jam post operasi.

Manajemen penatalaksanaan dari sindrom ini diantaranya adalah pertama,


monitoring jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi selama prosedur. Hal ini adalah
kunci untuk melakukan pengkajian pada perkembangan TURP syndrome. Kedua,
monitoring ethanol. Cairan irigasi ditambahkan ethanol dan bisa diukur saat pasien
bernafas sehingga bisa dideteksi jumlah cairan irigasi yang diabsorbsi. Cara ini
sangat sensitive untuk mendeteksi 75 ml cairan yang diabsrorbsi per 10 menit
jalannya TURP. Ketiga, monitoring central venous pressure monitoring. Penyerapan
cairan irigasi menuju sirkulasi darah bisa meningkatkan Central Venous Pressure
(CVP). Setiap 500 mL cairan yang sudah diabsorbsi selama 10 menit meningkatkan
CVP sejumlah 2 mmHg. CVP juga berpengaruh pada jumlah darah yang hilang dan
pemberian cairan intravena. Keempat, Metode Gravimetry. Metode ini diperlukan
ketika operasi TURP dilakukan di atas tempat tidur yang terdapat alat ukur berat
badan. Jika ada peningkatan berat badan, maka hal ini disebabkan karena absrobsi
cairan irigasi berlebih dan ini berpotensi menimbulkan TURP syndrome. Pengukuran
ini juga memperhatikan jumlah darah yang keluar, terapi intravena yang diberikan
dan harus dilakukan dalam keadaan kandung kemih kosong (Hawary, 2009)

Pencegahan agar tidak terjadi sindrom ini adalah saat operasi memposisikan
pasien dengan ekstrimitas bawah lebih rendah dari kepala karena hal ini bisa
menurunkan jumlah cairan irigasi yang masuk ke sirkulasi, skill dan pengalaman
kerja dari urolog karena semakin memiliki banyak pengalaman dalam TURP maka
bisa meminimalisir munculnya sindrom TURP, tidak melakukan TURP melebihi 60
menit karena lebih dari itu bisa memunculkan TURP syndrome, bipolar TURP
(penggunaan aquades untuk irigasi bukan Na Cl), penggunaan diuretik semisal
furosemid dan infus manitol untuk prevensi edem pulmo. Namun yang menjadi
catatan penting adalah diuretic hanya digunakan pada pasien dengan kondisi

9
hemodinamik yang stabil. Karena penggunaan diuretik yang melebihi dosis akan
memperburuk hiponatremia dan hipotensi. Tentunya hal ini berdampak pada safety
pasien post TURP dan bisa meningkatkan resiko kematian (Hawary, 2009).

2.6 Mekanisme TURP

1. Pasang foto-foto pada light box


2. Setelah dilakukan anestesi regional penderita diletakkan dalam posisi lithotomi
3. Untuk menghindari komplikasi orchitis dilakukan Vasektomi tanpa Pisau
(VTP)
4. Dilakukan desinfeksi dengan povidone jodine didaerah penis scrotum dan
sebagian dari kedua paha dan perut sebatas umbilicus
5. Persempit lapangan operasi dengan memasang sarung kaki dan doek panjang
berlubang untuk bagian supra pubis ke kranial.
6. Dilatasi uretra dengan bougie roser 25 F sampai 29 F
7. Sheath 24F / 27F dengan obturator dimasukkan lewat uretra sampai masuk buli-
buli.
8. Obturator dilepas, diganti optik 30 dan cutting loop sesuai dengan ukuran
sheatnya.
9. Evaluasi buli-buli apakah ada tumor, batu, trabekulasi dan divertikel buli
10. Working element ditarik keluar untuk mengevaluasi prostat (panjangnya prostat
yang menutup uretra, leher buli dan verumontanum)
11. Selanjutnya dilakukan reseksi prostat sambil merawat perdarahan
12. Sebaiknya adenoma prostat dapat direseksi semuanya, waktu reseksi paling
lama 60 menit (bila menggunakan irigan aquades) dan waktu bisa lebih lama
bila menggunakan irigan glisin. Hal ini untuk menghindari terjadinya Sindroma
TUR.
13. Bila terjadi pembukaan sinus, operasi dihentikan, untuk menghindari sindroma
TUR

10
14. Chips prostat dikeluarkan dengan menggunakan ellik evakuator sampai bersih,
selanjutnya dilakukan perawatan perdarahan.
15. Setelah selesai, dipasang three way kateter 24F dan dipasang Spoel NaCl 0,9%
atau Aquades.
Kateter ditraksi selama 6 jam, dan dilepas 3-5 hari.
 Flowmetri dilakukan setelah lepas kateter dan penderita dapat miksi
spontan.

2.7 Komplikasi TURP

2.7.1 Komplikasi Intraoperatif

1. Perdarahan

Perdarahan tetap merupakan komplikasi intraoperatif. Perkembangan teknik


HFgenerators dan peralatan TURP (continuous-flow intruments, video TURP)
menurunkan angka transfusi selama operasi. Meskipun berbagai penelitian pada
tahun 1970 sampai dengan tahun 1990 melaporkan angka transfuse ≤20%, namun
angka ini menurun sampai ≤10% pada berbagai penelitian setelah tahun 2000. Pada
29 review RCT yang dipublikasikan antara 1986 dan 1998 angka rata-rata transfuse
8,6%, dengan angka kisaran 0-35%. Resiko perdarahan intraoperatif berhubungan
dengan infeksi preoperatif dan retensi urin akibat kongensi gland penis, volume
prostat, dan lamanya reseksi. Pada kasus dengan perdarahan peri dan postoperatif
yang signifikan, balon kompresi (tekanan 500 cm3) merupakan metode terpilih.
Kompresi rektodigital pada prostat berguna pada kasus tertentu. Perdarahan arteri
dapat terjadi pada infeksi preoperative atau retensi urin akibat dari kongesti
kelenjar. Perdarahan ini dapat dikurangi dengan agen anti-androgen dengan
finasterife atau flutamide. Perdarahan vena terjadi akibat perforasi kapsular atau
terbukanya sinusoid venosus. Jumlah perdarahan intraoperatif tergantung
ukuran kelenjar dengan massa reseksi.

11
2. Sindrom TURP

Sindroma TUR dikarakteristikan dengan adanya penurunan status mental,


mual, muntah, hipertensi, bradikardia dan gangguan penglihatan. Itu disebabkan
oleh hiponatremia delusional (sodium serum 125mEq/l) karena perforasi segera
dari˂kapsular vena atau sinus dengan influks cairan irigasi yang hipotonik. Pasien
dalam pengaruh anastesi spinal dapat menunjukan tanda gelisah,gangguan cerebral
atau menggigil.Pada sindroma TURP yang tidak ditatalaksanai dapat menyebabkan
konsekuensi yang berat seperti edema cerebral atau bronkial. Insidensi sindroma
TURP telah menurun secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dari 3-
5% menjadi <1%. Pada pasien-pasien yang dicurigai mengalami sindroma TURP,
pemeriksaan level sodium harus dilakukan segera. Pada kasus dengan hiponatremia
yang signifikan prosedur TURP harus diberhentikan dan diberikan 20 mg furosemide
dengan infus sodium klorida hipertonik.

Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala


sakit kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi
dan seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload
sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom
TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai
dan beberapa jam setelah pembedahan selesai Jumlah cairan yang dapat memasuki
daerah vaskularisasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari
cairan irigasi, jumlah venous sinus yang terbuka,lama reseksi / paparan dan
perdarahan vena yang terjadi. Tekanan hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin
banyaknya vena yang terbuka saat reseksi dan semakin lama waktu reseksi
meningkatkan absorbsi air ke dalam sistem sirkulasi.

2.6.2 Komplikasi Perioperatif

1. Tamponade Vesika urinaria

12
Perdarahan rekuren dan persisten bisa mengakibatkan terbentuknya formasi
klot dan tamponade vesika urinaria, hal ini membutuhkan evakuasi atau bahkan
intervensi kembali. Kadang-kadang, hubungan antara kelainan koagulasi yang tidak
terdeteksi saat preoperasi, tidak memberi reaksi terhadap masalah koagulasi
saja. Pada beberapa situasi, pengguaan kompresi rektodigital bisa menghentikan
perdarahan. Jika operasi reintervensi tidak berhasil, bisa dilakukan superselektif
transfemoral embolisasi.

2. Infeksi Traktus Urinarius


Angka kejadian infeksi traktus urinarius rendah, berdasarkan persentase dari
beberapa literatur bervariasi dari 4 % sampai 20 %. Faktor resiko terjadinya infeksi
traktus urinarius adalah berasal dari bakterimia perioperatif durasi prosedur yang
memanjang, penggunaan kateter preoperatif, pemajangan masa rawat inap di RS dan
drainase kateter yang tidak tetap. Terapi antibiotik perioperatif secara rutin tidak
direkomendasikan; pada kelompok yang beresiko yang disebutkan diatas,
penggunaan antibiotik sebagai profilaksis mungkin disarankan.

3. Retensi Urin
Retensi urin setelah pelepasan kateter terjadi pada sekitar 3-9 % kasus dan
lebih disebabkan karena kegagalan detrusor daripada reseksi inkomplet, ditemukan
pada obstruksi persisten. Indikasi TURP ulang seharusnya dilakukan dengan sangat
hati-hati dan menunggu rekomendasi sekurang-kurangnya 4-6 minggu setelah
operasi. Hanya sekitar 20% dari pasien mengalami obstruksi urodinamis setelah
TURP primer. Pada kasus kegagalan otot detrusor, terjadinya BAK secara spontan
setelah TURP primer yang baik kemudian diikuti TURP sekunder sangat minimal
dan pasien harus berhati-hati dengan keadaan ini.

2.7.3 Komplikasi Jangka Panjang


1. Inkontinensia Urin

13
Inkontinensia urin dapat terjadi sebanyak 30-40 % kasus pada minggu-
minggu awal post operatif dan kebanyakan diakibatkan dari overaktivitas yang telah
muncul sebelum operasi atau akibat dari ISK. Penanganan simtomatik termasuk
memberikan obat anti kolinegrik dan antiinflamasi. Inkontinensia yang
muncul > 60 bulan membutuhkan evaluasi yang lebih mendalam dengan sitoskopi
dan urodinamik. Ada beberapa penyebab dari inkontinensia urin yang menetap antara
lain : inkontinensia urin (30%), overaktivitas detrusor (20%), inkontinensia campuran
(30%), adenoma residual (5%), kontraktur leher vesika (5%) dan striktur
uretra (5%). Penatalaksanaannya termasuk memberikan edukasi, feedback,
duloxetine atau intervensi pembedahan. Jumlah inkontinensia urin akibat stress
iatrogenic < 0,5 %. Untuk meminimalisir resiko inkontinensia aiatrogenik, maka
bagian verumontarum harus selalu dicek secara berulang-ulang selama proses
operasi.
2. Striktur Uretra
Angka kejadian dari striktur uretra bervariasi sekitar 2% - 9%. Alasan utama
berkaitan dengan lokasi,antara lain: 1. Mental Striktur, biasanya disebabkan
oleh hubungan antara diameter dari instrument dan meatus 2. Striktur Bulbar, akibat
dari trauma mekanik dan insufisiensi arus listrik. Oleh karena itu, hal ini dapat
ditangani dengan penggunaan gel (saat prosedur TURP ketika waktu
reseksinya diperpanjang/diperlama). Pergerakan mekanik minimal dan restetoskopi in
situ serta menghindari arus listrik yang terlalu tinggi.
3. Stenosis Leher Vesika
Insidensinya bervariasi dari 0,3% - 9,2 % kebanyakan terjadi akibat terapi
pada kelenjar-kelenjar yang berukuran kecil. Seperti yang telah dijelaskan,
TURP harus dipertimbangkan pada pasien dengan kelenjar yang berukuran kecil.
Penanganannya termasuk insisi leher vesika secara elektrik atau laser.

4. Disfungsi Seksual
Ejakulasi retrograde terjadi pada > 90% kasus dan dapat dicegah jika jaringan
pada veru montanum dipisah. Karenan adanya ejakulasi retrograde, indikasi TURP

14
harus dipertimbangkan secara hati-hati pada pasien dengan usia yang lebih muda.
Pada usia muda, TURP harus dipertimbangkan karena angka kejadian ejakulasi
retrograde lebih minimal. Menurut sebuah penelitian, Proporsi pasien yang
mengalami gangguan seksual sebanyak 19% setelah melakukan prosedur TURP.
Namun, penelitian lain melaporkan bahwa terjadi perbaikan dari fungsi seksualnya
karena peningkatan kualitas hidup yang dialami

15
BAB III
KESIMPULAN

TURP (Transurethral Resection Prostate) adalah tindakan operasi yang


dilakukan dengan memasukkan alat khusus ke uretra yang kemudian
mereseksi (mengerok) prostat yang membesar hingga tidak ada sumbatan
pada uretra.
Reseksi transuretral prostat atau Transurethral Resection of the
Prostate (TURP) adalah gold standard dalam perawatan bedah untuk BPH
dengan LUTS yang tidak berespon pada pengobatan konservatif. TURP
mengurangi LUTS dan juga mengurangi skor IPSS dalam 94,7% kasus-
kasus klinis BPH dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan BPH.
Intervensi bedah diindikasikan setelah terapi medis gagal atau
terdapat BPH dengan komplikasi, seperti retensi urin rekuren, gross
hematuria berulang, batu vesika urinaria berulang, infeksi saluran kemih
yang rekuren dan insufisiensi renal rekuren
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan
gejala sumbatan yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau
tidak dapat diobati dengan terapi obat lagi. Operasi ini dilakukan pada
prostat yang mengalami pembesaran 30-60 gram.
Operasi ini selain memiliki efek positif juga memiliki efek negatif
(komplikasi) yang bisa membahayakan nyawa pasien. Salah satu
komplikasinya adalah TURP syndrome.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Basuki B.Purnomo, 2011. Anatomi Sistem Urogenitalia In : Dasar-Dasar


Urologi, Edisi 3,Jakarta: 6
2. Bozdar, R. H., Memon, R. S., Paryani, P. J., 2010. Outcome Of
Transurethral Resection of Prostate in Clinical Benign Prostatic
Hyperplasia. J Ayub Med Coll AbbottabadStaf Pengajar Ilmu Kesehatan
Anak FK UI. Ensefalitis. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.
Jakarta; 1985.
3. Cambridge Urology Partnership. 2011. Transurethral Resection Prostate.
http://www.cambridgeurologypartnership.co.uk/pdf/TURP_info_sheet.pdf
4. Claybon, M. 2009. TURP Syndrome. http
anes.med.umich.edu/vault/1000944-turp.pdf.
5. Damirel, I. 2012. TURP syndrome and severe hyponatremia under general
anaesthesia. BMJ Case Rep. 2012 Nov 19;2012.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23166168
6. Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 9.
Jakarta: EGC.
7. Hawary, A et ll. 2009. Transurethral Resection Prostate Syndrome – Almost
Gone but Not Forgotten. Journal of Endourologi. United Kingdom
8. Moore KL, Agur AMR. 2002. Anatomi klinik dasar. Jakarta: Hipokrates.
9. Rahardjo, D., Birowo, P., Pakasi, L. S., 1999. Correlations between
Prostate Volume, PSA and Age in the BPH Petients. Medical Journal of
Indonesia, Volume 8.
10. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. 2012.
Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC
11. Singodimedjo, P. 2000. International-Prostate Symptom Score sebagai Cara
untuk Menentukan Derajat Hiperplasia Prostat Jinak dan Menilai
Keberhasilan Tindakan Operasi Prostatektomi. Kumpulan Makalah
Karya Ilmiah. Jogjakarta.

17
12. Quinte Health Care. 2009. Transurethral Resection Prostate.
http://www.qhc.on.ca/photos/custom/QHCTransurethral%20Resection%20of
%20Prostate%20(TURP).pdf

18

Anda mungkin juga menyukai