BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Defenisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengalirkan atau
mengalihkan(Siphon). Melitus dari bahasa Latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan
volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi (Corwin, 2009).
Berdasarkan defenisi American Diabetes Association (ADA) tahun 2005,
diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakterisktik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya (Soegondo, 2013).
Diabetes melitus bukan merupakan kesatuan penyakit yang tunggal tetapi
sebaliknya merupakan sekelompok kelainan metabolik yang memiliki ciri
hiperglikemia, berupa kelainan kronik pada metabolisme karbohidrat, lemak,
protein dengan komplikasi jangka panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal,
mata serta saraf. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 140 juta orang yang
mengidap penyakit diabetes dan dengan demikian membuat penyakit ini sebagai
salah satu di antara sejumlah penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan
(Robbins, 2008).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel berikut:
3
2.1.3 Etiologi
Pada pasien-pasien diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola
familial yang kuat. Indeks untuk diabetes melitus tipe 2 pada kembar monozigot
hampir 100 %. Risiko berkembangnya diabetes melitus tipe 2 pada saudara
kandung mendekati 40 % dan 33 % untuk cucunya. Transmisi genetik adalah
paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda
MOYD (Maturity Onset Diabetes of the Young) yaitu, subtipe penyakit diabetes
yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita
diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar
90 % pasti membawa (carrier).
Diabetes tipe 2 ini ditandai dengan kelainan insulin. Pada awalnya terdapat
resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat
dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi
intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT4 glukosa dan
meningkatkan transport glukosa menembus membran sel.
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik.
Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa
4
dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari
pengukuran glukosa dan insulin (Sylvia, 2006).
2.1.4 Epidemiologi
2.1.5 Patofisiologi
Insulin yang di keluarkan oleh sel dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian di
dalam sel glukosa itu di metabolisasikan menjadi tenaga.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak
tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam
sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya
(rerseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah
meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan diabetes melitus tipe 2, di
samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal. Keadaan ini
disebut dengan resistensi insulin.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60 % dari
normal. Jumlah sel alfa meningkat, yang mencolok adalah adanya peningkatan
jumlah jaringan amiloid pada sel beta yg disebut amilin. Baik diabetes tipe 1 dan
2, kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang
ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin (Soegondo, 2013)
SEL BETA
HIPOINSULINEMIA
DM
Tabel 2.3: Patokan Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa Untuk
Menyaring dan Mendiagnosis Diabetes Melitus
Bukan Belum pasti Pasti
Kadar gula Plasma vena <100 100-199 200
darah sewaktu
(mg/ dL) Darah kapiler <90 90-199 200
b. Pemeriksaan Urin
1. Glukosa akan merembes kedalam urin jika kadar gula darah telah
mencapai ambangnya, pada kisaran angka 150-180 mg/dL. Pemeriksaan
urin dapat dilakukan dengan berbagai teknik dan dilaporkan dengan
system plus 1+ hingga 4.
2. Keton terutama harus diperiksa selama infeksi, stress, emosional atau jika
terjadi peningkatan kadar gula darah yang sangat tinggi.
3. Protein urin juga harus diperiksa, terutama jika terjadi komplikasi ginjal
(Nefropati) mulai tampak (Arisman, 2010).
2.1.9 Diagnosis
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur
diagnosa diabetes menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas
diabetes melitus. Gejala khas diabetes melitus terdiri dari poliuria, polidipsi,
polifagia dan, berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak
khas diabetes melitus diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita). Apabila
10
ditemukan khas diabetes melitus, pemeriksaan gula darah abnormal satu kali saja
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namum apabila tidak ditemukan gejala
khas diabetes, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal
(Sudoyo, 2009).
Sesuai dengan Konsensus PERKENI 2011, untuk menegakkan diagnosis DM
dapat menggunakan kriteria sebagai berikut :
1. Ditemukan gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/ dL
2. Ditemukan gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/ dL
3. Glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral ( TTGO) 200
mg/ dL (Martanto, 2012).
2.1.10. Penatalaksanaan DM
Pilar penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
11
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
12
mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara
yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan
hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
1) Obat hipoglikemik oral
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksiVglukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2.Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu
menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta
menghambat penglepasan glukagon.
2. Suntikan
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
15
2. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun
sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek
agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat
ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
16
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor :
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik akut jika kadar glukosa darah seseorang meningkat
atau menurun tajam dalam waktu relatif singkat. Komplikasi metabolik akut
yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis metabolik diabetik
(DAK). Apabila insulin sangat menurun pasien mengalami hiperglikemia dan
glukosuria berat, penuruanan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Ketoasidosis diabetik akut merupakan komplikasi akut
yang ditandai dengan perburukan semua gejala diabetes, dapat terjadi setelah
stress fisik seperti kehamilan, penyakit akut atau trauma.
Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK) adalah komplikasi lebih
tua. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis osmotik, dan
dehidrasi berat. Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah
hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin.
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan pelepasan epinephrine (berkeringat,
gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam
otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma).
2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang berupa kelainan pembuluh darah
yang akhirnya biasa menyebabkan serangan jantung, ginjal, saraf, penyakit
berat lainnya. Komplikasi ini melibatkan pembuluh kecil (mikroangipati ),
serta pembuluh sedang, dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati
merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan, arteriol retina
(retinopati diabetik) glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf
perifer (neuropati diabetik), otot-otot kulit.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sekuler yang
kecil) dari arteriola retina, akibatnya perdarahan, neovaskularisasi dan
17