Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN

DENGAN FRAKTUR

OLEH :

KELOMPOK 2

1. NI WAYAN TANTRI ASIH 16.321.2582

2. PANDE KADEK SUARDIARI 16.321.2583

3. RICKA AGUSTINA YUWANDITYA 16.321.2584

4. WINDA CAHYATI 16.321.2585

5. A.A.ISTRI SHINTA PRAMESTI 16.321.2656

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2019
LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

DI RUANG NUSA INDAH RSUD BANGLI

1.1 Konsep Fraktur


1.1.1 Pengertian Fraktur
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya (Brunner & Suddarth, 2001 dalam Wijaya & Putri, 2013 : 235). Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 dalam Jitowiyono
&Kristiyanasari, 2012 : 15). Fraktur didefinisikan sebagai suatu kerusakan
morfologi pada kontinuitas tulang atau bagian tulang, seperti lempeng epifisisatau
kartilago (Chang, 2010 : 371).

Beberapa pengertian fraktur menurut para ahli antara lain :

1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, fraktur terjadi ketika tekanan


yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang
yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis (Grace & Borley, 2007 : 85).
2. Fraktur atau yang seringkali disebut dengan pataha tulang, adalah sebuah
patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap (Price & Wilson, 2006 dalam Wijaya & Putri, 2013 : 235).
3. Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang terhadap tekanan menghasilkan
daya untuk menekan. Ketika terjadi fraktur pada sebuah tulang , maka
periosteum serta pembuluh darah di dalam korteks, sumsum tulang, dan
jaringan lunak di sekitarnya akan mengalami disrupsi. hematoma akan
terbentuk diantara kedua ujung patahan tulang serta di bawah periosteum, dan
akhirnya jaringan granulasi menggantikan hematoma tersebut (Wong, 2009 :
1377).
1.1.2 Etiologi Fraktur
Jenis fraktur dibedakan menjadi :
1. Cedera Traumatik Cedera traumatic pada tulang dapat disebabkan
oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah seacara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru
yang tidak terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas
di kemiliteran (Sachdeva, 2000 dalam Kristiyanasari,2012 :16).
1.1.3 Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan
yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
(1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
(2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
(3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
(1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
(2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
(3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.
h. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

1.1.4 Manifestasi Klinis


Beberapa tanda dan gejala terjadinya fraktur (Brunner & Suddarth, 2002 :
2359) adalah sebagai berikut :
1. Nyeri
2. Deformitas akibat kehilangan kelurusan (alignment) yang dialami.
3. Pembengkakan akibat vasodilatasi dalam infiltrasi leukosit serta selsel
mast.
4. Saat ekstremitas diperiksa di tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. tanda ini terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari.
6. Krepitasi.
7. Spasme otot.

1.1.5 Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper
mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak
tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya:
patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak
berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul
hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin
(hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-
sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito
(2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer.
Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg
mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi
ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma
di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian
tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi
plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges,
2000:629).

1.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan.
5. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens
ginjal. 6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, tranfusi atau cedera hati (Doengoes, 2000 dalam Wijaya
&Putri,2013 : 241).
1.1.7 Komplikasi
A. Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari
luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
3. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-
sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah
dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
4. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
6. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
B. Komplikasi Dalam Waktu Lama
1. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karenn\a penurunan suplai darah ke tulang.
2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut
atau miring Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi
yang baik.
1.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif
dan operatif. Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara
konservatif atau operatif selamanya tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
A. Cara konservatif:
1. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
2. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
3. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
4. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
- Pemasangan Gips.
- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk
skin traksi adalah 5 Kg.
B. Cara operatif di lakukan apabila:
1. Bila reposisi mengalami kegagalan.
2. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).
3. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
4. Fraktur patologik.
5. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.

Pengobatan operatif:

1. Reposisi.
2. Fiksasi.

Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction
Internal Fixation”)
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
- Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi
tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih
bergantung sifat fraktur
Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual.
Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat,
paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan
fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi.
- Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus
di imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi
internal dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di
butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra
trokhanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15
minggu.
- Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;

1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi


2. Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
3. Memantau status neurologi.
4. Mengontrol kecemasan dan nyeri
5. Latihan isometrik dan setting otot
6. Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
7. Kembali keaktivitas secara bertahap.

1.2 Konsep Asuhan Keperawatan


I. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber
untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (lyer et al,
1996 dalam nursalam 2011 : 29).
Pengkajian pasien dengan fraktur menurut (Doengoes,2000 : 760) adalah :
a. Anamnesa
1. Identitas pasien
Meliputi ; nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi
golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit
(MRS), dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri
pasien, perawat dapat menggunakan PQRST.
a. Provokating incident : hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri
adalah trauma pada bagian paha.
b. Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien,
apakah seperti terbakar, berdenyut/menusuk.
c. Region, Radiation, Relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
pasien, bisa berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma/kecelakaan degenerative dan patologis yang didahului dengan
perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri,
bengkak, kebiruan, pucat/perubhan warna kulit dan kesemutan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur) atau pernah
punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis, arthritis,
dan tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
6. Riwayat Psikososial Spiritual
Kaji respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya, peran
pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari aik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat.
7. Pola fungsi kesehatan Dalam tahap pengkajian perawat juga perlu
mengetahui pola-pola fungsi kesehatan dalam proses keperwatan
pasien fraktur.
8. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pasien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolism kalsium, pengonsumsian alcohol yang dapat mengganggu
keseimbangan pasien dan apakah pasien melakukan olahraga atau
tidak.
9. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun
menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap sama sedangkan
ketika di RS disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien.
10. Pola eliminasi Kebiasaan miksi/defkasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi dikarenakan imobilisasi.
11. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan akibat dari
fraktur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perwat/keluarga.
12. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur adalah timbul ketakutan akan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah atau gangguan citra diri.
13. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan, selain itu timbul nyeri akibat fraktur.
14. Pola penanggulangan stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu
ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh pasien dapat tidak efektif.
15. Pola tata nilai dan keyakinan
Pasien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan
oleh nyeri dan keterbatasan gerak pasien. Adanya kecemasan dan
stress sebagai pertahanan dan pasien meminta perlindungan /
mendekatkan diri dengan Tuhan YME.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Keadaan baik dan buruknya pasien tanda-tanda yang perlu dicatat
adalah kesadaran pasien (compos mentis, somnolen, apatis, spoor dan
koma yang bergantung pada keadaan pasien, ringan, sedang dan berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut) tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan lokal baik fungsi maupun bentuk.
a. B1 (Breathing)
b. B2 (Blood)
c. B3 (Brain)
d. B4 (Bladder)
e. B5 (Bowel)
f. B6 (Bone)

Adanya fraktur pada femur akanmengganggu secara lokal baik fungsi


sensorik, motorik maupun peredaran darah.

1) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur, umumnya di dapatkan hal-


hal berikut ini.
a. Look
Terlihat adanya luka terbuka pada paha dengan deformitas
yang jelas.Kaji berapa luas kerusakan jaringan lunak yang
terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang
yang keluar dan apakah terdapat adanya kerusakan pada arteri
yang beresiko akan meningkatkan respons syok hipovolemik.
Pada fase awal trauma sering didapatkan adanya serpihan di
dalam luka terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat
yang mempunyai indikasi pada resiko tinggi infeksi.
b. Feel
Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya krepitasi.
c. Move
Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan
karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak
disekitar ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak
mampu melakukan pergerakkan pada sisi yang patah
(Helmi,2014 : 511).
2) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur femur tertutup, umumnya
didapatkan hal-hal berikut.
a. Look
Pasien fraktur femur mempunyai komplikasi delayed union,
non-union, dan malunion. Kondisi yang paling sering
didapatkan di klinik adalah terdapatnya malunion terutama
pada pasien fraktur femur yang telah lama dan telah mendapat
intervensi dari dukun patah. Pada pemeriksaan lookakan
didapatkan adanya pemendekan ekstremitas dan akan lebih
jelas derajat pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi
tungkai dari spina iliaka ke maleolus.
b. Feel
Adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah
paha.
c. Move
Pemeriksaan yang didapat seperti adanya gangguan
/keterbatasan gerak tungkai. Didapatkan ketidakmampuan
menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas
bawah dan melakukan pergerakkan.
II. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan fraktur
2. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler,
tekanan dan disuse
3. Kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan
menjalankan aktivitas.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal

III. Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
Dx Keperawatan Hasil
1. Nyeri Setelah dilakukan tindakan Pain manajemen Manajemen nyeri
keperawatan selama …. x yang diberikan
1. Kaji kondisi nyeri
24 jam nyeri akut dapat diharapkan
2. Observasi respon non
diatasi dengan kriteria:
menekan
1. Tingkatkan nyeri, verbal ketidak
stimulus/rangsangan
kontrol nyeri, tingkat nyamanan.
terhadap nyeri
kenyamanan 3. Gunakan kkomunikasi
sehingga nyeri
2. Efek distruptive teraupetik
Clien outcome :
pasien berkurang.
4. Evaluasi pengalaman
3. Skala nyeri menurun nyeri pasien
4. Klien merasa nyaman 5. Kontrol lingkungan.
5. Kecukupan istirahat dan
6. Meminimalkan faktor
tidur.
pencetus nyeri
6. kemampuan aktivitas
7. Ajarkan teknik non
farmakologi
8. Tingkatkan
istirahat/tidur
9. Pastikan pasien
menerima analgetik
10. Monitor
pemberian analgesik.

Manajemen medikasi
1. Tentukan obat yang Memberikan
ditentukan sesuai pengobatan akan
dengan order. menekan stimulasi
2. Monitor efeksivitas terhadap nyeri
pengobatan sehingga nyeri
3. Monitor tanda-tanda berkurang
toxisitas.
4. Jelaskan pada pasien
kerja dan efek obat.
5.Ajarkan pasien
memperhatikan
aturan pengobatan
2. Resiko Setelah dilakukan Penkes proses penyakit Menurunkan
terhadap tindakan keperawatan 1. Kaji tingkat ketegangan otot dan
cidera selama …. x 24 jam Pengetahuan pasien memfkuskan
cidera dapat dihindari tentang Fraktur kembali perhatian
dengan kriteria: 2. Jelaskan patofisiologi pasien
1. Status keselamatan fraktur
Injuri fisik 3. Jelaskan tanda, gejala
Client outcome : dan diskusikan terapi
2. Bebas dari cidera yang diberikan.
3. Pencegahan Cidera Manajemen Lingkungan
1. Batasi pengunjung
2.Pertahankan
4. kebersihan
tempat tidur.
3. Atur posisi paien yang
nyaman
Memberikan posisi yang
nyaman unuk Klien:
4. Berikan posisi yang
aman untuk pasien
dengan meningkatkan
obsevasi pasien, beri
pengaman tempat tidur
5. Periksa sirkulasi periper
dan status neurologi
6. Menilai ROM pasien
7. Menilai integritas kulit
pasien.
8. Libatkan banyak orang
dalam memidahkan
pasien, atur posisi
3. Kurang Setelah dilakukan Bantuan perawatan diri Bantuan perawatan
perawatan diri. tindakan keperawatan 1. Monitor kemampuan diri dapat
selama ….x 24 jam pasien terhadap perawatan membantu klien
terjadi peningkatan self diri dalam beraktivitas
care dengan kriteria: 2. Monitor kebutuhan dan melatih pasien
akan personal hygiene, untuk beraktivitas
1. Perawatan diri : ADL
berpakaian, toileting dan kembali
Client outcome:
makan
2. Pasien dapat
3. Beri bantuan sampai
melakukan aktivitas
pasien mempunyai
3. Kebersihan diri pasien
kemapuan untuk merawat
terpenuhi
diri
1.
4. Bantu pasien dalam
memenuhi kebutuhannya.
5. Anjurkan pasien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari sesuai
kemampuannya

6. Pertahankan aktivitas
perawatan diri secara rutin
4. Resiko infeksi Setelah dilakukan Meminimalkan
Kontrol infeksi
tindakan keperawatan invasi
selama …. x 24 jam 1. Batasi penginjung mikroorganisme
infeksi dapat dicegah 2. Pertahankan kebersihan penyebab infeksi
dengan kriteria : lingkungan

1. Status imun 3. Ajarkan pasien teknik

2. Kontrol infeksi cuci tangan.

3. Kontrol resiko 4. Cuci tangna sebelum

Client outcome: dan sesudah kontak

4. bebas tanda infeksi dengan pasien.

5. Sel darah putih 5. Gunakan teknik steril


dalam batas normal dalam perawtan luka.
6. Kelola antibiotik sesuai
order
7. Pertahankankan intake
nutrisi dan cairan.
8. Jelaskan tandan dan
gejala infeksi

Pencegahan infeksi
9. Monitor tanda infeksi Mencegah adanya
10. Monitor hasil Lab. infeksi lanjutan
11. Jelaskan pada
pasien cara pencegahan
infeks

5. Kerusakan Setelah dilakukan Melatih latihan


Monitor vital sign
tindakan keperawatan gerak ekstremitas
mobilitas fisik selama …. x 24 jam pasien serta
Terapi ambulasi
mobilitas fisik dapat mencegah adanya
1. Konsultasi dengan
ditingkatkan dengan kontraktur sendi dan
terapi untuk perencanaan
kriteria: atropi otot
ambulasi
NOC :
2. Latih pasien ROM
1. Ambulasi :
sesuai kemampuan
2. Tingkat mobilisasi
3.Ajarkan pasien
3. Perawtan diri
berpindah tempat
Client outcome :
4.Monitor kemampuan
-Peningkatan aktivitas
ambulasi pasien
fisik

Pendidikan kesehatan
12. Jelaskan pada
pasien pentingnya
ambulasi dini
Jelaskan pada pasien
tahap ambulasi

IV. Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk
mencapai tujuan yang sprsifik (lye et al., 1996). Tahap implementasi
dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing
orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien
(Setiadi, 2012 : 42).
V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah stadium proses keperawatan dimana taraf
keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan
untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan.
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan fraktur adalah :
1. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2. Resiko terhadap cedera dapat dihindari
3. Kebersihan diri pasien dapat terpenuhi
4. Resiko infeksi dapat dicegah
5. Mobilitas fisik dapat ditingkatkan dengan baik
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, EGC, Jakarta

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika,


Yogyakarta, 1992.

NANDA, 2005 – 2006, Nursing Diagnosis : Definitions and Classifications,


Philedelphia, USA

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta


1997.

Anda mungkin juga menyukai